Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

A. KONSEP PENYAKIT

1. Definisi

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap

tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh

kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju

mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25

pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama

setelah IMA (Sudoyo, 2006).

IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)

merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari

angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya

(Sudoyo, 2006).

ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung

secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif

maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada,

peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI

adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total

sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi

tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.


2. Etiologi

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya

rupture vulnerable atherosclerotic plaque, penyumbatan total atau sebagian oleh

emboli dan atau thrombus. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor

presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik

yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu,

terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada

individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu

faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.

a. Faktor yang tidak dapat dirubah :

1) Usia

Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang

progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi

mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada

usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40

dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat .

2) Jenis kelamin

Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika

terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause,

insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat

bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan

merupakan pengaruh dari hormon estrogen


3) Ras

Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit

putih.

4) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,

orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)

meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

b. Faktor resiko yang dapat dirubah :

1) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida

serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl

akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan

resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl.

Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko

penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi

berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.

2) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah

systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat

meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%

dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar

50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung

kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke

3) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok

mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan

atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang


lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok

dapat menurunkan risiko secara substansial

4) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga

meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali

lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga

terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes

mellitus

5) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.

6) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang

bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada

lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti

merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

1) Penyempitan arteri koroner nonsklerolik

2) Penyempitan aterorosklerotik

3) Trombus

4) Plak aterosklerotik

5) Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak

6) Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium

7) Penurunan darah koroner melalui yang menyempit

8) Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur

9) Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.


3. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara

lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral

sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat

pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak

aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau

sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi

rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology

menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai

vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).

Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai

endokardium sampai epikardium,disebut infark transmural, namun bisa juga

hanya mengenai daerah subendokardial,disebut infark subendokardial. Setelah

20 menit terjadinya sumbatan,infark sudah dapat terjadi pada

subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi

infark transmural. Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium

menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis miokard

sudah komplit,proses remodeling miokard yang mengalami injury terus

berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan

daerah non infark mengalami dilatasi.


4. Manifestasi klinis

a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar,

ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang

berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala

yang menyertai : berkeringat, pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan

lemas.

b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.

c. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.

d. Bisa atipik:

 Pada manula: bisa kolaps atau bingung.

 Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal

jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.

5. Komplikasi

Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI, adalah:

a. Disfungsi ventrikuler

Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial

dalambentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark

dan non infark. Proses inidisebut remodeling ventikuler dan umumnya

mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan

bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri

mengalami dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al ;

slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan

dalam zona nekrotik.


Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,

mengakibatkan penipisan yang didisprosional dan elongasi zona infark.

Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan

ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks

ventikrel kiri yang yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang

nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan

terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi

< 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus

diberikan.

b. Gangguan hemodinamik

Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama

kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia

mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas,

baik pada awal ( 10 hari infark ) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering

dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.

Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.

c. Gagal jantung

d. Syok kardiogenik

6. Penatalaksanaan

a. Syok kardiogenetik

Penatalaksana syok kardiogenetik:

1. Terapi O2, Jika tekanan darah sistolik <70 mmHg dan terdapat tanda

syok diberikan norepinefrin.


2. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan

dopamin dosis 5-15 ug/kgBB/menit.

3. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg namun tidak terdapat tanda syok

diberikan dobutamin dosis 2-20 ug/kgBB/menit.

4. Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau CABG,

direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB

yang mengalami syok dalam 36 jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi

yang dapat dikerjakan dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat

kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.

5. Terapi trimbolitik yang diberikan pada pasien STEMI dengan syok

kardiogenik yang tak ideal dengan trapi invasif dan tidak mempuyai

kontraindikasi trombolisis.

6. Intra aortic ballo pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan

syok kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dangan terapi

farmakologis, bila sarana tersedia.

b. Infark Ventrikel Kanan

Infark ventrikel kanan secari klinis menyebabkan tanda gejala ventrikel kanan

yang berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul s, hepatomegali) atau tanda

hipotensi. Penatalaksana infark ventrikel kanan:

1. Pertahankan preload ventrikel kanan.

2. Loading volume (infus NaCL 0,9 %) 1-2 liter cairan jam I selanjutnya

200ml/jam (terget atrium kanan >10 mmHg (13,6cmH20).

3. Hindari penggunaan nitrat atau diuretik.


4. Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardial harus dikoreksi. Pacu jantung

sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak repon

dengan atropin.

5. Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading

volume

6. Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri.

7. Pompa balon intra-aortik.

8. Vasolidator arteri (nitropospid, hidralazin)

9. Penghambat ACE

10. Reporfusi

11. Obat trombolitik

12. Percutaneous coronari intervention (PCI) primer

13. Coronary arteru bypass graft (GABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit

multivesel).

c. Takikardia dan Vibrilasi Ventrikel

Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan vibrilasi ventrikular dapat

terjadi tampa tanda bahaya aridmia sebelumnya.

Penatalaksana Takikardia vebtrikel:

1. Takikardia vebtrikel (VT) polimorvik yang menetap (lebih dari 30 detik

atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock

unsynchoronizer menggunakan energi awal 200 j; jika gagal harus

diberikan shock kedua 200-300 J;, dan jika perlu shock ketiga 360J.

2. Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan

angina , edema paru dan hipotensi (tekanan darah<90 mmHg ) harus


diretapi dengan shock synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat

ditingkatkan jika dosis awal gagal.

3. Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik yang tidak disertani angina, edema

paru dan hipotensi (tekanan darah<90 mmHg) diterapi salah satu regimen

berikut:

4. Lidokain: bolus 1-1-5mh/kg. Bolius tambahan 0,5-0,75mg/kg tiap 5-10

menit sampai dosis loding total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading

selanjutnya dengan infus 2-4 mg/ menit(30-50 ug/lg/menit).

5. Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis

pemeliharaan 1 mg/kg/jam.

6. Amiodaron: 150mg infus selama 5-10 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit,

dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus

pemeliharaan 0,5 mg/menit.

7. Kardioversi elektrik synchoronized dimulai dosis 50 J ( anestasi

sebelumnya).

d. Penatalaksana fibrilasi Ventrikel

1. Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC

shock unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus

diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J

( klas I)

2. Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refraksi

terhadap shock elektrik diberika terapi amiodaron 300 mg atau 5/kg. IV

bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized. (klas Iia)


KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas pasien

a. Nama:

b. Umur:

c. Alamat:

d. Perkerjaan:

e. Tanggal masuk:

f. Status:

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam

b. Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:

 Sesak

 Udema

 Nyeri dada

c. Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada angota keluarganya adakah

anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien

saat ini. Serta riwayat penyakit lainnya seperti:

 Darah tinggi

 Diabetes

 Penyakit jantung

d. Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah

mengalami penyakit yang sama dengan yang dialami saat ini atau penyakit

lain seperti:
 Riwayat asma

 Diabetes

 Stroke

 Gastritis

 Alergi

3. Pemeriksaan fisik

 Keadaan umum:

 Kesadaran:

4. Pemeriksaan penunjang:

a. Pemeriksaan Laboratorium

 Hematologi: Terjadi peningkatan leukosit

 Cardiac enzyms: Terjadi peningkatan enzim

b. Elektrokardiografi:

a. Detak jantung

b. Ekokardiografi: Pergerakan dinding jantung dan struktur jantung.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a) Perubahan pola napas berhubungan dengan infark ditandai dengan sesak.

b) Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai

dengan keluhan nyeri dada.

c) Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan perfusi

organ ditandai dengan edema.

d) Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi yang mempengaruhi

masukan nutrisi/peningkatan kebutuhan metabolik ditandai dengan kelebihan

berat badan.
e) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam aktivitas .

f) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan

ketakutan, gelisah dan perilaku takut.

C. INTERVENSI

1. Intervensi untuk diagnose nyeri akut

Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil:

 Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari.

 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari.

 Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam waktu 3

hari.

Intervensi:

1. Kaji lokasi, karakter, dura durasi, dan intensitas, nyeri, dengan menggunakan

skala nyeri 0 (tidak nyeri) sampai 10 (nyeri hebat). Kaji gejala berkaitan, seperti

mual dan diaporesis.

2. Kaji dan catat TD dan FJ dengan episode nyeri. TD dan Fj dapat meningkat

karena randsang simpatis atau menurun karena iskemia dan fungsi jantung

menurun.

3. Berikan obat nyeri yang diprogramkan (biasanya morfin sulfat): catat kualitas

pengurangan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, dan tentukan interval

waktu danri pemberian sampai penghilangan nyeri.

4. Tenangkan pasien selama episode nyeri; temani pasien bila mungkin.


5. Observasi dan laporkan efek samping dari obat nyeri: hipotensi, FP lambat, sulit

miksi.

6. Berikan O2 sesuai program, biasanya 2-4 L/menit per kanula nasal.

7. Siapkan pasien untuk pindah UPK. (Unit Perawatan Kritis)

2. Intervensi untuk diagnosa gangguan keseimbangan elektrolit.

Tujuan: Mempertahankan keseimbangan cairan dalam 1 hari dibuktikan dengan TD

dalam batas normal.

Kriteria hasil:

 Tidak ada distensi vena perifer/vena dan edema dependen

 Paru bersih dan berat badan stabil.

Intervensi:

1. Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels.

2. Catat DVJ, adanya edema dependen.

3. Ukur masukan/haluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi. Hitung

keseimbangan cairan.

4. Timbang berat badan tiap hari.

5. Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.

6. Berikan diet natrium rendah/minuman.

7. Berikan diuretic, contoh furosemid (Lazix); hidralazin (Apresoline): spironolakton

dengan hidronolakton (Aldactone).

8. Pantau kalium sesuai indikasi.


3. Intervensi dari perubahan pola nutrisi:

Tujuan: Meningkatkan nutrisi yang seimbang bagi pasien.

Kriteria hasil:

setelah perawatan menyatakan berat badan berkurang dalam waktu 1 minggu.

Intervensi:

1. Kaji nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energy;

kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.

2. Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat

penerimaan.

3. Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat makanan, jumlah kalori

dengan tepat.

4. Jamin penampungan akurat dari specimen (urine, feses, drainase) untuk

pemeriksaan keseimbangan nitrogen.

5. Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat control infuse

sesuai kebutuhan. Atur kecepatan pemberian per jam sesuai anjuran. Jangan

meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”.

6. Ketahui kandungan elektrolit dari larutan nutrisional.

7. Jadwalkan aktivitas dengan istirahat. Tingkatkan teknik relaksasi.

4. Intervensi dari intoleransi aktivitas:

Tujuan: mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur.

Kriteria hasil:

melaporkan tidak adanya angina/terkontrol dalam rentang waktu selama pemberian obat.
Intervensi:

1. Pantau pasien terhadap tanda intolenransi aktivitas, dan minta pasien untuk

merentang aktivitas dan yang diprogramkan.

2. Mati dan laporkan gejala-gejala curah jantung menurun atau gagal jantung: TD

menurun, ekstremitas dingin, oliguria, nadi perifer menurun, FJ meningkat.

3. Pantau M & H dan waspadai haluaran urine <30 ml/jam. Auskultasi lapang paru

setiap dua jam terhadap krekels, yang dapat terjadi pada retensi cairan dengan gagal

jantung.

4. Palpasi nadi perifer pada interval sering. Waspadai ketidakteraturan dan penurunan

amplitude, yang merupakan sinyal gagal jantung.

5. Berikan O2 dan obat-obatan sesuai program.

6. Selama periode akut dari curah jantung menurun dan sesuai program, dukung pasien

dalam mempertahankan tirah baring dengan mempertahankan barang-barang milik

pribadi dalam jangkauan, member situasi yang tenang, dan batasi pengunjung untuk

memastikan periode istirahat tanpa gangguan.

7. Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila ke kamar mandi diizinkan.

8. Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak pasif atau dibantu seperti ditentukan

oleh toleransi aktivitas dan keterbatasan aktivitas. Konsul dengan dokter tentang tipe

dan jumlah latihan di tempat tidur yang dapat dilakukan bila kondisi pasien

membaik

9. Bila tepat, ajarkan pasien mengukur FJ sendiri untuk mengukur toleransi latihan.

10. Pastikan pasien menjalani istirahat tanpa gangguan ≥90 menit. Rencanakan aktivitas

yang sesuai.
5. Intervensi untuk diagnosa ansietas:

Tujuan: mengidentifikasi dan mengenal perasaan pasien.

Kriteria hasil:

menyatakan penurunan ansietas/takut.

Intervensi:

1. Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman/situasi. Dorong

mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, kehilangan, takut dll.

2. Catat adanya kegelisahan, menolak dan menyangkal mengikuti program medis.

3. Mempertahankan kepercayaan.

4. Kaji tanda verbal/nonverbal kecemasan dan tinggal dengan pasien. Lakukan

tindakan bila pasien menunjukkan perilaku merusak.

5. Terima tetapi jangan diberi penguatan terhadap penggunaan penolakan. Hindari

konfrontasi.

6. Orientasikan pasien atau orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang

di harapkan. Tingkatkan partisipasi bila mungkin. Jawab semua pertanyaan secara

nyata. Berikan informasi konsisten; ulangi sesuai indikasi.

7. Anjurkan pasien atau orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan seseorang,

berbagi pertanyaan dan masalah.

8. Berikan periode istirahat atau waktu tidur tidak terputus, lingkungan tenang, dengan

tipe kontrol pasien, jumlah rangsangan eksternal.

9. Dukung kenormalan proses kehilangan, melibatkan waktu yang perlu untuk

penyelesaian.

10. Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat.


11. dukung kemandirian, perawatan sendiri dan pembuatan keputusan dalam rencana

pengobatan.

12. dukung keputusan tentang harapan setelah pulang.


DAFTAR PUSTAKA

1. Agustina. 2011. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) pada Laki-Laki 54 Tahun

Memiliki

2. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi

Keperawatan.Jakarta:EGC

4. Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

5. Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

6. Reeves, Charlene J., dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba

Medika

7. Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai