Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

Dosen Pembimbing :
KUNI PURWANI, S.Kp. M.Biomed

Disusun oleh :
NAMA : KARTIKA SARI
NIM : 3720190037

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN (NERS)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT PARU OBSRUKTIF KRONIK (PPOK)

A. Pengertian PPOK
Penyakit Paru Obsruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan penyakit paru–paru yang ditandai
dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-paru. Penyakit ini merupakan
penyakit yang mengancam kehidupan dan mengganggu pernafasan normal
(WHO, 2016).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dicirikan
oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan
aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respon inflamasi
paru yang abnormal terhadap pertikel ataupun gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus dan perubahan pada
sistem pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2013).
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko,
seperti banyaknya jumlah perokok, serta pencemaran udara didalam ruangan
maupun diluar ruangan (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011).

B. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Jackson
(2014) yaitu : Asma , Bronkitis kronic, Emfisema.
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2009 yaitu:
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea, terdapat paparan terhadap faktor resiko, spirometri :
normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1, spirometri :
FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri: FEV1 < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: sesak napas derajat sesak 3 dan 4, eksaserbasi lebih sering
terjadi, spirometri: FEV1 < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: pasien derajat III dengan gagal napas kronik, disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan, spirometri:
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30%.

Table skala sesak berdasarkan GOLD tahun 2017


Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas Berat 0
Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1
1 tingkat
Berjalan lebih lambat karena merasa sesak 2
Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa 3
menit
Sesak bila mandi atau berpakaian 4

C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) :
a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
b. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
d. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walau pun tidak merokok.

D. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi paru-paru
Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru- paru
adalah berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama
dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu bagian
yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Setiap paru- paru terbagi lagi
menjadi beberapa sub-bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang
disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri
dipisahkan oleh sebuah ruang yang disebut mediastinum (Evelyn, 2009).

Gambar 1.1 Anatomi paru-paru

Sumber : Hadiarto (2015)

Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura.


Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura
viseralis yaitu selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan
pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara
kedua pleura terdapat rongga yang disebut cavum pleura (Guyton, 2007).
Gambar 1.2 Paru-paru manusia

Sumber : Hedu (2016)

Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke


dalam sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.
a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal,
dan faring.
b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus
dan alveolus paru.

Menurut Alsagaff dan Mukty (2010) sistem pernapasan terbagi menjadi


dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam
paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan
fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot
pernafasan dibagi menjadi dua yaitu :
a. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.

2. Fisiologi paru
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding
dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena
memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara
paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007).
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah
dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen
bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan
karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan
metabolisme seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar
pasokan kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah
paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung- gelembung
paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen
dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada
lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia
surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
(Yunus, 2007).
Menurut Guyton (2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan
dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu :
a. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara
antara alveoli dan atmosfer.
b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
c. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan
cairan tubuh ke dan dari sel.
d. Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan.

Pada waktu menarik nafas atau inspirasi maka otot-otot pernapasan


berkontraksi, tetapi pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif.
Ketika diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada
kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga
diafragma dan tulang dada menutup dan berada pada posisi semula
(Evelyn, 2009).
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas
tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi
terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai 6 mmHg
dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam
dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke
dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke
posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada
seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit
positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru (Alsagaff & Mukty,
2010).
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis
eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke
atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai
udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi
(Miller et al, 2011).
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari
alveoli ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk
karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke
tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas
dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi.
Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton,
2007).
Gambar 1.3 Fisiologi Penapasan Manusia

Sumber : Hedu (2016)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru manusia


adalah sebagai berikut :

a. Usia

Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan dapat
berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan
terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial,
penurunan kapasitas paru.

b. Jenis kelamin

Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari pada
funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-laki
lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki- laki lebih
tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.

c. Tinggi badan
Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi lebih
tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti, 2015).

E. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi
sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan. (Jackson, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara
dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps. (Grece & Borley, 2011).
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK muncul sebagai modifikasi dari
respons inflamasi saluran nafas terhadap iritan kronik seperti merokok.
Mekanisme untuk menjelaskan inflamasi ini tidak sepenuhnya dimengerti tetapi
mungkin terdapat keterlibatan genetik. Pasien bisa mendapatkan PPOK tanpa
adanya riwayat merokok, dasar dari respons inflamasi pasien ini tidak diketahui.
Stress oksidatif dan penumpukan proteinase pada paru selanjutnya akan
mengubah inflamasi paru. Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan
karakteristik perubahan patologis pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah
memberhentikan merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, walaupun
autoantigen dan mikroorganisme persisten juga berperan. Perubahan yang khas
pada PPOK dijumpai pada saluran nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah
paru. Perubahan patologi tersebut meliputi: inflamasi kronik, dengan
peningkatan sejumlah sel inflamasi spesifik yang merupakan akibat dari trauma
dan perbaikan berulang. Secara umum, inflamasi dan perubahan struktur pada
jalan nafas meningkat dengan semakin parahnya penyakit dan menetap
walaupun merokok sudah dihentikan.
F. Pathway

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008) pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah perkembangan gejala-gejala yang
merupakan ciri dari PPOK yaitu : malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya
yang muncul di pagi hari. Napas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas
pendek akut. Menurut Li dan Huang (2012), penderita PPOK akan mengalami
hipoksemia, hipercapnea sampai pada gangguan kognitif.
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi, keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang
biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik merupakan batuk yang hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Berdahak kronik, kadang –kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Sesak napas, terutama pada saat melakukan
aktivitas, seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang
bersifat progresif lambat sehingga sesak napas ini tidak dikeluhkan. Anamnesis
harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.
Pada pasien dengan PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang dipengatuhi
konstraksi otot dan kekuatan otot pernapasan. Hilangnya daya elastis paru pada
PPOK menyebabkan hiperinflasi dan obstruksi jalan napas kronik yang
mengganggu proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar
tidak seimbang serta terdapat udara yang terjebak (air trapping). Air trapping
dalam keadaan lama menyebabkan diafragma mendatar, kontraksi otot kurang
efektif dan fungsinya sebagai otot utama pernapasan berkurang terhadap
ventilasi paru. Berbagai kompensasi otot intercostal dan otot inspirasi tambahan
yang biasa dipakai pada kegiatan tambahan akan dipakai terus-menerus sehingga
peran difragma menurun hingga 65%. Volume napas mengecil dan napas
menjadi pendek sehingga menjadi hipoventilasi alveolar yang akan
meningkatkan konsumsi oksigen dan menurunkan daya cadang penderita.
Frekwensi pernapasan atau frekwensi nafas (RR) meningkat sebagai upaya
untuk mengkompensasi volume napas yang mengecil.

H. Penatalaksanaan
Tata laksana PPOK dibedakan atas tata laksana konik dan tata laksana
eksaerbasi, masing-masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya. Secara
umum tata laksana PPOK( Kemenkes, Keputusan Menteri Kesehatan repoblik
Indonesia no 1022/menkes/sk/XI/ 2008 tentang pedoman pengendalian penyakit
paru obstruktif kronik, 2008), sebagai berikut :
1. Pemberian obat-obatan (farmakologik)
Bronkodilator, dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik. Anti inflamasi, pilihan utama
bentuk methilprednisolon atau prednison.
Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid
positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
Antibiotik, tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka panjang untuk
pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan
dengan pola kuman setempat. Mukolitik, tidak diberikan secara rutin, hanya
digunakan sebagai pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang lengket
dan kental. Antitusif, diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat
mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
2. Tatalaksana Non farmakologik
a) Rehabilitasi, diantaranya edukasi, berhenti merokok, latihan fisik dan
respirasi, yang dimaksudkan adalah terapi modalitas. Terapi modalitas
untuk penyakit pernapasa terdiri dari latihan batuk efektif, latihan nafas
dalam, latihan pernapasan, diafragma, fisioterapi dada dan terapi
oksigen.
b) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat
menyebabkan hiperkapnea dan memperburuk keadaan. Penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki
kualitas hidup.
c) Pengukuran saturasi oksigen dengan pulseoksimetri (SpO2) dapat
digunakan untuk evaluasi dan kontrol hipoksemia pada PPOK.
d) Breathing Relaxation dengan Balloon Blowing,Breathing relaxation atau
breathing exercise adalah suatu metode nonfarmakologik yang bernilai
mahal yang akan membantu seseorang dalam keadaan sakit. Pada pasien
PPOK latihan relaksasi pernapasan dapat mengurangi sesak (Volvato,
2015)

I. Komplikasi PPOK
Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut (Soemantri,
2009) :
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2< 55 mmHg dengan
nilai saturasi O2< 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul
sianosis.
2. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO 2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan
takipnea.
3. Infeksi Saluran Pernafasan
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsan otot polos bronchial, dan edema mukosa. Terhambatnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan menimbulkan dyspnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru- paru)
harus diobservasi, terutama pada pasien dyspnea berat.Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronchitis kronis, namun beberapa pasien emfisema
berat juga mengalami ini.
5. Disritmia Jantung
Disritma jantng timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain, dan
efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
6. Status Asmatikus
Status asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan
asma bronchial.Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan,
dan sering kali tidak memberikan respons terhadap terapi yang biasa
diberikan. Penggnaan obat bantu pernafasan dan distensi vena leher sering
kali terlihat.

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Faal Paru
a. Spirometri (FEV1, FEV1 prediksi, FVC, FEV1/FVC) Obstruksi ditentukan
oleh nilai FEV1 prediksi (%) dan atau FEV1/FVC (%). FEV1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%.
b. Peak Flow Meter
2. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun
kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan
tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien.
3. Analisa gas darah
Harus dilakukan bila ada kecurigaan gagal nafas. Pada hipoksemia kronis
kadar hemiglobin dapat meningkat.

Anda mungkin juga menyukai