Anda di halaman 1dari 130

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keandalan pengamatan manusia terhadap suatu subyek dalam suatu pengamatan sangat
terbatas. Oleh karena itu diperlukannya suatu alat atau obyek tertentu untuk dapat
membantunya dan yang dapat pula dipergunakan sebagai subyek dalam penelitian, di antaranya
adalah dengan mempergunakan hewan-hewan percobaan.
Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini. Kegunaan hewan
percobaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek yang diinginkan, sebagai model,
di samping itu di bidang farmasi juga digunakan sebagai alat untuk mengukur besaran kualitas
dan kuantitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia.
Tidak semua hewan coba dapat digunakan dalam suatu penelitian, harus dipilih mana
yang sesuai dan dapat memberikan gambaran tujuan yang akan dicapai. Hewan sebagai model
atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di
samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis
yang mirip kejadiannya pada manusia. Oleh karena itu, kita dapat dan lebih mudah
menggunakan hewan coba sebagai hewan percobaan.

1.2 Tujuan Percobaan


Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara-cara perlakuan pada hewan coba.
Tujuan Percobaan
Dapat mengetahui cara-cara penanganan dan perlakuan terhadap hewan coba
mencit (Mus musculus), tikus, dan kelinci

1.3 Prinsip Percobaan


Penanganan hewan coba mencit (Mus musculus) dengan memegang ekor mencit dengan jari,
sedangkan tangan kanan memegang bagian leher mencit selanjutnya diberi perlakuan pada hewan
coba (Mus musculus).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut
obat, dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan obat.
Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang (the art of weighing). Obat
didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis
penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang
infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai
keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan
menyediakan obat (Marjono,2011:76).

Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan
sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek teraupetis obat
berhubungan erat dengan efek dosisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup
tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme (Tjay,2007:172).

Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci dalam mengembangkan
suatu penelitian dan telah banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang
berbagai macam penyakit seperti: malaria, filariasis, demam berdarah, TBC, gangguan jiwa dan
semacam bentuk kanker. Hewan percobaan tersebut oleh karena sebagai alternatif terakhir sebagai
animal model. Setelah melihat beberapa kemungkinan peranan hewan percobaan, maka dengan
berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya hewan percobaan, akan berakibat penurunan standar
keselamatan obat-obatan dan vaksin, bahkan dapat melumpuhkan beberapa riset medis yang
sangat dibutuhkan manusia (Sulaksono,1992:318).

Hewan coba/hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus
diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk penelitian
pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan
penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan
pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia
adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang
menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan,
sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap
manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam
keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian
biomedis (Sulaksono,1992:321).

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan
percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :

 Hewan liar.

 Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka

 Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).

 Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistem isolator.

Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan
berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan
percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (Malole,1989:475) :

 Faktor internal pada hewan percobaan sendiri: umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan
kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.

 Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi
dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan
sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.

 Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan
terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan
percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di
samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu
mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi
kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan
atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan.
Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus
melalui proses absorpsi terlebih dahulu.

Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh,
sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang
merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008:127).

Semua jenis hewan percobaan harus ditempatkan dalam lingkungan yang stabil dan sesuai
dengan keperluan fisiologis, termasuk memperhatikan suhu, kelembaban dan kecepatan
pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari. Kebanyakan hewan coba tidak dapat
berkembangbiak dengan baik pada kamar lebih tinggi dari suhu 300C. Mencit, tikus dan marmut
maksimum perkembangbiakannya pada suhu 300C, kelinci pada suhu 2500C (Malole,1989:481).

Tabel 1.1 Ukuran dan alat yang digunakan untuk pemberian obat pada hewan percobaan.

Hewan IV IP SC IM Oral
Mencit Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
27,5 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1
/2inci ¼ inci ¼ inci ¾ inci 2 inci
Tikus Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
25 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1 inci 1 inci 1 inci 2 inci
Kelinci Jarum Jarum Jarum Jarum Kateter karet
25 g 21 g 25 g 25 g no. 9
1 inci 1¼ inci 1 inci 1 inci
Marmut - Jarum Jarum Jarum -
25 g 25 g 25 g
1 inci 1 inci ¾ inci
Kucing - Jarum Jarum Jarum -
21 g 25 g 25 g
1½ inci 1 inci 1 inci
(Harmita,2008: 64)
Tabel 1.2 Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia.

Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia


percobaan 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
20 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
200 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,2
2 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg
(Harmita,2008: 66)

Tabel 1.3 Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan

Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian


Hewan
IV IM IP SC PO
Mencit 20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2-5,0 0,5-5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2,0 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
(Harmita,2008: 67)

Tabel 1.4 Data anastesi umum pada hewan percobaan.

Hewan Anastetik Kepekatan Dosis Rute


percobaan larutan pemberian
dan pelarut
Mencit Eter kloralose uretan 2% dalam 300 mg/kg Inhalasi
Dan tikus NaCl 1-1,25 g/kg i.p
fisiologis i.p
10-25%
dalam NaCl
Nembutal 65 mg/ml 40-60 mg/kg i.p
(kerja singkat)
80-100 mg/kg
(kerja lama)
Pentobarbital 4,5-6% 45-60 mg/kg i.p
dalam NaCl 35 mg/kg i.v
fisiologis
Na heksobarbital 7,5% dalam 75 mg/kg i.p
NaCl 47 mg/kg i.v
fisiologis
4,7% dalam
NaCl
Kelinci Eter 1% dalam 100 mg/kg Inhalasi
(kloralose+nembutal) NaCl i.v
fisiologi
65 mg/ml
Uretan 10% dalam 19 g/kg i.p/i.v
NaCl
fisiologis
Pentobarbital 5% dalam 22 mg/kg i.v
NaCl (kerja lama)
fisiologis 11 mg/kg
(kerja singkat)
Pentotal 5% dalam 10-20 mg/kg i.v
air suling (menurut
jangka waktu
kerja)
Morfin 5% dalam 100 mg/kg s.c
air suling
Marmut Eter Inhalasi
Kloroform Inhalasi
Uretan 10% dalam 19 g/kg i.p
NaCl
fisiologis
hangat
Kloralose 2% dalam 150 mg/kg i.p
Pentobarbital NaCl 28 mg/kg
Nembutal fisiologis

Seperti pada
tikus
(Harmita,2008: 67)

BAB III
METODE KERJA

 Alat dan Bahan

 Alat : kanula,spoit dan rang besi.

 Bahan : aquadest, NaCMC, Propranolol

 Hewan coba: mencit (Mus musculus)

 Cara kerja

 Persiapan Hewan

 Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat
kasa kandang.

 Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri.

 Ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna.

 Mencit siap untuk diberikan perlakuan.

2. Cara pemberian secara oral.

 Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala.

 Disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium
farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut
fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih
aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya.

Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga hewan coba
dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari pada jari kelingking
kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan coba siap untuk diberikan
perlakuan.

Metode yang biasa dilakukan dalam penanganan hewan coba mencit :

1. Handling:

Ekor dipegang di daerah tengah ekor dengan tangan kiri, lalu Leher dipegang dengan tangan kanan,
dan jangan terlalu menggencet.Telunjuk dan ibu jari memegang kulit leher, jari kelingking
menjepit ekor.

2. Per oral

Mencit atau tikus diletakkan di atas ram kawat, ekor ditarik. Jarum suntik yang sudah disolder
dimasukkan ke dalam mulut mencit namun harus diperhatikan proses masuknya jarum agar tidak
melukai organ dalam mencit. Setelah selesai, tarik kembali jarum tersebut secara perlahan.

3. Intramuskular

Pembantu memegang paha, penyuntik memegang paha kiri dari depan dengan tangan kiri.Jarum
ditusukkan dari balik dengan sudut tegak lurus terhadap permukaan kulit kira-kira ditengah paha
sehingga tusukan sampai ke otot bicep femoris.Lalu suntikkan bahan perlakuan, tarik jarum,
tempat suntikan dipijat pelan-pelan.

4. Intraperitoneal
Mencit dihandling dengan benarTusukkan jarum disisi dekat umbilicus / kira-kira 5mm disamping
garis tengah antara 2 puting susu paling belakangTarik jarum lalu lepaskan mencit.

5. Subkutan

Obat/bahan disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung, terasa longgar bila jarum digerak-
gerakkan, berarti suntikan sudah benar.

Pada praktikum dilakukan perlakuan pada hewan coba mencit dengan cara, pertama-tama ekor
mencit dipegang dan diangkat dengan tangan kanan, mencit dibiarkan mencengkram alas penutup
kandang ( kawat rang), sehingga frekuensi gerak mencit dapat diminimalkan. Cengkram kulit
punggung mencit sebanyak-banyaknya dan seerat mungkin dengan tangan kiri, hingga kepala
mencit tidak dapat digerakkan ke kanan dan kekiri. Jari tengah dan jari manis mencengkram perut
mencit dan ekor mencit dililitkan pada jari kelingking.

Pemberian secara oral mencit pada umumnya berat 20-30 gram maksimal pemberian maksimal
1cc. Sebelum digunakan, hewan coba terlebih dahulu dipuasakan makan selama 8 jam dengan
maksud untuk mengurangi variasi biologis dan efek-efek lainnya. Dalam hal ini mencit jantan
lebih bagus digunakan karena siklus hormonnya lebih homogen dibandingkan hewan yang betina
dan waktu tidur hewan betina empat kali lebih lama dari hewan jantan bila diberi obat.

Mencit harus diberikan penomoran sehingga dapat memberikankemudahan untuk mengetahui


perbedaan hewan satu dengan yang lainnya, dapat menggunakan asam pikrat atau dengan spidol
permanen. Untuk penggunaan di laboratorium yang hanya menggunakan sekitar 20-30
ekormencit, yang biasanya diberi kode pada badan atau bagian paha kaki mencit.

Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over dosis. Perlakuan
euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol dan kloroform.

Pada percobaan juga dilakukan pembedahan mencit untuk pengenalan organ tubuh bagian dalam
mencit. Pembedahan dilakukan mula-mula dengan mengeuthanasia mencit dengan menggunakan
eter kemudian mencit dibedh perlahan dan hati hati. Organ tubuh bagian dalam mencit memiliki
struktur anatomi yang sama dengan manusia mulai dari jantung, ginjal, paru-paru dan organ tubuh
lainnya.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Cara handling tikus dan mencit

 Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga
hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari
pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan
coba siap untuk diberikan perlakuan.

 Pemberian obat pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan dengan cara per oral, intra
peritonial, intra vena, subkutan, dan intra muscular.
 Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan mula-mula
dengan cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai
prosedur yang ditentukan.

 Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over
dosis. Perlakuan euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol
dan kloroform.

 Pembedahan pada mencit dan tikus dilakukan setelah hewan coba mati setelah
euthanasia.

 Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan mula-mula dengan
cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai prosedur yang ditentukan.

 Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over dosis.
Perlakuan euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol dan kloroform.

 Cara pembedahan [pada hewan coba dilakukan dengan langkah-langkah;

 Mula-mula mencit dieuthanasia dengan obat bius (Eter) didalam stoples tertutup.
Kemudian dibasuh badan mencit yang telah mati dengan etanol. Dibedah dengan
menggunakan pisau bedah, Mula-mula diiris pada bagian perut dengan hati-hati agar
organ dalam mencit tidak rusak. Pembedahan dilakukan bertahap dengan hati-hati,
kemudian Organ dalam mencit dikeluarkan dan dipisahkan.
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, berbagai


produk kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi
dan perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan obat dan cara
penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis, sudah seharusnya mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan
juga dari segi farmakologi. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute pemberian
obat, hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan digunakan. Selain
itu dengan memahami rute pemberian obat seorang farmasis dapat menentukan cara tebaik
yang dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien
apakah menggunakan obat peroral, parenteral, tropical, vaginal atau dengan cara lain yang
dianggap dapat memberikan hasil maksimal.

I.2 Tujuan Percobaan

 Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat

 Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul

 Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat perbedaan rute pemberian


obat terhadap efek yang timbul
 Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan

I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian obat kepada kelinci percobaan melalui oral, intraperitoneal, intra


muscular, intravena, dan subkutan dengan dosis yang berbeda yang dipengaruhi
berat badan hewan percobaan. Serta mengamati pengaruh yang dihasilkan oleh
masing masing cara pemberian.

BAB II

DASAR TEORI

Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

 Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

 Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

 Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

 Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

 Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter


 Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute

 Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi,
dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat
dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat
misalnya salep.

Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:

Cara/bentuk sediaan parenteral

 Intravena

Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi
kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-
paruhnya (t1/2) pendek).

Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil (di
bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus
isotonis dan isohidris.

 Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action segera.

 Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%

 Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih
besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh

 Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak
berpengaruh.

 Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa
seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
 Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.

 Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.

 Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.

Keuntungan rute ini adalah:

 Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak
digunakan IV daripada melalui SC

 Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat

 Efek sistemik dapat segera dicapai

 Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan

 Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan
menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.

Kerugiannya adalah meliputi:

 Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem
sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar

 Perkembangan potensial thrombophlebitis

 Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi
septik, dan

 Pembatasan cairan berair.


 Intramuskular

Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan
suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada
besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses
absorpsi).

 Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat
atau paha.

 Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi pembawa air
untuk minyak.

 Larutan sebaiknya isotonis.

 Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel

 Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.

 Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi, sehingga dapat
menimbulkan keracunan.

 Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot dada,


sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.

 Subkutan

Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat
dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang
sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak
lebih dari 1 ml.

 Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris

 Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.

 Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi.

 Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya


penyerapan.

 Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam
pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan
membentuk abses.

 Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v

 Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.

 Intraperitonial

Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).Disini
obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga
durasinya agak cepat.

Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat
diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai
dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda
melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama
proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.

Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena
mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara oral,
sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu
harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara
lain:

 Bentuk Sediaan

Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak


langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan
yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.

 Sifat Kimia dan Fisika Obat

Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.

 Faktor Biologis

Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh
darah pada tempat absorpsi.

 Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya
penyakit tertentu.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi


bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut
(metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya
bersama makanan.

Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan
saat pasien koma.

BAB III

PERCOBAAN

3.1 Alat & Bahan


 Alat

 Kawat kandang

 Alat suntik & Jarum Suntik

 Sonde

 Timbangan

 Stopwatch

 Spidol

 Koran

 Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)

 Sarung tangan & Masker

 Beaker Glass

 Bahan

 Kapas

 Alkohol

 Diazepam 5 mg/70 kg BB Manusia

 Mencit putih 5 ekor

 Aqua Pro Injeksi

3.2 Dosis

Factor konversi

Manusia mencit : BB tikus 20 g = 0,0026


Bobot mencit

Hewan Berat Mencit


Mencit ke-1 34 g
Mencit ke-2 34 g
Mencit ke-3 32 g
Mencit ke-4 36 g
Mencit ke-5 33 g

Perhitungan Dosis

No. Hewan Bobot Mencit Dosis

1.

Mencit 1 34g x 5mg/ml = 0,0221mg/ml

x 1ml = 0,00442 ml

0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml

2.

Mencit 2 34g x 5mg/ml = 0,0221mg/ml

x 1ml = 0,00442 ml
0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml

3.

Mencit 3 32g x 5mg/ml = 0,0208mg/ml

x 1ml = 0,00416 ml

0,004162 ml x 20 ml = 0,0832 ml

4.

Mencit 4 36g x 5mg/ml = 0,0234mg/ml

x 1ml = 0,00468 ml

0,00468 ml x 20 ml = 0,0936 ml

5.

Mencit 5 33g x 5mg/ml = 0,0215mg/ml

x 1ml = 0,0043ml

0,0043 ml x 20 ml = 0,086 ml

3.3 Prosedur Kerja

 Pemberian secara oral

 Ambil tikus jantan putih

 Siapkan Sonde
 Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat
suntik berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit tikus dan
diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit
pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai
esofagus.

 Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

 Pemberian secara intra peritoneal

 Ambil tikus putih jantan

 Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat

 Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih


tinggi dari kepala, larutan oral obat disuntikkan pada bagian perut sebalah
kanan bawah tepat dibawah jantung diatas rongga hati.

 Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

 Pemberian secara intramuscular

 Ambil tikus putih jantan

 Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat

 Suntikkan pada bagian paha tikus

 Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

 Pemberian secara subkutan

 Ambil tikus putih jantan


 Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat

 Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk

 Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

 Pemberian secara intravena

 Ambil tikus putih jantan

 Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat

 Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar


sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor didilatasi
dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti
alkohol. Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.

 Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Hewan percobaan : Mencit

Obat : Diazepam 5mg/70 kg Manusia


Onset Durasi
Waktu Waktu Waktu
Hewan Rute Dosis Kerja Kerja
Pemberian Hitung Kembali
Obat Obat
Mencit 15.08
Oral 0,0884ml 14.35 16.14 33 Menit 66 Menit
Ke-1
Mencit
Sc 0,0884ml 14.39 15.05 16.15 26 Menit 70 Menit
Ke-2
Mencit
Iv 0,0832ml 14.45 15.05 16.10 30 Menit 65 Menit
Ke-3
Mencit
Ip 0,0936ml 14.35 15.29 16.05 44 Menit 36 Menit
Ke-4
Mencit
Im 0,086ml 14.50 15.10 16.10 8 Menit 65 Menit
Ke-5

Mencit yang mengantuk akan diam atau umumnya disudut ruang dan tampak lunglai.
Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi apabila tubuhnya dibalik dan berada posisi
terlentang amaka tidak akan kembali terlungkup. Jadi, untuk melihat kapan terpatnya terjadi
respon awal sedasi maka harus sering membalikkan badan mencit pada posisi terlentang.

BAB V

PEMBAHASAN

Pada pemberian rute obat kehewan uji, dilakukan teknik penyuntikkan. Penyuntikkan hewan
percobaan digunakan sebagai cara yang efektif untuk pemberian obat kepada hewan percobaan.
Keuntungan pemberian obat secara suntikan adalah efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian per oral. Pemberian secara oral atau spoid yang dilengkapi jarum
oral atau sonde oral (berujung tumpul). Hal ini dimaksudkan untuk menimalisir cedera ketika
hewan percobaan diberikan sediaan uji. Penyuntikan juga diberikan secara intraperitoneal,
intramuscular, intravena dan subkutan.
Pada percobaan ini, kelompok kami menggunakan lima ekor mencit. Masing-masing mencit
diberikan rute pemberian obat yang berbeda-beda. Banyaknya volume obat yang akan diinjeksi
untuk mencit tergantung dengan berat badan mencit dengan rumus VAO. Data yang dihasikan
untuk volume injeksi mencit berdasarkan berat bedan.

Berdasrkan hasil pengamatan yang kami lakukan pemberian obat secara per oral, ketika
disuntikkan deiazepam mencit terlihat langsung tenang. Setelah 13 menit mencit terlihat sangat
peka terhadap diazepam yaitu mencit terlihat tidur, tidak tegak walaupun diberi rangsangan nyeri.
Setelah menit ke 33 mencit terlihat tidur lebih nyenyak. Setelah menit ke 66 mencit mulai aktif
kembali karena efek dari obat diazepam telah habis.

Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok kami, pemberian obat secara subkutan ketika
disuntikkan diazepam mencit memberikan efek tenang di menit ke 18. Setelah menit ke 26 mencit
terlihat tidur lebih tenang (tetap tidur walau posisi sudah dibalik terlentang). Pada menit ke 70
mencit mulai aktif kembali karena efek dari obat diazepam telah habis. Pada rute pemberian obat
secara subkutan umumnya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama
sampai 70 menit sampai obatnya habis.

Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok kami, pemberian obat secara intraperitonial
ketika disuntikkan diazepam mencit terlihat mencit langsung tenang. Setelah menit ke 44 terlihat
tidur ( setelah diberi rangsangan tubuhnya di balik pada posisi terlentang dan tidak kembali
tertelungkup ). Setelah menit ke 36 menci terbangun karena efek dari diazepam telah habis.

Pada hasil percobaan kelompok kami, pemberian intramuscular lebih cepat yaitu 8 menit
pada waktu onsetnya terlihat mencit tidur (walau diberi rangsangan nyeri). Pada menit ke 65
mencit terbangun karena efek dari diazepam telah habis.

Pada pemberian obat secara intravena, yang menurut literature reaksi akan berlangsung
dengan cepat, tapi pada kelompok kami tidak mendapatkan hasil yang demikian yaitu terjadi onset
di menit ke 30 setelah diberi obat. Hal itu dikarenakan kegagalan dalam penyuntikan. Pada saat
penyuntikkan kemungkinan obat yang disuntikkan tidak masuk ke dalam pembuluh darah vena
pada ekor mencit.
Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan sehingga efek yang
dihasilkan tidak sesuai dengan literature . hal ini dikarenakan cara penyuntikkan yang salah juga
karena kami disini belum begitu mahir dalam melakukan penyuntikkan sehingga efek yang
dihasilkan tidak sesuai.

BAB VI

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kami peroleh dari percobaan ini adalah

 Rute pemberian obat dapat melalui oral, intravena, intramuscular, intraperitonial,


dan subkutan, maupun cara lain.

 Pada percobaan ini dihasilkan urutan efektifitas obat dari yang tertinggi hingga
yang terrendah yaitu intravena (IV), intramuscular (IM), intraperitonial (IP),
subcutan (SC), dan oral

 Pada percobaan ini diketahui bahwa pemberian melalui intravena menghasilkan


efek tercepat dibandingkan rute lainnya, hal ini disebabkan obat tidak perlu
mengalami proses absorbs dan dapat masuk langsung melalui aliran darah yang
kemudian berefek pada individu.

 Sedangkan pemberian oral menghasilkan efek yang lebih lambat, hal ini
disebabkan obat harus mengalami proses penceraan di gastroinstetina sehingga
memperlambat obat memberikan efek.

 Masing masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri


seperti penggunaan oral memiliki absorbs yang lambat namun dapat digunakan
oleh siapa saja tanpa menggunakan tenaga ahli, sedangkan intravena dan
intramuscular memberikan efek yang cepat namun perlu bantuan tenaga ahli untuk
menggunakannya selain itu resiko infeksi juga dapat meningkat. Sedangkan
intraperitonial dan subcutan meski memiliki efek yang sama seperti intravena dan
intramuscular namun memiliki harga yang cukup tinggi.

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme
dan faktor-faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

I.3 Prinsip Percobaan


Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.

BAB II

DASAR TEORI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

 Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi


dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut
berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-


asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada
perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo
merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator
lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan
pada asetilator lambat antara 140-200 menit.

Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-
asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai
masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator
lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki lebih besar,
misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga menunjukkan
asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh ternadap
kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.

 Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik
atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.

Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine,


sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek
diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan sebagai
asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami deaminasi
oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol, pada kucing
terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam glukuronat,
karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil transferase. Fenitoin, pada
manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-orto-hidroksifenitoin.

 Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama
baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus
jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi O-
aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme
juga tergantung pada macam substrat.

Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.

Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

 Perbedaan Umur

Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap
obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan
pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus
tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang sama pada tikus
dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi
yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang pada orang dewasa delapan
jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah.
Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi
kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam
jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah,
akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam
jumlah yang relative sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan
klorpromazin dapat menimbulkan neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini
disebabkan terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa
endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin
yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan.

 Penghambatan enzim Metabolisme

Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu


senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas.
Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat
menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga
menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat
menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino
salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula
toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)-
warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya (hipoprotrombonemi).
Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

 Induksi enzim metabolism

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu


senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan
karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan.
Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau prases induksi enzim
mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma,
sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan
metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh karena itu,
penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital, maka dosis
warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik aromatik
hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu
sitokrom P-450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin,
fenasetin, pentazosin, dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok =
4,1 jam, sedang pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam. Fenobarbital, dapat
meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron,
bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon,
dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan
pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom P-450 oleh
fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen, sehingga pembentukan
metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek hepatotoksisitasnya menjadi lebih
besar.

 Faktor Lain-Lain

Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan,
keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan
obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati,
misal kanker hati. (Siswandono, 1995)

 Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons


suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat.
Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang sama
diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang, individu
menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat, suatu hal
yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya
disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme
imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.

Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran yang
relative pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan


terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu
seorang pasien pada waktu yang berbeda.

 Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor


Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang
relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

 Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons


terhadap antagonis-antagonis farmakologik.

 Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-


perubahan dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh
peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan
efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam
beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

 Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor


Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain

 Interaksi obat

Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.

 Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular
terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus
berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak
berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya
berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik.

Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.

 Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.

 Pengaruh lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap


obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam
asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya
teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan
demikian mengurangi respons penderita.( Tanu, 2007;hal 828-829 )

 Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah
itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang
diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang
dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya
sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga mengoptimalkan
proses penyembuhan.

Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting
seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

BAB III

PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat
 Kawat kandang
 Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
 Timbangan
 Stopwatch
 Spidol
 Koran
 Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
 Sarung tangan & Masker
 Beaker Glass
Bahan
 Kapas
 Alkohol
 Diazepam 5 mg (sediaan 100 mg/2 ml)
 4 ekor mencit (2 betina dan 2 jantan)
 Aqua Pro Injeksi

3.2 Prosedur Kerja

 Tikus jantan putih ditimbang

 Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit

 Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala

 Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat

 Diamati kelakuan tikus setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek dan
hilang efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II dan III.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

 Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kandang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.

 Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :

 Sangat resisten : tidak ada efek.

 Resisten : tikus tidak tidur, tetapi mengalami ataksia.

 Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.

 Peka : tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri.

 Sangat peka : mati.

Hewan : 2 mencit betina; 2 mencit jantan

Berat Badan mencit jantan : (31g),(44g)

Berat Badan mencit betina : (21g),(29g)

Obat yang digunakan : Diazepam 5 mg (sediaan 100 mg/2 ml)

No. Hewan Bobot Mencit Dosis

1.

Mencit jantan 1 31g x 5mg/ml = 0,0202mg/ml

x 1ml = 0,00404 ml

0,00404 ml x 20 ml = 0,0884 ml
2.

Mencit jantan 2 44g x 5mg/ml = 0,0286mg/ml

x 1ml = 0,00442 ml

0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml

3.

Mencit betina 3 21g x 5mg/ml = 0,0137mg/ml

x 1ml = 0,00274 ml

0,00274 ml x 20 ml = 0,0548 ml

4.

Mencit betina 4 29g x 0.0026 x 5 mg = 0,0189mg/ml

x 1ml = 0,00378 ml

0,00378 ml x 20 ml = 0,0756 ml

Waktu Waktu
Waktu
Hilang Kembali Onset Durasi
Hewan Obat Cp Pemberi
Righting Nighting Kerja Obat Kerja Obat
an Obat
Reflex Reflex

Diazepam 5
Mencit 1 Mg/70 Kg Ip 14.34 15.14 16.05 40 Menit 51 Menit
Bb
Mencit 2 Diazepam 5
Mg/70 Kg Ip 14.38 15.05 16.15 27 Menit 70 Menit
Bb

Diazepam 5
Mencit 3 Mg/70 Kg Ip 14.35 15.05 16.15 30 Menit 70 Menit
Bb

Diazepam 5
Mencit 4 Mg/70 Kg Ip 14.40 15.14 16.10 34 Menit 56 Menit
Bb

BAB V

PEMBAHASAN

Adanya beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya variasi biologi
dan kelamin hal ini dapat diuji dengan perbandingan mencit dengan berat badan yang
berbeda dan perbedaan jenis kelamin. Hal ini dapat dibuktikan pada uji praktikum
farmakologi ini dengan menggunakan obat diazepam yang dilakukan melalui IP
(Intraperitoneal ).

Dari hasil percoaan diperolah data bahwa pada mencit jantan yang diberikan larutan
diazepam mengalami onset kerja obat selama 40 menit dan durasi kerja obat 51 menit.
Awalnya pada mencit 1 jantan mengalami aktifitas normal pada menit ke 14.13 mengalami
perubahan aktivitas hal itu tidak memberika efek yang diharapka karena waktu respon efek
obat yang dialami pada mencit 1 jantan dengan mencit lain lebih lama dan lambat hal ini
dapat disebabkan efek fisiologis mencit yaitu telah mengalami stess sebelum obat diberikan
atau lokasi pemberian obat yang kurang sesuai. Sedangkan pada mencit betina 1 dan 2
mengalami perbadaan onset kerja yang tipis. Masing-masing selama 30 menit dan 34 menit
hal ini cepat dibandingkan dengan jantan 1 dan 2 yang mengalami onset kerja lama yaitu
masing-masing 40 menit dan 27 menit.

Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda


dalam suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang
berlainan tidak pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang
sama pada waktu yang berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk
mendapatkan suatu intensitas efek yang sama pada individu-individu yang berlainan ,
diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.

Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan
perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu. Perbedaan tersebut
disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada pada tubuh pengguna,
jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan perbedaan jenis makanan yang
dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap individu.

BAB VI

KESIMPULAN

 Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap dosis
obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa tikus.
 Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan

 Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi penyerapan metabolism obat

 Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat dikarenakan tidak
memiliki kadarlemak dan air yang kecil dibandingkan dengan mencit jantan yang memiliki
kadar minyak dan air yang labih banyak.

 Jenis kelamin akan mempengaruhi respon oabt yang diberikan. Dimana jantan lebih cepat
memerikakn respon daripada betina karena pengaruh androgen.

DAFTAR PUSTAKA

Bisono. Operasi Kecil. Jakarta: EGC. 2003.p. 24-29


Boulton TB, Colin EB. Anestesiologi. Jakarta: EGC; 1994.p.108-133
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Dobron, Michael B. Penuntun Praktis anestesi.Jakarta: EGC. 1994.p. 89-103


Harvey, Richard A dan Champe, Pamela P.Farmakologi. Edisi IV.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran

Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC, 1997


Karakata S, Bob Bachsinar. Bedah Minor. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 1996

Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo

Sabiston. Buku Ajar Ilmu Bedah.bagian I. Jakarta: EGC. 1995.


Stringer, Janet L.Konsep Dasar Farmakologi.Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Schrock TR. Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC; 1995.p.113-119.


Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC:2004.p.247-
253.
Syarif, Amin. dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Gaya Baru. 2007

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“HIPNOTIKA & SEDATIVA”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf
lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga
disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf
pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula
spinalis).

Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik
misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat
depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ, psikotropik, antikonvulsi,
analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf pusat.

Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan
memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana dalam percobaan
ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan pada hewan coba
mencit (Mus musculus).

Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi
dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah
yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui dan memahami efek dari obat golongan barbiturat dengan jangka waktu
kerja yang berbeda pada hewan tikus putih.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat obat kelompok barbiturate termasuk yang bekerja depresan umum, berarti nekerja
depresif terhadap sejumlah besar fungsi dan organ organ system tubuh, tidak terbatas hanya pada
system saraf pusat, sama halnya dengan anastetika umum dan anastetika lokal , efek barbiturate
pun tidak spesifik, dan reversible. Manifestasi efek depresinya mungkin sekali tidak didasarkan
pada mekanisme kerja yang sama. Variasi dan substituent pada molekul barbiturate berpengaruh
pada daya larut obat obta ini dalam lemak, yang mempengaruhi pula secara langsung kecepatan
muncul efek, jangka waktu berlangsung efek, kecepatan biotransformasi, redistribusi, jenis efek
dan toksisitas senyawa barbiturate.

BAB II
DASAR TEORI

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta
terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal
dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat
dan susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan medula
spinalis (sumsum tulang belakang)

Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi (an=tanpa,
aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum yang bersifat
reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan dan kesadaran
ditiadakan, agak mirip dengan pingsan.

Anastetik umum digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi
serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Tahap-tahap anastesi antara lain:

 Analgesia

Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental tahap
berikutnya.

 Eksitasi

Kesadarn hilang dan terjadi kegelisahan (=tahap edukasi).

 Anestesi

Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut), gerakan
bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.

 Pelumpuhan sumsum tulang


Kerja jantung dan pernapasan berhenti. Tahap ini harus dihindari.

Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi


anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral. Pada
percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan
anastetik parenteral.

Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch
respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya
pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik. Selain itu
pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu mengukur respon
mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya mencit yang normal akan
menggerakkan kepala dan anggota badan lainnya dalam usaha melarikan diri, kemudian
hal yang sama tetapi dalam posisi berdiri, mencit normal akan meronta-ronta. Mencit yang
diam kemungkinan karena terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain
berkaitan dengan anastetik ialah uji ringhting refles.

Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun dalam


bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat sehingga timbul
berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan transmisi sinaps,
penurunan konsumsi oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP.

Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila diberikan
pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan fisiologis normal untuk
tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa ini diberikan untuk dosis yang
lebih rendah pada siang hari dengan tujuan menenangkan, maka disebut sedativa (obat
pereda). Perbedaannya dengan psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar
akan menyebabkan pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu
menyebabkan ketagihan.

Tidur adalah kebutuhan suatu makhluk hidup untuk menghindarkan dari pengaruh
yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Pusat tidur di otak mengatur fungsi fisiologis
ini. Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah lambat, stimulasi peristaltik
dan sekresi saluran cerna.
Tidur normal terdiri dari 2 jenis:

 Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang
berciri irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa gerakan otot
muka atau mata.

 Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.

Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak
ada rasa sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

 anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran

 anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia yang
dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik, orang Cina
menggunakanCanabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.

Golongan obat hipnotik-sedatif yaitu:

 Benzodiazepine

Contohnya: Klordiazepin, Klorozepat, Diazepam, Lorazepam, Oksazepam, Temazepam

 Barbiturat

Contohnya: Amobarbital, Aprobarbital, Barbital, Heksobarbital, Kemital, Mefobarbital,


Bupabarbital

Hipnotik lainnya contohnya: kloral hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon,


meprobamat

Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan
sistem saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan perifer
keduanya menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah sinaptik untuk
kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam pengenalan
neurotransmitter oleh membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan
intraseluler.

Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam saluran
ion, mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga dapat membuka
saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini kemungkinan ion didalam dan
luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang lebih kecil. Perubahan komposisi
dibalik membran neuron akan mengubah potensial postsinaptik, menghasilkan depolarisasi
atau hiperpolarisasi membran postsinaptik, yang tergantung pada ion tertentu yang
bergerak dan arah dari gerakan itu.

Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurotransmisi dan oleh terlalu sedikitnya
neurotransmisi.

Neurotransmisi yang terlalu banyak disebabkan oeh:

 Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya stimulus
yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan otomatisitas
sel – sel ini.

 Terlalu banyak molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor pascasinaptik.


Terapi meliputi pemberian antagonis yang memblokir reseptor – reseptor pascasinaptik.

 Terlalu sedikit molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor pascasinaptik,


misalnya parkinson. Beberapa strategi pengobatan yang meningkatkan neurotransmisi,
meliputi obat – obatan yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter dari terminal
prasinaptik, dan prekursor neurotransmitter yang diambil kedalam neuron prasinaptik dan
dimetabolisme menjadi molekul neurotransmitter aktif.

Neurotransmitter otak terdiri dari:

 Norepinefrin
 Dopamin

 5-Hidroksitriptamin

 Asetilkolin

 Asam gamma amino butirat (GABA)

Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik
dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat
telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian
fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia,
barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat

Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulaidari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat
dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur
fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan
oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek
antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil
misalnya fenobarbital.

 Pada SSP

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya melalui GABA sebagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-
nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.

 Pada susunan saraf perifer

Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi


eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah
pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.

 Pada pernafasan

Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis.


Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan,
sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat
terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi
N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi
IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata
terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan
pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.

 Pada Sistem Kardiovaskular

Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan
oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat
menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi
barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain
itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi
perifer sehingga terjadi hipotensi.

Farmakokinetik

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan
dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam
lemak; tiopental yang terbesar.

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik,
misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati
sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak
mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak
berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi
biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan
pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan
kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat
golongan barbiturat.

Indikasi

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan,
umumnya tiopental dan fenobarbital.

Tiopental

 Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.

 Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).

 Sedasi pada analgesik regional

 Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Fenobarbital

 Untuk menghilangkan ansietas


 Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)

 Untuk sedatif dan hipnotik

Kontra Indikasi

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi
pada penderita usia lanjut.

Efek Samping

Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir.
Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada
depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.

Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama


pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan
nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. Alergi, Reaksi alergi
terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul,
terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada
penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan
degeneratif hati. Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol
akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan
penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
BAB III

PERCOBAAN

 Alat dan Bahan


Alat
 spuit

 Timbangan

 Spidol

 Stopwatch

Bahan

 Tikus putih jantan

 NaCl Fisiologis

 Phenobarbital

3.2 Prosedur Kerja

 Berikan 2 ekor tikus putih phenobarbital secara intravena

 Berikan 1 ekor tikus yang lainnya NaCl fisiologis secara intravena

 Amati efek yang terjadi, dan simpulkan mula dan lama kerja kedua barbiturate
tersebut.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

 PERHITUNGAN

Dosis Factor konversi

Mencit 0,0026 20 gram

Tikus 0,018 200 gram

Kelinci 0,07 1,5 kilogram

 TABEL KONVERSI

 DOSIS
Phenobarbital yang digunakan : 50 mg/ml

Dosis tikus :

Konversi = 0,018 x 50mg/ml = 0,9 ml

 Tikus 1 (Berat 97 gram)

 Tikus 2 (Berat 96,4 gram)

 Tikus 3 (Berat 155,4 gram)

 Pengamatan

Tabel Pengamatan

Hewan Dosis Waktu


Obat Pengamatan
Percobaan obat timbul efek

Tikus 1 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative
Tingkah laku tikus
00:60:00 mulai berkurang dan
lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi

Tikus 2 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus


00:60:00 mulai berkurang dan
lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi

Tikus 3 Phenobarbital 0,7 ml 00:03:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative
Tingkah laku tikus
00:50:00 mulai berkurang dan
lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:20:00
hipnotik

Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi
BAB V

PEMBAHASAN

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyerupai tidur fisiologis.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf
lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.

Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang
merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit),
hipnotik sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa sakit), opioid.
Analgetik – antipiretik – antiinflamasi dan perangsang susunan saraf pusat. Anastetik
umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik inhalasi yaitu anastetik gas,
anastetik menguap dan anestetik menguap dan anestetik parental. Pada percobaan hewan
dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parental.

Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat pada sistem
saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa anestetik umum
merupakan keadaan depresi umum yang sifatnya reversible dari banyak pusat SSP, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan yang agak mirip dengan pingsan. Anastetik
umum ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta
menimbulkan relaksasi pada pembedahan.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat dengan zat aktif
phenobarbital kadar 50 mg. Pada saat praktikum obat ini dibagi menjadi beberapa dosis (3
dosis berbeda) untuk mengetahui perbedaan onset dan durasi kerja dari phenobarbital .
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa pada tikus mengalami fase anastesi
setelah hipnotik dikeranakan kesalahan perhitungan dosis di saat praktikum berlangsung.
Seharusnya setelah mengalami efek hipnotika tingkah laku tikus akan kembali normal.

BAB V

KESIMPULAN

Perbedaan kadar dalam pengobatan, dalam hal ini hipnotik-sedativ, mempengaruhi


daya kerja obat. Namun demikian perlu diperhatikan juga tempat pemberiannya, karena
berbeda tempat pemberian obat, berbeda pula onset dan durasi kerjanya.

PERTANYAAN

Coba rumuskan hubungan antara perbedaan-perbedaan jangka waktu kerja berbagai


barbiturat ini dengan penggunaan praktis di klinik.

Jawab :

Nama internasional Lama kerja Dosis hipnotik


rata-rata (g)

Obat penghantar tidur

 Sekobarbital Singkat sampai sedang 0,1-0,2

Obat penghantar tidur dan


memperpanjang tidur

 Vinilbital Sedang 0,15

 Aprobarbital Sedang 0,1-0,2


 Sekbutabarbital Sedang 0,1-0,2

 Pentobarbital Sedang 0,1-0,2

 Heptabarbital Sedang 0,1-0,2

 Siklobarbital Sedang (lama) 0,1-0,2

 Fenobarbital Lama 0,1-0,3

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“DIURETIKA”
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi cairan
intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat berfungsi dengan
normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat menimbulkan kelainan
fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu fungsi kardiovaskuler, sedang
perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu fungsi.

Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi cairan
tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air, ingesti atau
defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau pemberian bahan-
bahan toksik.

Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar tetap
konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan volume dan
komposisi cairan interistitial

I.2 Tujuan Percobaan

 Untuk mengetahui efek dari obat diuretik pada hewan percobaan.

 Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat diuretik.

 Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik

I.3 Prinsip Percobaan

Penentuan efek farmakologi dari obat – obat diuretik yaitu furosemid terhadap tikus yang
setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekwensi urinasi dan volume
urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.
BAB II

DASAR TEORI

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)

Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa ini
tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada pasien
insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan penggunaan
senyawa ini. Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-
zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga memperburuk
insufisiensi ginjal. (Mutschler,1991)

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui kerja
langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-
zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah
(dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan


mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana semuanya
melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.

Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis
antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan
ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar
terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.
MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga


pengeluaranya lewat kemih- dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di :

 Tubuli proksimal, ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini


direabsorbsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air, begitu
pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka
susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika
osmosis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga
natrium.

 Lengkungan henle. Dibagian menaik dari Henle’s loop ini k,l. 25% bsorbsi pasif dari
Na+ dan K+ tetapi tanpa hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan seperti
furosemida, bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan merintangi
transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. pengeluaran K+dan air juga diperbanyak.

 Tubuli distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa
air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis.sentawa
thiazidadan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksreksi Na+ dan
Cl –sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion
K + atau –NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal
aldosteron antagonis aldosteron (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium
(amilorida, triateren) bertitik kerja disini dengan mengekibatkan ekskresi Na+ (5%)
dan retensi- K+.

 Saluran pengumpul. Hormon antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis bertitik kerja
disini dengan jalan memengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.(mariska
syafri ; 2011)

PENGGOLONGAN OBAT DIURETIK

Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :


 Diuretik osmotic

Tempat Dan Cara Kerja : Tubuli Proksimal penghambatan reabsorbsi natrium dan
air melalui daya osmotiknya. Ansa Henle penghambatan reasorbsi natrium dan air oleh
karena hiperosmolaritas daerah medula menurun. Penghambatan reasorbsi natrium dan
air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain. Diuretik
osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi
oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isosorbid.

 Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi bikarbonat.

Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan


meatzolamid.

 Diuretik golongan tiazid

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.

Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid,


hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid,
klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

 Diuretik hemat kalium

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal
dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara
langsung (triamteren dan amilorida).

Yang tergolong dalam kelompok ini adalah: antagonis aldosteron. triamterenc.


amilorid.

 Diuretik kuat
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden
pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium,
kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid
dan bumetamid.

 Xantin

Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh meningkatnya
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua derivat xantin ini rupanya
juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi
Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada perubahan urin. Efek diuresis
ini hanya sedikit dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa, tetapi mengalami
potensiasi bila diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase.Diantara kelompok
xantin, theofilin memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat.

TOKSISITAS DIURETIK

Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi adalah
deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak pasien ,
hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien dengan
aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri. Kehilangan
kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya ,pembatasan asupan natrium
dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik glukosa, dan peningkatan konsentrasi
lemak serum. Diuretik dapat meningkatkan konsentrasi uric acid dan menyebabkan
terjadinya gout (pirai). Penggunaan dosis rendah dapat meminimalkan efek metabolik
yang tidak diinginkan tanpa mengganggu efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).

BAB III

PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Spuite 1 cc

 Kapas

 Timbangan tikus

 Sonde oral

 Kandang khusus untuk pengamatan

 Tabung berskala untuk penampungan urin

 Gelas ukur

 Bahan

 Tikus putih jantan 6 ekor

 Aqua Pro Injeksi

 Furosemid Na 10 mg/ml

 Alkohol

 NaCl 0,9 %

III.2 Prosedur Kerja

 Tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I kelompok uji dan kelompok II adalah

kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 tikus.

 Masing masing tikus diberikan air per oral sebanyak 5ml/kg bb

 Suntikan furosemid pada tikus kelompok pertama secara IP dengan dosis yang telah di
tentukan.
 Suntikan NaCl 0,9 % pada tikus kelompok II sebagai kontrol, perhitungan sama seperti
furosemid.

 Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang didesain
untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses selama 3 jam.

 Waktu mulai munculnya efek, frekuensi urinasi dan volume urin yang diekresikan dicatat
pada table.

 Hitung presentase volume urin kumulatif selama 3 jam terhadap volume air yang berikan
secara oral.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Perhitungan Dosis:

 Diketahui : Furosemid 10 mg

Faktor konversi manusia Tikus BB tikus 200 gr = 0,018

Dosis Obat untuk tikus (Furosemid Na)

Sediaan yang ada 10 mg/ml

KELOMPOK I

 Tikus I

88,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,07 mg/ml

= 0,07 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,07 ml

 Tikus II
85,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,08 mg/ml

= 0,08 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,008 ml x 10 = 0,08 ml

 Tikus III

118,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,106 mg/ml

= 0,106 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,1 ml

KELOMPOK II

 Tikus I

113,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,102 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

 Tikus II

115,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,103 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

 Tikus III

135,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,12 ml

Presentase volume kumulatif urin yang di ekskresikan dalam waktu 3 jam:

Rumus % = vol urin yang dieksresikan dalam waktu 3 jam/ volume air yang diberi per oral
x 100 %

Tikus kel. I : 4 ml/5 ml x 100% = 80 %

Tikus kel II : 0,6 ml/5 ml x 100 % = 12 %

HASIL PENGAMATAN

KELOMPOL I WAKTU FREKUENSI VOLUME %


Tikus I 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus II 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus III 11.21 Wib - 4 ml 80 %

KELOMPOK II WAKTU FREKUENSI VOLUME %

Tikus I 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus II 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus III 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan diuretic dengan menggunakan


obat Furosemid dan tikus sebagai hewan ujinya. Diuretik sendiri berfungsi sebagai obat
yang dapat menambah kecepatan pembentukan urien. Dengan kata lain adalah berfungsi
membuat pruduksi urine meningkat. Hal ini dilakukan dengan maksud mencuci atau
membilas ginjal dari dari zat zat berbahaya.

Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan selama 16 jam


tetapi tetap di beri minum ini untuk mencegah sebelum diberikan obat untuk
menghilangkan factor makanan. Namun walaupun demikian faktor variasi biologis dari
hewan tidak dapat di hilangkan sehingga factor ini relative dapat mempengaruhi hasil.
Tikus 1 diberi furosemid dengan dosis 0,5 mg/kgBB sedangkan tikus 2 diberi
furosemid dengan dosis 13,5 mg/kgBB. Sebelum diberi obat, tikus terlebih dahulu diberi
air hangat menggunakan sonde. Tujuan nya adalah untuk membantu mempercepat atau
memperbanyak urin yang dikeluarkan. Setelah masing- masing tikus disuntikkan, tikus
langsung dimasukkan ke sebuah tempat yaitu kandang metabolisme. Masing – masing
tikus diletakkan pada kandang yang berbeda. Kemudian urine tersebut di tampung
menggunakan gelas ukur. Setelah itu urin yang telah ditambung menggunakan gelas ukur
tersebut diukur dan dicatat berapa banyak keluarnya. Masing – masing urin tikus diukur
dengan selang waktu 20 menit selama 3 jam.

Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus kesatu presentase
kumulatif urin yang dieksresikan lebih tinggi dari pada tikus kedua. Tetapi berdasarkan
jumlah konsentrasi dosis obat seharusnya tikus kedua lebih banyak mengeluarkan urine
dari pada. konsentrasi dosis obat untuk tikus kesatu, karena tikus kedua diberikan dosis
yang lebih besar maka dosis yang lebih besar berpengaruh terhadap kerja obat didalam
tubuh.

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya pada tikus kedua ditemukan bahwa pada saat
penyuntikkan obat kepada tikus, tikus tersebut terus bergerak saat dipegang oleh salah satu
pratikan sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat merasa takut
dan pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara maksimal. Karena obat
tidak tersuntik secara maksimal dari jumlah obat yang seharusnya disuntikkan maka efek
dari obat tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan tikus kedua mengeluarkan urin lebih
sedikit dari tikus kesatu. Dan kemungkinan lain efek dari stressnya tikus menyebabkan
efek dari obat tersebut tidak menunjukkan keadaan yang seharusnya.

BAB VI

KESIMPULAN
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.. Diuretik
dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik hemat kalium,
diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik anhidrase, diuretik
osmotic. Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan untuk meningkatkan produksi
urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“ANASTESI LOKAL PERMUKAAN”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP)
dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas
atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu
fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya,
anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-
cabang neuromuskular dan semua jaringan otot

I.2 Tujuan Percobaan

 Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.

 Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan oleh anestetika


lokal permukaan.

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika lokal ialah obat yang mnghambat konduksi saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anastetika lokal
seperti kokain dan ester ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan
lidokain. Asastesi lokal permukaan tercapai ketika anastetika lokal ditempatkan didaerah
yang ingin dianastesi. Anastetika lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian,
seperti; anastesi permukaan, anastesi spinal, anastesi mukosa.

BAB II

DASAR TEORI

Menurut cara pemakaian anestesi lokal dibedakan menjadi:

 Anestesi permukaan.

Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan berdifusi ke
organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh
(tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak bekhasiat karena tidak mampu
menembus lapisan tanduk.

 Anestesi Infiltrasi.

Anestetika local disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke


dalam jaringan. Dengan demikian selain organ ujung sensorik, juga batang-batang
saraf kecil dihambat.

 Anestesi Konduksi
Anestetika local disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan
hantaran rangsang pada tempat ini diblok. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini
adalah anestesi spinal, anestesi peridural, dan anestesi paravertebral.

 Anestesi Regional Intravena dalam daerah anggota badan

Sebelum penyuntikan anestetika local, aliran darah ke dalam dan ke luar


dihentikan dengan mengikat dengan ban pengukur tekanan darah dan selanjutnya
anestetika local yang disuntikkan berdifusi ke luar dari vena dan menuju ke jaringan
di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit menimbulkan anestesi.

Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri dari
satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan
suatu rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amin
tersier). Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk
garam agar lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh mereka biasanya dalam
bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relative dari
dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan
persamaan Henderson-Hasselbalch.3

Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap


prokain dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk anestesi
permukaan dalam bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain biasanya
berkaitan dengan efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing, paraestesia,
gangguan mental, koma, dan seizure.

Cara Kerja

Isyarat dalam serabut saraf dihantarkan melalui impuls listrik yang


terbentuk pada awalnya di setiap membran sel syaraf. Setiap membran sel syaraf (
demikian juga semua membran sel tubuh lainnya ) mempunyai potensial listrik
sebesar -90 mV pada keadaan istirahat. Potensial listrik ini terbentuk karena adanya
perbedaan konsentrasi ion natrium di dalam dan di luar membran sel, dimana
konsentrasi di luar membran ( 142 mEq/L) lebih besar daripada di dalam membran
sel ( 14 mEq/L), sementara konsentrasi anionnya sama ( 150 mEq/L). Keadaan ini
menyebabkan suasana di dalam membran sel lebih negatif ketimbang di luar. Pada
saat timbulnya rangsangan terhadap sel syaraf ( baik rangsangan kimia, fisik
maupun listrik ) membran sel menjadi lebih permeabel terhadap ion natrium
sehingga terjadi aliran ion natrium dari luar ke dalam sel melalui kanal natrium.
Hal ini menimbulkan situasi dimana konsentrasi ion natrium di dalam membran
sekarang menjadi lebih besar ketimbang di luar membran sel dan menyebabkan
potensial listrik berubah dari -90mV menjadi +45mV. Perubahan ini disebut
dengan peristiwa depolarisasi. Impuls listrik inilah yang nantinya menghantarkan
isyarat sepanjang serabut syaraf.

Obat anestetik lokal berikatan dengan reseptor khusus di kanal natrium


sehingga menimbulkan blokade yang mencegah aliran natrium. Hal ini lebih lanjut
mencegah terjadinya perubahan potensial listrik yang artinya juga mencegah
timbulnya impuls listrik sehingga hantaran isyarat tidak terjadi.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI

Sifat ideal yang diinginkan dari sebuah obat anestesik lokal :


 Tidak mengiritasi

 Tidak merusak jaringan saraf secara permanen.

 Batas keamanan harus lebar

 Mula kerja harus sesingkat mungkin, masa kerja harus cukup lama

 Harus larut dalam air stabil dalam larutan

 Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

KEUNTUNGAN :

 Kesadaran (+)

 Gangguan fisiologis rendah

 Angka morbiditas rendah

 Penderita bisa pulang sendiri

 Relatif mudah

 Tidak perlu tenaga tambahan

 Biaya relatif kecil

 Tidak perlu puasa

KERUGIAN :

Tidak dapat digunakan pada:

 Penderita dengan rasa takut tinggi

 Penderita yang tidak kooperatif (anak-anak, retardasi mental)


 Jaringan yang mengalami peradangan akut

 Penderita pecandu alkohol

 Prosedur pembedahan yang luas

BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Gunting

 Pipet tetes

 Aplikator

 Stopwatch

 Bahan

 Kelinci dewasa dan sehat

 Larutan Lidocain HCl 2%

 Larutan Tetrakain

III.2 Prosedur Kerja

 Gunting bulu mata kelinci, agar tidak mengganggu aplikator

 Teteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anastetika lokal lidokain 0,5ml


pada mata kanan dan larutan Tetrakain pada mata kiri
 Tutup masing masing kelopak mata selama 1 menit

 Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan
aplikator tiap kali pada permukaan kornea.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Hewan Mata Obat yang diteteskan Pengamatan pada menit ke..

0 = Mata me-merah

5= Mata masih tertutup (+) Refleks

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kelinci Kanan Lidocain
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek lidokain (+)

60= Sangat merespon (+)


0 = merespon (+)

5= Mata terbuka (-) tidak merespon

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kiri Tetrakain TM
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek prodokain (+)

60= merespon (+)

BAB V

PEMBAHASAN

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan anastesi permukaan dengan


menggunakan obat anastetik lokal yaitu Lidocain dan larutan Prokain dan kelinci sebagai
hewan ujinya. Obat diteteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anastetika lokal
Lidokain 0,5ml pada mata kanan dan Prokain pada mata kiri.
Pada hasil pengamatan, pada mata kanan diteteskan lidocain mempunyai efek
anastetik lokal, efek obat mulai bekerja pada menit ke 10 dan efek Lidocain mulai hilang
pada menit ke 45. Sedangkan pada Tetrakain efek obat bekerja pada menit ke 5 dan hilang
pada menit ke 45.

Lidokain merupakan derivate-asetanilida termasuk kelompok amida dan


merupakan obat pilihan utama untuk untuk anastesia permukaan ataupun filtrasi. Zat ini
digunakan pada selaput lendir dan kulit untuk nyeri,perasaan terbakar dan gatal.
Dibandingkan prokain, khasiatnya lebih kuat dan lebih cepat kerjanya ( setelah beebrapa
menit ) juga bertahan lebih lama.

Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena, zat


ini 10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk segala
macam anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%,
untuk hidung dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg.
Tetrakain memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat
sehingga berpotensi toksik. Namun bila diperlukan masa kerja yang panjang anestesia
spinal, digunakan tetrakain.

BAB VI

KESIMPULAN
Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi umum.
Akan tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat keselamatan
yang lebih tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat yang menghambat
hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat
ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidokain.
Lidokain diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan maupun
saluran cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki kandungan zat kimia, lidokain pun tak
lepas dari efek samping, yang di antaranya adalah mengantuk, pusing, parestesia, kedutan
otot, gangguan mental, dan koma.

Pertanyaan

 Jelaskan kokain sebagai anastetika lokal

Jawab: anestetikum dari kelompok ester ini berkhasiat vasokontriksi dan


bekerjanya lebih lama, mungkin karena merintangi re-uptake noradrenalin di
ujung neuron adrenergic sehingga kadarnya di daerah reseptor meningkat.
Selain itu , kokain juga memiliki efek simpatomimetik sentral dan perifer.Daya
kerja stimulasinya terhadap SSP (cortex) menimbulkan beberapa gejala, seperti
gelisah, ketegangan , konvulsi, eufori, dan meningkatnya kapasitas dan tenaga
sehingga tahan lama untuk bekerja lama karena hilangnya perasaan lelah.
Penggunaannya hanya untuk anestesia permukaan pada pembedahan di hidung,
tenggorok, telinga atau mata. Penggunaannya sebagai tetes mata sudah di
tinggalkan berhubung resiko akan cacat kornea dan sifat midriasisnya.
Penggunaannya yang terlalu sering dengan konsentrasi tinggi dapat
mengakibatkan necrosis (mati jaringan) akibat vasokontriksi setempat.

 Jelaskan penggolongan kimia dari anastetika lokal


Jawab: Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :

 Senyawa ester

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain,
benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.

 Senyawa amida

Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan


prilokain.

 Lainnya

Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran

 Sebutkan anastetika lokal yang dapat digunakan sebagai anastetika permukaan

Jawab: Kokain, Lidocain, Benzokain, Pramokain

 Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianastesi untuk
periode waktu yang lama? Jelaskan!

Jawab: Kebutaan
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EFEK ANESTETIKA LOKAL”

“METODE REGNIER”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah
obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan
saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan
saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-
impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan
atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di
selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ
dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot
I.2 Tujuan percobaan :

 Mengenal tiga teknik (Anestesi permukaan, mukosa /metoda regnier, konduksi)


untuk menyebabkan anestesi lokal pada beberapa hewan percobaan.
 Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan
potensi anestetika lokal.
 Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
 Menghubungkan potensi kerja Anestetika lokal dengan manifestasi gejala
toksisitasnya serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas anestetika.

I.3 Prinsip percobaan


Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks
okuler (mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler
timbul setelah beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja
anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler
setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.

BAB II
DASAR TEORI

Anestetika lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetika lokal menghilangkan
keterangsan dari organ akhir yang menghantarkan nyeri dan menghilangkan kemungkinan
pengahantaran dari serabut saraf sensibel secara bolak-balik pada tempat tertentu sebagai
akibat dari rasa sensasi nyeri hilang untuk sementara hilang. Kerja Anestetika lokal pada
ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dirangsang
berbeda. Misalnya, fungsi motorik tidak terhenti dengan dosis umum untuk anestetika lokal
terutama karena serabut saraf motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada
serabut sensorik.
Oleh karena itu efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut
saraf maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis yang lebih
besar serabut saraf motorik dihambat.

Cara Kerja

Mekanisme kerja anestetika lokal yang terkenal ialah bahwa obat ini menurunkan
ketelapan membran terhadap kation, khususnya ion Natrium. Menurunnya ketelapan
membrane mempunyai arti yang sama dengan suatu penurunan keterangsangan termasuk
juga pada konsentrasi anestetika local yang tinggi tidak dapat terangsang sama sekali dan
serabut saraf, karena suatu rangsang hanya dapat terjadi atau dapat dihanmtarkan jika
terjadi gangguan potensial istirahat membran akibat suatu kenaikan mendadak dari
ketelapan terhadap Natrium. Blokade saluran ion, khususnya saluran Natrium, akibat
anestetika local terjadi menurut mekanisme berikut : semua anestetika local tersimpan
dalam membran sel karena sifat lipofilnya dan melalui ekspansi membrane yang tak
spesifik menutup saluran Natrium. Disamping itu pada anestetika lokal basa terjadi juga
reaksi dengan reseptor terjadi pada sisi dalam membran.

Sifat-sifat dari anestetika lokal yang ideal, yaitu :

 Tidak mengiritasi dan merusak jaringan saraf secara permanen.


 Toksisitas sistemisnya rendah.
 Efektif pada penyuntikan dan penggunaan lokal
 Mula kerja dan daya kerjanya singkat untuk jangka waktu yang lama.
 Larut dalam air dengan menghasilkan larutan yang stabil dan tahan pemanasan (proses
sterilisasi)

Metode Regnier
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks okuler
(mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler timbul setelah
beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan besarnya
sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh 100 kali
dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

* Alat *Bahan

- Gunting - Kelinci dewasa dan sehat

- Pipet tetes - Larutan Lidocain HCl 2%

- Aplikator - Larutan Tetracain 2%

- Stopwatch
III.2 Prosedur Kerja

 Kelinci ditempatkan ke dalam kotaknya 1 jam sebelurn percobaan dimulai.


Gunting bulu matanya, kemudian periksa refleks normal dari ke dua kornea
dengan sentuhan misai secara tegak lurus.
 Pada waktu t=0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji ke dalam mata
kelinci. Percobaan ini diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch).
 Pada menit ke 8, dengan bantuan misai diperiksa refleks mata, yaitu dengan
menyentuhkan misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali
dengan kecepatan yang sama. Jangan terlalu keras menyentuhnya dan ritme
harus diatur. Apabila sampai 100 x tidak ada refleks (kelopak mata tettutup),
maka dicatat angka 100 untuk repon negatif. Tetapi jika sebelum 100 kali sudah
ada refleks, maka yang dicatat adalah respon negatif sebelum mencapai angka
100.
 Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke: 15; 20; 25; 30; 40; 50; dan
60. Jika sebelum menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada
refleks, maka menit-menit yang tersisa diberi angka satu.
 Setelah percobaan di atas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4,
tetapi hanya diteteskan larutan fisiologis.
 Jumlah respon negatif disnuat dalam sebuah tabel dan dimulai dan menit ke 8.
Jumlah tersebut menunjukkan angka regnier. dimana anestesi lokal rnencapai
angka regnier 800. sedangkan angka regnier minimal angka 13.
 Hitunglah/jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negatif.
Apabila pada sekali sentuhan teijadi refleks kornea, maka angka yang dicatat
adalah 1. Hitung angka rata-rata yang diberikan untuk masing-masing larutan
yang diperoleh pada 8 kali pemeriksaan refleks kornea.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Obat Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata di menit ke….
Hewan Mata yang di
0 8 15 20 25 30 40 5
berikan

Kanan Lidokain 9 sentuh 27 16 32 52 20 22 1


2% tidak sentuh sentuh sentuh sentuh sentuh sentuhan s
ada
0,5 ml Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak T
kedipan
ada ada ada ada ada ada a
kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan k

Kelinci

Kiri Tetrakain Berkedi 4 7 3 8 16 3


p sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan s
0,5 ml berkedip
Tidak
Tidak Tidak Tidak Tidak T
ada
ada ada ada ada a
kedipan
kedipan kedipan kedipan kedipan k

BAB V
PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan, ternyata tetrakain memberikan efek anestetika lokal cepat dan
memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat jika dibandingkan prokain. Berdasarkan teori,
tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat dari pada prokain, akan tetapi juga 10 kali
lebih toksik daripada prokain(Dinamika Obat,1999)

Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek
anestetika cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan lidokain .

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
Terdapat beberapa macam obat anestetika lokal, masing-masing obat
memiliki kekuatan kerja dan toksisitas yang berbeda. Sebagai contoh perbandingan
antara tetrakain dan prokain, dimana tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat
daripada prokain akan tetapi juga 10 kali ltebih toksik daripada prokain.

VI.2 Saran

Saya berharap, adanya suatu perpustakaan khusus farmakologi dan makin


ditingkatkan dalam menyediakan sarana dan prasarana dalam laboratorium
farmakologi.

Jawaban pertanyaan

 Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
 Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dan cahaya langsung. jelaskan!
 Sebutkan anestetika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini!

Jawab
 Larutan obat mata harus dibuat isotonis dengan cairan mata, dosis dalam larutan obat mata
harus tepat/ sesuai, larutan obat mata harus steril, perhatikan cara penggunaan larutan obat
mata maka penggunaan harus diteteskan ke dalam kantong konyungtiva, perhatikan pula
toksisitas bahan obat, kebutuhan akan dapar, kebutuhan pengawet dan sterilisasi.
 karena cahaya dapat mempengaruhi reflek okuler mata kelinci, jadi mata kelinci harus
terlindung dari cahaya langsung sehingga benar-benar hanya sentuhan dari misai yang yang
mempengaruhi reflek okuler mata kelinci.

 Mepivakain Hcl, Piperokain Hcl, Tetrakain, Prokain Hcl, Pilokain Hcl, Efineprin bitartrat.

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“ANASTESI KONDUKSI”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau lokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal
setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan
lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Anestetik lokal menghilangkan
penghantaran saraf ketika digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan
konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat (SSP) dan setiap
serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya
kepekaan berbagai struktur yang dapat dirangsang berbeda. Serabut saraf motorik
mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik. Oleh karena itu,
efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-
mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf
motorik dihambat.

I.2 Tujuan Percobaan

 Mengenal tiga teknik untuk mencapai anestetika lokal pada berbagai hewan
percobaan

 Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan


potensi anestetika lokal

 Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal

 Dapat mengkaitkan daya kerja anestetika lokal dengan menifestasi gejala


keracunan serta pendekatan rasional untuk mengatasi keracunan

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika Konduksi adalah Anestetika local yang disuntikkan di sekitar


saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan.
BAB II

DASAR TEORI

Anestesia konduksi (juga di sebut blockade-saraf perifer), yaitu injeksi di tulang


belakang pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf, hingga tercapai anesthesia dari suatu
daerah yang lebih luas, terutama pada operasi lengan atau kaki, juga bahu. Lagi pula digunakan
untuk menghalau rasa nyeri hebat. Pada anestesi konduksi, Anestetika lokal yang di suntikan di
sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan. Bentuk khusus
dari anestesi konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi epidural dan anestesi kaudal.
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Spuit 1 dan 3 ml

 Klem/Pinset ekor

 Silinder khusus mencit

 Timbangan

 Spidol

 Stopwatch

 Bahan

 Mencit jantan 3 ekor

 Tetracain
 NaCl Fisiologis

 Lidokain

III.2 Prosedur Kerja

 Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat
angkat ekor atau menit bersuara) dan hanya dipilih hewan hewan yang member
respon haffner negatif, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara

 Hewan hewan dikelompokkan dan ditimbang dan diberi tanda

 Mencit dimasukkan kedalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya


ekornya yang dikeluarkan. Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah mencit
dari satu kelompok

 Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor. Manifestasi
rasa nyeri ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit atau dengan suara
kesakitan. Respon demikian dicatat sebagai haffner negatif.

 Pada waktu t =0, masing masing mencit dari kelompok yang sama disuntik.
Pehacain divena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan pembawanya
dengan cara penyuntikkan yang sama.

 Setalah waktu t=10 menit, masing masing mencit diperiksa respon haffner; dan
selanjutnya dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit. Hasil pengamatan
dicatat dalam sebuah tabel!

BAB IV

HASIL PENGAMATAN
Perhitungan Konfersi Mencit :

 Mencit ke-1 (BB= 43,7 g)

Tetracain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,113 ml

 Mencit ke-2 (BB= 35,5 g)

NaCl = 20 mg

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,0923 ml

 Mencit ke-3 (BB= 40,5 g)

Lidocain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,1053 ml

Dosis Pemakaian pada mencit :

 Mencit 1 : x 1 ml = 0,00565

Pengenceran 10 Kalinya

Tetracain : 0,00565 x 10 = 0,056 = 0,06 ml

NaCl ad 10 ml

 Mencit 2 : x 1 ml = 0,0046
NaCl : 0,0046 x 10 = 0,046 = 0,05 ml

 Mencit 3 : x 1 ml = 0,0052

Pengenceran 10 Kalinya

Lidocain : 0,0052 x 10 = 0,052 = 0,05 ml

NaCl ad 10 ml

Pengamatan:

Cara Respon Haffner pada waktu t= menit


Hewan Obat
pemberian
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Tetracain Iv + + + + + + + + + + + - -

Mencit NaCl Iv + + + + + + + + + + + + +

Lidocain Iv + + + + + + + + - - - - -

Keterangan :

(+) : Menandakan masih adanya respon

(-) : Menandakan sudah tidak ada respon (Sudah teranastesi)

PEMBAHASAN
Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih cepat. Teknik
pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju atau injeksi tulang
belakang, yaitu pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai anastesi dari suatu
daerah yang lebih luas.

BAB VI

KESIMPULAN

Anestesi konduksi merupakan teknik anestetika lokal yang di suntikan di sekitar


saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan. Terdapat
bermacam-macam obat anestesi yang dapat digunakan dengan teknik anestesi konduksi,
dimana masing-masing obat memiliki kekuatan kerja, toksisitas, kecepatan absorpsi yang
berbeda-beda. Lidocain adalah anastetik lokal yang kuat dan lebih cepat yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntik. Anestesi konduksi (penyaluran saraf)
yaitu dengan penyuntikan di suatu tempat dimana banyak saraf terkumpul, sehingga
mencapai anestesia dari suatu daerah yang luas, misal pada pergelangan tangan atau kaki,
juga untuk mengurangi nyeri yg hebat.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“ANASTESI LOKAL INFILTRASI”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Anestesi infiltrasi adalah anestesi yang bertujuan untuk menimbulkan anestesi ujung
saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa dikulit dan jaringan yang terletak lebih dalam misalnya
daerah kecil dikulit atau gusi (pencabutan gigi).

Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang
bawah. Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-anak
cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.

I.2 Tujuan Percobaan

 Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.

 Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan oleh


anestetika lokal infiltrasi.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat anastetika lokal yang disuntikkan kedalam jaringan akan mengakibatkan


kehilangan sensasi pada struktur sekitarnya.

BAB II

DASAR TEORI
Teknik Anestesi

Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok dan
infiltrasi. Kedua cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.

 Blok

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi di area tertentu dimana saraf yang
mempersarafinya diblok agar rangsang nyeri tidak dilanjutkan. Jadi dengan teknik
blok, anestesi dilakukan di proksimal daerah operasi. Pada daerah operasinya dapat
juga ditambahkan anestesi infiltrasi. Penguasaan anatomis persarafan sangat penting
diketahui.

Keuntungan:

 Keberhasilan cukup tinggi

 Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan anestesi infiltrasi

 Obat yang dipakai lebih sedikit sehingga menurunkan toksisitas

Kerugian

 Teknik lebih rumit

 Penyuntikan tergantung daerah operasi

 Tidak semua daerah operasi dapat dilakukan tindakan anestesi ini

 Cedera saraf permanen

 Infiltrasi

Dilakukan penyuntikan di sekitar area operasi. Suntikan dilakukan di daerah


subkutis. Teknik yang berkembang saat ini adalah field blok, yaitu menginfiltrasi suatu
area dengan terget operasi ditengahnya. Setelah seluruh pinggir area diinfiltrasi, area
tepat diatas insisi diinfiltrasi lagi. Jarak antara pinggir daerah yang diinfiltrasi dengan
target operasi tidak melebihi 2 cm. Jika lebih maka kemungkinan masih ada impuls
saraf yang tidak terblok. Jika memang masa yang akan operasi cukup besar,
kemungkinan diperlukan infiltrasi beberapa lingkaran, agar area yang diinfiltrasi
menjadi luas. Kedalaman infiltrasi tergantung dari jenis operasi. Jika masa yang
diambil cukup dalam, maka perlu juga dilakukan infiltrasi lebih dalam, bahkan sampai
otot atau periosteum.

Teknik infiltrasi

 Masukan jarum di salah satu sudut area operasi.

 Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan.

 Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat dikeluarkan.

 Masukan jarum di sudut yang bersebrangan dengan sudut tadi

 Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan

 Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarumdicabut sambil obat dikeluarkan.

 Lanjutkan penyuntikan ketiga tepat diatas garis yang akan diinsisi

 Masase

 Cek dengan menjepitkan pinset

Komplikasi Tindakan Anestesi

 Hematom

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah ketika anestesi yang kemudian darah
berkumpul di submukosa sehingga menimbulkan benjolan. Hematom ini dapat
terus membesar atau berhenti tergantung dari besarnya pembuluh darah yang
terkena. Pada pembuluh darah kecil biasanya hematom tidak membesar karena
platelet plug sudah cukup untuk menghentikan kebocoran tadi. Jika terjadi
hematom, kita evaluasi beberapa saat apakah hematom itu terus membesar atau
tetap. Jika terus membesar, kita harus berusaha mencari pembuluh darah yang
pecah dan mengikatnya kemudian membuang bekuan darah yang terkumpul. Tetapi
jika hematom tidak membesar hanya diperlukan membuang masa hematomnya
saja.

 Udem

Disebabkan terlalu banyaknya obat anestesi yang diberikan sehingga obat


tersebut berkumpul dalam jaringan ikat longgar mukosa dan sub mukosa. Hal ini
akan mempersulit ketika melakukan penjahitan. Udem akibat anestesi ini
diabsorpsi dalam 24 jam

 Syok Anafilaktik

Syok anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas type I. Terjadi


vasodilatasi perifer sehingga terjadi pengumpulan darah di perifer. Akibatnya
terjadi penurunan venous return sehingga cardiac output pun menurun.

BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat
 Gunting

 Pisau cukur

 Spuit 1 ml

 Spidol

 Peniti

 Bahan

 Kelinci dewasa dan sehat

 Larutan lidocain

III.2 Prosedur Kerja

 Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di suntik
larutan lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.

 Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).

 Buat daerah penyuntikkan dengan spidol dengan jarak minimal 3 cm

 Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah penyuntikkan
dengan peniti, setiap kali enam sentuhan

 Suntikkan larutan diatas pada daerah penyuntikkan secara intrakutan

 Lakukan uji getaran setelah penyuntikkan

 Catat data pengamatannya!

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Getaran otot punggung kelinci


dengan 6sentuhan setiap kali
Bagian yang Obat yang Cara
Hewan dengan peniti pada
disuntiikan disuntikkan pemberian
waktu….menit setelah
pemberian obat

0= ++

5= +

10= -

15= -
Kelinci Punggung kanan Lidocain IC
20= -

25= -

30= -
0= ++

5= ++

10= +

15= +

Punggung kiri NaCl IC 20= +

25= +

30= +

Keterangan :

 Tidak ada respon

+ Mulai ada respon

++ Respon/nyeri

Jumlah pemberian obat:

 Lidocain = 0,06 ml dalam 2%

 NaCl = 0,2 ml dalam 0,9 %

BAB V

PEMBAHASAN

Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk
anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah
obat anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena
mempunyai efek kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat-
obat anestesi lokal lainnya. Obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi
di sepanjang serabut saraf secara reversibel, baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun
otonom. Kerja obat tersebut dapat dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau
impuls vasokonstriktor menuju daerah tubuh tertentu. Lidokain mampu melewati sawar
darah otak dan diserap secara cepat dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah
menjadi metabolit yang lebih larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari
lidokain dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya
vasokonstriktor, ikatan obat, jaringan, dan karakter fisikokimianya.

Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat anastesi
lidocain, punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl, berdasarkan data
pengamatan lidocain lah yang mempunyai efek obat yang cepat namun pada percobaan ini.
Dan pada punggung kiri yang disuntikkkan NaCl tidak memberikan efek anastesi sama
sekali.

Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor
eksternal hewan percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama waktu kerja obat
tersebut. Seperti berat badan, cara menyuntikkan, lokasi penyuntikkan, dan tingkat stress
dari hewan percobaan tersebut.

BAB VI
KESIMPULAN

Anestesi Infiltrasi bertujuan untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui


injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya
rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi
(pada pencabutan gigi).
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI KOLINERGIK PADA AIR LIUR”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan
dan mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar
pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf-
syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh
darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot polos. Meskipun tata
penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum diketahui secara
sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima bahwa impuls
syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan hubungan
dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup
mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya
untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang
dibebaskan oleh serabut syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ)
detektor.

I.2 Tujuan Percobaan


Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar
ludah

I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi


dan hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik. Eksperimen ini
dapat digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat kholinergik pada
neuroefektor dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai
antagonisme. Hewan yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.

BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

 Oral : dimakan /diminum

 Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

 Rektal, Vaginal, Uretral

 Lokal, Topikal, Transdermal

 Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA


 Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

 Berat badan

 Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

 Ras : slow & fast acetylator

 Toleransi

 Obesitas

 Sensitivitas

 Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

 Kehamilan

 Laktasi

 Circadian rhythm

BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat
 Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
 Stopwatch
 Koran
 Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
 Sarung tangan & Masker
 Beaker Glass
 Corong
 Bahan
 Kapas

 Alkohol

 Atropine sulfas, Pilokarpin, fenobarbital

 Kelinci

 Aqua Pro Injeksi

III.2 Prosedur Kerja

Pengaruh obat otono pada kelenjar ludah

Sedasikan kelinci dengan fenobarbital secara IM, catat munculnya saliva selama 5
menit, tampung dan ukur volume saliva. Suntikan atropin sulfat secara IV denagan
dosis 0,25 mg/kg BB. Catat munculnya saliva selama 5 menit, tampung dan ukur
volume saliva.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Data percobaan

Berat kelinci : 2,4 kg


Faktor konversi kelinci
Manusia ~ kelinci BB kelinci 1,5 kg ~ 0,07

Perhitungan dosis
 Phenobarbital
Rute pemberian : IV
BB kelinci 1,5kg 0,07
50mg/ml 0,07 × 50 mg/ml = 3,5 mg/ml
=

 Pilokarpine

Rute pemberian : IM

20 mg/ml 0,07 ×20 mg/ml = 1,4 mg/ml

 Atropin sulfas
Rute pemberian : IV
10 mg/ml 0,07 × 10 mg/ml = 0,7 mg/ml
=

Pengamatan
untuk kelinci dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek yang
muncul, lama berlangsungnya efek.

HEWAN OBAT DOSIS WAKTU PENGAMATAN

Kelinci Phenobarbital 0,112 5 menit Normal, tenang

Kelinci pilokarpine 0,112 5 menit Mengeluarkan


saliva

Kelinci Atropin sulfas 0,112 8 menit Kembali normal


tidak lagi
mengeluarkan
saliva

BAB V

PEMBAHASAN

Semakin besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat


semakin besar. Pilokarpin sebagai zat klinergik yang dapat meningkatkan sekresi saliva.
Atropin sebagai zat antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva pada hewan
percobaan. Semakin tinggi dosis atropin yang diberikan terhadap hewan percobaan,
semakin sedikit saliva yang dikeluarkan oleh hewan percobaan tersebut

BAB VI

KESIMPULAN
Pilokarpin dapat berkhasiat sebagai obat kholinergik karena dapat menyebabkan
efek saliva sedangkan atropin sulfas berkhasiat sebagai antikholinergik karena dapat efek
menghentikan efek saliva pada kelinci percobaan tersebut.

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI KOLINERGIK PADA MATA”

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh kesadaran dan
kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan
jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ
dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat
belum diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima
bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan
hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi
fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau
memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut
syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.

I.2 Tujuan Percobaan

Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah

I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan


hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik. Eksperimen ini dapat
digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat kholinergik pada neuroefektor
dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan
yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

 Oral : dimakan /diminum

 Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

 Rektal, Vaginal, Uretral

 Lokal, Topikal, Transdermal

 Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

 Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

 Berat badan

 Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

 Ras : slow & fast acetylator

 Toleransi

 Obesitas

 Sensitivitas

 Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan


 Kehamilan

 Laktasi

 Circadian rhythm

BAB III

PERCOBAAN

BAHAN DAN ALAT

Hewan Percobaan Kelinci

Obat dan Dosisnya Larutan pilokarpin HCl 3%

Larutan atropine sulfat 2%

Alat yang digunakan Pipet tetes; alat pengukur diameter pupil


mata ; senter

PROSEDUR

 Siapkan kelinci

 Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada penyinaran
dengan senter. Bandingkan

 Teteskan :
Pada mata kiri Pilokarpin HCl 3% sebanyak 3 tetes
 Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
 Ukur diameter kornea mata kiri setelah 15 menit
 Mata kiri terjadi miosis kuat, segera teteskan atropin sulfat 2% sebanyak 3 tetes
 Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
 Ukur kembali diameter masing-masing kornea mata.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

PENGAMATAN

Diameter kornea mata Kelinci

Kelinci Cahaya suram Cahaya senter

Mata kanan 1,2cm 0,8cm

Mata kiri 1cm 0,7cm

Daerah Diameter kornea mata


Hewan pemberian Obat Keterangan
obat 0 5 10 15

Kelinci Mata kiri Pilokarpin HCl 3% 0,7cm 0,7cm 0,6cm 0,3cm Miosis Kuat

Atropin sulfat 2% 0,3cm 0,3cm 0,3cm 0,8cm Midriasis

BAB V

PEMBAHASAN
Percobaan ini yang digunakan hanya pada satu mata saja di karenakan ada satu zat
aktif yang tidak tersedia di laboratorium yaitu larutan fisostigmin, jadi yang kami amati
hanya larutan pilokarpin HCl 3% dan Atropin sulfat 2%, setelah diamati 15 menit pada
masing-masing obat terjadi reaksi pada pupil mata, untuk pilokarpin HCl 3% bekerja
sebagai kholinergik “miosis” dimana pupil mata mengecil, hasil pengamatan pada pupil
mata yang kami dapat selama 15 menit adalah 0,3cm. Atropin Sulfat 2% bekerja sebagai
Antikholinergik yaitu menimbulkan “midriasis” dimana pupil mata menjadi membesar,
pengamatan yang kami dapat pada atropin sulfat ini adalah 0,8cm pada menit ke 15. Kedua
obat ini bekerja antagonis atau berlawanan. Jadi percobaan ini sesuai dengan teori yang
ada, dimana pilokarpin bekerja sebagai kholinergik dan atropin sebagai antikholinergik
pada syaraf otonom.

BAB VI

KESIMPULAN

 Pilokarpin merupakan obat kolinergik dan memberikan efek kolinergik

 Atropine merupakan obat antikolinergik dan memberikan efek antikolinergik


LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EFEK OBAT PADA SALURAN CERNA”

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Tujuan Percobaan

Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare dengan
metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.

I.2 Prinsip Percobaan

Aktivitas obat yang dapat memperlambat peristaltik usus dengan mengukur rasio
normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang usus sepenuhnya.

BAB II

DASAR TEORI

KONSTIPASI

Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras. Otot polos usus
yang lumpuh misalnya pada megakolon congenital dan gangguan refleks defekasi
(konstipasi habitual). Sedangkan obstipassi adalah kesulitan defekasi karena adanya
obstruksi intra / ekstra lumen usus, misalnya karsinoma kolon sigmoid. Faktor
penyebab konstipasi adalah psikis, misalnya akibat perubahan kondisi kakus,
perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi misalnya dalam perjalanan
/ gangguan emosi, misalnya pada keadaan depresi mental - penyakit, misalnya
hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter nyari, miksuden dan skletoderma,
kelemahan otot punggung / abdomen pada kehamilan multipar dan obat, misalnya
opium, antikolinergik, penghambatan ganglion, klonidin, antasida aluminium dan
kalsium.
Mekanisme pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan, karena
kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon transport air dan
elektrolit, dapat dijelaskan antara lain:
 Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa
konsistensi dan transit tinja bertambah.
 Pencahar bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon dalam
menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan mekanisme seperti pada
pencahar osmotik.
 Pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi
garam dan selanjutnya mengurangi waktu transit tinja.
Contoh obat pencahar adalah:
 Pencahar rangsang : minyak jarak
 Pencahar garam : magnesium sulfat
 Pencahar pembentuk massa : metil selulosa
 Pencahar emolien : paraffin cair

LAKSANSIA OSMOTIK

Karena air dapat diabsorpsi dengan mudah, maka tak dapat disunakan sebagai
laksansia. Akan tetapi jika ditambahkan garam yang sulit diabsorpsi, sesuai dengan
tekanan osmotik garam ini, pada penggunaan larutan normotoni, absorpsi air dari usus
akan diperkecil, sedangkan pada pemasukan larutan hipertoni, air akan dibebaskan ke
dalam lumen usus dan dengan demikian pengosongan feses dalam jumlah besar dapat
tercapai. Saat mulai kerja tergantung kepada jumlah dan konsentrasi larutan garam :
pada larutan hipertoni waktu relatif lama sampai air cukup banyak yang masuk ke
lumen usus sehingga pengosongan dapat dimulai biasanya sekitar 10-12 jam. Pada
larutan normotoni atau hipotoni, kerja sudah mulai dalam waktu beberapa jam saja.
Mengingat akibat bahaya dehidrasi, harus dihindari larutan hipertoni.
Laksansia garam : magnesium sulfat ( garam pahit ) dan natrium sitrat ( garam
glauber), natrium fosfat dan natrium sitrat. Yang paling banyak digunakan adalah
garam pahit dan garam glauber. GARAM MAGNESIUM (MgSO4 = garam inggris)
Obat yang termasuk didalam golongan laksansia osmotik mekanisme kerjanya
dalam usus berdasarkan penarikan air ( osmosis ) dari bahan makanan karena tiga
perempat dari dosis oral tidak diserap, akibatnya adalah pembesaran volume usus dan
meningkatnya peristaltik di usus halus dan usus besar di samping melunakkan
tinja.merupakan senyawa yang mudah diabsorpsi melalui usus kira-kira 15-30 % dan
diekskresikan melalui ginjal. Dari dosis di serap oleh usus yang dapat
mengakibatkan kadar magnesium dalam darah terlampau tinggi, khususnya bila fungsi
ginjal kurang baik. Oleh karena itu garam inggris jangan digunakan untuk jangka waktu
yang lama. Boleh digunakan selama kehamilan, obat ini masuk ke dalam air susu ibu.

NaCl FISIOLOGIK

Obat ini merupakan cairan yang isotonus terhadap cairan tubuh sehingga tidak
menghasilkan efek apa-apa. Biasanya digunakan untuk membandingkan efek yang
dihasilkan oleh suatu obat pada hewan percobaan. NaCl ini menghasilkan efek yang
tidak begitu berarti didalam tubuh serta penggunaannya tidak dipermasalahkan.
Penyalahgunaan pencahar yang banyak terjadi dimasyarakat dengan alasan
menjaga kesehatan sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan sensitivitas
mukosa, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsangan fisiogik. Penggunaan
pencahar secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping itu dapat pula terjadi kelemahan otot
rangka, berat badan menurun dan paralisis otot palos. Pengeluaran kalsium terlalu
banyak dapat menimbulkan osteomalasia.

BAB III

PERCOBAAN

 Bahan danAlat
 Tikus putih jantan
 Larutan Pentobarbital Natrium 4%
 Larutan magnesium sulfat 25%,3% dan 0,2%
 Natrium klorida fisiologik
 Spuit 1ml atau 2ml
 Gunting benang steril
 Kaca arloji
 Pipet tetes
 Kleenex
 Jarum bedah

 Prosedur
 Tikus dipuaskan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.
 Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg bb secarara ip.
 Usus dipamerkan melalui toreahn ventral sagital, usus jangan sampai terluka,
selama pembedahan da percobaan usus harus basahi dengan NaCI fisiologik.
 Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril pada
jarak lebih kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Pengikatan
jangan sampe menganggu aliran darah usus.
 Suntikan berturut-turut kedalam segmen masing-masing larutan 1 ml
(MgSO4 25% NaCI 0,9 % dan MgSO4 0,2%)
 Tempatkan kembali usus ke dalam rongga abdomen dan jahit kembali otot
dan kulit perut tikus. Basaahi terus jahitan dengan NaCI fisiologis.
 Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan catat
volume yang diperoleh.
 Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-masing
larutan terhadap retensi cairan.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Perhitungan dan Dosis

Faktor konversi : Manusia –> Tikus, BB Tikus 200gram –> 0.018

 Perhitungan dosis Fenobarbital


Tara timbangan : 198.5
Berat tikus : 291

= 291- 198.5 = 92.5


= 92.5/200 x 0.9 = 0.416
= 0.416/50 x 1ml = 0.0083 ml
Diencerkan x10 = 0.08, karena ingin efek anestesi dix 2= 0.16
Jadi, fenobarbital yang disuntikan 0.16ml

 MgSO4 25% = 25/100 X 50ML = 12.5 gram /50 ml


 MgSO4 0,2% = 0,2/100 X 1OOML = 0.2gram/100ml

BAB V
PEMBAHASAN

Di era yang serba modern ini, manusia sering di tuntut untuk dapat memenuhi
berbagai macam tugas sekaligus di waktu yang bersamaan. Hal ini berakibat pada
menurunnya waktu luang, diantaranya adalah waktu istirahat yang pendek sehingga tidak
jarang manusia modern sekarang lebih memilih untuk memilih makanan cepat saji yang
menfandung banyak karbohidrat, lemak, dan protein namun miskin serat. Hal ini dapat
memicu berbagai masalah kesehatan yang dapat berakibat fatal dikemudian hari.

Masalah yang paling sering timbul dari kondisi kurang serat adalah konstipasi
dimana tubuh mengalami kesulitan defekasi tinja yang mengeras, otot polos yang lumpuh
atau masalah lainnya. Hal ini di perparah dengan kurangnya konsumsi air putih dan
olahraga. Sehingga sebagian orang menggunakan obat pencahar untuk mengatasi masalah
ini. Padahal penggunaan obat pencahar yang sembarangan dapat merugikan si pengguna
karena dapat menyebabkan ketergantungan, pendarahan anus, gas berlebih pada saluran
cerna dan efek lainnya.

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan efek garam pada saluran cerna dan
tikus sebagai hewan ujinya. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan
selama 24 jam. Tikus disuntikkan secara ip dengan Pentobarbital 0.16 ml, setelah itu tikus
dibiarkan sampai tidak sadar. Kemudian tikus diletakan diatas kayu dengan kondisi
masing-masing kaki diikat, setelah itu dilakukan pembedahan pada jarak 2.5cm dari piloris,
usus diikat dengan benang steril pada jarak kurang lebih 8 cm , hingga diperoleh tiga
segmen terpisah. Setelah itu disuntikan berturut-turut ke dalam masing-masing segmen
larutan 1ml ( mgso4 24%, nacl 0,9% dan mgso4 0,2%) pada saat percobaan usus terus
dibasahi dengan larutan Nacl fisiologik. Setelah selesai disuntikan usus ditempatkan
kembali pada rongga abdomen, pada jam 10.39 tikus mulai dijait kembali dan terus
dibasahi Nacl fisiologik,, pada jam 10.45 tikus sudah selesai dijahit. Sebelum 2 jam setelah
tikus dijahit , tikus tersebut MATI.
BAB VI

KESIMPULAN

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya penyebab tikus tersebut mati adalah
peralatan yang kurang steril, terlalu banyak tangan yang melakukan proses pembedahan
tersebut dan usus tikus terlalu lama diluar badannya sehingga resiko infeksi meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Bisono. Operasi Kecil. Jakarta: EGC. 2003.p. 24-29


Boulton TB, Colin EB. Anestesiologi. Jakarta: EGC; 1994.p.108-133
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Dobron, Michael B. Penuntun Praktis anestesi.Jakarta: EGC. 1994.p. 89-103


Harvey, Richard A dan Champe, Pamela P.Farmakologi. Edisi IV.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran

Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC, 1997


Karakata S, Bob Bachsinar. Bedah Minor. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 1996

Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo

Sabiston. Buku Ajar Ilmu Bedah.bagian I. Jakarta: EGC. 1995.


Stringer, Janet L.Konsep Dasar Farmakologi.Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Schrock TR. Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC; 1995.p.113-119.


Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC:2004.p.247-
253.
Syarif, Amin. dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Gaya Baru. 2007

Anda mungkin juga menyukai