PENDAHULUAN
Keandalan pengamatan manusia terhadap suatu subyek dalam suatu pengamatan sangat
terbatas. Oleh karena itu diperlukannya suatu alat atau obyek tertentu untuk dapat
membantunya dan yang dapat pula dipergunakan sebagai subyek dalam penelitian, di antaranya
adalah dengan mempergunakan hewan-hewan percobaan.
Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini. Kegunaan hewan
percobaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek yang diinginkan, sebagai model,
di samping itu di bidang farmasi juga digunakan sebagai alat untuk mengukur besaran kualitas
dan kuantitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia.
Tidak semua hewan coba dapat digunakan dalam suatu penelitian, harus dipilih mana
yang sesuai dan dapat memberikan gambaran tujuan yang akan dicapai. Hewan sebagai model
atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di
samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis
yang mirip kejadiannya pada manusia. Oleh karena itu, kita dapat dan lebih mudah
menggunakan hewan coba sebagai hewan percobaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut
obat, dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan obat.
Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang (the art of weighing). Obat
didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis
penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang
infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai
keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan
menyediakan obat (Marjono,2011:76).
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan
sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek teraupetis obat
berhubungan erat dengan efek dosisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup
tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme (Tjay,2007:172).
Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci dalam mengembangkan
suatu penelitian dan telah banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang
berbagai macam penyakit seperti: malaria, filariasis, demam berdarah, TBC, gangguan jiwa dan
semacam bentuk kanker. Hewan percobaan tersebut oleh karena sebagai alternatif terakhir sebagai
animal model. Setelah melihat beberapa kemungkinan peranan hewan percobaan, maka dengan
berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya hewan percobaan, akan berakibat penurunan standar
keselamatan obat-obatan dan vaksin, bahkan dapat melumpuhkan beberapa riset medis yang
sangat dibutuhkan manusia (Sulaksono,1992:318).
Hewan coba/hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus
diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk penelitian
pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan
penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan
pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia
adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang
menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan,
sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap
manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam
keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian
biomedis (Sulaksono,1992:321).
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan
percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :
Hewan liar.
Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).
Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistem isolator.
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan
berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan
percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (Malole,1989:475) :
Faktor internal pada hewan percobaan sendiri: umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan
kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi
dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan
sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan
terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan
percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di
samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu
mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi
kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan
atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan.
Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus
melalui proses absorpsi terlebih dahulu.
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh,
sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang
merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008:127).
Semua jenis hewan percobaan harus ditempatkan dalam lingkungan yang stabil dan sesuai
dengan keperluan fisiologis, termasuk memperhatikan suhu, kelembaban dan kecepatan
pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari. Kebanyakan hewan coba tidak dapat
berkembangbiak dengan baik pada kamar lebih tinggi dari suhu 300C. Mencit, tikus dan marmut
maksimum perkembangbiakannya pada suhu 300C, kelinci pada suhu 2500C (Malole,1989:481).
Tabel 1.1 Ukuran dan alat yang digunakan untuk pemberian obat pada hewan percobaan.
Hewan IV IP SC IM Oral
Mencit Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
27,5 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1
/2inci ¼ inci ¼ inci ¾ inci 2 inci
Tikus Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
25 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1 inci 1 inci 1 inci 2 inci
Kelinci Jarum Jarum Jarum Jarum Kateter karet
25 g 21 g 25 g 25 g no. 9
1 inci 1¼ inci 1 inci 1 inci
Marmut - Jarum Jarum Jarum -
25 g 25 g 25 g
1 inci 1 inci ¾ inci
Kucing - Jarum Jarum Jarum -
21 g 25 g 25 g
1½ inci 1 inci 1 inci
(Harmita,2008: 64)
Tabel 1.2 Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia.
Tabel 1.3 Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan
Seperti pada
tikus
(Harmita,2008: 67)
BAB III
METODE KERJA
Cara kerja
Persiapan Hewan
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat
kasa kandang.
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri.
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna.
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala.
BAB IV
Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga hewan coba
dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari pada jari kelingking
kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan coba siap untuk diberikan
perlakuan.
1. Handling:
Ekor dipegang di daerah tengah ekor dengan tangan kiri, lalu Leher dipegang dengan tangan kanan,
dan jangan terlalu menggencet.Telunjuk dan ibu jari memegang kulit leher, jari kelingking
menjepit ekor.
2. Per oral
Mencit atau tikus diletakkan di atas ram kawat, ekor ditarik. Jarum suntik yang sudah disolder
dimasukkan ke dalam mulut mencit namun harus diperhatikan proses masuknya jarum agar tidak
melukai organ dalam mencit. Setelah selesai, tarik kembali jarum tersebut secara perlahan.
3. Intramuskular
Pembantu memegang paha, penyuntik memegang paha kiri dari depan dengan tangan kiri.Jarum
ditusukkan dari balik dengan sudut tegak lurus terhadap permukaan kulit kira-kira ditengah paha
sehingga tusukan sampai ke otot bicep femoris.Lalu suntikkan bahan perlakuan, tarik jarum,
tempat suntikan dipijat pelan-pelan.
4. Intraperitoneal
Mencit dihandling dengan benarTusukkan jarum disisi dekat umbilicus / kira-kira 5mm disamping
garis tengah antara 2 puting susu paling belakangTarik jarum lalu lepaskan mencit.
5. Subkutan
Obat/bahan disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung, terasa longgar bila jarum digerak-
gerakkan, berarti suntikan sudah benar.
Pada praktikum dilakukan perlakuan pada hewan coba mencit dengan cara, pertama-tama ekor
mencit dipegang dan diangkat dengan tangan kanan, mencit dibiarkan mencengkram alas penutup
kandang ( kawat rang), sehingga frekuensi gerak mencit dapat diminimalkan. Cengkram kulit
punggung mencit sebanyak-banyaknya dan seerat mungkin dengan tangan kiri, hingga kepala
mencit tidak dapat digerakkan ke kanan dan kekiri. Jari tengah dan jari manis mencengkram perut
mencit dan ekor mencit dililitkan pada jari kelingking.
Pemberian secara oral mencit pada umumnya berat 20-30 gram maksimal pemberian maksimal
1cc. Sebelum digunakan, hewan coba terlebih dahulu dipuasakan makan selama 8 jam dengan
maksud untuk mengurangi variasi biologis dan efek-efek lainnya. Dalam hal ini mencit jantan
lebih bagus digunakan karena siklus hormonnya lebih homogen dibandingkan hewan yang betina
dan waktu tidur hewan betina empat kali lebih lama dari hewan jantan bila diberi obat.
Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over dosis. Perlakuan
euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol dan kloroform.
Pada percobaan juga dilakukan pembedahan mencit untuk pengenalan organ tubuh bagian dalam
mencit. Pembedahan dilakukan mula-mula dengan mengeuthanasia mencit dengan menggunakan
eter kemudian mencit dibedh perlahan dan hati hati. Organ tubuh bagian dalam mencit memiliki
struktur anatomi yang sama dengan manusia mulai dari jantung, ginjal, paru-paru dan organ tubuh
lainnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga
hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari
pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan
coba siap untuk diberikan perlakuan.
Pemberian obat pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan dengan cara per oral, intra
peritonial, intra vena, subkutan, dan intra muscular.
Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan mula-mula
dengan cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai
prosedur yang ditentukan.
Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over
dosis. Perlakuan euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol
dan kloroform.
Pembedahan pada mencit dan tikus dilakukan setelah hewan coba mati setelah
euthanasia.
Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan mula-mula dengan
cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai prosedur yang ditentukan.
Cara-cara euthanasia pada mencit dan tikus dilakukan dengan anestetik over dosis.
Perlakuan euthanasia dengan obat anestetika umum yaitu eter, alkohol dan kloroform.
Mula-mula mencit dieuthanasia dengan obat bius (Eter) didalam stoples tertutup.
Kemudian dibasuh badan mencit yang telah mati dengan etanol. Dibedah dengan
menggunakan pisau bedah, Mula-mula diiris pada bagian perut dengan hati-hati agar
organ dalam mencit tidak rusak. Pembedahan dilakukan bertahap dengan hati-hati,
kemudian Organ dalam mencit dikeluarkan dan dipisahkan.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
DASAR TEORI
Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi,
dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat
dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat
misalnya salep.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi
kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-
paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil (di
bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus
isotonis dan isohidris.
Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action segera.
Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih
besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh
Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak
berpengaruh.
Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa
seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.
Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak
digunakan IV daripada melalui SC
Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan
menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem
sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar
Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi
septik, dan
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan
suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada
besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses
absorpsi).
Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat
atau paha.
Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi pembawa air
untuk minyak.
Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi, sehingga dapat
menimbulkan keracunan.
Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat
dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang
sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak
lebih dari 1 ml.
Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi.
Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam
pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan
membentuk abses.
Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).Disini
obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga
durasinya agak cepat.
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat
diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai
dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda
melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama
proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena
mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara oral,
sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu
harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara
lain:
Bentuk Sediaan
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.
Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh
darah pada tempat absorpsi.
Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya
penyakit tertentu.
Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan
saat pasien koma.
BAB III
PERCOBAAN
Kawat kandang
Sonde
Timbangan
Stopwatch
Spidol
Koran
Beaker Glass
Bahan
Kapas
Alkohol
3.2 Dosis
Factor konversi
Perhitungan Dosis
1.
x 1ml = 0,00442 ml
0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml
2.
x 1ml = 0,00442 ml
0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml
3.
x 1ml = 0,00416 ml
0,004162 ml x 20 ml = 0,0832 ml
4.
x 1ml = 0,00468 ml
0,00468 ml x 20 ml = 0,0936 ml
5.
x 1ml = 0,0043ml
0,0043 ml x 20 ml = 0,086 ml
Siapkan Sonde
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat
suntik berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit tikus dan
diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit
pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai
esofagus.
Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Mencit yang mengantuk akan diam atau umumnya disudut ruang dan tampak lunglai.
Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi apabila tubuhnya dibalik dan berada posisi
terlentang amaka tidak akan kembali terlungkup. Jadi, untuk melihat kapan terpatnya terjadi
respon awal sedasi maka harus sering membalikkan badan mencit pada posisi terlentang.
BAB V
PEMBAHASAN
Pada pemberian rute obat kehewan uji, dilakukan teknik penyuntikkan. Penyuntikkan hewan
percobaan digunakan sebagai cara yang efektif untuk pemberian obat kepada hewan percobaan.
Keuntungan pemberian obat secara suntikan adalah efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian per oral. Pemberian secara oral atau spoid yang dilengkapi jarum
oral atau sonde oral (berujung tumpul). Hal ini dimaksudkan untuk menimalisir cedera ketika
hewan percobaan diberikan sediaan uji. Penyuntikan juga diberikan secara intraperitoneal,
intramuscular, intravena dan subkutan.
Pada percobaan ini, kelompok kami menggunakan lima ekor mencit. Masing-masing mencit
diberikan rute pemberian obat yang berbeda-beda. Banyaknya volume obat yang akan diinjeksi
untuk mencit tergantung dengan berat badan mencit dengan rumus VAO. Data yang dihasikan
untuk volume injeksi mencit berdasarkan berat bedan.
Berdasrkan hasil pengamatan yang kami lakukan pemberian obat secara per oral, ketika
disuntikkan deiazepam mencit terlihat langsung tenang. Setelah 13 menit mencit terlihat sangat
peka terhadap diazepam yaitu mencit terlihat tidur, tidak tegak walaupun diberi rangsangan nyeri.
Setelah menit ke 33 mencit terlihat tidur lebih nyenyak. Setelah menit ke 66 mencit mulai aktif
kembali karena efek dari obat diazepam telah habis.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok kami, pemberian obat secara subkutan ketika
disuntikkan diazepam mencit memberikan efek tenang di menit ke 18. Setelah menit ke 26 mencit
terlihat tidur lebih tenang (tetap tidur walau posisi sudah dibalik terlentang). Pada menit ke 70
mencit mulai aktif kembali karena efek dari obat diazepam telah habis. Pada rute pemberian obat
secara subkutan umumnya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama
sampai 70 menit sampai obatnya habis.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok kami, pemberian obat secara intraperitonial
ketika disuntikkan diazepam mencit terlihat mencit langsung tenang. Setelah menit ke 44 terlihat
tidur ( setelah diberi rangsangan tubuhnya di balik pada posisi terlentang dan tidak kembali
tertelungkup ). Setelah menit ke 36 menci terbangun karena efek dari diazepam telah habis.
Pada hasil percobaan kelompok kami, pemberian intramuscular lebih cepat yaitu 8 menit
pada waktu onsetnya terlihat mencit tidur (walau diberi rangsangan nyeri). Pada menit ke 65
mencit terbangun karena efek dari diazepam telah habis.
Pada pemberian obat secara intravena, yang menurut literature reaksi akan berlangsung
dengan cepat, tapi pada kelompok kami tidak mendapatkan hasil yang demikian yaitu terjadi onset
di menit ke 30 setelah diberi obat. Hal itu dikarenakan kegagalan dalam penyuntikan. Pada saat
penyuntikkan kemungkinan obat yang disuntikkan tidak masuk ke dalam pembuluh darah vena
pada ekor mencit.
Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan sehingga efek yang
dihasilkan tidak sesuai dengan literature . hal ini dikarenakan cara penyuntikkan yang salah juga
karena kami disini belum begitu mahir dalam melakukan penyuntikkan sehingga efek yang
dihasilkan tidak sesuai.
BAB VI
KESIMPULAN
Pada percobaan ini dihasilkan urutan efektifitas obat dari yang tertinggi hingga
yang terrendah yaitu intravena (IV), intramuscular (IM), intraperitonial (IP),
subcutan (SC), dan oral
Sedangkan pemberian oral menghasilkan efek yang lebih lambat, hal ini
disebabkan obat harus mengalami proses penceraan di gastroinstetina sehingga
memperlambat obat memberikan efek.
BAB I
PENDAHULUAN
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme
dan faktor-faktor lain.
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal
BAB II
DASAR TEORI
Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-
asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai
masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator
lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki lebih besar,
misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga menunjukkan
asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh ternadap
kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik
atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama
baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus
jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi O-
aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme
juga tergantung pada macam substrat.
Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.
Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.
Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap
obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan
pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus
tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang sama pada tikus
dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi
yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang pada orang dewasa delapan
jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah.
Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi
kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam
jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah,
akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam
jumlah yang relative sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan
klorpromazin dapat menimbulkan neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini
disebabkan terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa
endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin
yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan.
Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan,
keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan
obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati,
misal kanker hati. (Siswandono, 1995)
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran yang
relative pada efek-efek obat.
Interaksi obat
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular
terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus
berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak
berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya
berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah
itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang
diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang
dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya
sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga mengoptimalkan
proses penyembuhan.
Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting
seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Kawat kandang
Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
Timbangan
Stopwatch
Spidol
Koran
Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
Sarung tangan & Masker
Beaker Glass
Bahan
Kapas
Alkohol
Diazepam 5 mg (sediaan 100 mg/2 ml)
4 ekor mencit (2 betina dan 2 jantan)
Aqua Pro Injeksi
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati kelakuan tikus setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek dan
hilang efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II dan III.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kandang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :
Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.
1.
x 1ml = 0,00404 ml
0,00404 ml x 20 ml = 0,0884 ml
2.
x 1ml = 0,00442 ml
0,00442 ml x 20 ml = 0,0884 ml
3.
x 1ml = 0,00274 ml
0,00274 ml x 20 ml = 0,0548 ml
4.
x 1ml = 0,00378 ml
0,00378 ml x 20 ml = 0,0756 ml
Waktu Waktu
Waktu
Hilang Kembali Onset Durasi
Hewan Obat Cp Pemberi
Righting Nighting Kerja Obat Kerja Obat
an Obat
Reflex Reflex
Diazepam 5
Mencit 1 Mg/70 Kg Ip 14.34 15.14 16.05 40 Menit 51 Menit
Bb
Mencit 2 Diazepam 5
Mg/70 Kg Ip 14.38 15.05 16.15 27 Menit 70 Menit
Bb
Diazepam 5
Mencit 3 Mg/70 Kg Ip 14.35 15.05 16.15 30 Menit 70 Menit
Bb
Diazepam 5
Mencit 4 Mg/70 Kg Ip 14.40 15.14 16.10 34 Menit 56 Menit
Bb
BAB V
PEMBAHASAN
Adanya beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya variasi biologi
dan kelamin hal ini dapat diuji dengan perbandingan mencit dengan berat badan yang
berbeda dan perbedaan jenis kelamin. Hal ini dapat dibuktikan pada uji praktikum
farmakologi ini dengan menggunakan obat diazepam yang dilakukan melalui IP
(Intraperitoneal ).
Dari hasil percoaan diperolah data bahwa pada mencit jantan yang diberikan larutan
diazepam mengalami onset kerja obat selama 40 menit dan durasi kerja obat 51 menit.
Awalnya pada mencit 1 jantan mengalami aktifitas normal pada menit ke 14.13 mengalami
perubahan aktivitas hal itu tidak memberika efek yang diharapka karena waktu respon efek
obat yang dialami pada mencit 1 jantan dengan mencit lain lebih lama dan lambat hal ini
dapat disebabkan efek fisiologis mencit yaitu telah mengalami stess sebelum obat diberikan
atau lokasi pemberian obat yang kurang sesuai. Sedangkan pada mencit betina 1 dan 2
mengalami perbadaan onset kerja yang tipis. Masing-masing selama 30 menit dan 34 menit
hal ini cepat dibandingkan dengan jantan 1 dan 2 yang mengalami onset kerja lama yaitu
masing-masing 40 menit dan 27 menit.
Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan
perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu. Perbedaan tersebut
disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada pada tubuh pengguna,
jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan perbedaan jenis makanan yang
dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap individu.
BAB VI
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap dosis
obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa tikus.
Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat dikarenakan tidak
memiliki kadarlemak dan air yang kecil dibandingkan dengan mencit jantan yang memiliki
kadar minyak dan air yang labih banyak.
Jenis kelamin akan mempengaruhi respon oabt yang diberikan. Dimana jantan lebih cepat
memerikakn respon daripada betina karena pengaruh androgen.
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf
lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga
disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf
pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula
spinalis).
Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik
misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat
depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ, psikotropik, antikonvulsi,
analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf pusat.
Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan
memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana dalam percobaan
ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan pada hewan coba
mencit (Mus musculus).
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi
dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah
yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.
Untuk mengetahui dan memahami efek dari obat golongan barbiturat dengan jangka waktu
kerja yang berbeda pada hewan tikus putih.
Obat obat kelompok barbiturate termasuk yang bekerja depresan umum, berarti nekerja
depresif terhadap sejumlah besar fungsi dan organ organ system tubuh, tidak terbatas hanya pada
system saraf pusat, sama halnya dengan anastetika umum dan anastetika lokal , efek barbiturate
pun tidak spesifik, dan reversible. Manifestasi efek depresinya mungkin sekali tidak didasarkan
pada mekanisme kerja yang sama. Variasi dan substituent pada molekul barbiturate berpengaruh
pada daya larut obat obta ini dalam lemak, yang mempengaruhi pula secara langsung kecepatan
muncul efek, jangka waktu berlangsung efek, kecepatan biotransformasi, redistribusi, jenis efek
dan toksisitas senyawa barbiturate.
BAB II
DASAR TEORI
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta
terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal
dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat
dan susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan medula
spinalis (sumsum tulang belakang)
Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi (an=tanpa,
aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum yang bersifat
reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan dan kesadaran
ditiadakan, agak mirip dengan pingsan.
Anastetik umum digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi
serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Tahap-tahap anastesi antara lain:
Analgesia
Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental tahap
berikutnya.
Eksitasi
Anestesi
Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut), gerakan
bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.
Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch
respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya
pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik. Selain itu
pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu mengukur respon
mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya mencit yang normal akan
menggerakkan kepala dan anggota badan lainnya dalam usaha melarikan diri, kemudian
hal yang sama tetapi dalam posisi berdiri, mencit normal akan meronta-ronta. Mencit yang
diam kemungkinan karena terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain
berkaitan dengan anastetik ialah uji ringhting refles.
Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila diberikan
pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan fisiologis normal untuk
tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa ini diberikan untuk dosis yang
lebih rendah pada siang hari dengan tujuan menenangkan, maka disebut sedativa (obat
pereda). Perbedaannya dengan psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar
akan menyebabkan pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu
menyebabkan ketagihan.
Tidur adalah kebutuhan suatu makhluk hidup untuk menghindarkan dari pengaruh
yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Pusat tidur di otak mengatur fungsi fisiologis
ini. Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah lambat, stimulasi peristaltik
dan sekresi saluran cerna.
Tidur normal terdiri dari 2 jenis:
Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang
berciri irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa gerakan otot
muka atau mata.
Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.
Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak
ada rasa sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran
anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia yang
dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik, orang Cina
menggunakanCanabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.
Benzodiazepine
Barbiturat
Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan
sistem saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan perifer
keduanya menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah sinaptik untuk
kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam pengenalan
neurotransmitter oleh membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan
intraseluler.
Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam saluran
ion, mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga dapat membuka
saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini kemungkinan ion didalam dan
luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang lebih kecil. Perubahan komposisi
dibalik membran neuron akan mengubah potensial postsinaptik, menghasilkan depolarisasi
atau hiperpolarisasi membran postsinaptik, yang tergantung pada ion tertentu yang
bergerak dan arah dari gerakan itu.
Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurotransmisi dan oleh terlalu sedikitnya
neurotransmisi.
Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya stimulus
yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan otomatisitas
sel – sel ini.
Norepinefrin
Dopamin
5-Hidroksitriptamin
Asetilkolin
Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik
dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat
telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian
fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia,
barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat
Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulaidari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat
dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur
fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan
oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek
antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil
misalnya fenobarbital.
Pada SSP
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya melalui GABA sebagai mediator.
Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-
nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.
Pada pernafasan
Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan
oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat
menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi
barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain
itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi
perifer sehingga terjadi hipotensi.
Farmakokinetik
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan
dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam
lemak; tiopental yang terbesar.
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik,
misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati
sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak
mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak
berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi
biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan
pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan
kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat
golongan barbiturat.
Indikasi
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan,
umumnya tiopental dan fenobarbital.
Tiopental
Fenobarbital
Kontra Indikasi
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi
pada penderita usia lanjut.
Efek Samping
Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir.
Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada
depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
PERCOBAAN
Timbangan
Spidol
Stopwatch
Bahan
NaCl Fisiologis
Phenobarbital
Amati efek yang terjadi, dan simpulkan mula dan lama kerja kedua barbiturate
tersebut.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
PERHITUNGAN
TABEL KONVERSI
DOSIS
Phenobarbital yang digunakan : 50 mg/ml
Dosis tikus :
Pengamatan
Tabel Pengamatan
Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi
Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi
Efek hipnotika
02:00:00
memasuki fase anastesi
BAB V
PEMBAHASAN
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyerupai tidur fisiologis.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf
lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.
Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang
merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit),
hipnotik sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa sakit), opioid.
Analgetik – antipiretik – antiinflamasi dan perangsang susunan saraf pusat. Anastetik
umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik inhalasi yaitu anastetik gas,
anastetik menguap dan anestetik menguap dan anestetik parental. Pada percobaan hewan
dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parental.
Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat pada sistem
saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa anestetik umum
merupakan keadaan depresi umum yang sifatnya reversible dari banyak pusat SSP, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan yang agak mirip dengan pingsan. Anastetik
umum ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta
menimbulkan relaksasi pada pembedahan.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat dengan zat aktif
phenobarbital kadar 50 mg. Pada saat praktikum obat ini dibagi menjadi beberapa dosis (3
dosis berbeda) untuk mengetahui perbedaan onset dan durasi kerja dari phenobarbital .
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa pada tikus mengalami fase anastesi
setelah hipnotik dikeranakan kesalahan perhitungan dosis di saat praktikum berlangsung.
Seharusnya setelah mengalami efek hipnotika tingkah laku tikus akan kembali normal.
BAB V
KESIMPULAN
PERTANYAAN
Jawab :
“DIURETIKA”
BAB I
PENDAHULUAN
Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi cairan
intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat berfungsi dengan
normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat menimbulkan kelainan
fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu fungsi kardiovaskuler, sedang
perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu fungsi.
Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi cairan
tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air, ingesti atau
defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau pemberian bahan-
bahan toksik.
Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar tetap
konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan volume dan
komposisi cairan interistitial
Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat diuretik.
Penentuan efek farmakologi dari obat – obat diuretik yaitu furosemid terhadap tikus yang
setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekwensi urinasi dan volume
urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.
BAB II
DASAR TEORI
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)
Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa ini
tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada pasien
insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan penggunaan
senyawa ini. Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-
zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga memperburuk
insufisiensi ginjal. (Mutschler,1991)
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui kerja
langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-
zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah
(dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis
antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan
ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar
terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.
MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK
Lengkungan henle. Dibagian menaik dari Henle’s loop ini k,l. 25% bsorbsi pasif dari
Na+ dan K+ tetapi tanpa hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan seperti
furosemida, bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan merintangi
transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. pengeluaran K+dan air juga diperbanyak.
Tubuli distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa
air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis.sentawa
thiazidadan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksreksi Na+ dan
Cl –sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion
K + atau –NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal
aldosteron antagonis aldosteron (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium
(amilorida, triateren) bertitik kerja disini dengan mengekibatkan ekskresi Na+ (5%)
dan retensi- K+.
Saluran pengumpul. Hormon antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis bertitik kerja
disini dengan jalan memengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.(mariska
syafri ; 2011)
Tempat Dan Cara Kerja : Tubuli Proksimal penghambatan reabsorbsi natrium dan
air melalui daya osmotiknya. Ansa Henle penghambatan reasorbsi natrium dan air oleh
karena hiperosmolaritas daerah medula menurun. Penghambatan reasorbsi natrium dan
air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain. Diuretik
osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi
oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isosorbid.
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi bikarbonat.
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal
dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara
langsung (triamteren dan amilorida).
Diuretik kuat
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden
pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium,
kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid
dan bumetamid.
Xantin
Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh meningkatnya
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua derivat xantin ini rupanya
juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi
Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada perubahan urin. Efek diuresis
ini hanya sedikit dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa, tetapi mengalami
potensiasi bila diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase.Diantara kelompok
xantin, theofilin memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat.
TOKSISITAS DIURETIK
Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi adalah
deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak pasien ,
hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien dengan
aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri. Kehilangan
kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya ,pembatasan asupan natrium
dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik glukosa, dan peningkatan konsentrasi
lemak serum. Diuretik dapat meningkatkan konsentrasi uric acid dan menyebabkan
terjadinya gout (pirai). Penggunaan dosis rendah dapat meminimalkan efek metabolik
yang tidak diinginkan tanpa mengganggu efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).
BAB III
PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
Alat
Spuite 1 cc
Kapas
Timbangan tikus
Sonde oral
Gelas ukur
Bahan
Furosemid Na 10 mg/ml
Alkohol
NaCl 0,9 %
Tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I kelompok uji dan kelompok II adalah
Suntikan furosemid pada tikus kelompok pertama secara IP dengan dosis yang telah di
tentukan.
Suntikan NaCl 0,9 % pada tikus kelompok II sebagai kontrol, perhitungan sama seperti
furosemid.
Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang didesain
untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses selama 3 jam.
Waktu mulai munculnya efek, frekuensi urinasi dan volume urin yang diekresikan dicatat
pada table.
Hitung presentase volume urin kumulatif selama 3 jam terhadap volume air yang berikan
secara oral.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Perhitungan Dosis:
Diketahui : Furosemid 10 mg
KELOMPOK I
Tikus I
Tikus II
85,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,08 mg/ml
Tikus III
KELOMPOK II
Tikus I
Tikus II
Tikus III
Rumus % = vol urin yang dieksresikan dalam waktu 3 jam/ volume air yang diberi per oral
x 100 %
HASIL PENGAMATAN
BAB V
PEMBAHASAN
Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus kesatu presentase
kumulatif urin yang dieksresikan lebih tinggi dari pada tikus kedua. Tetapi berdasarkan
jumlah konsentrasi dosis obat seharusnya tikus kedua lebih banyak mengeluarkan urine
dari pada. konsentrasi dosis obat untuk tikus kesatu, karena tikus kedua diberikan dosis
yang lebih besar maka dosis yang lebih besar berpengaruh terhadap kerja obat didalam
tubuh.
Setelah dilihat dari prosedur kerjanya pada tikus kedua ditemukan bahwa pada saat
penyuntikkan obat kepada tikus, tikus tersebut terus bergerak saat dipegang oleh salah satu
pratikan sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat merasa takut
dan pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara maksimal. Karena obat
tidak tersuntik secara maksimal dari jumlah obat yang seharusnya disuntikkan maka efek
dari obat tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan tikus kedua mengeluarkan urin lebih
sedikit dari tikus kesatu. Dan kemungkinan lain efek dari stressnya tikus menyebabkan
efek dari obat tersebut tidak menunjukkan keadaan yang seharusnya.
BAB VI
KESIMPULAN
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.. Diuretik
dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik hemat kalium,
diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik anhidrase, diuretik
osmotic. Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan untuk meningkatkan produksi
urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP)
dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas
atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu
fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya,
anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-
cabang neuromuskular dan semua jaringan otot
Anastetika lokal ialah obat yang mnghambat konduksi saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anastetika lokal
seperti kokain dan ester ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan
lidokain. Asastesi lokal permukaan tercapai ketika anastetika lokal ditempatkan didaerah
yang ingin dianastesi. Anastetika lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian,
seperti; anastesi permukaan, anastesi spinal, anastesi mukosa.
BAB II
DASAR TEORI
Anestesi permukaan.
Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan berdifusi ke
organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh
(tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak bekhasiat karena tidak mampu
menembus lapisan tanduk.
Anestesi Infiltrasi.
Anestesi Konduksi
Anestetika local disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan
hantaran rangsang pada tempat ini diblok. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini
adalah anestesi spinal, anestesi peridural, dan anestesi paravertebral.
Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri dari
satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan
suatu rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amin
tersier). Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk
garam agar lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh mereka biasanya dalam
bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relative dari
dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan
persamaan Henderson-Hasselbalch.3
Cara Kerja
Mula kerja harus sesingkat mungkin, masa kerja harus cukup lama
KEUNTUNGAN :
Kesadaran (+)
Relatif mudah
KERUGIAN :
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Gunting
Pipet tetes
Aplikator
Stopwatch
Bahan
Larutan Tetrakain
Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan
aplikator tiap kali pada permukaan kornea.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
0 = Mata me-merah
BAB V
PEMBAHASAN
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
BAB VI
KESIMPULAN
Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi umum.
Akan tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat keselamatan
yang lebih tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat yang menghambat
hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat
ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidokain.
Lidokain diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan maupun
saluran cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki kandungan zat kimia, lidokain pun tak
lepas dari efek samping, yang di antaranya adalah mengantuk, pusing, parestesia, kedutan
otot, gangguan mental, dan koma.
Pertanyaan
Senyawa ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain,
benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.
Senyawa amida
Lainnya
Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianastesi untuk
periode waktu yang lama? Jelaskan!
Jawab: Kebutaan
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“METODE REGNIER”
BAB I
PENDAHULUAN
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah
obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan
saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan
saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-
impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan
atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di
selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ
dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot
I.2 Tujuan percobaan :
BAB II
DASAR TEORI
Anestetika lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetika lokal menghilangkan
keterangsan dari organ akhir yang menghantarkan nyeri dan menghilangkan kemungkinan
pengahantaran dari serabut saraf sensibel secara bolak-balik pada tempat tertentu sebagai
akibat dari rasa sensasi nyeri hilang untuk sementara hilang. Kerja Anestetika lokal pada
ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dirangsang
berbeda. Misalnya, fungsi motorik tidak terhenti dengan dosis umum untuk anestetika lokal
terutama karena serabut saraf motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada
serabut sensorik.
Oleh karena itu efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut
saraf maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis yang lebih
besar serabut saraf motorik dihambat.
Cara Kerja
Mekanisme kerja anestetika lokal yang terkenal ialah bahwa obat ini menurunkan
ketelapan membran terhadap kation, khususnya ion Natrium. Menurunnya ketelapan
membrane mempunyai arti yang sama dengan suatu penurunan keterangsangan termasuk
juga pada konsentrasi anestetika local yang tinggi tidak dapat terangsang sama sekali dan
serabut saraf, karena suatu rangsang hanya dapat terjadi atau dapat dihanmtarkan jika
terjadi gangguan potensial istirahat membran akibat suatu kenaikan mendadak dari
ketelapan terhadap Natrium. Blokade saluran ion, khususnya saluran Natrium, akibat
anestetika local terjadi menurut mekanisme berikut : semua anestetika local tersimpan
dalam membran sel karena sifat lipofilnya dan melalui ekspansi membrane yang tak
spesifik menutup saluran Natrium. Disamping itu pada anestetika lokal basa terjadi juga
reaksi dengan reseptor terjadi pada sisi dalam membran.
Metode Regnier
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks okuler
(mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler timbul setelah
beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan besarnya
sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh 100 kali
dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.
BAB III
PERCOBAAN
* Alat *Bahan
- Stopwatch
III.2 Prosedur Kerja
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Obat Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata di menit ke….
Hewan Mata yang di
0 8 15 20 25 30 40 5
berikan
Kelinci
BAB V
PEMBAHASAN
Dari hasil percobaan, ternyata tetrakain memberikan efek anestetika lokal cepat dan
memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat jika dibandingkan prokain. Berdasarkan teori,
tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat dari pada prokain, akan tetapi juga 10 kali
lebih toksik daripada prokain(Dinamika Obat,1999)
Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek
anestetika cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan lidokain .
BAB VI
VI.1 Kesimpulan
Terdapat beberapa macam obat anestetika lokal, masing-masing obat
memiliki kekuatan kerja dan toksisitas yang berbeda. Sebagai contoh perbandingan
antara tetrakain dan prokain, dimana tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat
daripada prokain akan tetapi juga 10 kali ltebih toksik daripada prokain.
VI.2 Saran
Jawaban pertanyaan
Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dan cahaya langsung. jelaskan!
Sebutkan anestetika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini!
Jawab
Larutan obat mata harus dibuat isotonis dengan cairan mata, dosis dalam larutan obat mata
harus tepat/ sesuai, larutan obat mata harus steril, perhatikan cara penggunaan larutan obat
mata maka penggunaan harus diteteskan ke dalam kantong konyungtiva, perhatikan pula
toksisitas bahan obat, kebutuhan akan dapar, kebutuhan pengawet dan sterilisasi.
karena cahaya dapat mempengaruhi reflek okuler mata kelinci, jadi mata kelinci harus
terlindung dari cahaya langsung sehingga benar-benar hanya sentuhan dari misai yang yang
mempengaruhi reflek okuler mata kelinci.
Mepivakain Hcl, Piperokain Hcl, Tetrakain, Prokain Hcl, Pilokain Hcl, Efineprin bitartrat.
“ANASTESI KONDUKSI”
BAB I
PENDAHULUAN
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau lokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal
setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan
lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Anestetik lokal menghilangkan
penghantaran saraf ketika digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan
konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat (SSP) dan setiap
serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya
kepekaan berbagai struktur yang dapat dirangsang berbeda. Serabut saraf motorik
mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik. Oleh karena itu,
efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-
mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf
motorik dihambat.
Mengenal tiga teknik untuk mencapai anestetika lokal pada berbagai hewan
percobaan
DASAR TEORI
PERCOBAAN
Alat
Spuit 1 dan 3 ml
Klem/Pinset ekor
Timbangan
Spidol
Stopwatch
Bahan
Tetracain
NaCl Fisiologis
Lidokain
Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat
angkat ekor atau menit bersuara) dan hanya dipilih hewan hewan yang member
respon haffner negatif, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara
Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor. Manifestasi
rasa nyeri ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit atau dengan suara
kesakitan. Respon demikian dicatat sebagai haffner negatif.
Pada waktu t =0, masing masing mencit dari kelompok yang sama disuntik.
Pehacain divena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan pembawanya
dengan cara penyuntikkan yang sama.
Setalah waktu t=10 menit, masing masing mencit diperiksa respon haffner; dan
selanjutnya dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit. Hasil pengamatan
dicatat dalam sebuah tabel!
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Perhitungan Konfersi Mencit :
Tetracain = 20 mg/ml
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,113 ml
NaCl = 20 mg
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,0923 ml
Lidocain = 20 mg/ml
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,1053 ml
Mencit 1 : x 1 ml = 0,00565
Pengenceran 10 Kalinya
NaCl ad 10 ml
Mencit 2 : x 1 ml = 0,0046
NaCl : 0,0046 x 10 = 0,046 = 0,05 ml
Mencit 3 : x 1 ml = 0,0052
Pengenceran 10 Kalinya
NaCl ad 10 ml
Pengamatan:
Tetracain Iv + + + + + + + + + + + - -
Mencit NaCl Iv + + + + + + + + + + + + +
Lidocain Iv + + + + + + + + - - - - -
Keterangan :
PEMBAHASAN
Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih cepat. Teknik
pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju atau injeksi tulang
belakang, yaitu pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai anastesi dari suatu
daerah yang lebih luas.
BAB VI
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang
bawah. Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-anak
cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.
BAB II
DASAR TEORI
Teknik Anestesi
Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok dan
infiltrasi. Kedua cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Blok
Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi di area tertentu dimana saraf yang
mempersarafinya diblok agar rangsang nyeri tidak dilanjutkan. Jadi dengan teknik
blok, anestesi dilakukan di proksimal daerah operasi. Pada daerah operasinya dapat
juga ditambahkan anestesi infiltrasi. Penguasaan anatomis persarafan sangat penting
diketahui.
Keuntungan:
Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan anestesi infiltrasi
Kerugian
Infiltrasi
Teknik infiltrasi
Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan.
Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat dikeluarkan.
Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan
Masase
Hematom
Terjadi karena pecahnya pembuluh darah ketika anestesi yang kemudian darah
berkumpul di submukosa sehingga menimbulkan benjolan. Hematom ini dapat
terus membesar atau berhenti tergantung dari besarnya pembuluh darah yang
terkena. Pada pembuluh darah kecil biasanya hematom tidak membesar karena
platelet plug sudah cukup untuk menghentikan kebocoran tadi. Jika terjadi
hematom, kita evaluasi beberapa saat apakah hematom itu terus membesar atau
tetap. Jika terus membesar, kita harus berusaha mencari pembuluh darah yang
pecah dan mengikatnya kemudian membuang bekuan darah yang terkumpul. Tetapi
jika hematom tidak membesar hanya diperlukan membuang masa hematomnya
saja.
Udem
Syok Anafilaktik
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Gunting
Pisau cukur
Spuit 1 ml
Spidol
Peniti
Bahan
Larutan lidocain
Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di suntik
larutan lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.
Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).
Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah penyuntikkan
dengan peniti, setiap kali enam sentuhan
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
0= ++
5= +
10= -
15= -
Kelinci Punggung kanan Lidocain IC
20= -
25= -
30= -
0= ++
5= ++
10= +
15= +
25= +
30= +
Keterangan :
++ Respon/nyeri
BAB V
PEMBAHASAN
Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk
anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah
obat anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena
mempunyai efek kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat-
obat anestesi lokal lainnya. Obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi
di sepanjang serabut saraf secara reversibel, baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun
otonom. Kerja obat tersebut dapat dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau
impuls vasokonstriktor menuju daerah tubuh tertentu. Lidokain mampu melewati sawar
darah otak dan diserap secara cepat dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah
menjadi metabolit yang lebih larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari
lidokain dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya
vasokonstriktor, ikatan obat, jaringan, dan karakter fisikokimianya.
Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat anastesi
lidocain, punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl, berdasarkan data
pengamatan lidocain lah yang mempunyai efek obat yang cepat namun pada percobaan ini.
Dan pada punggung kiri yang disuntikkkan NaCl tidak memberikan efek anastesi sama
sekali.
Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor
eksternal hewan percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama waktu kerja obat
tersebut. Seperti berat badan, cara menyuntikkan, lokasi penyuntikkan, dan tingkat stress
dari hewan percobaan tersebut.
BAB VI
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan
dan mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar
pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf-
syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh
darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot polos. Meskipun tata
penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum diketahui secara
sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima bahwa impuls
syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan hubungan
dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup
mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya
untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang
dibebaskan oleh serabut syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ)
detektor.
BAB II
DASAR TEORI
Berat badan
Toleransi
Obesitas
Sensitivitas
Kehamilan
Laktasi
Circadian rhythm
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
Stopwatch
Koran
Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
Sarung tangan & Masker
Beaker Glass
Corong
Bahan
Kapas
Alkohol
Kelinci
Sedasikan kelinci dengan fenobarbital secara IM, catat munculnya saliva selama 5
menit, tampung dan ukur volume saliva. Suntikan atropin sulfat secara IV denagan
dosis 0,25 mg/kg BB. Catat munculnya saliva selama 5 menit, tampung dan ukur
volume saliva.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Data percobaan
Perhitungan dosis
Phenobarbital
Rute pemberian : IV
BB kelinci 1,5kg 0,07
50mg/ml 0,07 × 50 mg/ml = 3,5 mg/ml
=
Pilokarpine
Rute pemberian : IM
Atropin sulfas
Rute pemberian : IV
10 mg/ml 0,07 × 10 mg/ml = 0,7 mg/ml
=
Pengamatan
untuk kelinci dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek yang
muncul, lama berlangsungnya efek.
BAB V
PEMBAHASAN
BAB VI
KESIMPULAN
Pilokarpin dapat berkhasiat sebagai obat kholinergik karena dapat menyebabkan
efek saliva sedangkan atropin sulfas berkhasiat sebagai antikholinergik karena dapat efek
menghentikan efek saliva pada kelinci percobaan tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh kesadaran dan
kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan
jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ
dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat
belum diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima
bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan
hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi
fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau
memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut
syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.
Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah
DASAR TEORI
Berat badan
Toleransi
Obesitas
Sensitivitas
Laktasi
Circadian rhythm
BAB III
PERCOBAAN
PROSEDUR
Siapkan kelinci
Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada penyinaran
dengan senter. Bandingkan
Teteskan :
Pada mata kiri Pilokarpin HCl 3% sebanyak 3 tetes
Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
Ukur diameter kornea mata kiri setelah 15 menit
Mata kiri terjadi miosis kuat, segera teteskan atropin sulfat 2% sebanyak 3 tetes
Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
Ukur kembali diameter masing-masing kornea mata.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
PENGAMATAN
Kelinci Mata kiri Pilokarpin HCl 3% 0,7cm 0,7cm 0,6cm 0,3cm Miosis Kuat
BAB V
PEMBAHASAN
Percobaan ini yang digunakan hanya pada satu mata saja di karenakan ada satu zat
aktif yang tidak tersedia di laboratorium yaitu larutan fisostigmin, jadi yang kami amati
hanya larutan pilokarpin HCl 3% dan Atropin sulfat 2%, setelah diamati 15 menit pada
masing-masing obat terjadi reaksi pada pupil mata, untuk pilokarpin HCl 3% bekerja
sebagai kholinergik “miosis” dimana pupil mata mengecil, hasil pengamatan pada pupil
mata yang kami dapat selama 15 menit adalah 0,3cm. Atropin Sulfat 2% bekerja sebagai
Antikholinergik yaitu menimbulkan “midriasis” dimana pupil mata menjadi membesar,
pengamatan yang kami dapat pada atropin sulfat ini adalah 0,8cm pada menit ke 15. Kedua
obat ini bekerja antagonis atau berlawanan. Jadi percobaan ini sesuai dengan teori yang
ada, dimana pilokarpin bekerja sebagai kholinergik dan atropin sebagai antikholinergik
pada syaraf otonom.
BAB VI
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare dengan
metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.
Aktivitas obat yang dapat memperlambat peristaltik usus dengan mengukur rasio
normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang usus sepenuhnya.
BAB II
DASAR TEORI
KONSTIPASI
Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras. Otot polos usus
yang lumpuh misalnya pada megakolon congenital dan gangguan refleks defekasi
(konstipasi habitual). Sedangkan obstipassi adalah kesulitan defekasi karena adanya
obstruksi intra / ekstra lumen usus, misalnya karsinoma kolon sigmoid. Faktor
penyebab konstipasi adalah psikis, misalnya akibat perubahan kondisi kakus,
perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi misalnya dalam perjalanan
/ gangguan emosi, misalnya pada keadaan depresi mental - penyakit, misalnya
hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter nyari, miksuden dan skletoderma,
kelemahan otot punggung / abdomen pada kehamilan multipar dan obat, misalnya
opium, antikolinergik, penghambatan ganglion, klonidin, antasida aluminium dan
kalsium.
Mekanisme pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan, karena
kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon transport air dan
elektrolit, dapat dijelaskan antara lain:
Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa
konsistensi dan transit tinja bertambah.
Pencahar bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon dalam
menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan mekanisme seperti pada
pencahar osmotik.
Pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi
garam dan selanjutnya mengurangi waktu transit tinja.
Contoh obat pencahar adalah:
Pencahar rangsang : minyak jarak
Pencahar garam : magnesium sulfat
Pencahar pembentuk massa : metil selulosa
Pencahar emolien : paraffin cair
LAKSANSIA OSMOTIK
Karena air dapat diabsorpsi dengan mudah, maka tak dapat disunakan sebagai
laksansia. Akan tetapi jika ditambahkan garam yang sulit diabsorpsi, sesuai dengan
tekanan osmotik garam ini, pada penggunaan larutan normotoni, absorpsi air dari usus
akan diperkecil, sedangkan pada pemasukan larutan hipertoni, air akan dibebaskan ke
dalam lumen usus dan dengan demikian pengosongan feses dalam jumlah besar dapat
tercapai. Saat mulai kerja tergantung kepada jumlah dan konsentrasi larutan garam :
pada larutan hipertoni waktu relatif lama sampai air cukup banyak yang masuk ke
lumen usus sehingga pengosongan dapat dimulai biasanya sekitar 10-12 jam. Pada
larutan normotoni atau hipotoni, kerja sudah mulai dalam waktu beberapa jam saja.
Mengingat akibat bahaya dehidrasi, harus dihindari larutan hipertoni.
Laksansia garam : magnesium sulfat ( garam pahit ) dan natrium sitrat ( garam
glauber), natrium fosfat dan natrium sitrat. Yang paling banyak digunakan adalah
garam pahit dan garam glauber. GARAM MAGNESIUM (MgSO4 = garam inggris)
Obat yang termasuk didalam golongan laksansia osmotik mekanisme kerjanya
dalam usus berdasarkan penarikan air ( osmosis ) dari bahan makanan karena tiga
perempat dari dosis oral tidak diserap, akibatnya adalah pembesaran volume usus dan
meningkatnya peristaltik di usus halus dan usus besar di samping melunakkan
tinja.merupakan senyawa yang mudah diabsorpsi melalui usus kira-kira 15-30 % dan
diekskresikan melalui ginjal. Dari dosis di serap oleh usus yang dapat
mengakibatkan kadar magnesium dalam darah terlampau tinggi, khususnya bila fungsi
ginjal kurang baik. Oleh karena itu garam inggris jangan digunakan untuk jangka waktu
yang lama. Boleh digunakan selama kehamilan, obat ini masuk ke dalam air susu ibu.
NaCl FISIOLOGIK
Obat ini merupakan cairan yang isotonus terhadap cairan tubuh sehingga tidak
menghasilkan efek apa-apa. Biasanya digunakan untuk membandingkan efek yang
dihasilkan oleh suatu obat pada hewan percobaan. NaCl ini menghasilkan efek yang
tidak begitu berarti didalam tubuh serta penggunaannya tidak dipermasalahkan.
Penyalahgunaan pencahar yang banyak terjadi dimasyarakat dengan alasan
menjaga kesehatan sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan sensitivitas
mukosa, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsangan fisiogik. Penggunaan
pencahar secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping itu dapat pula terjadi kelemahan otot
rangka, berat badan menurun dan paralisis otot palos. Pengeluaran kalsium terlalu
banyak dapat menimbulkan osteomalasia.
BAB III
PERCOBAAN
Bahan danAlat
Tikus putih jantan
Larutan Pentobarbital Natrium 4%
Larutan magnesium sulfat 25%,3% dan 0,2%
Natrium klorida fisiologik
Spuit 1ml atau 2ml
Gunting benang steril
Kaca arloji
Pipet tetes
Kleenex
Jarum bedah
Prosedur
Tikus dipuaskan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.
Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg bb secarara ip.
Usus dipamerkan melalui toreahn ventral sagital, usus jangan sampai terluka,
selama pembedahan da percobaan usus harus basahi dengan NaCI fisiologik.
Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril pada
jarak lebih kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Pengikatan
jangan sampe menganggu aliran darah usus.
Suntikan berturut-turut kedalam segmen masing-masing larutan 1 ml
(MgSO4 25% NaCI 0,9 % dan MgSO4 0,2%)
Tempatkan kembali usus ke dalam rongga abdomen dan jahit kembali otot
dan kulit perut tikus. Basaahi terus jahitan dengan NaCI fisiologis.
Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan catat
volume yang diperoleh.
Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-masing
larutan terhadap retensi cairan.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
BAB V
PEMBAHASAN
Di era yang serba modern ini, manusia sering di tuntut untuk dapat memenuhi
berbagai macam tugas sekaligus di waktu yang bersamaan. Hal ini berakibat pada
menurunnya waktu luang, diantaranya adalah waktu istirahat yang pendek sehingga tidak
jarang manusia modern sekarang lebih memilih untuk memilih makanan cepat saji yang
menfandung banyak karbohidrat, lemak, dan protein namun miskin serat. Hal ini dapat
memicu berbagai masalah kesehatan yang dapat berakibat fatal dikemudian hari.
Masalah yang paling sering timbul dari kondisi kurang serat adalah konstipasi
dimana tubuh mengalami kesulitan defekasi tinja yang mengeras, otot polos yang lumpuh
atau masalah lainnya. Hal ini di perparah dengan kurangnya konsumsi air putih dan
olahraga. Sehingga sebagian orang menggunakan obat pencahar untuk mengatasi masalah
ini. Padahal penggunaan obat pencahar yang sembarangan dapat merugikan si pengguna
karena dapat menyebabkan ketergantungan, pendarahan anus, gas berlebih pada saluran
cerna dan efek lainnya.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan efek garam pada saluran cerna dan
tikus sebagai hewan ujinya. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan
selama 24 jam. Tikus disuntikkan secara ip dengan Pentobarbital 0.16 ml, setelah itu tikus
dibiarkan sampai tidak sadar. Kemudian tikus diletakan diatas kayu dengan kondisi
masing-masing kaki diikat, setelah itu dilakukan pembedahan pada jarak 2.5cm dari piloris,
usus diikat dengan benang steril pada jarak kurang lebih 8 cm , hingga diperoleh tiga
segmen terpisah. Setelah itu disuntikan berturut-turut ke dalam masing-masing segmen
larutan 1ml ( mgso4 24%, nacl 0,9% dan mgso4 0,2%) pada saat percobaan usus terus
dibasahi dengan larutan Nacl fisiologik. Setelah selesai disuntikan usus ditempatkan
kembali pada rongga abdomen, pada jam 10.39 tikus mulai dijait kembali dan terus
dibasahi Nacl fisiologik,, pada jam 10.45 tikus sudah selesai dijahit. Sebelum 2 jam setelah
tikus dijahit , tikus tersebut MATI.
BAB VI
KESIMPULAN
Setelah dilihat dari prosedur kerjanya penyebab tikus tersebut mati adalah
peralatan yang kurang steril, terlalu banyak tangan yang melakukan proses pembedahan
tersebut dan usus tikus terlalu lama diluar badannya sehingga resiko infeksi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo