Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang


telah memberikan karunia dan hidayah-Nya, sehingga
kami diberi kemampuan untuk menyusun Modul
Praktikum Farmakologi Dasar. Tak lupa ucapan
terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan modul praktikum ini.
Praktikun Farmakologi Dasar merupakan salah
satu praktikum yang diadakan di Program Studi S1
Farmasi Stikes Cendikia Utama Kudus. Materi yang
disajikan dalam praktikum ini diharapkan dapat
membekali mahasiswa sebagai landasan pada bidang
ilmu farmasi dan lebih lagi pada saat bekerja di
lapangan.. Penyusun senantiasa akan mengevaluasi
materi praktikum untuk mendukung pembekalan
mahasiswa yang lebih baik. Akhir kata, kami mengharap
kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan
buku ini.

Kudus, Maret 2020

Penyusun
T

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................... 1
Daftar Isi.....................................................................2
BAB I..........................................................................3
Standart Penanganan Hewan Uji & Perhitungan Dosis
Konversi
BAB II.......................................................................12
Pengaruh Cara Pemberian terhadap Absorbsi Obat
BAB III......................................................................15
Metabolisme Obat
BAB IV......................................................................21
Analgetika- Antinociseptik
BAB V.......................................................................25
Uji Aktivitas Anti Inflamasi
BAB VI......................................................................28
Uji Aktivitas Sedatif-Hipnotik
DAFTAR PUSTAKA...............................................30

2
BAB I
STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP)
PENANGANAN HEWAN UJI
DAN
PERHITUNGAN DOSIS KONVERSI
Penanganan hewan uji adalah tata cara untuk
memperlakukan hewan uji, baik selama masa
pemeliharaan maupun selama masa uji berlangsung.
Dalam hal ini melibatkan berbagai macam teknik, yakni
pengambilan hewandari kandang, pemegangan,
penandaan, pemberian senyawa, pengorbanan dan
pengambilan cuplikan hayati.
CARA BEKERJA DENGAN HEWAN UJI
1. Pengguna Laboratorium, baik praktikan maupun
peneliti yang bekerja di laboratorium
menggunakan hewan uji sebaiknya memahami
cara memelihara dan menggunakan binatang
percobaan.
2. Hewan uji diperlakukan dengan kasih sayang dan
jangan disakiti.
3. Cara memperlakukan hewan uji:
a. Kelinci dan marmot
Jangan sekali-kali memegang telinga kelinci
karena syaraf dan pembuluh darah dapat
terganggu.
b. Tikus dan mencit
- Peganglah pada ekor dan juga bagian
leher belakang dekat kepala dengan ibu
jari dan telunjuk , tetapi hati-hati jangan
sampai binatang tersebut membalikkan
tubuh dan menggigit anda.

3
- Gunakan kaos tangan dari kulit atau karet
yang cukup tebal untuk melindungi
tangan dari gigitan binatang.akan tetapi
bagi yang sudah terbiasa lebih baik tanpa
kaos tangan, karena kontak langsung
dengan hewan uji akan memudahkan
mengontrol gerakan hewan tersebut.
Teknik memegang tersaji pada gambar 1.

Gambar 1. Cara memegang tikus


4. Menggunakan kembali hewan uji yang sudah
dipakai.
Pada keadaan tertentu diperbolehkan memakai
suatu hewan uji lebih dari satu kali. Walaupun
demikian jika hewan tersebut telah digunakan
dalam suatu periode dan obat yang digunakan
dalam percobaan sebelumnya masih berada di
dalam tubuh hewan, kemungkinan hasil
percobaan berikutnya akan memberikan data
yang tidak benar. Hal ini terutama terdapat pada
kasus pemberian induktor dan inhibitor enzim.
Hewan yang telah digunakan untuk percobaan,

4
baru boleh digunakan lagi untuk percobaan
berikutnya setelah selang wakt minimal 14 hari.

PEMBERIAN MAKAN DAN MINUM PADA


HEWAN UJI
1. Hewan uji yang digunakan haruslah memiliki
spesies dan strain yang sama, usia yang
seragam, jenis kelamin yang sama serta
dipelihara dalam kondisi laboratorium yang
memenuhi standar minimal laboratorium
dengan kondisi ruang yang dapat
dikendalikan untuk meminimalkan variasi
data yang dihasilkan.
2. Hewan uji harus diberi makan sesuai dengan
makanan standart dan diberi minuman
dengan standar layak konsumsi ad libitum.
3. Pengurangan variasi biologis hewan uji dapat
dilakukan dengan cara memuasakan hewan
uji semalam atau minimal 14 jam sebelum
percobaan dimulai. Dalam periode ini hewan
hanya diperbolehkan minum air ad libitum.

LUKA GIGITAN HEWAN UJI


Imunasasi tetanus disarankan bagi semua orang
yang bekerja hewan uji. Luka yang bersifat
abrasif atau luka yang agak dalam karena gigitan
hewan ataupun karena alat-alat yang telah
digunakan untuk percobaan, haruslah diobati
secepatnya menurut cara-cara pertolongan
pertama pada kecelakaan. Apabila korban gigitan
belum pernah mendapat kekebalan terhadap

5
tetanus, maka harus diberikan imunisasi
profilaksis.

MEMUSNAHKAN HEWAN UJI


1. Cara terbaik membunuh hewan uji yaitu
dengan memberikan suatu anastetik over
dosis. Anestetik yang dapat digunakan adalah
injeksi barbiturat (Natrium pentobarbital 300
mg/ml) secara intravena untuk anjing dan
kelinci, secara intraperitoneal atau intratoraks
untuk marmot, tikus, dan mencit. Bahan lain
untuk membunuh hewan uji antara lain
kloroform, karbon dioksida, nitrogen, dan
lain-lain di dalam wadah tertutup rapat.
2. Selain dengan anestetik, hewan uji dapat
dibunuh dengan cara menyembelih,
kemudian dimasukkan kedalam kantong
plastik dan dibungkus lagi dengan kertas, di
letakkan di dalam tas plastik, ditutup dan
disimpan dalam lemari pendingin atau
langsung diabukan (insinerasi).

PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN UJI


1. Alat suntik
a. Spuit dan jarum suntik harus steril jika
akan digunakan pada kelinci, marmot,
dan anjing. Spuit dan jarum tidak perlu
steril melainkan sangat bersih untuk tikus
dan mencit.
b. Volume cairan atau larutan yang dapat
diberikan pada hewan uji tidak
diperbolehkan melebihi volume

6
maksimum (Tabel I) yang diperbolehkan.
Pemberian larutan diatas volume tersebut
dapat bersifat toksik dan menyakiti hewan
uji. Disarankan pemberian cairan larutan
sebesar separuh (0,5x) volume maksimal.
c. Setelah penyuntikan, cucilah spuit dan
jarum suntik tersebut, semprotkan cairan
ke dalam gelas beker, dan jarum suntik
dipegang erat-erat. Ulangi cara ini tiga
kali.
Tabel I. Volume maksimum larutan yang bisa diberikan
pada hewan uji
Hewan Volume maksimum (mL)
Cara pemberian
i.v i.m i.p s.c p.o
1. Mencit 0,5 0,05 1,0 0,5- 1,0
(20-30 g) 1,0 1,0 2,0- 1,0 5,0
2. Tikus 0,1 5,0 2,0- 2,5
(100g) 0,25 1,0- 5,0 10,0
3. Hamster 2,0 0,5 5,0 2,5 10,0
(50 g) 5,0-10,0 0,5 2,0- 5,0 20,0
4. Marmot 5,0-10,0 1,0 5,0 2,0 50,0
(250 g) 10,0-20,0 5,0 2,0 5,0- 100,0
5. Merpati 10,0- 10,0
(300 g) 20,0 5,0-
6. Kelinci 10,0- 10,0
(2,5 kg) 20,0 5,0-
7. Kucing (3 20,0- 10,0
kg) 50,0
8. Anjing (5
kg)

7
2. Heparinisasi
a. Heparin dosis 10 unit/mL digunakan
untuk mencegah penggumpalan darah.
b. Penggumpalan darah di dalam spuit
injeksi dicegah dengan cara sebelum
dipakai spuit dan jarum suntik dicuci
dahulu dengan larutan jenuh natrium
oksalat steril.
3. Pemberian Obat
a. Pemberian per-oral
Tikus, mencit
Pemberian cairan obat haruslah dalam
bentuk larutan, emulsi, atau suspensi.
Pemberian larutan pada tikus dan mencit
per oral dilakukan dengan bantuan jarum
suntik yang ujungnya tumpul atau bulat
(sonde) (gambar 3a atau disebut juga
dengan “jarum per-oral”. Teknik
pemberian per oral (gambar 3b) relatif
rumit. Sangat perlu diperhatikan pada saat
memasukkan jarum per-oral kedalam
lambung agar cairan obat tidak masuk ke
saluran pernafasan yang dapat
mengakibatkan kematian pada hewan uji.

8
A B

Gambar 3A dan 3B. Alat sonde dan cara pemberian


obat pada tikus secara per-oral
b. Pemberian secara intravena
Kelinci
Bulu-bulu telinga disekitar pembuluh darah vena
marginalis di cukur dengan scapel sampai bersih
sehingga vena terlihat jelas. Tekan pembuluh
darah di pangkal telinga (dekat kepala). Jarum
suntik berikut obatnya dimasukkan pelan-pelan
searah dengan aliran darah vena dengan ‘bevel’
menghadap keatas. Dilakukan aspirasi perlahan-
lahan untuk memastikan bahwa jarum telah
terinsenerasi ke dalam vena dengan benar. Jarum
diputar pelan-pelan sehingga ‘bevel’ menghadap
ke bawah. Jarum yang digunakan panjangnya 0,5
inci dengan ukuran 26 gauge. Setelah
penyuntikan bekas suntikan ditekan dengan kapas
bersih dengan pertolongan penjepit.
c. Pemberian secara intraperitoneal
Tikus, mencit
Tikus atau mencit dipegang pada ekornya
dengan tangan kanan dan dibiarkan
mencengkram anyaman kawat dengan kaki
depannya. Tangan kiri digunakan untuk menjepit

9
tengkuk tikus/mencit diantara jari telunjuk dan
jari tengah. Ekor tikus dipindahkan dari tangan
kanan ke jari kelingking tangan kiri. Tikus atau
mencit siap diinjeksi pada pada area abdominal.
Ukuran jarum yang digunakan adalah jarum 5/8
inchi 24 gauge.
Pemberian obat secara dengan berbagai rute tersaji pada
gambar 4.
A B

C D

Gambar 4. A. intramuskular, B. Intravena, C. Subkutan, D.


intraperitoneal

10
Contoh soal perhitungan dosis:
Suatu penelitian menggunakan mencit yang akan diberi
zat aktif murni parasetamol 500 mg/70 kg (dosis
manusia) yang belum dikonfersikan ke dalam dosis
untuk mencit. Mencit yang akan digunakan mempunyai
berat badat 25 g. buatlah stok untuk 5 mencit dengan
berat badan 20-30 g beserta cara penimbangan dan
volume pemberiannya. Diket: zat aktif parasetamol 500
mg, Vmak p.o mencit bobot 20-30 gr = 1 ml, fk =
0,0026!
Jawaban
Diketahui:
Dosis parasetamol yang belum
dikonfersikan = 500 mg/70 kg
BB mencit = 25 g dengan range 20-30 g
Ditanya: stok?
Stok = Dosis x BB
½ vmak
Konversi = 500 mg/70 kg x 0,0026 = 1,3
mg/ 20 g
Stok = 1,3 mg/20 g x 30 g
½ x 1 ml
= 3,90 ml
Dibuat stok untuk 5 mencit = 5 x ½ ml (1/2
vol.maks p.o) = 2,5 ml
= 9,75 mg/2,5
ml dijadikan 19,5 mg/5ml

11
BAB II
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP
ABSORBSI OBAT

A. Tujuan
Untuk mengenal, mempraktekkan dan
membandingkan pengaruh cara pemberian pada
hewan uji terhadap kecepatan absorbsi obat
menggunakan data farmakologi sebagai tolok
ukur.
B. Pendahuluan
Cara pemberian obat dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti per oral, subkutan,
intramuskular, intraperitoneal, per rektal dan
intravena untuk mencapai efek farmakologis
yang diinginkan. Masing- masing cara pemberian
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian
tertentu. Contohnya suatu obat atau senyawa
akan efektif jika diberikan dengan cara
pemberian tertentu. Hal tersebut disebabkan salah
satunya yaitu dengan adanya perbedaan
kecepatan absorbsi dari suatu obat atau senyawa
tertentu jika diberikan dengan pemberian tertentu
yang selanjutnya menimbulkan efek atau
aktivitas farmakologi.
C. Cara Percobaan
a. Bahan

12
Luminal/Natrium pentobarbital 3,5%/Natrium
thiopental, Alkohol 70% dan Sarung tangan

b. Alat
Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml), Spuit dan jarum
peroral, Stop watch dan Holder mencit
c. Hewan uji: Mencit
d. Cara kerja
1) Tiap kelas dibagi 5-6 kelompok
2) Masing-masing kelompok mendapat 3
mencit
3) Masing-masing kelompok mengerjakan
percobaan yang berbeda (peroral,
subkutan, intra muskular, intraperitoneal
dan intravena)
4) Mencit ditimbang kemudian hitung
volume natrium pentobarbital yang akan
diberikan, dengan dosis 75mg/kgBB.
5) Natrium pentobarbital diberikan pada
hewan uji dengan cara pemberian sesuai
yang didapat tiap kelompok
a) Oral melalui mulut dengan sonde
(jarum peroral)
b) Subkutan, masukkan sampai
bawah kulit pada tengkuk hewan
uji dengan jarum injeksi
c) Intra muskular,suntikkan ke otot
pada daerah oto gluteus maximus
d) Intra peritoneal, suntikkan ke
dalam rongga perut. Hati-hati

13
jangan sampai masuk kedalam
usus
e) Intra vena, suntikkan kedalam
vena lateralis pada ekor hewan uji.
e. Data Hasil Percobaan
1) Lakukan pengamatan terhadap efek obat
yang terjadi yaitu berupa hilangnya
kesadaran sampai kesadarannya
kembali.hilangnya kesadaran ditandai
dengan hilangnya reflek balik badan.
Kesadaran kembali ditandai dengan
kembalinya reflek balik badan
2) Data berupa onset obat (waktu yang
dibutuhkan mulai dari pemberian obat
sampai hilangnya reflek balik badan) dan
durasi atau lama kerja obat (waktu yang
dibutuhkan dari hilangnya reflek balik
badan sampai kembalinya kesadaran).
Data hasil percobaan tersaji dalam Tabel
I.
Tabel I. Data hasil percobaan
No. Cara Waktu Onset Durasi
Hew Pember Pemb Reflek balik badan (menit) (menit)
an ian erian Hilang Kembali

14
BAB III
METABOLISME OBAT

A. Tujuan
Untuk mempelajari pengaruh beberapa
senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme
obat dengan mengukur efek farmakologinya.
B. Pendahuluan
Metabolisme obat biasa disebut dengan
biotransformasi, meskipun diantara keduanya
masih dibedakan. Sebagian ahli mengatakan
bahwa istilah metabolisme hanya digunakan
dalam perubahan-perubahan biokimiawiatau
kimiawi yang dilakukanoleh tubuh terhadap
senyawa endogen, sedangkan biotransformasi
merupakan peristiwa yang sama bagi senyawa
eksogen (xenobiotika).
Pengetahuan tentang metabolisme obat
menempati posisi yang penting dalam evaluasi
keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain
untuk mengetahui proses metabolisme dan
dideaktivasi, juga untuk mengenal jalur dan
kecepatan distribusi serta eliminasi obat dan
metabolitnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses
metabolisme dapat dibagi menjadi dua; yaitu
reaksi fase I yang meliputi reaksi-raksi oksidasi,

15
reduksi dan hidrolisis, reaksi faseII atau reaksi
konjugasi. Reaksi-reaksi enzimatik yang
berperan dalam proses tersebut sebagian besar
terjadi di dalam sel-sel hepar dan sisanya terjadi
di organ-organ lain seperti saluran cerna, paru,
ginjal dan darah. Mikroflora gaestrointestinal
lebih berperan dalam reduksi daripada oksidasi
dan hidrolisis dari pada konjugasi.
Tempat terjadinya reaksi-reaksi oksidasi
sebagian besar di dalam retikulum endoplasmik
sel. Proses tersebut juga bisa dikatalisir oleh
enzim-enzim yang berada di dalam sitosol
ataupun mitokondria. Reaksi fase II umumnya
terjadi di sitosol, kecuali reaksi glukuronidasi.
Banyak obat-obatan yang mengalami
deaktivitasi dengan reaksi konjugasi, yaitu suatu
biosintesa dengan penempelan senyawa endogen
(asam glukuronat, gugus-gugus sulfat, metil dan
asetil). Jika molekul obat sangat larut dalam lipid
dan tidak mempunyai gugus aktif untuk
konjugasi, maka berbagai biotransformasi
(oksidasi, reduksi dan hidrolisis) akan terjadi
terlebih dahulu.
Dalam konjugasi dengan asam glukuronat
(reaksi fase II yang paling lazim), koenzim antara
(uridine diphosphoglucuronic acid atau UDPGA)
bereaksi dengan obat dengan adanya enzim
glukurunil-transferase untuk memindahkan
glukuronida ke atom O pada alkohol, phenol,
atau asam karboksilat, atau atom S pada senyawa
tiol, atau senyawa N pada senyawa-senyawa
amina dan sulfonamida. Dalam konjugasi obat-

16
obat denga asam-asam amino (misal: glisin dan
glutamin) terjadi reaksi antara obat yang
mempunyai gugus karboksilat dan telah diaktifasi
dengan koenzim A. dalam konjugasi dengan
glutation, epoksida atau aren oksida yang sangat
reaktif bereaksi dengan glutation, kemudian
dimetabolisir lebih lanjut menjadi asam-asam
merkapturat yang bersifat non toksik.
Induksi dan Penghambatan Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas
metabolismenya sendiri dengan induksi enzim
(meningkatkan kecepatan sintesis enzim).
Kenaikan aktivitas enzim metabolisme ini
menyebabkan metabolisme lebih cepat. Induksi
enzim umumnya merupakan proses deaktivasi
obat sehingga mengurangi kadar obat di dalam
plasma dan memperpendek waktu paro obat,
sehingga intensitas dan durasi efek
farmakologinya berkurang. Heksobarbital,
pentobarbital, alobarbital dan fenobarbital
menaikkan kadar sitokrom P-450, serta
meningkatkan kecepatan beberapa reaksi
metabolisme seperti deetilasi fenasetin,demetilasi
aminopirin, hidroksilasi bifenil dan hidroksilasi
heksobarbital.
Pengaruh induksi dan penghambat enzim
terhadap efek farmakologik dan toksisitas cukup
besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para
praktisi. Pemberian fenobarbital bersama-sama
dengan warfarin akan mengurangi efek
antikoagulansianya. Demikian pula pemberian
simetidin yang merupakan antagonis reseptor H-

17
2, akan menghambat aktivitas sitokrom P-450
dalam memetabolisme obat-obat lain. Induksi
enzim menunjukkan variasi yang besar antara
spesies, bahkan antar keturunan dalam satu
spesies. Selain itu variasi juga terjadi antara
jaringan satu dengan yang lain di dalam tubuh
hewan.
C. Cara Percobaan
1. Bahan
a. Induktor enzim: rifampisin
b. Inhibitor enzim: simetidin
c. Luminal
2. Alat
a. Jarum peroral (sonde)
b. Stop watch
3. Hewan uji: mencit
4. Cara kerja
a. Tiap kelompok mendapatkan 3 ekor
mencit dengan perlakuan sebagai berikut:
- 1 ekor mencit diberi pra perlakuan dengan
rifampisin selama 3 hari berturut-turut
dengan jeda 24 jam
- 1 ekor mencit diberi pra perlakuan dengan
simetidin
- 1 ekor mencit untuk kontrol positif.
b. Pra perlakuan dengan rifampisin
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
rifampisin. Dosis rifampisin adalah 110
mg/kgBB. Kadar larutan stok rifampisin
adalah 0,5%

18
- Rifampisisn diberikan secara per
oral.catat waktu pemberian rifampisin
- Pemberian rifampisin diulangi kembali
keesokan hari dan lusa pada jam yang
sama dengan poin diatas
- Pada saat praktikum hitung dosis dan
volume pemberian luminal
- Luminal diberikan secara i.p dan catat
waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
c. Pra perlakuan dengan simetidin
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
simetidin. Dosis simetidin adalah 80
mg/kgBB. Kadar larutan stok rifampisin
adalah 1%
- Simetidin diberikan secara peroral. Catat
waktu pemberian simetidin
- Hitung dosis dan volume pemberian
luminal
- Satu jam setelah pemberian simetidin,
luminal diberikan secara intraperitoneal,
kemudian dicatat waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
d. Kontrol positif
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
luminal

19
- Luminal diberikan secara intraperitoneal,
kemudian catat waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
e. Data hasil percobaan
- Data berupa onset obat (waktu yang
dibutuhkan mulai dari pemberian obat
sampai hilangnya reflek balik badan) dan
durasi atau lama kerja obat (waktu yang
dibutuhkan dari hilangnya reflek balik
badan sampai kembalinya kesadaran).
Data hasil percobaan tersaji dalam Tabel
II.
Tabel II. Data hasil percobaan
Perlakua Mencit Waktu Reflek balik Durasi
n No. pemberian badan
hexobarbita Hilang Kembali
l
Induksi 1
enzim 2
Rata-rata
Inhibisi 1
enzim 2
Rata-rata
Kontrol 1
2
Rata-rata

f. Data durasi obat dianalisis dengan analisa


statistik yang sesuai

20
BAB IV
ANALGETIK-ANTINOCISEPTIK

A. Tujuan
Untuk mengenal, mempraktekkan dan
membandingkan daya analgetik asetosal dan
parasetamol menggunakan metode rangsang
kimia.
B. Pendahuluan
Analgetika adalah obat yang dapat
mengurangi atau menekan rasa sakit tanpa
memiliki efek anesthesia umum. Jadi yang
dipengaruhi oleh obat ini hanyalah rasa sakit.
Berdasarkan kerjanya analgetika dibedakan
menjadi 2 macam yaitu analgetika narkotika dan
non narkotika. Analgetika narkotika merupakan
golongan obat pengurang nyeri yang berasal dari
golongan opiat atau derifatnya yang memiliki
sifat mirip morfin. Ada beberapa tipe reseptor
opiat, yaitu mu (µ), kappa (K), sigma (E) dan
delta (S).efek farmakologi tertentu yang muncul
tergantung pada interaksi antara opioid dengan
reseptor-reseptor ini. Reseptor mu (µ) dan kappa
(K) berkaitan dengan efek analgesik. Reseptor
sigma (E) berkaitan dengan efek disforia atau
efek psikomimetik. Reseptor delta (S) berperan

21
pada perubahan tingkah laku atau afektif. Secara
normal reseptor-reseptor ini terpacu oleh peptida
opioid endogen (endorfin, enkefalin dan
dimorfin) yang berfungsi mengatasi nyeri.
Analgetika nonnarkotika adalah
analgetika antipiretika dan anti inflamasi
nonsteroid (AINS/NSAID). Kelompok ini sangat
heterogen tetapi memiliki kesamaan efek
farmakologi dan efek sampingnya. Hal ini
disebabkan efek obat ini berdasarkan
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG),
yang berperan dalam patofisiologi nyeri
(terutama nyeri karena inflamasi).
Beberapa metode dapat digunakan untuk
menentukan efek analgetik suatu senyawa
berdasarkan jenis rangsang nyeri. Nyeri dapat
ditimbulkan oleh rangsang nyeri, rangsang tekan,
rangsang listrik dan rangsang zat kimia.
C. Cara percobaan
1. Bahan
Larutan tilosa dalam air 1%, Suspensi
paracetamol 300 mg/kgBB dalam tilosa 1% dan
Larutan steril asam asetat 1%
2. Alat
Spuit injeksi (0,1-1 ml), Jarum peroral
(sonde), Beaker glass, Stop watch, Randal-selitto
analgesimeter dan Hot plate
3. Hewan uji: mencit, umur 40-60 hari, berat
20-30 g.
4. Cara kerja

22
a. Mencit 16 ekor dibagi menjadi 3
kelompok
b. Kelompok I (kontrol): mencit diberi
larutan tilosa 1% melalui oral dengan
volume sama dengan larutan pembawa
obat pada kelompok perlakuan
c. Kelompok 2: mencit diberi suspense
paracetamol 45 mg/kgBB dalam tilosa 1
% secara peroral (metode rangsang kimia)
d. Kelompok 3: mencit diberi suspense
paracetamol 300 mg/kgBB dalam tilosa
1% secara peroral (metode Randall
selitto)
e. Kelompok 4: mencit diberi suspense
paracetamol 300 mg,kgBB dalam tilosa
1% secara peroral (metode hot plate)
5. Data hasil percobaan
a. Metode rangsang kimia
- Setelah kelompok 1 mendapat
perlakuan, 5 menit kemudian seluruh
hewan uji di suntik intra peritoneal
(i.p) dengan larutan steril asam asetat
1 %v/v dengan dosis 300 mg/kgBB.
Beberapa menit kemudian mencit
akan menggeliat (perut kejang dan
kaki ditarik ke belakang)
- Catat jumlah kumulatif geliat yang
timbul setiap selang waktu 5 menit
selama 60 menit. Hitung persen daya
analgetik dengan rumus:
% daya analgetik = 100- (P/K x 100)

23
Dimana P = jumlah kumulatif geliat
mencit yang diberi obat analgetik
K = jumlah kumulatif geliat
mencit yang diberi tilosa (kontrol)
b. Metode Randal selitto
- Dilakukan pretest awal antinociception dengan
Randal selitto analgesimeter . Setelah ketiga
kelompok hewan uji mendapat perlakuan, di uji
lagi efek antinociception pada menit ke- 0, 5, 10,
15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit. Untuk tes
antinociception dilakukan dengan cara menjepit
telapak kaki hewan uji pada penumpu dan
dilakukan pembebanan sampai hewan uji
menarik kakinya karena kesakitan. Cut of time
200 g
- Hitung persen daya antinociseptik dengan rumus:
% Antinociseptik = Test threshold – predrug threshold x
100% Cut of time – pre drug threshold
c. Metode hot plate
- Dilakukan pretest awal antinociception dengan
hot plate analgesimeter. Setelah ketiga
kelompok hewan uji mendapat perlakuan, diuji
lagi efek antinociception pada menit ke- 0, 5,
10, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit. Untuk uji
ini dilakukan dengan cara memasukkan hewan
uji ke dalam chamber hot plate pada suhu 550C
dihitung waktunya sampai hewan uji
menunjukkan rasa sakit (menjilat kaki,
meloncat, mengapakkan kaki 3 kali, dll). Cut of
time 30 detik.
- Hitung persen daya antinociseptik dengan
rumus:

24
% Antinociseptik = Test latency – predrug latency x
100% Cut of time – pre drug latency

- Bandingkan % antinociseptiknya

BAB V
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

A. Tujuan
Untuk mempelajari daya anti inflamasi obat pada
hewan dengan radang buatan
B. Pendahuluan
Inflamasi merupakan gabungan proses
yang kompleks dengan tanda gejala yang bersifat
umum yaitu bengkak, kemerahan, nyeri dan
panas. Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua
golongan utma yaitu golongan kortikosteroid dan
non steroid. Mekanisme kerja obat-obat tersebut
ialah penghambatan metabolisme asam
arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980). Obat-
obat golongan AINS biasanya bersifat asam
lemah, dengan mekanisme kerja dan efek
samping yang serupa. Obat golongan ini adalah
derivat asam salisilat (aspirin, salisilamida),
derivat asam fenamat (asam mefenamat,
meklofenamat), derivat propionat (ibuprofen,
naproxen, ketoprofen), derivat pirazolon (fenil
butazon, dipiron), asam asetat (diklofenak dan

25
indometazin), dan derivat oksikam (piroksikam,
tenoksikam).
Tempat aksi utama dari antiinflamasi
adalah enzim siklooksigenase (Cox), yang
mengkatalisis perubahan asam arakhidonat
menjadi prostaglandin dan endoperoksida. Dua
isoform dari enzim cox telah diidentifikasi. Cox-
1 diekspresikan pada banyak jaringan dan ini
akan memprotek mukosa dan lambung. Cox-2
diekspresikan di dalam otak dan ginjal dan
diinduksi pada tempat inflamasi.
Secara in vivo kortikosteroid mampu
menghambat pengeluaran prostaglandin pada
tikus, kelici dan marmot. Penghambatan
pengeluaran asam arakhidonat dari fosfolipida
juga akan mengurangi produk-produk
siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga
mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim
tersebut dapat dihambat oleh benoksaprofen.
C. Cara percobaan
1. Bahan
Karagenin 1% dalam tilosa 1%, Indometasin
1%, Klorpromasin HCL 1% dan Kurkumin (murni)
1% dalam tilosa
2. Alat
Plestimograph dan Alat suntik (±1 ml)
3. Hewan uji: Hewan uji (tikus jantan 200-300
gr/wistar)
4. Cara kerja

26
a. Tikus ditimbang dan kedua kaki belakang
diberi tanda diatas lutut
b. Tikus kontrol (n=3)
1) Telapak kaki kiri kanan, disuntik dengan
karagenin 0,1 ml dan ukurlah segera
volume udem dengan mencelupkan
telapak kaki (sampai ke tanda) ke dalam
air raksa pada alat plestimograph.
Pengukuran di ulangi pada 3 jam
kemudian.
2) Telapak kaki kiri, disuntik dengan 0,1 ml
tilosa 1% dan diukur volume telapak kaki
seperti di atas
c. Tikus perlakuan
1) Tikus dibagi menjadi 3 kelompok,
masing-masing sebanyak 3 ekor. Tiap
kelompok diberi obat intra peritoneal
dengan volume suntikan 40 ml/kgBB,
seperti berikut:
- Kurkumin murni 60 mg/kgBB
- Indometasin 12,5 mg/KgBB
- Klorpromasin HCl 40 mg/KgBB
2) Satu jam sesudah pemberian obat, tikus
disuntik dengan karagenin seperti diatas
(4.b). pengukuran volume udem dilakukan
segera dan 3 jam setelah pemberian
karagenin.
5. Data hasil percobaan
a. Hitung persen penghambat inflamasi
untuk tiap obat pada tiap dosis uji
b. Jika daya antiinflamasi kurkumin murni
60 mg/kgBB diberi skor 1 (absolut),

27
hitung potensi relative tiap obat tiap
dosis.

BAB VI
UJI AKTIVITAS SEDATIF-HIPNOTIK

A. Tujuan
Untuk mempelajari pengaruh obat penekanan
susunan saraf
B. Pendahuluan
Obat-obat sedatif-hipnotik memiliki efek
farmakologik yang mirip dengan anestetik
umum. Jika obat- obat tersebut diberikan dalam
dosis yang lebih besar, efeknya sama dengan
anestesi umum. Kedua jenis obat tersebut
mempunyai mekanisme yang sama dalam
menekan susunan syaraf pusat (Meyers
dkk,1974).
Obat-obat penenang (antipsikotik)
berbeda pengaruhnya dengan hipnotik sebab
tidak menimbulkan efek anestetik.klorpromasin
dan reserpin menekan susunan saraf pusat tidak
begitu dalam sehingga hanya menimbulkan efek

28
sedasi. Efek sedatif dapat mempengaruhi
kemampuan koordinasi motorik hewan uji. Besar
kecilnya pengaruh terhadap koordinasi motorik
tersebut dapat menggambarkan besar kecilnya
efek sedasi.
Efek sedatif dapat diamati melalui
eksperimen dengan hewan uji menggunakan
parameter rotarod, daya cengkram, reflek kornea,
dan diameter pupil mata.
Klorfeniramin adalah preparat antihistamin tetapi
memiliki efek samping sedatif yang mirip
denganobat penenang. Sifat sedatif obat ini
disebutkan tidak ada kaitannya dengan
kemampuannya mengantagonis histamin (Meyers
dkk,1974).
C. Cara percobaan
1. Bahan
a. Luminal/fenobarbital
b. Klorpromasin
c. Kloralhidrat/meprobamat/diazepam
2. Alat
a. Rotarod
b. Jarum suntik peroral untuk mencit
3. Hewan uji: Mencit

4. Cara kerja
a. Mencit (n=12) ditimbang, dan dibagi menjadi 4
kelompok. Masing-masing 3 ekor. Sebelum
pemberian obat, hewan tersebut diletakkan di atas
rotarod selama 5 menit untuk adaptasi.
b. Binatang diberi obat-obat berikut secara peroral
1) Kelompok kontrol : 0,9% garam fisiologis

29
2) Luminal 80 mg/kgBB
3) Klorpromasin 40 dan 100 mg/KgBB
4) Kloralhidrat/ meprobamat/diazepam 20-50
mg/kgBB
c. Pada menit-menit ke 15, 30, 60, dan 120 mencit
diletakkan diatas rotarod selama 2 menit.
d. Catat berapa kali binatang terjatuh dari rotarod
e. Selama eksperimen berlangsung amati:
1) Refleks balik badan dan kornea
2) Daya cengkram (pada kawat kasa)
3) Perubahan diameter pupil mata
5. Data hasil pengamatan
a. Berdasarkan data rotarod, tentukan obat
yang paling poten
b. Jika daya sedativ klorpromasin 100
mg/kg BB diberi skor =1 (absolut),
tentukan potensi relative obat-obat yang
diuji.

DAFTAR ISI
- Anas, Y., 2016. Petunjuk Praktikum
Farmakologi, UWH: Semarang
- Endra, P., dkk. 2016. Petunjuk Praktikum
Farmakologi, STIKESCENTAMA: Kudus
- Holek, H. G. O., 1959, Laboratory Guide in
Pharmacology, Burgess Publishing
Company: Minnesotta, 1-3.

30
- Levine, R. R., 1978, Pharmacology: drug
Action and Reaction, 2nd edition, Little,
Brown &Company, Boston.
- La Du, B. N., Mandel, H. G dan Waym E. L.,
1971, Fundamentals of Drug Metabolism and
Drug Disposition, The Williams& Wilkins
Company, Baltimore, pp 149-578
- Mayers FH, Jawetz E, Goldfien A, (1974),
Review of medical pharmacology, 4th ed.,
Lange medical pvubl. Calif.

31

Anda mungkin juga menyukai