DISUSUN OLEH :
FAUZAN JUNIAWAN 201951081
ROH SETYANINGSIH ASTUTI 201951007
SITI AMINAH 201851329
SAFINA NURUL QONITA 201851254
Puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa. Atas rahmat dan hidayah-nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “pengelompokkan dan mekanisme penanganan
hewan uji serta ekstrak tanaman sebagai anti inflamasi” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas praktikum farmakologi dan toksikologi. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang hewan uji pra klinis bagi para pembaca
dan juga bagi kami.
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapa Apt. Jerry, M.Farm selaku dosen pembimbing
serta rekan asisstant laboratorium pada praktikum farmakologi dan toksikologi. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu
dan pengalaman yang dimiliki. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukan
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
BAB I ................................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................. 7
ii
iii
BAB I
PENGELOMPOKAN HEWAN UJI
A. Latar Belakang
Penelitian dibidang kefarmasian saat ini mengalami kemajuan cukup pesat. Pada
penelitian eksperimental dilaboratorium secara in vivo pada manusia sering kali
terkendala masalah etik dan pemilihan subyek manusianya. Secara etik uji coba pada
manusia boleh dilakukan apabila sudah dilakukan uji secara laboratorium secara
tuntas dan tidak berefek toksik. Penggunaan hewan model beberapa penyakit in vivo
saat ini sering digunakan dengan mengikuti kaidah etik yang berlaku guna
meningkatkan pengetahuan patofisiologi, mekanisme pengobatan, dan efek samping
obat dari suatu penyakit.
Hewan model suatu penyakit memainkan peran pentiing dalam eksplorasi dan
karakterisasi patofisiologi penyakit, identifikasi target pengobatan, evaluasi agen
terapi dan perawatan baru secara in vivo. Penggunaan model hewan suatu penyakit
yang ideal dapat dimanfaatkan untuk penilaian praklinis dan menemukan obat baru
dan agen terapeutik untuk dikembangkan dan diaplikasikan pada manusia.
Terdapat beberapa jenis hewan coba yang banyak digunakan pada penelitian dibidang
kedokteran untuk mengetahui mekanisme, patogenesis dan pengobatan. Dibidang
kedokteran hewan sering digunakan untuk menghasilkan varian baru yang lebih
rentan sakit, cepat berkembang biak, dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
manusia. Pada bidang farmasi digunakan hewan coba untuk pengembangan obat baru
ataupun ujitoksisitas suatu bahan atau obat.
B. Pengelompokkan Hewan
Hewan coba yang banyak digunakan pada penelitian dapat digolongkan menjadi
kelompok berdasarkan anatomi, kebiasaan hidup serta fisiologi yang hampir sama,
pembagian kelompok hewan ini dibagi menjadi
1. Rodensia dan kelinci
Hewan coba berupa rodensia yaitu tikus dan mencit merupakan hewan coba yang
sering digunakan untuk penelitian. Mencit dan tikus merupakan mamalia yang
mempunyai kemiripan dengan manusia. Sering digunakan sebagai hewan model
4
untuk beberapa penyakit, seperti artritis rematoid, gastritis, diabetes melitus,
kerusakan hati dan ginjal
2. Karnivora
Jenis karnivora yang sering digunakan untuk penelitian adalah anjing dan kucing.
Keuntungan penggunaan kucing dan anjing karena ukuran tubuhnya dan struktur
anatominya memudahkan untuk penelitian tentang pembedahan. Selain itu juga
sering digunakan untuk penelitian tentang metabolisme obat toksisitas obat serta
evaluasi terhadap efektivitas suatu obat.
3. Primata
Hewan primata memiliki keunggulan dibanding hewan coba lain karena memiliki
anatomi dan fisiologi yang hampir mendekati manusia.
4. Unggas
Pada umumnya hewan unggas ini digunakan telurnya untuk penelitian dibidang
virologi, proses angiogenesis.
Peneliti harus menentukan hewan coba apakah yang bisa digunakan pada
penelitian yang akan dilakukannya dengan mempertimbangkan beberapa hal
sebagai berikut :
a. Spesies hewan yang sesuai dengan tujuan penelitian
b. Memiliki kemiripan secara anatomi, fisiologi dengan manusia
c. Mudah dikembang biakkan dan dipelihara dilaboratorium sehingga bisa
diperoleh galur yang murni dan akan menjadi populasi yang homogen pada
saat digunakan dalam suatu penelitian
d. Hewan model sesuai dan bisa digunakan pada metode penelitian. Kemudahan
pemeliharaan dan kemudahan memperoleh hewan coba yang diperlukan
e. Sesuai dengan kemampuan dana yang dimiliki oleh peneliti
f. Hewan coba tidak mudah terinfeksi oleh penyakit selain penyakit akibat
induksi sebagai hewan model.
5. Kelompok kontrol negatif
Kelompok perlakuan yang tidak dapat menghasilkan efek atau memberikan efek
perubahan pada variabel tergantung.
6. Kelompok kontrol positif
Kelompok perlakuan yang dapat menghasilkan efek atau memberikan efek
perubahan pada variabel tergantung. Tujuan digunakannya kontrol positif adalah
5
untuk memastikan eksperimen yang dilakukan sudah tepat dan menghasilkan efek
positif pada variabel tergantung.
7. Kelompok kontrol normal yaitu kelompok yang diberi pembawa sediaan uji yang
bersifat inert dan tidak mempengaruhi apapun
8. Kelompok perlakuan yaitu kelompok yang diberi perlakuan induksi dan diberi
bahan uji minimal tiga kelompok.
6
BAB II
PENANGANAN HEWAN UJI
A. Penanganan
Dalam melakukan penelitian dengan hewan diperlukan pengetahuan dan keterampilan
tentang penanganan hewan coba agar penelitian dapat berjalan lancar sesuai dengan
rencana. Oleh karena itu, jika hendak melakukan penelitian dengan hewan percobaan,
peneliti perlu memperhatikan hal-hal dibawah ini
1. Bekerja dengan tenang, hilangkan perasaan takut atau tegang, karena jika merasa
takut atau tegang kita dapat menjadi gugup atau ragu-ragu sehingga timbul kesulitan
2. Cara menangani hewan coba yang tidak benar dapat berakibat cidera fisik pada
peneliti, hewan coba, kerusakan alat atau dapat menimbulkan stress pada hewan
coba. Oleh karena itu, perlu dipahami cara memelihara dan memperlakukan hewan
coba yang benar
3. Setiap langkah tidak boleh secara terburu-buru. Dianjurkan untuk tidak memberi
perlakuan apapun jika hewan coba belum tenang
4. Hewan coba harus diperlakukan dengan kasih sayang dan jangan disakiti
5. Untuk melindungi tangan dari gigitan hewan coba dapat digunakan kaos tangan dari
kulit atau karet yang cukup tebal.
7
2. Tikus
Relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus pada umumnya mudah
diamati. Ia tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit, dan
kecendurungannya untuk berkumpul sesamanya juga tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak demikian terganggu dengan adanya manusia disekitarnya. Suhu
tubuh tikus normal 37,5˚. Bila diperlakukan kasar atau tikus mengalami difesiensi
nutrisi akan menjadi galak dan sering menyerang
Cara penanganan :
Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus diperhatikan bahwa
sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal ekor. Tikus dapat
diangkat dengan memegang perutnya ; tikus diangkat dari kandangnya dengan
memegang tubuh / ekornya dari belakang, kemudian diletakkan diatas permukaan
yang kasar. Tangan kiri diluncurkan dari belakang tubuhnya menuju kepala dan ibu
jari diselipkan kedepan untuk menjepit kaki kanan depan tikus antara jari tengah
dengan telunjuk. Untuk melakukan pemberian secara ip, im, tikus dipegang pada
bagian belakangnya. Hal ini hendaknya dilakukan dengan mulus tanpa ragu-ragu.
8
Tikus tidak mengelak bila dipegang dari atas, tapi bila dipojokkan kesudut ia akan
menjadi panik dan menggigit.
3. Kelinci
Kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia bersuara.
Pada umumnya cenderung untuk berontak apabila keamanannya terganggu. Suhu
rektal pada kelinci sehat antara 38,5˚ - 40˚ C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan
tersebut tereksitasi ataupun karena gangguan lingkungan
Cara penanganan :
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap, karena ia cenderung untuk
berontak. Menangkap atau memperlakukan kelinci jangan dengan mengangkat pada
telinganya, untuk menangkapnya pada leher kelinci dipegang dengan tangan kiri,
pantatnya diangkat dengan tangan kanan.kemudian didekap kedekat tubuh.
4. Marmot
Marmot amat jinak, tidak akan mengalami kesukaran pada waktu dipegang dan
jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas. Kulitnya halus dan
berkilat, tidak dikotori oleh feses atau urine. Bila dipegang bulunya tebal, tidak ada
cairan yang keluar dari hidung dan telinga, juga tidak meneteskan air liur dan diare.
Pernafasannya teratur dan tidak berbunyi, sikap dan cara berjalannya normal
9
Cara penanganan :
Marmot dapat diangkat dengan jalan memegang badan bagian atas dengan tangan
yang satu dan memegang badan bagian belakangnya dengan tangan yang lain,
mendekapkan marmot ketubuh sendiri dengan satu tangan
5. Katak
Kulit katak bersifat lembab dan licin
Cara penanganan :
Katak dipegang pada lehernya atau badannya dengan menggunakan kain kasar atau
lap.
10
BAB III
TUMBUHAN YANG MENGANDUNG SENYAWA AKTIF
ANTIINFLAMASI
A. Latar Belakang
Inflamasi atau radang merupakan indikator dari sistem kekebalan tubuh melawan suatu
penyakit, berfungsi menghancurkan, mengurangi, serta melokalisasi agen pencedera
maupun jaringan yang cedera. Ciri peradangan akut meliputi edema, kemerahan, panas,
dan nyeri. Pada proses radang akut disebabkan oleh pelepasan berbagai macam
mediator kimia, seperti produk leukosit, protease plasma, amina vasoaktif, dan metabolit
asam arakhidonat.
AINS (Antiinflamasi Non Steroid) serta AIS (Antiinflamasi Steroid) merupakan
golongan obat antiinflamasi yang memiliki kemampuan menekan tanda-tanda dan gejala-
gejala inflamasi. Disisi lain, sediaan herbal memiliki kelebihan dibandingkan obat kimia
dan sintetik dipasaran, yaitu efek terapeutik yang bersifat konstruktif serta efek samping
yang sangat kecil sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Karena penggunaan obat-
obatan antiinflamasi apabila dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menurunkan fungsi
organ tubuh seperti ginjal, hati, organ pada sistem pencernaan bahkan jantung, maka
dilakukan penanganan inflamasi selain terapi farmakologi obat-obatan yaitu dengan
terapi sediaan herbal dari berbagai jenis tumbuhan.
Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah tumbuhan obat yang melimpah, tetapi
yang telah digunakan sebagai obat tradisonal hanya sebanyak 2,5%. Tumbuhan obat
yang berkhasiat sebagai antiinflamasi berdasarkan standardisasi yang dilakukan oleh
BPOM(Badan Pengawas Obat dan Makanan) diantaranya daun seledri, daun daruju,
rimpang kunir putih dan buah mengkudu. Oleh karena itu dilakukan penelusuran pustaka
mengenai beberapa tumbuhan lain yang memiliki senyawa aktif dan terbukti memiliki
aktivitasantiinflamasi.
11
menunjukkan terdapatnya efek antiinflamasi dimana volume edema rata- rata tikus
setiap kelompok zat uji tidak sebesar volume edema tikus pada kelompok kontrol.
Ekstrak etanol kunyit memiliki potensi antiinflamasi. Hal ini diduga merupakan efek
dari kurkumin sebagai salah satu bahan aktif kunyit yang dapat menghambat
pembentukan prostaglandin dan menekan aktifitas enzim siklooksigenase. Dosis
efektif ekstraketanol kunyit sebesar 1000 mg/kgBB dengan persen inhibisi 78,37 %.
2. Ekstrak selaput biji kesumba (Bixa orellana L.)
Ekstrak selaput biji kesumba memiliki efek antiinflamasi, hal ini karena terdapat
senyawa aktif bixin dan norbixin. Mekanisme kerjanya yaitu, bixin dapat menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 sehingga mengakibatkan prostaglandin tidak terbentuk dan
inflamasi dapat berkurang. Secara normal COX-1 selalu ada di dalam tubuh yang
digunakan ketika membentuk prostaglandin. COX-1 dibutuhkan pada proses normal
tubuh, seperti memberi efek perlindungan terhadap mukosa lambung. Sedangkan
enzim COX-2 terbentuk hanya ketika terjadi radang, melepaskan prostaglandin yang
menjadi mediator inflamasi. Dosis ekstrak selaput biji kesumba yang memberikan efek
antiinflamasi paling baik pada tikus yang telah diinduksi karagenan ialah 0,09
mg/kgBB.
3. Ektrak daun buas-buas (Premna pubescens Blume)
Ekstrak daun buas-buas 300 mg/kgBB dengan persen inhibisi 58,10 % merupakan
dosis efektif sebagaiantiinflamasi. Mekanisme kerjanya yaitu terjadi penghambatan
antiinflamasi oleh adanya penghambatan enzimsiklooksogenase yang disebabkan
senyawaaktif flavonoid yang tersari dalam ekstrak dimana flavonoid mempunyai
kemampuan sebagai inhibitor enzim lipooksigenase dansikooksogenase.
4. Ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga)
12
fase pertama (early phase), dengan menghambat proses pelepasan serotonin dan
histamin yang merupakan mediator kimia ke tempat terjadinya radang, juga bekerja
pada mediator utama dari inflamasi yaitu dengan menghambat sintesis prostaglandin
melalui penghambatan kerja siklooksigenase (COX) sehingga tidak terjadi perubahan
asam arakhidonat menjadi prostaglandin.
Dosis yang paling efektif pada uji aktivitas ekstrak rimpang kencur ini yaitu
45 mg/kgBB dengan persen inhibisi sebesar 51,27 %.
Berdasarkan hasil penelitian ekstrak daun suji memiliki potensi antiinflamasi. Hal ini
karena adanya efek flavonoid yang terkandung dalam daun Suji yang dapat
menghambat akumulasi leukosit di daerah inflamasi. Pada kondisi normal leukosit
bergerak bebas sepanjang dinding endotel, tetapi berbeda selama inflamasi, berbagai
mediator radang menyebabkan adhesi leukosit ke dinding sel endotel sehingga
menyebabkan leukosit menjadi immobil dan menstimulasi degranulasi netrofil. Dosis
13
ekstrak daun suji yang efektif sebagai antiinflamasi ialah 100 mg/kgBB dengan persen
inhibisi 33,19%.
8. Ekstrak kulit batang jambu mete (Anacardium occidentale L.)
Senyawa fenolik yang terkandung pada kulit batang jambu mete berperan menghambat
inflamasi dengan mekanisme penangkapan radikal bebas dan menghambat enzim
siklooksigenase. Senyawa fenolik dapat menangkap radikal bebas yang dapat
menyebakan terjadinya kerusakan jaringan yang akan memicu terjadinya biosintesis
asam arakidonat menjadi mediator inflamasi yaitu prostaglandin. Polifenolik juga
memiliki kemampuan mengikat rantai polipeptida yang merupakan penyusun utama
asam amino enzim. Enzim siklooksigenase tersusun atas asam amino sperti tirosin,
valin, leusin dan lain-lain. Sehingga secara tidak langsung semakin banyak polimer
yang terbentuk semakin besar daya antiinflamasinya. Selain itu dengan keberadaan
senyawa asam anakardat juga beraktivitas sebagai antiinflamasi dengan mekanisme
penghambatan enzim siklooksigenase juga. Penghambatan enzim siklooksigenase oleh
senyawa polifenolik dan asam anakardat tidak spesifik pada enzim siklooksigenase 1
atau 2. Dosis efektif ekstrak kulit batang jambu mete sebesar 2500 mg/kgBB dengan
perseninhibisi sebesar 46,80 %.
9. Fraksi air daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
Daun mahkota dewa memiliki efek antiinflmasi karena mengandung senyawa
fenolik dan flavonoid. Flavonoid mampu menghambat produksi nitrit oksida dan
menghambat ekspresi iNOS, kekuatan antiinflmasi tergantung pada struktur atau
subklas dari flavonoid. Flavonoid juga dapat menghambat akumulasi leukosit didaerah
inflmasi. Hasil penapisan fiokimia menunjukkan bahwa fraksi air daun mahkota dewa
mengandung flavonoid. Dosis efektif fraksi air daun mahkota dewa sebesar 500
mg/kgBB dengan persen inhibisi 27,35 %.
14
Tumbuhan ini mengandung beberapa senyawa aktif tannin, saponin, flavanoid,
alkaloid, yang dapat memberikan aktivitas antiinflamasi. Dengan dosis 250 mg/kgBB
Callicarpa longifolia L. mampu menurunkan peradangan melalui penghambatan enzim
siklooksigenase (COX) dan lipooksigenase.[13] Selain itu tanaman ini
juga telah diuji dan memiliki sifat sebagai antiokasidan.
12. Fraksi daun piladang(Solenostemonscutellarioides L.)
Fraksi daun piladang mengandung senyawa aktif flavonoid yang memberikan
efek antiinflamasi dengan menghambat dan mengurangi volume edema pada daerah
radang dan mempengaruhi migrasi serta jumlah sel leukosit pada darah dan eksudat.
Aktivitas antiinflamasi tersebut dengan cara menghambat enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Penghambatan jalur siklooksigenase dan lipooksigenase ini
menyebabkan penghambatan biosintesis prostaglandin dan leukotrien yang
merupakan produk akhir dari jalur siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga
penghambatanenzim ini dapat mengurangi inflamasi.
Dalam penghambatan enzim tersebut secara tidak langsung juga terjadi
penghambatan akumulasi leukosit didaerah inflamasi, dimana dalam kondisi normal
leukosit bergerak bebas sepanjang dinding endotel tetapi selama terjadinya inflamasi
berbagai mediator menyebabkan adhesi leukosit ke dinding endotel sehingga leukosit
menjadi immobil. Jadi dengan adanya kandungan flavonoid dalam fraksi dapat
menurunkan jumlah leukosit immobil sehingga dapat menurunkan adhesi leukosit ke
endotel dan terjadi penurunan respon inflamasi. Selain flavonoid, steroid yang terdapat
dalam fraksi juga dapat menghambat enzim fosfolipase sehingga asam arakidonat dan
prostaglandin tidak terbentuk dengan cara merintangi bebasnya enzim, menstabilkan
membran lisosom, menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi dan
menghambat migrasi serta infiltrasi leukosit. Dosis efektif ekstrak etanol kunyit
sebesar 400 mg/kgBB dengan persen inhibisi 89,55 %.
13. Ekstrak Etanol Lantana camara L.
Ekstrak etanol daun Lantana camara dosis 720 mg/kgBB memiliki daya antiinflamasi
yang paling baik apabila dibandingkan dengan kelompok dosis lain dengan persen
inhibisi sebesar 38,10 %. Mekanisme antiinflamasinya disebabkan adanya
penghambatan pelepasan Prostaglandin (PG) dan mediator inflamasi lainnya. Ekstrak
etanol daun L. camara mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri yang
memiliki aktivitas antiinflamasi. Saponin terdiri dari steroid yang mampu berinteraksi
15
dengan banyak membran lipid seperti fosfolipid yang merupakan prekursor
prostaglandin.
Mekanisme antiinflamasi yang dilakukan oleh flavonoid dapat melalui beberapa jalur
yaitu penghambatan aktivitas enzim COX atau lipooksigenase. Penghambatan jalur
COX dan lipooksigenase ini secara langsung juga menghambat biosintesis eikosanoid
dan leukotrien, yang merupakan produk akhir dari jalur COX dan lipooksigenase.
Selain itu penghambatan akumulasi leukosit di daerah inflamasi, sehingga menurunkan
adhesi leukosit ke endotel dan mengakibatkan penurunan respon inflamasi tubuh.
Flavonoid juga dapat menghambat degranulasi netrofil, sehingga secara langsung
mengurangi pelepasan asam arakhidonat oleh netrofil. Efek antiinflamasi flavonoid
didukung oleh aksinya sebagai antihistamin. Flavonoid dapat menghambat pelepasan
histamin dari sel mast. Flavonoid dapat menghambat enzim c-AMP fosfodiesterase
sehingga kadar c-AMP dalam sel mast meningkat, dengan demikian kalsium dicegah
masuk ke dalam sel yang berarti juga mencegah pelepasan histamin.[16]
Minyak atsiri daun L. camara mengandung eugenol dan beberapa senyawa
terpen yang memiliki efek antiinflamasi. Eugenol merupakan penyusun minyak atsiri
L.camara dapat menghambat agregasi platelet, menghambat pembentukan
tromboksan sehingga berperan dalam efek antiinflamasi. Eugenol dapat menghambat
aktivitas sintesis PGH karena berkompetisi dengan asam arakhidonat pada sisi aktif
PGH sintase sehingga menghambat pembentukan PG.
16
DAFTAR PUSTAKA
17