KASUS 7
“KONSTIPASI”
Dosen Pengampu :
apt. Ganet Eko Pramukantoro, M.Si.
Disusun Oleh :
Astika Salsabila Nurhidayati (2120414584)
C. Patofisiologi Konstipasi
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anotomi dan inervasi
yang normal dari ektum, muskulus puborectalis dan muskulus sfinger ani. Rectum
adalah organ senfitif yang mengawali proses defekasi.Tekanan pada dinding
rectum akan merangsang sistem saraf intrinsic rectum dan menyebabkan relaksasi
muskulus sfinger ani interna, yang dapat dirasakan sebagai keinginan untuk
defekasi. Muskulus sfinger ani eksterna kemudian akan relaksasi dan feses
dikeluarkan mengikuti gerakan peristaltic kolon lalu deses dibuang melalui anus.
Jika relaksasi muskulus sfinger ani interna tidak cukup kuat, maka muskulus
sfinger ani eksterna yang dibantu oleh muskulus puborectalis akan berkontraksi
secara reflex dan reflex muskulus sfinger ani interna akan menghilang, sehingga
keinginan defekasi juga menghilang.
Proses defekasi yang tidak lancer akan menyebabkan feces mengeras yang
kemudian dapat berakibat pada spasme mukulus sfinger ani. Feses yang terkumpul
di rectum dalam waktu yang lama akan menyebabkan dilatasi rectum yang
menngakibatkan kurangnya aktivitas peristaltic untuk mendorong feses keluar
sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin banyak. Peningkatan volume
feses pada rectum menyebabkan kemampuan sensorik rectum berkurang sehingga
retensi feses makin mudah terjadi.
D. Faktor Resiko
Yang merupakan faktor resiko untuk terjadinya konstipasi adalah :
- Usia lebih dari 40 tahun
- Baru menjalani pembedahan abdominal atau perianal/panggul
- Hamil tua
- Aktifitas yang kurang
- Tidak adekuatnya asupan air dan serat
- Obat-obatan (poliformasi) terutama pada pasien usia lanjut
- Penyalahgunaan laksansia
- Perjalanan
- Faktor psikologi
E. Klasifikasi Konstipasi
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat
kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan
konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau
anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya
merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya beberapa istilah pernah digunakan
untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti retensi tinja fungsional,
konstipasi retentif atau megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena
adanya usaha anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk
berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak kejadian,
yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak mulai bersekolah.
F. Gejala Konstipasi
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang
lain, karena pola makan, hormon,gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang
berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda yang umum ditemukan pada
sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika
tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat
seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, jumlahnya lebih sedikit
daripada biasanya (kurang dari 30 gram), dan bahkan dapat berbentuk bulat-
bulat kecil bila sudah parah.
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang
harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan tinja (bahkan sampai mengalami ambeien dan berkeringat
dingin).
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat
bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada
biasanya (bahkan terkadang penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa
buang angin).
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang
air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
G. Pencegahan Konstipasi
Konstipasi termasuk kondisi kesehatan yang bisa kita hindari. Beberapa
langkah sederhana untuk mencegah kondisi ini adalah :
1. Memperbanyak konsumsi serat, misalnya dengan makan sayur, buah, beras
merah, sereal, biji-bijian, serta kacang-kacangan.
2. Meningkatkan konsumsi cairan, setidaknya 1,5-2 liter tiap hari.
3. Menghindari terlalu banyak mengonsumsi susu dan kafein. Konsumsi terlalu
banyak susu dapat meningkatkan kemungkinan konstipasi, sedangkan kafein
dapat menimbulkan dehidrasi yang bisa memicu sembelit.
4. Rutin berolahraga setidaknya 30 menit sehari.
5. Jangan mengabaikan keinginan untuk buang air besar. Kebiasaan menahan
keinginan buang air besar akan meningkatkan risiko konstipasi.
6. Mengatur kebiasaan buang air besar agar dapat dilakukan dengan leluasa dan
nyaman
H. Terapi Non- Farmakologi
Terapi non-farmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB
pada pasien konstipasi.
1. Meningkatkan konsumsi makanan berserat (seperti buah, sayur, dan gandum)
dan minum air putih yang cukup (minimal 30-50 cc/kgBB/hari untuk orang
dewasa sehat dengan aktivitas normal).
2. Mengkonsumsi probiotik (strain Bifidobacterium sp. Seperti Bifidobancterium
animalis lacyis DN-173 010, misalnya ACTIVA).
3. Meningkatkan aktivitas fisik
4. Mengatur kebiasaan defekasi :
- Menghindari mengejan
- Membiasakan buang air besar setelah makan (melatih reflex post-prandial
bowel movement) atau waktu yang dianggap sesuai dan cukup.
5. Menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
I. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar digunakan untuk
meningkatkan frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering
dan keras. Secara umum, mekanisme kerja obat pencahar meliputi pengurangan
absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini mengubah kolon,
yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan menjadi
organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro et al, 2015).
Obat pencahar sendiri dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu: (1)
pencahar yang melunakkan feses dalam waktu 1-3 hari (pencahar bulk-forming,
docusates, dan laktulosa). (2) pencahar yang mampu menghasilkan feses yang
lunak atau semi cair dalam waktu 6-12 jam (derivat difenilmetan dan derivat
antrakuinon), serta (3) pencahar yang mampu menghasilkan pengeluaran feses
yang cair dalam waktu 1-6 jam (saline cathartics, minyak castor, larutan elektrolit
polietilenglikol).
Pencahar yang melunakkan feses secara umum merupakan senyawa yang
tidak diabsorpsi dalam saluran pencernaan dan beraksi dengan meningkatkan
volume padatan feses dan melunakkan feses supaya lebih mudah dikeluarkan.
Pencahar bulk-forming meningkatkan volume feses dengan menarik air dan
membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan
merangsang gerak peristaltik. Penggunaan obat pencahar ini perlu memperhatikan
asupan cairan kedalam tubuh harus mencukupi, jika tidah bahaya terjadi dehidrasi.
Saline cathartics merupakan garam anorganik yang mengandung ion-ion
seperti Mg, S, P, dan sitrat, yang bekerja dengan mempertahankan air tetap dalam
saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang kemudian
merangsang pergerakan usus (peristaltik). Selain itu, Mg juga merangsang sekresi
kolesitokinin, suatu hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi
cairan.
J. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi konstipasi
Jenis Obat Dosis lazim
Bulk laxative ( Pembentuk massa feses)
Ispaghula sekam
(Nama obat : Mulax) ½-1 sachet 1-3 kali sehari, bubuk
dicampur dg 200 ml air
Sorbitol
Sorbitol Corsa Dewasa 3 sachet/ hari, anak ¼ dosis
(Contoh lain : Aminovel, Microlax dws. Konstipasi 2 sachet menjelang
enema) tidur malam & 1 sachet sebelum
makan pagi.
Laksatif Stimulan (Stimulan)
Bisacodyl
Dulcolax (Tab 5 mg) 1-2 tab sehari sebelum tidur
Contoh lain : Laxacod, Laxamex,
Laxana, Prolaxan, Stolax, Dulcolax
suppositoria,Bisacodyl tab.
Gliserol
Laxadine. Dosis dewasa : 15-30 ml sekali sehari
Contoh lain : Triolax, Fleet Glyserin diminum sebelum tidur. Anak : 6-12 th
Suppoitories. :7,5-15 ml per hari dikonsumsi
sebelum tidur
Natrium dokusat
Laxatab 50-300 mg/hari dalam dosis terbagi.
Natrium Pikosulfat
Laxoberon Dws: 10-20 tetes; 4-10 th: 5-10 tetes
pada malam hari.
Senna
Senna sediaan sirup 8,8 mg 2-6 thn: 2,5-7,5 ml/hr; 6-12 tahun: 15
ml/hari
Pelunak feses
Parafin Cair
Laxadine Dws: 1-2 sdm (15-30ml) 1xsehari
sebelum tidur. 6-12 thtn: ½ dosis dws
Lubricant (Pelicin)
Mineral oil/ Minyak mineral < 1 tahun tidak direkomendasikan
15-30 ml/tahun umur, hingga 210ml/hr
Minyak zaitun 1 sendok makan sebelum tidur.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Kasus 7:
Seorang Bapak umur 50 tahun pergi ke apotek dengan keluhan susah buang air besar
sudah 3 hari, kalo dipaksa untuk BAB takut kalau wasirnya kambuh lagi. Sebelumnya
belum pernah mengalami penyakit ini, dulu pernah memiliki penyakit wasir, tidak
memiliki alergi.
Metode SBAR :
Subjective :
Susah buang air besar
Background :
- Sejak kapan merasakah keluhan ini ?
- Apakah sebelumnya sudah pernah merasakan keluhan ini?
- Apakah mempunyai riwayat penyakit wasir ?
- Apa yang dirasakan ? apakah perut terasa penuh ? atau bagaimana ?
- Apakah sudah minum obat untuk mengatasi keluhan yang dirasakan ?
- Apakah sedang mengkonsumsi obat tertentu ?
- Bagaimana pola makan pasien sehari-hari ?
- Apakah pasien memiliki alergi makanan ?
Assesment :
- Susah BAB karena pola makan yang kurang baik. (Kurang makan berserat) ->
konstipasi
- Susah BAB akibat obat tertentu -> ES. Obat
Recommendation :
- Mengatasi konstipasi dengan Dulcolax 5 mg, yang merupakan laksatif stimulant
dan meminta pasien konsumsi makanan yang berserat dan konsumsi air putih
yang banyak.
- Akibat Obat tertentu -> hentikan obat dan konsumsi makanan yang berserat serta
minum air putih yang banyak.
Depskripsi penyakit :
Konstipasi adalah keadaan kesulitan waktu defeksi dengan feses yang keras serta
frekuensi buang air besar yang kurang dari 3 kali dalam seminggu.
DOKUMENTASI SWAMEDIKASI
Usia 50 tahun
Penyimpanan : kotak obat atau wadah tertutup rapat pada suhu 30°C. Dan jauhkan dari jangkauan
anak-anak.
Purwdodadi, 27 Februari 2021
Yang menyerahkan,
Dipiro JT, Wells BG, Schwinghammer TL. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth
Edition. McGraw-Hill Education. Halaman 194-199.
Endaryi B dan Syarif B.H. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri. 6(2): 75-59.
MIMS. 2015. MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 14. Jakarta.PT. Bhuana Ilmu Populer
PGI (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia). 2010. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Konstipasi Di Indonesia. Jakarta. Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia.