DISUSUN OLEH :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nyalah
sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan Asuhan Keperawatan Kritis STEMI, ini
tepat pada waktu yang telah ditentukan. Asuhan Keperawatan ini diajukan guna memenuhi
tugas yang diberikan oleh dosen akademi.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan Asuhan
Keperawatan ini baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari kategori sempurna, baik
dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan. oleh karen itu, kritik dan saran yang
membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat
kami harapkan demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini.
DAFTAR ISI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
Intinya IMA terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak
tertangani dengan baik sehingga menyebabkan kematian sel – sel jantung tersebut. Beberapa
hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut ( Kasron, 2016 ) diantaranya :
a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain :
1. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel
– sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya :
atherosclerosis, spasme, dan arteritis. Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang
yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan
beberapa hal antara lain : mengkonsumsi obatibatan tertentu, stress emosional atau nyeri,
terpapar suhu dingin yang ekstrim, merokok.
2. Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh tubuh
sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari faktor pemompaan dan
volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi
diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katupkatup
jantung ( aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis ) menyebabkan menurunnya cardiac output
( COP ). Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan beberapa
bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
3. Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya angkut
darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung
maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya
angkut darah antara lain : anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
b. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi
diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika
orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada akhirnya
makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan
suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen
akan memicu terjadinya infark. Misalnya : aktivitas berlebih, emosi, makan terlalu banyak,
dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karena semakin banyak sel
yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen menurun akibat dari pemompaan
yang tidak efektif.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan
pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (va sokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
WOC
Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
b. Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi
syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit
untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90
menit.
2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT
intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
c. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan
aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
d. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
e. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-
162 mg.
f. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik
>100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima
belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan
100 mg tiap 12 jam.
g. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-
needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-
ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
2.7 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
a. ASPIRIN®
b. clopidrogel
c. statin (cholesterol lowering) drugs
d. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
e. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik
EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung,
sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI).
Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
1. Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
2. Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
3. Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
4. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
5. Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
6. Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
7. Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
8. Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
9. Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
10. Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
TINJAUAN KASUS
Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang mulai dari
tahap pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi dari tanggal 27 Desember
2018 di ruang Melati RSUD Bangil.
Data diambil tanggal : 27 Desember 2018 Jam : 21.00 Tgl MRS : 27 Desember 2018
Ruang rawat/kelas : Mawar Diagnosa Medis : Stemi Anterior
No. Rekam medis : 0038xxxx
3.1 Identitas Klien
Klien adalah seorang laki - laki bernama Tn. H usia 50 tahun beragama islam, klien
tinggal di Gempol – Pasuruan, klien bekerja sebagai sopir dengan pendidikan terakhir SD,
klien menikah dengan Ny. T dan dikaruniai dua orang anak. Klien MRS pada tanggal 27
Desember 2019 di Ruang Melati RSUD Bangil.
3.1.2 Riwayat Penyakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama pasien mengatakan nyeri dada sebelah kiri menjalar ke punggung.
Riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan saat dirumah mengeluh nyeri dada sebelah
kiri kemudian hilang saat dipakai istirahat. Pada tanggal 27 Desember 2018 saat bekerja
pasien merasakan nyeri kembali dibagian dada sebelah kiri dan sesak, pukul 20.00 WIB
pasien dibawa ke IGD RSUD Bangil dan diberikan tindakan pemasangan masker NRBM 10
Lpm. Pukul 21.00 WIB pasien dipindahkan ke ruang melati. Pada saat pengkajian pasien
mengatakan nyeri dada sebelah kiri menjalar ke punggung seperti diremas – remas dengan
skala 6, dan nyeri hilang timbul.
Riwayat Keperawatan Sebelumnya
Riwayat Kesehatan yang lalu pasien mengatakan tidak pernah memiliki riwayat
penyakit seperti HT dan DM, tidak pernah melakukan operasi, dan tidak memiliki alergi
makanan atau obat.
Riwayat Kesehatan Keluarga
1. Penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga
Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan
2. Lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan rumah tidak kotor, ventilasi rumah baik, pasien mengatakan sering
mengikuti acara dilingkungan rumah seperti pengajian.
3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Pasien mengatakan sering begadang saat masuk malam di tempat kerja, dan
jarang melakukan olahraga.
Status cairan dan nutrisi
Nafsu makan baik, saat di Rumah pasien makan 1 porsi sedang sebanyak 3x sehari,
dan saat di RS pasien makan 3x sehari 1 porsi habis. Pasien selalu mengkonsumsi air putih
dengan jumlah 1,5 Liter/hari. Pasien mengatakan tidak ada pantangan dan tidak melakukan
diet.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.2.4 Genogram
X
Ket :
= Perempuan = Pasien
2)Tanda Vital :
: 130/80
(1)Tensi
mmHg
(2)Suhu : 36ºC
(4)Respirasi : 28 x/menit
1) Respirasi (B1)
Bentuk dada normal chest, tidak ada skoliosis pada susunan ruas tulang belakang, irama
nafas tidak teratur dengan jenis dispnea, terdapat retraksi otot bantu pernafasan, perkusi
thorax sonor, getaran sama kanan kiri pada vokal premitus, menggunakan alat bantu nafas
NRBM 10 Lpm, dan terdapat suara nafas wheezing, pasien mengatakan sesak dan letih
setelah
beraktivitas.
(B2)
Terdapat nyeri dada, irama jantung reguler, ictus cordis teraba kuat pada ICS V
Midclavicula, dunyi jantung S1 dan S2 Tunggal, CRT <3 detik, tidak terdapat sianosis, tida
JVP.
Masalah keperawatan : Nyeri Akut dan Resiko Penurunan Curah Jantung 5)Persyarafan (B3)
Kesadaran composmentis dengan GCS 456, orientasi baik, tidak terdapat kaku kejang
dan kaku kuduk, tidak ada nyeri kepala, dan tidak ada kelainan nervus cranialis. Istirahat
6) Genetourinaria (B4)
Bentuk alat kelamin normal dan bersih, terpasang kateter dengan jumlah 1300/24 Jam
7) Pencernaan (B5)
Keadaan mulut bersih, mukosa bibir kering, terdapat caries, dan saat di RS tidak
menggosok gigi tetapi melakukan oral hygiene menggunakan listerine. Pasien tidak
mengalami kesulitan menelan dan tidak ada pembesaran tonsil. Tidak ada nyeri abdomen,
tidak kembung dan peristaltik usus 10 x/menit. Pasien mengatakan saat dirawat di RS
belum BAB.
Intervensi
Implementasi
3.2 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien
dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
a. Nyeri hilang atau terkontrol
b. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
c. Suplai oksigen adekuat.
d. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
e. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
arpenito ( 2000),Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktek Klinis,Ed.6,EGC,
Jakarta
Doenges at al ( 2000 ),Rencana Asuhan Keperawatan,Ed.3,EGC,Jakarta
Price & Wilson (1995),Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,Ed,4,EGC
Jakarta
Soeparman & Waspadi(1990),Ilmu Penyakir Dalam,BP FKUI,Jakarta
Boedi Warsono;Diagnostik dan Pengobatan Penyakit Jantung: Lektor Madya Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 1984,hal 93-100.
Elliott M.Antman,Eugene Braunwald;Acute Myocardial Infarction;Harrison’s
Principles of Medicine 15th edition,2005,page 1-17.
Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004,hal 173-181.
Pramonohadi Prabowo;Penyakit Jantung Koroner,Lab/UPF Ilmu Penyakit Jantung;FK
Unair RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
Prof.dr.H.M.Sjaifoellah Noer,dkk.;Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam