Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH :

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CEBDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2020

KATA PENGANTAR
         Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nyalah
sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan Asuhan Keperawatan Kritis STEMI, ini
tepat pada waktu yang telah ditentukan. Asuhan Keperawatan ini diajukan guna memenuhi
tugas yang diberikan oleh dosen akademi.
         Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan Asuhan
Keperawatan ini baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
         Kami menyadari isi Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari kategori sempurna, baik
dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan. oleh karen itu, kritik dan saran yang
membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat
kami harapkan demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini.

                     Jombang , September 2020


Penyusun

                                                                                                    
                                                                                                      
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... ...........


DAFTAR ISI..................................................................................................... ............
BAB 1 ................................................................................................................. ...........
PENDAHULUAN.......................................................................................................
LATAR BELAKANG......................................................................................
RUMUSAN MASALAH....................................................................................
TUJUAN PENULISAN.....................................................................................
MANFAAT PENULISAN.....................................................................................
BAB II........................................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................
DEFINISI......................................................................................................... .........
ETIOLOGI....................................................................................................... ........
PATOFISIOLOGI............................................................................................. ........
MANIFESTASI KLINIK................................................................................... .......
BAB III............................................................................................................
ASUHAN KEPERAWATAN.............................................................................
PENGKAJIAN..................................................................................................
DIAGNOSA.....................................................................................................
INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI...............................................................
EVALUASI......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung adalah
suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel otot
jantung mengalami kematian ( Robbins SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi,
2012 ). Masyarakat sering menganggap nyeri dada yang menjalar hanyalah rasa capek biasa,
kemungkinan besar itu tanda dari penyakit jantung. Nyeri pada infark miokard akut tidak bisa
hilang sendirinya, meskipun gejala berkurang saat istirahat. Pada masyarakat masih salah
persepsi ketika mereka istirahat, gejala mereka hilang berarti mereka sembuh. Salah satu
penyebab adalah anggapan bahwa penyakit yang ia derita hanya gejala masuk angin atau
angin duduk biasa. Cara yang paling sering ditempuh untuk mengatasi gejala masuk angin
adalah dengan menggosokkan balsam atau minyak rempah pada tubuh penderita. Setelah itu
sering kali dilanjutkan dengan mengerik, yaitu menggoreskan uang logam pada punggung
dan dada hingga meninggalkan bekas berwarna kemerahan dan berpola seperti tulang sirip
ikan. Bekas goresan yang berwarna lebih merah sampai kehitaman adalah pertanda
banyaknya angin yang masuk ke dalam tubuh. Adapun jika penderita bersendawa saat
digosok atau dikerik, maka angin dianggap sudah berhasil dikeluarkan dari tubuh ( Yahya,
2010 ).
Dari data WHO tahun 2012 menunjukkan bahwa Infark Miokard Akut atau IMA
merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung 12,2% kematian di dunia di
akibatkan oleh penyakit kardiovaskuler salah satunya adalah Infark Miokard Akut ( WHO,
2012 ). Di Indonesia, penyakit IMA merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka
mortalitas 2.200.000 ( 14% ) ( WHO, 2008 ). Pada tahun 2009, IMA masuk dalam kategori
10 besar penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian di rumah sakit di seluruh
Indonesia yaitu sekitar 6,25% (Kemenkes, 2012). Di Jawa Timur, IMA merupakan salah satu
dari 20 penyakit terbanyak di rumah sakit di provinsi Jawa Timur yaitu sekitar 1,45%
(Dinkes Jawa Timur, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Bangil Pasuruan pada tahun
2017 terdapat 6 penyakit Infark Miokard Akut ( IMA ) ( Rekam Medik RSUD Bangil, 2017 ).
Penyebab utama dari terjadinya infark miokard adalah ketidakseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan oksigen di jaringan otot jantung. Kebutuhan oksigen di jaringan otot jantung yang
tinggi, tetapi pasokan (supply) oksigen ke daerah tersebut kurang. Jika tidak mendapatkan
oksigen dalam waktu yang cukup lama, lama kelamaan jaringan otot jantung dapat rusak dan
bersifat menetap. Sehingga darah yang membawa oksigen tidak mencapai otot jantung. Infark
miokard yang sering terjadi karena disebabkan sumbatan pembuluh darah jantung atau
ischemia. Tanda dan gejala dari IMA terjadi nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan
terus-menerus tidak mereda, nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin,
diaphoresis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah. Keluhan yang khas
ialah nyeri dada seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau tertindih barang berat,
dan menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu leher, rahang bahkan kepunggung dan
epigastris ( Kasron, 2012 ). Disritmia adalah komplikasi tersering pada infark, akibat
perubahan keseimbangan elektrolit dan penurunan PH. Dapat terjadi syok kardiojenik apabila
curah jantung sangat berkurang dalam waktu lama. Setelah infark miokard sembuh, terbentuk
jaringan parut yang menggantikan sel-sel miokardium yang mati. Apabila jaringan parut
cukup luas, kontraktilitas jantung dapat berkurang secara permanen ( Corwin, 2009 ).
Mengingat begitu berbahaya nya Infark Miokard Akut bagi kesehatan maka perlu
diberikan asuhan keperawatan pada pasien Infark Miokard Akut (IMA). Asuhan keperawatan
yang diberikan oleh perawat yakni asuhan keperawatan yang efektif dan mampu ikut serta
dalam upaya penurunan angka insiden Infark Miokard Akut melalui upaya promotif yang
dilakukan dengan cara menganjurkan pada pasien sebisa mungkin menghindari faktor- faktor
yang dapat memperberat penyakit dan menurunkan angka kematian. Preventif dilakukan
dengan cara mengajarkan pasien cara untuk menanggulanginya. Kuratif yaitu memberikan
terapi yang tepat sesuai dengan perintah dokter. Rehabilitatif yaitu memantau agar tidak
terjadi komplikasi yang lebih berat pada organ tubuh lainnya.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 BagaimanaWeb of Cause dari STEMI.
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
Intinya IMA terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak
tertangani dengan baik sehingga menyebabkan kematian sel – sel jantung tersebut. Beberapa
hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut ( Kasron, 2016 ) diantaranya :
a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain :
1. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel
– sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya :
atherosclerosis, spasme, dan arteritis. Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang
yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan
beberapa hal antara lain : mengkonsumsi obatibatan tertentu, stress emosional atau nyeri,
terpapar suhu dingin yang ekstrim, merokok.
2. Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh tubuh
sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari faktor pemompaan dan
volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi
diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katupkatup
jantung ( aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis ) menyebabkan menurunnya cardiac output
( COP ). Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan beberapa
bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
3. Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya angkut
darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung
maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya
angkut darah antara lain : anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
b. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi
diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika
orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada akhirnya
makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan
suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen
akan memicu terjadinya infark. Misalnya : aktivitas berlebih, emosi, makan terlalu banyak,
dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karena semakin banyak sel
yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen menurun akibat dari pemompaan
yang tidak efektif.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika
mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan
pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya  pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (va sokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
WOC

2.4 Manifestasi Klinis


Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri
dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor
risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dan diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada
disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial
friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau  ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan
terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non
STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzim mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-
14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada
laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok
control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/u1.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu
dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang
ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).

 Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar  kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
b. Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi
syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam  30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit
untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90
menit.
2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
 Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT
intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
c. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan
aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
d. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
e. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-
162 mg.
f. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik
>100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima
belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan
100 mg tiap 12 jam.
g. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek  lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi  kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-
needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-
ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
2.7 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
a. ASPIRIN®
b. clopidrogel
c. statin (cholesterol lowering) drugs
d. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
e. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik
EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung,
sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI).
 Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
1. Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
2. Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
3. Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
4. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
5. Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
6. Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
7. Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
8. Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
9. Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
10. Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

TINJAUAN KASUS
Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang mulai dari
tahap pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi dari tanggal 27 Desember
2018 di ruang Melati RSUD Bangil.
Data diambil tanggal : 27 Desember 2018 Jam : 21.00 Tgl MRS : 27 Desember 2018
Ruang rawat/kelas : Mawar Diagnosa Medis : Stemi Anterior
No. Rekam medis : 0038xxxx
3.1 Identitas Klien
Klien adalah seorang laki - laki bernama Tn. H usia 50 tahun beragama islam, klien
tinggal di Gempol – Pasuruan, klien bekerja sebagai sopir dengan pendidikan terakhir SD,
klien menikah dengan Ny. T dan dikaruniai dua orang anak. Klien MRS pada tanggal 27
Desember 2019 di Ruang Melati RSUD Bangil.
3.1.2 Riwayat Penyakit
 Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama pasien mengatakan nyeri dada sebelah kiri menjalar ke punggung.
Riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan saat dirumah mengeluh nyeri dada sebelah
kiri kemudian hilang saat dipakai istirahat. Pada tanggal 27 Desember 2018 saat bekerja
pasien merasakan nyeri kembali dibagian dada sebelah kiri dan sesak, pukul 20.00 WIB
pasien dibawa ke IGD RSUD Bangil dan diberikan tindakan pemasangan masker NRBM 10
Lpm. Pukul 21.00 WIB pasien dipindahkan ke ruang melati. Pada saat pengkajian pasien
mengatakan nyeri dada sebelah kiri menjalar ke punggung seperti diremas – remas dengan
skala 6, dan nyeri hilang timbul.
 Riwayat Keperawatan Sebelumnya
Riwayat Kesehatan yang lalu pasien mengatakan tidak pernah memiliki riwayat
penyakit seperti HT dan DM, tidak pernah melakukan operasi, dan tidak memiliki alergi
makanan atau obat.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
1. Penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga
Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan
2. Lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan rumah tidak kotor, ventilasi rumah baik, pasien mengatakan sering
mengikuti acara dilingkungan rumah seperti pengajian.
3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Pasien mengatakan sering begadang saat masuk malam di tempat kerja, dan
jarang melakukan olahraga.
 Status cairan dan nutrisi
Nafsu makan baik, saat di Rumah pasien makan 1 porsi sedang sebanyak 3x sehari,
dan saat di RS pasien makan 3x sehari 1 porsi habis. Pasien selalu mengkonsumsi air putih
dengan jumlah 1,5 Liter/hari. Pasien mengatakan tidak ada pantangan dan tidak melakukan
diet.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

3.1.2.4 Genogram
X

Ket :

= Perempuan = Pasien

= Laki – Laki X = Meninggal dunia


= Tinggal serumah

3.1.2.5 Pemeriksaan Fisik


1)Keadaan umum : Lemah

2)Tanda Vital :

: 130/80
(1)Tensi
mmHg

(2)Suhu : 36ºC

(3)Nadi : 100 x/menit

(4)Respirasi : 28 x/menit
1) Respirasi (B1)

Bentuk dada normal chest, tidak ada skoliosis pada susunan ruas tulang belakang, irama

nafas tidak teratur dengan jenis dispnea, terdapat retraksi otot bantu pernafasan, perkusi

thorax sonor, getaran sama kanan kiri pada vokal premitus, menggunakan alat bantu nafas

NRBM 10 Lpm, dan terdapat suara nafas wheezing, pasien mengatakan sesak dan letih

setelah

beraktivitas.

Masalah keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas dan Intoleransi Aktivitas 4)Kardiovaskuler

(B2)

Terdapat nyeri dada, irama jantung reguler, ictus cordis teraba kuat pada ICS V

Midclavicula, dunyi jantung S1 dan S2 Tunggal, CRT <3 detik, tidak terdapat sianosis, tida

terdapat clubbing finger, dan tidak ada pembesaran

JVP.

P = Nyeri timbul saat beraktivitas


Q = Nyeri seperti diremas – remas
R = Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke punggung
S = Skala nyeri 6
T = Nyeri hilang timbul
Lain-lain : Hasil Lab CK-MB 366,3 mg/dL, Troponin I 11,400 ng/mL, dan pada hasil EKG

terdapat ST Elevasi pada V2 dan V3

Masalah keperawatan : Nyeri Akut dan Resiko Penurunan Curah Jantung 5)Persyarafan (B3)

Kesadaran composmentis dengan GCS 456, orientasi baik, tidak terdapat kaku kejang

dan kaku kuduk, tidak ada nyeri kepala, dan tidak ada kelainan nervus cranialis. Istirahat

dirumah ± 6 Jam, saat di RS ± 7 Jam, dan sering terbangun.

Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

6) Genetourinaria (B4)

Bentuk alat kelamin normal dan bersih, terpasang kateter dengan jumlah 1300/24 Jam

dengan warna kuning dan bau khas.

Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

7) Pencernaan (B5)

Keadaan mulut bersih, mukosa bibir kering, terdapat caries, dan saat di RS tidak

menggosok gigi tetapi melakukan oral hygiene menggunakan listerine. Pasien tidak

mengalami kesulitan menelan dan tidak ada pembesaran tonsil. Tidak ada nyeri abdomen,

tidak kembung dan peristaltik usus 10 x/menit. Pasien mengatakan saat dirawat di RS

belum BAB.

Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

Intervensi

Implementasi
3.2 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien
dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
a. Nyeri hilang atau terkontrol
b. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
c. Suplai oksigen adekuat.
d. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
e. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
 DAFTAR PUSTAKA

 Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
 arpenito ( 2000),Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktek Klinis,Ed.6,EGC,
Jakarta
 Doenges at al ( 2000 ),Rencana Asuhan Keperawatan,Ed.3,EGC,Jakarta
 Price & Wilson (1995),Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,Ed,4,EGC
Jakarta
 Soeparman & Waspadi(1990),Ilmu Penyakir Dalam,BP FKUI,Jakarta
 Boedi Warsono;Diagnostik dan Pengobatan Penyakit Jantung: Lektor Madya Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 1984,hal 93-100.
 Elliott M.Antman,Eugene Braunwald;Acute Myocardial Infarction;Harrison’s
Principles of Medicine 15th edition,2005,page 1-17.
 Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004,hal 173-181.
 Pramonohadi Prabowo;Penyakit Jantung Koroner,Lab/UPF Ilmu Penyakit Jantung;FK
Unair RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
 Prof.dr.H.M.Sjaifoellah Noer,dkk.;Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Anda mungkin juga menyukai