Anda di halaman 1dari 32

REFARAT

TATALAKSANA ATRIAL FIBRILASI

Disusun Oleh:
Florentina Rahabeat
1865050052

Pembimbing:
Dr. Febtusia Puspitasari, Sp.JP, FIHA, FAsCC

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


PERIODE PEMBELAJARAN JARAK JAUH 4 MEI 2020 – 18 JULI 2020
PERIODE TATAP MUKA 02 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020
TATALAKSANA ATRIAL FIBRILASI

Telah Diterima dan Disetujui Oleh Dokter Pembimbing Klinik


Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

Disusun Oleh :

Florentina Rahabeat
1865050052

Telah disetujui oleh Pembimbing

(Dr. Febtusia Puspitasari, Sp.JP, FIHA, FAsCC)

Mengetahui,

(Dr. Frits R.W. Suling, Sp.JP(K), FIHA, FAsCC)


Koordinator Pendidikan Departemen Penyakit Dalam
DAFTAR ISI

HAL
DAFTAR ISI …………………………………………………………. ii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….... 2
2.1 Fisiologi dan Sistem Konduksi jantung ………………………… 3
2.4.1 Fisiologi Jantung ………………………..…………………... 3
2.4.2 Sistem Konduksi Jantung …………………………………… 5
2.5Elektrofisiologi jantung ….……………………………………… 7
2.6 Aritmia …………………………………………………………. 10
2.6.1 Abnormal Automaticity …………………………………….... 10
2.6.2 Reentry ………………………………………………………. 10
2.6.3 Trigered activity …………………………………………….. 11
2.7 Atrial Fibrilasi ………………………………………………… 11
2.7.1 Definisi dan Klasifikasi ..…………………………………… 12
2.7.2 Etiologi ………...…………………………………………….. 14
2.7.3 Faktor Risiko …………….……………………..……………. 14
2.7.4 Tanda dan Gejalan ….....……………………..………………. 15
2.7.5 Patofisiologi ..….……………………………………………. 15
2.7.6 Penegakkan Diagnosis……..……………/……………………. 16
2.7.7 Tata Laksana …………………………………………. . 18
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………. 24
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 25
DAFTAR TABEL

HAL
Tabel 1. Obat yang digunakan untuk kardoversi
medis termasuk direct current ……….…………… 22
DAFTAR GAMBAR

HAL
Gambar 1. Fisiologi potensial aksi jantung ……………………..... 4
Gambar 2. Fisiologi kontraksi dan relaksasi otot jantung ………… 5
Gambar 3. Sistem konduksi jantung ……………………………... 7

Gambar 4. Pembentukan potensial aksi …………………..……… 7

Gambar 5. Kurva potensial aksi ………………………………….. 8

Gambar 6. Pola potensial aksi masing-masing system konduksi

jantung ………………………………………………….. 9

Gambar 7. Pola klasifikasi atrial fibrilasi …………………………. 12

Gambar 8. Rekaman EKG AF ….…………………………………. 13

Gambar 9. Proses akibat lokal atrial fibrilasi ……………………… 16

Gambar 10. Evaluasi minimal yang dilakukan …………………….. 16

Gambar 11. Evaluasi tambahan yang dilakukan …………………… 17


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atrial fibrilasi (AF) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium1. Pengertian kata AF
berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan merupakan
suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan peningkatan
denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk indikator untuk
mementukan ada tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram
(EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang terkoordinasi2.
Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam praktek
klinis3. Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit untuk gangguan
irama jantung4. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat penerimaan untuk
AF telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir5. Sedangkan untuk presentase stroke
yang berasal dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari
mereka yang secara struktural terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal 6. Dari
sekitar 2,2 juta orang di Amerika Serikat, ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru
setiap tahun. Pada prevalensi umum AF, terdapat peningkatan seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia kurang dari 50 tahun (<50 tahun),
prevalensi AF kurang lebih berkisar pada nilai presentase 1 % dan kemudian meningkat
menjadi 9 % pada usia 80 tahun. AF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita, walaupun sebenarnya tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya
perbedaan yang relevan antara jenis kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi
prevalensi AF7.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya system konduksi
sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada AF, nodus SA tidak mampu
melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya konduksi
sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut, detak jantung menjadi
tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan
berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang waktu selama bertahun-
tahun. Kecenderungan alami dari AF sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi
kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi lain8.
AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat menyebabkan
palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan AF
biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum).
Pada AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan
gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada
atrium kiri jantung9. Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada
jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan AF memang memiliki faktor
risiko tambahan dan AF juga merupakan penyebab utama dari stroke10.
AF dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat denyut
jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik kardioversi juga
dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung AF kembali ke irama jantung yang
normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter juga dapat digunakan
untuk mencegah terulangnya AF dalam individu-individu tertentu.10

B. Tujuan
Untuk mengetahui definisi, tanda serta gejala, patofisiologi dan tatalaksana atrial
fibrilasi.

C. Manfaat
Refarat ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya
tentang penyakit jantung atrial fibrilasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung


1. Fisiologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat adanya
potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung, yaitu 99% sel-sel
kontraktil yang melakukan kerja mekanik (kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial
aksi dan 1 % sel-sel otoritmik yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi),
tetapi mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi 5,6.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik jantung
dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung dimulai dengan
adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi dimulai dari proses
dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga proses ini merupakan
rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk memicu kontraksi otot jantung 5.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi pembukaan saluran Na +
secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan perubahan potensial membran sel-
sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv. Setelah mencapai ambang batas
perubahan potensial, saluran Na + akan segera menutup yang kemudian diikuti pembukaan
saluran Ca2+. Pembukaan saluran Ca2+ terjadi secara lambat, yang menyebabkan proses
plateau dan influks Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik.
Setelah beberapa saat, saluran Ca 2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K +.
Pembukaan saluran K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan
keluarnya atau effluks K+ ke ekstraseluler5,6,9.
Gambar 1. Fisiologi Potensial Aksi jantung5

Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial aksi,
dimana terjadi penutupan saluran Na 2+ dan pembukaan saluran Ca2+ secara lambat. Proses
kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca 2+ atau kenaikan konsentrasi Ca 2+ bebas
intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut,
yaitu Ca2+ ekstraseluler berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca 2+ selama
fase plateu pada potensial aksi jantung dan Ca 2+ yang dikeluarkan dari cadangan intraseluler
(sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari ekstraseluler5,9.
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan Ca 2+ dengan
troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan kontraksi otot-otot jantung.
Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling
menggeser untuk memperpendek tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca 2+ dengan
troponin akan menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca 2+ yang
tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic reticulum dan
sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca 2+ ke ekstraseluler terjadi karena
adanya pertukaran dengan ion Na 2+ yang berada di ekstraseluler. Kemudian ion Na + yang telah
masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara aktif dengan ion K + melalui proses Na+-
K+-ATPase5,9.
Gambar 2. Fisiologi Kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung5,6

2. Sistem Konduksi jantung


Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga menimbulkan
kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan elektrik. Sistem
konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas
cabang kanan-kiri dan serabut purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung
berawal di nodus sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan.
Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium, baik atrium
kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara atrium kanan dan kiri
dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui traktus inter-atrial yang
merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA memiliki kemampuan mencetuskan
potensial elektrik (pacemaker) tercepat bila dibandingkan dengan sistem konduksi
jantung yang lain, yaitu sebesar 60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini
menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol utama rangsangan elektrik jantung
(overdrive pacemaker) dan mengendalikan sistem konduksi jantung5,9.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik untuk
menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran sinyal elektrik
harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi ventrikel
dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap pasangan atrium
dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus atrio-ventrikuler
(nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui traktus internodal (internodal
anterior, posterior dan medial). Nodus AV merupakan satu-satunya penghubung sistem
konduksi antara atrium dengan ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai
kemampuan mencetuskan potensial elektrik (Pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar
40-60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol dan
pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada rangsangan elektrik nodus
SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki keterlambatan penjalaran sinyal
elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi
dalam memberikan waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu
dalam proses mengosongkan volume atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu
pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi 5..
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his sebenarnya dapat
dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal dari nodus AV, yang
berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke ventrikel. Berkas his akan
bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang kanan dan berkas cabang kiri. Berkas
cabang kanan (RBB/right bundle branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB
bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan sub endokardium di sisi bagian kanan.
Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior
dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan
menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman
purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri (LBB/left bundle
branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini
berjalan di sub endokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing
percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan RBB,
yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati berkas his
dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut purkinje juga
mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium)
antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri5,8.
Gambar 3. Sistem Konduksi jantung5,6

B. Elektrofisiologi Jantung
Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-sel jantung yang
dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus AV), (2)
jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), san (3) sel-sel otot ventrikel dan atrium.
Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadipada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh
interaksiionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal
khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid). Transportasi
ionik ini mempertahankan gradien. konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel.
Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca++lebih tinggi diluar sel, sedangkan
konsentrasi K+ lebih tinggi di dalam sel.5,6
Gambar 4. Pembentukan Potensial Aksi5,6

Phase 0 ( depolarisasi ): Masuknya Na + secara mendadak ke intra sel intra sel


menjadi positif
Phase 1 (repolarisasi awal) :Kanal Natrium tertutup muatan positif intra sel
berkurang sedikit
Phase 2 (plateu): Kalsium masuk lambat ke intrasel, muatan stabil. Disebut masa
refrakter negative
Phase 3 (repolasrisasi) Kalium keluar ke ekstra sel sehingga intrasel menjadi lebih
bermuatan negative kembali
Phase 4 ( istirahat ) terjadi polarisasi : intrasel negative, ekstrasel positif

Gambar 5. Kurva Potensial Aksi5,6

Potensial transmembran saat istirahat (–80 s/d –90mV pada otot jantung dan –60
pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya akumulasi molekul-molekul bermuatan negatif
(ion-ion) di dalam sel. Potensial aksi pada sel jantung memberikan pola yang khas, dan
mencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung. Sebagaimana diillustrasikan pada
gambar 6 dan 7. Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase, namun untuk
memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase
umum, yakni :5

1. Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+
membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan
positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial transmembran
beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi
satu sel jantung akan cenderung menyebabkan sel-sel yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan
membuka kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di
hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan
cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel miokard.

2. Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik
kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion- ion ketempatnya semula seperti
saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi. Fase repolarisasi ini di tunjukkan oleh fase 1-3
kurva potensial aksi. Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi,
rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory
periode). Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan
menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.

3. Fase Istirahat
Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai
fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel
pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara
bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls
listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi
spontan disebut automatisitas.

Gambar 6. Pola potensial aksi masing-masing sistem konduksi jantung6


Pola potensial aksi tidaklah sama pada setiap sel-sel yang menyusun sistem listrik
jantung. Gambar di atas memberikan model ilustrasi dari masing-masing sistem konduksi
listrik jantung. Pola potensial aksi sel-sel purkinje sangat berbeda dengan sel-sel nodus SA dan
nodus AV. Perbedaan ini terjadi pada fase 0 yaitu depolarisasi lambat sel nodus SA dan AV,
dikarenakan tidak adanya kanal cepat Na + yang bertanggung jawab pada fase depolarisasi cepat
sel otot jantung yang lain (fase 0).9

C. Aritmia
Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan dua jenis keadaan umum aritmia,
yaitu irama jantung yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat
(takiaritmia). AF merupakan suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang
mendasari gangguan irama ini, yaitu:2,3
1. Abnormal Automaticity, Automatisitas merupakan kemampuan suatu sel untuk
berdepolarisasi spontan untuk mencapai tegangan ambang (Threshold Potensial) secara
ritmis (berirama). Sel-sel khusus sistem konduksi nodus SA (Native Pacemaker) dan
nodus AV (Latent Pacemaker) yang telah disebutkan diatas memiliki kemampuan
automatisitas secara alamiah. Meskipun sel-sel otot ventrikel dan atrium tidak memiliki
kemampuan automatisitas, tetapi mampu berdepolarisasi secara spontan dalam keadaan
patologis seperti iskemia. Sel- sel di nodus SA secara normal mempunyai aktifitas fase 4
paling cepat dibanding bagian sel jantung lainnya, sehingga potensial aksi spontannya
dihantarkan lebih dulu, memberikan gambaran irama sinus. Bila karena suatu sebab
terjadi kegagalan automatisitas di nodus SA, maka sel-sel latent pacemaker (nodus AV
akan mengambil alih fungsi pacemaker jantung, akan tetapi dengan kecepatan yang lebih
lambat. Gambaran potensial aksi menentukan kecepatan konduksi, masa refrakter, dan
automatisitas sel-sel jantung. ketiga komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap
mekanisme terjadinya kelainan irama jantung.

2. Reentry, Reentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis
takiaritmia. Untuk terjadinya Reentry harus terdapat beberapa syarat: 1) terdapat dua
jaras paralel yang saling berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk
sirkuit potensial listrik; 2) salah satu jaras harus memiliki masa refrakter yang berbeda
dengan jaras yang lain. Bila suatu saat terjadi impuls prematur, impuls ini harus melewati
sirkuit B (masa refrakter panjang) dan sirkuit A (masa refrakter pendek). Impuls akan
melewati sirkuit A karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima impuls listrik,
sedangkan sirkuit B tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls (masa
refrakternya panjang). Pada saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B
sudah pulih dari masa refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari
arah berlawanan, berasal dari impuls prematur sirkuit A (konduksi Retrograde). Bila
impuls retrograd ini kembali melewati sirkuit A secara antegrade maka lingkaran impuls
yang kontinu akan terbentuk, dan terjadilah lingkar reentry (Loop Reentry).

3. Trigered activity, Trigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas
dan reentry. Seperti pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif
kedalam sel jantung yang menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase
4. Cetusan ini disebut after-depolarization. Bila after-depolarization ini cukup besar
untuk membuka kanal natrium, potensial aksi yang kedua akan dibangkitkan.

D. Atrial Fibrilasi

1. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu
sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler yang khas, dengan aktivitas atrium yang tidak terkoordinasi
mengakibatkan perburukan fungsi mekanisme atrium. Pada elektrokardiogram (EKG),
ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang
getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitude, bentuk dan durasinya. Atrium fibrilasi
biasanya disusul oleh respon ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat. 1,4,10
Ciri-ciri atrial fibrilasi gambaran EKG umumnya sebagai berikut
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler

2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.


Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa
sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.

3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,


umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
2. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu4 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap ini
merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru
pertama kali terdeteksi.

b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode pertama
kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini juga
mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari 24 jam
tanpa bantuan kardioversi.

c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari
kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.

d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Gambar 7. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi8
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF
kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang
dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48
jam.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat di
bekan menjadi:

1. AF dengan respon ventrikel cepat: laju ventrikel >100x/menit


2. AF dengan respon ventrikel normal: laju ventrikel 60-100x/menit
3. AF dengan respon ventrikel lambat: laju ventrikel <60x/menit
Gambar 8. Rekaman EKG AF. A. AF dengan respon ventrikel normal, B.
AF dengan respon ventrikel cepat, C. AF dengan respon ventrikel lambat 8

3. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya
adalah7,9,10 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik

4. Faktor Risiko
1. Penyakit katub jantung yang signifikan (misalnya: Stenosis mitral)
2. Penyakit arteri coroner
3. Gagal jantung kongestif (fraksi ejeksi dari <40%)
4. Hipertensi
5. Diabetes melitus
6. Ukuran atrium kiri membesar (ukuran LA>45 mm)
7. Penyakit serebrovaskular sebelumnya (infark)
8. Transient ischemic attack sebelumnya
Catatan: usia >75 tahun juga merupakan faktor risiko stroke iskemik tetapi lebih berhati-
hati dalam memberikan anti-koagulasi pada orang tua karena peningkatan risiko
perdarahan3.

5. Tanda dan Gejala


Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan
penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut jantung,
ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.. Disamping itu, AF
juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke
jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih
dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut 8,10.

6. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet
reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan
sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial
aksi yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada
multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan
periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang
akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta
mencetuskan terjadinya AF8,9,10.

Gambar 9. A. Proses Aktibasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple


Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi8
7. Penegakkan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis AF, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus
dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap, rekomendasi yang diberikan
dapat disesuaikan dengan tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait 9,10

Gambar 10. Evaluasi minimal yang dilakukan8


Gambar 11. Evaluasi tambahan yang dilakukan8

a. Anamnesis
Spekrum presentasi klinis AF sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik hingga
syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode AF
tidak meyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala yang mungkin
dikeluhkan pasien antara lain:
 Palpitasi
 Mudah Lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
 Presinkop atau sinkop
 Kelemahan umum, pusing
Selain itu, AF dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang
diinduksi oleh takikardi, dan troboembolisme sistemik. Penilaian awas dari
pasien dengan AF yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada
stabilitas hemodinamik dari pasien.9
8. Tata Laksana
Sasaran utama pada tata laksana AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama
jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya
komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang
dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata
laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut
jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion)1,4,8,9,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah adanya
komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau
antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin
di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang
kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX 2 ini
adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA 2) di dalam
trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari
trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama
faktor II, VII, IX dan X.
3. Novel Oral Antikoagulan (NOAC)
a. Dabigatran Etexilate
Dabigatran adalah antikoagulan oral golongan penghambat thrombin.
Dabigatran etexilate segera dihidro-lisasi pada pemberian oral menjadi
bentuk aktifnya yaitu dabigatran. Setelah diserap di saluran cerna, kadar
plasma tertinggi dicapai dalam 0,5-2 jam, kemudian obat ini dibuang
melalui ginjal. Waktu paruh dari obat ini berkisar antara 12-17 jam
sehingga dabigatran perlu diberikan 2 kali sehari. Interaksi dengan obat
lain dan makanan lebih sedikit dibandingkan warfarin.
Indikasi pemakaian dabigatran untuk AF non-valvular dengan paling
tidak satu faktor risiko berikut: riwayat stroke, transient ischaemic attack
(TIA) atau emboli sistemik: LVEF <40%: gagal jantung simtomatik: dan
usia >75 tahun atau >65 tahun tetapi disertai salah satu dari diabetes,
penyakit jantung coroner atau hipertensi. Dosis 150 mg b.i.d dan dosis 75
mg b.i.d, bila terjadi gangguan ginjal berat.8,11

b. Rivaroxaban
Rivaroxaban adalah antikoagulan golongan penghambat faktor Xa
yang mencegah trombogenesis tanpa memerlukan bantuan kofaktor
antithrombin. Efek antikoagulannya pada kisaran dosis 5-80 mg
Rivaroxaban non-inferior dibandingkan warfarin untuk primary
endpoint berupa stroke dan emboli sistemik. Tidak terdapat penurunan
angka mortalitas atau stroke iskemik tetapi terdapat penurunan bermakna
stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial. Tidak ada perbedaan pada
primary safety endpoint yaitu gabungan perdarahan mayor dan perdarahan
yang relevn secara klinis tetapi terdapat penurunan perdarahan fatal pada
kelompok rivaroxaban. Lebih sering terjadi diskontiniutas terapi pada
rivaroxaban (23,9%) dibanding warfarin (22,4%).8,11
c. Apixaban
Apixaban adalah inhibitor faktor Xa yang cepat diserap dan memiliki
waktu paruh 12 jam. Apixaban berinteraksi dengan berbagai obat lain
karena metabolismenya oleh CYP450 3A4.
Angka kejadian stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial lebih
rendah secara bermakna pada kelompok apixaban tetapi tidak demikian
untuk stroke iskemik. Apixaban ditoleransi lebih baik daripada warfarin
dengan lebih sedikit diskontinuitas dini.8,11
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium.
Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.

3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati
Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik.
Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol
respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk
mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan AF dan gagal jantung atau adanya
hipotensi. Namun pada AF dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia
kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang
menghambat nodus atrioventricular (NAV) tidak boleh digunakan pada kondisi
AF dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut,
target laju jantung adalah 80-100 kpm. Rekomendasi obat intravena yang dapat
digunakan pada kondisi akut dapat dilihat di tabel 1.
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan
sekunder/tersier, untuk sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian
obat antiaritmia oral. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam
setelah pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80
mg), penyekat beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50
mg). Dalam hal ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan
gejala gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat
antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier.

Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya


membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan
pemberian atropin pasien masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi
atau pemasangan pacu jantung sementara.

c. Mengembalikan irama jantung


Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri
adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama
dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).3,8,
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm).

Tabel 1. Obat yang digunakan untuk kardoversi medis termasuk direct current (DC)7,8
Obat Dosis Laju konversi akut Waktu hingga kardioversi
Pada pasien tanpa penyakit jantung signifikan
1. Quinidin 200-400 mg 8 jam PO 60% 3-6 jam
(kinidin)

2. Propafenon 600 mg PO sebagai 60-70% 3-8 jam


(rytmocard) bolus, 150-300 mg
sebagai perawan

3. Flekainid 300-400 mg PO 60-70% 3-8 jam


(tambocor) sebagai bolus, 50-150
mg sebagai perawatan

Untuk pasien dengan atau tanpa penyakit jantung signifikan (mis, Pasca IMA, unstable
angina atau penyakit katub jantung
1. Amiodaron 150 mg IV dalam 10 50-60% 8-24 jam
(cordaron) menit kemudia 300-
750 mg dalam 24 jam;
200-400 mg PO
perawatan
2. Kardioversi 50-300 joule 85% Secepatnya
DC

Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama.


Amiodaron adalah antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi
AF setelah keberhasilan kardioversi. Kebanyakan rekurensi AF terjadi dalam 3
bulan pascakardioversi. Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi
atau rekurensi AF adalah berat badan, durasi AF yang lebih lama (>1-2 tahun),
gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium
kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan

antiaritmia.8

Kardioversi elektrik dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus


monofasik karena membutuhkan energi yang lebih rendah dan keberhasilan
lebih tinggi. Posisi anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi
dibanding posisi anterolateral. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
tromboemboli (1-2%), aritmia pascakardioversi, dan risiko anestesi umum.
Pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya obat amiodaron,
meningkatkan keberhasilan konversi irama AF ke irama sinus.8,10,11

d. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utama hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.2

b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.2,8

c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.2,8
BAB III
KESIMPULAN

1. Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung
2. Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan
menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF, persisten AF dan
kronik/permanen AF.
3. Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet reentry.
a. Aktivasi lokal merupakan mekanisme AF yang berasal dari fokus ektopik yang dominan
(vena pulmonalis superior), dimana fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang
mempengaruhi aktivitas potensial aksi nodus SA pada atrium.
b. Multiple wavelet reentry merupakan proses potensial aksi yang berulang-ualng,
melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi, tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti
pada proses aktivasi lokal dan dipengaruhi oleh pembesaran atrium, pemendekan periode
refractory serta penurunan kecepatan konduksi.
4. Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu hilangnya
koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan ketidakteraturan
denyut jantung.
5. Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung,
menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi
tromboembolisme.
DAFTAR PUSTAKA

1. January C T, Wann S L et al. (2019). "ACC/AHA/ESC 2019 Focused Update of the 2014
AHA/ACC/HRS Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of
the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines and the Heart Rhythm Society". Circulation 142 (7): 128–141.

2. Calkins, Hugh, et al. "2017 HRS/EHRA/ECAS/APHRS/SOLAECE expert consensus statement


on catheter and surgical ablation of atrial fibrillation." Ep Europace 20.1 (2018): e1-e160.

3. Kirchhof, Paulus, et al. "2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed
in collaboration with EACTS." European journal of cardio-thoracic surgery 50.5 (2016): e1-e88.

4. Lau, D. H., Nattel, S., Kalman, J. M., & Sanders, P. (2017). Modifiable risk factors and atrial
fibrillation. Circulation, 136(6), 583-596.

5. Guyton and Hall (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Keduabelas. Penerbit:
Elsevier (Singapore. Hal. 121-133.

6. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem: Fisiologi Jantung. Edisi 9. Jakarta:
EGC. Hal. 333-40

7. Rampengan S H. BUKU PRAKTIS KARDIOLOGI. Penerbit FKUI, Jakarta. 2014: 140-49


8. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
2014. Penerbit: Centra Communications. Hal 11-52

9. Nasution S A, Ranitya R, Ginanjar E, 2014 Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi VI. Penerbit: Internal Publishing. Hal. 1365-78

10. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Volume 1. Twenty Edition.


Penerbit: Mc Graw Hill Education. Hal 1746-50.

11. Yakobus, Y. (2017). New oral anticoagulan for atrial fibrilation. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, 8(2), 102-109

Anda mungkin juga menyukai