Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

TETRALOGI FALLOT

Pembimbing:
dr. Tri Yanti R.N, Sp.A (K)

Disusun Oleh :
I Gusti Ayu Ratna Dewi
1665050238

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


PERIODE 25 FEBRUARI – 4 MEI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat, hidayah, serta inayahNya kepada penulis dalam menyelesaikan referat

yang berjudul “TETRALOGI FALLOT”, sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik

Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Tri

Yanti R. N., Sp.A. (K) sebagai konsulen pembimbing dalam penulisan referat ini. Seperti kata

pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dengan penulisan referat ini. Penulis

menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas hal tersebut. Besar harapan penulis

agar referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lainnya.

Jakarta, April 2019

Penulis

DAFTAR ISI
2
JUDUL …………………………………………………………………………....... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..…………………………………………………………………........ iii

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2

A. EPIDEMIOLOGI ..………………………………………………………... 2
B. ANATOMI ..........…………………………………………………………. 2
C. EMBRIOLOGI ....…………………………………………………………. 3
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO .……………………………………. 4
E. PATOFISIOLOGI ..………………………………………………………. 4
F. MANIFESTASI KLINIS DAN PENEGAKKAN DIAGNOSIS…………. 6
G. TATALAKSANA ..………………………………………………………. 10
H. KOMPLIKASI ............................................................................................ 13
I. PROGNOSIS ............................................................................................... 16

BAB III : KESIMPULAN ........................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tetralogi Fallot (TF) merupakan jenis penyakit jantung bawaan tersering. Sekitar 10%
kasus penyakit jantung bawaan (PJB) adalah TF, sedikit lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Seiring dengan meningkatnya angka kelahiran di Indonesia,
jumlah bayi yang lahir dengan penyakit jantung juga meningkat. Dua per tiga kasus penyakit
jantung bawaan di Indonesia memperlihatkan gejala pada masa neonatus. Sebanyak 25-30%
penderita penyakit jantung bawaan yang memperlihatkan gejala pada masa neonatus
meninggal pada bulan pertama usianya jika tanpa penanganan yang baik. Sekitar 25% pasien
TF yang tidak diterapi akan meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupan, 40% meninggal
sampai usia 4 tahun, 70% meninggal sampai usia 10 tahun, dan 95% meninggal sampai usia
40 tahun.
TF merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang terdiri dari empat kelainan khas,
yaitu defek septum ventrikel (ventricular septal defect, VSD), stenosis infundibulum
ventrikel kanan atau biasa disebut stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan
overriding aorta. Penyakit jantung bawaan sering dapat dideteksi dengan USG pada masa
kehamilan. Pemeriksaan fetal echocardiography juga baik dilakukan pada pelayanan
antenatal sebagai salah satu cara deteksi dini penyakit jantung bawaan. Diagnosis dini TF
dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil. Penetapan langkah yang tepat
setelah deteksi dini penyakit jantung bawaan TF pada anak dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas. Dengan penegakan diagnosis yang tepat dan cepat, komplikasi penyakit jantung
bawaan TF dapat diminimalkan.
Penyakit jantung kongenital di Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap besarnya
mortalitas dan morbiditas pada anak khususnya balita, di samping penyakit lain, misalnya
penyakit infeksi. Penyakit jantung bawaan sekitar 1% dari keseluruhan bayi lahir hidup dan
merupakan penyebab utama akibat kecacatan sewaktu kelahiran. Sebagian besar pengidap
PJB tersebut meninggal dunia ketika masih bayi kecuali masalah ini dapat dideteksi lebih
awal sehingga penanganan baik terhadap penyakit utama maupun penyakit penyerta dapat
lebih optimal.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI
Sebanyak 7-10% dari seluruh penyakit jantung bawaan (PJB) adalah Tetralogi Fallot.
Tetralogi Fallot (TF) merupakan PJB sianotik yang paling sering terjadi dengan insidensi
32,6 per 100.000 kelahiran hidup. Kelainan ini terjadi pada sepertiga pasien PJB yang berusia
dibawah 15 tahun. Angka pasien TF yang mengalami survival hingga dewasa bervariasi 20-
79%. Berdasarkan estimasi Centers for Disease and Prevention (CDC), di Amerika Serikat
terdapat 1.660 kelahiran bayi dengan Tetralogi Fallot atau 1 kejadian per 2.518 kelahiran bayi
per tahun.
Di Indonesia insidensi PJB adalah 8 per 1.000 kelahiran hidup. Diasumsikan terdapat
penambahan 32.000 kasus baru PJB tiap tahunnya. Namun data insidensi tersebut hanya
estimasi berdasarkan insidensi PJB global, sedangkan data insidensi Tetralogi Fallot di
Indonesia masih belum jelas.

B. ANATOMI
Tetralogi Fallot (TF) merupakan PJB sianotik yang terdiri dari empat kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin. TF pertama kali dideskripsikan oleh Niels Stensen pada tahun 1672.
Namun, pada tahun 1888 seorang dokter dari Perancis, Etienne-Louis Fallot menerangkan
secara mendetail akan keempat kelainan anatomi yang memberikan manifestasi biru
(L’anatomie pathologique de la maladie bleu) yang timbul pada TF, yaitu :
1. Defek septum ventrikel/ventricle septum defect (VSD), yaitu lubang pada septum antara
ventrikel kiri dan kanan yang terletak perimembran dengan ekstensi ke infundibular;
2. Obstruksi aliran dari ventrikel kanan/right ventricle outflow tract (RVOT) yang
diakibatkan oleh stenosis pulmonal yang terletak infundibular (50%), valvular (10%), atau
keduanya (30%);
3. Transposisi/overriding aorta, yaitu pembesaran katup aorta dan bergeser ke kanan,
sehingga cenderung terletak di septum interventrikuler;
4. Hipertrofi ventrikel kanan
Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit ini adalah
VSD dan stenosis pulmonal pada RVOT. Stenosis pulmonal dapat bervariasi dari sangat
ringan sampai sangat berat, bahkan dapat berupa atresia pulmonal (10% kasus). Stenosis
pulmonal ini bersifat progresif, makin lama makin berat. VSD pada TF biasanya besar,
2
terletak di bawah katup aorta dan lebih anterior daripada VSD biasa, hingga terjadi
overriding aorta. Sekitar 5% pasien dengan TF memiliki abnormalitas arteri koroner, dengan
yang paling sering adalah cabang arteri koroner anterior berasal dari arteri koroner dekstra.
Selain itu arkus aorta mengarah ke kanan pada 25% kasus.

Gambar 1. Diagram Tetralogi Fallot. 1. Stenosis pulmonal; 2. Defek septum ventrikel; 3. Overriding
aorta; 4. Hipertrofi ventrikel

C. EMBRIOLOGI
Proses pembentukan jantung pada janin mulai terjadi pada hari ke-18 usia kehamilan.
Pada minggu ke-3 jantung hanya berbentuk tabung yang disebut fase tubing. Mulai akhir
minggu ke-3 sampai minggu ke-4 usia kehamilan, terjadi fase looping dan septasi, yaitu fase
dimana terjadi proses pembentukan dan penyekatan ruang-ruang jantung serta pemisahan
antara aorta dan arteri pulmonalis. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 pembagian dan penyekatan
hampir sempurna. Akan tetapi, proses pembentukan dan perkembangan jantung dapat
terganggu jika selama masa kehamilan terdapat faktor-faktor risiko.
Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang abnormal
(overriding), timbulnya penyempitan pada arteri pulmonalis, serta terdapatnya defek septum
ventrikel. Dengan demikian, bayi akan lahir dengan kelainan jantung dengan empat kelainan,
yaitu defek septum ventrikel yang besar, stenosis pulmonal infundibuler atau valvular,
dekstro posisi pangkal aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Derajat hipertrofi ventrikel kanan
yang timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal.

3
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Pada sebagian kasus, penyebab PJB tidak diketahui secara pasti, akan tetapi diduga
karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor- faktor tersebut antara lain:
a. Faktor endogen:
- Kelainan kromosom. Anomali kromosom yang berhubungan dengan TF dapat berupa
trisomi 21, 18, dan 13, serta mikrodelesi dari kromosom 22q11.
- Riwayat keluarga: PJB, kelainan genetik, anomali kongenital, keguguran, lahir mati,
kematian neonatal.
b. Faktor eksogen
- Riwayat kehamilan ibu : riwayat penggunaan KB oral atau suntik, minum obat-obatan
tanpa resep dokter (thalidomide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin,
jamu), usia ibu di atas 40 tahun.
- Penyakit maternal: Diabetes (pregestasional), penyakit yang disertai demam,
phenylketonuria (yang tidak terkontrol), Rubella (campak Jerman)
- Pajanan terhadap radiasi, pelarut, pernis, asam retinoat
- Gizi yang buruk selama hamil
- Alkohol
- Merokok
- Obesitas
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang terpisah
hingga menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab
adalah multi faktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum
akhir bulan kedua kehamilan, hal ini disebabkan karena pada minggu ke delapan kehamilan,
pembentukan jantung janin sudah selesai. TF lebih sering ditemukan pada anak-anak yang
menderita Sindroma Down.

E. PATOFISIOLOGI
Pengembalian darah dari vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan
berlangsung normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis
pulmonalis, maka darah yang mengalir dari ventrikel kanan ke paru-paru jauh lebih sedikit
dari normal. Darah dari ventrikel kiri mengalir ke ventrikel kanan melalui VSD dan
kemudian ke aorta atau langsung ke aorta, akan tetapi apabila tekanan dari ventrikel kanan
lebih tinggi dari ventrikel kiri maka darah akan mengalir dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri
(right to left shunt).

4
Darah dari aorta sebagian berasal dari ventrikel kanan melalui VSD dan sebagian lagi
berasal dari ventrikel kiri, sehingga terjadi percampuran darah yang sudah teroksigenasi dan
belum teroksigenasi. Bila stenosis pulmonal semakin berat, maka makin banyak darah dari
ventrikel kanan menuju ke aorta. Pada stenosis yang ringan, darah dari ventrikel kanan
menuju ke paru, dan hanya pada aktivitas fisis akan terjadi pirau dari kanan ke kiri. Dengan
meningkatnya usia, infundibulum akan makin hipertrofik, sehingga pasien akan semakin
sianotik. Akibatnya darah yang dialirkan ke seluruh tubuh tidak teroksigenasi, hal inilah yang
menyebabkan terjadinya sianosis.
Pada keadaan yang dapat menurunkan resistensi vaskuler sistemik atau memperburuk
obstruksi RVOT (dehidrasi, spasme infundibulum berat, menangis lama, peningkatan suhu
tubuh atau mengedan) menyebabkan terjadinya peningkatan pirau kanan ke kiri (R-L shunt)
yang menstimulasi terjadinya hiperpnea. Hiperpnea kemudian menyebabkan peningkatan
aliran balik vena sistemik hingga akhirnya semakin terjadi peningkatan R-L shunt pada VSD.
Pasien kemudian mengalami serangan hipoksia yang ditandai dengan sianosis (pasien
menjadi biru), mengalami kesulitan bernapas, pasien menjadi sangat lelah dan pucat, kadang
pasien menjadi kejang bahkan pingsan.

Gambar 2. Mekanisme serangan hipoksia, R-L shunt, right-to-left shunt; RVOT, right
ventrikular outflow tract; SVR, systemic vascular resistance
Katup pulmonal dapat mengalami hipolasia, dengan katup fungsional yang abnormal.
Otot infundibular atau krista supraventrikularis dapat mengalami hipertrofi yang
memperberat stenosis subvalvuler. Aliran darah ke paru dapat dibantu oleh adanya patent
ductus arteriosus (PDA) atau oleh beberapa arteri kolateral aortopulmoner utama/ major
aortopulmonary collateral arteries (MAPCAs) yang muncul dari aorta asendens dan

5
desendens dan memasok berbagai segmen paru. Ketika obstruksi parah, sianosis akan muncul
sejak lahir dan memburuk ketika PDA mulai menutup.
Karena jantung bagian kanan harus memompa sejumlah besar darah ke dalam aorta yg
bertekanan tinggi serta harus melawan tekanan tinggi akibat stenosis pulmonal maka semakin
lama otot-ototnya akan mengalami pembesaran (hipertrofi ventrikel kanan). Kondisi
hipertrofi pada ventrikel kanan umumnya bersifat sekunder karena adanya obstruksi RVOT
dan VSD.

F. MANIFESTASI KLINIS DAN PENEGAKKAN DIAGNOSIS


VI. 1 Anamnesis
- Timbulnya sesak napas/napas cepat dan dalam, pada VSD besar sesak dapat muncul
pada saat istirahat,
- Kebiruan, pada mukosa membran bibir dan mulut, jari tangan atau kaki yang didahului
oleh faktor pencetus, misalnya aktivitas/makan/menyusu/menangis
- Berjongkok untuk beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali (setelah anak dapat
berjalan) agar aliran darah ke paru menjadi bertambah, dan serangan sianosis dan sesak
menjadi berkurang.
- Anak rewel dan gelisah, menangis lama, iritatif dalam keadaan kadar oksigen
berkurang
- Lemas, mudah lelah, kesadaran menurun, mengantuk, atau bahkan tidak merespons
ketika dipanggil
- Sulit menyusu, menyusu yang terputus-putus
- Berat badan bayi tidak bertambah, keterlambatan pertumbuhan, tinggi dan berat badan
dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai dengan usia anak
- Riwayat keluarga yang mempunyai penyakit jantung bawaan.
VI. 2 Pemeriksaan Fisik
- Bayi tidak menunjukkan sianosis pada saat lahir, gejala mulai berkembang antara umur
2-6 bulan, kecuali TF dengan atresia katup pumonal.
- Bayi tampak kurus
- Pada bayi bentuk dada normal, namun pada anak yang lebih besar dapat tampak
menonjol akibat pembesaran ventrikel kanan
- Dispneu, takipneu, retraksi (+)
- Impuls ventrikel kanan yang lebih kuat mungkin didapatkan pada palpasi
- Murmur sistolik grade III dan IV di daerah pulmonal disebabkan oleh aliran darah dari
ventrikel kanan ke saluran paru akibat stenosis pulmonal, bukan bising defek septum
ventrikel, karena darah dari ventrikel kanan yang melintas ke arah ventrikel kiri dan
aorta tidak mengalami turbulensi oleh karena tekanan sistolik antara ventrikel kanan
dan kiri hampir sama. Selama serangan hipoksia muncul, murmur menghilang atau
6
menjadi sangat lembut. Murmur ejeksi sistolik tergantung dari derajat obstruksi aliran
darah di ventrikel kanan. Makin sianosis berarti memiliki obstruksi lebih hebat dan
murmur lebih halus
- Systolic thrill bisa didapatkan di perbatasan sternal kiri bawah. Sama halnya pada TF
dengan atresia paru, tidak akan terdengar murmur karena tidak ada aliran darah balik ke
ventrikel kanan.
- Jari tabuh (clubbing fingers) pada sebagian besar pasien sudah mulai tampak setelah
usia 6 bulan. Clubbing fingers dapat diamati pada beberapa bulan pertama kehidupan.
- Tanda-tanda gagal jantung kongestif juga jarang ditemukan, kecuali pada kasus
regurgitasi pulmonal berat atau TF yang dibarengi dengan tidak adanya katup
pulmonal.
VI.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah
- Polisitemia vera (peningkatan jumlah eritrosit dan hematokrit) yang sesuai dengan
desaturasi dan stenosis. Pasien tetralogi Fallot dengan kadar hemoglobin dan
hematokrit normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi
- Analisis gas darah (AGD) arteri: saturasi oksigen bervariasi, tetapi pH dan pCO2
normal kecuali pada kondisi serangan hipoksia.
b. Pemeriksaan foto rontgen thorax
Ukuran jantung normal atau lebih kecill. Apeks jantung kecil dan terangkat , segmen
MPA (Main Pulmonal Artery) atau konus pulmonalis berbentuk cekung. Gambaran
jantung ini disebut mirip dengan bentuk sepatu (boot-shaped heart/ coueren sabot) dan
penurunan vaskularisasi paru karena berkurangnya aliran darah yang menuju ke paru
akibat penyempitan katup pulmonal paru (stenosis pulmonal).

Gambar 3. Foto roentgen thorax pasien dengan TF.


c. Elektrokardiogram
Deviasi aksis ke kanan (+120° - +150°), hipertrofi ventrikel kanan atau kedua ventrikel,

7
maupun hipertrofi atrium kanan. . Gelombang P di lead II tinggi (P pulmonal).
Kekuatan ventrikel kanan yang menonjol terlihat dengan gelombang R besar di sadapan
prekordial anterior dan gelombang S besar di sadapan prekordial lateralis. Pada
neonatus EKG tidak berbeda dengan anak normal.

Gambar 4. Gambaran EKG pasien dengan TF.


d. Ekokardiogram
Ekokardiogram sangat membantu mengonfirmasi diagnosis dan mengevaluasi beberapa
masalah yang terkait dengan TF. Pembesaran ventrikel kanan, defek septum ventrikel,
overriding aorta, dan obstruksi saluran ventrikel kanan dapat ditampilkan secara jelas;
dapat ditunjukkan shunting yang melewati VSD dan dengan teknik Doppler dapat
dilihat arus dari ventrikel kanan ke aorta, dan dapat diperkirakan perbedaan tekanan
antara ventrikel kanan dengan arteri pulmonalis, meskipun dalam praktek gambaran
Doppler yang bagus tidak mudah diperoleh, khususnya pada stenosis infundibular yang
berat. Ukuran cabang utama arteri pulmonalis dan proksimal serta setiap aliran darah
tambahan lain menuju ke paru dapat dievaluasi, tetapi arteri pulmonalis bagian distal
tidak dapat dengan mudah dilihat oleh ekokardiogram.

8
Gambar 5. Tampak apikal, menunjukkan katup aorta (AoV) sebagian overriding di ujung
septum ventirukular dan defek septum ventrikuler subaorta.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat mengukur volume ventrikel kanan dan kiri, menilai jalur aliran darah
ventrikel kanan, arteri pulmonal, aorta, defek septum ventrikel. MRI juga dapat
menilai stenosis cabang arteri pulmonal yang berkontribusi dalam menyebabkan
insufisiensi pulmonal dan kolateral aortopulmonal yang dapat menyebabkan overload
volume ventrikel kiri. Hal ini sering dijumpai pada pasien yang disertai atresia
pulmonal.
f. Kateterisasi jantung dan Angiokardiogram
Kateterisasi bukan pemeriksaan yang rutin; dapat dilakukan jika data yang diperlukan
untuk pengambilan keputusan koreksi bedah tidak dapat diperoleh dengan
pemeriksaan penunjang lainnya. Penting untuk mendapatkan data saturasi oksigen
arteri sistemik dan desaturasi berhubungan dengan stenosis saluran keluar ventrikel
kanan. Tujuan kateterisasi jantung adalah untuk menilai ukuran anulus pulmonal dan
arteri pulmonal, menilai keparahan obstruksi aliran darah ventrikel kanan, lokasi dan
ukuran defek septum ventrikel, serta menyingkirkan kemungkinan anomali arteri
koroner. Angiografi merupakan bagian integral dari kateterisasi jantung. Angiografi
paru juga harus dilakukan untuk mengetahui ukuran arteri pulmonalis utama dan
cabang serta untuk menyingkirkan kemungkinan adanya stenosis cabang arteri
pulmonal. Angiografi aorta juga diperlukan untuk memvisualisasikan anatomi arteri
koroner, terutama untuk menyingkirkan adanya arteri koroner melintasi infundibulum
ventrikel kanan.

G. TATALAKSANA
Tatalaksana TF tergantung dari beratnya gejala dan dari tingkat stenosis pulmoner.
VII. 1 Tatalaksana medis
1. Propanolol oral 2-4 mg/kg/hari, untuk mencegah hypoxic spells/serangan hipoksia dan
menunda operasi koreksi. Dengan obat ini diharapkan spasme otot infundibuler
berkurang dan frekuensi serangan hipoksia menurun. Kontraindikasi diberikan bila ada
riwayat asma.
2. Prostaglandin (0,2 μg/kg/menit) pada TF dengan atresia pulmonal dapat diberikan untuk
mempertahankan duktus arteriosus sambil menunggu operasi.
3. Mendeteksi dan menatalaksana defisiensi besi relatif dengan preparat Fe. Dengan Fe ini
akan terjadi retikulositosis dan kadar hemoglobin meningkat.

9
4. Higiene mulut dan gigi perlu diperhatikan, untuk meniadakan sumber infeksi untuk
terjadinya endokarditis infektif atau abses otak
5. Terjadinya dehidrasi harus dicegah, khususnya pada infeksi interkuren

Serangan hipoksia
Mengatasi serangan hipoksia membutuhkan manuver untuk mengembalikan
keseimbangan antara aliran sistemik dan pulmonal. Pengobatan harus fokus pada mengurangi
resistensi pulmonal, dan meningkatkan resistensi sistemik untuk mendorong aliran kiri ke
kanan (left to right shunt) melalui VSD ke saluran keluar ventrikel kanan.
1. Bayi harus ditempatkan dalam posisi knee- chest dalam upaya meningkatkan resistensi
vaskular sistemik dan menurunkan venous return sistemik.
2. Oksigen masker 5-8 liter per menit atau sesuai saturasi diberikan untuk mengurangi
vasokonstriksi perifer paru, juga akan meningkatkan oksigenasi ke paru-paru, setelah
aliran darah ke paru diseimbangkan.
3. Pemberian morfin sulfate, 0,1-0,2 mg/kg im atau sc untuk menekan pusat pernapasan di
sistem saraf pusat, mengurangi hyperpnea, menurunkan venous return sistemik, dan
mengurangi spasme infundibulum.
4. Atasi asidosis dengan natrium bikarbonat 1 mEq/kg iv untuk menurunkan efek asidosis
pada pusat pernapasan.
5. Dengan pengobatan di atas, biasanya sianotik akan berkurang dan murmur akan semakin
keras, mengindikasikan peningkatan aliran darah pulmoner. Namun bila tidak membaik
dapat dicoba pemberian :
a. Ketamine, 1-3 mg/kg (rata-rata 2 mg/kg) secara intravena perlahan-lahan untuk
meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan sedasi bayi.
b. Propanolol, 0,01 – 0,25 mg/kg (rata-rata 0,05 mg/kg) secara intravena perlahan-
lahan dengan pemantauan tanda-tanda bradikardia.
6. Bila serangan hipoksia tidak teratasi dengan pemberian propanolol dan keadaan
umumnya memburuk, maka harus secepatnya dilakukan operasi.

VII. 2 Tatalaksana pembedahan


Pembedahan merupakan satu-satunya terapi kelainan ini, bertujuan meningkatkan
sirkulasi arteri pulmonal. Mayoritas pasien yang sudah dioperasi mengalami tumbuh
kembang yang baik hingga dewasa. Dapat dilakukan dua jenis pembedahan, yakni paliatif
dan korektif. Pemilihan tindakan bedah, apakah paliatif atau korektif bergantung kepada
masing-masing klinisi. Pada umumnya tindakan bedah paliatif dilakukan pada bayi kecil,
atau pasien dengan hipoplasia arteri pulmonalis. Dengan bertambahnya darah ke paru, maka

10
oksigenasi jaringan akan membaik, sehingga sianosis akan berkurang. Setelah aretri
pulmonalis tumbuh sehingga diameternya memadai, maka tindakan korektif dapat dilakukan.

BEDAH PALIATIF
Bedah paliatif merupakan indikasi untuk meningkatkan aliran darah pulmonal pada
bayi dengan sianosis berat atau serangan hipoksia tidak terkontrol pada anak yang tidak dapat
melakukan bedah korektif dan anak dengan hipoplasia arteri pulmonal, dimana bedah
korektif secara teknis sulit dilakukan. Berbagai metode S-P shunt, sambungan antara aorta
(sistemik) dengan arteri pulmonal (pulmonal), yaitu:
1. Blalock-Taussig shunt (B-T shunut) merupakan metode yang paling dikenal, ialah a.
subklavia ditranseksi dan dianastomosis end-to-side ke a. pulmonal ipsilateral. Tingkat
mortalitas metode ini dilaporkan kurang dari 1%. Angka pasien TF yang mengalami
survival hingga dewasa meningkat secara dramatis semenjak pengenalan pada B-T shunt
pada tahun 1944 sebagai prosedur paliatif pertama untuk PJB sianotik.
2. Modified B-T shunt menggunakan Gore-Tex graft untuk menghubungkan a. subklavia
dengan a pulmonal.
3. Potts shunt yaitu anastomosis side-to-side antara aorta desenden dengan a.pulmonal.
4. Waterston-Cooley shunt, mirip dengan Potts shunt yaitu anastomosis side-to- side antara
aorta asenden dengan a. pulmonal.

Gambar 6. Prosedur paliatif untuk meningkatkan aliran darah pulmonal pada pasien dengan
sianosis dan penurunan aliran darah pulmonal.

BEDAH KOREKTIF

11
Bedah koretif menjadi pilihan tata laksana TF ideal yang bertujuan menutup VSD,
reseksi area stenosis infundibulum, dan menghilangkan obstruksi aliran darah ventrikel
kanan. Mortalitas tergantung dari klinisi yang mengerjakannya. Seringkali masih dapat
didengar bising sistolik residual akibat masih terdapatnya perbedaan tekanan sistolik antara
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Kebanyakan pusat kesehatan hanya akan melakukan
operasi korektif pada usia tiga sampai enam bulan. Jika operasi harus dilakukan sebelumnya,
maka operasi paliatif menjadi pilihan utama. Kapan saat operasi untuk mendapatkan hasil
yang optimal masih belum dapat ditentukan.
Tidak ada studi yang menunjukkan bahwa terapi medikemantosa saja memperlambat
progresivitas menuju komplikasi. Penggantian katup pulmonal terbukti menurunkan ukuran
ventrikel kanan dan meningkatkan fungsi ventrikel kanan jangka panjang. Saat tepat untuk
operasi masih kontroversial; beberapa berpendapat penggantian katup pulmonal dilakukan
bila sudah terjadi disfungsi ventrikel kanan. Saat ini para ahli merekomendasikan dilakukan
sedini mungkin sebelum terjadi gagal jantung. Ada pula rekomendasi operasi bila durasi QRS
lebih dari 180 ms, namun sebagian berpendapat operasi dilakukan sebelum hal tersebut
terjadi. Setelah keputusan operasi perlu ditentukan tipe katup buatan. Katup mekanis berisiko
trombosis dan perlu antikoagulan jangka panjang; warfarin sejak usia muda, berisiko
perdarahan hebat jika terjadi trauma. Katup bioprostetik ada 2 jenis dari jaringan manusia
(homograft) dan jaringan binatang (perikardium sapi atau babi, tergantung ukuran yang
diperlukan). Katup bioprostetik tidak memerlukan antikoagulan, namun tidak bertahan lama
dibandingkan katup mekanis. Sekitar 45% katup bioprostetik gagal dalam 10 tahun sehingga
perlu operasi ulang.

Gambar 7. Koreksi total TF. A. Anatomi TF menunjukkan VSD besar dan stenosis infudibular
yang dapat dilihat melalui ventrikulotomi; B. Penutupan VSD dan reseksi stenosis infundibular; C.
Penutupan RVOT.

12
Di masa mendatang katup pulmonal dapat digantikan melalui prosedur transkateter
Melody, diimplantasikan perkutaneus melalui vena femoralis dengan bantuan fluoroskopi.
Prosedur ini dikembangkan oleh Bonhoeffer et al. Hasil awal menjanjikan yaitu perbaikan
insufisiensi pulmonal dan ukuran ventrikel kanan secara signifikan.

H. KOMPLIKASI
VII.1 Polisitemia dan Sindrom Hiperviskositas
Polisitemia pada TF terjadi akibat hipoksemi kronik karena pirau kanan ke kiri. Hal ini
merupakan respons fisiologis tubuh untuk meningkatkan kemampuan membawa oksigen
dengan cara menstimulasi sumsum tulang melalui pelepasan eritropoetin ginjal guna
meningkatkan produksi jumlah sel darah merah (eritrositosis). Awalnya, polisitemia
menguntungkan penderita TF, namun bila hematokrit makin tinggi, viskositas darah akan
meningkat yang dapat mengakibatkan perfusi oksigen berkurang sehingga pengangkutan total
oksigen pun berkurang, akibatnya dapat meningkatkan risiko venooklusi. Gejala
hiperviskositas akan muncul jika kadar hematokrit >65% berupa nyeri kepala, nyeri sendi,
nyeri dada, iritabel, anoreksia, dan dyspnea.
VII.2 Abses Serebri
Pada TF yang tidak dioperasi merupakan faktor predisposisi yang penting untuk
komplikasi ini. Kejadian abses serebri berkisar antara 5-18,7% pada penderita TF, sering pada
anak diatas usia 2 tahun. Beberapa pathogen penyebabnya adalah Streptococcus milleri,
Staphylococcus, dan Haemophilus. TF bisa menyebabkan abses serebri karena hipoksia,
polisitemia, dan hiperviskositas. Dampaknya adalah terganggunya mikrosirkulasi dan
menyebabkan terbentuk mikrotrombus, ensefalomalasia fokal, serta terganggunya
permeabilitas sawar darah otak. Meningitis terjadi pada 20% anak TF dan septicemia terjadi
pada 23% anak TF. Umumnya abses hanya tunggal,bisa ditemukan abses multiple walaupun
jarang. Lokasi tersering di region parietal (55%), lokasi lain yang sering adalah region frontal
dan temporal. Abses multiple terutama ditemukan pada anak dengan autoimun
(immunocompromised) dan endocarditis.
Pada abses serebri terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak spesifik, seperti
nyeri kepala, letargi, dan perubahan tingkat kesadaran. Demam jarang ditemukan. Sering
muncul muntah dan kejang pada saat awal terjadinya abses serebri. Makin banyak terbentuk
abses, nyeri kepala dan letargi akan makin menonjol. Defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan penglihatan juga dapat muncul. Tanda lain defisit

13
neurologis adalah papiledema, kelumpuhan nervus III dan VI menyebabkan diplopia, ptosis,
dan hemiparesis. Perubahan tanda vital yang dapat terjadi adalah hipertensi, bradikardia, dan
kesulitan bernafas. Ruptur abses dapat terjadi, ditandai dengan perburukan semua gejala.
Pemeriksaan penunjang pemeriksaan darah tepi menemukan leukositosis dan LED
meningkat. Untuk menengakkan diagnosis diperlukan CT-scan atau MRI.
VII.3 Endokarditis
Kejadian endokarditis paling sering ditemukan pada TF diantara semua penyakit jantung
bawaan sianotik. Beberapa hal dapat berkaitan dengan terjadinya endokarditis pada TF.
Faktor pertama yang penting adalah struktur abnormal jantung atau pembuluh darah dengan
perbedaan tekanan atau turbulensi bermakna yang menyebabkan kerusakan endotel, yaitu
mikrolesi pada endocardium, dan pembentukan platelet, fibrin, thrombus. Faktor kedua
adalah bacteremia. Bakteremia dapat terjadi karena mikroorganisme di dalam darah
menempel pada mikrolesi sehingga menimbulkan proses peradangan selaput endokardium.
Penyebab tersering adalah streptokokus. Gejala klinis endokarditis bervariasi. Demam pada
endokarditis biasanya tidak terlalu tinggi dan lebih dari satu minggu. Anoreksia, malaise,
atralgia, nyeri dada, gagal jantung, splenomegali, petekie, nodul Osler, Roth spot, lesi
Janeway, dan splinter hemorrhage dapat dijumpai. Diagnosis pasti ditegakkan dengan kultur
darah yang positif atau terdapat vegetasi pada elektrokardiografi.
VII.4 Gagal Jantung
Gagal jantung sering ditemukan pada penderita TF yang tidak menjalani terapi bedah.
Umumnya terjadi pada penderita TF usia dewasa, juga sering ditemukan pada usia remaja.
Gagal jantung pada penderita TF berkaitan erat dengan disfungsi miokard. Miokard yang
terkena tidak hanya di ventrikel kanan, namun dapat pula di ventrikel kiri akibat hipoksia
yang berlangsung lama.
Penyebab gagal jantung multifactorial, biasanya bergantung pada besarnya pirau
antara aorta dan arteri pulmonalis (Patent ductus arteriosus, PDA), tidak berfungsinya
ventrikel kanan, gangguan otot septum ventrikel, regurgitasi katup pulmonal dan tricuspid,
hipertensi arteri pulmonalis, kerusakan ventrikel kiri karena terganggunya aliran darah
koroner, heart block, dan regurgitasi katup aorta.
Selain itu gagal jantung bisa akibat polisitemia berat menyebabkan trombo-emboli, oklusi
koroner, berakibat iskemi atau infark miokard yang dapat mencetuskan gagal
jantung.Hipoksia berat menyebabkan disfungsi miokard berat. Kondisi yang sering menyertai
terjadinya gagal jantung adalah anemia dan endocarditis bacterial. Pada kondisi anemia yang
berat, gejala gagal jantung semakin terlihat.
14
Tabel 1. Klasifikasi manifestasi gagal jantung pada anak

Tata Laksana Komplikasi


Diagnosis komplikasi TF perlu ditegakkan terlebih dahulu. Diagnosis abses serebri perlu
diterapi selanjutnya. Kombinasi ampisilin dan kloramfenikol merupakan pengobatan lini
pertama. Kemudian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Abses dengan diameter lebih
dari 2 cm perlu dioperasi. Pasien koma, ruptur abses serebri intraventrikular, multipel abses
serebri, edema serebri hebat, dan kondisi immunocompromised memiliki prognosis buruk.
Tata laksana gagal jantung pada penderita TF adalah dengan mengatasi penyebab.
Penyebab gagal jantung sering berkaitan dengan penundaan bedah koreksi. Pada penderita
TF, harus sedini mungkin dilakukan bedah korektif yang sesuai. Kombinasi digoksin dan
diuretik merupakan pilihan terapi pada pasien dengan komplikasi gagal jantung. Penggunaan
ACE inhibitor pada kasus ini belum cukup populer. Keamanan digoksin diragukan pada
kondisi hipoksia berat, fungsi miokard yang sangat buruk, dan pada kondisi seperti ini ACE
inhibitor menjadi pilihan. Diuretik diperlukan untuk mengatasi edema pulmonal maupun
sistemik, namun dapat memperburuk kondisi polisitemia dan dapat meningkatkan risiko
tromboemboli. Tata laksana endokarditis menggunakan antibiotik; sebaiknya disesuaikan
dengan hasil kultur, biasanya selama 4-8 minggu.
Tata laksana polisitemia pada TF masih kontroversial. Plebotomi berpotensi mengurangi
gejala, dan dapat mengurangi risiko vasooklusi, namun plebotomi berulang dapat
menyebabkan defisiensi besi sehingga terbentuki microcytic erythrocytes yang justru dapat
menginduksi peningkatan viskositas dengan segala konsekuensinya. Pada TF, plebotomi
dilakukan hanya untuk mengatasi keadaan akut sindrom hiperviskositas

I. PROGNOSIS

15
Prognosis cukup baik pada pasien yang dilakukan operasi pada usia anak-anak.
Prognosis jangka panjang kurang baik apabila pasien dioperasi pada usia dewasa yang sudah
terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri akibat hipoksia yang lama serta pada pasien pasca
bedah sehingga terjjadi gagal ventrikel kanan. Tanpa intervensi bedah sebagian besar akan
meninggal pada masa anak dengan survival rate 66% pada usia 1 tahun, 40% pada usia 3
tahun, 11% pada usia 20 tahun, 6% pada usia 30 tahun, dan 3% pada usia 40 tahun.

Gambar 8. Grafik Survival rate penderita TF dengan dan tanpa pembedahan.


BAB III

KESIMPULAN

Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang terdiri dari
empat kelainan anatomi yaitu defek septum ventrikel (Ventricle septal defect, VSD), stenosis
pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta. Empat kelainan ini menyebabkan
perbedaan sirkulasi darah penderita TF.
Deteksi dini TF dapat dilakukan sejak usia dini. Anamnesis atau alloanamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat mampu menegakkan diagnosis TF.
Penegakan diagnosis dengan tepat dan sedini mungkin mempengaruhi prognosis. Tata
laksana yang paling tepat pada penderita TF adalah dengan melakukan bedah koreksi. Selain
itu, komplikasi pada penderita TF juga perlu diantisipasi. Komplikasi yang perlu diwaspadai
adalah abses serebri, gagal jantung, endokarditis, dan polisitemia. Penderita TF dengan
komplikasi perlu diberi tata laksana yang sesuai.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

1. Prasodo AM. Buku ajar Kardiologi Anak. Penyakit Jantung Bawaan Cyanotic:
Tetralogy Of Fallot. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Binarupa Aksara. Jakarta: 1994
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007.
3. Gera R. Step by Step: Pediatric Echocardiography. Thomson Publicing Services. UK :
2005. H 67-9
4. Park MK. Park’s The Pediatric Cardiology Handbook 5th Edition. Elsevier Saunders.
Philadelphia: 2016. H 143-54
5. Artman M, Mahony L, Teitel DF. Neonatal Cardiology 2nd Edition. McGrew-Hill
Companies, Inc. United States: 2011. H. 275
6. Lai WW, Mertens LL, Cohen MS, Geva T. Echocardiography in Pediatric and
Congenital Heart Disease: from Fetus to Adult. John Wiley & Sons Ltd. UK: 2016. H.
407-27
7. Fox D, Devendra GP, Hart SA, Krasuski RA. When ‘blue babies’ grow up: What you
need to know about Tetralogi Fallot. Cleve Clin J Med. 2010;77(11):821-8
8. Jacob G, Mathews C. Unrepaired Tetralogi Fallot Presenting of Brain Abscess.
Calicut Medical Journal 2010; 8(3):e5.

18

Anda mungkin juga menyukai