Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK RELAPS

Disusun Oleh :
I Gusti Ayu Ratna Dewi
1665050238

Pembimbing :
dr. Triyanti R.N, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 25 FEBRUARI – 4 MEI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
BEKASI

1
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode
25 Februari – 4 Mei 2019 dengan judul “Sindrom Nefrotik Relaps” yang disusun oleh :
Nama : I Gusti Ayu Ratna Dewi
NIM : 1665050174
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
dr. Tri Yanti, Sp.A (K)

Menyetujui,

(dr. Tri Yanti, Sp.A (K) )

2
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah Ibu


Nama An. N Tn. H Ny. N
Umur 12 tahun 41 tahun 32 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Jatiranggon RT 005 RW 004 Jatisampurna Bekasi 17432
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Sunda Sunda Sunda
Pendidikan SD SMA SMA
Pekerjaan - Karyawan swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - ± Rp 4.000.000 -
Hubungan dengan
Keterangan orang tua : Anak
kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada hari Kamis tanggal 28 Maret
2019
a. Keluhan Utama
Bengkak sejak 3 hari yang lalu
b. Keluhan Tambahan
Sakit kepala, batuk, sesak, mual, nafsu makan menurun, buang air kecil jarang.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan bengkak sejak 3 hari yang lalu. Bengkak awalnya
pada daerah wajah terutama di daerah kelopak mata, kemudian menjalar semakin lama
ke kedua tangan dan kaki juga mengalami bengkak. Selain itu pasien juga mengeluhkan
sakit kepala, batuk, sesak, mual, dan nafsu makan yang menurun ahir-akhir ini. Batuk
dirasakan sulit untuk mengeluarkan dahaknya. Mual yang dirasakan pasien tanpa
disertai muntah, hanya nafsu makan yang menurun. Pasien juga mengeluhkan buang
air kecil (BAK) yang menjadi jarang sejak 1 minggu yang lalu, biasanya sehari minimal
5 kali, namun sekarang menjadi 1 kali dengan kuantitas yang sedikit atau tidak buang
air kecil sama sekali dan berwarna kecoklatan. Riwayat alergi obat-obatan dan makanan

3
disangkal. Keluhan lain seperti demam, mual, muntah, dan diare disangkal. Buang air
besar (BAB) tidak terdapat keluhan.
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien, pasien
sudah pernah mengelami keluhan serupa sebelumnya sejak berusia 2 tahun dan
beberapa kali kambuh, terakhir kambuh sekitar 2 tahun yang lalu. Pasien rutin kontrol
ke poli anak setiap 3 bulan sekali dan sudah berhenti meminum obat sejak kurang lebih
1 tahun yang lalu.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal 2 tahun
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Asma - Morbili -

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi 9 bulan
Berat lahir 3000 g
Panjang badan 52 cm
Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I : 6 bulan (normal: 5-9 bulan)
Tengkurap : 3 bulan (normal: 3-4 bulan)
Duduk : 7 bulan (normal: 6 bulan)

4
Berdiri : 12 bulan (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 13 bulan (normal: 13 bulan)
Bicara : 14 bulan (normal: 9-12 bulan)
Baca dan Tulis : 4 tahun
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia.
h. Riwayat Makanan
Umur ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
(bulan)
0-2 + - - -
2-4 + - - -
4-6 + - - -
6-8 + + - -
8-10 + + + -
10-12 + + + +
12-24 Makanan Keluarga
24-59 Makanan Keluarga
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik

i. Riwayat Imunisasi :
vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG Lahir - - -
DPT 2 bln 4 bln 6 bln 5 tahun
POLIO Lahir 2 bln 4 bln - - -
CAMPAK 9 bln 7 tahun
HEPATITIS B Lahir 1 bln 6 bln
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

j. Riwayat Keluarga
Anak Anak Anak Anak
Ayah Ibu
Pertama Kedua Ketiga Keempat
Nama Tn. H Ny. N An. A An. M An. M An.C
Perkawinan
Pertama Pertama - - - -
ke
1 tahun 10
Umur 41 tahun 32 tahun 8 tahun 11 tahun 2 bulan
bulan
Keadaan
Baik Baik Baik Baik Baik Baik
kesehatan
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup,
air minum dan air mandi berasal dari air tanah.

5
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
- Tekanan darah : 115/86 mmHg
- Frekuensi nadi : 125x/menit
- Frekuensi pernapasan : 22x/menit
- Suhu tubuh : 36,7 oC
c. Data antropometri
- Berat badan : 47 kg
- Tinggi badan : 155 cm
- IMT : BB/TB2 = 47/ (1.55)2 = 19,56
- BB/U : 0 SD s.d. +1 SD (gizi nomal)
- TB/U : 0 SD s.d. +1 SD (perawakan nomal)
- BMI/TB : 0 SD s.d. +1 SD (gizi nomal)
d. Kepala
- Bentuk : normocephali
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
- Mata : bengkak pada kedua kelopak mata, conjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/+,
RCTL +/+
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, sekret (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : bibir bengkak, faring hiperemis (+) , T1-T1
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar
f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop –

6
g. Abdomen
- Inspeksi : perut terlihat sedikit membuncit, lingkar perut: 70 cm
- Auskultasi : bising usus 4x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+), hepar dan lien tidak membesar
- Perkusi : nyeri ketok (-), pekak alih (+)
h. Kulit : petechie (-)
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (+) kedua tangan
dan kaki

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium 28 Maret 2019
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED 65 ↑ mm 0 – 10
Leukosit 10,1 ↑ ribu/uL 5 – 10
Hitung Jenis
Basofil 0 % <1
Eosinofil 0↓ % 1–3
Batang 1,0 ↓ % 2–6
Segmen 80 ↑ % 52 – 70
Limfosit 16 ↓ % 20 – 40
Monosit 3,0 % 2–8
Eritrosit 5,50 ↑ juta/uL 4–5
Hemoglobin 9,1 ↓ g/dL 12 – 16
Hematokrit 31,6 ↓ % 37 – 47
Indeks Eritrosit
MCV 57,4 ↓ fL 82 – 92
MCH 16,5 ↓ pg 27 – 32
MCHC 28,8 ↓ g/dL 32 – 37
Trombosit 661 ↑ ribu/uL 150 – 400
KIMIA KLINIK
Albumin 1,55 ↓ mg/dL 3,5 – 4,5
URINE LENGKAP
Kimia Urine
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak Keruh Jernih
pH 5,5 5.0 – 8.0
Berat Jenis 1025 1005 - 030
Albumin urine Positif 3 (+++) Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0.2 0.1 – 1
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar Positif 1 (+) Negatif

7
Leukosit Esterase Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit 5 – 10 /lpb ≤2
Leukosit 0–5 /lpb ≤5
Silinder Granular cast (+) Negatif
Epitel Gepeng (+2) Gepeng (+)
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Positif 1 (+) Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

V. RESUME
a. Anamnesis
An. N datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan bengkak sejak 3 hari
yang lalu. Bengkak awalnya pada daerah wajah terutama di daerah kelopak mata,
kemudian menjalar semakin lama ke kedua tangan dan kaki juga mengalami bengkak.
Selain itu pasien juga mengeluhkan sakit kepala, batuk, sesak, mual, dan nafsu makan
yang menurun ahir-akhir ini. Batuk dirasakan sulit untuk mengeluarkan dahaknya.
Mual yang dirasakan pasien tanpa disertai muntah, hanya nafsu makan yang menurun.
Pasien juga mengeluhkan buang air kecil (BAK) yang menjadi jarang sejak 1 minggu
yang lalu, biasanya sehari minimal 5 kali, namun sekarang menjadi 1 kali dengan
kuantitas yang sedikit atau tidak buang air kecil sama sekali dan berwarna kecoklatan.
Riwayat alergi obat-obatan dan makanan disangkal. Keluhan lain seperti demam, mual,
muntah, dan diare disangkal. Buang air besar (BAB) tidak terdapat keluhan.
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien, pasien
sudah pernah mengelami keluhan serupa sebelumnya sejak berusia 2 tahun dan
beberapa kali kambuh, terakhir kambuh sekitar 2 tahun yang lalu. Pasien rutin kontrol
ke poli anak setiap 3 bulan sekali dan sudah berhenti meminum obat sejak kurang lebih
1 tahun yang lalu.

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
- Tekanan darah : 115/86 mmHg
- Frekuensi nadi : 125x/menit
- Frekuensi pernapasan : 22x/menit

8
- Suhu tubuh : 36,7 oC
Kepala : bengkak pada kedua kelopak mata, bibir bengkak, faring hiperemis (+)
Abdomen : perut terlihat sedikit membuncit, lingkar perut: 70 cm, nyeri tekan (+),
pekak alih (+)
Ekstremitas : edema (+) kedua tangan dan kaki

c. Pemeriksaan penunjang
d. HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED 65 ↑ mm 0 – 10
Leukosit 10,1 ↑ ribu/uL 5 – 10
Hitung Jenis
Eosinofil 0↓ % 1–3
Batang 1,0 ↓ % 2–6
Segmen 80 ↑ % 52 – 70
Limfosit 16 ↓ % 20 – 40
Eritrosit 5,50 ↑ juta/uL 4–5
Hemoglobin 9,1 ↓ g/dL 12 – 16
Hematokrit 31,6 ↓ % 37 – 47
Indeks Eritrosit
MCV 57,4 ↓ fL 82 – 92
MCH 16,5 ↓ pg 27 – 32
MCHC 28,8 ↓ g/dL 32 – 37
Trombosit 661 ↑ ribu/uL 150 – 400
KIMIA KLINIK
Albumin 1,55 ↓ mg/dL 3,5 – 4,5
URINE LENGKAP
Kimia Urine
Kejernihan Agak Keruh Jernih
Albumin urine Positif 3 (+++) Negatif
Darah Samar Positif 1 (+) Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit 5 – 10 /lpb ≤2
Silinder Granular cast (+) Negatif
Epitel Gepeng (+2) Gepeng (+)
Bakteri Positif 1 (+) Negatif

VI. DIAGNOSIS KERJA


Sindrom Nefrotik Relaps

VII. PENATALAKSANAAN
- Pro rawat inap

9
- Venflon
- O2 Nasal kanul 3 lpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr
- Inj. Lasix 2x1amp
- Transf. albumin 20% 100cc
- Ambroxol syr 3x1 cth
- Prednisone 3x4mg
- Inhalasi/ 8 jam
- Balance cairan/24 jam
- Diet nefrotik

VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- As fungsionam : Dubia ad malam
- Ad sanationam : Dubia ad malam

10
Tanggal FOLLOW UP
28/03/19 S/ bengkak, batuk, sesak, mual, BAK sedikit
O/ KU: TSS , Kes: CM
Suhu: 36,7oC, Nadi:125x/menit, TD : 115/86 mmHg
RR: 22x/menit
Kepala : bengkak pada kedua kelopak mata, bibir bengkak,
faring hiperemis (+)
Abdomen : perut terlihat sedikit membuncit, lingkar perut: 70
cm, nyeri tekan (+), pekak alih (+)
Ekstremitas : edema (+) kedua tangan dan kaki
Laboratorium :
Laboratorium darah 28 Maret 2019
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
LED 65 ↑ mm
Leukosit 10,1 ↑ ribu/uL
Eritrosit 5,50 ↑ juta/uL
Hemoglobin 9,1 ↓ g/dL
Hematokrit 31,6 ↓ %
Trombosit 661 ↑ ribu/uL
KIMIA KLINIK
Albumin 1,55 ↓ mg/dL
URINE LENGKAP
Kimia Urine
Kejernihan Agak Keruh
Albumin urine Positif 3 (+++)
Darah Samar Positif 1 (+)
Eritrosit 5 – 10 /lpb
Silinder Granular cast (+)
Epitel Gepeng (+2)
Bakteri Positif 1 (+)
Balance cairan :
I : minum 800 cc + albumin 100cc
O : urin 100 cc + IWL 450 cc
B : 900 – 550 cc = +350 cc
A/ Sindrom nefrotik relaps
P/ Pro rawat inap
Venflon
O2 Nasal kanul 3 lpm
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Lasix 2x1amp
Transf. albumin 20% 100cc
Ambroxol syr 3x1 cth
Prednisone 3x4mg
Inhalasi/ 8 jam
Balance cairan/24 jam
Diet nefrotik
29/03/19 S/ bengkak mulai sedikit berkurang, batuk, sesak berkurang, mual berkurang, BAK
jarang
O/ KU: TSS , Kes: CM
Suhu: 36,9oC, Nadi:109x/menit, TD : 110/80 mmHg, RR: 20x/menit
Kepala : bengkak pada kedua kelopak mata
Abdomen : perut terlihat sedikit membuncit, lingkar perut: 69 cm, nyeri tekan (+),
pekak alih (+)

11
Ekstremitas : edema (-)
Balance cairan :
I : minum 200 cc + infus 500 cc
O : urin 300 cc + IWL 450 cc
B : 700 – 750 cc = -50 cc
A/ Sindrom nefrotik relaps
P/ IVFD RL 500cc
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Lasix 2x1amp
Ambroxol syr 3x1 cth
Prednisone 3x4mg
Inhalasi/ 8 jam
Balance cairan/24 jam
Diet nefrotik
30/03/19 S/ bengkak mulai sedikit berkurang, batuk, sesak berkurang, BAK sedikit
O/ KU: TSS , Kes: CM
Suhu: 36,9oC, Nadi:109x/menit, TD : 110/70 mmHg, RR: 20x/menit
Kepala : bengkak (-)
Abdomen : lingkar perut: 67 cm
Ekstremitas : edema (-)
Balance cairan :
I : minum 200 cc + infus 500cc
O : urin 600 cc + IWL 450 cc
B : 700 – 1050 cc = -350 cc
A/ Sindrom nefrotik relaps
P/ IVFD RL 500cc
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Lasix 2x1amp
Ambroxol syr 3x1 cth
Prednisone 3x4mg
Inhalasi/ 8 jam
Balance cairan/24 jam
Diet nefrotik
31/3/19 S/ tidak ada keluhan
O/ KU: TSS , Kes: CM
Suhu: 36,8oC, Nadi:98x/menit, TD : 110/80 mmHg, RR: 20x/menit
Abdomen : lingkar perut: 65 cm
Balance cairan :
I : minum 200 cc + infus 500cc
O : urin 500 cc + IWL 450 cc
B : 700 – 950 cc = -250 cc
A/ Sindrom nefrotik relaps
P/ IVFD RL 500cc
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Ambroxol syr 3x1 cth
Prednisone 3x4mg
Inhalasi/ 8 jam
Balance cairan/24 jam
Diet nefrotik
1/4/19 S/ tidak ada keluhan
O/ ku: TSS , Kes: CM
Suhu: 36.7C, Nadi:101x/menit, TD : 110/80 mmHg, RR: 19x/menit
Abdomen : lingkar perut: 66 cm

12
Balance cairan :
I : minum 500 cc
O : urin 200 cc + IWL 450 cc
B : 500 – 650 cc = -150 cc
A/ Sindrom nefrotik relaps
P/ Boleh pulang

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan-kumpulan gejala berupa terdapatnya protein
dalam urin yang dapat disebabkan oleh adanya inflamasi (seperti nefritis lupus,
glomerulonephritis post infeksi bersifat akut, dan lain-lain). Kebanyakan sindrom nefrotik
yang terjadi pada anak bersifat idiopatik. Sindrom nefrotik terjadi karena peningkatan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus ditandai dengan hilangnya protein urine secara
masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya
mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia,
hiperkolesterolemia dan lipiduria.1,2

Tabel 1. Definisi/batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik 1,3


proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
Remisi
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
proteinuria ≥ +2 (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari
Relaps
berturut-turut dalam 1 minggu
relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
Relaps jarang
respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
Relaps sering relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam
(frequent relaps) periode satu tahun
terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
Dependen steroid Bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak dan
prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten
steroid
Resisten steroid tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednisone dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu

Pasien dengan relaps sering dan dependen steroid bila berlangsung lama akan
menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae, dan lain lain.
Pasien SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi anak,
atau setidaknya ditatalaksana bersama-sama dengan ahli nefrologi anak.3

14
B. Etiologi Sindrom Nefrotik
Berdasarkan etiologinya SN dibagi menjadi 2, yaitu: pimer/idiopatik, dan
sekunder/mengikuti penyakit sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 2 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya
herediter) dan mempunyai prognosis buruk.1

Tabel 2. Bentuk Primer dan Sekunder Sindrom Nefrotik


Primer Sekunder
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Henoch-Schonlein purpura, Wagener, dan
vaskulitis lain
Glomerulonefritis membranoproliferatif Infeksi kronik (Hepatitis B, Hepatitis C, malaria,
(GNMP) HIV)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial Reaksi alergi
(GNPM)
Glomerulopati Membranosa (GM) Diabetes
Amyloidosis
Keganasan
Gagal jantung kongestif
Renal vein thrombosis

1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)


Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan
ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah
sindrom nefrotik kongenital. Sindrom nefrotik primer/idiopatik terdiri dari 3 tipe secara
morfologisnya, yaitu :1,5
a. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negatif dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Kelainan ini terdapat pada 85 % dari kasus SN
pada anak usia < 7 tahun dan 50%. Lebih dari 95 % anak dengan SN usia 7 – 16 tahun.
Umumnya tidak ditemukan adanya depost imunoglobulin atau komplemen.1,5
b. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Kelainan ini hanya mengenai beberapa lobus glomerulus, sedang yang lainnya
tampak normal. Terdapat sebanyak 10 – 20 % dari total kasus SN. Glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan
dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya IgM

15
pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan pada mikroskop elektron, dapat
dilihat jaringan parut segmental pada glomerular disertai kerusakan pada lumen kapiler
glomerulus. Lebih dari 35% anak dengan GSFS akan berlanjut hingga gagal ginjal. 1,5
c. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial (GNPM)
Secara histologis menunjukkan pembesaran merata dan pertambahan selularitas
matriks mesangial, lumen dinding kapiler tipis dan halus, disertai perlengketan
kapsulm dan beberapa daerah sklerosis segmental. Jaringan interstitial dapat
mengandung foam cells. Ditemukan endapan IgM dan komplemen difus dalam
mesangium.1,5
d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
Disebut juga sebagai glomerulonefritis mesangiokapiler. Glomerulus tampak
besar karena proliferasi sel mesangium dan pertambahan matriks mesangial sehingga
menyebabkan meluasnya daerah mesangial dan terbentuk gambaran lobulasi
glomerulus. Terdapat deposit C3 di pinggir lobulus dan di dalam mesangium, sering
disertai imuniglobulin1,5
e. Glomerulopati Membranosa (GM)
Kelainan dinding kapiler glomerulus yang progresif dan kompleks. Kelainan
terdiri atas deposit padat elektron dan spikes yang tampak menonjol dari membran
basal. Terdapat deposit granular IgG dan C3.1,5

2. Sindrom nefrotik Sekunder


Timbul akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab
yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah
penyakit metabolik atau kongenital seperti yang disebutkan di tabel 2.1,2 SN Sekunder
dapat merupakan salah satu dari sindrom paraneoplastik (sindrom klinis yang menyertai
penyakit keganasan, yang timbul akibat efek sistemik keganasan tersebut, namun bukan
akibat metastasis). 1

C. Patofisiologi Sindrom Nefrotik

Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan utama SN, sedangkan gejala klinis lainnya
dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat”

16
(≥40mg/jam/m2) untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien
yang bukan sindrom nefrotik.5
 Selektivitas Protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas
albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan
glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non
selektif.5
 Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada
tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein
netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein
bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama
pada SNKM ini ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN
dengan glomerulonefritis proliferatif, klirens molekul kecil menurun dan yang
bermolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa disamping hilangnya
sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau
kelainan pada keduanya.5
 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Laju sintesis albumin pada SN cenderung normal atau
meningkat, hal ini menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati
terhadap albumin tidak cukup untuk mengompensasi laju kehilangan albumin yang
abnormal.5

Kelainan Metabolisme Lipid


Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan
lipid. Kolesterol serum, LDL dan trigliserida meningkat sedangkan HDL dapat
meningkat, normal atau menurun. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat
disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun.
Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis
albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Sedangkan

17
menurunnya degradasi lipoprotein berpengaruh pada menurunnya aktivitas lipase
lipoprotein akibat hilangnya a-glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Bila
albumin kembali normal, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.
Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serum. Lipid juga dapat ditemukan
dalam urin dalam bentuk titik lemak oval (tetesan lipid dalam sel tubulus yang
berdegenerasi).3,5

Edema
 Teori underfill
Menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada
SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
cairan berpindah dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan berpindahnya cairan plasma terjadi
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume dan tekanan
intravaskular, namun juga akan menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya
mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial dan edema semakin berlanjut. 3,5

Gambar 1. Terbentuknya edema menurut teori underfill

 Teori overfill
Menjelaskan bahwa tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron akibat
mekanisme intrarenal primer pada defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstaselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema

18
akibat teraktivasinya sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormone aldosterone yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga eksresi ion natrium menurun. 3,5

Gambar 2. Terbentuknya edema menurut teori overfill


D. Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik
Akumulasi cairan di kompartemen interstitial akan menimbulkan manifestasi seperti
edema pada wajah dan secara general khususnya ke bagian ekstremitas bawah. Edema
dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat dapat menghilang dan timbul
kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau
alergi. Lambat laun edema menjadi menyerluruh, yaitu ke pinggang, perut, dan tungkai
bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai
keadaan ini orang tua pasien sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun
kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti
dengan nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak dengan SN disebutkan
bersifat perlahan-lahan. 5
Edema pada anak dalam awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai
lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki
yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit yang spontan
dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan
menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Selain itu,
oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan
sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.5
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema pada mukosa usus. Hepatomegali
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yang mungkin disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema, atau keduanya. Pada beberapa pasien dapat disertai nyeri perut

19
yang kadang-kadang berat pada keadaan SN yang kambuh, kemungkinan adanya abdomen
akut atau peritonitis. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang
diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat. Padakeadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.5

E. Diagnosis Sindrom Nefrotik


Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan
disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang diserai oliguria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis.2
Penegakkan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012:
1. Proteinuria masif > 40 mg/m2 KPB/jam atau 50 mg/kgBB/hari atau rasio protein /
kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/kgBB atau dipstick ≥ +2
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dl

F. Tatalaksana Sindrom Nefrotik


F.1. Tatalaksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, dirawat di rumah sakit dengan
tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid
dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH bersama steroid. 3,6
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal atau syok.
Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.3,6
 Diet
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi
diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein dan menyebabkan hambatan
20
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5 – 2 g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1 – 2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah garam (1-2g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema.3,6
 Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1 – 2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosterone, diuretik hemat kalium) 2 – 3 mg/kgBB/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1 – 2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.3,6
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter) biasanya terjadi karena
hypovolemia atau hypoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin
20-25 % dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemide intravena 1 – 2 mg/kgBB. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgBB/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk
memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemeberian
plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi, hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila
asites sedemikian berat sehingga nengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. 3,6
 Antibiotik Profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik
profilaksis dengan penisilin oral 125 – 250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang
di Indoesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau
secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda indikasi segera diberikan antibiotik,
amoksicillin, eritromisin, sefaleksin.3,6
 Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu
setelah steroid dihentikan, hanya boeh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih dari 6
minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin hidup. Pada orang tua dipesankan
untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak dengan penderita

21
varisela, diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu
kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir dan
pengobatan stroid sebaiknya dihentikan sementara.3,6

F.2. Pengobatan dengan kortikosteroid


Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama, kecuali bila ada
kontraindikasi. Dapat diberikan prednisone atau prednisolone.
A. Terapi Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
terapi inisial pada anak dengan SN idiopatik tanpa kontraindikasi steroid dimulai dengan
prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/hari) dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung sesuai
dengan berat badan ideal terhadap tinggi badan. Prednison dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari secara
alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid.3,6
B. Pengobatan Relaps
Diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN yang mengalami proteinuria ≥
+2 kembali tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednisone dimulai, terlebih dahulu
dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik
5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang, maka
tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ +2
disertai edema, maka diagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps.3,6
C. Pengobatan Relaps Sering atau Dependen Steroid
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednisone dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps, yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis
ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan.3,6

22
Bila relaps terjadi pada dosis prednisone rumat 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating tanpa
efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB,
selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan obat sitostatika seperti
siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau klorambusil dosis
0,2-0,3 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu bila ditemukan keadaan di bawah ini:3
 Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating, atau
 Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai :
 Efek samping steroid yang berat
 Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis
Efek samping levamisole adalah mual, muntah, hepatotoksik, neutropenia yang
reversibe. Efek samping siklofosfamid adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang,
alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit setiap 1 – 2 kali seminggu. Pengobatan klorambusil sangat
terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.3
Bila jumlah leukosit < 3.000/uL , haemoglobin < 8 g/dL, hitung trombosit < 100.000/
uL obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit > 5.000/uL,
haemoglobin > 9 g/dL, trombosit > 100.000/uL. 3,6
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin (CyA) dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pada SN
relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).3,6
D. Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi
tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil lebih baik
bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. 3,6
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20%
pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA dapat dicoba lagi pengobatan
relaps dengan prednison, karena SNRS dapat menjadi sensitif lagi. 3,6
 CPA oral 2-3mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan

23
 Prednison dosis 40mg/m2 LPB/hari selama pemberian CPA oral, kemudian
prednison di tappering off dengan dosis 1 mg/kgBB selama 1 bulan, lalu
dilanjutkan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SNRS, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60
pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrofi gingiva dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstitial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 3,6
 Kadar CyA dalam serum (pertahankan antara 100 – 200ug/mL)
 Kadar kreatinin darah berkala
 Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun
Harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif
3. Metiprednisolon puls
Metilprednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan
siklosfamid/klorambusil 8-12 minggu. Namun efek samping metilprednisolon puls
banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak sukar untuk direkomendasikan di
Indonesia. 3,6
F.3. Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria
Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan
siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini) dapat diberikan diuretik (bila ada edema)
dikombinasikan dengan ACE inhibitor (ACEI) untuk mengurangi proteinuria. Captopril
0,3mg/kgBB 3x sehari, atau enalapril 0,5mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.3,6
Cara kerja obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-ß1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.6
F.4. Pengobatan Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga
dapat dilakukan penanggulangan yang cepat.
a. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan peritonitis.
Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di

24
urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah risio terjadinya infeksi. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral, dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.3,6
b. Tromboemboli
Trombosis pada SN dapat terjadi karena adanya hiperkoagulasi, peningkatan kadar
fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III. Trombosis dapat
terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya dehidrasi meningkatkan kemungkinan
terjadinya trombosis. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian aspirin dosis
rendah (80mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studi terkontrol
terhadap efektivitas pengobatan ini. Heparin diberikan bila sudah terjadi trombosis.3,6
c. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterl LDL dan
VLDL, trigliserida, dan lipoprotein, sedangkan HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN sensitif stroid cukup dengan
pengurangan diet lemak, sedangkan pada SNRS dapat dipertimbangkan penurunan
lipid dengan obat seperti questran, derivat fibrat dan inhibitor HMGCoA reduktasia
(statin) karena biasanya peningkatan kadar lemak tersebut berlangsung lama, tetapi
manfaat pemberian obat tersebut masih diperdebatkan.3,6
d. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena
1. Penggunaan steroid jangka panjang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Suplementasi kalsium 500mg/hari/vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.3,6
e. Hipovolemia
Pembeian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikaridia, ekstremitas dingin,
dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologik disusul
dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20ml/kgBB (tetesan lambat 10 per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemud 1-2
mg/kgBB intravena.3,6

25
BAB III
ANALISIS KASUS

Diagnosa Sindrom Nefrotik : Pada pasien didapatkan :

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan


klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif
(Albumin urine : positif 3/+++)
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2
2. Edema anasarka
LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
3. Hipoalbuminemia
protein/kreatinin pada urin sewaktu >
(Albumin 1,68 g/dL)
2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
4. Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
kolesterol
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia >
200 mg/dL
Diagnosis Relaps Jarang: Sebelumnya pasien sudah pernah
mengalami keluhan serupa dan telah
Relaps yang terjadi kurang dari 2 kali
berobat rutin di poli anak. Pasien sudah
dalam 6 bulan pertama setelah respon
lepas pengobatan prednisolon sejak ± 1
awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
tahun yang lalu
pengamatan

Tatalaksana Umum Sindrom Nefrotik : Pada pasien dilakukan terapi :

- Pro rawat inap - Pro rawat inap


- Uji Mantoux - IVFD RL
- Diet rendah garam dan diet protein - Inj. Ceftriaxone 2x1gr
sesuai RDA (Recommended Daily - Inj. Lasix 2x1amp
Allowances) - Transf. albumin 20% 100cc
- Restriksi cairan - Ambroxol syr 3x1 cth
- Pemberian loop diuretic seperti - Inhalasi/ 8 jam
Furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila tidak - Diet nefrotik
berhasil (biasanya karena
hipovolemia/hipoalbuminemia berat (≤ 1

26
g/dL)) dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4
jam. Bila pasien tidak mampu dapat
diberikan plasma 20ml/kgBB/hari secara
pelan (10tpm).
- pemberian antibiotik profilaksis dengan
penisilin oral 125-250 mg 2 kali sehari.

Tatalaksana Sindrom Nefrotik Relaps - Prednisone 3x4mg

- Steroid dosis 1,5mg/kgBB secara


alternating

- turunkan dosis tersebut


perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps (dosis threshold), pertahankan
selama 6-12 bulan

-bila relaps terjadi pada dosis prednisone


rumat 0,1-0,5 mg/kgBB alternating tanpa
efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasi dengan levamisol
2,5mg/kgBB alternating, selama 4-12
bulan, atau langsug diberikan obat
sitostatika seperti siklosfamid 2-
3mg/kgBB/hari dosis tunggal atau
klorambusil dosis 0,2-0,3 mg/kgbB/hari
selama 8-12 minggu dengan pemantauan
pemeriksaan darah tepi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB dan Behrman RE. 2015. Nelson Essentials of
Pediatrics 7th Edition . Philadephia : Elsevier
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada
anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
3. Prabowo AY. Nephrotic Syndrome in Children. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung,
Volume 2, Nomor 4, Juni 20014: 9-15
4. Pudjiastuti PT, Gatot D, Ariani Y. Sindrom Nefrotik Sekunder pada Anak dengan
Limfoma Hodkin. Sari Pediatri vol. 8 (1). Juni 2006. h. 37 – 42.
5. Wirya IGNW.: Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: BP-IDAI 2009 h. 381 –
426.
6. Trihono PP, Alatas HA, Tambunan T dan Pardede SO. 2012. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

28

Anda mungkin juga menyukai