Anda di halaman 1dari 24

REFARAT

TATALAKSANA HIPERTENSI EMERGENSI DAN URGENSI

DI UNIT GAWAT DARURAT

Pembimbing:

dr. Febtusia Puspitasari, Sp. JP(K), FIHA

Disusun Oleh:

Rachel Gracia

1965050124

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


DALAM PERIODE 4 MEI – 18 JULI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
KRISTEN INDONESIA JAKARTA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
DEFINISI HIPERTENSI EMERGENSI DAN URGENSI 5
EPIDEMIOLOGI 5
KLASIFIKASI 6
ETIOLOGI 7
PATOFISIOLOGI 9
DIAGNOSIS 11
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI EMERGENSI DAN URGENSI DI UNIT GAWAT
DARURAT 13
PROGNOSIS 19
BAB III KESIMPULAN 20
DAFTAR PUSTAKA 21

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia,

sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan

diberbagai tingkat fasilitas kesehatan.1 Hipertensi (atau HTN) atau tekanan darah tinggi

adalah keadaan tingginya tekanan darah arteri yang abnormal. Menurut Joint National

Committee 7 (JNC 7), tekanan darah (TD) normal adalah tekanan darah sistolik <120 mmHg

dan tekanan darah diastolik <80 mm Hg. Hipertensi didefinisikan sebagai level tekanan darah

sistolik ≥140 mmHg dan / atau level TD diastolik ≥ 90 mmHg.2

Krisis hipertensi umum terjadi pada pasien rawat inap, dengan sekitar satu dari tujuh

pasien mengalami episode hipertensi darurat dan / atau hipertensi urgensi. Hipertensi

emergensi didefinisikan sebagai (1) tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan / atau darah

diastolik tekanan ≥120 mmHg dengan (2) bukti kerusakan organ akhir yang baru atau

memburuk. Organ yang paling sering terlibat pada hipertensi berat adalah otak (sakit kepala,

kebingungan, stroke), jantung (nyeri dada, infark miokard, edema paru), pembuluh darah

besar (diseksi aorta), dan ginjal (nefrosklerosis hipertensi akut). 3 Hipertensi urgensi,

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (sistolik 180 mm Hg atau lebih, dan

diastolik 110 mm Hg atau lebih) tanpa cedera organ target akut. Pasien mungkin masih

mengalami sakit kepala, mual, napas pendek, palpitasi, epistaksis, atau kecemasan,

tergantung pada tingkat akut dan keparahan peningkatan tekanan darah.4

Dalam sebuah penelitian multisenter besar Italia belakangan ini didapatkan 4,6 / 1.000

kasus (dari 333.407 pasien) yang dirawat di unit gawat darurat secara berturut-turut

didiagnosis dengan krisis hipertensi). Dari 1.546 kasus hipertensi, 25,3% dari mereka

dilaporkan adalah hipertensi emergensi. Menariknya, 23% dari keadaan emergensi terdapat

pada pasien dengan hipertensi yang tidak diketahui (27,9% di antara pria dan 18,5% di antara

3
wanita). Gejala dan profil klinis yang berbeda telah dilaporkan dalam penelitian yang

membandingkan keadaan hipertensi emergensi dan urgensi. Lebih khusus, usia dan tekanan

diastolik lebih tinggi pada hipertensi emergensi daripada pada hipertensi urgensi. Tanda dan

gejala yang paling sering pada hipertensi urgensi adalah sakit kepala (22%) dan nyeri dada

(27%) diikuti oleh dispnea (22%) pada hipertensi emergensi. Kerusakan organ akhir pada

hipertensi emergensi dikaitkan lebih sering dengan infark serebral (24%), edema paru akut

(23%), dan ensefalopati hipertensi (16%). Juga, pasien dengan keadaan hipertensi emergensi

memiliki peluang 34% lebih tinggi pada laki-laki dan 28% memiliki gejala tidak spesifik

dibandingkan dengan pasien dengan keadaan hipertensi urgensi.5

Sasaran tatalaksana untuk krisis hipertensi bergantung pada klasifikasinya (mis.,

hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi) dan kondisi saat ini. Untuk tatalaksana umum

krisis hipertensi, pasien harus diklasifikasikan memiliki keadaan hipertensi emergensi atau

hipertensi urgensi. Urgensi hipertensi seringkali membutuhkan terapi oral, modifikasi, atau

titrasi dan biasanya tidak memerlukan ICU atau perawatan di rumah sakit. Sasaran

pengobatan untuk hipertensi urgensi adalah pengurangan tekanan darah secara bertahap

selama 24-48 jam ke sasaran seperti yang tercantum dalam terjemahan terbaru pedoman

manajemen hipertensi berdasarkan indikasi yang meyakinkan. Dalam tatalaksana hipertensi

emergensi, tujuan tatalaksana harus diidentifikasi, juga pada pasien yang memiliki

pengecualian terhadap tujuan penatalaksanaan. Untuk pasien tanpa pengecualian, tujuan

terapi adalah untuk mengurangi mean arterial preassure (MAP) sebesar 25% selama jam

pertama terapi.6

Hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi adalah masalah kesehatan umum yang

menyebabkan tingginya frekuensi peneriman pasien tersebut di unit gawat darurat.7 Referat

ini dirancang untuk meninjau manajemen tatalaksana dan farmakoterapi pada hipertensi

4
urgensi dan hipertensi emergensi di untuk mencapai tekanan darah sasaran yang "aman" yang

telah ditentukan sebelumnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Krisis hipertensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang berat dan tiba-tiba,

biasanya ditentukan oleh nilai tekanan diastolik di atas 120mmHg. Keadaan ini

diklasifikasikan ke dalam hipertensi urgensi ketika tidak ada kerusakan organ akhir dan

sebagai hipertensi emergensi ketika ada risiko kematian yang dibuktikan dengan kerusakan

organ akhir.8

Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah yang nyata tanpa bukti kerusakan

organ target, seperti edema paru, iskemia jantung, defisit neurologis, atau gagal ginjal akut.

Cut off spesifik telah diusulkan, yaitu tekanan darah sistolik lebih besar dari 180 atau tekanan

darah diastolik lebih besar dari 110, tetapi ini adalah angka yang diturunkan secara

sewenang-wenang yang tidak dikaitkan dengan morbiditas atau mortalitas jangka pendek.9

Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang ditandai

(biasanya >180 mm Hg sistolik atau > 110 mm Hg diastolik) yang terkait dengan kerusakan

organ target akut. Organ target biasanya yang terlibat yaitu organ sistem kardiovaskular,

ginjal, atau saraf pusat.10

II. Epidemiologi

Dalam sebuah penelitian multisenter besar Italia baru-baru ini, 4,6 / 1.000 kasus (dari

333.407 pasien) secara berturut-turut dirawat di unit gawat darurat didiagnosis dengan krisis

hipertensi. Dari 1.546 kasus hipertensi, 25,3% dilaporkan hipertensi emergensi. Menariknya,

23% dari hipertensi emergensi, terjadi pada pasien dengan hipertensi yang tidak diketahui

5
(27,9% di antara pria dan 18,5% di antara wanita).11 Penelitian lain mengataan prevalensi

kejadian krisis hipertensi adalah 6 / 1.000; dalam hal itu, 71,7% menunjukkan urgensi

hipertensi, 19,1% hipertensi emergensi.12

Mengenai gejala, mayoritas (55,6%) dari pasien krisis hipertensi melaporkan gejala tidak

spesifik seperti sakit kepala tanpa defisit neurologis, pusing, muntah, jantung berdebar, juga

di antara kasus emergensi (49,3%). Selain itu, gejala yang berhubungan dengan jantung

(dispnea, nyeri dada, aritmia, dan sinkop) adalah gejala yang kurang umum pada krisis

hipertensi (28,3%). Mengenai hipertensi emergensi, mayoritas (30,9%) dari pasien

mengalami edema paru akut, 22% mengalami stroke, dan 17,9% memiliki infark miokard.

Diagnosis yang lebih jarang adalah diseksi aorta akut (7,9%), gagal ginjal akut, dan

ensefalopati hipertensi (4,9%). Juga, pasien dengan keadaan hipertensi emergensi memiliki

peluang 34% lebih tinggi pada laki-laki dan 28% lebih sedikit memiliki gejala tidak spesifik

dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi urgensi. Pentingnya penelitian ini adalah

bahwa frekuensi hipertensi yang tidak diketahui baik dalam krisis hipertensi dan lebih khusus

dalam hipertensi emergensi lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang

diterbitkan dalam literatur.13

III. Klasifikasi

Hipertensi emergensi didiagnosis jika tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 180 mmHg

dan atau tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 120 mmHg dengan adanya kerusakan organ

akut. Hipertensi urgensi didiagnosis jika ada tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 180

mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 110 mmHg pada orang yang stabil

tanpa bukti klinis atau laboratorium kerusakan organ akut. Klasifikasi ini diambil dari 2017

Guidline For The Prevention Detection, Evaluation And Management Of High Blodd

Pressure In Adults oleh American Heart Association (AHA) pada gambar 1.14

6
Gambar 1. Klasifikasi Krisis Hipertensi oleh Guidline American Heart Association 2017
Sumber: American College of Cardiology. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and
Management of High Blood Pressure in Adults. Sep 2017, 23976; DOI: 10.1016/j.jacc.2017.07.745

IV. Etiologi

Peningkatan TD akut dan berat dapat terjadi sebagai komplikasi dari hipertensi esensial,

hipertensi sekunder, atau dapat terjadi secara de novo. Secara umum, 8% pasien dengan

hipertensi emergensi dan 28% dengan hipertensi urgensi datang ke ruang gawat darurat

memiliki diagnosis hipertensi. Pencetus yang paling umum pada krisis hipertensi adalah

ketidak patuhan pengobatan. Obat-obatan terkait obat antihipertensi yang bekerja secara

terpusat, b-blocker perifer, atau oral blocker dapat menyebabkan peningkatan aliran simpatis.

Pada individu yang sebelumnya normatif, obat obatan seperti kokain, phclclidine, amfetamin

atau obat yang diresepkan (misalnya, kontrasepsi oral, linezolid, obat antiinflamasi

nonsteroid, Inhibitor Monoamine Oxidase [MAO]) dapat meningkatkan risiko krisis

hipertensi. Penarikan alkohol juga dapat memicu krisis hipertensi.15

7
Gambar 2. Etiologi Krisis Hipertensi
Sumber: Saguner AM, Dur S, Perrig M, et al. Risk factors promoting hypertensive crises:evidence from a
longitudinal study. Am J Hypertens 2010;23(7):775–80.

Dalam sebuah studi longitudinal, Saguner dan rekannya mengidentifikasi beberapa faktor

risiko yang secara signifikan terkait dengan krisis hipertensi: jenis kelamin perempuan,

tingkat obesitas yang lebih tinggi, adanya penyakit jantung hipertensi, adanya gangguan

somatoform, jumlah obat antihipertensi yang lebih tinggi, dan ketidakpatuhan terhadap

pengobatan.16

8
V. Patofisiologi

Patofisiologis kelainan utama pada krisis hipertensi adalah perubahan autoregulasi di

pembuluh darah tertentu, terutama otak dan ginjal, yang sering diikuti oleh arteritis dan

iskemia pada organ vital. Autoregulasi mengacu pada kemampuan pembuluh darah melebar

atau menyempit untuk mempertahankan perfusi organ normal. Arteri normal dari individu

normotensif dapat mempertahankan aliran darah pada berbagai tekanan arteri rata-rata,

biasanya 60–150 mmHg. Peningkatan tekanan darah yang kronis menyebabkan perubahan

fungsional dan struktural terkompensasi dalam sirkulasi arteri dan menggeser kurva

autoregulasi ke kanan. Ini memungkinkan pasien hipertensi untuk mempertahankan perfusi

normal dan menghindari aliran darah yang berlebihan pada tingkat tekanan darah yang lebih

tinggi. Ketika tekanan darah meningkat di atas kisaran autoregulasi, pembuluh yang

menyempit tidak bisa lagi menahan tekanan dan berdilatasi secara tiba-tiba. “Terobosan”

aliran darah seperti ini membuat jaringan di bawah tekanan tinggi menyebabkan kebocoran

cairan ke jaringan perivaskular. Arteri dan arteriol sedang dan kecil menunjukkan perubahan

inflamasi akut dan kronis yang berhubungan dengan nekrosis. Terobosan pada aliran darah

otak ini menghasilkan edema serebral dan sindrom ensefalopati hipertensi. Pada orang

normotensive tidak ada riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya, terobosan terjadi pada

tekanan darah rata-rata sekitar 120 mmHg tetapi pada pasien hipertensi, terobosan terjadi

pada tingkat rata-rata sekitar 180 mmHg. Pada anak-anak dengan glomerulonefritis akut dan

pada wanita dengan eklampsia, ensefalopati hipertensi dapat berkembang pada tekanan darah

serendah 150/100 mmHg.

Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun, dua mekanisme

yang berbeda tetapi saling terkait dapat memainkan peran sentral dalam patofisiologi krisis

hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan dalam mekanisme autoregulasi dalam pembuluh

darah. Sistem autoregulasi adalah faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis

9
hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal)

untuk mempertahankan aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika

tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai berkurang sementara, tetapi kembali ke nilai

normal setelah beberapa menit berikutnya. Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika tekanan

perfusi turun, ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi pembuluh

darah. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi dalam pembuluh darah dan aliran

darah sehingga peningkatan TD yang tiba-tiba dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi,

yang sering menyebabkan stres mekanik dan cedera endotel.

Gambar 3. Patofisiologi Krisis Hipertensi


Sumber: Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J, Tousoulis D. Cardiovascular Hypertensive
Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Front Cardiovasc Med. 2017;3:51. Published 2017 Jan
10. doi:10.3389/fcvm.2016.00051

10
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang mengarah ke

vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menyebabkan siklus cedera yang terus

menerus dan selanjutnya iskemia. Selain mekanisme ini, keadaan prothrombotik dapat

memainkan peran kunci dalam krisis hipertensi; sebuah studi baru-baru ini, meskipun kecil,

menunjukkan bahwa sP-selektin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan krisis

hipertensi dibandingkan dengan kontrol normotensif terlepas dari adanya retinopati, yang

menunjukkan bahwa aktivasi trombosit adalah temuan yang relatif awal dalam gejala

patofisiologis dari krisis hipertensi 16

VI. Diagnosis

Panduan klinis krisis hipertensi yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dalam Panduan Praktik Klinis & Clinical Pathway

Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada tahun 2015 meliputi:17

1. Anamnesis: pada anamnesis ditemui keluhan pusing, kepala berat, nyeri dada,

cepat lelah, berdebar-debar, sesak nafas, tanpa keluhan, kelemahan atau

kelumpuhan sebagian atau seluruh anggota tubuh

2. Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah sistolik kurang

dari sama dengan 180 mmHg atau tekanan darah diastolic 110 mmHg. Kriteria

diagnosis ini sesuai dengan kriteria JNC VII

3. Pemeriksaan penunjang:

a. Fototoraks: kriteria diagnosis didapatkan kardiomegali

b. Elektrokardiogram (EKG): kriteria diagnosis didapatkan Left Ventricle

Hipertrophi (LVH), perubahan segmen ST pada EKG

11
c. Laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Cr, Ur, GDS, Na+, K+, OGTT (bila

belum diketahui DM), urinalisa

d. Skrining hipertensi endokrin

e. USG abdomen: ginjal

f. CT – scan kepala

Pasien dengan hipertensi emergensi pada umumnya datang ke unit gawat darurat dengan

kondisi adanya kerusakan target organ atau ancaman terhadap kerusakan target organ,

penelusuran anamnesis yang cermat dan temuan pemeriksaan fisik dari kondisi klinis

penderita akan menghasilkan suatu keputusan klinis yang tepat dan memiliki konsekuensi

terhadap strategi pengobatan sesuai dengan penyakit dasar, pemeriksaan laboratorium dasar

terhadap fungsi organ vital seperti urea dan kreatinin darah, urinalisis serta biomarker kardiak

apabila dicurigai adanya keterlibatan jantung dalam kondisi kegawatan tersebut, maka akan

diperlukan EKG, foto Thoraks .atau CT.Scan kepala, yang secara spesifik diindikasikan

untuk evaluasi gangguan serebral. 18

Banyak pasien dalam unit gawat darurat dengan nyeri akut atau distress menunjukkan

peningkatan TD yang kembali normal saat nyeri atau distress hilang. Untuk pasien dengan

dugaan hipertensi darurat, pemeriksaan diagnostik ditunjukkan pada gambar 4.

12
Gambar 4. Pemeriksaan Diagnostik Untuk Pasien Dengan Dugaan Hipertensi Emergensi Sumber: European
Society of Cardiology. 2018 ESC/ESH Guidelines for Management of Arterial Hypertwnsion. European Heart
Journal. 2018:53-55

VII. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi Dan Hipertensi Di Unit Gawat Darurat

Prinsip umum tatalaksana hipertensi emergensi adalah terapi anti-hipertensi parenteral

mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD sebelum keseluruhan hasil

pemeriksaan laboratorium diperoleh. Dilakukan perawatan diruang intensif (ICU/intensive

care unit) untuk memonitor ketat TD dan kerusakan organ target. Penurunan TD secara

gradual bertujuan mengembalikan autoregulasi organ, sehinnga perfusi organ yang normal

dapat dipertahankan. Hindari penurunan TD agresif pada hipertensi non-emergensi dan juga

penurunan TD yang terlalu cepat.20 American College of Cardiologi/American Heart

Association (ACC/AHA) - 2017 mengeluarkan pedoman algoritme diagnosis dan manajemen

13
krisis hipertensi. Pada pedoman ACC/AHA-2017 target penurunan TD dibedakan dengan

melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling condition).

Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana hipertensi emergensi

adalah dengan melakukan penurunan TD maksimal 25% dalam jam pertama, kemudian target

penurunan TD mencapai 160/100-110 mm Hg dalam 2 sampai 6 jam, selanjutnya TD

mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam. Penurunan TD yang lebih agresif dilakukan bila

didapatkan compelling condition (aorta dissection, pre-eclampsia berat atau eclampsia, dan

krisis pheochromocytoma).

Gambar 5. Rekomendasi pada Krisis Hipertensi dan Emergensi


Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults.
Hypertension 2018;71:e13-e115

Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017:22

1. Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi tekanan

darah sistolik > 180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg maka

perhatikanlah apakah ada kerusakan organ target yang baru / progresif / perburukan.

a. Apabila iya, maka diagnosisnya adalah hipertensi emergensi dan rawat di

ICU.

14
b. Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan lakukan

evaluasi / berikan obat antihipertensi oral dan follow up selanjutnya.

2. Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,

preeklampsia /eklampsia berat, krisis preokromositoma.

a. Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg pada 1 jam pertama dan < 120

mmHg pada diseksi aorta.

b. Apabila tidak, turunkan tekanan darah maksimal 25% pada 1 jam pertama,

selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua sampai jam

keenam, dan selanjutnya dapat diturunkan sampai tekanan darah normal

pada 24 – 48 jam.

Gambar 6. Manajemen Krisis Hipertensi

15
Sumber: Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults: A Report of the College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice
Guidelines.

Pada pedoman praktik klinis krisis hipertensi yang disususn oleh PERKI, terapi yang

dapat diberikan pada pasien dengan krisis hipertensi adalah nitrat (intravena / IV), Calcium

Chanel Blocker (IV), Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor/Angiotensin Receptor

Blocker, diuretik tiazid, beta blocker, Mineralcorticoid Receptor Antagonist, dan vasodilator

direk. 80% pasien dirawat mencapai target MAP 25-30% dengan menggunakan anti hipetensi

intravena.17

Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana hipertensi emergensi, tidak didapatkan

obat tunggal yang diketahui lebih superior dibandingkan lainnya. 23 Review sistemik dan

meta-analisis yang dilakukan terhadap obat-obatan anti-h emergensi menunjukkan bahwa,

hanya didapatkan perbedaan minor pada derajat penurunan tekanan darah diantara obat-obat

tersebut, serta tidak didapatkan perbedaan morbiditas atau mortalitas.20 Gambar 7. dan 8.

menunjukkan terapi farmakologis anti-hipertensi emergensi intravena menurut AHA/ACC

pada Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood

Pressure in Adults, 2017.2

16
Gambar 7. Obat Antihipertensi Intravena pada Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi Sumber: Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice Guidelines.

17
Gambar 8. Obat Antihipertensi Intravena pada Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi (Lanjutan) Sumber: Guideline
for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice Guidelines.

Gambar 9. menampilkan pedoman umum obat-obatan anti-hipertensi intravena pada

pasien hipertensi emergensi dengan komorbiditas tertentu.21

Gambar 9. Obat-obatan anti-hipertensi Intravena pada Pasien Hipertensi Emergensi dengan Komorbiditas Tertentu
Sumber: 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults. Hypertension
2018;71:e13-e115

Pada hipertensi urgensi biasanya dikelola dengan kombinasi fast-acting agents oral

seperti loop diuretik (bumetanide, furosemide), beta-blocker (propranolol, metoprolol,

nadolol), ACE inhibitor (benazepril, captopril, enalapril), calcium chanel blocker

(amlodipine, verapamil), atau agonis alfa yang bekerja secara terpusat seperti clonidine.

18
Tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap selama 24 hingga 48 jam, dan bahkan dapat

dilakukan secara rawat jalan.24

Gambar 10. merupakan tatalaksana farmakologi anti-hipertensi yang dapat digunakan

untuk penatalaksanaan pada hipertensi urgensi.20

Gambar 10. Agen Farmakologi pada Penatalaksanaan Hipertensi Urgensi


Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and Urgencies. In:
th
Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive Clinical Nephrology 2019. 6 edition.
Elsevier.p. 444-452

Dengan tidak adanya gejala kerusakan organ target, sebagian besar pasien dapat aman

dirawat dengan rawat jalan, karena komplikasi kardiovaskular jarang terjadi dalam jangka

pendek. Pada pasien dengan hipertensi urgensi melakukan follow-up dan mengintensifkan

terapi anti-hipertensi harus diupayakan.16

VIII. Prognosis

Hipertensi emergensi memiliki prognosis yang berbeda dibandingkan dengan hipertensi

urgensi. Pada pasien dengan hipertensi emergensi, mortalitas lebih tinggi (4,6%)

dibandingkan pada pasien dengan hipertensi urgensi (0,8%) 15 Telah dilaporkan bahwa

kematian dalam 1 tahun mencapai 79% pada pasien dengan hipertensi emergensi yang tidak

diobati, dan angka harapan hidup 5 tahun di antara semua pasien yang mengalami krisis

hipertensi adalah 74%. Penyebab kematian yang paling umum dijelaskan dalam literatur

adalah gagal ginjal, stroke, infark miokard, dan gagal jantung.13

19
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah yang nyata tanpa bukti

kerusakan organ target, seperti edema paru, iskemia jantung, defisit neurologis, atau gagal

ginjal akut. Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang

ditandai (biasanya >180 mm Hg sistolik atau > 110 mm Hg diastolik) yang terkait dengan

kerusakan organ target akut.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Tujuan utama proses diagnostik krisis hipertensi adalah membedakan hipertensi

emergensi dengan hipertensi urgensi, oleh karena pendekatan therapeutiknya yang berbeda.

Tujuan berikutnya adalah penilaian secara cepat tipe dan beratnya kerusakan organ target

yang berlangsung.

Prinsip umum tatalaksana hipertensi emergensi adalah terapi anti-hipertensi parenteral

mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD sebelum keseluruhan hasil

pemeriksaan laboratorium diperoleh. Penurunan TD secara gradual bertujuan mengembalikan

autoregulasi organ, sehinnga perfusi organ yang normal dapat dipertahankan. Pada

penanganan hipertensi urgensi, TD diturunkan secara bertahap selama 24 hingga 48 jam,

selanjutnya harus diupayakan melakukan follow-up dan mengintensifkan terapi anti-

hipertensi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Afandi, A. Terapi musik instrumental classic: penurunan tekanan darah pada pasien

stroke. 2015. The Sun. 2(2): 28-34

2. Singh S, Shankar R, Singh GP. Prevalence and Associated Risk Factors of Hypertension:

A Cross-Sectional Study in Urban Varanasi. Int J Hypertens. 2017;2017:5491838.

doi:10.1155/2017/5491838.

3. Breu AC, Axon RN, Acute Treatment of Hypertensive Urgency. J. Hosp.

Med 2018;12;860-862. Published online first October 31, 2018. doi:10.12788/jhm.3086

4. ROBERT GAUER, MD, Womack Army Medical Center, Fort Bragg, North CarolinaAm

Fam Physician. 2017 Apr 15;95(8):492-500.

5. Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J, Tousoulis D. Cardiovascular

Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Front Cardiovasc

Med. 2017;3:51. Published 2017 Jan 10. doi:10.3389/fcvm.2016.00051

6. Benken ST. Critical Care Self-Assessment Program, 2018 Book 1. Issues in ICU:

Hypertensive Emergencies. 2018. Available from:

https://www.accp.com/docs/bookstore/ccsap/ccsap2018b1_sample.pdf

7. Schuit, Stephanie C.E.a; Koch, Birgit C.P.b; Versmissen, Joriea Drug nonadherence is a

common but often overlooked cause of hypertensive urgency and emergency at the

emergency department, Journal of Hypertension: May 2019 - Volume 37 - Issue 5 - p

1048-1057 doi: 10.1097/HJH.0000000000002005

8. Pierin Angela Maria Geraldo, Flórido Carime Farah, Santos Juliano dos. Hypertensive

crisis: clinical characteristics of patients with hypertensive urgency, emergency and

21
pseudocrisis at a public emergency department. Einstein (São Paulo)  [Internet]. 2019. 

[cited  2020  May  22] ;  17( 4 ): eAO4685. Available from:

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1679

9. Alley WD, Copelin II EL. Hypertensive Urgency. [Updated 2020 Jan 8]. In: StatPearls

[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513351/

10. Janke AT, BS, McNaughton CD, et al. Trends in the Incidence of Hypertensive

Emergencies in US Emergency Departments From 2006 to 2013, Journal of the

American Heart Association, Vol.5. Originally published 5 Dec 2016

https://doi.org/10.1161/JAHA.116.004511

11. Pierin Angela Maria Geraldo, Flórido Carime Farah, Santos Juliano dos. Hypertensive

crisis: clinical characteristics of patients with hypertensive urgency, emergency and

pseudocrisis at a public emergency department. Einstein (São Paulo)  [Internet]. 2019 

[cited  2020  May  29] ;  17( 4 ): eAO4685. Epub Aug 29,

2019.  https://doi.org/10.31744/einstein_journal/2019ao4685.

12. Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J, Tousoulis D. Cardiovascular

Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Front Cardiovasc

Med. 2017;3:51. Published 2017 Jan 10. doi:10.3389/fcvm.2016.00051

13. Chuda, Ravindra & Castillo, Sonia & Poddutoori, Padma. Hypertensive Crises. Hospital

Medicine Clinics. 2014. 3. e111–e127. 10.1016/j.ehmc.2013.09.002.

14. American College of Cardiology. 2017 Guideline for the Prevention, Detection,

Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults. Sep 2017, 23976; DOI:

10.1016/j.jacc.2017.07.745

22
15. Saguner AM, Dur S, Perrig M, et al. Risk factors promoting hypertensive crises:evidence

from a longitudinal study. Am J Hypertens 2010;23(7):775–80.

16. Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., Lekakis, J., & Tousoulis, D. 2017.

Cardiovascular Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature.

Frontiers in Cardiovascular Medicine, 3, 51. https://doi.org/10.3389/fcvm.2016.00051

17. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis &

Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Pedoman Tatalaksan Kasus

Krisis Hipertensi. 2015;40.

18. Loekman, SJ. Patogenesis Dan Managemen Hipertensi Emergensi. Emergency in Internal

Medicine: Innovation for Future. Divisi Ginjal-Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit

Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar. 2016.

19. European Society of Cardiology. 2018 ESC/ESH Guidelines for Management of Arterial

Hypertwnsion. European Heart Journal. 2018:53-55

20. Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and

Urgencies. In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive

th
Clinical Nephrology 2019. 6 edition. Elsevier.p. 444-452

21. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al.

2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline

for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in

Adults. Hypertension 2018;71:e13-e115

22. Heart Association. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and

Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the College of

Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice Guidelines. 2017.

23
23. Mallidi J, Penumesta S, Lotfi A. Management of Hypertensive Emergencies. J Hypertens

2013;2(2):1-6

24

Anda mungkin juga menyukai