Pembimbing:
Disusun Oleh:
Rachel Gracia
1965050124
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
DEFINISI HIPERTENSI EMERGENSI DAN URGENSI 5
EPIDEMIOLOGI 5
KLASIFIKASI 6
ETIOLOGI 7
PATOFISIOLOGI 9
DIAGNOSIS 11
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI EMERGENSI DAN URGENSI DI UNIT GAWAT
DARURAT 13
PROGNOSIS 19
BAB III KESIMPULAN 20
DAFTAR PUSTAKA 21
2
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia,
sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan
diberbagai tingkat fasilitas kesehatan.1 Hipertensi (atau HTN) atau tekanan darah tinggi
adalah keadaan tingginya tekanan darah arteri yang abnormal. Menurut Joint National
Committee 7 (JNC 7), tekanan darah (TD) normal adalah tekanan darah sistolik <120 mmHg
dan tekanan darah diastolik <80 mm Hg. Hipertensi didefinisikan sebagai level tekanan darah
Krisis hipertensi umum terjadi pada pasien rawat inap, dengan sekitar satu dari tujuh
pasien mengalami episode hipertensi darurat dan / atau hipertensi urgensi. Hipertensi
emergensi didefinisikan sebagai (1) tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan / atau darah
diastolik tekanan ≥120 mmHg dengan (2) bukti kerusakan organ akhir yang baru atau
memburuk. Organ yang paling sering terlibat pada hipertensi berat adalah otak (sakit kepala,
kebingungan, stroke), jantung (nyeri dada, infark miokard, edema paru), pembuluh darah
besar (diseksi aorta), dan ginjal (nefrosklerosis hipertensi akut). 3 Hipertensi urgensi,
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (sistolik 180 mm Hg atau lebih, dan
diastolik 110 mm Hg atau lebih) tanpa cedera organ target akut. Pasien mungkin masih
mengalami sakit kepala, mual, napas pendek, palpitasi, epistaksis, atau kecemasan,
Dalam sebuah penelitian multisenter besar Italia belakangan ini didapatkan 4,6 / 1.000
kasus (dari 333.407 pasien) yang dirawat di unit gawat darurat secara berturut-turut
didiagnosis dengan krisis hipertensi). Dari 1.546 kasus hipertensi, 25,3% dari mereka
dilaporkan adalah hipertensi emergensi. Menariknya, 23% dari keadaan emergensi terdapat
pada pasien dengan hipertensi yang tidak diketahui (27,9% di antara pria dan 18,5% di antara
3
wanita). Gejala dan profil klinis yang berbeda telah dilaporkan dalam penelitian yang
membandingkan keadaan hipertensi emergensi dan urgensi. Lebih khusus, usia dan tekanan
diastolik lebih tinggi pada hipertensi emergensi daripada pada hipertensi urgensi. Tanda dan
gejala yang paling sering pada hipertensi urgensi adalah sakit kepala (22%) dan nyeri dada
(27%) diikuti oleh dispnea (22%) pada hipertensi emergensi. Kerusakan organ akhir pada
hipertensi emergensi dikaitkan lebih sering dengan infark serebral (24%), edema paru akut
(23%), dan ensefalopati hipertensi (16%). Juga, pasien dengan keadaan hipertensi emergensi
memiliki peluang 34% lebih tinggi pada laki-laki dan 28% memiliki gejala tidak spesifik
hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi) dan kondisi saat ini. Untuk tatalaksana umum
krisis hipertensi, pasien harus diklasifikasikan memiliki keadaan hipertensi emergensi atau
hipertensi urgensi. Urgensi hipertensi seringkali membutuhkan terapi oral, modifikasi, atau
titrasi dan biasanya tidak memerlukan ICU atau perawatan di rumah sakit. Sasaran
pengobatan untuk hipertensi urgensi adalah pengurangan tekanan darah secara bertahap
selama 24-48 jam ke sasaran seperti yang tercantum dalam terjemahan terbaru pedoman
emergensi, tujuan tatalaksana harus diidentifikasi, juga pada pasien yang memiliki
terapi adalah untuk mengurangi mean arterial preassure (MAP) sebesar 25% selama jam
pertama terapi.6
Hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi adalah masalah kesehatan umum yang
menyebabkan tingginya frekuensi peneriman pasien tersebut di unit gawat darurat.7 Referat
ini dirancang untuk meninjau manajemen tatalaksana dan farmakoterapi pada hipertensi
4
urgensi dan hipertensi emergensi di untuk mencapai tekanan darah sasaran yang "aman" yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Krisis hipertensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang berat dan tiba-tiba,
biasanya ditentukan oleh nilai tekanan diastolik di atas 120mmHg. Keadaan ini
diklasifikasikan ke dalam hipertensi urgensi ketika tidak ada kerusakan organ akhir dan
sebagai hipertensi emergensi ketika ada risiko kematian yang dibuktikan dengan kerusakan
organ akhir.8
Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah yang nyata tanpa bukti kerusakan
organ target, seperti edema paru, iskemia jantung, defisit neurologis, atau gagal ginjal akut.
Cut off spesifik telah diusulkan, yaitu tekanan darah sistolik lebih besar dari 180 atau tekanan
darah diastolik lebih besar dari 110, tetapi ini adalah angka yang diturunkan secara
sewenang-wenang yang tidak dikaitkan dengan morbiditas atau mortalitas jangka pendek.9
(biasanya >180 mm Hg sistolik atau > 110 mm Hg diastolik) yang terkait dengan kerusakan
organ target akut. Organ target biasanya yang terlibat yaitu organ sistem kardiovaskular,
II. Epidemiologi
Dalam sebuah penelitian multisenter besar Italia baru-baru ini, 4,6 / 1.000 kasus (dari
333.407 pasien) secara berturut-turut dirawat di unit gawat darurat didiagnosis dengan krisis
hipertensi. Dari 1.546 kasus hipertensi, 25,3% dilaporkan hipertensi emergensi. Menariknya,
23% dari hipertensi emergensi, terjadi pada pasien dengan hipertensi yang tidak diketahui
5
(27,9% di antara pria dan 18,5% di antara wanita).11 Penelitian lain mengataan prevalensi
kejadian krisis hipertensi adalah 6 / 1.000; dalam hal itu, 71,7% menunjukkan urgensi
Mengenai gejala, mayoritas (55,6%) dari pasien krisis hipertensi melaporkan gejala tidak
spesifik seperti sakit kepala tanpa defisit neurologis, pusing, muntah, jantung berdebar, juga
di antara kasus emergensi (49,3%). Selain itu, gejala yang berhubungan dengan jantung
(dispnea, nyeri dada, aritmia, dan sinkop) adalah gejala yang kurang umum pada krisis
mengalami edema paru akut, 22% mengalami stroke, dan 17,9% memiliki infark miokard.
Diagnosis yang lebih jarang adalah diseksi aorta akut (7,9%), gagal ginjal akut, dan
ensefalopati hipertensi (4,9%). Juga, pasien dengan keadaan hipertensi emergensi memiliki
peluang 34% lebih tinggi pada laki-laki dan 28% lebih sedikit memiliki gejala tidak spesifik
dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi urgensi. Pentingnya penelitian ini adalah
bahwa frekuensi hipertensi yang tidak diketahui baik dalam krisis hipertensi dan lebih khusus
dalam hipertensi emergensi lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang
III. Klasifikasi
Hipertensi emergensi didiagnosis jika tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 180 mmHg
dan atau tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 120 mmHg dengan adanya kerusakan organ
akut. Hipertensi urgensi didiagnosis jika ada tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 180
mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 110 mmHg pada orang yang stabil
tanpa bukti klinis atau laboratorium kerusakan organ akut. Klasifikasi ini diambil dari 2017
Guidline For The Prevention Detection, Evaluation And Management Of High Blodd
Pressure In Adults oleh American Heart Association (AHA) pada gambar 1.14
6
Gambar 1. Klasifikasi Krisis Hipertensi oleh Guidline American Heart Association 2017
Sumber: American College of Cardiology. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and
Management of High Blood Pressure in Adults. Sep 2017, 23976; DOI: 10.1016/j.jacc.2017.07.745
IV. Etiologi
Peningkatan TD akut dan berat dapat terjadi sebagai komplikasi dari hipertensi esensial,
hipertensi sekunder, atau dapat terjadi secara de novo. Secara umum, 8% pasien dengan
hipertensi emergensi dan 28% dengan hipertensi urgensi datang ke ruang gawat darurat
memiliki diagnosis hipertensi. Pencetus yang paling umum pada krisis hipertensi adalah
ketidak patuhan pengobatan. Obat-obatan terkait obat antihipertensi yang bekerja secara
terpusat, b-blocker perifer, atau oral blocker dapat menyebabkan peningkatan aliran simpatis.
Pada individu yang sebelumnya normatif, obat obatan seperti kokain, phclclidine, amfetamin
atau obat yang diresepkan (misalnya, kontrasepsi oral, linezolid, obat antiinflamasi
7
Gambar 2. Etiologi Krisis Hipertensi
Sumber: Saguner AM, Dur S, Perrig M, et al. Risk factors promoting hypertensive crises:evidence from a
longitudinal study. Am J Hypertens 2010;23(7):775–80.
Dalam sebuah studi longitudinal, Saguner dan rekannya mengidentifikasi beberapa faktor
risiko yang secara signifikan terkait dengan krisis hipertensi: jenis kelamin perempuan,
tingkat obesitas yang lebih tinggi, adanya penyakit jantung hipertensi, adanya gangguan
somatoform, jumlah obat antihipertensi yang lebih tinggi, dan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan.16
8
V. Patofisiologi
pembuluh darah tertentu, terutama otak dan ginjal, yang sering diikuti oleh arteritis dan
iskemia pada organ vital. Autoregulasi mengacu pada kemampuan pembuluh darah melebar
atau menyempit untuk mempertahankan perfusi organ normal. Arteri normal dari individu
normotensif dapat mempertahankan aliran darah pada berbagai tekanan arteri rata-rata,
biasanya 60–150 mmHg. Peningkatan tekanan darah yang kronis menyebabkan perubahan
fungsional dan struktural terkompensasi dalam sirkulasi arteri dan menggeser kurva
normal dan menghindari aliran darah yang berlebihan pada tingkat tekanan darah yang lebih
tinggi. Ketika tekanan darah meningkat di atas kisaran autoregulasi, pembuluh yang
menyempit tidak bisa lagi menahan tekanan dan berdilatasi secara tiba-tiba. “Terobosan”
aliran darah seperti ini membuat jaringan di bawah tekanan tinggi menyebabkan kebocoran
cairan ke jaringan perivaskular. Arteri dan arteriol sedang dan kecil menunjukkan perubahan
inflamasi akut dan kronis yang berhubungan dengan nekrosis. Terobosan pada aliran darah
otak ini menghasilkan edema serebral dan sindrom ensefalopati hipertensi. Pada orang
normotensive tidak ada riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya, terobosan terjadi pada
tekanan darah rata-rata sekitar 120 mmHg tetapi pada pasien hipertensi, terobosan terjadi
pada tingkat rata-rata sekitar 180 mmHg. Pada anak-anak dengan glomerulonefritis akut dan
pada wanita dengan eklampsia, ensefalopati hipertensi dapat berkembang pada tekanan darah
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun, dua mekanisme
yang berbeda tetapi saling terkait dapat memainkan peran sentral dalam patofisiologi krisis
hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan dalam mekanisme autoregulasi dalam pembuluh
darah. Sistem autoregulasi adalah faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis
9
hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal)
untuk mempertahankan aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika
tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai berkurang sementara, tetapi kembali ke nilai
normal setelah beberapa menit berikutnya. Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika tekanan
perfusi turun, ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi pembuluh
darah. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi dalam pembuluh darah dan aliran
darah sehingga peningkatan TD yang tiba-tiba dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi,
10
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang mengarah ke
vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menyebabkan siklus cedera yang terus
menerus dan selanjutnya iskemia. Selain mekanisme ini, keadaan prothrombotik dapat
memainkan peran kunci dalam krisis hipertensi; sebuah studi baru-baru ini, meskipun kecil,
menunjukkan bahwa sP-selektin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan krisis
hipertensi dibandingkan dengan kontrol normotensif terlepas dari adanya retinopati, yang
menunjukkan bahwa aktivasi trombosit adalah temuan yang relatif awal dalam gejala
VI. Diagnosis
Panduan klinis krisis hipertensi yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dalam Panduan Praktik Klinis & Clinical Pathway
1. Anamnesis: pada anamnesis ditemui keluhan pusing, kepala berat, nyeri dada,
dari sama dengan 180 mmHg atau tekanan darah diastolic 110 mmHg. Kriteria
3. Pemeriksaan penunjang:
11
c. Laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Cr, Ur, GDS, Na+, K+, OGTT (bila
f. CT – scan kepala
Pasien dengan hipertensi emergensi pada umumnya datang ke unit gawat darurat dengan
kondisi adanya kerusakan target organ atau ancaman terhadap kerusakan target organ,
penelusuran anamnesis yang cermat dan temuan pemeriksaan fisik dari kondisi klinis
penderita akan menghasilkan suatu keputusan klinis yang tepat dan memiliki konsekuensi
terhadap strategi pengobatan sesuai dengan penyakit dasar, pemeriksaan laboratorium dasar
terhadap fungsi organ vital seperti urea dan kreatinin darah, urinalisis serta biomarker kardiak
apabila dicurigai adanya keterlibatan jantung dalam kondisi kegawatan tersebut, maka akan
diperlukan EKG, foto Thoraks .atau CT.Scan kepala, yang secara spesifik diindikasikan
Banyak pasien dalam unit gawat darurat dengan nyeri akut atau distress menunjukkan
peningkatan TD yang kembali normal saat nyeri atau distress hilang. Untuk pasien dengan
12
Gambar 4. Pemeriksaan Diagnostik Untuk Pasien Dengan Dugaan Hipertensi Emergensi Sumber: European
Society of Cardiology. 2018 ESC/ESH Guidelines for Management of Arterial Hypertwnsion. European Heart
Journal. 2018:53-55
mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD sebelum keseluruhan hasil
care unit) untuk memonitor ketat TD dan kerusakan organ target. Penurunan TD secara
gradual bertujuan mengembalikan autoregulasi organ, sehinnga perfusi organ yang normal
dapat dipertahankan. Hindari penurunan TD agresif pada hipertensi non-emergensi dan juga
13
krisis hipertensi. Pada pedoman ACC/AHA-2017 target penurunan TD dibedakan dengan
melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling condition).
Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana hipertensi emergensi
adalah dengan melakukan penurunan TD maksimal 25% dalam jam pertama, kemudian target
mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam. Penurunan TD yang lebih agresif dilakukan bila
didapatkan compelling condition (aorta dissection, pre-eclampsia berat atau eclampsia, dan
krisis pheochromocytoma).
1. Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi tekanan
darah sistolik > 180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg maka
perhatikanlah apakah ada kerusakan organ target yang baru / progresif / perburukan.
ICU.
14
b. Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan lakukan
2. Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,
a. Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg pada 1 jam pertama dan < 120
b. Apabila tidak, turunkan tekanan darah maksimal 25% pada 1 jam pertama,
selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua sampai jam
pada 24 – 48 jam.
15
Sumber: Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults: A Report of the College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice
Guidelines.
Pada pedoman praktik klinis krisis hipertensi yang disususn oleh PERKI, terapi yang
dapat diberikan pada pasien dengan krisis hipertensi adalah nitrat (intravena / IV), Calcium
Blocker, diuretik tiazid, beta blocker, Mineralcorticoid Receptor Antagonist, dan vasodilator
direk. 80% pasien dirawat mencapai target MAP 25-30% dengan menggunakan anti hipetensi
intravena.17
Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana hipertensi emergensi, tidak didapatkan
obat tunggal yang diketahui lebih superior dibandingkan lainnya. 23 Review sistemik dan
hanya didapatkan perbedaan minor pada derajat penurunan tekanan darah diantara obat-obat
tersebut, serta tidak didapatkan perbedaan morbiditas atau mortalitas.20 Gambar 7. dan 8.
pada Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
16
Gambar 7. Obat Antihipertensi Intravena pada Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi Sumber: Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice Guidelines.
17
Gambar 8. Obat Antihipertensi Intravena pada Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi (Lanjutan) Sumber: Guideline
for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the
College of Cardiology/American Heart Association Task Force Clinical Practice Guidelines.
Gambar 9. Obat-obatan anti-hipertensi Intravena pada Pasien Hipertensi Emergensi dengan Komorbiditas Tertentu
Sumber: 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults. Hypertension
2018;71:e13-e115
Pada hipertensi urgensi biasanya dikelola dengan kombinasi fast-acting agents oral
(amlodipine, verapamil), atau agonis alfa yang bekerja secara terpusat seperti clonidine.
18
Tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap selama 24 hingga 48 jam, dan bahkan dapat
Dengan tidak adanya gejala kerusakan organ target, sebagian besar pasien dapat aman
dirawat dengan rawat jalan, karena komplikasi kardiovaskular jarang terjadi dalam jangka
pendek. Pada pasien dengan hipertensi urgensi melakukan follow-up dan mengintensifkan
VIII. Prognosis
urgensi. Pada pasien dengan hipertensi emergensi, mortalitas lebih tinggi (4,6%)
dibandingkan pada pasien dengan hipertensi urgensi (0,8%) 15 Telah dilaporkan bahwa
kematian dalam 1 tahun mencapai 79% pada pasien dengan hipertensi emergensi yang tidak
diobati, dan angka harapan hidup 5 tahun di antara semua pasien yang mengalami krisis
hipertensi adalah 74%. Penyebab kematian yang paling umum dijelaskan dalam literatur
19
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah yang nyata tanpa bukti
kerusakan organ target, seperti edema paru, iskemia jantung, defisit neurologis, atau gagal
ginjal akut. Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang
ditandai (biasanya >180 mm Hg sistolik atau > 110 mm Hg diastolik) yang terkait dengan
penunjang. Tujuan utama proses diagnostik krisis hipertensi adalah membedakan hipertensi
emergensi dengan hipertensi urgensi, oleh karena pendekatan therapeutiknya yang berbeda.
Tujuan berikutnya adalah penilaian secara cepat tipe dan beratnya kerusakan organ target
yang berlangsung.
mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD sebelum keseluruhan hasil
autoregulasi organ, sehinnga perfusi organ yang normal dapat dipertahankan. Pada
hipertensi.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Afandi, A. Terapi musik instrumental classic: penurunan tekanan darah pada pasien
2. Singh S, Shankar R, Singh GP. Prevalence and Associated Risk Factors of Hypertension:
doi:10.1155/2017/5491838.
4. ROBERT GAUER, MD, Womack Army Medical Center, Fort Bragg, North CarolinaAm
Fam Physician. 2017 Apr 15;95(8):492-500.
6. Benken ST. Critical Care Self-Assessment Program, 2018 Book 1. Issues in ICU:
https://www.accp.com/docs/bookstore/ccsap/ccsap2018b1_sample.pdf
common but often overlooked cause of hypertensive urgency and emergency at the
8. Pierin Angela Maria Geraldo, Flórido Carime Farah, Santos Juliano dos. Hypertensive
21
pseudocrisis at a public emergency department. Einstein (São Paulo) [Internet]. 2019.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1679
9. Alley WD, Copelin II EL. Hypertensive Urgency. [Updated 2020 Jan 8]. In: StatPearls
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513351/
10. Janke AT, BS, McNaughton CD, et al. Trends in the Incidence of Hypertensive
https://doi.org/10.1161/JAHA.116.004511
11. Pierin Angela Maria Geraldo, Flórido Carime Farah, Santos Juliano dos. Hypertensive
2019. https://doi.org/10.31744/einstein_journal/2019ao4685.
13. Chuda, Ravindra & Castillo, Sonia & Poddutoori, Padma. Hypertensive Crises. Hospital
14. American College of Cardiology. 2017 Guideline for the Prevention, Detection,
Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults. Sep 2017, 23976; DOI:
10.1016/j.jacc.2017.07.745
22
15. Saguner AM, Dur S, Perrig M, et al. Risk factors promoting hypertensive crises:evidence
16. Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., Lekakis, J., & Tousoulis, D. 2017.
17. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis &
Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Pedoman Tatalaksan Kasus
18. Loekman, SJ. Patogenesis Dan Managemen Hipertensi Emergensi. Emergency in Internal
19. European Society of Cardiology. 2018 ESC/ESH Guidelines for Management of Arterial
20. Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and
th
Clinical Nephrology 2019. 6 edition. Elsevier.p. 444-452
21. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et al.
for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
22. Heart Association. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and
23
23. Mallidi J, Penumesta S, Lotfi A. Management of Hypertensive Emergencies. J Hypertens
2013;2(2):1-6
24