Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

INDIKASI PEMBERIAN ANTIKOAGULAN ORAL PADA PASIEN MITRAL


STENOSIS BERAT DENGAN SINUS RHYTHM

Oleh :
IGA Raka Mahasadu
NIM S511808004

Oleh :
IGA Raka Mahasadu
NIM S511808004

Pembimbing:
dr. Niniek Purwaningtyas, SpJP(K), FIHA

PPDS-1 PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

INDIKASI PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PADA PASIEN MITRAL STENOSIS


BERAT DENGAN SINUS RHYTHM

Laporan Kasus

Oleh :
IGA Raka Mahasadu
NIM S511808004

Telah Disetujui oleh Pembimbing :

Nama Tanda Tangan Tanggal

dr. Niniek Purwaningtyas, SpJP (K), FIHA _________

Mengetahui,
Ketua Program Studi
PPDS-1 Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

dr. Niniek Purwaningtyas, SpJP (K), FIHA


NIP 195712291988032001

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................... i
Halaman Pengesahan........................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
Daftar Tabel......................................................................................................... iv
Daftar Gambar.................................................................................................... v
Daftar Singkatan................................................................................................. vi
Abstrak…………………………………………………………………………. viii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II. ILUSTRASI KASUS........................................................................ 2
BAB III. PEMBAHASAN 10
III.1. MS...................................................................................................... 10
III.2. Perubahan Hemodinamik pada MS................................................... 11
III.3.Morfologi dan Fisiologi Jantung sebagai predisposisi 13
Trombogenesis...................................................................................
III.4. SEC………………………………………………………………… 14
III.5. Resiko Tromboemboli pada MS…………………………………… 17
III.6. Antikoagulan pada MS…………………………………………...... 18
BAB IV. KESIMPULAN.................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 21

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil pemeriksan Laboratorium 4/9/2019 …………………… 4


Tabel 2. Derajat severitas SEC………………………………………… 17

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran EKG saat di IGD RSDM (9/9/2020)…………………... 3

Gambar 2. Rontgen Thorax PA……………………………………………….. 4

Gambar 3. Gambaran hasil pemeriksaan TTE (10/9/2019) pada pasien………. 5

Gambar 4. Gambaran hasil tindakan TEE pada pasien (12/9/2019). ……………. 7

Gambar 5. EKG saat di IGD RSDM (4/10/2020) …………………………….. 8

Gambar 6. Gambaran TTE 2D pada posisi parasternal long axis (PLAX) dan 10
short axis (PSAX) pada MS……......................................................

Gambar 7. Hemodinamik MS………………………………………................. 12

Gambar 8. Gambaran tingkat severitas SEC…………………………………... 17

v
DAFTAR SINGKATAN

APTT : Activated Partial Thromboplastine Time


AR : Aortic regurgitation
AV : Atrioventrikular
ASE : American Society of Echocardiography
CTR : Cardiac Thorax Ratio
DJ : Diet jantung
DR : Demam Rematik
EAE : Euroepan Association of Echocardiography
EKG : Elektrokardiografi
ESC : European Society of Cardiology
EF : Ejection fraction
FA : Fibrilasi Atrium
Hb : Hemoglobin
IGD : Instalasi Gawat Darurat
INR : International Normalised Ratio
IV : Intravena
LA : Left Atrium
LAA : Left atrial appendage
LAVI : Left Atrial Volume Index
LV :Left Ventricle
LVIDd : left ventricular internal diameter in diastole
LAE : Left Atrial Enlargement
LOE : Level of evidance
MR : Mitral regurgitation
MS : Mitral Stenosis
MVA : Mitral Valve area
NOACs : Novel oral anticoagulants
NYHA : New York Heart Association
PA : Posterior Anterior
PASP : Pulmonary arterial systolic pressure

vi
PHT : Pressure Half Time
PMP : Penoxymetyl Penicilin
PJR : Penyakit Jantung Rematik
PR : Pulmonal regurgitation
PT : Prothrombin Time
RAAS : Renin-Angiotensin Aldosteron System
RS : Rumah Sakit
SR : Sinus Rhythm
TAPSE : Tricuspid annular plane systolic excursion
TD : Tekanan Darah
TEE : Transesofageal echocardiography
TIA : Transient Ischemic Attack
TR : Tricuspid regurgitasi
TTE : Transthoracal echocardiography
SEC : Spontaneous echocardiographic contrast
VCW : Vena Contracta Width
VKA : Vitamin K Antagonist
VTI : Velocity Time Integral
WHO : World Health Organization

vii
INDIKASI PEMBERIAN ANTIKOAGULAN ORAL PADA PASIEN DENGAN
MITRAL STENOSIS BERAT DAN SINUS RHYTHM

IGA Raka Mahasadu 1,2 , Niniek Purwaningtyas 1,2

1) Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret
2) Dr. Moewardi Hospital, Surakarta

ABSTRAK

Pendahuluan : Pasien dengan MS memiliki resiko terjadinya tromboemboli, walaupuan


tanpa fibrilasi atrium (FA). Sehingga penggunaan antikoagulan oral dipertimbangkan pada
kondisi tertentu pada pasien dengan mitral stenosis dan sinus rhythm (SR).
Ilustrasi Kasus : Pasien perempuan 59 tahun mengeluh sesak nafas yang dirasakan sejak
1 minggu terakhir, memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Tanda-tanda vital
menunjukkan TD : 90/60, HR 75 x/m, Nadi : 75 x/m, SaO2 : 99 %. Pemeriksaan fisik
jantung didapatkan batas jantung melebar ke lateral. S1 dan S2 normal, regular, didapatkan
murmur pansistolik, dengan punctum maksimum di batas kiri bawah sternum derajat III/VI,
nada tinggi, mengeras saat inspirasi, dan terdapat penjalaran ke batas kanan bawah sternum.
Didapatkan murmur diastolik rumbling, dengan punctum maksimum di apeks, derajat 2/4,
nada rendah. Pasien dilakukan pemeriksaan EKG didapatkan SR, HR 75 bpm, extreme
RAD, dengan periode AV blok derajat II tipe 2, dan RVH. Pasien dilakukan pemeriksaan
TTE didapatkan MS berat yang mendukung PJR, TR sedang, AR dan PR ringan, EF 61%,
dimensi LA 45 mm, dan juga dilakukan TEE didapatkan SEC yang tebal dengan grade 3+
di LA, TR sedang, AR ringan, MR Trivial. Pasien diterapi dengan bisoprolol 1.25 mg/24
jam, warfarin 0-0-3 mg, PMP 250 mg/12 jam dan evaluasi INR. Satu bulan kemudian,
pasien MRS lagi mengeluh lemas, suara pelo, dirasakan sejak 45 menit SMRS. Pasien
sempat mengalami pingsan kurang dari 10 menit, disertai kelemahan anggota gerak kanan.
Saat di RSDM kelemahan anggota gerak sudah tidak ada. TD : 122/60, HR 66 x/m, Nadi :
66 x/m, SaO2 : 99 %. Pasien dilakukan pemeriksaan EKG didapatkan SR, denyut jantung
66/m, aksis extreme RAD, dan RVH. Pasien dilakukan pemeriksaan CT-SCAN kepala
didapatkan infark lakunar < 1.5 cm di insulan kiri. Dilakukan pemeriksaan faal koagulasi
dengan INR 0.91. Pasien diterapi dengan bisoprolol 1.25 mg/24 jam, menaikkan dosis
warfarin 0-0-5 mg, PMP 250 mg/12 jam p.o, Citicolin 500 mg/8 jam i.v.
Diskusi: Pasien dengan MS memiliki resiko terjadinya tromboemboli, walaupuan tanpa
FA. Menurut panduan ESC 2017, indikasi kelas I dengan LOE B, penggunaan antikoagulan
(oral atau heparin) pada MS adalah FA yang permanen atau paroksismal FA, pada pasien
dengan resiko tinggi tromboemboli yakni riwayat kejadian emboli, trombus di LA/LAA.
Sedangkan rekomendasi kelas IIa pemberian antikoagulan dipertimbangkan pada pasien MS
dimana pada TEE didapatkan SEC ataupun pada pemeriksaan TTE didapatkan pembesaran
LA dengan M-mode (diameter > 50 mm atau LAVI > 60 ml/m2). Pada pasien MS dengan
SR, pada pemberian antikoagulan, resiko kejadian tromboemboli pada MS dengan SR,
menurun dari 0.85 % menjadi 0.25% pada MS berat, dan dari 0.25% menjadi 0.10% pada
MS sedang. Pada pasien ini, indikasi awal pemberian antikoagulan oral (warfarin) adalah
ditemukannya SEC grade 3+ di LA pada pemeriksaan TEE. Indikasi kelas I pemberian
warfarin pada pasien ini selanjutnya adalah adanya kejadian tromboemboli berupa infark
lakunar pada saat MRS kedua. Dilakukan titrasi dosis warfarin untuk mencapai INR 2-3.

viii
Kesimpulan: Penggunaan antikoagulan oral pada pasien dengan MS dan irama SR
dipertimbangkan pada kondisi dengan resiko tinggi tromboemboli. Pemeriksaan secara
diagnostik non-invasif menjadi modalitas utama dalam penentuan klinisi untuk inisiasi
antikoagulan pada pasien MS dengan SR ketika tidak ditemukan riwayat emboli sistemik
sebagai indikasi kelas I pemberian antikoagulan.
Kata Kunci : MS, SR, antikoagulan oral

ix
BAB I
PENDAHULUAN

Stenosis mitral/mitral stenosis (MS) merupakan kelainan katup yang sering


dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh
demam rematik (DR) akibat infeksi streptokokkus β hemolitikus group A. Respon
inflamasi kemudian menimbulkan kerusakan katup hingga terjadi stenosis katup
mitral (Lily, 2016).
MS merupakan kondisi obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri/left ventricle
(LV) sehingga pengosongan atrium kiri/left atrium (LA) menjadi terganggu.
Terdapat gradien tekanan yang abnormal antara LA dan LV dan tekanan LA
meningkat. Peningkatan tekanan LA dan proses peradangan menyebabkan
perubahan seperti dilatasi LA, fibrosis dinding atrium, dan disorganisasi bundel otot
atrium. Pada MS, terjadi stagnasi alirah darah relatif di LA yang mengalami dilatasi,
dan jika dikombinasikan dengan adanya fibrilasi atrium (FA), merupakan
predisposisi untuk pembentukan trombus intra-atrium dan resiko kejadian
tromboemboli (Thomas and Bonow, 2019).
Trombogenesis pada MS dihubungkan dengan adanya faktor predisposisi
seperti spontaneous echocardiographic contrast (SEC). SEC adalah suatu gambaran
seperti asap dengan gerakan berputar-putar yang ditemukan pada saat pemeriksaan
ekokardiografi. Menurut penelitian Shintaro, insidensi trombus di atrium kiri pada
pasien dengan SEC adalah 60% sedangkan tanpa SEC hanya 9% (Beppu, 1993).
Angka kejadian SEC pada MS rematik bervariasi dari 21% – 67% (Ozkan et al,
1998).

Meskipun 80 % kejadian emboli sistemik pada MS memiliki predisposisi


AF, namun 20% kasus pasien MS dan sinus rhythm (SR) juga dilaporkan mengalami
kejadian emboli sistemik (Sahin et al, 2011). Tatalaksana dengan keputusan
pemberian antikoagulan pada pasien MS dan SR masih menjadi tantangan karena
memerlukan pemeriksaan diagnostik non-invasif dan riwayat adanya emboli
sistemik pada pasien

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Identitas:
Nama : Ny. S
Usia : 57 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jawa tengah
No RM : 01200436

Perempuan, 59 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS DR.


Moewardi (RSDM) dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 minggu
terakhir, memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan
bila pasien beraktivitas. Sesak nafas dirasakan berkurang dengan istirahat. Pasien
biasanya tidur dengan 1-2 bantal. Saat pasien mengalami sesak nafas, pasien
menyangkal mengeluh nyeri dada, berdebar, keringat dingin, mual dan muntah.
Pasien juga menyangkal sering terbangun di malam hari saat tidur karena sesaknya.
Pasien tidak mempunyai riwayat tekanan darah tinggi. Pasien juga tidak
merokok. Pasien menyangkal memiliki riwayat diabetes, dislipidemia, riwayat
jantung koroner dan stroke.
Pemeriksan fisik saat di IGD, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, dengan tanda vital tekanan darah (TD) 90/60 mmHg, denyut jantung 75 kali
per menit, denyut nadi 75 kali per menit, pernapasan 20 kali per menit. Pasien
memiliki berat badan 60 kg, tinggi badan 162 cm, BMI 24.4 kg/m2 (normal), BSA
1.66 m2. Tidak didapatkan konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Tekanan vena
jugularis 5 + 2 cm H2O.
Pemeriksaan fisik jantung didapatkan iktus kordis tidak tampak dan kuat
angkat, batas jantung melebar ke lateral. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, regular,
didapatkan murmur pansistolik, dengan punctum maksimum di batas kiri bawah
sternum, tipe pansistolik, derajat III/VI, nada tinggi dengan mengeras saat inspirasi,

2
dan terdapat penjalaran ke batas kanan bawah sternum. Juga didapatkan murmur
diastolik rumbling, dengan punctum maksimum di apeks, derajat 2/4, nada rendah.
Tidak ditemukan suara gallop. Pemeriksaan paru didapatkan suara dasar vesikuler
normal dan tidak didapatkan wheezing, tidak didapatkan ronki basah halus serta
tidak didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
abdomen tidak didapatkan ascites dan pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan
akral hangat dan pulsasi kuat.
Dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) didapatkan SR, denyut jantung
75 kali/menit, extreme RAD, gelombang P 0.12 detik, interval PR 0.24 detik dengan
drop beat, komplek QRS 0.10 detik, gelombang Q patologis (-), elevasi segmen ST
(-), depresi segmen ST (-), gelombang T inversi (-), gelombang R dominan di
sadapan V1, dengan R/S > 1, gelombang S yang dalam di V5 dan V6, dengan
kesimpulan pembacaan EKG adalah SR, denyut jantung 75x/m, extreme RAD,
dengan periode AV blok derajat II tipe 2, dan right ventricular hyperthrophy (RVH).

Gambar 1. Gambaran EKG saat di IGD RSDM (9/9/2019). Menunjukkan gambaran SR,
denyut jantung 75 kali/menit, aksis extreme RAD, dengan RVH dan periode AV blok derajat
II tipe 2.

Pasien dilakukan pemeriksaan rontgen thorax PA, dengan cardio thorac-


ratio (CTR) 61 %, pinggang jantung (-), densitas ganda, apeks terangkat, tidak
didapatkan infiltrat di kedua lapang paru dan tidak didapatkan gambaran perihilar
hazzines (-), sudut sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam, dengan kesimpulan
kardiomegali dengan konfigurasi left atrial enlargement (LAE) dan RVH. Pasien

3
dilakukan pemeriksaan laboratorium, dengan kesimpulan dalam batas normal
(sesuai tabel 1).

Pasien didiagnosis dengan kecurigaan MS dan regurgitasi trikuspid/tricuspid


regurgitation (TR), NYHA II, dengan periode AV blok derajat II tipe 2. Pasien
dirawat di bangsal perawatan ASTER V dengan terapi IVFD NaCl 0.9% 30 ml/jam,
DJ IV 1700 kkal, suplementasi O2 3 lpm bila SpO2 < 90 %, bisoprolol 1x 1.25 mg
dan Penoxymetilpenicilin (PMP) 2x 250 mg. Dengan direncanakan dilakukan
pemeriksaan transtorakal ekokardiografi (TTE).

Gambar 2. Rontgen thorak. Gambaran rontgen thorak PA (9/9/2019) yang


menunjukkan gambaran kardiomegali dengan konfigurasi LAE dan RVH.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratrium (4/9/2019) dalam batas normal

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan


Hemoglobin 13.3 rujukan
11.8-17.5 g/dl
Hematokrit 43 39 %
Leukosit 4.7 4.5-11 ribu/ul
Trombosit 275 150-450 ribu/ul
Eritrosit 4.66 4.50-4.90 juta/ul
GDS 112 60-140 mg/dl
Ureum 24 < 50 mg/dl
Creatinine 0.8 1-1.9 mg/dl
Natrium 139 132-146 mmol/L
Kalium 4.1 3.3-5.1 mmol/L
Calsium 1.24 1.17-1.29 mmol/L
HbsAg Nonreaktif Non-reaktif -

Pada tanggal 10/9/2019, pasien dilakukan pemeriksaan TTE dan didapatkan


wall motion global normokinetik, kontraktilitas LV baik dengan fraksi

4
ejeksi/ejection fraction (EF) ventrikel kiri 61 %, dengan dimensi LA 45 mm, left
ventricular internal diameter in diastole (LVIDd) 36 mm, tricuspid annular plane
systolic excursion (TAPSE) 2.0 cm, dengan tidak tervisualisasi trombus di LA dan
LAA. Pemeriksaan pada katup jantung didapatkan penebalan pada ujung katup
mitral, dengan ukuran mitral valve area (MVA) secara planimetri 0.6 cm2, secara
pressure half time (PHT) 0.7 cm2, dan pemeriksaan MVA melalui velocity time
integral (VTI) didapatkan 0.6 cm2, dengan kesimpulan MS berat dengan skor wilkin
9. Pemeriksaan TTE pada katup lainnya mendapatkan hasil TR sedang, ukuran vena
contracta width (VCW) 0.6 cm, dan Vmax 3.73 m/s, regurgitasi aorta/aortic
regurgitation (AR) ringan dengan PHT 772 msec, dan regurgitasi
pulmonal/pulmonal regurgitation (PR) ringan dengan PHT 1004 msec, dengan
pulmonary arterial systolic pressure (PASP) 63.65 mmHg. Left atrial volume index
(LAVI) didapatkan 55.27 ml/m2.

A B

C D

Gambar 3. Gambaran hasil pemeriksaan TTE (10/9/2019) pada pasien. Gambaran


dengan M-mode yang menunjukan adanya dilatasi LA dengan ukuran 43 mm (A);
pengukuran MVA dengan secara PHT didapatkan 0.7 cm2 dan secara VTI 0.6 cm2 (B);
pengukuran MVA secara planimetri didapatkan 0.6 cm2 (C) dan pengukuran VCW TR
dengan ukuran 0.6 cm.

5
Dari hasil pemeriksaan TTE, pasien didiagnosis dengan MS berat dengan
tidak tervisualisasi SEC dan trombus di LA serta LAA, TR sedang, AR ringan, PR
ringan, dengan kelas fungsional NYHA II, EF 61 % dengan etiologi penyakit
jantung rematik (PJR). Pasien lalu direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
transesofageal ekokardiografi (TEE).
Pada tanggal 12/9/2019, pasien dilakukan pemeriksaan TEE dan didapatkan
adanya SEC yang tebal (grade 3+) di LA dan tidak didapatkan trombus di LAA.
Pemeriksaan pada katup jantung didapatkan penebalan pada ujung katup mitral,
dengan MVA secara planimetri 3D 0.8 cm2, PHT 0.6 cm2, mean PG 11.28 mmHg
dan didapatkan regurgitasi mitral/mitral regurgitation (MR) trivial, dengan skor
wilkin 8. Pemeriksaan TEE pada katup lainnya mendapatkan hasil TR sedang,
dengan PISA radius 0.6 cm dan AR ringan.
Dari hasil pemeriksaan TEE, pasien didiagnosis dengan MS berat dengan
SEC yang tebal grade 3+ dan tidak tervisualisasi trombus di LAA, TR sedang, AR
ringan, MR Trivial dengan kelas fungsional NYHA II, EF 61 % dengan etiologi PJR.
Pasien lalu dilakukan pemeriksaan international normalized ratio (INR) dan
dilakukan inisiasi pemberian antikoagulan oral jenis vitamin K antagonis, yaitu
warfarin dengan dosis 0-0-3 mg. Pasien akhirnya dipulangkan pada tanggal
12/9/2019 dengan pengobatan bisoprolol 1 x 2.5 mg, warfarin 0-0-3 mg dan PMP 2
x 250 mg, cek INR saat kontrol poliklinik.
Pada tanggal 4/10/2019, pasien datang lagi ke IGD RSDM dengan keluhan
lemas. Pasien mengeluh lemas dirasakan sejak 45 menit sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasakan beserta dengan pusing berputar disertai mual saat sedang akan
bangkit dari sholat. Keluarga dan pasien mengatakan pasien tidak pingsan, namun
bicara pelo sejak pukul 18.00 (1 jam SMRS) disertai kelemahan anggota gerak
kanan. Oleh keluarganya pasien dibawa ke RSDM untuk mendapatkan pengobatan
lebih lanjut. Saat di IGD RSDM keluhan bicara pelo, kelemahan anggota gerak
kanan, pusing sudah tidak ada. Keluhan sesak nafas, nyeri dada, dan berdebar
disangkal.
Pemeriksan fisik saat di IGD, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, dengan tanda vital TD 122/70 mmHg, denyut jantung 66 kali per menit,
denyut nadi 66 kali per menit, pernapasan 18 kali per menit, dan pemeriksan GDS
110 mg/dl, pemeriksaan motorik dalam batas normal.

6
A B

C D

Gambar 4. Gambaran hasil tindakan TEE pada pasien (12/9/2019). TEE pada level mid-
esofaegal setinggi aorta yang menunjukkan gambaran SEC grade 3+ di LA dan tidak
tervisualiasi trombus di LA dan LAA (A), menunjukkan TEE pada level midesofageal
setinggi katup mitral yang menujukkan penebalan di ujung katup mitral, jet MS dan
gambaran SEC di LA (B), pengukuran MVA planimetri secara 3D dan didapatkan 0.6 cm2
(C), pengukuran MVA secara VTI didapatkan 0.7 cm2.

Pemeriksaan fisik jantung didapatkan iktus kordis tidak tampak dan kuat
angkat, batas jantung melebar ke lateral. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, regular,
didapatkan murmur pansistolik, dengan punctum maksimum di batas kiri bawah
sternum, tipe pansistolik, derajat III/VI, nada tinggi dengan mengeras saat inspirasi,
dan terdapat penjalaran ke batas kanan bawah sternum. Juga didapatkan murmur
diastolik rumbling, dengan punctum maksiumum di apeks, derajat 2/4, nada rendah.
Tidak ditemukan suara gallop. Pemeriksaan paru didapatkan suara dasar vesikuler
normal dan tidak didapatkan wheezing, tidak didapatkan ronki basah halus serta
tidak didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
abdomen tidak didapatkan ascites dan pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan
akral hangat dan pulsasi kuat.

7
Dari pemeriksaan EKG didapatkan SR, denyut jantung 66 kali/menit aksis
extreme RAD, gelombang P 0.12 detik, interval PR 0.16 detik, komplek QRS 0.10
detik, gelombang Q patologis (-), elevasi segmen ST (-), depresi segmen ST (-),
gelombang T inversi (-), gelombang R dominan di sadapan V1, dengan R/S > 1,
gelombang S yang dalam di V5 dan V6, dengan kesimpulan pembacaan EKG adalah
SR, denyut jantung 66/m, aksis extreme RAD, dan RVH.

Gambar 5. Gambaran EKG saat di IGD RSDM (/4/10/2019). Menunjukkan gambaran


SR, denyut jantung 66 kali/menit, aksis extreme RAD, dan RVH.

Pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil hemoglobin (Hb)


12.6, hematokrit (Hct) 41, leukosit 6.2 x 103, trombosit 260, eritrosit 4.39 x 106,
ureum 41, creatinine 0.8, natrium 139, kalium 4.2, kalsium 1.26, prothrombin time
(PT) 12.1, activated partial thromboplastine time (APTT) 25.1, INR 0.91. Pasien
dikonsulkan ke bagian neurologi. TS neurologi mendiagnosis pasien ini dengan
Transient Ischemic Attack (TIA), dengan diberikan terapi injeksi citikolin 500
mg/12 jam dan dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala polos. Hasil CT-scan kepala
polos menunjukkan lesi hipodensi dengan ukuran <1,5 cm di insula kiri, dengan
kesimpulan infark lakunar di insula kiri.
Pasien didiagnosis dengan MS berat, TR sedang, AR ringan, MR trivial,
NYHA II, dengan penyerta TIA. Pasien dirawat di bangsal perawatan ASTER V
dengan terapi IVFD NaCl 0,9% 30 ml/jam, DJ IV 1700 kkal, suplementasi O2 3 lpm

8
bila SpO2 < 90 %, bisoprolol 1x 2,5 mg, PMP 2x 250 mg, warfarin 0-0-5 mg,
citikolin 500 mg/12 jam i.v
Dengan rencana dilakukan pemeriksaan INR tiap 3 hari untuk mencapai
target INR dengan rentang nilai 2-3, pemantauan kesadaran dan tanda-tanda vital.
Pasien dipulangkan pada tanggal 7/10/2019, dengan klinis baik, tidak ada tanda-
tanda sekuele akibat stroke infark. Pasien dipulangkan dengan pengobatan
bisoprolol 1 x 2.5 mg, warfarin 0-0-3 mg dan PMP 2 x 250 mg, dengan INR 2.5 dan
diminta kontrol poliklinik.

9
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 MS
MS adalah kelainan yang ditandai dengan perubahan struktur dari katup
mitral dan penyokongnya. Penyebab MS paling sering adalah DR, kemudian dapat
juga disebabkan oleh gangguan katup kongenital, kalsifikasi anular katup yang
masif, ataupun penyakit sistemik. Kombinasi kuspis mitral yang kaku, fusi komisura
dan kerusakan korda tendinea menyebabkan gangguang pembukaan katup selama
fase diastolik (Soesanto and Rudiktyo, 2017).
Mekanisme utama dari MS akibat DR adalah komisura yang menyatu.
Mekanisme lain yang ditemukan seperti pemendekan dan penggabungan korda,
penebalan daun katup, dan perjalanan penyakit selanjutnya akan dijumpai kalsifikasi
berat yang dapat menyebabkan terbatasnya gerakan daun katup. Mekanisme ini
sangat berbeda dari stenosis mitral degeneratif, dimana lesi utamanya adalah
kalsifikasi cincin katup (Lung and Vahanian, 2014).

Gambar 6. Gambaran TTE 2D pada posisi parasternal long axis (PLAX) dan short
axis (PSAX) pada pasien MS. Menunjukkan karaterisktik MS akibat PJR yang
ditunjukkan dengan adanya doming dari daun katup mitral anterior yag disebabkan fusi
komusira dan penurunan pembukan area katup mitral (Thomas and Bonow, 2019).

Pedoman American Society of Echocardiography (ASE) dan Euroepan


Association of Echocardiography (EAE) merekomendasikan MVA sebagai
indikator untuk derajat keparahan MS (Ganesan, 2017). Luas area katup mitral

10
dapat dihitung dengan berbagai metode non-invasif dan invasif. Terlepas dari
metode yang digunakan, MS berat didefinisikan sebagai luas area katup mitral
kurang dari 1.0 cm2, sedang bila luas area katup mitral antara 1.0 dan 1.5 cm2, dan
ringan bila luas area katup mitral lebih besar dari 1.5 cm2 (Ganesan, 2017).

III.2 Perubahan Hemodinamik pada MS


MS menyebabkan gradien tekanan yang abnormal antara LA dan LV selama
waktu pengisian ventrikel, yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan menurunkan
tekanan pengisian ventrikel kiri. Peningkatan gradien tekanan di perlintasan katup
mitral pada saat diastol bergantung pada luasnya area katup mitral dan faktor lain
seperti aliran transvalvular dan kecepatan denyut jantung (Carabello, 2005).
Peningkatan tekanan LA akibat peningkatan tekanan transmitral pada waktu
yang cukup lama, dapat menyebabkan dilatasi LA. Dilatasi LA akan meregangkan
serat konduksi atrium dan menggangu integritas sistem konduksi jantung dan dapat
menjadi faktor predisposisi kejadian FA (Lily, 2016). Hal lainnya yang dapat
ditemukan adalah adanya stasis darah pada LA dan penurunan aliran vena pulmonal
pada saat sistolik (Nishimura et al, 2014).
Selama pengisian ventrikel, turbulensi yang disebabkan oleh penyempitan
katup mitral menimbulkan bising diastolik (Lily, 2016). Pada MS sedang sampai
berat, penurunan pengisian ventrikel menyebabkan berkurangnya preload ventrikel
(penurunan volume maupun tekanan akhir diastolik). Hal ini akan mengurangi isi
sekuncup (lebar lengkung tekanan volume) melalui mekanisme Franks-Starling, dan
mengurangi curah jantung dan tekanan aorta. Penurunan afterload (terutama jika
tekanan aorta turun) memungkinkan volume akhir sistolik sedikit menurun, meski
tidak cukup untuk mengatasi penurunan volume akhir diastolik. Semua perubahan
ini akan dipengaruhi oleh aktivasi neurohumoral yang meningkatkan volume darah,
resistensi pembuluh sistemik, inotropik jantung, dan frekuensi denyut jantung
(Thomas and Bonow, 2019).

Pada pasien MS dengan irama sinus, tekanan rata-rata LA meningkat, dan


kurva tekanan atrium kiri menunjukkan kontraksi atrium prominen (gelombang a),
dengan tekanan menurun secara berangsur-angsur setelah pembukaan katup mitral
(y descent). Pada MS ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler
paru, tekanan arteri paru mungkin normal atau hanya sedikit naik saat istirahat tetapi

11
meningkat selama latihan. Namun, pada MS berat dengan resistensi vaskuler paru
tinggi, maka tekanan arteri paru tinggi saat pasien istirahat (Lung and Vahanian,
2014).

Gambar 7. Hemodinamik pada MS. Skema yang menunjukkan hubungan antara tekanan
LA, LV dan aorta, pada kondisi normal (NL), serta pada kondisi MS ringan-berat serta
dikaitkan dengan penemuan klasik saat auskultasi ketika melakukan pemeriksaan fisik
(Thomas and Bonow, 2019).

Penurunan yang progresif dari MVA menyebabkan peningkatan tekanan dan


ukuran LA. Dilatasi LA dihubungkan dengan penurunan fungsi mekaniknya
sehingga menurunkan sirkulasi darah dalam ruang atrium. Seiring dengan
progresivitas penyakit dan perkembangan FA, sirkulasi di atrium menjadi lebih
lambat dan pada ekokardiografi mungkin menunjukkan SEC, yang biasanya jelas
bila diperiksa dengan TEE (Henein, 2012). Berhubungan dengan terbentuknya SEC
pada MS, perubahan hemodinamik pada MS menyebabkan terjadinya dua kondisi
dari dua kriteria trias Virchow, yakni adanya stasis darah yang abnormal serta
hiperkoaguabilitas (Ito and Suwa, 2019).
Stasis aliran darah di LA karena penurunan fungsi kontraktilitas atrium yang
efektif tidak hanya terjadi selama pasien dengan FA, tetapi juga selama irama sinus
sesuai dengan kondisi patologi ataupun morfologi yang mendukung, seperti
misalnya dilatasi LA dan atau MS yang berat (Horstkotte et al, 2001). Pembentukan

12
trombus pada pasien MS dengan FA sekitar 33% sedangkan pada pasien dengan
irama sinus antara 2.4 – 13.5% (Manjunath et al, 2011).

III.3 Morfologi dan Fisiologi Jantung sebagai predisposisi Trombogenesis

Beberapa faktor penting yang menjadi penyebab umum terjadinya resiko


pembentukan trombus intrakardiak adalah abnormalitas endokardium, penurunan
atau hilangnya daya kontraksi yang efektif di atrial, dilatasi ruang jantung dan
penurunan fungsi ventrikel kiri (Horstkotte et al, 2001).
Endotel endokardium merupakan struktur dan penghalang metabolik antara
darah dan jaringan subendotelial dengan trombogenik tinggi. Endokardium yang
intak secara fungsional dan metabolik tidak akan mengaktivasi kaskade koagulasi
dan tidak mempromosikan adhesi trombosit ataupun komponen seluler darah
lainnya. Integritas fungsional endokardium berhubungan dengan morfologi seluler,
yang berkaitan erat dengan karakteristik aliran darah. Pola aliran darah yang
abnormal akan memodifikasi struktur dan fungsi endotel endokardium. Dengan
adanya permasalahan seperti perubahan yang cepat dari alirah darah (aliran
turbulen), pola susunan sel endotel akan menjadi tidak teratur. Kondisi ini sering
terjadi pada keadaan stenosis katup ataupun regurgitasi (meskipun hanya trivial),
dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya turnover sel endotel, cedera endotel,
disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi resistensi endotel untuk kejadin
tromboembolisme (Horstkotte et al, 2001).
Dinding LA dari jantung merupakan suatu sistem yang dinamis dan teratur.
Dinding LA menerima darah dari vena pulmonalis untuk diteruskan ke ventrikel kiri
yang mempunyai dinding otot yang sangat tebal sehingga struktur dari LA berbeda
dari RA, dimana secara embriologi asalnya juga berbeda. Dinding LA mempunyai
tekanan yang lebih besar dari RA dan tekanan ini menjadi semakin besar dengan
adanya penyempitan di muara katup mitral yang menjembatani LA dengan ventrikel
kiri (Lung and Vahanian, 2014). Peningkatan tekanan ini menimbulkan stress di
dinding LA. Peningkatan stress dan inflamasi dapat mengganggu homeostasis
normal di LA dan memberi jalan terbentuknya SEC (Black, 2000).
Secara morfologis, LA tidak mempunyai krista terminalis atau otot
pektinatus seperti halnya RA. LA hanya memiliki tambahan yang berbentuk seperti
jari dari pada piramidal dengan beberapa ruang kecil seperti lobus yang disebut LAA

13
(Beigel et al, 2014). LAA berfungsi sebagai reservoir selama fase sistolik dari
ventrikel kiri dan saluran untuk transit darah dari vena pulmonalis ke ventrikel kiri
selama fase diastolikawal. LA berupa ruang dengan dinding yang halus, dimana
secara embriologis sama dengan vena pulmonalis kecuali LAA yang berasal dari
sisa atrium embrionik (DeSimone et al, 2015). Dengan demikian, LAA berbeda
dengan ruang utama atrium kiri secara embriologis, anatomis dan patofisiologi.
Karena perbedaan ini maka LAA menjadi tempat utama terbentuknya SEC dan
trombus pada pasien MS (Regazzoli et al., 2015).

III.4 SEC
SEC adalah suatu gambaran seperti asap yang berputar sesuai dengan
meningkatnya aliran darah secara ekogenisitas, berbeda dari artefak warna putih
yang ditemukan di atrium kiri atau aurikel atrium kiri (Drissi et al, 2014). Angka
kejadian SEC sekitar 30 – 60% ditemukan pada pasien FA, MS atau riwayat
tromboemboli (Shadanandan and Sherrid, 2000). Sedangkan pada MS akibat PJR
angka insidensi SEC adalah 21-67 % (Drissi et al, 2014).
Trias Virchow menghipotesiskan adanya tiga kondisi yang dibutuhkan
untuk pembentukan trombus yaitu (1) stasis darah yang tidak normal, (2) kerusakan
atau disfungsi endotelium, dan (3) hiperkoagulabilitas (kelainan hemostasis, platelet
dan fibrinolisis). Prinsip hipotesis Virchow ini telah digunakan sebagai dasar
terjadinya trombus di LA dan FA namun sebagian besar masih spekulatif.
Pembentukan trombus berlangsung terus menerus selama patogenesis penyakit yang
dimulai dengan pembentukan SEC kemudian berkembang menjadi endapan dan
berakhir dengan terbentuknya trombus (Watson et al, 2009). Dua kondisi yakni
stasis darah dan gangguan hiperkoaguabilitas dihubungkan dengan patogenesis
SEC, namun komponen lainnya, yakni perubahan pada dinding pembuluh darah
khususnya LA, tidak ada penelitian serta kepustakaan yang menunjukkan ada
keterkaitan dengan eksistensi SEC (Ito and Suwa, 2019).
Patogenesis SEC sendiri belum jelas mekanismenya. Selain dari FA dan
gangguan struktur jantung, ada beberapa faktor lain yang ikut terlibat seperti
penuaan, kecepatan aliran darah yang rendah, laju gesekan yang rendah, jumlah
sedimentasi eritrosit yang tinggi, peningkatan serum fibrinogen dan hematokrit
(Black, 2000). Selain itu kelainan hematologi seperti platelet dan jenis leukosit,

14
ukuran MVA dan gradiennya serta dilatasi LA juga mempengaruhi dalam
pembentukan SEC di LA (Bayar et al, 2016).
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa SEC mengindikasikan adanya
agregasi sel darah merah. Derajat severitas SEC berkorelasi positif dengan
konsentrasi hemoglobin dan fibrinogen, namun intensitas SEC berhubungan terbalik
dengan laju gesekan darah, yang merupakan gradien kecepatan di antara lapisan
cairan yang berdekatan (Ito and Suwa, 2019). Beppu et al. melaporkan bahwa laju
gesekan darah di ruang LA menurun pada pasien dengan SEC di LA (Black, 2000;
Ito and Suwa, 2019). Laju gesekan di LA sebanding dengan kecepatan rata- rata
aliran darah di LA dibagi dengan dimensi LA. Penelitian lain menunjukkan bahwa
SEC di LA berhubungan dengan penurunan kecepatan aliran darah di aurikel LA
(Black, 2000). Hubungan antara dimensi ruang LA dan SEC pada penelitian
selanjutnya konsisten dengan hubungan terbalik antara SEC di LA dan laju gesekan
di ruang LA (Pozzoli, 1991; Ito and Suwa, 2019).
Ekokardiografi adalah alat diagnostik utama untuk memeriksa SEC dan
trombus di LA pada pasien MS. Alat yang rutin digunakan adalah TTE, walaupun
trombus dapat diidentifikasi dengan TTE dan spesifisitasnya tinggi, namun
sensitivitasnya sangat rendah karena sebagian besar trombus dan SEC berlokasi di
LAA dibandingkan di ruang utama LA. Sedangkan TEE adalah modalitas
pencitraan yang baku (gold-standard) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi untuk mendeteksi trombus di LAA (Lung and Vahanian, 2014; Thomas and
Bonow, 2019).
TEE bisa untuk mendeteksi tanda-tanda disfungsi LAA, yang sering
dihubungkan dengan atau adanya proses pembentukan trombus seperti laju gesekan
yang rendah di LAA dan SEC (Pepi et al, 2010; Saric et al, 2016). LAA berperan
penting dalam terjadinya tromboemboli yang dikaitkan dengan FA (Beigel et al,
2014). LAA sering menjadi tempat pertama terbentuknya SEC dan trombus karena
alasan anatomi dan embriologinya (Beigel et al, 2014; DeSimone et al, 2015).
SEC lebih jarang tervisualisasi dengan menggunakan TTE dibandingkan
dengan TEE. Penelitian Ian et al. menunjukan bahwa SEC di LA yang terdeteksi
oleh TEE sebanyak 19% dari 400 pasien, tetapi tak satupun pasien yang terdeteksi
SEC dengan alat TTE (Black, 2000). Dan temuan ini akan meningkat jika diagnosis
pasien berhubungan dengan kejadian kardioemboli (Black, 2000).

15
Pemeriksaan untuk menunjukkan adanya SEC sangat berguna karena dapat
membantu dalam stratifikasi pasien yang memiliki resiko tinggi terjadi kejadian
tromboemboli walaupaun sudah mendapat antikoagulan (Black, 2000; Drissi et al,
2014). Derajat severitas dari SEC dibagi menjadi derajat berat dan ringan, namun
beberapa investigator lebih menggunakan metode semikuantitatif dengan sistem
skoring (Ito and Suwa, 2019).

Tabel 2. Derajat severitas SEC (Martinez et al, 2019).


Grade SEC Deskripsi
0 Tidak ada Tidak ada ekogenisitas
1+ Ringan Gambaran ekogenisitas yang minimal terletak di LAA atau jarang
didistribusikan hingga rongga utama LA, hanya dapat terjadi sementara
selama siklus jantung.
2+ Ringan- Pola berputar-putar yang lebih padat dari grade 1+, tetapi distribusi yang
sedang serupa, dapat dideteksi tanpa peningkatan pengaturan gain.
3+ Sedang Pola berputar yang padat di LAA, dengan intensitas yang lebih rendah di
LA, intensitas berfluktuasi tetapi dapat dideteksi sepanjang siklus
jantung.
4+ Berat Kepadatan ekogenisitas yang intens, berputar sangat lambat di LAA,
kepadatan yang serupa juga ditemukan di LA.
Sludge Berat Keadaan pretrombotik ketika SEC sangat jelas tetapi belum terbentuk
trombus. Sering digambarkan sebagai kepadatan ekogenisitas yang
seperti gelatin.

Gambar 8. Gambaran tingkat severitas SEC. Tingkat severitas dari grade 1+ hingga 4+
yang didapat melalui TEE. Terlihat bahwa pada SEC grade 1+, gambaran ekogenisitas yang
minimal terlihat di left atrial appendage (LAA) dan pada grade 4+, gambaran berputar-
putar (swirling pattern) lebih hebat dibandingkan dengan grade 3+ (Ito and Suwa, 2019).

16
III.5 Resiko Tromboemboli pada MS

SEC merupakan faktor risiko untuk kejadian tromboemboli dan menjadi


salah satu indikasi untuk pemakaian obat antikoagulan (Baumgartner et al, 2017;
Thomas and Bonow, 2019). Beberapa penelitian menunjukan hubungan antara SEC
yang persisten di LA dengan pembentukan trombus di LA. Angka kejadian trombus
di LA sekitar 60% pada pasien dengan SEC, sedangkan pada pasien tanpa SEC
hanya 9% (Beppu, 1993). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian
stroke atau tromboemboli lainnya lebih tinggi pada pasien dengan SEC
dibandingkan pasien dengan kelainan jantung struktural dan aritmia kronik tetapi
tanpa SEC (Ito et al, 1999).
Komplikasi MS yang paling umum adalah FA. Pada awalnya, FA sering
disebabkan oleh inflamasi atrium dan remodelling yang merupakan kondisi dasar
dari MS. FA terjadi pada 40 – 75% pasien SM yang simptomatik, yang akan
mencetuskan risiko terjadinya emboli sistemik dan menurunkan curah jantung dan
kapasitas latihan. Meskipun emboli sistemik sering terjadi pada pasien FA, 20%
pasien SM dengan irama SR juga bisa mencetuskan emboli sistemik (Lung and
Vahanian, 2014; Thomas and Bonow, 2019).
Penggunaan monitoring Holter selama 1 x 24 jam dalam satu penelitian
menunjukkan bahwa setengah dari 63 pasien MS dengan SR pada studi tersebut
memiliki aritmia atrium (Ramsdale et al, 1987). 25 pasien ( 39.7 %) mengalamai
atrial takikardia paroksismal, 14 pasien (22.2 %) mengalami FA, 8 pasien (12.7 %)
mengalamai atrial takikardia multifokal serta 5 pasien mengalami kepak atrium.
Meskipun 95% tidak menunjukkan gejala, tapi 14% dari mereka mengalami
komplikasi emboli sistemik (Ramsdale et al, 1987; Lung and Vahanian, 2014).
Trombus di LA merupakan sumber utama dari tromboemboli dan sering
dijumpai pada pasien dengan FA, penyakit katup jantung, disfungsi diastolik dan
sistolik ventrikel kiri yang berat (Lung and Vahanian, 2014). SEC di LA yang
ditemukan dengan menggukan TEE berperan penting dalam stratifikasi resiko untuk
resiko tromboemboli pada pasien MS (Lung and Vahanian, 2014). Risiko
pembentukan trombus di LA sangat tinggi terutama pada pasien dengan MS yang
disertai irama FA. Pada pasien MS dan FA yang tidak mendapat antikoagulan, resiko

17
terjadinya kejadian tromboemboli pada MS sedang adalah 3.6 % dan 5.7 % pada MS
berat, sedangkan pada kasus pasien dengan SR, resiko kerjadian 0.25% pada MS
sedang dan 0.85% pada MS berat (Lung and Vahanian, 2014). Kejadian emboli pada
serebral terjadi pada 60-70% kasus dan meninggalkan sekuele pada 30-45 % kasus
dan sangat rentan untuk terjadi rekurensi (Thomas and Bonow, 2019).
Ketika peristiwa emboli sistemik terjadi pada pasien dengan SR,
kemungkinan terjadinya suatu FA paroksismal atau endokarditis infektif dapat
dipertimbangkan (Thomas and Bonow, 2019). Namun demikian, lebih dari 45 %
pasien MS dengan SR menunjukkan adanya SEC di LA sebagai penanda resiko
emboli saat dilakukan TEE. Trombus di atrium juga bisa ditemukan pada pasien MS
dengan SR dan banyak pasien FA dengan onset yang baru, memiliki trombus di LA.
Hipotesis yang menjelaskan kejadian ini adalah hilangnya fungsi kontraktil LAA,
walaupun dalam kondisi SR, sehingga akan menyebabkan stasis aliran darah dan
menyebabkan pembentukan trombus. Beberapa bukti juga menunjukkan implikasi
dari peningkatan penanda inflamasi, disfungsi endotel dan aktivasi platelet yang
menyebabkan mekanisme tromboembolisme (Thomas and Bonow, 2019).

III.6 Antikoagulan pada MS

Tidak seperti pada pasien dengan FA non-valvular, tidak ada penelitian uji
klinis terkontrol skala besar untuk menunjukkan efikasi terapi antikoagulan pada
pasien MS dengan atau tanpa atrial aritmia (Thomas and Bonow, 2019). Indikasi
kelas I pemberian antikoagulan (vitamin K antagonis atau heparin) pada MS adalah
FA yang permanen atau FA paroksismal , atau MS dengan riwayat emboli sistemik
sebelumnya ataupun adanya trombus di LA (Nishimura et al, 2014). Pemberian
antikoagulan yang disarankan adalah VKA antagonis dengan target INR 2-3
(Baumgartner et al, 2017).

Pada pasien MS dengan SR, pada pemberian antikoagulan, resiko kejadian


tromboemboli pada MS dengan SR, menurun dari 0.85 % menjadi 0.25% pada MS
berat, dan dari 0.25% menjadi 0.10% pada MS sedang (Lung and Vahanian, 2014).
Mempertimbangkan resiko perdarahan akibat pemberian antikoagulan oral, analisis
yang berdasarkan resiko dan manfaat, pemberian antikoagulan pada pasien MS
dengan SR disarankan pada pasien-pasien dengan kondisi tertentu (Lung and
Vahanian, 2014; Thomas and Bonow, 2019). Yakni dengan meninjau riwayat

18
kejadian emboli sistemik sebelumnya, evaluasi adanya tombus di LA/LAA serta
bukti adanya dilatasi LA yang berat ataupun adanya SEC (Thomas and Bonow,
2019).
Terapi antikoagulan dengan VKA pada pasien MS dengan SR disarankan
pada pasien dengan resiko tinggi terjadinya kejadian tromboemboli. Indikasi kelas I
adalah adanya riwayat emboli sistemik sebelumnya dan ditemukan trombus di
LA/LAA. Pemberian VKA dipertimbangkan dengan rekomendasi kelas IIa pada
pasien dengan pemeriksaan TEE menunjukkan adanya SEC ataupun dengan
pemeriksaan TTE didapatkan dilatasi LA (diameter M-mode > 50 mm atau volume
LA > 60 mL/m2) (Baumgartner et al, 2017; Thomas and Bonow, 2019).
Aspirin atau obat antiplatelet lainnya bukanlah alternatif yang valid untuk
mengurangi risiko tromboemboli pada pasien dengan MS. Golongan antikoagulan
baru atau novel oral anticoagulants (NOACs) seperti dabigatran, rivaroxaban, dan
apixaban, tidak dapat direkomendasikan saat ini karena pasien dengan MS
dikeluarkan dari penelitian yang membandingkan NOACs dengan warfarin untuk
pencegahan emboli di FA (Lung and Vahanian, 2014; Thomas and Bonow, 2019).
Pada pasien pada laporan kasus ini, pasien 59 tahun dengan diagnosis MS
berat, TR sedang dan AR ringan dengan gambaran EKG SR. Pasien didiagnosis MS
berat dengan MVA planimetri 0.6 cm2 saat TTE serta 0.8 cm2 ketika dilakukan TEE.
Ketika pemeriksaan TTE dilakukan, tidak tervisualisasi trombus ataupun SEC di LA
ataupuan LAA, serta diameter LA 43 mm serta LAVI 55.27 mL/m 2, sehingga tidak
termasuk kriteria rekomendasi dan belum diberikan warfarin. Pertimbangan awal
pemberikan antikoagulan pada pasien ini adalah ditemukannya SEC yang tebal
grade 3+ di LA setelah pasien dilakukan pemeriksaan TEE (rekomendasi kelas IIa).
Pasien diberikan antikoagulan oral berupa warfarin dengan target INR 2-3.
Indikasi kelas I pemberian warfarin pada pasien ini selanjutnya adalah
adanya kejadian tromboemboli berupa infark lakunar, pada saat pasien MRS untuk
kedua kalinya (4/10/2019). Dimana pada saat itu, nilai INR belum memenuhi target,
yakni 0.91, sehingga dilakukan titrasi pemberian warfarin hingga 5 mg/24 jam. Pada
saat pasien kontrol poliklinik, INR sudah mencapai target 2.5 dengan tidak
menunjukkan skuele akibat infark lakunar.

19
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan, 59 tahun dengan diagnosis MS berat,


TR sedang dan AR ringan dengan gambaran EKG SR, kontraktilitas LV baik,
dengan EF 61 % dan memiliki riwayat emboli sistemik berupa infark lakunar dan
dari pemeriksaan TEE didapatkan SEC tebal grade 3+ di LA. Pasien diberikan
antikoagulan oral berupa warfarin dengan target INR 2-3.
Indikasi awal pemberikan antikoagulan pada pasien dengan kondisi MS
dengan SR adalah ditemukannya SEC pada pemeriksaan TEE. Indikasi kelas I
pemberian warfarin pada pasien ini selanjutnya adalah adanya kejadian
tromboemboli berupa infark lakunar.
Pemeriksaan secara diagnostik non-invasif dengan menggunakan TTE dan
TEE menjadi modalitas utama dalam penentuan klinisi untuk inisiasi antikoagulan
orapada pasien MS dengan SR ketika tidak ditemukan riwayat emboli sistemik
sebagai indikasi kelas I pemberian antikoagulan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bayar N, Erkal Z, Kucukseymen S, et al. 2016. Relationship between spontaneous echo


contrast and hematological markers in patients with rheumatic mitral stenosis.
International Journal of the Cardiovascular Academy; 2(3), September: 127-
130.
Beigel R, Wunderlich N, Ho S Y, et al. 2014. The Left Atrial Appendage:Anatomy,
Function, and Noninvasive Evaluation. JACC : Cardiovascular Imaging; 7(12),
December: 1251-1265.
Beppu S. 1993. Hypercoagulability in the left atrium: Part I: Echocardiography. J Heart
Valve Disease; 2(1), January: 18-24.
Black IW. 2000. Spontaneous Echo Contrast : Where There's Smoke There's Fire.
Echocardiography ; 17(4), May: 373-382.
Carabello B. 2005. Modern Management of Mitral Stenosis. Circulation; 3(112), July: 432-
437.
DeSimone C, Prakriti G, Syed F, et al. 2015. A Review of Relevant Embryology,
Pathohistology, And Anatomy of The Left Atrial Appendage For The Invasive
Cardiac Electrophysiologist. J Atr Fibrilation; 8(2), August: 81-87.
Drissi S, Sabor H, Ounsy A, et al. 2014. Predictive factors of left atrial spontaneous echo
contrast in patients with rheumatic mitral valve stenosis : a retrospective study
of 159 patients. International Archives of Medicine; 7(32), June: 1-5.
Ganesan G. 2017. How To Asses Mitral Stenosis by Echo-A Step-by-Step Approach.
Journal of the Indian Academy of Echocardiography and Cardiovascular
Imaging; I(3), September: 197-205.
Horstkotte D, Hering D, Faber L, et al. 2001. Cardiac morphology and physiology
predisposing to thrombus formation. European Heart Journal; 3(Supplement
Q), December: Q8-Q11.
Ito T, Suwa M, Nakamura T, et al. 1999. Influence of warfarin therapy on left atrial
spontaneous echo contrast in nonvalvular atrial fibrilation. The American
Journal of Cardiology; 84(7), October: 857-859.
Ito T and Suwa M. 2019. Left atrial spontaneous echo contrast : relationship with clinical
and echocardiographic parameters. Echo research and practise; 6(2), June: 65-
73.
Lily L. 2016. 'Valvular Heart Disease', in Lily Leonard (ed.) Pathophysiology of Heart
Disease, 6th edition, Wolter Kluwer, pp. 192-198.
Lung A and Vahanian B. 2014. 'Rheumatic Mitral Valve Disease', in Otto CatherineM dan
Bonow RobertO (ed.) Valvular Heart Disease : A Companion to Braundwauld's
Heart Disease, 4th edition, Philadelphia. Elsevier, pp. 255-277.
Manjunath CN, Srinivasa KH, Panneerselvam A, et al. 2011. Incidence and predictors of
left atrial thrombus in patients with rheumatic mitral stenosis and sinus rhythm:

21
a transesophageal echocardiographyc study. Echocardiography; 28(4), April:
457-460.
Martinez P, Paredes T, Leon O, et al. 2019. Differentiating spontaneous echo contrast, a
sludge, a thrombus in left atrial appendage : Can ultrasound enhancing agents
help?. Echocardiography; 36(7), July: 1413-1417.
Nishimura R, Otto C, Robert B, et al. 2014. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management
of Patients with Valvular Heart Disease : Executive Summary. Circulation;
10(129), June: 2240-2492.
Ozkan C, Kaymaz C, Kirma C, et al. 1998. Predictors of the left atrial clot and spontaneous
echo contrast in rheumatic valve diseae before and after mitral valve
replacement. Am J Cardiol; 82(9), November: 1066-1070.
Pepi M, Evangelista A, Nihoyannopoulos, et al. 2010. Recommendation for the
echocardiography use in the diagnosis and management of cardiac sources of
embolism. European Journal of Echocardiography ; 11(4), July: 461-476.
Pozzoli M, Febo O, Torbicki A, et al. 1991. "Left atrial appendage dysfunction: a cause of
thrombosis? Evidence by transesophageal echocardiography-Dopler studies. J
Am Soc Echocardiographic; 4(5), September: 435-442.
Ramsdale DR, Arumugam N, Singh SS, Pearson J, et al. 1987. Holter Monitoring in Patients
With Mitral Stenosis and Sinus Rhythm. Eur Heart J; 8(2), February: 164-170.

Regazzoli D, Ancona F, Trevisi, et al. 2015. Left Atrial Appendage : Physiology, Pathology,
and Role as Therapeutic Target. Biomed Research International; 2015(13),
July: 1-13.
Sadanandan S and Sherrid MV. 2000. Clinical and echocardiographic characteristics of left
atrial spontaneous echo contrast in sinus rhythm. JACC; 35(7), June: 1932-
1938.
Sahin M, Hakki S, Serkan A, et al. 2011. Comparison of two patients with mitral stenosis
and importance of sinus rhythm: case report. Eastern Journal of Medicine;
2(16), January: 274-276.
Saric M, Armour A, Arnaout S, et al. 2016. Guidelines for the use of Echocardiography in
the Evaluation of Cardiac Source of Embolism. Journal of American Society of
Echocardiography; 29(1), January: 1-42.
Soesanto A and Rudiktyo E. 2017. 'Penyakit Katup Jantung', in Yoga Yuniadi, Dony Yugo
Hermanto, Bambang Budi Siswanto (ed.) Buku Ajar Kardiovaskular Jilid 2, 2nd
edition, Jakarta. Sagung Seto, pp. 341-379.
Thomas J and Bonow R. 2019. 'Mitral Valve Disease', in Douglas Zipez PeterLibby, Robert
O. Bonow, Douglas L. Mann, Eugene Braundwald (ed.) Braunwauld's Heart
Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine, 11th edition, Philadelphia.
Elsevier, pp. 1415-1424.
Watson T, Shantsila E and Gyh L. 2009. Mechanisms of trombogenesis in atrial fibrillation:
Virchow's triad revisited. Lancet; 373(9658), January: 1555-166.

22

Anda mungkin juga menyukai