Anda di halaman 1dari 54

Case Report Session

ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION


(STEMI)

Oleh :
Nafa Quita 2140312004
Irfani Rizka Fitri 2140312163
Farinda Amalya Hakiman 2140312082
Anandila Maulina 2140312023
Oeyi Mutia Satifa 2140312101

Preseptor :
dr. Muhammad Syukri, Sp.JP(K)

BAGIAN ILMU KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,
penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Referat ini berjudul “ST
Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)”, yang mana ditujukan untuk
menghimpun informasi sehingga diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
pehaman penulis dan pembaca mengenai STEMI

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Muhammad Syukri,


Sp.JP(K) selaku preseptor dan juga semua pihak yang telah memberikan arahan
dan petunjuk dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam


penulisan referat ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Padang, 8 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
BAB 1.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1. Latar belakang...................................................................................................1
1.2. Batasan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan penulisan................................................................................................2
1.4 Metode penulisan...............................................................................................2
BAB 2.......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................................................5
2.4 Patogenesis.........................................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis..............................................................................................6
2.6 Diagnosis............................................................................................................7
2.6.1 Anamnesis.......................................................................................................7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................7
2.6.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram.....................................................................8
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................9
2.8 Tatalaksana.......................................................................................................11
2.8.1 Tindakan Umum Dan Langkah Awal...........................................................11
2.8.2 Perawatan Gawat Darurat.............................................................................13
2.9 Komplikasi.......................................................................................................25
2.10 Prognosis........................................................................................................26
BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................28
BAB 4 DISKUSI KASUS.....................................................................................32
BAB 5 KESIMPULAN........................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................45

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Temuan Abnormalitas EKG Anatomis Infark Miokard 9


Tabel 2. Rekomendasi Terapi Reperfusi 14
Tabel 3. Rekomendasi Terapi Fibrinolitik 16
Tabel 4. Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik 19
Tabel 5. Regimen Fibrinolitik untuk Infark Miokard Akut 20
Tabel 6. Skor TIMI 25
Tabel 7. Nilai Ambang untuk Diagnostik Elevasi ST 32
Tabel 8. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG 33
Tabel 9. Skor TIMI untuk STEMI 35
Tabel 10. Skor TIMI untuk STEMI dan UA 36
Tabel 11. Risiko Mortalitas dari Skor TIMI untuk NSTEMI & UA 36
Tabel 12. Penilaian Skor CRUSADE 37
Tabel 13. Stratifikasi Risiko Perdarahan Skor CRUSADE 37
Tabel 14. Penilaian Kelas KILIP 38
Tabel 15. Kontraindikasi Fibrinolitik 40

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Langkah-Langkah Reperfusi 17
Gambar 2. Hasil EKG di RSUP Dr. M Djamil Padang 28
Gambar 3. Rontgen Thorax 29
Gambar 4. Ilustrasi Tindakan PCI 30
Gambar 5. Risiko Mortalitas berdasarkan Skor TIMI STEMI 35
Gambar 6. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA 38
Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Pasien STEMI 39

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Menurut World Health Organization (WHO), Sindroma Koroner


Akut (SKA) merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, pada tahun
2015 sebesar 7,4 juta dan diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian
pada tahun 2030. Di Amerika Serikat, usia rata-rata presentasi ACS adalah
68 tahun (kisaran interkuartil 56 hingga 79), dan rasio pria-wanita sekitar
3:2. Beberapa pasien memiliki riwayat stable angina, sedangkan pada
yang lain, ACS adalah presentasi awal dari coronary artery disease
(CAD).1
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyebab utama
kematian dan kecacatan di seluruh dunia, Setiap tahun diperkirakan 785
ribu orang Amerika Serikat mengalami infark miokard dan sekitar 470 ribu
orang akan mengalami kekambuhan berulang, setiap 25 detik diperkirakan
terdapat 1 orang Amerika yang mati dikarenakan Infark Miokard. Di
Indonesia menurut Kemenkes (2013) prevalensi jantung koroner
berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5%, dan
berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5%.2
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu
spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat. Pada pasien
STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara mendadak akibat
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi cedera vaskuler.
Cedera vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark
miokard, yang dirawat dirumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1
tahunnya sekitar 7-18%. Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita
infark miokard akut per tahun dan sepertiganya menderita STEMI.3-7
Keluhan pasien dengan STEMI dapat berupa angina yang

1
dikeluhkan pasien berupa nyeri dada substernal, dapat menjalar ke lengan
kiri, rahang, punggung, ulu hati; lama > 20 menit; disertai keringat dingin
dan bila ditanyakan kepada pasien dapat ditemukan salah satu atau
beberapa faktor risiko (Diabetes Mellitus, dislipidemia, Hipertensi,
genetik). Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan anamnesis di
atas ditambah dengan pemeriksaan EKG.8
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara
cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan menginmplementasikan
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi anti trombotik dan
antiplatelet, dan memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman
dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari AAC/AHA tahun
2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.9

1.2. Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, diagnosis,


dan penatalaksanaan pasien dengan STEMI.

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan


dan pemahaman mengenai diagnosis dan penatalaksanaan dari kasus
STEMI.

1.4 Metode penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka


yang merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Acute Coronary Syndromes (ACS) telah dikembangkan sebagai


istilah yang merujuk kepada spektrum kondisi yang kompatibel dengan
miokard akut iskemia dan/atau infark yang biasanya disebabkan oleh
penurunan tiba-tiba dalam aliran darah koroner. Titik cabang utama adalah
elevasi segmen-ST (ST-elevation) atau new left bundle-branch block pada
elektrokardiogram (EKG). Istilah "kemungkinan ACS" sering diberikan
selama evaluasi awal jika EKG tidak menunjukkan dan data troponin belum
tersedia.1

Pencarian sederhana di PubMed mengungkapkan bahwa artikel


pertama yang menggunakan istilah ACS dalam judul atau abstrak muncul
pada tahun 1986. Dalam artikel ini berjudul Flow Characteristics of
Coronary Balloon Catheters, kalimat berikut muncul dalam abstrak:
"sindrom koroner akut (infark miokard akut, hipotensi, aritmia) yang
memerlukan pembedahan darurat dan juga menyebabkan kerusakan
miokard permanen pada berbagai derajat”.10

Istilah ini muncul lagi beberapa tahun kemudian pada tahun 1992
dalam sebuah artikel berjudul The Pathogenesjs of Coronary Artery Disease
and the Acute Coronary Syndromes, peneliti mendefinisikan ACS sebagai
MI, unstable angina, atau kematian mendadak iskemik. Sebagai titik sejarah
dalam evolusi penggunaan dan makna istilah ACS, menarik untuk dicatat
bahwa MI, unstable angina, dan kematian mendadak iskemik adalah bagian
dari spektrum manifestasi dari substrat arteri koroner aterosklerotik yang
sama.10

3
Pada ACS, suplai darah ke jantung tiba-tiba berkurang bahkan
terhenti akibat penumpukan kolesterol dan formasi dari gumpalan darah di
dalam arteri jantung. Menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke jantung
sehingga memicu angina pektoris serta infark miokard, dimana terjadi
kerusakan pada jantung.11

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan
ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.11

2.2 Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), Acute Coronary


Syndromes (ACS) merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, pada tahun
2015 sebesar 7,4 juta dan diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian pada
tahun 2030.6 Di Amerika Serikat, usia rata-rata presentasi ACS adalah 68 tahun
(kisaran interkuartil 56 hingga 79), dan rasio pria-wanita sekitar 3:2. Beberapa
pasien memiliki riwayat stable angina, sedangkan pada yang lain, ACS adalah
presentasi awal dari coronary artery disease (CAD).1

Sementara kejadian STEMI telah menurun secara signifikan selama


dekade terakhir, tingkat NSTEMI telah sedikit meningkat. Secara keseluruhan,
pasien NSTEMI tampaknya memiliki angka kematian jangka pendek yang lebih
rendah dibandingkan dengan STEMI, sementara pada 1 atau 2 tahun follow-up
tingkat mortalitas menjadi sebanding, kemungkinan karena perbedaan
karakteristik dasar, termasuk usia yang lebih tua dan prevalensi yang lebih besar
dari komorbiditas pada populasi NSTEMI.7 Masyarakat Aborigin dan Torres
Strait Islander yang dirawat di rumah sakit dengan ACS mengalami angka
kematian dua kali lebih banyak. Jika ACS tidak ditangani secara cepat dan
adekuat, maka kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian. Pada kenyataannya,
ACS merupakan salah satu dari lima penyakit tersering yang menyebabkan
kematian di United Kingdom setelah berbagai macam kanker dan stroke.11

4
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) sebesar 0,5% dari seluruh
pasien penyakit tidak menular. Daerah tertinggi berdasarkan terdiagnosis dokter
adalah Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh
masing- masing (0,7%).3 Diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk terkena
ACS ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko. Pada 85% orang
yang menderita spasme arteri koroner ditemukan juga aterosklerosis. Sekitar
10-15% dari penderita nyeri dada yang khas, spasme arteri koroner dapat menjadi
penyebab utama dari kekurangan oksigen (iskemik) dan dapat menyebabkan rasa
nyeri. Beberapa orang yang menderita angina dapat juga ditemukan arteri koroner
yang normal.11

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Sekitar 80% pasien dengan infark miokard akut (IMA) dilaporkan


memiliki setidaknya 1 dari faktor risiko major, termasuk diantaranya merokok,
dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus (DM) , dan obesitas abdomen. Faktor
resiko major dari SKA diantaranya adalah sebagai berikut12 :

1. Peningkatan umur

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Dislipidemia

4. Diabetes Melitus

5. Merokok

6. Hipertensi

7. Obesitas

Faktor resiko PJK menjadi : faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
yaitu : umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga sedangkan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas,
hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, dan faktor hemostatik. Berdasarkan

5
data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko PJK yang ikut
berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan darah (13% dari
kematian global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%), peningkatan gula darah
(6%), rendahnya aktivitas fisik (6%), dan kelebihan berat badan atau obesitas
(5%).12

2.4 Patogenesis

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma


pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).13

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti

6
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.13

2.5 Manifestasi Klinis

Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,


menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak
napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan.13

2.6 Diagnosis

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada.14

2.6.1 Anamnesis
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu,
atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri
di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion),
sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang
sulit diuraikan.13

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris


tipikal berupa rasa tertekan/berat di daerah retrosternal, menjalar ke lengan
kiri, nyeri epigastrium, disertai keluhan penyerta seperti keringat dingin,

7
sesak napas, mual/muntah, dan pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi
segmen ST persisten di dua sadapan bersebelahan.14

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia.13

2.6.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram


Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali.13

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina


cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch
Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T.13

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2


sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1- V3 nilai ambang untuk diagnostik
beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi

8
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada
pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah
≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai
ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9
adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai
pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di
V3-V6).13

Menurut lokasi anatomis infark miokard, temuan abnormalitas EKG


adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Temuan Abnormalitas EKG Anatomis Infark Miokard

Lokasi Iskemi atau Infark Sadapan dengan Deviasi ST

Anterior V1-V4

Lateral I, aVL, V5-V6

Inferior II, III, aVF

Septal V1-V2

Posterior V1-V4, V8-V9

2.7 Diagnosis Banding

1. Benign Early Repolarization


Benign early repolarization (BER) adalah kondisi normal yang
ditemukan pada 1- 5% populasi terutama pada usia muda, atlet dan ras
hitam. Sekitar 48% pasien dengan BER datang ke IGD dengan nyeri dada.

9
Gambaran EKG BER memiliki karakteristik elevasi segmen ST konkaf 1-
4 mm pada sadapan V2 – V5, terutama V3, gelombang J yang prominen
(berbentuk notched atau slurred) terutama di lead V5-V6 dan tidak adanya
gelombang S di V3.15

2. Hipertrofi Ventrikel Kiri

Pada hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/LVH)


terjadi abnormalitas repolarisasi segmen ST yang dapat sulit dibedakan
dengan gambaran infark. Pada konsensus Third Global Myocardial
Infarction Task Force dikatakan bahwa nilai ambang elevasi segmen ST
tidak bisa digunakan pada pasien dengan LVH ataupun left bundle branch
block (LBBB). Pada LVH, gelombang S yang dalam dapat terlihat di
sadapan V1 – V3, dengan elevasi segmen ST yang diskordan dengan
kompleks QRS.10 Elevasi segmen ST pada LVH biasanya berbentuk
konkaf, namun dapat juga berbentuk datar atau konveks, mirip IMA.15

3. Left Bundle Branch Block (LBBB)

Abnormalitas EKG pada ST-T sering ditemukan pada pasien


dengan LBBB sehingga sulit dibedakan dengan STEMI. Hal ini
disebabkan oleh depolarisasi abnormal ventrikel yang diikuti oleh
gangguan proses repolarisasi. Pada LBBB didapatkan EKG dengan
gelombang S yang dalam dan lebar di sadapan V1-V3 dengan elevasi
segmen-ST dan gelombang T yang diskordan dengan komplek QRS.15

4. Perikarditis Akut

Pada perikarditis akut didapatkan elevasi difus segmen-ST bentuk


konkaf pada semua sadapan kecuali V1 dan aVR di mana didapatkan
depresi segmen-ST (64%). Tipikal elevasi segmen-ST pada perikarditis
akut memperlihatkan keterlibatan lebih dari satu pembuluh darah koroner,
yang jarang terjadi pada kasus IMA. Selain itu didapatkan depresi
segmen-PR pada semua sadapan kecuali V1 dan aVR yang didapatkan
elevasi segmen-PR. Hal lain yang dapat membantu membedakan

10
perikarditis akut dengan IMA adalah tidak adanya gelombang Q dan
inversi gelombang T pada saat EKG menunjukkan elevasi segmen-ST.15

5. Hiperkalemia

Potasium/Kalium adalah salah satu elektrolit penting di jaringan


miokardial, apabila terjadi gangguan signifikan pada plasma kalium akan
menyebabkan gangguan aktifitas listrik dan mencetuskan aritmia.
Perubahan EKG pada hiperkalemia bersifat progresif. Perubahan paling
awal pada EKG adalah gelombang T yang tinggi, sempit, dan simetris,
diikuti penurunan amplitudo gelombang P dan pelebaran kompleks QRS
seiring dengan makin tingginya konsentrasi kalium serum. Gelombang T
hiperakut pada IMA biasanya diikuti pemanjangan interval-QT, berbeda
dengan gelombang T pada hiperkalemia yang diikuti dengan interval-QT
yang pendek. Walaupun jarang, elevasi segmen-ST dapat terlihat pada
pemeriksaan EKG pasien hiperkalemia (pseudoinfark), terutama di
sadapan V1 – V3. Elevasi segmen-ST pada hiperkalemia sering berbentuk
downsloping, berbeda dengan IMA yang lebih sering berbentuk datar atau
upsloping.15

6. Sindrom Brugada

Sindrom Brugada disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode


kanal natrium di jantung. Sindrom ini endemik di Asia Tenggara,
dengan predominan laki-laki (80%) pada usia rata-rata 40 tahun.
Penegakkan diagnosis sindrom Brugada berdasarkan EKG, didapatkan
gambaran RBBB atipikal dengan karakteristik elevasi segmen-ST 2
mm atau lebih yang berbentuk coved-shaped pada sadapan V1 – V3,
tanpa disertai penyakit jantung struktural, gangguan elektrolit, dan
iskemia.15

7. Spasme Arteri Koroner (Angina Prinzmetal)

Angina Prinzmetal ditandai dengan nyeri dada yang mendadak


pada saat istirahat terutama pada pagi hari disebabkan oleh peningkatan

11
tonus pembuluh darah koroner (vasospasme) yang reversibel. Kelainan
ini banyak ditemukan pada laki- laki yang perokok (74 %). Keluhan
nyeri dada akan berkurang dengan pemberian nitrat.3,8 Elevasi segmen-
ST pada angina Prinzmetal tidak dapat dibedakan dari IMA, karena
keduanya memiliki patofisiologi yang sama. Dimana pada angina
prinzmetal terjadi iskemik transmural yang disebabkan oleh
vasospasme pada epikardial sedangkan pada IMA disebabkan oleh
thrombus yang persisten Apabila spasme berlangsung cukup lama,
dapat menimbulkan infark.15

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Tindakan Umum Dan Langkah Awal


Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina
di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marka jantung. Terapi awal adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(MONA) :16

1. Tirah baring

2. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual

3. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2


arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen
dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri.

4. Aspirin 160-320 mg dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap hari


untuk jangka panjang diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat

5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

12
 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan gen
fibrinolitik, atau

 Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis


pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan
untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit
sampai maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Isosorbid
dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti apabila NTG tidak
tersedia
7. Pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
2.8.2 Perawatan Gawat Darurat
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik
untuk diagnosis dan pengobatan. Kontak medis pertama adalah saat pasien
pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat,
sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.16

Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui


perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit
dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil.
Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia
miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
16

Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP


primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7

13
hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin <90 menit sejak
panggilan inisial. Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang
terlibat dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi
segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan target kualitas berikut ini : 16

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit

2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:

a. Untuk fibrinolisis ≤30 menit

b. Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)

2.8.3 Delay (Keterlambatan)


Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena
waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat
awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan
mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien
dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin
begitu diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama
terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisir sebisa
mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Selain itu delay pemberian
pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang
paling mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat
menangani pasien STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk
memastikan kualitas perawatan tetap terjaga.16

2.8.4 Terapi Reperfusi

14
Tabel 2. Rekomendasi Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera dan sebisa mungkin, baik dengan IKP


primer atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala
yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau
Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru dan terdapat bukti
klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila
gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan
EKG tampak tersendat. 16

Tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar


yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.16

2.8.5 Farmakoterapi Periprosedural 16


Pasien yang akan IKP primer sebaiknya mendapatkan beberapa

15
terapi sebagai berikut :

1. Terapi antiplatelet ganda (DAPT)

a. Aspirin : Oral 160-320 mg

b. Penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi dengan


pilihan yang dapat digunakan antara lain:
 Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg
dua kali sehari), atau
 Clopidogrel (dosis loading 600 mg, diikuti 150 mg per hari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan
2. Antikoagulan intravena
Pilihannya antara lain:

a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat


reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak
mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin
b. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa)
dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
c. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer

d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang


direncanakan untuk IKP primer

2.8.6 Terapi Fibrinolitik

16
Tabel 3. Rekomendasi Terapi Fibrinolitik

17
Gambar 1. Langkah-langkah Reperfusi

2.8.6.1 Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien 16

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

1. Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik).

18
2. Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis Waktu yang
dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP (<120 menit).

Langkah 2:

1. Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif
untuk kasus tersebut.
2. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa
penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan dimana fibrinolisis lebih baik:

1. Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasive
2. Strategi invasif tidak dapat dilakukan

a. Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai

b. Kesulitan mendapatkan akses vaskular

c. Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan


yang mampu melakukan IKP dalam waktu <120 menit
3. Halangan untuk strategi invasif

a. Transportasi bermasalah

b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60


menit

c. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon


lebih dari 90 menit

Keadaan dimana strategi invasif lebih baik:

1. Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan

a. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon


kurang dari 90 menit
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam

19
2. Risiko tinggi STEMI

a. Syok kardiogenik

b. Kelas Killip ≥ 3

3. Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko


perdarahan dan perdarahan intracranial

4. Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala

5. Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tabel 4. Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik

20
Tabel 5. Regimen Fibrinolitik untuk Infark Miokard Akut

2.8.6.2 Koterapi antikogulan16


1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama
rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila
lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced
thrombocytopenia dengan terapi UFH (unfractioned heparin)
berkepanjangan
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan
terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga
maksimum 8 hari pemberian
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (low molecule
weight heparin) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan
pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIA telah diberikan

21
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir
antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan
tambahan dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah
diberikan GP (glikoprotein) IIb/IIIa
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa

2.8.7 Terapi Jangka 16


Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari
STEMI adalah:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama


merokok, dengan ketat Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah
(75-100 mg) diindikasikan tanpa henti
2. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga
12 bulan setelah STEMI
3. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-
pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
4. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
5. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat
intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial
6. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark
anterior. Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan
7. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia

22
2.8.8 Ringkasan Tatalaksana STEMI17
1. Fase Akut di UGD

a. Bed rest total

b. Oksigen 2-4 liter/menit

c. Pemasangan IVFD

d. Obat-obatan :

 Aspilet 160 mg kunyah

 Clopidogrel (untuk usia <75 tahun dan tidak rutin


mengkonsumsi clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien
mendapatkan terapi fibrinolitik, atau
 Clopidogrel 600 mg atau ticagrelor 80 mg jika pasien
mendapatkan primary PCI

 Atorvastatin 40 mg

 Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang 3 kali jika masih ada


keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat IV bila keluhan persisten

 Morfin 2-4 mg IV jika masih nyeri dada

e. Monitoring jantung

f. Jika onset <12jam:

 Fibrinolitik (di IGD) atau

 Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap
melakukan dalam 2 jam
2. Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam)

a. Obat-obatan

 Imvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika


kadar LDL di atas target
 Aspilet 1 x 80mg

23
 Clopidogrel 1 x 75 mg atau Ticagrelor 2 x 90mg

 Bisoprolol 1x1.25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol


2x3,125 mg jika fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi;
diberikan jika tidak ada kontra indikasi
 Ramipril 1 x 2,5 mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi
menurun EF <50%; diberikan jika tidak ada kontra indikasi
 Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat
golongan ARB: Candesartan 1 x 16 mg, Valsartan 2x80mg
 Obat pencahar 2 x 1 sendok makan

 Diazepam 1 x 5 mg

 Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:

o UF heparin bolus 60 Unit/kgBB, maksimal 4000 Unit,


dilanjutkan dengan dosis rumatan 12 Unit/kgBB maksimal
1000 Unit/jam atau
o Enoxaparin 2 x 60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau

o Fondaparinux 1 x 2,5 mg

b. Monitoring kardiak

c. Puasa 6 jam

d. Diet Jantung I1800 kkal/24 jam

e. Total cairan 1800 cc/24 jam

f. Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid)


dan asam urat

3. Fase perawatan biasa

a. Sama dengan langkah 2 a-f

b. Stratifikasi Risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas pasien


(pilih salah satu) : 6 minutes walk test, Treadmill test,
Echocardiografi Stress test, Stress test perfusion scanning atau MRI

24
c. Rehabilitasi dan Prevensi sekunder

2.9 Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang sering ditemukan pada pasien


STEMI, di antaranya9,16:

 Takiaritmia: takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, fibrilasi/flutter atrium,


accelerated idioventricular rhythm

 Bradiaritmia: blok atrioventrikular, junctional escape rhythm

 Syok kardiogenik

 Infark ventrikel kanan

 Gagal jantung
Setelah STEMI fase akut dan subakut, disfungsi pada miokardium
sering terjadi. Adanya obstruksi mikrovaskular dan/atau jejas transmural
dapat mengarah pada pompa yang gagal bekerja dengan semestinya disertai
manifestasi klinis kegagalan jantung, yang dapat berakibat pada munculnya
gagal jantung kronik.16

Selain gagal jantung, dapat pula terjadi komplikasi yang lain, berupa
syok kardiogenik. Penyakit ini merupakan penyebab kematian utama pasien
dengan STEMI. Penelitian yang dilakukan di Kupang, Nusa Tenggara
Timur menunjukkan bahwa dari 23 pasien yang didiagnosis STEMI,
sebanyak tiga dari Sembilan subjek penelitian mengalami syok
kardiogenik14. Walaupun syok sering muncul pada fase awal setelah onset,
biasanya ia tidak didiagnosis saat pasien datang ke rumah sakit untuk
pertama kali. Biasanya, pasien datang dengan hipotensi, cardiac output
yang rendah, dan kongesti paru.16

Aritmia, baik takiaritmia maupun bradiaritmia, juga sering


ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah kemunculan infark

25
miokard. Beberapa jenis aritmia yang muncul yaitu fibrilasi atrium awitan
baru (28%), VT tidak berlanjut (13%), blok AV derajat tinggi (10%), sinus
bradikardi (7%), henti sinus (5%, ≥5 detik), VT berkelanjutan (3%), dan VF
(3%).16

2.10 Prognosis

Untuk menilai risiko mortalitas 30 hari pada pasien STEMI, dapat


digunakan skor TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction).
Penilaiannya mencakup beberapa hal, di antaranya usia, komorbid, tekanan
darah, dan lain-lain. Penjabarannya adalah sebagai berikut9:

Tabel 6. Skor TIMI

Variabel Nilai

Usia ≥75 tahun 3

Usia 65-74 tahun 2

Diabetes, hipertensi, angina 3

Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3

Laju nadi >100 kali per menit 2

Kelas Killip II-IV 2

STEMI anterior atau LBBB komplit 1

BB <67 kg 1

Waktu ke tindakan >4 jam 1

Selain skor TIMI, dapat juga digunakan klasifikasi GRACE (Global


Registry of Acute Coronary Events). Penilaian ini dapat digunakan untuk
memperkirakan mortalitas saat rawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah

26
keluar dari rumah sakit. Makin tinggi skor GRACE, risiko kematian akan
makin besar.9

Penilaian risiko dengan TIMI maupun GRACE melibatkan salah


satu variable, yaitu kelas Killip. Stratifikasi kelas ini digunakan menurut
indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut.
Berikut merupakan penjelasan dari kelas Killip, yang dibagi menjadi empat
tingkatan16.

1. I -> tidak ada gagal jantung, mortalitas 6%.

2. II -> ada gagal jantung, tanda: S3 dan ronki basah pada setengah lapangan
paru, mortalitas 17%.

3. III -> ada edema paru, tanda: ronki basah di seluruh lapangan paru,
mortalitas 38%.

4. IV -> ada syok kardiogenik, tanda: sistol <90 mmHg dan hipoperfusi
jaringan, mortalitas: 81%.

27
28
BAB 3

LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki-laki, berumur 54 tahun datang ke IGD RSUP dr. M.


Djamil Padang pada tanggal 20 Mei 2022 dengan keluhan utama nyeri dada tiba-
tiba sejak 3,5 jam SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertindih benda berat pada
bagian pertengahan dada dan nyeri tidak menjalar. Nyeri dada dirasakan terus-
menerus dengan durasi lebih dari 30 menit yang semakin lama semakin
memberat. Tidak ada riwayat nyeri dada sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan
adanya keringat dingin dan mual. Pasien tidak mengeluhkan adanya sesak nafas,
Dyspneu on Effort tidak ada, Orthopneu tidak ada, Paroxymal Nocturnal Dyspneu
tidak ada, muntah tidak ada. Riwayat berdebar-debar tidak ada, pusing dan
pingsan ada.

Pasien memiliki riwayat stroke pada tahun 2006 dan mengalami


kelemahan anggota gerak kiri. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, dan
penyakit ginjal tidak ada. Riwayat dislipidemia tidak diketahui oleh pasien. Tidak
ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes melitus,
maupun hipertensi. Pasien memiliki riwayat merokok sejak 38 tahun yang lalu
sebanyak 1-2 bungkus/hari. Pasien adalah seorang pegawai swasta dengan
aktivitas ringan-sedang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


kesadaran CMC, tekanan darah 126/89 mmHg, frekuensi nadi 99 x/menit,
frekuensi napas 20 x/menit, suhu 36°C, SpO2 98%. JVP 5-2 cmH2O. Berat badan
65 kg dan tinggi badan 170 cm, status gizi baik. Kulit teraba hangat, tidak
sianosis. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan
jantung, iktus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba pada satu jari di lateral
midclavicularis sinistra RIC V. Pada auskultasi, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop
(-). Pada pemeriksaan paru, inspeksi simetris kiri dan kanan dengan pergerakan
sama kiri dan kanan, palpasi fremitus sama kiri dan kanan, perkusi sonor pada
kanan dan kiri, auskultasi paru vesikuler pada lapangan paru rhonki (-/-),

29
wheezing (-/-). Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi abdomen terlihat datar dan
supel, palpasi tidak ada nyeri tekan dan tidak teraba hepar dan lien, perkusi
timpani, dan auskultasi didapatkan bising usus normal. Ekstremitas teraba akral
hangat, tidak terdapat diaforesis dan edema tungkai.

Gambaran EKG didapatkan sinus ritmis, regular, frekuensi 92 x/menit,


axis normal, gelombang P normal, PR interval 0.16s, QRS duration 0.06s, ST
elevasi 1-4 mm di lead V1-V4, LVH (-), RVH (-), QTC 409 ms.

Gambar 2. Hasil EKG di RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal


20/5/2022

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, kadar Hb 15,4 g/dL,


Hematokrit 45,2%, leukosit 8.330/mm3, Trombosit 315000/µl, GDS 81 mg/ dL,
Troponin I >40.000 ng/L.

Gambaran rontgen toraks didapatkan CTR <50%, segmen aorta normal,


segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, dan tidak terdapat infiltrate
dan kranialisasi.

30
Gambar 3. Rontgen Thorax tanggal 20/05/2022

TIMI Score :
Usia 65-74/>75 (54) :0
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (126) :0
Denyut jantung >100 x/ menit (99) :0
Killip Class II-IV (I) :0
St elevasi anterior / LBBB (ST Elevasi) :1
Diabetes/hipertensi/angina(+) :1
Berat badan <67 kg (65) :1
Time to treat >4 jam :1
Total skor : 4/14 (risiko mortalitas dalam 30 hari sesudah terjadi infark miokard
7,3%)

31
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran EKG,
pemeriksaan labor dan foto rontgen pasien didiagnosis dengan STEMI akut
anterior onset 3,5 jam KILLIP I TIMI 4/14 pro revaskularisasi. Pasien saat
di IGD diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/24jam, drip NTG 10
mcg/kg/min uptitrasi, loading aspilet 2x80 mg, dan loading ticagrelor 2x90
mg. Selanjutnya pasien direncakanan untuk primary PCI. Pada tanggal 20
Mei pukul 03.25 WIB, pasien telah dilakukan PPCI 1 stent CID CRE 8
2,75x20 mm di Proksimal-Mid LAD pada CAD 1 VD (Lesi non signifikan
di distal LCX, distal RCA) timi Flow 3 MBG 3.

Gambar 4. Ilustrasi Tindakan PCI pada tanggal 20/5/2022

32
BAB 4

DISKUSI KASUS

Seorang pasien laki-laki usia 54 tahun datang ke IGD RSUP M.


Djamil Padang pada tanggal 20 Mei 2022 dengan keluhan utama nyeri dada
tiba-tiba sejak 3,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dapat
disebabkan oleh kardiak dan non kardiak. Nyeri dada kardiak akibat iskemia
miokard pada sindroma koroner akut dapat berupa nyeri dada tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher,
area interskapuler, bahu atau epigastrium. Angina tipikal berlangsung
intermiten atau presisten yang berlangsung lebih dari 20 menit. Angina
tipikal sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop. Sedangkan, pada nyeri dada non kardiak dapat berupa
nyeri pleuritik atau nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk, nyeri abdomen tengah atau bawah, nyeri dada yang diakibatkan oleh
gerakan tubuh atau palpasi, dan lain-lain. Berdasarkan anamnesis, nyeri
dada seperti tertindih benda berat pada bagian pertengahan dada dan
berlangsung selama lebih dari 30 menit pada pasien ini mengarah ke nyeri
dada kardiak.16
Selain nyeri dada, pasien ini juga disertai keringat dingin dan mual,
hal ini merupakan gejala penyerta pada angina tipikal. Keluhan seperti sesak
napas, ortopnea, dipsnea nocturnal paroksismal, udem pada tungkai, perlu
ditanyakan untuk menyingkirkan kecurigaan gagal jantung pada pasien.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gejala dyspnea on effort, orthopnea,
dan paroxysmal nocturnal dispnea sehingga gagal jantung pada pasien ini
dapat disingkirkan. Pada pasien ini ditemukan faktor risiko kardiovaskular
berupa merokok, tidak ada riwayat hipertensi serta diabetes mellitus pada
pasien, dan riwayat dilipidemia tidak diketahui oleh pasien. Tidak ada
riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner.16,19
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan nyeri dada iskemik digunakan
untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia,

33
penyakit penyerta, dan menyingkirkan penyakit pembanding. Hasil
pemeriksaan fisik pada pasien nyeri dada iskemia bisa didapatkan keadaan
umum tampak sakit atau kesakitan, kesadaran composmentis cooperative,
denyut nadi bisa takikardi, tekanan darah bisa meningkat, dan frekuensi
nafas bisa takipnea. Pada pemeriksaan thoraks, inspeksi dan auskultasi
dapat normal. Dari pemeriksaan fisik juga bisa didapatkan tanda-tanda
komplikasi berupa regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus, hipotensi. Hasil pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran CMC, tekanan darah 126/89
mmHg, frekuensi nadi 99x/ menit, frekuensi nafas 20x/ menit, suhu 36°C,
tinggi badan 170 cm, berat badan 65 kg, dengan IMT 22,5 m2, dan JVP
didapatkan 5 - 2 cmH2O. Pemeriksaan auskultasi paru tidak didapatkan
adanya ronki. Pada pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis tidak
terlihat, iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V. Pada auskultasi
ditemukan S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-). Hasil pemeriksaan lain
dalam batas normal. Hasil tersebut akan berperan dalam penentuan skala
risiko pasien dalam skor TIMI.16,18-20
Gambaran EKG pada pasien angina bisa normal, non diagnositik,
LBBB baru, elevasi segmen ST persisten > 20 menit atau tidak persisten,
ST depresi dengan atau tanpa T inverted. Penilaian ST elevasi dilihat pada
titik J point dan ditemukan pada dua sadapan yang bersebelahan. Nilai
ambang untuk diagnostik elevasi segmen ST untuk perempuan dan laki-laki
dapat dilihat ditabel.16

Tabel 7. Nilai Ambang untuk Diagnostik Elevasi ST.16

34
Gambaran EKG pada pasien STEMI pada saat pertama kali datang
dapat menggambarkan resiko awal. Pasien dengan EKG normal saat
pertama kali datang memiliki prognosa yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan inversi T. Pasien STEMI memiliki gambaran EKG berupa elevasi
segmen ST di dua lead yang berdekatan.21

Tabel 8. Lokasi Infark berdasarkan Sadapan EKG.21


Lokasi elevasi segmen ST Lokasi iskemia atau infark

V3, V4 Anterior

VI, V2, V3, V4 Anteroseptal

I, aVL, V2-V6 Anterior ekstensif

I, aVL, V3, V4, V5, V6 Anterolateral

II, III, Avf Inferior

I, aVL, V5, V6 Lateral

V1, V2 Septum

V7, V8, V9 Posterior

V3R-V4R Ventrikel kanan

Gambaran EKG pasien didapatkan sinus ritmis, regular,frekuensi


92x/ menit, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0.16 s, QRS
duration 0.06 s, ST elevasi 1-4 mm di V1 – V4, LVH (-), RVH (-) dan QTC
409 ms. Gambaran EKG menunjukkan irama jantung sinus, konduksi masih
diawali dengan impuls dari nodus sinoatrial, dengan frekuensi denyut
jantung normal serta tidak terdapat tanda-tanda pembesaran ventrikel. Hasil
EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST di sadapan V1-V4. Lokasi ini
menunjukkan adanya tanda-tanda infark di bagian anterior.

35
Gambaran rontgen toraks PA pada saat di IGD didapatkan CTR
<50%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, dan pinggang
jantung normal. Tidak terdapat infiltrate dan kranialisasi. Kesan rontgen
toraks normal.
Tanda-tanda pembesaran jantung kiri pada rontgen thoraks diantaranya
batas jantung kiri bergeser ke kiri, inferior dan posterior dan apeks jantung yang
bulat. Sedangkan pembesaran jantung kanan ditandai dengan batas jantung kiri
membulat dan apeks jantung terangkat. Penyebab dari pembesaran jatung kiri
antara lain overload tekanan (hipertensi, stenosis aorta), overload volume
(regurgitasi aorta dan mitral), dan kelainan pada dinding ventrikel (aneurisma
ventrikel dan kardiomiopati ventrikel).22
Data laboratorium yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat
adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah,
tes fungsi ginjal, dan panel lipid.5 Pemeriksaan laboratorium pada pasien
saat di IGD didapatkan kadar hemoglobin 15,4 gr/dL, leukosit 8.330/mm3,
Hematokrit 45,2%, trombosit 315.000/mm3 GDS 81 mg/dL, Ur/Cr : 16/110,
troponin I >40.000 ng/L. Kesan pemeriksaan laboratorium yaitu
peningkatan troponin I yang telah mencapai cut off infark miokard (>100
ng/dL).
Troponin adalah kompleks regulator di filamen tipis apparatus
kontraktil miokard yang terdiri dari 3 subunit protein, diantaranya troponin
C (komponen pengikat kalsium), troponin T (komponen pengikat kalsium),
dan troponin I (komponen inhibitori). Sebagian besar troponin T dan I
jantung disimpan di sarkomer, dan sejumlah kecil (4-6%) ditemukan di
kumpulan sitosol. Setelah kerusakan miokard, troponin sitosolik dilepaskan
terlebih dahulu, dan ketika kerusakan lebih lanjut terjadi, troponin yang ada
di sarkomer dilepaskan ke dalam sirkulasi.23
Tingkat troponin T dan I mulai meningkat 4 sampai 9 jam setelah
infark miokard akut dan memuncak pada 12 hingga 24 jam dan dapat tetap
tinggi hingga 14 hari. Troponin T dan I memiliki banyak keunggulan
dibandingkan CK-MB. Pertama, kadar troponin pada individu normal
sangat rendah atau tidak terdeteksi. Oleh karena itu, peningkatan troponin

36
yang signifikan merupakan indikasi cedera pada miokardium. Peningkatan
kecil troponin (tetapi kadar CK-MB normal) dapat menunjukkan zona
mikroskopis nekrosis miokard (mikroinfark). Troponin I sangat spesifik
untuk miokardium karena hanya satu isoform troponin I yang telah
diidentifikasi hanya ditemukan di miosit jantung. Sejumlah kecil troponin T
jantung telah diidentifikasi di otot rangka. Ekspresi isoform troponin T
jantung telah dilaporkan pada pasien dengan distrofi otot, polimiositis,
dermatomiositis, dan penyakit ginjal stadium akhir. Troponin C tidak
spesifik untuk jantung sehingga tidak digunakan untuk menilai infark,
namun terjadi peningkatan troponin C saat infark terjadi.23
Pelepasan troponin memiliki durasi yang lebih pendek pada angina
tidak stabil. Emboli paru dan perimiokarditis adalah diagnosis banding yang
paling umum untuk peningkatan kadar troponin. Kadar troponin juga
meningkat pada takiaritmia, hipertensi, miokarditis, dan memar miokard.23
Stratifikasi risiko TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction)
digunakan untuk prediksi mortalitas, yaitu risiko terjadinya infark miokard
baru atau rekuren atau iskemia rekuren berat yang membutuhkan
revaskularisasi setelah 14 hari revaskularisasi. Terdapat dua jenis skor
TIMI, skor TIMI untuk STEMI (total skor 14) dan skor TIMI untuk
NSTEMI dan UA (total skor 7).24

Tabel 9. Skor TIMI untuk STEMI.24

37
Gambar 5. Risiko Mortalitas berdasarkan Skor TIMI STEMI.20

Tabel 10. Skor TIMI untuk NSTEMI dan UA.16

Tabel 11. Risiko Mortalitas berdasarkan skor TIMI untuk NSTEMI & UA.25
Skor TIMI Risiko mortalitas (%)

0-1 4,7

2 8,3

3 13,2

4 19,9

5 26,2

6-7 40,9

Skor TIMI pada pasien :

38
Usia 65-74/>75 (54) :0
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (126) :0
Denyut jantung >100 x/ menit (99) :0
Killip Class II-IV (I) :0
St elevasi anterior / LBBB (ST Elevasi) :1
Diabetes/hipertensi/angina(+) :1
Berat badan <67 kg (65) :1
Time to treat >4 jam :1
Total skor : 4/14 (risiko mortalitas dalam 30 hari sesudah terjadi infark miokard
7,3%)

Skor CRUSADE untuk menentukan risiko perdarahan untuk pertimbangan


pemberian pengobatan antitrombotik.
Tabel 12. Penilaian Skor CRUSADE.26

Tabel 13. Stratifikasi risiko perdarahan Skor CRUSADE.16

CRUSADE Score pada pasien :


Hematokrit 45,2% : 2

39
Klirens kreatinin 110 ml/menit : 7
Diabetes mellitus : 0
Tanda gagal jantung : 0
Tekanan darah sistolik 126 mmHg : 1
Denyut jantung 99x/menit : 6
Penyakit vascular sebelumnya : 0
Jenis kelamin laki-laki : 0
Total skor : 17 (risiko perdarahan sangat rendah)
Penggolongan risiko pada kelas Killip berdasarkan indikator klinis gagal
jantung dan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Pada pasien didapatkan kelas Killip
kelas 1, yaitu tidak terdapat gagal jantung.

Tabel 14. Penilaian kelas KILIP.16

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran EKG, dan


foto rontgen pasien didiagnosis dengan STEMI akut anterior onset 3,5 jam
KILLIP I TIMI 4/14 pro revaskularisasi. Untuk tatalaksana pasien,
digunakan algoritma tatalaksana SKA oleh PERKI 2018.16 Terapi awal
berupa morfin, oksigen, nitrat, atau aspirin, yang dapat diberikan pada

40
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA berdasarkan
keluhan angina, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG atau biomarka jantung
(sebelum dirujuk).

Gambar 6. Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA.16

Sesuai algoritma, pasien ini definitif SKA dengan elevasi segmen ST


dan diberikan terapi reperfusi dengan tujuan membatasi luasnya daerah
infark miokard, hal yang sangat menentukan prognosis pasien. Ada dua
terapi reperfusi yang dapat diberikan untuk pasien SKA yaitu dengan
primary PCI atau dengan obat fibrinolitik. Semakin cepat waktu kedatangan
pasien ke pelayanan kesehatan dan sedikitnya delay hingga pasien ditindak
merupakan tujuan yang harus dicapai pada penatalaksanaan pasien.

41
Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Pasien STEMI.16

Terapi reperfusi segera diindikasikan untuk pasien dengan gejala yang


timbul dalam 12 jam dengan ST elevasi. (karena biasanya > 12 jam infark
miokard telah komplit dan keluhan iskemia hilang). Terapi reperfusi hanya
diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi
segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru, walaupun gejala
berlangsung > 12 jam. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama
adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas
PPCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada dan

42
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam (waktu absolut dari diagnosis IMA-
EST ke reperfusi PPCI), reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas PPCI.

Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka sebaiknya


dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis IMA-EST. Jika fibrinolitik
gagal (resolusi segmen ST <50% dalam waktu 60-90 menit setelah
pemberian), ketidakstabilan hemodinamik atau elektrolit, perburukan
iskemia, atau nyeri dada persisten merupakan keadaan dengan indikasi
untuk rescue PCI. Selain itu, pada pasien dengan klinis IMA namun EKG
dengan ST elevasi tidak dapat diinterpretasi harus menjalani PPCI. Sebelum
dilakukan terapi fibrinolitik, pasien harus dipastikan tidak memiliki
kontraindikasi. Jika fibrinolitik merupakan kontraindikasi, langsung lakukan
PPCI.

Tabel 15. Kontraindikasi Fibrinolitik.16

A Absolut Relatif

Stroke hemoragik atau stroke TIA dalam 6 bulan terakhir


yang penyebabnya belum
Pemakaian antikoagulan oral
diketahui, dengan awitan
kapanpun Kehamilan atau dalam 1 minggu
post partum
Stroke iskemik 6 bulan terakhir
Tempat tusukan yang tidak
Kerusakan sistem saraf sentral
dapat dikompresi
dan neoplasma
Resusitasi traumatik
Trauma operasi/ trauma kepala
yang berat dalam 3 minggu Hipertensi refrakter (TDS>180
terakhir mmHg)

Perdarahan saluran cerna dalam Penyakit hati lanjut


1 bulan terakhir

43
Penyakit perdarahan Infeksi endokarditis

Diseksi aorta Ulkus peptikum yang aktif.

Jika pasien tidak ada kontraindikasi, terapi yang dapat diberikan adalah
ateplase bolus 15 mg IV 0,75 mg/kgBB selama 30 menit, kemudian 0,5
mg/kgBB selama 60 menit, dosisi total tidak lebih dari 100 mg atau
streptokinase 1,5 juta IU dalam 100 cc dextrose 5% atau larutan salin 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.

Pasien dibawa ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas PCI, RSUP Dr. M.
Djamil setelah nyeri dada 3,5 jam yang merupakan indikasi untuk pilihan terapi
PPCI. Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/24jam, drip NTG 10
mcg/kg/min uptitrasi, loading aspilet 2x80 mg, dan loading ticagrelor 2x90 mg.
Selanjutnya pasien direncakanan untuk primary PCI. Pada tanggal 20 Mei pukul
03.25 WIB, pasien telah dilakukan PPCI 1 stent CID CRE 8 2,75x20 mm di
Proksimal-Mid LAD pada CAD 1 VD (Lesi non signifikan di distal LCX, distal
RCA) timi Flow 3 MBG 3.

Pasien diberikan tatalaksana awal berupa nitrat yaitu NTG drip mulai 10
mikro/menit dan aspirin yaitu loading Aspilet 2x80 mg. Pada pasien diberikan
brilanta 2x90 mg (Ticagrelor) yang merupakan ko-terapi antiplatelet pada pasien
yang menjalani PPCI.

Pasien yang akan menjalani PPCI sebaiknya mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP
dan antikoagulan intravena sesegera mungkin sebelum angiografi. Pilihan
penghambat reseptor ADP diantaranya : Ticagrelor (loading dose 180 mg,
maintanace dose 90 mg 2x/hari) atau CPG (loading dose 600 mg,
maintenance 75 mg/hari). Pilihan antikoagulan IV : enoxaparin atau UVH.
Terapi jangka panjang untuk pasien dengan diagnosis infark miokard
adalah :

1. Kendali faktor resiko : Merokok

44
2. Aspirin 80 mg (75-100 mg) / hari tanpa henti

3. DAPT (aspirin + CPG) hingga 12 bulan post STEMI

4. Beta blocker diindikasikan untuk pasien dengan gagal ginjal atau


disfungsi ventrikel kiri.

5. Statin dosis tinggi dilanjutkan setelah pasien masuk RS, tanpa menilai
LDL untuk stabilisasi plak.

6. ACE Inhibitor diindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal, LVEF


<40%, diabetes mellitus, dan infark anterior. Jika ACEI tidak bisa
digunakan diberikan ARB.

7. MRA indikasi pada pasien STEMI dengan heart failure dan LVEF <
40%. Kontraindikasi pada severerenal failure dan hyperkalemia.

8. Antikoagulan mencegah penambahan progresivitas thrombus, diberikan


3-8 hari.

45
BAB 5

KESIMPULAN

Pasien laki-laki 54 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sejak


3,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertindih
benda berat pada bagian pertengahan dada dan nyeri tidak menjalar. Nyeri
dada dirasakan terus-menerus dengan durasi lebih dari 30 menit yang
semakin lama semakin memberat. Nyeri disertai keringat dingin dan mual.
Hal tersebut merupakan tanda-tanda nyeri dada khas infark. Tanda-tanda
gagal jantung dan kelainan irama jantung pada pasien ini dapat disangkal.
Pasien memiliki risiko penyakit kardiovaskuler yaitu merokok.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal. Gambaran


EKG menunjukkan adanya infark anterior. Rontgen thoraks didapatkan
dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
troponin I. Berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, EKG,
dan rontgen toraks, pasien didiagnosis dengan STEMI Anterior onset 3,5
jam KILLIP I TIMI 4/14.

Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/24jam, loading


aspilet 2x80 mg, dan loading ticagrelor 2x90 mg. Setelah itu, dilakukan
PPCI 1 stent CID CRE 8 2,75x20 mm di Proksimal-Mid LAD pada CAD 1
VD (Lesi non signifikan di distal LCX, distal RCA) timi Flow 3 MBG 3
pada tanggal 20 Mei pukul 05.25 WIB.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Anbe DT, Amstrong PW, Bates ER, green LA, hand M, Hochman JS et al.
2004. AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With ST-
Elevation Acute Coronary Syndromes A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
The American Heart Association, Inc., and The American College of
Cardiology Foundation.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Jantung.


Buletin jendela data dan informasi kesehatan. Jakarta : Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. 

3. Antman EM, Braunwald E. ST-segment Elevation Myocardial Infarction.


Dalam(Loscalzo J ed) Harrison’s cardiovascular medicine. New York:
McGraw-Hill Medical. 2010. 

4. Kumar A, Cannon CP.Acute coronary syndromes: diagnosis and


management, part 1. A Peer-Reviewed Medical Journal.2009; 84(10), 917-
938.

5. Alwi I. Infarkmiokardakutdenganelevasist. Dalam (Sudoyo AW, Setyohadi


B, Alwi I, SimadibrataM, Setiadi S ed) Buku ajarilmupenyakitdalam. Ed 6.
Jakarta: Interna Publishing.2014,1741-56.

6. O’Gara PT, et al,Guideline for the management of st-elevation myocardial


infarction. Journal of the American Collage of Cardiology.2013; 62(4): e78-
140.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. 2015.Alwi I. Infark
miokard akut dengan ST elevasi. Penyakit Jantung Koroner dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. InternaPublishing : Jakarta.2014. 1457-74.

47
8. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes: diagnosis and
management. Mayo Clin Proc. 2009;84(10).917-38.

9. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV): 5 Rahasia. Jakarta: Badan


Penerbit FKUI; 2018.

10. Valentin Fuster, Jason C. Kovacic. 2014. Acute Coronary Syndromes


Pathology, Diagnosis, Genetics, Prevention, and Treatment. 114(12): 1847-
1851.

11. Biancha Tumade, Edmond L. Jim, Victor F. F. Joseph. 2016. Prevalensi


sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1
Januari 2014 – 31 Desember 2014. Jurnal e-Clinic. 4(1): 1-9.

12. Ceponiene, I., Zaliaduonyte-Peksiene, D., Gustiene, O., Tamosiunas, A., &
Zaliunas, R. (2014). Association of major cardiovascularrisk factors with the
development of acute coronary syndrome in Lithuania. European Heart
Journal Supplements, 16 (suppl A), A80–A83.

13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2015.

14. Putra B. STEMI Inferior dengan Bradikardi dan Hipotensi. 2018. CDK-260:
45(1).

15. Sukamto. Elevasi Segmen ST, Apakah selalu penanda infark miokard akut?.
Jurnal Kesehatan Melayu. 2018.

16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. 2018.

17. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik


Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh
Darah. Edisi Pertama. 2016.

18. Burnside MG. Diagnosis Fisik (Physical Diagnosis). 17th ed. EGC; 2008.

19. González-Pacheco H, Arias-Mendoza A, Álvarez-Sangabriel A, et al. The


TIMI risk score for STEMI predicts in-hospital mortality and adverse events

48
in patients without cardiogenic shock undergoing primary angioplasty.
Archivos de cardiologia de Mexico. 2012;82(1):7-13.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22452860.

20. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI risk score for ST-
elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk
assessment at presentation: An Intravenous nPA for Treatment of Infarcting
Myocardium Early II trial substudy. Circulation. 2000;102(17):2031-2037.
doi:10.1161/01.CIR.102.17.2031

21. Surya D. Cara Mudah Membaca EKG. EGC; 2016.

22. Fonarow GC, Hsu JJ. Left Ventricular Ejection Fraction. JACC: Heart
Failure. 2016;4(6):511-513. doi:10.1016/j.jchf.2016.03.021

23. Dasgupta A, Wahed A. Cardiac Markers. Clinical Chemistry, Immunology


and Laboratory Quality Control. 2014:127-144. doi:10.1016/b978-0-12-
407821-5.00008-5

24. Aragam KG, Tamhane UU, Kline-Rogers E, et al. Does simplicity


compromise accuracy in ACS risk prediction? A retrospective analysis of the
TIMI and GRACE risk scores. PLoS ONE. 2009;4(11).
doi:10.1371/journal.pone.0007947

25. Braunwald E. Application of Current Guidelines to the Management of


Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial Infarction. Circulation.
2003;108(16 SUPPL.):28-37. doi:10.1161/01.cir.0000086952.14979.32

26. Al-Daydamony MM, Farag ESM. CRUSADE bleeding score as a predictor


of bleeding events in patients with acute coronary syndrome in Zagazig
University Hospital. Indian Heart Journal. 2016;68(5):632-638.
doi:10.1016/j.ihj.2016.03.007

49

Anda mungkin juga menyukai