Anda di halaman 1dari 35

REFRAT

SUBARACHNOID HEMORAGE

Oleh:
FITASCHYA DINDA T G99172079
YUSUF RYADI G99172020
MUHAMMAD FAIZUL FUAD G991903040
SARAH AZZAHRO G99172150
SOTYA ATMAKA ADIRA G99172015

Pembimbing :
dr. Rachmi Fauziah Rahayu, Sp Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Pembacaan refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Pembacaan Refrat dengan judul:

(Subarachnoid Hemorrhage/SAH)

Hari, tanggal : Senin, 15 Maret 2019

Oleh :
Fitaschya Dinda Thifalra G99181003
Yusuf Ryadi G99172064
Muhammad Faizul Fuad G991903043
Sarah Azzahro G99172138
Sotya Atmaka Adira G991903044

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Pembacaan Refrat

dr. Rachmi Fauziah Rahayu, Sp Rad

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. 4
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 6
A. Definisi ...................................................................................... 6
B. Anatomi ..................................................................................... 6
C. Faktor resiko dan patofisiologi.................................................. 7
D. Staging ...................................................................................... 9
E. Tanda dan gejala ....................................................................... 9
F. Pemeriksaan penunjang........................................................... 10
G. Penatalaksanaan ...................................................................... 17
H. Komplikasi .............................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 31

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi lapisan meninges .................................................... 7
Gmabar 2.2 CT Scan ................................................................................. 11
Gmabar 2.3 MRI........................................................................................ 11
Gambar 2.4 CTA ....................................................................................... 14
Gambar 2.5 (MRA) Aneurisma di arteri komunis anterior kiri ...................... 16
Gambar 2.6 (MRA) Tidak ada vasospasme .................................................. 16
Gambar 2.7 (MRA) SAH pada arteri vertebralis kanan ................................. 17
Gambar 2.8 (MRA) Tidak ada aneurisma ..................................................... 17
Gambar 2.9 Surgical clipping ...................................................................... 18
Gambar 2.10 Endovaskular coilling ............................................................ 18
Gambar 2.11 Kateter drain lumbar ............................................................. . 19
Gambar 2.12 Post SAH ........................................................................................ 25
Gambar 2.13 Granulasi Arachnoid. ............................................................... 25
Gambar 2.14 Patofisiogenesis hidrosefalus .................................................... 26
Gambar 2.15 HCP akut. .............................................................................. 29
Gambar 2.16 BCI ........................................................................................ 29

4
BAB I

PENDAHULUAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah jenis stroke hemorrhage yang


disebabkan oleh pendarahan ke ruang di sekitar otak. SAH dapat disebabkan oleh
aneurisma yang pecah, AVM, atau cedera kepala. Penatalaksanaan berfokus untuk
menghentikan pendarahan, memperbaiki aliran darah normal, dan mencegah
terjadinya vasospasme.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Perdarahan subarchnoid merupakan suatu keadaan terjadinya perdarahan
pada ruang diantara lapisan arachnoid dan piamater meninges (Ferri, 2016). Gejala
primer pasien dengan perdarahan subarchnoid adalah nyeri kepala hebat yang
terjadi secara tiba-tiba dan dapat didahului dengan mual muntah, kejang, gangguan
motorik, atau kehilangan kesadaran (Becske, 2018 ; Ferri, 2016). Etiologi dari
perdarahan subarachnoid dikelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu :
 Trauma, yang merupakan penyebab terbanyak terjadinya perdarahan
subarachnoid
 Idiopatik, pada kasus ini perdarahan subarachnoid terjadi namun tidak
ditemukan penyebabnya secara angiografik
 Spontan, biasanya disebabkan karena adanya ruptur aneurisma, malformasi
arteri-vena, angioma, dan trombosis kortikal
B. ANATOMI

6
Gambar 2.1 anatomi lapisan meninges
Meninges mempunyai 3 lapisan yang yaitu berurutan dari lapisan luar ke dalam
ada lapisan duramater (pachymeninx) lapisan keras, Arachnoid & piamater
(leptomeninx) lapisan halus.

C. FAKTOR RESIKO & PATOFISIOLOGI


1. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko terjadinya subarachnoid yang
bersifat dose-dependent. Penelitian yang dilakukan oleh Lindbhom et al.
(2016) menyebutkan bahwa konsumsi rokok 1-10 batang per hari dapat
dengan cepat meningkatkan risiko terjadinya SAH sebesar 1.5x lebih tinggi
daripada yang bukan perokok. Paparan terhadap asap rokok yang
mengandung banyak radikal bebas dapat menyebabkan perubahan yang
signifikan pada sistem imun serebral dan proses inflamasi. Mekanisme ini
berhubungan dengan kerusakan endotel pembuluh darah dan akan
mengarahkan pada pembentukan dan pecahnya aneurisma cerebri (Starke et
al., 2018)
2. Hipertensi
Hipertensi memiliki efek yang dapat merusak sirkulasi darah di otak.
Hipertensi dapat mengubah struktur pembuluh darah dengan memproduksi
vaskular hipertrofi dan remodeling sert memicu terjadinya aterosklerosis
pada arteri serebral besar dan lipohyalinosis dalam penetrasi arteriol. Selain

7
itu, hipertensi juga merusak relaksasi endotelium yang bergantung dan
mengubah autoregulasi serebrovaskular dan kopling neurovaskular
sehingga vaskular menjadi lebih kaku atau spasme. Dengan pergantian
fungsional dan struktural ini, hipertensi memfasilitasi oklusi vaskular atau
perubahan degeneratif yang mudah pecah, sehingga menyebabkan stroke
iskemik dan hemoragik. Hal ini terutama terjadi pada pasien-pasien dengan
aneurisma, dimana struktur dinding pembuluh darah sudah menjadi lebih
tipis
3. Penggunaan Amfetamin
Masalah cerebrovaskular sekunder akibat penggunaan
metamfetamin, termasuk perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,
dan infark serebral, telah banyak dilaporkan. Perdarahan intraserebral
terkait metamfetamin terjadi paling sering di ruang supratentorial dan telah
dilaporkan di semua lobus serebral, dengan sebagian besar melibatkan lobus
frontal. Etiologi perdarahan intraserebral terkait metamfetamin tidak jelas.
Metamfetamin adalah simpatomimetik kuat yang menghasilkan pelepasan
norepinefrin dan dopamin dari ujung saraf sinaptik dan menyebabkan
peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, yang menekankan dinding
pembuluh darah. Penggunaan metamfetamin kronis juga terbukti
menyebabkan efek berbahaya sistemik jangka panjang. Pembuluh darah
yang terkena menjadi lemah dan mudah pecah dan berdarah, terutama
selama stres akut, seperti mengikuti konsumsi metamfetamin. Dalam
beberapa kasus, bukti patologis telah ditemukan; misalnya, hubungan antara
penyalahgunaan metamfetamin dan angitis nekrotikans yang
mengakibatkan perdarahan intraserebral telah dilaporkan. Vaskulitis
serebral adalah temuan histologis yang paling umum digambarkan pada
penyalahguna metamfetamin dengan stroke hemoragik atau iskemik. Telah
dipostulatkan bahwa metamfetamin dapat menyebabkan perubahan
inflamasi di dalam dinding pembuluh darah

8
D. STAGING
Klasifikasi dengan memasukkan gambaran CT scan kepala dibagi dalam
tingkatan yang juga berkorelasi dengan prognosis pasien PSA.
 Grade 0, tanpa adanya gambaran PSA, tanpa adanya perdarahan intraventrikuler
 Grade 1, gambaran PSA minimal, tanpa adanya perdarahan intraventrikuler

 Grade 2, gambaran PSA minimal, adanya perdarahan intraventrikuler di kedua


sisi
 Grade 3, gambaran PSA tebal, tanpa adanya perdarahan intraventrikuler

 Grade 4, gambaran PSA tebal, adanya perdarahan intraventrikuler di kedua sisi

KLASIFIKASI Perdarahan subaraknoid terbagi atas:6

1. Perdarahan subaraknoidal spontan primer (spontan non-trauma dan


nonhipertensif), yakni perdarahan bukan akibat trauma atau dari perdarahan
intraserebral.

2. Perdarahan subaraknoidal sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari luar


subaraknoid, seperti dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak.

Menurut skala botterell dan hunt and hess, perdarahan subarakhnoid dapat dibagi
menjadi beberapa kelas (grade), yaitu:6

1. Kelas I Asimptomatik atau sakit kepala ringan

2. Kelas II Sakit kepala sedang atau berat atau occulomotor palsy

3. Kelas III Bingung, mengantuk atau gejala fokal ringan

4. Kelas IV Stupor (respon terhadap rangsangan nyeri)

5. Kelas V Koma (postural atau tidak respon terhadap nyeri) Kelas I dan II memiliki
prognosis yang baik, kelas III memiliki prognosis yang menengah, kelas IV dan V
memiliki prognosis yang buruk.

9
E. TANDA DAN GEJALA
Stroke subarachnoid memiliki tanda dan gejala yang mendadak seperti :
 Nyeri kepala hebat
 Kaku leher
 Mual & muntah
 Delirium
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Perdarahan intraokular
 Pupil anisokor
 Tekanan darah meningkat
 Paresis/kelumpuhan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT SCAN
Computer Tomography scan ( CT scan) CT Scan ( Computed
Tomography Scanner ) adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan
otak. Tujuan utama penggunaan ct scan adalah untuk pemeriksaan seluruh
organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang, tenggorokan,
rongga perut. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya
dugaan yang kuat suatu kelainan,yaitu : a. Gambaran lesi dari tumor,
hematoma dan abses. B. Perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya
vaskularisasi dan infark. C. Brain contusion. D. Brain atrofi. E.
Hydrocephalus f. Inflamasi. Bagian basilar dan posterior tidak begitu baik
diperlihatkan oleh Ct Scan. Ct Scan mulai dipergunakan sejak tahun 1970
dalam alat bantu dalam proses diagnosa dan pengobatan pada pasien
neurologis. Gambaran Ct Scan adalah hasil rekonstruksi komputer terhadap
gambar X-Ray. Gambaran dari berbagai lapisan secara multiple dilakukan
dengan cara mengukur densitas dari substansi yang dilalui oleh sinar X.

10
Gambar 2.2 CT scan
2. MRI (Magnetic resonance imaging)

Gambar 2.3 MRI


MRI sensitif terhadap perdarahan subarachnoid dan mampu
memvisualisasikannya dengan baik dalam 12 jam pertama, biasanya
tervisualisasi sebagai hiperintensitas pada ruang subarachnoid pada
FLAIR. Angiografi MR dan venografi MR juga dapat mendeteksi penyebab
aneurisma atau sumber perdarahan lain, meskipun secara umum MRI lebih
jarang ditemukan (dibandingkan CT), waktu pemindaian yang lebih lama

11
dan kesulitan yang lebih besar dalam mentransfer dan merawat pasien yang
sering tidak stabil dan diintubasi.
Pada perdarahan subaraknoid yang berhubungan dengan aneurisma,
pencitraan difus yang dapat menunjukkan perubahan iskemik dini (dalam
0-3 hari) pada lebih dari separuh pasien dengan SAH. Delayed iskemia
dapat terdeteksi dengan DWI, berhubungan dengan terjadinya vasospasme
dalam 4-21 hari setelah terjadinya perdarahan, dan dapat dialami pada
setengah dari total pasien dengan SAH

3. CTA (Computed Tomography Angiography)


Angiografi adalah tes medis invasif minimal yang membantu dalam
mendiagnosis dan mengobati kondisi medis terkait vascular dalam tubuh..
Angiografi menggunakan salah satu dari tiga teknologi pencitraan dan,
dalam banyak kasus, injeksi bahan kontras diperlukan untuk menghasilkan
gambar pembuluh darah dalam tubuh.

Angiografi dilakukan dengan menggunakan:

 sinar-x dengan kateter


 computed tomography (CT)
 magnetic resonance imaging (MRI)

Sedangkan CT itu sendiri adalah CT scan merupakan radio diagnostic


procedural dengan sinar X-Ray yang menangkap citra gambar cross sectional
dengan bantuan computer processing dan computer motorized. Gambar CT lebih
detail daripada X-RAY Conventional, dan dapat menampilkan tulang, soft
tisues, dan organ secara 2 dimensi dan dalam beberapa slices. (MSCT :
Multi Slices Computed Tomography)

CT angiografi menggunakan pemindai CT untuk menghasilkan


gambar terperinci dari pembuluh darah dan jaringan di berbagai bagian
tubuh. Selama tes, bahan kontras disuntikkan melalui kateter kecil yang
ditempatkan di pembuluh darah lengan. Seorang radiografer akan
menangkap gambar CT resolusi tinggi saat bahan kontras mengalir melalui
pembuluh darah.

12
13
Gambar 2.4 CTA

4. MRA (Magnetic Resonance Angiography)


MRA (Magnetic Resonance Angiography) adalah teknik
berdasarkan pada pencitraan resonansi magnetic (MRI) untuk pembuluh
darah. Digunakan untuk menghasilkan gambar dari arteri guna
mengevaluasi adanya sklerosis (pengerasan), stenosis (penyempitan
abnormal), oklusi (sumbatan) atau aneurisma (dilatasi dinding pembuluh

14
darah yang beresiko pecah) serta AVM (Arteriovenous Malformation).
Pemeriksaan dengan MRA memungkinkan untuk melihat pembuluh
darah di bidang utama dari tubuh, termasuk otak, leher, jantung, dada,
perut (seperti empedu, ginjal dan hati), panggul, lengan, dan kaki.

Peran Magnetic Resonance Angiography (MRA) dalam mendeteksi SAH


saat ini sedang diselidiki. Namun, banyak penulis percaya bahwa MRA
pada akhirnya akan menggantikan angiografi serebral transfemoral
konvensional. Mengingat keterbatasan MRA saat ini, yang meliputi
sensitivitas yang lebih rendah daripada angiografi serebral dalam
mendeteksi aneurisma kecil dan kegagalan untuk mendeteksi arteri
komunikan inferior posterior dan aneurisma arteri komunikan anterior
dalam satu seri, sebagian besar penulis merasa bahwa rasio
risiko/manfaat masih berpihak pada angiografi konvensional.

Magnetic Resonance Angiography (MRA) juga telah dievaluasi untuk


mendeteksi adanya aneurisma intrakranial yang tidak rusak dengan hasil
yang menguntungkan di 3 Tesla (3T) dan dengan akurasi diagnostik yang
sama seperti waktu terbang 3D (3D-TOF) dan peningkatan kontras (CE-
MRA) MRA. Namun, nilai MRA dalam pemeriksaan diagnostik
aneurisma yang telah pecah terbatas karena kelayakan yang rendah
selama fase akut perdarahan. Sensitivitas untuk deteksi aneurisma baik
untuk kedua teknik MRA, tetapi cenderung lebih baik dengan CE-MRA.

15
Gambar 2.5 (MRA) Aneurisma di arteri komunis anterior kiri

Gambar 2.6 (MRA) Tidak ada vasospasme

16
Gambar 2.7 (MRA) SAH pada arteri vertebralis kanan

Gambar 2.8 (MRA) Tidak ada aneurisma

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada stroke hemorrhage SAH (Subarachnoid
hemorrhage) difouskan untuk menghentikan pendarahan, memperbaiki aliran
darah normal sehingga tidak terjadi stroke berulang, dan mencegah terjadinya
vasospasme.

1. Menurunkan tekanan darah intrakranial


2. Melakukan tindakan untuk memperbaiki pembuluh darah, terdapat 2 jenis
tindakan yang dilakukan sesuai dengan kondisi perdarahan apabila SAH
yang terjadi adalah kasus pecahnya aneurisma. Kasus SAH yang terjadi
akibat aneurisma yang pecah sehingga terjadi perdarahan bisa dilakukan
2 tipe perbaikan, yaitu:

17
a. Surgical clipping
Tindakan yang dilakukan berupa pemasangan klip logam
pada dasar aneursma yang menutup aliran darah ke tekanan yang
lebih rendah, sehingga mengakibatkan terjadinya gumpalan dan
ukuran aneurisma akan menyusut. Logam yang digunakan pada
metode ini aman untuk pemeriksaan MRI magnetik, sehingga
pemindaian dengan MRI magnetik bisa dilakukan dengan aman.

Gambar 2.9 Surgical clipping

b. Endovaskular coilling
Tindakan yang dilakukan dengan memasukkan kateter arteri
yang sangat kecil, elastis dan mempunyai gulungan plainum kecil
diujungnya. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga
aneurisma benar-benar terpenuhi oleh gumpalan platinum dan
menyebabkan penutupan aneurisma sehingga terjadi penyusutan
aneurisma.

Gambar 2.10 Endovaskular coilling

18
3. Mengontrol hidrosefalus
Penumpukan darah dan cairan yang membeku di ruang subaraknoid
harus dikeluarkan untuk mencegah terjadinya hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan darah diturunkan untuk
mengurangi perdarahan lebih lanjut dan untuk mengontrol tekanan
intrakranial. Kelebihan cairan serebrospinal (CSF) dan darah dapat
dihilangkan dengan kateter drain lumbar dimasukkan ke dalam ruang
drain ventrikel, yang dimasukkan ke ventrikel otak

Gambar 2.11 Kateter drain lumbar

4. Mengontrol vasospasme
Untuk mengontrol vasospasme dapat dilakukan pemeriksaan CTA
Tes ini dapat menunjukkan arteri mana yang mengalami kejang dan
keparahan. Pencegahan vasospasme, pasien diberikan nimodipine saat
berada di rumah sakit. Selain itu, tekanan darah dan volume darah pasien
akan meningkat untuk memaksa darah melalui arteri yang menyempit.
Keadaan vasospasme parah, pasien mungkin memerlukan suntikan obat
langsung ke arteri agark rileks dan menghentikan kejang. Ini dilakukan
melalui kateter selama angiografi.

19
H. KOMPLIKASI
1. Cerebral Vasospasme

Definisi
Cerebral vasospasme merupakan keadaan dimana terjadinya
penyempitan pembuluh darah arteri intracranial berukuran besar dan
sedang pasca perdarahan subarachnoid aneurysma (Sobey CG,
Faraci FM, 1998). Vasospasme paling sering mempengaruhi
sirkulasi anterior yang dipasok oleh arteri karotis internal.
Komplikasi utama dan sumber morbiditas pada kasus Subarachnoid
Haemorhage (SAH) adalah vasospasme serebral yang mengarah ke
iskemia serebral tertunda atau lebih dikenal sebagai Delayed
Cerebral Ischemia (DCI) (Vergouwen MD et al., 2010).

Patofisiologi

Mekanisme vasospasme serebral pasca SAH masih belum


sepenuhnya dipahami, meski telah ada banyak teori yang
dikemukakan. Suatu penelitian menjelaskan bahwa terdapat
perubahan pada mekanisme fisiologis normal dan signaling
molecules yang mengatur diameter arteri serebral (Budohoski KP et
al., 2012). Perubahan proses pengaturan ini menghasilkan
vasokonstriksi arteri serebral yang berlebihan. Molekul yang
dimaksud dalam hal ini adalah nitrat oksida dan endotelin.

Nitric oxide, vasodilator yang diproduksi oleh sel endotel,


membantu menjaga pelebaran arteri serebral. Terdapat beberapa
bukti bahwa produk pemecahan sel darah merah mungkin berbahaya
bagi sel endotel, dan efek berbahaya ini dapat membahayakan
kemampuan sel-sel ini untuk menghasilkan molekul vasodilatori
seperti nitrat oksida (Sobey CG, Faraci FM, 1998). Endothelin,
vasokonstriktor, telah ditemukan meningkat dalam cairan
serebrospinal (CSF) setelah aneurysma SAH dan dapat berperan
dalam vasospasme serebral dan DCI (Sobey CG, Faraci FM, 1998;
Zimmermann M, Seifert V, 1998; Cheng YW et al., 2018). Upaya

20
penelitian lebih lanjut masih berlangsung dengan tujuan untuk lebih
menjelaskan mekanisme vasospasme dengan harapan
mengembangkan perawatan yang lebih baik.

Anamnesis

Vasospasme serebral terjadi dalam keadaan pasca


perdarahan subarachnoid aneurysmal baru-baru ini (aSAH).
Vasospasme paling sering muncul dalam 3-7 hari setelah aSAH
tetapi dapat terjadi kapan saja dalam window periode 21 hari setelah
perdarahan awal. Vasospasme sering menyebabkan iskemia serebral
yang tertunda (DCI), yang dapat muncul secara klinis dalam
beberapa cara, tergantung pada keparahan vasospasme dan
pembuluh darah intrakranial apa yang paling terpengaruh.

Gejala klinis yang paling umum adalah penurunan


neurologis yang dimanifestasikan sebagai penurunan tingkat
kesadaran atau timbulnya defisit neurologis fokal baru. Pasien
mungkin mengeluh kelemahan, perubahan sensorik, sakit kepala
baru atau meningkat, defisit penglihatan, atau gejala neurologis
lainnya. Pada pasien tertentu misalnya mereka yang mengalami
perdarahan subaraknoid tingkat tinggi, vasospasme serebral
mungkin secara klinis tidak terlihat (silent).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan tanda dan gejala


vasospasme yang sedang berlangsung, tergantung pada keparahan
kondisi dan di mana pembuluh intrakranial yang paling terpengaruh.

Gejala nonlokalisasi meliputi:

 Lesu
 Disorientasi
 Meningismus

21
 Sakit kepala baru atau meningkat

Defisit neurologis fokal terkait dengan pembuluh darah tertentu


yang terlibat, sebagai berikut:

 Distribusi arteri serebral anterior (ACA) - Disinhibisi,


kebingungan; sifat bisu; kelesuan, responsif tertunda, abulia;
kelemahan kaki; dengan keterlibatan arteri berulang Heubner
(perforator arteri serebral anterior besar), kelemahan
faciobrachial kontralateral tanpa temuan kortikal
 Distribusi arteri serebri media (MCA) - Hemiparesis,
kelemahan faciobrachial, monoparesis; aphasia, apractagnosia;
apatis
 Distribusi posterior cerebral artery (PCA) - Gangguan visual,
hemianopsia

Diagnosis

Penyebab peningkatan tekanan intrakranial atau Intracranial


Pressure (ICP), seperti perdarahan berulang, hidrosefalus, atau
edema serebral, dapat muncul serupa dengan vasospasme.
Hidrosefalus obstruktif dan komunikatif sering terjadi setelah
aSAH, seperti juga kejang kejang dan non-konvulsif, yang telah
terlihat pada sebanyak 90% pasien aSAH dan harus dimasukkan
dalam diagnosis banding dengan pemeriksaan neurologis fokal yang
memburuk. Banyak dari diagnosis ini harus dikesampingkan secara
bersamaan sebelum diagnosis definitif vasospasme serebral dibuat.

Diferensial diagnosis dari vasospasme serebral meliputi


hydrocephalus, intracranial hemorrhage, ischemic stroke.

Pemeriksaan Penunjang

Berbagai modalitas pencitraan digunakan untuk


mendiagnosis vasospasme otak setelah perdarahan subarakhnoid
aneurysmal (aSAH). Transcranial Doppler (TCD) adalah teknik

22
pencitraan utama yang digunakan dalam skrining untuk Spasme
tanpa gejala. Computed tomography (CT), Digital subtraction
angiography (DSA), Magnetic resonance angiography (MRA)
merupakan teknik pencitraan lainnya secara rutin digunakan dalam
surveillance vasospasme.

Tatalaksana

Dari pilihan manajemen yang saat ini digunakan, strategi


augmentasi hemodinamik yang dikenal sebagai terapi triple H, yang
meliputi hipertensi, hemodilusi, dan hipervolemia, telah menjadi
komponen penting. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan perfusi serebral dengan meningkatkan rata-rata
tekanan arteri (MAP) dan mengurangi viskositas darah.

Satu studi menemukan bahwa sekitar 70% pasien dengan


vasospasme mengalami peningkatan gejala setelah mulai terapi
triple H. Namun, harus diingat bahwa terapi triple H dapat memiliki
komplikasi yang signifikan, seperti edema paru dan hipoksemia
berikutnya, yang dapat merusak otak hipoperfusi yang berisiko.
Sebuah studi tahun 2000 oleh Lennihan et al., menemukan bahwa
terapi hipervolemik tidak memiliki keunggulan signifikan
dibandingkan terapi normovolemik sehubungan dengan aliran darah
otak setelah perdarahan subaraknoid dan kedua terapi menghasilkan
insidensi yang serupa untuk vasospasme simtomatik.

Prognosis

Prognosis untuk pasien yang menderita vasospasme serebral


dan DCI setelah aSAH paling erat kaitannya dengan keparahan
perdarahan awal dan kondisi klinis langsung dari pasien. Faktor-
faktor ini terkait erat dengan risiko vasospasme berat.

23
2. Hidrosefalus post SAH
Hydrocephalus (HCP) adalah komplikasi serius dan umum
dalam perjalanan klinis perdarahan subarachnoid (SAH) yang terus
samar sampai sekarang. Menurut berbagai latar belakang dan
keadaan klinis, berbagai kejadian HCP pada pasien SAH dari 6
hingga 67% telah dilaporkan; dalam studi terbaru persentase ini
adalah sekitar 20% - 30%.
HCP terjadi pada sekitar seperlima dari pasien dalam
perjalanan awal (akut dalam 3 hari pertama atau subakut dalam 4-14
hari) dari SAH, sementara hidrosefalus kronis terjadi pada 10% -
20% pasien kemudian dalam perjalanan SAH (setelah 2 minggu).
Terlepas dari periode yang terjadi, HCP merusak fungsi neurologis
pasien dan menyebabkan penurunan hasil fungsional, terutama
dengan perdarahan intraventrikular (IVH), bahkan jika SAH primer
telah diobati. Sebaliknya, hasil yang lebih baik terjadi jika SAH
dideteksi sejak dini dan diobati.
Sekitar sepertiga dari pasien yang dirawat dengan SAH
memiliki pengalihan CSF permanen. Sebuah meta-analisis skala
besar melaporkan bahwa HCP yang tergantung shunt menyumbang
proporsi 17,4% . Pasien dengan perjalanan akut, komplikasi di
rumah sakit, IVH, status rawat inap yang buruk, rehemorrhage,
lokasi ruptur aneurisma, dan usia ≥ 60 melaporkan risiko yang lebih
tinggi dari ketergantungan terhadap shunt.
Kemajuan dalam mempelajari hidrosefali gagal menjelaskan
seluruh mekanisme HCP post SAH. Teori-teori yang disebutkan di
sini kira-kira melalui kerusakan granulasi arachnoid (AG) serta
jaringan otak. Mekanisme tampaknya terbentuk di antara
patogenesis HCP akut dan kronis. Secara umum, reaksi inflamasi
(baik kronis maupun akut) dan proses fibrosis yang terjadi
selanjutnya menghambat aliran CSF yang lancar ke arah sinus, yang
akhirnya berasal dari AG. Selain proliferasi sel leptomeningeal
(Gambar 2.12), penelitian saat ini terutama menargetkan obstruksi

24
patologis AG, termasuk penyumbatan mekanis dan fibrosis AG.
Para peneliti telah lama bekerja untuk melemahkan patogenesis ini
untuk menangani HCP.

Gambar 2.12 Post SAH, ruang subarachnoid diisi dengan sel-sel darah
dan produk. Leptomeninx terdeteksi menebal dengan deposit
hemosiderin, yang juga telah dikonfirmasi secara histologis.

Gambar 2.13 Granulasi Arachnoid, gambar ini menunjukkan mekanisme


patologis utama dalam granulasi arachnoid; yang atas menunjukkan
pembekuan darah dan produk-produk terkait yang menghalangi saluran
keluarnya CSF dan yang bawah menunjukkan fibrosis membran
arachnoid.

Para peneliti sebagian besar berfokus pada patofisiologi


cedera otak post SAH, dan teori yang umum termasuk peradangan,
apoptosis, autophagy, dan stres oksidatif. Vasospasme arteri koroid
kemungkinan berasal dari HCP melalui stenosis saluran air dan
merusak sel ependymal post SAH. Devaskularisasi parenkim otak
kemungkinan hasil dari vasospasme SAH secara berurutan dan

25
menginduksi proliferasi sel induk saraf yang diarahkan oleh sel glia.
Gliosit, berbeda dari organ tubuh lainnya, memainkan peran
destruktif dan kuratif dan melepaskan banyak sitokin ketika otak
menderita berbagai lesi . Matriks metaloproteinase diyakini sebagai
peran yang penting dan serbaguna dalam menghancurkan sawar
darah-otak (BBB), dan penghambat jaringan matriks
metaloproteinase telah diverifikasi untuk memberi efek
perlindungan homolog dalam vasospasme post SAH untuk integritas
BBB pada pasien apoplektik. Selain itu, para peneliti juga
menemukan bahwa sistem saraf vegetatif memainkan peran
tambahan dalam respon inflamasi dan dapat berkontribusi pada
kerusakan BBB, yang terdiri dari sel glia baik secara struktural
maupun fungsional. Kadar protein faktor pertumbuhan endotel
pembuluh darah meningkat dan membatasi pertumbuhan pembuluh
darah abnormal. Selanjutnya, hipersekresi CSF memicu atau
memperburuk gangguan peredaran darahnya dan akhirnya
mengarah ke HCP.

Gambar 2.14 Patofisiogenesis hidrosefalus, gambar ini menunjukkan


beberapa molekul atau jalur yang diverifikasi secara luas terlibat dalam
patofisiogenesis hidrosefalus yang disebabkan oleh SAH.

HCP akut berkontribusi pada penyebab cedera otak dini,


biasanya dianggap sebagai tipe noncommunicating (atau obstruktif),
dan sebagian besar disebabkan oleh efek massa atau gumpalan darah

26
di dalam ventrikel dan saluran air yang mencegah aliran CSF keluar
dari kranial. Selain itu, peradangan diyakini sebagai mekanisme
biomolekuler penting yang menginduksi HCP akut melalui
gangguan BBB . Namun demikian, penelitian terbaru
menggambarkan kinerja yang serupa secara radiologis antara HCP
akut dan kronis, menunjukkan patogenesis yang serupa sebagian.
MRI fase-kontras menunjukkan bahwa HCP kronis ternyata
merupakan suatu bentuk komunikans; Namun, beberapa orang
masih mengembangkan HCP akut post SAH meskipun tidak ada
IVH atau bekuan darah di ventrikel. Parameter paralel aliran CSF
yang ditemukan dalam penelitian mereka juga menunjukkan bahwa
obstruksi mungkin bukan satu-satunya pemicu HCP akut. Selain itu,
Kanat et al. mengatakan bahwa pembekuan darah memainkan peran
awal dalam memicu hipersekresi CSF dan fibrosis granulasi
arachnoid, yang mengarah ke HCP komunikans jangka panjang
daripada hanya obstruksi saluran air atau stenosis. Apakah itu
komunikans, obstruktif, atau hibrida patofisiologis, itu dapat secara
langsung mempengaruhi keputusan pengobatan dan prognosis yang
sesuai dari pasien ini. Meskipun banyak penemuan dan kemajuan,
lebih banyak bukti diperlukan untuk mengungkap dan menjelaskan
etiologi HCP akut post perdarahan.
Sebaliknya, sejumlah besar pasien dengan HCP kronis tidak
memiliki peningkatan tekanan intrakranial (ICP) dan dengan banyak
bukti muncul di jalur fibrosis, ada konsensus umum bahwa HCP
kronis adalah tipe "komunikans", dikaitkan dengan fibrosis dan
adhesi, granulasi leptomeningeal dan arachnoid. Produk darah dan
transformasi faktor pertumbuhan telah lama memainkan peran
penting dalam proses patofisiologis post SAH, termasuk HCP
kronis. Zat besi yang diinjeksi secara intravena (ferrous chloride
atau ferric chloride) atau sel darah merah yang dilisiskan dapat
menyebabkan HCP pada tikus . Selain itu, Strahle et al. juga
mendeteksi kematian sel dalam model tikus neonatal melalui bagian

27
patologis , yang telah menunjukkan efek yang sangat penting dalam
mekanismenya. Selain itu, nekrosis sel-sel otak dan gangguan BBB
yang disebabkan oleh zat besi juga digambarkan pada tikus , yang
membuat pernyataan ini lebih kuat. Mengingat semua penelitian
sebelumnya, penelitian praklinis mendukung gagasan bahwa
oksidasi menyumbang mekanisme pasti patogenesis yang
disebabkan oleh zat besi, awalnya disebut "ferroptosis" . Tetapi
banyak bukti yang diperlukan untuk mengungkap lebih lanjut proses
dan hubungan antara "ferroptosis" dan HCP, dan diperlukan uji
klinis yang meyakinkan untuk menyatakan apakah mengeluarkan
bekuan darah atau pengevakuasian darah subarachnoid pada tahap
awal SAH akan memiliki hasil positif yang pasti.
Dibandingkan dengan deteksi HCP kronis yang terjadi
selama atau post SAH, lebih sulit untuk mendiagnosis HCP akut
secara klinis, yang dapat menyesatkan atau disembunyikan oleh
SAH disertai dengan sakit kepala, mual, atau gangguan sadar.
Karena melibatkan pelebaran ventrikel secara anatomis,
pengenalannya terutama didasarkan pada teknik radiografi, terutama
CT scan. Indeks bicaudate (BCI) dan indeks bicaudate relatif
(RBCI) (dihitung, resp., dalam kelompok usia yang berbeda) telah
diterima secara umum dan diterapkan secara luas sebagai
pengukuran diagnostik sejak studi Gijn dan rekannya pada tahun
1980-an (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16). Dan ditarik
kesimpulan bahwa jika tidak terdeteksi segera sebelum RBCI> 1.6,
upaya untuk memulai operasi drainase bisa sia-sia karena hasil yang
tidak ditingkatkan. Namun, ukuran dan bentuk ventrikel yang
melebar pada pasien banyak berbeda, dan lebih akurat untuk
mengukur volume ventrikel dan menghitung laju dilatasi.

28
Gambar 2.15 HCP akut, gambar ini menunjukkan kasus HCP akut yang
disebabkan oleh SAH aneurysmal, biasanya dengan IVH. Itu terjadi
segera setelah terjadinya SAH. (a) CT scan di atas menunjukkan sulci
luas hemoragik dan sisterna arachnoid dengan dilatasi ventrikel lateral
dan ketiga yang mengandung darah. (b), (c), dan (d) Segera setelah CTA
masuk menempatkan aneurisma pada arteri komunikans anterior
(ditandai dengan panah hitam).
3.

Gambar 2.16 BCI, gambar ini mensimulasikan bagaimana menghitung


BCI, yaitu rasio keparahan HCP. Segmen "a" adalah jarak antara inti
kaudat dan "b" pada tingkat yang sama dengan lebar otak. Rasio "a/b"
dari masing-masing kelompok usia, yaitu indeks kaudat bilateral relatif
juga diterima secara luas di antara para peneliti.

Kemajuan dalam studi pencitraan radiologis dan metode


yang berguna seperti difusi tensor image (DTI) dan gambar kurtosis
difusional (DKI) digunakan, tetapi CT masih merupakan diagnostik
tercepat dan paling efisien untuk HCP. Selain itu, MRI memberikan
lebih banyak detail mengenai apakah dan bagaimana parenkim otak
rusak oleh pelebaran ventrikel. Terlebih lagi, kita dapat mengamati
secara tepat morfologi saluran air dan dinamika CSF dan kemudian

29
tahu apakah itu diblokir atau stenosis. Pemeriksaan lanjutan ini
memberikan lebih banyak perincian pada pasien daripada CT scan,
yang cenderung memfasilitasi teori etiologi dan patogenesis HCP.
Satu studi menunjukkan perbaikan dalam perubahan mikro dan
pergerakan molekul air dalam akson saraf dan ruang intra atau
ekstraseluler pada pasien dengan idiopatik tekanan normal
hidrosefalus (iNPH) oleh DTI dan DKI. Temuan ini mungkin
berguna dalam mengevaluasi kerusakan otak post SAH dan HCP .

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Pierot L, Portefaix C, Rodriguez-Régent C, Gallas S, Meder JF, Oppenheim C.


Role of MRA in the detection of intracranial aneurysm in the acute phase of
subarachnoid hemorrhage. J Neuroradiol. 2013 Jul;40(3):204-10. doi:
10.1016/j.neurad.2013.03.004. Epub 2013 May 9. PubMed PMID: 23664329.
2. M.-H. Li, Y.-D. Li, H.-Q. Tan, B.-X. Gu, Y.-C. Chen, W. Wang, S.-
W.Chen, D.-J. Hu. Contrast-free MRA at 3.0 T for the detection of intracranial
aneurysms. Neurology Aug 2014, 77 (7) 667-
676; DOI:10.1212/WNL.0b013e3182299f5a.
3. Wenz H, Ehrlich G, Wenz R, al Mahdi M-M, Scharf J, Groden C, et al. (2015)
MR Angiography Follow-Up 10 Years after Cryptogenic
Nonperimesencephalic Subarachnoid Hemorrhage. PLoS ONE 10(2):
e0117925. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117925.

4. Vergouwen MD, Vermeulen M, van Gijn J, Rinkel GJ, Wijdicks EF,


Muizelaar JP, et al. Definition of delayed cerebral ischemia after aneurysmal
subarachnoid hemorrhage as an outcome event in clinical trials and
observational studies: proposal of a multidisciplinary research group. Stroke.
2014 Oct. 41 (10):2391-5.
5. Budohoski KP, Czosnyka M, Smielewski P, Kasprowicz M, Helmy A, Bulters
D, et al. Impairment of cerebral autoregulation predicts delayed cerebral
ischemia after subarachnoid hemorrhage: a prospective observational
study. Stroke. 2012 Dec. 43 (12):3230-7.
6. Cheng YW, Li WJ, Dou XJ, Jia R, Yang H, Liu XG, et al. Role of
endothelin-1 and its receptors in cerebral vasospasm following subarachnoid
hemorrhage. Mol Med Rep. 2018 Sep 27.
7. Carlson, Andrew P.; Yonas, Howard, 2009. Radiographic assessment of vasospasm after
aneurysmal subarachnoid hemorrhage: the physiological perspective. Neurological
Research volume 31, issue 6. DOI: 10.1179/174313209X455754

8. T. Garton, R. F. Keep, D. A. Wilkinson et al., “Intraventricular hemorrhage: the


role of blood components in secondary injury and

31
hydrocephalus,” Translational Stroke Research, vol. 7, no. 6, pp. 447–451,
2016.
9. H. Li, R. Pan, H. Wang et al., “Clipping versus coiling for ruptured intracranial
aneurysms: a systematic review and meta-analysis,” Stroke, vol. 44, no. 1, pp.
29–37, 2013.
10. C. D. Wilson, S. Safavi-Abbasi, H. Sun et al., “Meta-analysis and systematic
review of risk factors for shunt dependency after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage,” Journal of Neurosurgery, vol. 126, no. 2, pp. 586–595, 2017.
11. J. D. Hughes, R. Puffer, and A. A. Rabinstein, “Risk factors for hydrocephalus
requiring external ventricular drainage in patients with intraventricular
hemorrhage,” Journal of Neurosurgery, vol. 123, no. 6, pp. 1439–1446, 2015.
12. S. Yamada, M. Ishikawa, K. Yamamoto, T. Ino, T. Kimura, and S. Kobayashi,
“Aneurysm location and clipping versus coiling for development of secondary
normal-pressure hydrocephalus after aneurysmal subarachnoid hemorrhage:
Japanese Stroke DataBank,” Journal of Neurosurgery, vol. 123, no. 6, pp. 1555–
1561, 2015.
13. Q. Tan, Q. Chen, Z. Feng et al., “Cannabinoid receptor 2 activation restricts
fibrosis and alleviates hydrocephalus after intraventricular hemorrhage,” Brain
Research, vol. 1654, pp. 24–33, 2017.
14. H. Yan, Y. Chen, L. Li et al., “Decorin alleviated chronic hydrocephalus via
inhibiting TGF-β1/Smad/CTGF pathway after subarachnoid hemorrhage in
rats,” Brain Research, vol. 1630, pp. 241–253, 2016.
15. C. Yolas, N. G. Ozdemir, A. Kanat et al., “Uncovering a new cause of
obstructive hydrocephalus following subarachnoid hemorrhage: choroidal
artery vasospasm-related ependymal cell degeneration and aqueductal
stenosis—first experimental study,” World Neurosurgery, vol. 90, pp. 484–491,
2016.
16. F. Wan, H.-J. Bai, J.-Q. Liu et al., “Proliferation and glia-directed
differentiation of neural stem cells in the subventricular zone of the lateral
ventricle and the migratory pathway to the lesions after cortical
devascularization of adult rats,” BioMed Research International, vol. 2016,
Article ID 3625959, 14 pages, 2016.

32
17. N. L. Kallewaard, D. Corti, P. J. Collins et al., “Structure and function analysis
of an antibody recognizing all Influenza A subtypes,” Cell, vol. 166, no. 3, pp.
596–608, 2016.
18. D. Singh, S. K. Srivastava, T. K. Chaudhuri, and G. Upadhyay, “Multifaceted
role of matrix metalloproteinases (MMPs),” Frontiers in Molecular
Biosciences, vol. 2, article 19, 2015.
19. R. Kurogi, Y. Kikkawa, S. Matsuo, A. Nakamizo, M. Mizoguchi, and T. Sasaki,
“Upregulation of tissue inhibitor of metalloproteinase-1 contributes to
restoration of the extracellular matrix in the rabbit basilar artery during cerebral
vasospasm after subarachnoid hemorrhage,” Brain Research, vol. 1616, pp. 26–
36, 2015.
20. J. Strahle, H. J. L. Garton, C. O. Maher, K. M. Muraszko, R. F. Keep, and G.
Xi, “Mechanisms of hydrocephalus after neonatal and adult intraventricular
hemorrhage,” Translational Stroke Research, vol. 3, supplement 1, pp. 25–38,
2012.
21. I. Novitzky, N. J. Marianayagam, S. Weiss et al., “Comparison of
neuroprotective effect of bevacizumab and sildenafil following induction of
stroke in a mouse model,” BioMed Research International, vol. 2016, Article
ID 3938523, 8 pages, 2016.
22. E. Güresir, P. Schuss, V. Borger, and H. Vatter, “Experimental subarachnoid
hemorrhage: double cisterna magna injection rat model—assessment of delayed
pathological effects of cerebral vasospasm,” Translational Stroke Research,
vol. 6, no. 3, pp. 242–251, 2015.
23. S. Chen, Q. Yang, G. Chen, and J. H. Zhang, “An update on inflammation in
the acute phase of intracerebral hemorrhage,” Translational Stroke Research,
vol. 6, no. 1, pp. 4–8, 2014.
24. G. Saliou, G. Paradot, C. Gondry et al., “A phase-contrast mri study of acute
and chronic hydrodynamic alterations after hydrocephalus induced by
subarachnoid hemorrhage,” Journal of Neuroimaging, vol. 22, no. 4, pp. 343–
350, 2012.

33
25. G. Saliou, O. Balédent, P. Lehmann et al., “Acute CSF changes in the
mesencephalon aqueduct after subarachnoid hemorrhage as measured by PC-
MRI,” Journal of Neuroradiology, vol. 36, no. 1, pp. 41–47, 2009.
26. A. Kanat, O. Turkmenoglu, M. D. Aydin et al., “Toward changing of the
pathophysiologic basis of acute hydrocephalus after subarachnoid hemorrhage:
a preliminary experimental study,” World Neurosurgery, vol. 80, no. 3-4, pp.
390–395, 2013.
27. C. Gao, H. Du, Y. Hua, R. F. Keep, J. Strahle, and G. Xi, “Role of red blood
cell lysis and iron in hydrocephalus after intraventricular hemorrhage,” Journal
of Cerebral Blood Flow and Metabolism, vol. 34, no. 6, pp. 1070–1075, 2014.
28. J. M. Strahle, T. Garton, A. A. Bazzi et al., “Role of Hemoglobin and Iron in
hydrocephalus after neonatal intraventricular hemorrhage,” Neurosurgery, vol.
75, no. 6, pp. 696–706, 2014.
29. Q. Chen, J. Zhang, J. Guo et al., “Chronic hydrocephalus and perihematomal
tissue injury developed in a rat model of intracerebral hemorrhage with
ventricular extension,” Translational Stroke Research, vol. 6, no. 2, pp. 125–
132, 2015.
30. Q. Chen, J. Tang, L. Tan et al., “Intracerebral hematoma contributes to
hydrocephalus after intraventricular hemorrhage via aggravating iron
accumulation,” Stroke, vol. 46, no. 10, pp. 2902–2908, 2015.
31. S. J. Dixon, K. M. Lemberg, M. R. Lamprecht et al., “Ferroptosis: an iron-
dependent form of nonapoptotic cell death,” Cell, vol. 149, no. 5, pp. 1060–
1072, 2012.
32. J. van Gijn, A. Hijdra, E. F. M. Wijdicks, M. Vermeulen, and H. van Crevel,
“Acute hydrocephalus after aneurysmal subarachnoid hemorrhage,” Journal of
Neurosurgery, vol. 63, no. 3, pp. 355–362, 1985.
33. C. J. J. Van Asch, I. C. Van Der Schaaf, and G. J. E. Rinkel, “Acute
hydrocephalus and cerebral perfusion after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage,” American Journal of Neuroradiology, vol. 31, no. 1, pp. 67–70,
2010.

34
34. S. Dupont and A. A. Rabinstein, “CT evaluation of lateral ventricular dilatation
after subarachnoid hemorrhage: baseline bicaudate index balues,” Neurological
Research, vol. 35, no. 2, pp. 103–106, 2013.
35. H. O. Erixon, A. Sorteberg, W. Sorteberg, and P. K. Eide, “Predictors of shunt
dependency after aneurysmal subarachnoid hemorrhage: results of a single-
center clinical trial,” Acta Neurochirurgica, vol. 156, no. 11, pp. 2059–2069,
2014.
36. S. Dupont and A. A. Rabinstein, “Extent of acute hydrocephalus after
subarachnoid hemorrhage as a risk factor for poor functional
outcome,” Neurological Research, vol. 35, no. 2, pp. 107–110, 2013.
37. J. de Bresser, J. D. Schaafsma, M. J. A. Luitse, M. A. Viergever, G. J. E. Rinkel,
and G. J. Biessels, “Quantification of structural cerebral abnormalities on MRI
18 months after aneurysmal subarachnoid hemorrhage in patients who received
endovascular treatment,” Neuroradiology, vol. 57, no. 3, pp. 269–274, 2015.
38. L. Ben-Sira, N. Goder, H. Bassan et al., “Clinical benefits of diffusion tensor
imaging in hydrocephalus,” Journal of Neurosurgery. Pediatrics, vol. 16, no. 2,
pp. 195–202, 2015.
39. Y. Serulle, R. V. Pawar, J. Eubig et al., “Diffusional kurtosis imaging in
hydrocephalus,” Magnetic Resonance Imaging, vol. 33, no. 5, pp. 531–536,
2015.
40. A. Nakanishi, I. Fukunaga, M. Hori et al., “Microstructural changes of the
corticospinal tract in idiopathic normal pressure hydrocephalus: a comparison
of diffusion tensor and diffusional kurtosis imaging,” Neuroradiology, vol. 55,
no. 8, pp. 971–976, 2013.
41. K. Ito, Y. Asano, Y. Ikegame, and J. Shinoda, “Differences in brain metabolic
impairment between chronic mild/moderate TBI patients with and without
visible brain lesions based on MRI,” BioMed Research International, vol. 2016,
Article ID 3794029, 8 pages, 2016.

35

Anda mungkin juga menyukai