Anda di halaman 1dari 77

REFERAT

HEPATITIS

Disusun oleh:
Indhah Meilani S G99172091
Made Vidyasti Laksita W G99172106
Sarah Azzahro G99172150
Navaldi Aldin M G99172126
Abdurrahman Azzam G99172021

PEMBIMBING:
dr. Warigit Dri Atmoko, Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan Judul:


HEPATITIS

Oleh:
Indhah Meilani S G99172091
Made Vidyasti Laksita W G99172106
Sarah Azzahro G99172150
Navaldi Aldin M G99172126
Abdurrahman Azzam G99172021

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


..........................

Pembimbing,

dr. Warigit Dri Atmoko, Sp.PD, M.Kes

1
BAB I
PENDAHULUAN

Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati dan dapat disebabkan
oleh beberapa mekanisme, termasuk agen infeksius. Virus hepatitis dapat
disebabkan oleh berbagai macam virus yang berbeda seperti virus hepatitis A, B,
C, D dan E. Penyakit kuning adalah ciri karakteristik penyakit hati dan bukan
hanya karena virus hepatitis, diagnosis yang benar hanya dapat dilakukan dengan
pengujian SERA pada pasien untuk mendeteksi adanya antivirus pada antibodi.
Sebagian besar kasus terkait hepatitis karena transfusi disebabkan oleh hepatitis A
virus (HAV) atau virus hepatitis B (HBV), kedua hanya dikenal hepatitis manusia,
virus ini dikenal pada tahun 1975. Pada waktu itu, Hepatitis C sudah ada, tapi
dikenal dengan sebutan hepatitis non A non B (NANB). Pada tahun 1989 virus
hepatitis non A-B diidentifikasi dan dikloning, kemudian dinamai virus hepatitis
C (HCV) (WHO, 2010).
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.
Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis
virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain
yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat
diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus
yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang
merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat
molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan
kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis
hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat
yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. Selain itu, gejala juga
bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit hati kronik
progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang umum
ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan HDV)
(Dienstag, 2008).
2
Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dair berbagai penyakit hati
di seluruh dunia. Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas
1-2 juta kematian setiap tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinik
anikterik, tidak nyata atau subklinis. Secara global virus hepatitis merupakan
penyebab utama viremia yang persisten. Di Indonesia berdasarkan data yang
berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari
kasuskasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%.
Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi
dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan di bawah standar. Lebih dari
75% anak dari berbagai benua Asia, Afrika, India, menunjukkan sudah memiliki
antibody anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV didapat pada
awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya aniktertik (Sanityoso,
2009).
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari
2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam
kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara
Asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis
merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir
semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif akan terkena infeksi
pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya HbeAg pada ibu sangat
berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HBsAg positif
namun jika HBeAg dalam darah negative, maka daya tularnya menjadi rendah.
Data di Indonesia telah dilaporkan oleh Suparyatmo, pada tahun 1993, bahwa dari
hasil pemantauan pada 66 ibu hamil pengidap hepatitis B, bayi yang mendapat
penularan secara vertical adalah sebanyak 22 bayi (45,9%) (Sanityoso, 2009).
Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia
menunjukkan angka di antara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada
hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati
urutan kedua setelah hepatitis A akut (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga
ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%). Untuk hepatitis D, walaupun infeksi
hepatitis ini erat hubungannya dengan infeksi hepatitis B, di Asia Tenggara dan
3
Cina infeksi hepatitis D tidak biasa dijumpai pada daerah dimana prevalensi
HBsAg sangat tinggi. Laporan dari Indonesia pada tahun 1982 mendapatkan hasil
2,7% (2 orang) anti HDV positif dari 73 karier hepatitis B dari donor darah. Pada
tahun 1985, Suwignyo dkk melaporkan, di Mataram, pada pemeriksaan terhadap
90 karier hepatitis B, terdapat satu anti HDV positif (1,1%) (Sanityoso, 2009).
Hepatitis E (HEV) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Sintang
Kalimatan Barat yang diduga terjadi akibat pencemaran sungai yang digunakan
untuk aktivitas sehari-hari. Didapatkan HEV positif sebanyak 28/82 (34,1%).
Letupan kedua terjadi pada tahun 1991, hasil pemeriksaan menunjukkan HEV
positif 78/92 orang (84,7%). Di daerah lain juga ditemukan adanya HEV seperti di
kabupaten Bawen, Jawa Timur. Pada saat terjadi letupan tahun 1992, ditemukan 2
kasus HEV dari 34 sampel darah. Dari rumah sakit di Jakarta ditemukan 4 kasus
dari 83 sampel (Dienstag, 2008).

4
BAB II
LATAR BELAKANG

Jenis hepatitis A sangat menular dan biasanya ditularkan melalui rute fekal-
oral. Namun juga dapat ditularkan secara parenteral. Penyakit hepatitis biasanya
didapat karena seseorang telah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi,
susu, atau air. Pada tahun 2001, ada lebih dari 10.000 kasus infeksi hepatitis akut
A dilaporkan di AS (Anonim, 2010).
Pada bulan Juni 2019, Pemkab Pacitan menetapkan status KLB pada wabah
hepatitis A. Status tersebut muncul setelah ratusan warga Pacitan, Jawa Timur,
terjangkit penyakit yang menyerang organ hati tersebut. Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung
Sugihantono menduga air minum tercemar jadi sumber penularan penyakit
hepatitis A di Pacitan. Data per 30 Juni 2019, Kepala Dinas Kesehatan Jatim,
Kohar Hari Santoso mengatakan jumlah pasien mencapai 957 orang. Jumlah
tersebut tersebar di sejumlah kecamatan di Pacitan, yakni di Sudimoro dengan 527
orang, Ngadirojo 176 orang, Sukorejo 82 orang, Tulakan 69 orang, Wonokarto 54
orang, Arjosari 33 orang, Bubakan 25 orang, Tegalombo 5 orang dan
Ketrowonojoyo 4 orang (Kemenkes, 2019).
Kementerian Kesehatan sampai saat ini masih melakukan penyelidikan
kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit hepatitis A yang terjadi di Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung, Wiendra Waworuntu mengatakan butuh waktu dua bulan untuk
mencabut status KLB penyakit di daerah tersebut. Artinya, status KLB di Pacitan
ditetapkan sampai dua bulan ke depan. Wiendra menjelaskan bahwa status
KLB akan dicabut dengan salah satu indikatornya sudah tidak ada kasus baru
dalam dua kali masa inkubasi yaitu 2 kali 28 jam, sekitar dua bulan ke depan.
Status KLB itu ditetapkan karena penyakit ini sudah terjadi selama hampir
sebulan terakhir dan sudah menyebabkan 957 orang yang terjangkit hepatitis A
(Kemenkes, 2019).

5
Infeksi Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, dengan tingkat prevalensi
yang berbeda-beda antar negara. Pembawa infeksi kronis merupakan reservoir
utama, di beberapa negara, khususnya di negara-negara belahan timur, 5-15 dari
semua orang membawa virus, meskipun sebagian besar tidak menunjukkan gejala.
Pasien dengan infeksi HIV, 10% adalah pembawa kronis hepatitis B. Di Amerika
Serikat, diperkirakan bahwa 1,5 juta orang terinfeksi hepatitis B, dan diperkirakan
300.000 kasus baru terjadi setiap tahunnya. Sekitar 300 orang ini mati dengan
hepatitis fulminan akut, dan 5-10% dari pasien yang terinfeksi hepatitis B kronis
menjadi pembawa virus. Sekitar 4000 orang mati per tahun karena sirosis hati
terkait hepatitis B dan 1000 karena karsinoma hepatoseluler. Sekitar 50% dari
infeksi di Amerika Serikat menular secara seksual (Wilson, 2001).
Sebelum skrining donor untuk anti-HCV (1992), HCV adalah penyebab
paling umum pasca transfusi hepatitis di seluruh dunia, jumlahnya untuk sekitar
90% dari penyakit ini di Amerika Serikat. Studi yang dilakukan pada 1970
menunjukkan bahwa sekitar 7% dari penerima transfusi menderita hepatitis
NANB, dan bahwa sampai 1% dari darah unit mungkin berisi virus. Pengenalan
skrining anti-HCV telah mengurangi transmisi hingga hampir 100 %. Saat ini di
Amerika Serikat, HCV menyumbang sekitar 20% dari kasus hepatitis virus akut,
kurang dari 5% berhubungan dengan transfusi darah. Prevalensi anti-HCV
tertinggi pada pengguna narkoba suntik dan penderita penyakit darah (hingga
98%), sangat bervariasi pada pasien hemodialisis (<10% -90%), prevalensi rendah
pada heteroseksual dengan mitra seksual multipel, pria homoseksual, pekerja
kesehatan dan kontak keluarga orang terinfeksi HCV (1% -5%), dan terendah di
donor darah sukarela (0,3% -0,5% ). Dalam populasi umum bervariasi (0,2% -
18%). Daerah prevalensi tinggi meliputi negara-negara di belahan timur, Negara-
negara Mediterania dan daerah-daerah tertentu di Afrika dan Eropa Timur (WHO,
2010).

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. HEPATITIS A
1. Definisi
Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A adalah
hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus (Sherlock S dan
Dooley J, 2002). Infeksi virus hepatitis A dapat menyebabkan berbagai
macam komplikasi, diantaranya adalah hepatitis fulminant, autoimun
hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan sindroma pasca hepatitis
(sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A tidak pernah menyebabkan penyakit
hati kronik (Mandal BK et al., 2008; Grendell JH et al., 2003).
Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global.
Prevalensi infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibodi anti-HAV telah
diketahui secara universal dan erat hubungannya dengan standar
sanitasi/kesehatan daerah yang bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A
ditularkan melalui air dan makanan yang tercemar, namun hampir sebagian
besar infeksi HAV didapat melalui transmisi endemik atau sporadik yang
sifatnya tidak begitu dramatis (Noer, 2007).
2. Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di seluruh
dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak terdeteksi
dapat mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis tersebut.
Seroprevalensi dari hepatitis A virus beragam dari beberapa negara di Asia.
Pada negara dengan endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia, Thailand,
Srilanka dan Malaysia, data yang tersedia menunjukan apabila rasio insidensi
mungkin mengalami penurunan pada area perkotaan, dan usia pada saat
infeksi meningkat dari awal masa kanak-kanak menuju ke akhir masa kanak-
kanak, dimana meningkatkan resiko terjadinya wabah hepatitis A (Cainelli F,
2012). Di Amerika Serikat, angka kejadian hepatitis A telah turun sebanyak
95% sejak vaksin hepatitis A pertama kali tersedia pada tahun 1995. Pada
7
tahun 2010, 1.670 kasus hepatitis A akut dilaporkan; Incidence rate sebanyak
0,6/100.000, rasio terendah yang pernah tercatat. Setelah menyesuaikan untuk
infeksi asimtomatik dan kejadian yang tidak dilaporkan, perkiraan jumlah
infeksi baru ialah sekitar 17.000 kasus (CDC, 2013).

Gambar 1. Insidensi hepatitis A di Amerika Serikat


Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah
sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis
akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%. Incidence rate dari hepatitis
per 10.000 populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam
(Sudoyo AW, 2006). Suatu studi di Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV
kadang-kadang ditemukan pada bayi baru lahir, dan ditemukan pada 20%
bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada usia di atas 20 tahun
(Widoyono, 2008). Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis
A terjadi di 2 desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack
rate sebesar 1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun
2009 kasus hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota
Semarang selama tahun 2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun

8
2013, kasus hepatitis di Kota Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas
Kesehatan Kota (DKK) Semarang, ada 47 kasus hepatitis yang diketahui
hingga bulan Agustus tahun 2013 (DINKES, 2011).
Epidemiologi dan transmisi VHA mencakup beberapa faktor sebagai
berikut:
a. Variasi musim dan geografi. Di daerah dengan 4 musim, infeksi VHA
terjadi secarea epidemic musiman yang puncaknya biasanya terjadi pada
akhir musim semi dan awal musim dingin. Penurunan kejadian VHA
akhir-akhir ini telah menunjukan bahwa infeksi VHA terbatas pada
kelompok social tertentu yaitu kelompok turis yang sering bepergian,
sehingga variasi musiman sudah tidak begitu menonjol lagi. Di daerah
tropis puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi
selama musim hujan dan pola epidemic siklik berulang setiap 5-10 tahun
sekali, yang mirip dengan penyakit virus lain (Noer, 2007).
b. Usia Insidens. Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap
infeksi VHA. Insidens tertinggi pada populasi orang sipil, anak sekolah,
tetapi dibanyak negara di Eropa Utara dan Amerika Utara ternyata
sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Di negara berkembang dimana
kondisi hygiene dan sanitasi sangat rendah, paparan universal terhadap
VHA teridentifikasi dengan adanya prevalensi anti-VHA yang sangat
tinggi pada tahun pertama kehidupan dan tentu saja gambaran usia
prevalensi anti-HAV benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi sosio-
ekonomi sebelumnya. Peningkatan prevalensi anti-HAV yang
berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan
kondisi kesehatan di bawah standar (Noer, 2007).
Di negara-negara yang maju secara kontras diketahui bahwa insidens
infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini
dan telah beralih ke usia yang lebih tua, hal ini disebabkan kondisi secara
social dan ekonomi lebih baik, begitu pula hygiene dan sanitasi. Seperti di
negara-negara lain di dunia di Indonesia pun hepatitis A merupakan
masalah kesehatan. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
9
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis
akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8%-68,3 kemudan disusul oleh
hepatitis non A-non B sekitar 15,5%-46,4% dan hepatitis B 6,4%-25,9%
(Noer, 2007).
3. Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus
RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri
ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai
protein terminal VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya.
Panjang genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat
diklasifikasikan dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus (Cook GC
dan Zumla AI, 2009; Syahrurachman et al., 2010).
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27
nanometer dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil,
termasuk golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang
dapat menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop elektron
terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang
merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A (Noer, 2007).
Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini
disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom
sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan.
Replikasi dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati.
Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang
dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu
dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan
perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam.
Stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan
asam empedu memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari
tubuh melalui saluran empedu (Noer, 2007).

10
Gambar 2. Gambar skematik virus hepatitis A
4. Transmisi
HAV ditularkan dari orang ke orang melalui mekanisme fekal-oral. HAV
diekskresi dalam tinja, dan dapat bertahan di lingkungan untuk jangka waktu
lama. Orang bisa tertular apabila mengkonsumsi makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh HAV dari tinja. Kadang-kadang, HAV juga diperoleh
melalui hubungan seksual (anal-oral) dan transfusi darah (WHO, 2010).
Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan minuman yang
terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini
terutama menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang sanitasi dan
higienenya kurang baik. Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari,
dengan rata-rata 28 hari. Penularan berlangsung cepat. Pada KLB di suatu
SMA di Semarang, penularan melalui kantin sekolah diperburuk dengan
sanitasi kantin dan WC yang kurang bersih (Widoyono, 2008).
Penelitian pada sukarelawan memperlihatkan masa inkubasi hepatitis A
akut bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari.
Penularan hepatitis A yang paling dominan adalah melalui fecal-oral.
Umumnya penularan dari orang ke orang. Kemungkinan penularannya
didukung oleh faktor higienis pribadi penderita hepatitis. Penularan hepatitis
A terjadi secara fecal-oral yaitu melalui makanan dan minuman yang
tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk kelompok homoseksual amat mungkin
cara penularan adalah fecal-anal-oral. Ditinjau dari kelompok umur, makin
bertambah usia making tinggi kemungkinan sudah memiliki antibodi secara

11
alamiah terjadi baik setelah terinfeksi dengan bergejala maupun yang
asimtomatik (Noer, 2007).
5. Patogenesis
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana
pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus
menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus
didalam feses dan hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi
terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum
onset ikterus, dan akan menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan
bayi dapat terus mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari
gejala klinis. Berikut ini merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A
(Medscape, 2014).

Gambar 3. Patogenesis hepatitis A


Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada

12
periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan
ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi
(Medscape, 2014).
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang
paling berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi
pada sel hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari
Limfosit-T antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan
juga sitokin, seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting
dalam eliminasi dan supresi replikasi virus. Meningkatnya kadar interferon
didalam serum pasien yang terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas
penurunan jumlah virus yang terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset
gejala klinis. Pemulihan dari hepatitis A berhubungan dengan peningkatan
relatif dari sel CD4+ virus-specific dibandingkan dengan sel CD8+ (Previsani
N dan Lavanchy D, 2000).
Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari
penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit mungkin
berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur
pada individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan
dan berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan (Medscape,
2014).
Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG anti-
HAV dapat terdeteksi. Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV
terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM anti-HAV akan terus
meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai level yang tidak
terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat
dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi IgG akan
bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan imunitas
seumur hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit terjadi.
Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu (Previsani N
dan Lavanchy D, 2000).
13
Gambar 4. Ringkasan temuan gejala klinis, serologi dan virologi pada
hepatitis A akut tanpa komplikasi
6. Manifestasi Klinis
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan
dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau
bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus. Pada anak
manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Periode inkubasi infeksi
virus hepatitis A antara 10-50 hari (rata-rata 25 hari), biasanya diikuti dengan
demam, kurang nafsu makan, mual, nyeri pada kuadran kanan atas perut, dan
dalam waktu beberapa hari kemudian timbul sakit kuning. Urin penderita
biasanya berwarna kuning gelap yang terjadi 1-5 hari sebelum timbulnya
penyakit kuning. Terjadi pembesaran pada organ hati dan terasa empuk.
Banyak orang yang mempunyai bukti serologi infeksi akut hapatitis A tidak
menunjukkan gejala atau hanya sedikit sakit, tanpa ikterus (anicteric hepatitis
A). Infeksi penyakit tergantung pada usia, lebih sering dijumpai pada anak-
anak. Sebagian besar (99%) dari kasus hepatitis A adalah sembuh sendiri
(Wilson, 2001).
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi
asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant
yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala
14
hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra
ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan) (Sudoyo AW,
2006; Mandal BK et al., 2008).
a. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan
jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase
inkubasi ini.2 Pada hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama
14-50 hari, dengan rata-rata 28-30 hari (Grendell JH et al., 2003;
Friedman LS dan Keeffe EB, 2004).
b. Fase Prodromal (pra ikterik)
Fase di antara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya
gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious ditandai dengan
malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan
dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah
umunya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan
dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis
(Sudoyo AW, 2006).
c. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata (Sudoyo AW, 2006).
d. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya
akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis
15
dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang
menjadi fulminant (Sudoyo AW, 2006).
Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia
memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa kasus
dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan
perjalanan yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan
SGPT. Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis
timbul pada sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali
bilirubin serum yang baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged
cholestasis). Hepatitis fulminant merupakan komplikasi yang sangat jarang
kurang dari 1%, kematiannya yang tinggi tergantung dari usia penderita.
7. Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut antara lain adalah :
a. Pemeriksaan Klinis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam,
kelelahan, malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut.
Beberapa individu dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera
menguning), urin berwarna gelap, dan feses berwarna dempul dapat
ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit
beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak),
sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan (NJDH, 2012).
b. Pemeriksaan Serologik
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold
standard untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A. Virus dan
antibody dapat dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau
ELISA. Pemeriksaan diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-
HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat
dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan IgG
16
anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut, maka apabila
seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif tanpa disertai IgM anti-
HAV, mengindikasikan adanya 18 infeksi di masa yang lalu.
Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian
passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis profilaksis
terletak dibawah level dosis deteksi (Sudoyo AW, 2006; Previsani N
dan Lavanchy D, 2000).

Gambar 5. Timeline for Hepatitis A Virus Infection


Rapid Test
Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan
metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis
komersial yang tersedia (Medscape, 2014). Alat diagnosis ini memiliki
3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi, yaitu “G” (HAV IgG Test
Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C” (Control Line) yang
terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M” berwarna ungu
akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM anti-
HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan
metode immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam
mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan
tingkat sensitivitas hingga 97,6% (SD BIOLINE, 2011).

17
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
biokimia dari fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin
urin dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum, alanine
transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST), alkaline
phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total protein, serum
albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes lab
tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk
menegakan diagnosis (Previsani N dan Lavanchy D, 2000).
8. Definisi Kasus
Deskripsi Klinis: Onset yang mendadak dari demam, kelelahan, malaise,
anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut; beberapa individu dapat
mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap,
dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat
beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada
anakanak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang
bertahan selama seminggu sampai sebulan (NJDH, 2012).
Secara umum, tingkat beratnya gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Anak berusia kurang dari 3 tahun jarang terlihat gejala,
namun 80-90% orang dewasa timbul gejala apabila terinfeksi. Hepatitis yang
berulang dan berkepanjangan (relaps) sampai dengan 1 tahun terjadi pada
15% kasus. Hepatitis A fulminan jarang terjadi, orang tua dengan penyakit
hati kronis berada pada resiko yang lebih besar terkena hepatitis A fulminan
(NJDH dan Oregon PHD, 2012).
Secara klinis, hepatitis A tidak dapat dibedakan dengan jenis hepatitis
lainnya, maka dari itu diperlukan definis kasus hepatitis A, berikut ini
merupakan definisi kasus hepatitis A (NJDH dan Oregon PHD, 2012) :
a. Kasus Suspect
 Individu dengan gejala penyakit hepatitis A ATAU peningkatan enzim
hepar dengan etiologi yang tidak diketahui DAN tanpa hubungan

18
epidemiologis yang berhubungan dengan kasus Confirmed hepatitis A
akut.
 Individu dengan titer antibodi IgM anti-HAV positif tanpa gejala
penyakit hepatitis A ATAU tanpa peningkatan kadar ALT dan AST
dalam serum.
b. Probable
 Individu tanpa gejala klinis penyakit hepatitis A, disertai dengan titer
antibodi IgM anti-HAV positif DAN pasien secara epidemiologis
memiliki hubungan dengan kasus Confirmed hepatitis A akut.
(hubungan epidemiologis dapat didefinisikan sebagai tinggal dalam
satu rumah atau kontak seksual, atau mendapat paparan yang sama
dengan yang diduga menjadi sumber infeksi hepatitis A).
c. Confirmed
 Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus
ATAU peningkatan kadar AST dan ALT dalam serum DAN antibodi
IgM anti-HAV positif.
 Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus
ATAU peningkatan AST dan ALT dalam serum DAN memiliki
hubungan epidemiologis dengan kasus Confirmed hepatitis A akut.
(hubungan epidemiologis dapat didefinisikan sebagai satu rumah
tangga atau kontak seksual, atau mendapat paparan yang sama dengan
yang diduga menjadi sumber infeksi hepatitis A).
9. Pencegahan
a. Upaya Preventif Umum
Menurut WHO, ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis A,
antara lain :
 Perbaikan hygiene makanan-minuman. Upaya ini mencakup memasak
air dan makanan sampai mendidih selama minimal 10 menit, mencuci
dan mengupas kulit makanan terutama yang tidak dimasak, serta
meminum air dalam kemasan (kaleng / botol) bila kualitas air minum
non kemasan tidak meyakinkan.
19
 Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada
peran transmisi fekal-oral HAV. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan
yang berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum,
sistem limbah tinja, dan semua aspek higien lingkungan secara
keseluruhan. Mencuci tangan dengan bersih (sesudah defekasi,
sebelum makan, sesudah memegang popok-celana), ini semua sangat
berperan dalam mencegah transmisi VHA.
 Dalam rumah tangga, kebersihan pribadi yang baik, termasuk tangan
sering dan mencuci setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan
makanan, merupakan tindakan penting untuk mengurangi risiko
penularan dari individu yang terinfeksi sebelum dan sesudah penyakit
klinis mereka menjadi apparent.
 Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik
dan benar di dalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik
hygiene personal yang baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat
mengurangi penyebaran dari HAV (Cainelli F, 2012).
 Isolasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak antar individu.
Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HAV. Anak
dilarang datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai
dengan dua minggu sesudah timbul gejala. Namun demikian, upaya
ini sering tidak banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh
sebelum yang bersangkutan jatuh sakit.Hampir semua infeksi HAV
menyebar dengan rute fekal-oral, maka pencegahan dapat dilakukan
dengan hygiene perorangan yang baik, standar kualitas tinggi untuk
persediaan air publik dan pembuangan limbah saniter, serta sanitasi
lingkungan yang baik.
b. Upaya Preventif Khusus
Dalam bukunya, Wilson menambahkan pencegahan untuk hepatitis A,
yaitu dengan cara pemberian vaksin atau imunisasi. Ada dua jenis vaksin,
yaitu :

20
 Imunisasi pasif
Pasif (yaitu, antibodi) profilaksis untuk hepatitis A telah tersedia
selama bertahun-tahun. Serum imun globulin (ISG), dibuat dari
plasma populasi umum, memberi 80-90% perlindungan jika diberikan
sebelum atau selama periode inkubasi penyakit. Dalam beberapa
kasus, infeksi terjadi, namun tidak muncul gejala klinis hepatitis A.
Imunitas secara pasif diperoleh dengan memberikan imunoglobulin
yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau
baru saja mendapat vaksin. Kekebalan ini tidak akan berlangsung
lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Pencegahan ini dapat
digunakan segera pada mereka yang telah terpapar kontak atau
sebelum kontak (pada wisatawan yang ingin pergi ke daerah endemis).
Pemberian dengan menggunakan HB-Ig (Human Normal
Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah 0,02 mL/kg BB,
diberikan dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu setelah
kontak, dan berlaku untuk 2 bulan. United States Public Health
Advisory Committee menganjurkan bagi mereka yang melakukan
kunjungan singkat kurang dari 2 bulan, dosis HB-Ig 0,02 mL/kg BB,
sedangkan bagi mereka yang berpergian lebih lama dari 4 bulan,
diberikan dosis 0,08 mL/kg BB Bagi mereka yang sering berpegian ke
daerah endemis, dianjurkan untuk memeriksakan total anti-HAV. Jika
hasil laboratorium yang didapat positif, tidak perlu lagi pemberian
imunoglobulin, dan tentu saja bila hasil laboratorium negatif
sebaiknya diberikan imunisasi aktif sehingga kekebalan yang akan
didapat tentu akan lebih bertahan lama.
Saat ini, ISG harus diberikan pada orang yang intensif kontak pasien
hepatitis A dan orang yang diketahui telah makan makanan mentah
yang diolah atau ditangani oleh individu yang terinfeksi. Begitu
muncul gejala klinis, tuan rumah sudah memproduksi antibodi. Orang
dari daerah endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke daerah-
daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi dapat menerima ISG
21
sebelum keberangkatan dan pada interval 3-4 bulan asalkan potensial
paparan berat terus berlanjut, tetapi imunisasi aktif adalah lebih baik.
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum
globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama
3 bulan. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif,
immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif
ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik
dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah
endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang memiliki
resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan
setelah terpajan akibat pekerjaan (Sherlock S dan Dooley J, 2002;
Mandal BK et al., 2008). Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi,
contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune
serum globulin prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang
telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku
untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara,
dan institusi lainnya (Sherlock S dan Dooley J, 2002).
 Imunisasi aktif
Untuk hepatitis A, vaksin dilemahkan hidup telah dievaluasi tetapi
telah menunjukkan imunogenisitas dan belum efektif bila diberikan
secara oral. Penggunaan vaksin ini lebih baik daripada pasif
profilaksis bagi mereka yang berkepanjangan atau berulang terpapar
hepatitis A.
Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini adalah vaksin hidup yang
dilemahkan (live attenuated). Perkembangan pembuatan vaksin
tergantung kepada strain virus yang diisolasi yang harus tumbuh
dengan baik dan dapat memberikan antigen yang cukup. Sejak tahun
1993, Report of the committee on Infectious Disease mengizinkan
penggunaan beberapa vaksin yaitu Havrix, Avaxim, dan Vaqta. Di
Indonesia telah dipasarkan sejak tahun 1993 oleh Smith Kline
Beecham, dengan nama dagang HAVRIX, tiap kemasan satu flacon
22
berisi standar dosis satu ml (720 Elisa Unit) dengan pemakaian pada
orang dewasa satu flacon dan pada anak kurang dari 10 tahun cukup
setengah dosis. Jadwal yang dianjurkan adalah sebanyak 3 kali
pemberian yaitu pada usia 0, 1, dan 6 bulan.
Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat
baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke
daerah endemik, untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi
pekerja kesehatan setelah pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat
risiko akibat pekerjaan (Herawati MH, 2011). Vaksinasi HAV
memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar 94-100%
setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah,
dengan efek samping yang minimal (Mandal BK et al., 2008; Grendell
JH et al., 2003).
10. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit hepatitis A, terapi yang
dilakukan hanya untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan. Contohnya,
pemberian parasetamol untuk penurun panas. Terapi harus mendukung dan
bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi yang cukup. Tidak ada bukti
yang baik bahwa pembatasan lemak memiliki efek menguntungkan pada
program penyakit. Telur, susu dan mentega benar-benar dapat membantu
memberikan asupan kalori yang baik. Minuman mengandung alkohol tidak
boleh dikonsumsi selama hepatitis akut karena efek hepatotoksik langsung
dari alkohol (WHO, 2010).
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari
konsumsi alkohol (Grendell JH et al., 2003).
a. Perawatan Suportif
 Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup
istirahat. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus
dihindari.
23
 Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem
dukungan untuk mempertahankan fungsi fisiologi seperti
hemodialisis, transfusi tukar, extracorporeal liver perfusion, dan
charcoal hemoperfusion.
 Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia
berat yang akan menyebabkan dehidrasi sebaiknya diinfus.
Perawatan yang dapat dilakukan di rumah, yaitu :
o Tetap tenang, kurangi aktivitas dan banyak istirahat di rumah
o Minum banyak air putih untuk menghindari dehidrasi
o Hindari minum obat yang dapat melukai hati seperti
asetaminofen dan obat yang mengandung asetaminofen
o Hindari minum minuman beralkohol
o Hindari olahraga yang berat sampai gejala-gejala membaik
b. Dietetik
 Makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak untuk
pasien yang dengan anoreksia dan nausea.
 Selama fase akut diberikan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
Bila diperlukan dilakukan pemberian cairan dan elektrolit
intravena.
 Menghindari obat-obatan yang di metabolisme di hati, konsumsi
alkohol, makan-makanan yang dapat menimbulkan gangguan
pencernaan, seperti makanan yang berlemak.
c. Medikamentosa
 Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A.
 Obat-obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala yang
ditimbulkan, yaitu bila diperlukan diberikan obat-obatan yang
bersifat melindungi hati, antiemetik golongan fenotiazin pada mual
dan muntah yang berat, serta vitamin K pada kasus yang
kecenderungan untuk perdarahan. Pemberian obat-obatan terutama
untuk mengurangi keluhan misalnya tablet antipiretik parasetamol
untuk demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi.
24
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat
hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan
yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius,
dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant,
didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak
timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk
pertimbangan melakukan transplantasi hati (Grendell JH et al., 2003).
11. Prognosis
Prognosis hepatitis A sangat baik, lebih dari 99% dari pasien dengan
hepatitis A infeksi sembuh sendiri. Hanya 0,1% pasien berkembang menjadi
nekrosis hepatik akut fatal (Wilson, 2001).

25
B. HEPATITIS B
1. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan
peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati
atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan
sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara
klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan
(Mustofa & Kurniawaty, 2013).
2. Epidemiologi
Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis,
sirosis, dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh,
sebagian besar kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur
Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease Control and Prevention
(CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang
(terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25%
dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di
rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan (Price &
Wilson, 2012).
Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan
sekitar 400 juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan
prevalensi di Indonesia dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007).
Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang
yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari
semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat (Kumar et al.,
2012).
Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi
di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang:
0,2%-1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel
10.391 orang menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%.
26
Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%),
umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%), selanjutnya
HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7%
dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah
terinfeksi virus Hepatitis B (Kemenkes, 2012).
3. Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter
40-42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari
dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini
adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa
nukleokapsid atau core (Hardjoeno, 2007).
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial
dengan 3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih
secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti
large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen
S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada
asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari
sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HbsAg
ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan (Asdie et al., 2012).
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel
host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus
ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya
kanker hati (Hardjoeno, 2007).

27
Gambar 6. Struktur virus Hepatitis B
4. Transmisi
Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus
membran mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012).
Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari
orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan
serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama
semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja, 2012).
Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara
parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal
(kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik,
penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada
semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada
serum (Juffrie et al., 2010).
5. Patogenesis
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA
VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap
dan semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel
disertai dengan molekul MHC kelas I menyebabkan pengaktifan limfosit T
CD8+ sitotoksik. Selama fase integratif, DNA virus meyatu kedalam genom
pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi
virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko

28
terjadinya karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan
oleh disregulasi pertumbuhan yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan
hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel sitotoksik
CD8+ (Kumar et al., 2012).

Gambar 7. Patogenesis imun pada virus hepatitis B


Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion
dihasilkan setiap hari. Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya
virion pada reseptor di permukaan sel hati. Setelah terjadi fusi membran,
partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan selanjutnya dilepaskan ke
dalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk ke dalam
nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang
kemudian akan terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA
yang pendek sehingga menjadi dua untai DNA yang sama panjang atau
covalently closed circle DNA (cccDNA). Proses selanjutnya adalah
transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa messenger RNA
(mRNA) yaitu mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs (Hardjoeno, 2007).

29
Gambar 8. Siklus replikasi virus Hepatitis B
Semua RNA VHB kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses
translasi menghasilkan protein envelope, core, polimerase, polipeptida X dan
pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs akan
menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah
pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation
yaitu penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse
transcription dimulai, DNA virus dibentuk kembali dari molekul RNA.
Beberapa core yang mengandung genom matang ditransfer kembali ke
nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk
mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi,
sebagian dari protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa
protein envelope virus. Protein core memperoleh envelope lipoprotein yang
mengandung antigen surface L, M, dan S, yang selanjutnya ditransfer ke luar
sel (Hardjoeno, 2007).
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus
melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid.
Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
30
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya
adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi
virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi
mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik
penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel,
terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan
kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan
faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus,
makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat
kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap
epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati.
Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali
fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan
ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC)
kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh
Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).
6. Manifestasi Klinis
Wilson (2001) menjelaskan gambaran klinis hepatitis B sangat bervariasi.
Masa inkubasi dari 45 hari selama 160 hari (rata-rata 10 minggu). Hepatitis B
akut biasanya dimanifestasikan dalam bertahap mulai kelelahan, kehilangan
nafsu makan, mual dan rasa sakit dan kepenuhan di perut kuadran kanan atas.
Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit dan pembengkakan sendi serta
artritis mungkin terjadi. Beberapa pasien terjadi ruam. Dengan meningkatnya
involvenmen hati, ada peningkatan kolestasis dan karenanya, urin berwarna
kuning gelap, dan penyakit kuning. Gejala dapat bertahan selama beberapa
bulan sebelum akhirnya berhenti. Secara umum, gejala yang terkait dengan
hepatitis B akut lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan hepatitis A.
HBV terdapat dalam semua cairan tubuh dari penderitanya, baik dalam
darah, sperma, cairan vagina dan air ludah. Virus ini mudah menular pada
31
orang-orang yang hidup bersama dengan orang yang terinfeksi melalui cairan
tubuh tadi. Secara umum seseorang dapat tertular HBV melalui hubungan
seksual, penggunaan jarum suntuk yang bergantian pada IDU, menggunakan
alat yang terkontaminasi darah dari penderita (pisau cukur, tato, tindik), 90%
berasal dari ibu yang terinfeksi HBV, transfusi darah, serta lewat peralatan
dokter (Anania, 2008).
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung
ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa
adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis,
gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang
lebih berat (Juffrie et al., 2010).
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu :
a. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari.
b. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya
gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan
malaise umum, mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas
atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen
biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum,
kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolestitis.
c. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak
terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala
prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

32
d. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang
menjadi fulminan (Sudoyo et al., 2009).
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut
lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan
hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :
a. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti.
Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg
yang sangat tinggi.
b. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi
virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien
sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
c. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-
sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut
akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada
kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer
HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang
menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al., 2009).
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali
riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning
sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan
33
penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi
hepar (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB
terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler (Hardjoeno,
2007). Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis,
selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan
fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :
a. Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali
nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit,
peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar
albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik
VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10
kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin
meningkat (Hardjoeno, 2007).
b. Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda
infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum
>6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan
selubung permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di
dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier
(Hardjoeno, 2007).
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien
dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena
terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat
suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih
yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama
periode tersebut, anti- HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi
VHB (Asdie et al., 2012).

34
Gambar 9. Penanda serologi Virus Hepatitis B akut
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi,
tetapi tidak terdeteksi di dalam serum (Hardjoeno, 2007). Hal tersebut
dikarenakan HBcAg terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-
HBc dengan cepat terlihat dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2
minggu pertama timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya
kadar anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan (Asdie
et al., 2012).
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat
terjadinya gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya
muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6
bulan. Pemeriksaan anti- HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi
akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda
anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap
dalam jangka waktu lama (Hardjoeno, 2007).
Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang berasal dari
core virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg positif.
Penanda HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya DNA
polimerase virus sehingga lebih menunjukkan terjadinya replikasi
virus dan jika menetap kemungkinan akan menjadi penyakit hati
kronis (Hardjoeno, 2007).

35
Gambar 10. Penanda serologi Virus Hepatitis B kronis
Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas
untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan,
sub klinis atau yang menetap (Handojo, 2004). Beberapa metode yang
digunakan untuk mendiagnosis hepatitis adalah Immuno
chromatography (ICT), ELISA, EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR
tergolong mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang memiliki
peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang
tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan peralatan
kompleks (Rahman et al., 2008).
Diagnostik rapid test merupakan alternatif untuk enzym immunoassays
dan alat untuk skrining skala besar dalam diagnosis infeksi VHB,
khususnya di tempat yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi
dan molekuler secara mudah (Scheiblauer et al., 2010).

Gambar 11. Pemeriksaan HBsAg dengan rapid test


36
Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan rapid
chromatographic secara kualitatif untuk mendeteksi HBsAg pada
serum atau plasma. Pemeriksaan HBsAg Diaspot® (Diaspot
Diagnostics, USA) adalah pemeriksaan kromatografi yang dilakukan
berdasarkan prinsip double antibody-sandwich. Membran dilapisi oleh
anti-HBs pada bagian test line. Selama tes dilakukan, HBsAg pada
spesimen serum atau plasma bereaksi dengan partikel anti-HBs.
Campuran tersebut berpindah ke membran secara kromatografi oleh
mekanisme kapiler yang bereaksi dengan anti-HBs pada membran dan
terbaca di colored line. Adanya colored line menandakan bahwa
hasilnya positif, jika tidak ada colored line menandakan hasil negatif
(Okonko & Udeze, 2011).

Gambar 12. Hasil rapid test HbsAg


Penanda HBsAg telah digunakan sebagai penanda diagnostik kualitatif
untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring dengan kemajuan
perkembangan, terdapat pemeriksaan HBsAg kuantitatif untuk
memonitor replikasi virus (Ahn & Lee, 2011). Pemeriksaan HBsAg
kuantitatif adalah alat klinis yang dibutuhkan untuk akurasi, mudah,
terstandarisasi, dan secara luas tersedia untuk memastikan perbedaan
yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium. Salah satu
pemeriksaan yang telah dikembangkan untuk penilaian HBsAg
kuantitatif adalah pemeriksaan HBsAg Architect (Abbott Diagnostics).

37
Pemeriksaan HBsAg Architect memiliki jarak linear dari 0,05-250
IU/mL (Zacher et al., 2011).
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif dilakukan dengan pemeriksaan HbsAg
Architect berdasarkan metode CMIA. Metode CMIA adalah generasi
terbaru setelah ELISA dengan kemampuan deteksi yang lebih sensitif
(Primadharsini & Wibawa, 2013).

Gambar 13. Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect


Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect memiliki dua langkah dalam
pemeriksaan. Langkah pertama, sampel dan mikropartikel
paragmanetik dilapisi anti-HBs dikombinasikan. Keberadaan HBsAg
pada sampel akan berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-
HBs. Proses selanjutnya adalah washing, kemudian acridinium-labeled
anti-HBs conjugate ditambahkan pada langkah kedua. Setelah proses
washing kembali, larutan pre-trigger dan trigger ditambahkan ke
dalam campuran Larutan pretrigger mengandung 1, 32% hydrogen
peroksida, sedangkan larutan trigger mengandung 0,35 mol/L natrium
hidroksida. Hasil dari reaksi chemiluminescent diukur sebagai Relative
Unit Light (RLU) dan dideteksi dengan system optic Architect (Abbott
Laboratories, 2008).
Interpretasi hasil pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect adalah
nonreaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi <0,05 IU/mL dan
reaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi >0,05 IU/mL. Sampel
nonreaktif menandakan negatif untuk HBsAg dan tidak membutuhkan
tes selanjutnya (Abbott Laboratories, 2008).

38
c. Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara
laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum
atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk
mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis, dan monitoring
efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaannya antara lain :
1) Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu
paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur
kerja dan limbahnya.
2) Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop
karena sistem deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.
3) Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan
untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari
beberapa target molekul asam nukleat.
4) Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah
dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA
VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi
secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup (Hardjoeno,
2007).
Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar
VHB DNA sampai dengan 102 kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan
ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena ketidakpastian arti
perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang rendah. Berdasarkan
pengetahuan dan definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik,
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106 kopi/mL sudah
cukup untuk evaluasi awal pasien dengan Hepatitis B kronik. Untuk
evaluasi keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan standar
batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih rendah dan pada saat ini
39
adalah yang dapat mendeteksi virus sampai dengan <104 kopi/mL
(Setiawan et al., 2006).
8. Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut.
Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut.
Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala
hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang
paling ditakuti karena sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen
kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus
hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau
hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis
fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi
atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah transplantasi
hati (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh
jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan
mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel
hati akan mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami
penurunan bahkan kehilangan fungsinya (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
9. Pencegahan
Beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah hepatitis
B antara lain :
 Pemberian vaksinasi Hepatitis B adalah perlindungan terbaik.
Pemberian vaksinasi secar rutin direkomendasikan untuk semua orang
usia 0-18 tahun, bagi orang-orang dari segala usia yang berada dalam
kelompok berisiko terinfeksi HBV, dan untuk orang yang
menginginkan perlindungan dari hepatitis B.
 Setiap wanita hamil, dia harus dites untuk hepatitis B, bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi HBV harus diberikan HBIG (hepatitis B
immune globulin) dan vaksin dalam waktu 12 jam lahir.
 Penggunaan kondom lateks dalam berhubungan seksual.
40
 Jangan berbagi peralatan pribadi yang mungkin terkena darah
penderita, seperti pisau cukur, sikat gigi, dan handuk.
 Pertimbangkan risiko jika anda akan membuat tato atau menindik
tubuh. Anda mungkin terinfeksi jika alat atau pewarna tersebut
terkontaminasi virus hepatitis B.
 Jangan mendonorkan darah, organ, atau jaringan jika anda positif
memiliki HBV.
 Jangan menggunakan narkoba suntik.
(Anonim, 2007)
10. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan
aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik.
Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan
pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari
(Setiawan et al., 2006).
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat
mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau
mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati,
menghilangkan DNA VHB (dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada
pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan
setelah akhir pengobatan (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang
dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis
dan/atau HCC (Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya
memperpanjang usia (Setiawan et al., 2006). Terapi antiviral yang telah
terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah Interferon, Lamivudin,
Adefovir dipofoxil dan Entecavir (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Menurut Wilson (2001), hepatitis B kronis adalah penyakit yang bisa
diobati. Interferon alfa, 5-10juta U tiga kali seminggu selama 4-6 bulan,
memberikan manfaat jangka panjang dalam minoritas (sampai 33%) dari
41
pasien dengan infeksi kronis hepatitis B. Pemberian Lamivudine (3TC) juga
bisa diberikan. Lamivudine merupakan antivirus melalui efek penghambatan
transkripsi selama siklus replikasi HBV. Pemberian lamivudine 100mg/hari
selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA.
11. Prognosis
Virus hepatitis B menyebabkan hepatitis akut dengan pemulihan dan
hilangnya virus, hepatitis kronis nonprogresif, penyakit kronis progresif yang
berakhir dengan sirosis, hepatitis fulminan dengan nekrosis hati masif,
keadaan pembawa asimtomatik, dengan atau tanpa penyakit subklinis
progresif. Virus ini juga berperan penting dalam terjadinya karsinoma
hepatoselular (Kumat et al, 2012). Setiap tahun, lebih dari 600.000 orang
meninggal diakibatkan penyakit hati kronik oleh VHB belanjut ke sirosis,
kegagalan hati dan hepatocellular carcinoma (Chevaliez et al., 2014).
Sembilan puluh persen dari kasus-kasus hepatitis akut B menyelesaikan
dalam waktu 6 bulan, 0,1% adalah fatal karena nekrosis hati akut, dan
sampai 10% berkembang pada hepatitis kronis. Dari jumlah tersebut, ≥ 10%
akan mengembangkan sirosis, kanker hati, atau keduanya (Wilson, 2001).

Gambar 14. Skema perjalanan VHB

42
C. HEPATITIS C
1. Definisi
Virus hepatitis C adalah nama yang telah diberikan pada salah satu jenis
virus hepatitis dari virus hepatitis lainnya (Hepatitis A, B, D, G, tt). Virus ini
ditemukan pada tahun 1989, dan menjadi penyebab kasus hepatitis NANB
pasca transfusi. Pada tahun 1970 dikenal kasus kasus hepatitis pasca transfusi.
Virus hepatitis C merupakan virus hepatitis dengan masa inkubasi yang lama
dan sering ditandai dengan gejala subklinis yang ringan, tetapi dengan tingkat
kronisitas dan progresifitas kearah sirosis (Kurstak, 1993).
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis
C, virus ini merupakan jenis virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Terdapat
6 genotip HCV dan lebih dari 50 subtipe. Respons limfosit T yang menurun
dan kecenderungan virus untuk bernutasi nampaknya menyebabkan tingginya
angka infeksi kronis (PPHI, 2003).
Kira-kira sepertiga kanker hati disebabkan oleh hepatitis C. Hepatitis C
yang menjadi kanker hati terus meningkat di seluruh dunia karena banyak
orang terinfeksi virus hepatitis C tiap tahunnya. Saat hati menjadi rusak,
maka hati tersebut akan memperbaiki sendiri dengan membentuk
jaringan parut, jaringan parut ini disebut fibrosis. Semakin banyaknya
jaringan parut menunjukan semakin parahnya penyakit, sehingga hati
menjadi sirosis (Kurstak, 1993).
2. Epidemiologi
Sejak berhasil ditemukannya virus hepatitis C dengan teknik cloning
molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah
terjadi dalam pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosis dan terapi
infeksi virus hepatitis C. Dahulu kita hanya mengenal infeksi ini sebagai
infeksi virus hepatitis non-A, non-B, namun saat ini telah diketahui bahwa
infeksi yang hanya memiliki tanda-tanda subklinis ringan ini ternyata
memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas ke arah sirosis yang tinggi
(Noer, 2007).

43
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global.
Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik
oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah 2,9%. Menurut data WHO
angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan
seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di Afrika.
Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sektiar 2,2% dengan jumlah penderita
sekitar 32,3 juta orang (Noer, 2007).
Di Indonesia, prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat
bervariasi, mengingat geografis yang sangat luas. Selain itu, terdapat juga
variasi hasil beberapa peneliti sehubungan dengan berbedanya kelompok
yang diteliti. Hasil pemeriksaan pendahuluan anti-HCV pada donor darah di
beberapa tempat di Indonesia menujukkan bahwa prevalensinya adalah di
antara 3,1%-4%. Dengan bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk
penggunaan reagen anti-HCV generasi kedua dan juga bantuan unit PUTD
Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar menunjukkan
prevalensi yang lebih kecil 0,5%-3,37% dibandingkan data sebelumnya
(Noer, 2007).
Faktor-faktor yang terkait erat dengan terjadinya infeksi HCV adalah
penggunaan narkoba suntik (injection drug user, IDU) dan menerima tranfusi
darah sebelum tahun 1990. Tingkat ekonomi yang rendah, perilaku seksual
resiko tinggi, tingkat edukasi yang rendah (kurang dari 12 tahun), bercerai
atau hidup terpisah dengan pasangan resmi. Transmisi dari ibu ke anak bisa
saja terjadi tetapi lebih sering terkait dengan adanya ko-infeksi bersama HIV-
1 yang alasannya belum jelas. Transmisi nosokomial berupa penularan dari
pasien ke pasientelah dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani
kolonoskopi, hemodialisa dan selama pembedahan. Akan tetapi tidak terdapat
bukti tranmisi fekal-oral (Sanityoso, 2009; Foster GR dan Goldin RD; 2005).
Menurut WHO, pada tahun 1999 kira-kira 170 juta orang terinfeksi
hepatitis C atau 3% dari populasi dunia dan akan berkembang menjadi
sirosis hepar dan kanker hati. Secara keseluruhan ada 130 negara dimana
yang melaporkan terinfeksi HCV. Data di Indonesia, pravelensi HCV
44
berkisar antara 0,5 – 3,4% menunjukkan sekitar 1 – 7 juta penduduk
Indonesia mengidap infeksi virus C. Di Asia, infeksi HCV diperkirakan
bervariasi dari 0,3 % di Selandia Baru sampai 4% di Kamboja. Data di
daerah Pasifik diperkirakan sekitar 4,9%. Di Timur Tengah angka yang
pernah dilaporkan adalah 12% pada beberapa pusat penelitian.
Transmisi HCV terjadi terutama melalui paparan darah yang tercemar.
Paparan ini biasanya terjadi pada pengguna narkoba suntik, transfusi
darah (sebelum 1992), pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi,
praktek medis yang tak aman, paparan okupasional terhadap darah yang
tercemar, kelahiran dari ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan
orang yang terinfeksi, perilaku seksual resiko tinggi dan kemungkinan
penggunaan kokain intranasal, di Amerika lebih dari 60% dari penderita
hepatitis C yang baru disebabkan oleh pemakaian obat obatan intravena
(Bals M, 2006).
Virus ini baru-baru ini ditemukan sebagai penyebab utama hepatitis
non A dan non B yang diperoleh secara parenteral terutama melalui transfusi
darah (Sacher RA dan Mc Pherson, 2000).
3. Etiologi
Hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang merupakan
virus RNA dengan amplop, diklasifikasikan ke dalam genus berbeda
(Hepacavirus) dari famili Flaviviridae. Penyakit hepatitis C merupakan
peradangan pada organ liver (hati) yang disebabkan oleh penyebaran virus
hepatitis C. Virus hepatitis C yang masuk ke organ hati melalui aliran darah
ini kemudian akan merusak sistem kerja organ hati (liver) dan menginfeksi
jaringan sel-sel disekitar organ hati. Virus ini dapat mengakibatkan infeksi
seumur hidup, sirosis hati, kanker hati, kegagalan hati, dan kematian.
Virus hepatitis C adalah virus RNA dari famili Flavivirus. Ia memiliki
genom yang sangat sederhana yang terdiri dari hanya tiga dan lima gen
struktural nonstruktural. Setidaknya ada enam genotipe utama, dua di
antaranya telah subtipe (1a dan b, 2a dan b). Genotipe tersebut memiliki

45
distribusi geografis yang sangat berbeda dan mungkin terkait dengan penyakit
yang berbeda severities serta respon terhadap terapi (Wilson, 2001).
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal
berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm,
yang dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein
virus (hal ini dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif).
Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe
dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia, misalnya genotipe 6
banyak ditemukan di Asia Tenggara (Lauer GM dan Walker BD, 2001).

Gambar 15. Hepatitis C Virus


Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar
residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiiri atas protein
struktural. Protein selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi dan sisa
dua pertiga dari poliprotein terdiri atas protein nonstruktural (dinamakan
NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5 B) yang terlibat dalam replikasi HCV.
Replikasi HCV sangat melimpah dan diperkirakan seorang penderita dapat
menghasilkan 10 trilion virion perhari (Sanityoso, 2009; Lauer GM dan
Walker BD, 2001).
Penyebab penyakit hepatitis C adalah karena infeksi dari bawaan darah.
Penyakit hepatitis C ini ditularkan lewat kontak darah dengan darah, disaat
darah mengalami suatu infeksi lewat aliran darah dari orang lain. Pengguna
narkoba suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain
secara bergantian berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. Hal ini karena
46
kedua virus menular dengan mudah melalui hubungan darah ke darah. HCV
dapat menyebar dari darah orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang
lain melalui cara yang berikut :
 Memakai alat suntik (jarum suntik, semprit, dapur, kapas, air) secara
bergantian.
 Kecelakaan ketusuk jarum.
 Luka terbuka atau selaput mukosa (misalnya di dalam mulut, vagina,
atau dubur).
 Produk darah atau transfusi darah yang tidak diskrining.
Berbeda dengan HIV, umumnya dianggap bahwa HCV tidak dapat
menular melalui air mani atau cairan vagina kecuali mengandung darah. Ini
berarti risiko terinfeksi HCV melalui hubungan seks adalah rendah. Namun
masih dapat terjadi, terutama bila berada infeksi menular seksual seperti
herpes atau hubungan seks dilakukan dengan cara yang meningkatkan risiko
luka pada selaput mukosa atau hubungan darah ke darah, misalnya akibat
kekerasan.
Perempuan dengan HCV mempunyai risiko di bawah 6 persen menularkan
virusnya pada bayinya waktu hamil atau saat melahirkan, walaupun risiko ini
meningkat bila viral load HCV-nya tinggi. Kemungkinan HCV tidak dapat
menular melalui menyusui (Spiritia, 2005).
4. Transmisi
Penularan dapa terjadi melalui paparan perkutan terhadap darah yeng
terkontaminasi. Jarum suntik yang terkontaminasi adalah sarana penyebaran
yang paling penting, khususnya di kalangan pengguna narkoba suntikan.
Transmisi melalui kontak rumah tangga dan aktivitas seksual tampaknya
rendah. Transmisi saat lahir dari ibu ke anak juga relatif jarang (WHO, 2010).
Penularan Hepatitis C biasanya melalui kontak langsung dengan darah
atau produknya dan jarum atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi. Dalam
kegiatan sehari-hari, banyak resiko terinfeksi Hepatitis C seperti berdarah
karena terpotong atau mimisan, atau darah menstruasi. Perlengkapan pribadi
yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan virus Hepatitis C
47
(seperti sikat gigi, alat cukur atau alat manicure). Resiko terinfeksi Hepatitis
C melalui hubungan seksual lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih
dari satu pasangan (Anonim, 2009).
Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang terinfeksi Hepatitis C ke
bayi yang baru lahir atau anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika
sang ibu juga penderita HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat
lebih memungkinkan. Menyusui tidak menularkan Hepatitis C.
Orang yang memiliki resiko tinggi penularan adalah :
 Darah dan cairan tubuh.
 Penularan masa perinatal sangat kecil.
 Melalui jarum suntik.
 Transplantasi organ
 Kecelakaan kerja (petugas kesehatan)
 Hubungan seks dapat menularkan tetapi sangat kecil
 Pengguna narkoba suntik.
 Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang menderita hepatitis C.
 Pasien Hemodialisa.
 Orang yang menggunakan tattoo atau menindik tubuh dirumah dengan
alat yang tidak steril.
(Kemenkes, 2014)
Menurut booklet mengenai Hepatitis C yang diterbitkan Roche Indonesia,
Virus Hepatitis C ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi,
misalnya pada :
 Pengguna narkoba suntik.
 Pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi.
 Praktek medis yang tak aman.
 Paparan okupasional terhadap darah yang tercemar.
 Kelahiran dari ibu yang terinfeksi.
 Hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi/perilaku seksual
resiko tinggi.

48
 Kemungkinan penggunaan kokain intranasal.
 Penggunaan instrumen medis yang terkontaminasi.
 Penggunaan jarum suntik yang tidak steril atau digunakan secara
bergantian.
 Tindik (telinga, hidung, dan bagian tubuh lain), tato, dan cukur dengan
alat yang tidak steril.
 Penerima transfusi atau produk darah dengan sumber yang belum
diskrining.
 Aktivitas seksual yang tidak terproteksi atau penularan pada bayi dari
ibu yang terinfeksi, walaupun kasusnya sangat jarang.
(Bals, 2006)
Hepatitis C tidak ditularkan melalui Air Susu Ibu (ASI), makanan atau
minuman, atau dengan kontak fisik seperti memeluk, mencium, atau berbagi
makanan dan minuman dengan orang yang terinfeksi.

Gambar 16. Faktor Risiko Hepatitis C


Berdasarkan diagram tersebut, penggunaan narkoba suntik menjadi faktor
risiko yang paling banyak menyebabkan Hepatitis C, disusul dengan
hubungan seksual, transfusi darah, dan lain-lain.
5. Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh HCV masih belum
jelas karena terbatasnya kultur sel untuk HCV. Namun beberapa bukti

49
menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan
sel-sel hati (Lauer GM dan Walker BD, 2001).
Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi pada
mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis (Lauer GM dan Walker BD, 2001).
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit dan
mengikat suatu reseptor permukaan spesifik (reseptor ini belum diidentifikasi
secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein
yang memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus yaitu protein
E2 nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus dapat
membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama
proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak
lagi hepatosit yang terinfeksi (Martin A dan Lemon SM, 2006).
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang
dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan
aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya
dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi menjadi aktif
menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen
sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif menghasilkan sitokin pro-
inflamasi. Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat menimbulkan
kerusakan hati lanjut dan sirosis hati (Martin A dan Lemon SM, 2006). Sama
seperti virus hepatitis lainnya, HCV dapat menyebabkan suatu hepatitis akut
yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Gejala hanya
dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa harus tergantung pada
positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang
biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibodi anti-HCV
(serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi hepatitis C akut, 75-80%
akan berkembang menjadi infeksi kronik (Dienstag JL dan Isselbacher KJ,
2008).
50
Gambar 17. Patogenesis Hepatitis C
Setiap proses peradangan akan menimbulkan gejala. Berat ringannya
gejala yang timbul tergantung dari ganasnya penyebab penyakit (patogenitas)
dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri. Secara umum, terdapat empat
stadium pada penyakit hepatitis yang timbul akibat proses peradangan hati
akut oleh virus, yaitu masa tunas, fase prodromal, fase kuning, dan fase
penyembuhan.
a. Masa Tunas
Yaitu sejak masuknya virus pertama kali ke dalam tubuh sampai
menimbulkan gejala klinis. Masa tunas dari masing-masing penyebab
virus hepatitis tidaklah sama. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi
pada stadium ini.
b. Fase Prodromal (fase preikterik)
Fase ini berlangsung beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada
penderita seperti badan terasa lemas, cepat lelah, lesu, tidak nafsu
makan (anoreksia), mual, muntah, perasaan tidak enak dan nyeri
diperut, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada

51
persendian (arthralgia), pegal-pegal diseluruh badan terutama dibagian
pinggang dan bahu (mialgia), dan diare. Kadang-kadang penderita
seperti akan pilek dan batuk, dengan atau tanpa disertai sakit
tenggorokan. Karena keluhan di atas seperti sakit flu, keadaan di atas
disebut pula sindroma flu.
c. Fase kuning (fase ikterik)
Biasanya setelah suhu badan menurun, warna urine penderita berubah
menjadi kuning pekat seperti air teh. Bagian putih dari bola mata
(sklera), selaput lendir langit-langit mulut, dan kulit berubah menjadi
kekuningan yang disebut juga ikterik. Bila terjadi hambatan aliran
empedu yang masuk kedalam usus halus, maka tinja akan berwarna
pucat seperti dempul, yang disebut faeces acholis.
Warna kuning atau ikterik akan timbul bila kadar bilirubin dalam
serum melebihi 2 mg/dl. Pada saat ini penderita baru menyadari bahwa
ia menderita sakit kuning atau hepatitis. Selama minggu pertama dari
fase ikterik, warna kuningnya akan terus meningkat, selanjutnya
menetap. Setelah 7-10 hari, secara perlahan-lahan warna kuning pada
mata dan kulit akan berkurang. Pada saat ini, keluhan yang ada
umumnya mulai berkurang dan penderita merasa lebih enak. Fase
ikterik ini berlangsung sekitar 2-3 minggu. Pada usia lebih lanjut
sering terjadi gejala hambatan aliran empedu (kolestasis) yang lebih
berat sehingga menimbulkan warna kuning yang lebih hebat dan
berlangsung lebih lama.
d. Fase penyembuhan (konvaselen)
Ditandai dengan keluhan yang ada dan warna kuning mulai
menghilang. Penderita merasa lebih segar walaupun masih mudah
lelah. Umumnya penyembuhan sempurna secara klinis dan laboratoris
memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelah timbulnya penyakit.
Tidak semua penyakit hepatitis mempunyai gejala klasik seperti di atas.
Pada sebagian orang infeksi dapat terjadi dengan gejala yang lebih ringan
(subklinis) atau tanpa memberikan gejala sama sekali (asimtomatik). Bisa jadi
52
ada penderita hepatitis yang tidak terlihat kuning (anikterik). Namun, ada
juga yang penyakitnya menjadi berat dan berakhir dengan kematian yang
dinamakan hepatitis fulminan.
Hepatitis fulminan ditandai dengan warna kuning atau ikterus yang
bertambah berat, suhu tubuh meningkat, terjadi perdarahan akibat
menurunnya faktor pembekuan darah, timbulnya tanda-tanda ensefalopati
berupa mengantuk, linglung, tidak mampu mengerjakan pekerjaan sederhana,
dan akhirnya kesadaran menurun sampai menjadi koma. Kadar bilirubin dan
transaminase (SGOT, SGPT) serum sangat tinggi, juga terjadi peningkatan
sel darah putih (leukositosis). Keadaan ini menandakan adanya kematian
(nekrosis) sel parenkim hati yang luas.
6. Manifestasi Klinis
Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala
minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukan tanda-tanda hepatitis
akut 7-8 minggu setelah terjadi paparan. Dari beberapa laporan yang berhasil
mengidentifikasi pasien dengan infeksi hepatitis C akut, didapatkan adanya
gejala malaise, mual-mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat
infeksi virus-virus hepatitis lainnya. ALT meninggi sampai beberapa kali di
atas batas normal tetapi umunya tidak sampai lebih dari 1000 U/L.
Umumnya, berdasarkan gejala klinis dan laboratorik saja tidak dapat
dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A, B maupun C (Rino A Gani,
2006).
Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu
penyakit hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain.
Akan tetapi, gejala-gejalanya hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus
sehingga diagnosisnya harus tergantung pada positifnya hasil pemeriksaan
anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA yang biasanya terdeteksi lebih awal
sebelum munculnya antibodi anti-HCV (serokonversi).
Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2-
26 minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan
jaundice dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati
53
(SGPT > 5-15 kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama
masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga
munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak
nafsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua
individu dengan hepatitis C akut, 75-80% akan berkembang menjadi infeksi
kronis.
Infeksi HCV dapat dibagi dalam dua fase, yaitu :
a. Infeksi HCV akut
HCV menginfeksi hepatosit (sel hati). Masa inkubasi hepatitis C akut
rata-rata 6-10 minggu. Kebanyakan orang (80%) yang menderita
hepatitis C akut tidak memiliki gejala. Awal penyakit biasanya
berbahaya, dengan anoreksia, mual dan muntah, demam dan
kelelahan, berlanjut untuk menjadi penyakit kuning sekitar 25% dari
pasien, lebih jarang daripada hepatitis B. Tingkat kegagalan hati
fulminan terkait dengan infeksi HCV adalah sangat jarang. Mungkin
sebanyak 70%-90% dari orang yang terinfeksi, gagal untuk membunuh
virus selama fase akut dan akan berlanjut menjadi penyakit kronis dan
menjadi carrier.
b. Infeksi HCV kronis
Hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai penyakit berlanjut tanpa
perbaikan selama setidaknya enam bulan. Kebanyakan orang (60% -
80%) yang telah kronis hepatitis C tidak memiliki gejala. Infeksi HCV
kronis berkembang pada 75%-85% dari orang dengan persisten atau
berfluktuasi ALT kronis. Pada fitur epidemiologi antara pasien dengan
infeksi akut telah ditemukan menunjukkan peningkatan penyakit hati
aktif, berkembang dalam 60%-70% dari orang yang terinfeksi telah
ditemukan sudah menjadi penyakit hati kronis.
Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler (HCC). Sirosis terkait HCV menyebabkan kegagalan hati
dan kematian pada sekitar 20%-25% kasus sirosis. Sirosis terkait HCV
sekarang merupakan sebab utama untuk transplantasi hati. 1%-5%
54
orang dengan hepatitis C kronis berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Pengembangan HCC jarang terjadi pada pasien dengan
hepatitis C kronis yang tidak memiliki sirosis (WHO, 2010).
Periode masa penularan dari satu minggu atau lebih sebelum timbulnya
gejala pertama dan mungkin bertahan pada sebagian besar orang selamanya.
Berdasarkan studi infektifitas di simpanse, titer HCV dalam darah tampaknya
relatif rendah. Puncak dalam konsentrasi virus tampak berkorelasi dengan
puncak aktivitas ALT. Tingkat kekebalan setelah infeksi tidak diketahui.
Infeksi berulang dengan HCV telah ditunjukkan dalam sebuah model
eksperimental simpanse. Infeksi HCV tidak menyebabkan kegagalan hati
fulminan (mendadak, cepat), namun, menjadi penyakit hati kronis seperti
infeksi HBV kronis, dan dapat memicu gagal hati (WHO, 2010).
7. Diagnosis
Tidak seperti pada hepatitis B, pemeriksaan konvesional untuk mendeteksi
keberadaan antigen-antigen HCV tidaklah tersedia, sehingga pemeriksaan
untuk mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk
memeriksa antibodi dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus. Uji
serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi
resiko infeksi terkait transfusi. Sekali seseorang pernah mengalami
serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun
demikian, kadar antibodi anti-HCV nya akan menurun secara gradual sejalan
dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi
spontan.
Beberapa jenis pemeriksaan utama yang biasa dilakukan untuk
mendiagnosa dan memantau infeksi hepatitis C yaitu uji ELISA anti-HCV,
HCV kualitatif, tes genotif, dan tes kesehatan hati.
Telah digunakan suatu pemeriksaan imun enzim untuk mendeteksi
antibodi terhadap HCV (anti-HCV), namun pemeriksaan ini banyak
menghasilkan negatif-palsu, sehingga digunakan juga pemeriksaan
rekombinan suplemental (recombinant assay, RIBA). Pemeriksaan ini
diperkenalkan pada bulan Mei 1990 sebagai suatu tes donor darah, dan telah
55
menurunkan secara bermakna angka HCV yang berkaitan dengan transfusi.
Setelah virus hepatitis C dapat diklon, maka selayaknya vaksin untuk
hepatitis ini menjadi tujuan praktis (Lindseth GN, 2006).
Biopsi hati (dimana sedikit hati diambil dan diperiksa dengan mikroskop)
menunjukkan jenis dan parahnya kerusakan hati dan mungkin membantu
dalam merencanakan perawatan (Mansjoer A, 2007).
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Diagnosis Hepatitis C tergantung pada demonstrasi anti-HCV yang
terdeteksi oleh EIA. Tes belum tersedia untuk membedakan akut dari infeksi
HCV kronis. Positif anti-HCV IgM tingkat ditemukan dalam 50-93% pasien
dengan hepatitis C akut dan 50-70% dari pasien dengan hepatitis C kronis.
Oleh karena itu, anti-HCV IgM tidak dapat digunakan sebagai penanda dapat
diandalkan infeksi HCV akut (WHO, 2010).
Teknik amplifikasi menggunakan reaksi PCR (polymerase chain reaction)
atau TMA (transcription-mediated amplification) telah dikembangkan
sebagai uji kualitatif untuk mendeteksi RNA HCV, sedangkan kedua
amplifikasi target (PCR) dan sinyal teknik amplifikasi (branched DNA) dapat
digunakan untuk mengukur tingkat RNA HCV. Karena variabilitas assay,
jaminan kualitas yang ketat dan kontrol harus diperkenalkan di laboratorium
klinik dalam melakukan tes ini, dan pengujian kemampuan seyogyanya
direkomendasikan. Untuk tujuan ini, Standar Internasional Pertama untuk
NAT (Nucleic Acid Amplification Technology) tes HCV RNA telah
dianjurkan untuk digunakan (WHO, 2010).
Sebuah uji EIA untuk deteksi inti-antigen HCV telah dibentuk dan terlihat
tidak cocok untuk screening donor darah skala besar, sementara
penggunaannya dalam pemantauan klinis masih harus ditentukan. Anak-anak
tidak harus diuji untuk anti-HCV sebelum usia 12 bulan sebagai anti-HCV
dari ibu bisa berlangsung sampai usia ini. Diagnosa bergantung pada
penentuan tingkat ALT dan keberadaan HCV RNA dalam darah bayi setelah
bulan kedua kehidupan (WHO, 2010).

56
a. Pemeriksaan anti-HCV
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme
immunoassay yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay
generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein
core dan protein-protein struktural yang dapat mendeteksi keberadaan
antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih
tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa
memandang respons terapi yang dialami, sehingga pemeriksaan anti-
HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan
sebelumnya.
Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA)
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay
yang positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya
direkomendasikan untuk setting populasi low-risk seperti pada bank
darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang
sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka
konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.
b. Tes darah
 Antibodi terhadap virus C (menunjukkan bahwa orang tersebut
telah terekspos pada virus ini sebelumnya, tetapi tidak
menunjukkan apakah virus ini masih ada di dalam darah – bayi
yang dilahirkan oleh wanita yang pernah menderita hepatitis C
dapat mempunyai antibodi dari ibunya pada kurang lebih tahun
pertama hidupnya, tetapi ini tidak berarti bahwa bayi tersebut
terinfeksi).
 Tes asam nukleik, misalnya PCR (menunjukkan bahwa virus ini
ada di dalam darah).
 Tes jumlah virus (menunjukkan berapa banyak virus ada di dalam
darah).
 Tes genotipe (menujukkan jenis mana virus ada di dalam darah –
yang dapat membantu dalam merencanakan perawatan).
57
 Tes fungsi hati, yang mungkin menunjukkan kerusakan hati pada
saat ini.
8. Komplikasi
Infeksi HCV merupakan masalah besar karena sebagian besar kasus
menjadi hepatitis kronik yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan
kanker hati (Rino A Gani, 2006). Komplikasi hepatitis terdiri dari edema
serebral, perdarahan saluran cerna, gagal ginjal, gangguan elektrolit,
gangguan pernafasan, hipoglikemia, sepsis, gelisah, koagulasi intra vaskuler
diseminata, hipotensi dan kematian. Tanda-tanda edema selebral adalah
kenaikan tekanan intrakranial dengan gejala dini transpirasi, hiperventilasi,
heperefleksi, opistotonus, kejang-kejang, kelainan kedua pupil yang terakhir
dengan reflek negatif terhadap cahaya (Mansjoer, 2000).
Komplikasi dari hepatitis adalah kegagalan hati (hepatoseluler), hipertensi
portal, asites, ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal
dan transformasi ke arah kanker hati primer (hepatoma) (Iin Inayah, 2000).
9. Pencegahan
Belum ada vaksin untuk HCV. Cara terbaik untuk mencegah infeksi HCV
adalah menghindari terkena darah yang terinfeksi HCV, misalnya tidak
memakai peralatan suntik narkoba bergantian. Kita dapat mencegah
penularan Hepatitis C. Cara penyebaran yang paling efesien Hepatitis C
adalah melalui suntikan yang terkontaminasi oleh darah, misalnya di saat
memakai obat suntik. Jarum suntik dan alat suntik sebelum digunakan harus
steril dengan demikian menghentikan penyebaran penyakit Hepatitis C di
antara pengguna obat suntik.
Meskipun resiko penularan melalui hubungan seksual kecil, anda
seharusnya menjalankan kehidupan seks yang aman. Penderita Hepatitis C
yang memiliki lebih dari satu pasangan atau berhubungan dengan orang
banyak harus memproteksi diri (misalnya dengan kondom) untuk mencegah
penyebaran Hepatitis C.
Jangan pernah berbagi alat seperti jarum, alat cukur, sikat gigi, dan
gunting kuku, dimana dapat menjadi tempat potensial penyebaran virus
58
Hepatitis C. Bila melakukan manicure, tato dan tindik tubuh pastikan alat
yang dipakai steril dan tempat usahanya resmi.
Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya, seperti pekerja kesehatan,
teknisi laboratorium, dokter gigi, dokter bedah, perawat, pekerja ruang
emergensi, polisi, pemadam kebakaran, paramedis, tentara atau siapapun
yang hidup dengan orang yang terinfeksi, seharusnya sangat berhati-hati agar
tidak terpapar darah yang terkontaminasi (Anonim, 2009).
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HVC. Usaha-usaha yang
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi yaitu melakukan skrining
dan pemeriksaan terhadap darah dan organ donor, mengiaktivasi virus dari
plasma dan produk-produk plasma, mengimplementasikan tindakan-tindakan
untuk mengontrol infeksi dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur
sterilisasi yang benar terhadap alat medis dan dentis, dan mempromosikan
perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan unutk
mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat suntik dan penggunan cara
penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko pada IDU
dan praktek seksual.
Strategi yang komprehensif untuk mencegah dan mengendalikan hepatitis
C virus (HCV) infeksi dan penyakit terkait HCV (NSW HEALTH, 2007) :
 Jangan bersama-sama menggunakan alat suntik dan alat pribadi yang
mungkin terkena darah.
 Jika sedang membuat tato atau menindik tubuh, pastikan bahwa hanya
peralatan steril saja yang digunakan.
 Lakukan seks aman.
 Pemeriksaan dan pengujian darah, plasma, organ, jaringan, dan air
mani donor.
 Sterilisasi yang memadai seperti bahan dapat digunakan kembali atau
instrumen bedah gigi.
 Pengurangan risiko dan layanan konseling.
 Pengawasan terhadap jarum dan program pertukaran jarum suntik.
(WHO, 2010)
59
10. Penatalaksanaan
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting. Meskipun
tubuh telah melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi hanya 20% yang
berhasil, pengobatan tetap diperlukan untuk mencegah Hepatitis C kronis dan
membantu mengurangi kemungkinan hati menjadi rusak.
Interferon telah dibuktikan untuk menormalkan tes hati, memperbaiki
peradangan hati dan mengurangi replikasi virus pada hepatitis C kronis dan
dianggap sebagai terapi baku untuk hepatitis C kronis. Saat ini, dianjurkan
untuk pasien dengan hepatitis kronis kompensasi C (anti-HCV positif, HCV
deteksi RNA, abnormal ALT tingkat atas sekurang-kurangnya 6 bulan,
fibrosis ditunjukkan oleh biopsi hati). Interferon-alpha diberikan subkutan
dengan dosis 3 juta unit 3 kali seminggu selama 24 bulan. Pasien dengan
aktivitas ALT dikurangi atau tingkat HCV RNA dalam bulan pertama
pengobatan lebih cenderung memiliki respon yang berkelanjutan. Sekitar
50% dari pasien merespon interferon dengan normalisasi ALT pada akhir
terapi, tetapi setengahnya bisa kambuh dalam waktu 6 bulan (WHO, 2010).
Terapi kombinasi dengan pegylated interferon dan ribavirin selama 24
atau 48 minggu seharusnya menjadi terapi pilihan bagi pasien yang kambuh
setelah pengobatan interferon. Tingkat kekambuhan kurang dari 20% terjadi
pada pasien kambuh diobati dengan terapi kombinasi selama setahun (WHO,
2010).
Transplantasi adalah suatu pilihan bagi pasien dengan sirosis yang nyata
secara klinis pada stadium akhir penyakit hati. Namun, setelah transplantasi,
hati donor hampir selalu menjadi terinfeksi, dan risiko pengembangan
menjadi sirosis muncul kembali (WHO, 2010).
Pasien dengan hepatitis C kronis dan infeksi HIV bersamaan mungkin
memiliki program akselerasi penyakit HCV. Oleh karena itu, meskipun tidak
ada terapi HCV secara khusus disetujui untuk pasien ko-infeksi dengan HIV,
pasien tersebut harus dipertimbangkan untuk pengobatan. Pemberian
kortikosteroid, ursodiol, thymosin, acyclovir, amantadine, dan rimantadine
tidak efektif (WHO, 2010).
60
Senyawa-senyawa yang digunakan dalam pengobatan Hepatitis C adalah:
a. Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia
untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur
fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk penyakit
Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa dalam bentuk alami
ataupun sintetisnya.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi Interferon
(Sulaiman HA dan Julitasari, 2004) :
 Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit,
HCV RNA [+], genotip virus, biopsi.
 Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic.
 Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi di atas normal.
 Tidak ada dekompensasi hati.
 Pemeriksaan laboratorium :
o Granulosit > 3000/ cmm
o Hb > 12 g/dl
o Trombosit > 50000/ cmm
o Bilirubin total < 2 mg/ dl
o Protrombin time < 3 menit
b. Pegylated interferon alfa
Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut
"polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa.
Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan
penelitian menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon bertahan
terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon
alfa biasa.
Ada dua macam pegylated interferon alfa yang tersedia :
 Peginterferon alfa-2a
 Peginterferon alfa-2b

61
Meskipun kedua senyawa ini efektif dalam pengobatan Hepatitis C
kronis, ada perbedaan dalam ukurannya, tipe pegylasi, waktu paruh,
rute penbersihan dari tubuh dan dosis dari kedua pegylated interferon.
Karena metode pegylasi dan tipe molekul PEG yang digunakan dalam
proses dapat mempengaruhi kerja obat dan pembersihannya dalam
tubuh.
Perbedaan besar antar dua pegylated interferon adalah dosisnya. Dosis
dari pegylated interferon alfa-2a adalah sama untuk semua pasien,
tidak mempertimbangkan berat dan ukuran pasien. Sedangkan dosis
pegylated interferon alfa-2b disesuaikan dengan berat tubuh pasien
secara individu.
c. Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk
pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak
efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon
alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa sendiri (Bell B, 2009).
Pengobatan pada hepatitis C
a. Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien
Hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan
secara monoterepi tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun
sulit untuk menentukan menentukan infeksi akut VHC karena tidak
adanya gejala akibat virus ini sehingga umumnya tidak diketahui waktu
yang pasti adanya infeksi.
b. Kronik, adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila genotif I dan IV, maka terapi diberikan 48
minggu dan bila genotip II dan III, terapi cukup diberikan 24 minggu.
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3
kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian.
Interferon yang telah diikat dengan polyethylen glycol (PEG) atau dikenal
dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5

62
ug/kgBB/kali ( untuk Peg-Interferon 12 KD ) atau 180 ug ( untuk Peg-
Interferon 40 KD ).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis
pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000
mg setiap hari dan >70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin perlu dilakukan
pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC
resisten. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dilakukan
dengan memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila :
 RNA VHC tetap (-) : pasien dianggap mempunyai respon virologik yang
menetap (sustained virulogical response atau SVR).
 RNA VHC kembali (+) : pasien dianggap relapser.
Pasien yang tergolong kambuh dapat kembali diberikan interferon dan
ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya
menggunakan interferon konvensional, Peg-Interferon mungkin akan
bermanfaat.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat
diberikan bila jumlah CD4 pasien ini >200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari
nilai tersebut, respon terapi sangat kurang memuaskan.
Untuk pasien dengan ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon
untuk VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB sehingga kedua
virus dapat diterapi bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida
analog yang khusus untuk VHB.
Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI – PPHI (PPHI, 2003) :
a. Terapi antivirus diberikan bila ALT >2 N.
b. Untuk pengobatan hepatitis C diberikan kombinasi Interferon dengan
Ribavirin.
c. Ribavirin diberikan setiap hari, tergantung berat badan selama
pemberian interferon dengan dosis :
 < 55 kg diberikan 800 mg/hari
 56 – 75 kg diberikan 1000 mg/hari
63
 > 75 kg diberikan 1200 mg/hari
d. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU seminggu 3 kali, tergantung
kondisi pasien.
e. Pegylated Intenferon Alfa 2a diberikan 180 ug seminggu sekali selama
12 bulan pada genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3.
Pada Pegylated Interferon Alfa 2b diberikan dengan dosis
1,5ug/kgBB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan tergantung genotip.
f. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek
samping anemia, dapat diberikan eritropoietin.
Transplantasi hati
Pengobatan Hepatitis C terbaik pada penderita tingkat akhir adalah
transplantasi hati. Walaupun demikian, jumlah orang yang menunggu untuk
tranplantasi hati jauh lebih banyak daripada orang yang mendonasikan
hatinya (Rino A Gani, 2005).
Indikasi terapi
Didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Pada
pasien yang tidak terjadi fibrosis hati atau hanya fibrosis hati ringan tidak
perlu diberikan terapi karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi
sirosis hati setelah 20 tahun menderita infeksi VHC.
Kontraindikasi terapi
Adalah berkaitan berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin,
yaitu :
 Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
 Hb<10g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL
 Adanya gangguan jiwa yang berat
 Adanya hipertiroid
 Pasien dengan gangguan ginjal
Efek samping terapi
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak napsu makan dan sejenisnya),
depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi
64
sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengatasi efek samping tersebut,
pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan.
Efek samping lain dari interferon meliputi gejala flu yang parah, iritasi,
depresi, kurang konsentrasi dan insomnia. Ribavirin dapat menyebabkan
anemia, gout dan mempengaruhi persalinan. Kedua obat tersebut dapat
menyebabkan iritasi kulit dan kelelahan.
Sejumlah kecil orang yang menggunakan obat kombinasi ini akan
mengalami psikosis dan keinginan bunuh diri. Untuk alasan tersebut,
pengobatan dengan interferon tidak direkomendasikan untuk penderita
dengan riwayat depresi mayor tak tekontrol.
Anda juga bukan penderita yang tepat untuk obat ini jika anda menderita
penyakit tiroid yang belum diobati, penyakit sel darah rendah atau autoimun,
atau anda pecandu alkohol atau obat yang tidak ingin berhenti.
Efek samping dari kombinasi obat ini biasanya menjadi parah pada
minggu pertama pengobatan Hepatitis C, tetapi dapat dibantu dengan obat
antisakit dan antidepresan. Walaupun demikian, beberapa orang perlu
menurunkan dosis interferon karena efek samping yang berat, bahkan harus
menghentikannya.
11. Prognosis
Hepatitis C memiliki prognosis yang lebih buruk daripada, misalnya,
hepatitis B, karena seperti proporsi tinggi mengembangkan kasus sirosis ─
≤33% dari pasien yang terinfeksi (Wilson, 2001).

65
BAB IV
PENUTUP

Hepatitis A
Hepatitis A merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis A
(HAV). HAV ditularkan dari orang ke orang melalui mekanisme fekal-oral.
Seseorang bisa tertular karena memakan makanan yang terkontaminasi oleh HAV.
Keluhan dan gejalanya, biasanya diikuti dengan demam, kurang nafsu makan,
mual, nyeri pada kuadran kanan atas perut, dan dalam waktu beberapa hari
kemudian timbul sakit kuning. Urin penderita biasanya berwarna kuning gelap
yang terjadi 1-5 hari sebelum timbulnya penyakit kuning. Terjadi pembesaran
pada organ hati dan terasa empuk. Diagnosis penyakit hepatitis dilakukan dengan
tes virologi dan tes serologi. Pencegahan dilakukan dengan higiene perorangan,
rajin mencuci tangan, dan pemberia vaksin. Tidak ada pengobatan yang spesifik,
hanya mengobati gejalanya, misalnya pemberian parasetamol untuk turun panas.
Prognosis hepatitis A sangat baik, lebih dari 99% dari pasien dengan hepatitis A
infeksi sembuh sendiri. Hanya 0,1% pasien berkembang menjadi nekrosis hepatik
akut fatal.

Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(HBV). Secara umum seseorang dapat tertular HBV melalui hubungan seksual,
penggunaan jarum suntuk yang bergantian pada IDU, menggunakan alat yang
terkontaminasi darah dari penderita (pisau cukur, tato, tindik), 90% berasal dari
ibu yang terinfeksi HBV, transfusi darah, serta lewat peralatan dokter. Hepatitis B
akut biasanya dimanifestasikan dalam bertahap mulai kelelahan, kehilangan nafsu
makan, mual dan rasa sakit dan kepenuhan di perut kuadran kanan atas. Pada awal
perjalanan penyakit, rasa sakit dan pembengkakan sendi serta artritis mungkin
terjadi. Pencegahannya diantaranya dengan pemberian vaksin, penggunaan
kondom, tidak menggunakan narkoba suntik, dll. Diagnosis dengan tes serologi
dan tes virologi. Pengobatannya dengan interferon alpha dan lamivudine.
66
Sembilan puluh persen dari kasus-kasus hepatitis akut B menyelesaikan dalam
waktu 6 bulan, 0,1% adalah fatal karena nekrosis hati akut, dan sampai 10%
berkembang pada hepatitis kronis.

Hepatitis C
Penyakit hepatitis C merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
Hepatitis C (HCV). Penularannya spesifik memalui darah, misalnya pada donor
darah, atau penggunaan narkoba suntik. Sebagian besar kejadian penyakit adalah
asimptomatik, namun ada juga yang menunjukkan gejala diantaranya anoreksia,
mual dan muntah, demam dan kelelahan, berlanjut untuk menjadi penyakit
kuning. Diagnosisnya dengan tes virologi dan tes serologi. Pencegahan dapat
dilakukan dengan skrining sebelum donor dan tidak menggunakan narkoba suntik.
Pengobatan dilakukan dengan pemberian interferon alpha dan ribavirin, serta
transplantasi hati yang sudah mengalami sirosis hati. Hepatitis C memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada, misalnya, hepatitis B, karena seperti
proporsi tinggi mengembangkan kasus sirosis ─ ≤33% dari pasien yang terinfeksi.

67
DAFTAR PUSTAKA

Abbott laboratories. 2008. Architect System HBsAg qualitative. Tersedia dari:


http://www.ilexmedical.com/. Diakses pada tanggal 7 Juli 2019.
Ahn SH, Lee JM. 2011. Quantification of HBsAg: Basic virology for clinical
practice. World J Gastroenterol. 17(3):283-89.
Alberta Health and Wellness Public Health Notifiable Disease Management
Guidelines Hepatitis B (Acute case). 2011. Government of Alberta.
Tersedia dari: http://www.health.alberta.ca/. Diakses pada tanggal 7 Juli
2019.
Allain JP, Lee HH. 2005. Rapid tests for detection of viral markers in blood
transfusion. Expert Rev. Mol. Diagn. 5:31-41.
Anania, Agnes. 2008. All About Heptitis B.
http://www.mikrobia.files.wordpress.com. Diakses pada tanggal 20 Juli
2019.
Anonim. 2010. Prevalence and Incidence of Hepatitis A.
http://www.wrongdiagnosis.com. Diakses pada tanggal 20 Juli 2019.
Anonim. 2007. Hepatitis A, B, and C: Learn The Differences.
http://www.immunize.org/catg.d/p4075abc.pdf. Diakses pada tanggal 20
Juli 2019.
Anonim. 2009. Pencegahan Penularan Hepatitis C. www.medicastore.com.
Antony J, Celine T M. 2014. A hospital-based retrospective study on frequency
and distribution of viral Hepatitis. J Global Infect Dis. 6:99-104.
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Medica
Aesculpalus, FKUI.
Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W. 2012.
Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi ke-13. Jakarta: EGC.
hlm.1638-63.
Bals, M. 2006. Acute Hepatitis C Virus Infection. Romania.

68
Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C.
http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/. Diakses pada tanggal 20
Juli 2019.
Cainelli F. Hepatitis A : epidemiology and prevention in developing countries.
World journal of hepatology. 2012; 4: 68-73.
Caruntu, Florin. 2006. Acute Hepatitis C Virus Infection: Diagnosis,
Phatogenesis, Treatment. Medical Published: University of Medicine and
Pharmacy, Romania (Vol. 15 No. 3 249-256) (Diakses pada 7 Juli 2019).
http://www.jgld.ro/2006/3/7.pdf.
CDC. Hepatitis A FAQs for Health Professionals. USA: CDC, 2013.
Chevaliez S, Challine D, Naija H, Luu TC, Laperche S, Nadala L, et al. 2014.
Performance of a new rapid test for the detection of hepatitis B surface
antigen in various population. J Clin Virol. 59(2):89-93.
Cook GC and Zumla AI. Manson's tropical diseases. 22nd ed.: Elsevier, 2009.
Dahlan MS. 2009. Penelitian Diagnostik: Dasar-dasar teoritis dan aplikasi
dengan program SPSS dan Stata. Jakarta: Salemba Medika.
Dienstag JL. 1983. Non A, Non B Hepatitis Recognition, epidemiology and
Clinical Gastroentenolog.
Dienstag J.L., Isselbacher K.J. 2008. Acute Viral Hepatitis. In: Eugene
Braunwauld et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th
Edition, McGraw Hill.
DINKES. Hepatitis. Semarang: Dinkes propinsi jawa tengah, 2011.
Epidemiology and prevention of viral hepatitis A to E: an overview, 2001;
http://www.cdc.gov/ndod/disease/hepatitis/Slideset/index.htm.
European Association for the Study of Liver. 2009. EASL clinical practice
guidelines: management of chronic hepatitis. J Hepatol. 50:227-242.
Foster GR, Goldin RD. Management of Chronic Hepatitis, 2nd ed., Oxfordshire:
Taylor & Francis, 2005:17-61.
Friedman LS and Keeffe EB. Handbook of liver disease. 2nd ed. Edinburgh ; New
York: Churchill Livingstone, 2004, p.xxiv, 510 p.

69
Friedman S, Grendell J, McQuaid K. 2003. Current diagnosis and treatment in
gastroenterology, edisi ke-2. London: McGraw-Hill.
Gancheva G, Tzvetanova C, Ilieva P and Simova I. Comparative study in
leptospirosis and acute viral hepatitis. Journal of IMAB. 2007; 13: 27-30.
Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B virus infection-natural history and
clinical consequences. N Engl J Med. 350:1118-29.
Ghany MG, Liang TJ. 2003. Acute Viral Hepatitis. In: Yamada’s Textbook of
Gastroenterology 4th Edition. Editors: Yamada T, Alpers DH, Laine L,
Kaplowitz N, Owyang C, Powell DW.Lippincott Williams & Wilkins
Publisher. United State.
Grendell JH, McQuaid KR and Friedman SL. Current diagnosis & treatment in
gastroenterology. 2nd ed. New York: Lang Medical Books/McGraw-
Hill, 2003, p.xv, 867 p.
Hadi, S. Hepatitis. Gastroenterologi edisi VII. Bandung: PT Alumni; 2002: 487-
57.
Handojo I. 2004. Immunoassai terapan pada beberapa penyakit infeksi. Surabaya:
Airlangga University Press.
Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil
laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra: hlm. 5-14.
Hayder I, Ahmed W, Alam SE. 2012. Comparison of different ICT kits for
HBsAg and Anti HCV using gold standard ELISA. Pak J Med Res.
51(3):72-6.
Herawati MH. Raising medium-sized livestock and hepatitis risk : a national study
in indonesia. Health Science Indonesia. 2011; 2: 14-20.
Hunt R. 2011. Hepatitis viruses. Virology Section of Microbiology and
Immunology Online [Jurnal Online]. Tersedia dari:
http://pathmicro.med.sc.edu/virol/hepatitis-virus.htm. Diakses pada
tanggal 15 Juli 2019.
Hunt R. Virology chapter eighteen : Hepatitis viruses. Internet: University of
South Carolina School of Medicine, 2014.

70
Iin Inayah. 2000. Hepatitis Ditinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya
Pencegahan. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatera Utara.
Janahi EM. 2014. Prevalence and Risk Factors of Hepatitis B Virus Infection in
Bahrain, 2000 through 2010. PLOS One. 9(2):e87599.
Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. 2012. Buku
ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Kemenkes. 2019. Kemenkes Sebut Status KLB Hepatitis A di Pacitan Dua Bulan,
Jakarta, CNN Indonesia. Diakses 8 Juli 2019.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190702212908-20-
408468/kemenkes-sebut-status-klb-hepatitis-a-di-pacitan-dua-bulan.
Kementerian keseehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi, Situasi dan Analisis
Hepatitis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan. 2012. Pedoman pengendalian hepatitis virus. Jakarta:
Direktorat Jenderal PP dan PL.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan hasil riset kesehatan
dasar Indonesia (Riskesdas). Jakarta: Badan Litbangkes. hlm.109-110.
Kumar KJ, Prasad NA, Manjunath VG and Umesh L. Coinfection with hepatitis a
and leptospira in jaundice children. Ann Trop Med Public Health. 2012;
5: 523-4.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2012. Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7.
Jakarta: EGC.
Kurstak E. 1993. Hepatitis C Virus, Hepatitis E Virus and Disease, inviral
Hepatitis. New York.
Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med, 2001;
345(1):41-52.
Lin YH, Wang Y, Loua A, Day GJ, Qiu Y, Allain JP, et al. 2008. Evaluation of a
new hepatitis B virus surface antigen rapid test with improved sensitivity.
J Clin Micobiol. 46(10):3319.

71
Lindseth, G.N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta :
EGC
Liu C, Tianbin C, Lin J, Chen H, Chen J, Lin S, et al. 2014. Evaluation of the
performance of four methods for detection of hepatitis B surface antigen
and their application for testing 116,455 specimens. J Virol Methods.
Lubis, Dr. Imran. 1991. Penyakit Hepatitis Virus.
http://www.kalbe.co.id/files/06_penyakithepatitis virus.pdf. Diakses pada
tanggal 20 Juli 2019.
Maity S, Nandi S, Biswas S, Sadhukhan SK, Saha MK. 2012. Performance and
diagnostic usefulness of commercially available Enzyme Linked
Immunosorbent Assay and rapid kits for detection of HIV, HBV and
HCV in India. Virology Journal. 9:290.
Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM and Mayon-White RT. Lecture Notes :
Penyakit Infeksi. 6 ed.: Penerbit Erlangga, 2008.
Mansjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran / editor. Jakarta : Media
Aesculapius.
Martin A and Lemon SM. 2006 . Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines
Hepatology. Vol 45 No. 2 Suppl 1, S164-S172.
Medscape. Hepatitis A Overview. Medscape, 2014.
Mustafa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran cerna panduan
bagi dokter umum. Lampung: Anugrah Utama Raharja (Aura).
Nadiah. 2008. Prevalensi Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg) positif pada
penderita sirosis hepatis yang dirawat di bagian Ilmu Penyakit Dalam
Perjan RS. Dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari-31 Desember 2006
[Tesis]. Padang: Universitas Andalas.
Nalini K. Sharma, MD and Averell H. Sherker, MD FRCP (C). 2009.
Epidemiology, Risk Factors, and Natural History of Chronic Hepatitis C.
www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781
934115817-c2.pdf?SGWID=0-0-45-783531-p173918204. Diakses pada
tanggal 18 Juli 2019.
72
Navarro N, Lim N, Kim J, Joo E, Che K, Runyon BA, et al. 2014. Lower than
expected hepatitis B virus infection prevalence among first generation
Koreans in the U.S.: results of HBV screening in the Southern California
Inland Empire Natali. BMC Infectious Diseases. 14:269.
NJDH. Hepatitis A Case Definition. USA: State of New Jersey Departement of
Health, 2012.
Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Edisi Pertama. Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi.
NSW HEALTH. 2007. Lembar Fakta Penyakit Menular.
Okonko IO, Udeze AO. 2011. Detection of Hepatits B surface Antigen (HBsAg)
among pregnant women attending Antenatal Clinic at O.L.A. Catholic
Hospital, Oluyoro, Ibadan, Oyo State, Southwestern Nigeria. Nature and
Science. 9(11):54-60.
Oregon PHD. Hepatitis A, Investigative Guidelines. In: Division OPH, (ed.).
Internet. Oregon Public Health Division, 2012.
Paula VS. Laboratory diagnosis of hepatitis A. Future Virology. 2012; 7: 461-72.
PPHI. 2003. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Previsani N and Lavanchy D. Hepatitis A. In: response Whodocdsa, (ed.). World
health organization, 2000.
Price SA and Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC, 2003.
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,
edisi ke-6. Jakarta: EGC. hlm. 472-500.
Primadharsini PP, Wibawa ID. 2013. Correlation between Quantitative HBsAg
and HBV-DNA in Chronic Hepatitis B Infection. The Indonesian Journal
of Gastroenterology, Hepatology And Digestive Endoscopy. 14(1):9-12.
Pyrsopoulos N. 2012. Hepatitis B. http://www. emedicine.com/ped/topic982.htm.
Diakses pada tanggal 18 Juli 2019.
Rahman M, Khan SA, Lodhi Y. 2008. Unconfirmed rective screening tests and
their impact on donor management. Pak J Med Sci. 24:517-9.
73
Rino A Gani. 2005. Pengobatan Terkini Hepatitis Kronis B dan C. Divisi
Hepatologi Bagian Penyakit Dalam FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo
http://pdpersi.co.id. Diakses pada tanggal 20 Juli 2019.
Rino A Gani. 2006. Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Roche Diagnostics. 2011. Elecsys HBsAg II quantitative. Switzerland. Tersedia
dari: www.cobas.com. Diakses pada tanggal 18 Juli 2019.
Roche Indonesia. Booklet Hepatitis C. [online]
www.hepatitis.roche.co.id/content/dam/indonesahepatitis/doc/Hepatitis%
20C%00Booklet.pdf. Diakses tanggal 18 Juli 2019.
Roque-Afonso AM, Mackiewicz V and Dussaix E. Detection of immunoglobulin
M antibody to hepatitis A virus in patients without acute hepatitis A: the
usefulness of specific immunoglobulin G avidity. Clinical infectious
diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of
America. 2006; 42: 887-8.
Sacher, RA., Mc Pherson, RA. 2000. Widman’s Clinical Interpretation of
laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company.
Sanityoso, A. 2009. Hepatitis Virus Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. 2008. Dasar-dasar Metodologi
Penelitian Klinis, edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.
Scheiblauer H, et al. 2010. Performance evaluation of 70 hepatitis B virus (HBV)
surface antigen (HBsAg) assays from around the world by
geographically diverse panel with anarray of HBV genotypes and HBsAg
subtypes. Vox Sang. 98:403-14.
SD BIOLINE. HAV IgG/IgM Instruction Page. In: GmbH MPC, (ed.). Germany:
Mt Promedt Consulting GmbH, 2011.
Setiawan PB, Djumhana A, Akbar HN, Lesmana LA. 2006. Konsensus PPHI
tentang panduan tata laksana infeksi hepatitis B kronik.

74
Sherlock S and Dooley J. Diseases of the liver and biliary system. 11th ed.
Malden, MA: Blackwell Science, 2002, p.xvi, 706 p.
Soewignjo S, Gunawan S. 2008. Hepatitis virus B, edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S, Setiati S. 2010. Buku ajar ilmu
penyakit dalam, jilid 3, edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M and Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 2006 ed. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam, 2006.
Sulaiman A. Hepatitis C. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi I. Editor:
Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S. Pusat Penerbitan Divisi
Hepatologi Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007. 211-235.
Sulaiman, HA, Julitasari. 2004. Selayang Pandang Hepatitis C. Jakarta.
Syahrurachman A, Chatim A, Triyatni M, et al. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher, 2010, p.501.
Thedja MD. 2012. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia:
Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative.
Wasfi OAS, Sadek NA. 2011. Prevalence of hepatitis B surface antigen and
hepatitis C virus antibodies among blood donors in Alexandria, Egypt.
Eastern Mediterranean Health Journal. 17(3):238-42.
WHO, 2003. Hepatitis C. CSR Disease Hepatitis C: World Health Organization
Published (diakses pada 18 Juli 2019)
http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/Hepc.pdf.
WHO. 2010. Hepatitis A, B, and C. http://www.who.org. Diakses pada tanggal 20
Juli 2019.
WHO. Hepatitis A Fact Sheet. WHO, 2013.
Widoyono. Penyakit tropis : epidemiologi, penularan, pencegahan &
pemberantasannya. Penerbit Erlangga, 2008.
Willis AP. 2007. Hepatitis B research advanced. New york: Nova Science
Publisher Inc. hlm. 44-5.
75
Wilson, Walter R. And Merle A. Sande. 2001. Current Diagnosis & Tratment in
Infectious Disease. The mcGraw-hill Companies, United States of
America.
World Health Organization. 2002. Hepatitis B. Tersedia dari:
http://www.who.int/. Diakses pada tanggal 20 Juli 2019.
Yayasan Spiritia. 2005. Seri Buku Kecil "Hepatitis Virus dan HIV".
http://spiritia.or.id/dokumen/buku-hepatitis.pdf. Diunduh pada tanggal 17
Juli 2019.
Zacher BJ, Moriconi F, Bowden S, Hammond R, Louisirirotchanakul S,
Phisalprapa P, et al. 2011. Multicenter evaluation of the Elecsys hepatitis
B surface antigen quantitative assay. 18(11):1943-50.

76

Anda mungkin juga menyukai