Anda di halaman 1dari 36

HEPATITIS

Oleh :

dr. TRI WAHYUNINGTYAS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO


2021
LEMBAR PENGASAHAN

JUDUL : HEPATITIS
DISUSUN OLEH : dr. TRI WAHYUNINGTYAS
TAHUN : 2021

Telah diperiksa dan disetujui,


Koordinator Tim Penyusun

dr. SYAMSU RAHMADI, Sp. S dr. TRI WAHYUNINGTYAS


NIP. 19680127 199903 1 003 NIP. 19660819 199703 2 002

Mengetahui
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN SIDOARJO

dr. ATOK IRAWAN, Sp. P


NIP. 19660501 199602 1 001

i
DAFTAR ISI
DIABETES MELLITUS.....................................................................................................................1
LEMBAR PENGASAHAN.................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB 1............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
BAB 2............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Definisi..........................................................................................................................3
2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus.........................................................................................3
2.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus.....................................................................................4
2.4 Faktor Resiko................................................................................................................5
2.5 Diagnosis......................................................................................................................6
2.6 Komplikasi....................................................................................................................9
2.7 Terapi.........................................................................................................................10
BAB 3..........................................................................................................................................15
PENUTUP....................................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................15
3.2 Saran..........................................................................................................................15
Daftar Pustaka............................................................................................................................17

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.

Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus

yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus

hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan

pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan

tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang

manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA.

Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi

semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan

penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik

sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian.

Selain itu, gejala juga bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit

hati kronik progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang

umum ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan

HDV). 1.2

Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dair berbagai penyakit hati di

seluruh dunia. Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta

kematian setiap tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinik anikterik, tidak nyata

atau subklinis. Secara global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang
1
2

persisten. Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A

masih merupakan bagian terbesar dari kasus- kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu

berkisar dari 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan

umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan di bawah

standar. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia, Afrika, India, menunjukkan

sudah memiliki antibody anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV

1
didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya aniktertik.

Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5%

di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara

dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa

penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi

infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu

dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya.

Adanya HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu

mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negative, maka daya

tularnya menjadi rendah. Data di Indonesia telah dilaporkan oleh Suparyatmo, pada

tahun 1993, bahwa dari hasil pemantauan pada 66 ibu hamil pengidap hepatitis B,

bayi yang mendapat penularan secara vertical adalah sebanyak 22 bayi (45,9%).1

Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia

menunjukkan angka di antara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada

hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan

kedua setelah hepatitis A akut (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh
3

hepatitis B (6,4%-25,9%). Untuk hepatitis D, walaupun infeksi hepatitis ini erat

hubungannya dengan infeksi hepatitis B, di Asia Tenggara dan Cina infeksi hepatitis D

tidak biasa dijumpai pada daerah dimana prevalensi HBsAg sangat tinggi. Laporan dari

Indonesia pada tahun 1982 mendapatkan hasil 2,7% (2 orang) anti HDV positif dari 73

karier hepatitis B dari donor darah. Pada tahun 1985, Suwignyo dkk melaporkan, di

Mataram, pada pemeriksaan terhadap 90 karier hepatitis B, terdapat satu anti HDV

positif (1,1%). 1

Hepatitis E (HEV) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Sintang

Kalimatan Barat yang diduga terjadi akibat pencemaran sungai yang digunakan untuk

aktivitas sehari-hari. Didapatkan HEV positif sebanyak 28/82 (34,1%). Letupan kedua

terjadi pada tahun 1991, hasil pemeriksaan menunjukkan HEV positif 78/92 orang

(84,7%). Di daerah lain juga ditemukan adanya HEV seperti di kabupaten Bawen, Jawa

Timur. Pada saat terjadi letupan tahun 1992, ditemukan 2 kasus HEV dari 34 sampel

1
darah. Dari rumah sakit di Jakarta ditemukan 4 kasus dari 83 sampel.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Hepatitis A

Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global. Prevalensi

infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibody anti-HAV telah diketahui secara

universal dan erat hubungannya dengan standar sanitasi/kesehatan daerah yang

bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A ditularkan melalui air dan makanan

yang tercemar, namun hampir sebagian besar infeksi HAV didapat melalui

transmisi endemic atau sporadic yang sifatnya tidak begitu dramatis. 3

Epidemiologi dan transmisi VHA mencakup beberapa faktor sebagai berikut :

A. Variasi musim dan geografi.

Di daerah dengan 4 musim, infeksi VHA terjadi secarea epidemic musiman

yang puncaknya biasanya terjadi pada akhir musim semi dan awal musim dingin.

Penurunan kejadian VHA akhir-akhir ini telah menunjukan bahwa infeksi VHA

terbatas pada kelompok social tertentu yaitu kelompok turis yang sering

bepergian, sehingga variasi musiman sudah tidak begitu menonjol lagi. Di daerah

tropis puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi selama

musim hujan dan pola epidemic siklik berulang setiap 5-10 tahun sekali, yang

mirip dengan penyakit virus lain. 3

B. Usia Insidens.

Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap infeksi VHA. Insidens

tertinggi pada populasi orang sipil, anak sekolah, tetapi dibanyak negara di Eropa

Utara dan Amerika Utara ternyata sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Di

4
5

negara berkembang dimana kondisi hygiene dan sanitasi sangat rendah, paparan

universal terhadap VHA teridentifikasi dengan adanya prevalensi anti-VHA yang

sangat tinggi pada tahun pertama kehidupan dan tentu saja gambaran usia

prevalensi anti-HAV benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi sosio-ekonomi

sebelumnya. Peningkatan prevalensi anti-HAV yang berhubungan dengan umur

mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan dibawah

standar.3

Di negara-negara yang maju secara kontras diketahui bahwa insidens infeksi

virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini dan telah

beralih ke usia yang lebih tua, hal ini disebabkan kondisi secara social dan

ekonomi lebih baik, begitu pula hygiene dan sanitasi. Seperti di negara-negara lain

di dunia di Indonesia pun hepatitis A merupakan masalah kesehatan. Berdasarkan

data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar

dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8%-68,3

kemudan disusul oleh hepatitis non A-non B sekitar 15,5%-46,4% dan hepatitis B

6,4%-25,9%. 3

2.1.1. Etiologi

Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer

dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk

golongan pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat

menimbulkan hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus

tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri

khas dari antigen virus hepatitis A. 3

Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini

disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom


6

sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi

dalam tubuh dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A

yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati

setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus

hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan

terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH

yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA

3
melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.

2.1.2 Masa Inkubasi dan Transmisi

Penelitian pada sukarelawan memperlihatkan masa inkubasi hepatitis A

akut bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari. Penularan

hepatitis A yang paling dominan adalah melalui faecal-oral. Umumnya penularan

dari orang ke orang. Kemungkinan penularannya didukung oleh faktor higienis

pribadi penderita hepatitis.Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral yaitu

melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk

kelompok homoseksual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral.

Ditinjau dari kelompok umur, makin bertambah usia making tinggi kemungkinan

sudah memiliki antibody secara alamiah terjadi baik setelah terinfeksi dengan

bergejala maupun yang asimtomatik. 3

2.1.3 Gejala Klinis

Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan dewasa

muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau bentuk yang

ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus.

Pada anak manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik. Gejala dan
7

perjalanan klinis hepatitis virus akut secara umum dapat dibedakan dalam 4

stadium:

A. Masa Tunas

Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 Minggu.

B. Fase pra-ikterik/prodromal

Keluhan umumnya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran

sangat bervariasi secara individual seperti ikterik, urin berwarna gelap,

lelah/lemas, hilang nafsu makan, nyeri & rasa tidak enak di perut, tinja

berwarna pucat, mual dan muntah, demam kadang-kadang menggigil,

sakit kepala, nyeri pada sendi, pegal-pegal pada otot, diare dan rasa

tidak enak di tenggorokan. Dengan keluhan yang beraneka ragam ini

sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosis, sering diduga

sebagai penderita influenza, gastritis maupun arthritis.

C. Fase Ikterik

Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam

turun penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti

air teh ataupun tanpa disadari, orang lain yang melihat sclera mata dan

kulitnya berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya akan

meningkat, menetap, kemudian menurun secara perlahan-lahan, hal ini

bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada stadium ini gejala klinis sudah

mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik. Pada usia lebih tua dapat

terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan bisa berlangsung

lama.

D. Fase penyembuhan

Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan sisa gejala tersebut


8

diatas, ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar kembali walau

mungkin masih terasa cepat capai.

Umumnya, masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia

memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Menurut Koff (1992) pada beberapa kasus

dapat terjadi penyimpangan : sebanyak 20% penderita memperlihatkan perjalanan

yang polifasik, setelah penderita sembuh terjadi lagi peningkatan SGPT.

Dilaporkan 50-90 hari setelah timbul keluhan dan hepatitis kolestasis timbul pada

sebagian kecil kasus dimana terjadi peningkatan kembali bilirubin serum yang

baru menghilang 2-4 bulan kemudian (prolonged cholestasis) hepatitis fulminant,

merupakan komplikasi yang sangat jarang kurang dari 1%, kematiannya yang

tinggi tergantung dari usia penderita.

2.1.4. Patogenesis

Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera

sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun setelah

timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik.

Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu

sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen virus hepatitis A

dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati

disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen

virus hepatitis A. Pada keadaan ini ditemukan HLA-Restricted Virus specific

cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut. Gambaran

histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati berkelompok,

dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh infiltrasi sel limfosit, makrofag, sel

plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan aliran

empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin direct
9

dan indirect dalam serum. Ada 3 kelompok kerusakan yaitu di daerah portal, di

dalam lobules, dan di dalam sel hati. Dalam lobules yang mengalami nekrosis

terutama yang terletak di bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu

ini mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan juga

terjadi peningkatan enzim fosfatase alkali, 5 nukleotidase dan gama glutamil

transferase (GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim

transminase ke dalam darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya

kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada peningkatan SGOT, karena

SGOT juga akan meningkat bila terjadi kerusakan pada myocardium dan sel otot

rangka. Juga akan terjadi peningkatan enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada

kerusakan sel hati. Kadang-kadang hambatan aliran empedu (cholestasis) yang

lama menetap setelah gejala klinis sembuh.

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan dibantu dengan

sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa : gejala prodromal,

riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani : warna kuning terlihat lebih mudah pada

sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant).

Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum). Pada perabaan hati

membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae, konsistensi lunak, tepi tajam

dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas, menimbulkan

rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar, teraba lunak. Pemeriksaan

laboratorium : tes fungsi hati (terdapat peninggian bilirubin, SGPT dan kadang-

kadang dapat disertai peninggian GGT, fosfatase alkali), dan tes serologi anti

HAV, yaitu IgM anti HAV yang positif.

2.1.6 Laboratorium
10

(dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati)


Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium

yaitu dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi positif. IgM anti-

HAV adalah subkelas antibody terhadap HAV. Respons inisial terhadap infeksi

HAV hampir seluruhnya adalah IgM. Antibodi ini akan hilang dalam waktu 3-6

bulan. IgM anti-HAV adalah spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi

hepatitis A akut. Infeksi yang sudah lalu atau adanya imunitas ditandai dengan

adanya anti-HAV total yang terdiri atas IgG anti-HAV dan IgM anti- HAV.

Antibodi IgG akan naik dengan cepat setelah virus dieradikasi lalu akan turun

perlahan-lahan setelah beberapa bulan. Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian

epidemiologis dan status imunitas.

2.1.7 Penatalaksanaan

Tidak ada tatalaksana yang khusus untuk HAV


11

I. Perawatan Suportif

a. Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup

istirahat. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus

dihindari.

b. Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem dukungan

untuk mempertahankan fungsi fisiologi seperti hemodialisis, transfusi

tukar, extracorporeal liver perfusion, dan charcoal hemoperfusion.

c. Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat

yang akan menyebabkan dehidrasi sebaiknya diinfus.

Perawatan yang dapat dilakukan di rumah, yaitu :


 Tetap tenang, kurangi aktivitas dan banyak istirahat di rumah

 Minum banyak air putih untuk menghindari dehidrasi

 Hindari minum obat yang dapat melukai hati seperti asetaminofen

dan obat yang mengandung asetaminofen

 Hindari minum minuman beralkohol

 Hindari olahraga yang berat sampai gejala-gejala membaik

II. Dietetik
a. Makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak untuk pasien yang

dengan anoreksia dan nausea.

b. Selama fase akut diberikan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Bila

diperlukan dilakukan pemberian cairan dan elektrolit intravena.

c. Menghindari obat-obatan yang di metabolisme di hati, konsumsi

alkohol, makan-makanan yang dapat menimbulkan gangguan


12

pencernaan, seperti makanan yang berlemak

III. Medikamentosa

a. Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A.

b. Obat-obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala yang

ditimbulkan, yaitu bila diperlukan diberikan obat-obatan yang bersifat

melindungi hati, antiemetik golongan fenotiazin pada mual dan muntah

yang berat, serta vitamin K pada kasus yang kecenderungan untuk

perdarahan. Pemberian obat-obatan terutama untuk mengurangi

keluhan misalnya tablet antipiretik parasetamol untuk demam, sakit

kepala, nyeri otot, nyeri sendi.

2.1.8 Pencegahan

Lamanya
penyembuhan yang kadang-kadang memerlukan waktu sampai 4-6

bulan sampai tes faal hati menjadi normal, faktor ini yang akan menyebabkan

kerugian dalam hal kehilangan produktivitas kerja, dan pada anak-anak tentu saja

tertinggal dalam hal pelajaran, juga biaya perawatan yang tinggi. Bila dilakukan

analisa manfaat biaya tentu saja akan lebih ekonomis kalau dilakukan suatu usaha

pencegahan, pertama dengan pola hidup yang baik dan bersih dan usaha kedua

3
dengan imunisasi.

4
A. Upaya Preventif umum
13

Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut

nefron. Susunan nefron – nefron ini membagi ginjal menjadi 2 bagian, yaitu

korteks dan medulla. Nefron sendiri terdiri atas glomerulus dan tubulus.

Glomerulus tersusun atas pembuluh darah – pembuluh darah yang membentuk

suatu untaian di kapsula Bowman. Glomerulus berasal dari arteri ginjal, arteri ini

awalnya terbagi menjadi afferent arterioles yang masing – masing menuju 1 nefron

dan menjadi glomerulus. Glomerulus akan berakhir di efferent arterioles. Arteriol

terakhir tersebut lalu menjadi kapiler yang berfungsi memberi pasokan oksigen dan

energi bagi ginjal. Kapiler ini sekaligus berfungsi menerima zat – zat reabsorbsi

dan membuang zat – zat sekresi ginjal.2

Tubulus ginjal tersusun atas sel – sel epitel kuboid selapis. Tubulus ini

dimulai dari kapsul Bowman lalu menjadi tubulus kontortus proksimal, lengkung

Henle, tubulus kontrotus distal, dan berakhir di tubulus pengumpul. Seluruh

bagian tubulus kontortus berada di korteks, sementara lengkung Henle di medulla.


14

Jalur naik dari tubulus kontortus distal akan lewat diantara afferent dan efferent

arterioles yang disebut juxtaglomerulus apparatus.2

Nefron ginjal sendiri terbagi atas 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung

Henlenya hanya sedikit masuk medulla dan memiliki kapiler peritubular, dan

nefron juxtamedullary yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan

memiliki vasa recta. Vasa recta dalam susunan kapiler yang memanjang mengikuti

bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks ginjal akan

terlihat berbintik – bintik karena adanya glomerulus, sementara medulla akan

terlihat bergaris – garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus kolektus.2

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu

filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Filtrasi akan mengambil 20 % plasma yang masuk

glomerulus tanpa menyeleksinya. Kurang lebih akan didapat 125 ml filtrate/menit

atau 180 liter/hari. Dari jumlah itu, 178,5 liter/hari akan direabsorbsi. Maka rata –

rata urin orang normal 1,5 liter/hari.2

2.2 Definisi

Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam

hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung

reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen,

dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis

Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di

Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI.

Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman

masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap

lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.3

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI)
15

harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera

ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian

yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang

dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural

abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk perbedaan

antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal. 6

Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi

ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat

atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN)

dan urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat

bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera

ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau

penurunan aliran darah ginjal. 3,7

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut

terpenuhi :

 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu

48 jam atau

 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang

diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau

 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari

3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria

UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang

menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam tabel 1. 6,7


16

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Peningkatan Penurunan
Kategori Kriteria UO
SCr LFG

Risk >1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL >24 jam atau
dengan kenaikan
akut > 0,5 mg/dL
Anuria ≥12 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah

kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria

RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan

merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria

RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3.

Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome)

sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat

dilihat pada tabel 2. 6,7

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN


Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO
17

1 >1,5 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam

peningkatan >0,3 mg/dL

2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12jam

3 >3,0 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥24


jam atau

>4 mg/dL dengan kenaikan Anuria ≥12 jam


aku > 0,5
mg/dL atau
t
inisiasi terapi pengganti ginjal

Gambar 2.1. Kriteria RIFLE yang dimodifikasi

TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko jangka panjang setelah

terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan

kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan

berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat

yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi.3,7


18

2.3 Epidemiologi

AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission

patient dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif

(ICU). AKI juga menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien

dengan latar belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria,

leptospirosis, dan bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4

kali lipat di United State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat 500 per 100.000

populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden stroke. 4,5

Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara

0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 36-

67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan 5-6% Pasien

ICU dengan AKI memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement

Renal Therapy (RRT)).4

Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat variasi definisi yang digunakan

dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang luas dari laporan

insiden dari AKI itu sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya (19-83%). Dalam

penelitian Hoste (2006) diketahui AKI terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di

ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan 28%

kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I dan

F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa AKI

yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan Hospital

mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturut- turut untuk

maksimal kelas RIFLE R, I, dan F.4,5

2.4 Faktor Risiko AKI


Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu
19

untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana

bisa dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan

seperti operasi atau adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik.8

Tabel 3. Faktor resiko AKI : Paparan dan susceptibilitas pada AKI


nonspesifik menurut KDGIO 2012
Paparan Susceptibilitas

Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan

Penyakit kritis Usia lanjut

Syok sirkulasi Perempuan

Luka bakar Black race

Trauma CKD

Operasi Jantung (terutama dengan CPB) Penyakit kronik (jantung,


paru.
Liver)

Operasi major nonkardiak Diabetes Mellitus

Obat nefrotoksik Kanker

Agen Radiokontras Anemia

Racun tanaman atau Hewan

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami paparan

untuk mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai resiko AKI sebagai

bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai pemeriksaan biokimia.

Monitor tetap dilaksanakan pada pasien dengan resiko tinggi hingga resiko pasien

hilang. 1 Faktor resiko AKI data dilihat pada tabel 3. 5,6

2.5 Patofisiologi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif
20

konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme

yang berperan dalam autoregulasi ini adalah: 9

 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

 Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat

mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh

hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah,

yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi

sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan

vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk

mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada

keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang

dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta

vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan

ET-1. 4,9

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)

2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

3. Obstruksi renal akut (post renal)

- Bladder outlet obstruction (post renal)

- Batu, trombus atau tumor di ureter


1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
21

berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan

terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi

mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal

atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari

ginjal.

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal

menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam

obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien berusia di atas 60 tahun

dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses

ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic,

sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat

timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal seperti

penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler), penyakit ginjal

polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal

ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis. 9,10

2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)


Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit

parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal

akut inta renal, yaitu :

1. Pembuluh darah besar ginjal

2. Glomerulus ginjal

3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut

4. Interstitial ginjal

Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut
22

disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi

kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada

NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi:

 peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang

menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor

dan gangguan otoregulasi.

 terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel

endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-

1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang

berasal dari endotelial NO-sintase.

 peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan

interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari

intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel,

sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil.

Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.

Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan

vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.

Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik

dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya

yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi regional yang dapat

menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain yang lebih jarang ditemui

dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan parenkim

renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.10

Sepsis-associated AKI
23

Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang.

Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi,

walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang

memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan

secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan

cast pada urin.

Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena terjadi

vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin yang

memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen

yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut

akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron,

vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang

menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta adesi

dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal.11,12

3. Gagal Ginjal Akut Post Renal


Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan

GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.

Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan

protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis

ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (

keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,

tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post- renal terjadi

bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi

pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. 9

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran
24

darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh

prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah

ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis

ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase

kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan

pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam

adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini

mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang

menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. 10,11

2.6 Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,

yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan

gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara

langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%);

(3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%).

Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.
25

Tabel 4. Klasifikasi etiologi AKI


26

2.7 Diagnosis
1. Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah

dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang

merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan

umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK,

riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK)
27

dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut

tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada

PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati

diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula

mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuankomplikasi. 12,13

2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal,

renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya

seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi

(infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat

bengkak, riwayat kencing batu.

2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan

ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.

3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu

kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat

selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan

adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan

berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat

menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema

paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis

metabolic dengan kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi

GGA lebih didominasi oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 11,12
28

4. Assessment pasien dengan AKI

a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan

memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum

kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung

dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi

oleh ginjal

b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator

yang spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum

perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume

urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya

hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang

tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai

baik oleh anuria maupun poliuria.

c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah

mampu mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai

dengan kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis

diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis

ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak,

seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase,

alanine aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu

penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinase-

associated lipocain (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah

pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. 13


29

Table 5. Evaluasi pada pasien dengan AKI


Prosedur Informasi yang dicari
Anamnesis dan pemeriksaan fisis Tanda-tanda untuk penyebab AKI
Indikasi beratnya gangguan

metabolic Perkiraan status volume

(hidrasi)

Mikroskopik urin Petanda inflamasi glomerulus


atau tubulus

Infeksi saluran kemih atau


uropati Kristal

Pemeriksaan biokima darah Mengukur pengurangan LFG dan


gangguan metabolic yang
diakibatkannya

Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal pre-renal


dan renal

Darah perifer lengkap Menentukan ada tidaknya anemia,


leukositosis dan kekurangan
trombosit akibat pemakaian

USG ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada


tidaknya obstruksi, tekstur parenkim
ginjal yang abnormal

CT scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari


ginjal dan traktus urinarius

Pemindaian radionuklir Mengetahui perfusi ginjal yang


abnormal

Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi


30

traktus urinarius

Biopsi ginjal Menentukan berdasarkan


pemeriksaan patologi penyakit ginjal
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ditinjau dari genetik, penyebab dan perjalanan penyakit, DM pada anak dan

remaja berbeda dengan DM pada orang dewasa. Diabetes mellitus pada anak dan

remaja terutama merupakan akibat kerusakan sel-sel beta pankreas yang

memproduksi insulin, sehingga suntikan insulin inerupakan satusatunya cara

pengobatan. Diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar

insulin tinggi atau normal yang disebut resistensi insulin Gejala klinik diabetes

mellitus berupa poliuria, polidipsia, lemas, berat badan menurun, kesemutan, gatal,

mata kabur, impotensia (pada pria), pruritus vulvae (pada wanita).

Manfaat olah raga :

 Meningkatkan kemampuan gerak

 Meningkatkan derajat sehat dinamis

 Awet muda dalam kemampuan fungsional Meningkatkan kualitas hidup

 Menyembuhkan diabetes

 Mencegah terjadinya penyakit gangguan aliran darah (PJK, stroke)

 Menyembuhkan PJK yang ringan

3.2 Saran
 Meningkatkan penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat, sehingga

pengertian masyarakat tentang diabetes mellitus akan bertambah.

 Mengerti serta menyadari tentang seluk beluk penyakit diabetes mellitus.

 Mengetahui tanda bahaya dari adanya komplikasi diabetes secara dini

sangat perlu agar tindakan medis secara dini dapat dilaksanakan.

31
32

 Segeralah mulai melakukan olahraga kesehatan sebelum menjadi

penyandang cacat akibat penyulit diabetes.

 Mengikuti semua nasehat dokter, baik dalam melakukan olah raga,

mengatur diit serta dalam cara meminum obat


Daftar Pustaka

Bays, H., Chapman, R. and Grandy, S. (2007). The relationship of body mass
index to diabetes mellitus, hypertension and dyslipidaemia: comparison
of data from two national surveys. International Journal of Clinical
Practice, 61(5), pp.737-747.

Choi, B. and Shi, F. (2001). Risk factors for diabetes mellitus by age and sex:
results of the National Population Health Survey. Diabetologia, 44(10),
pp.1221-1231.

Daousi, C. (2006). Prevalence of obesity in type 2 diabetes in secondary care:


association with cardiovascular risk factors. Postgraduate Medical
Journal, 82(966), pp.280-284.

Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. (2011). Diabetes Care, 35,


pp.S64-S71.
Fowler, M. (2011). Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes.
Clinical Diabetes, 29(3), pp.116-122.
Kerner, W. and Brückel, J. (2014). Definition, Classification and Diagnosis of
Diabetes Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes, 122(07), pp.384-386.

Ozougwu, O. (2013). The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type


2 diabetes mellitus. J. Physiol. Pathophysiol. 4(4), pp. 46-57.

PERKENI, (2015). Konsesus dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di


Indonesia.Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai