Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUBUNGAN THALASEMIA DENGAN MAKROGNATIA

Disusun Oleh:
Gustafat Abdur Rahman
G991905025
Periode: 1 Juli 2019 – 14 Juli 2019

Pembimbing:
Sandy Trimelda, drg., SpOrt

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Referensi Artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

HUBUNGAN THALASEMIA DENGAN MAKROGNATIA

Hari, tanggal: Rabu, 10 Juli 2019

Oleh:
Gustafat Abdur R G991905025

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi

Sandy Trimelda, drg., SpOrt


DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................1

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6

A. Makrognatia................................................................................................6
1. Definisi................................................................................................... 6
2. Etiologi................................................................................................... 6
3. Patofisiologi............................................................................................ 6
4. Diagnosis................................................................................................ 6
5. Terapi.................................................................................................... 7
B. Thalasemia............................................................................................... 9
1. Definisi.................................................................................................. 9
2. Epidemiologi.......................................................................................... 9
3. Diagnosis............................................................................................... 10
4. Diagnosis Banding.................................................................................10
5. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................11
6. Komplikasi.............................................................................................13
7. Terapi.....................................................................................................14
8. Hubungan Thalasemia dengan Makrognatia.........................................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

Pertumbuhan berkaitan dengan dengan masalah perubahan dalam ukuran fisik


seseorang. Sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan dan penambahan
kemampuan fungsi organ atau individu. Kedua proses ini terjadi secara sinkron pada
setiap individu.proses tumbuh kembang seseorang merupakan hasil interaksi berbagai
faktor yang saling terkait, yaitu ; faktor genetik/keturunan, lingkungan bio-fisiko-
psiko-sosial dan perilaku.proses ini bersifat individual dan unik sehingga memberikan
hasil akhir yang berbeda dan ciri tersendiri pada setiap anak, ada yang hasilnya baik
dan pula yang sebaliknya.tetapi adakalanya peristiwa itu mengalami permasalahan
sehingga menjadi tidak normal misalnya dalam keadaan abnormal itu dapat
mengakibatkan kelainan bawaan atau kelainan kongenital.kelainan kongenital
merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan
hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya
abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kelainan pada kepala dan wajah
seringkali terjadi sebagai defek lahir pada semua populasi dari berbagai ras, dan dapat
muncul sebagai bagian dari suatu sindrom. Prevalensi anomali kraniofasial bervariasi
antara etnis yang berbeda berdasarkan latar belakang genetik, geografi, status sosial-
ekonomi, dan faktor lingkungan. Karena kompleksitas struktur regio kraniofasial,
variasi faktor genetik dan lingkungan mungkin memiliki efek pada perkembangan dan
menyebabkan cacat bawaan lahir.
Kejadian abnormal kehamilan pada regio kraniofasial umumnya terdiri atas
kelainan kongenital jaringan lunak dan kelainan kongenital jaringan keras. Kelainan
jaringan lunak meliputi cleft lip,makroglosia,mikroglosia,ankyloglossia sedangkan
yang termasuk kelainan jaringan keras yaitu cleft palate/celah palatum, torus, agnatia,
mikrognatia, dan makrognatia.
Maloklusi skeletal merupakan cacat lahir yang umum terjadi akibat distorsi
perkembangan rahang atas dan/atau rahang bawah yang akan berdampak besar pada
posisi dan kesehatan dari gigi primer dan permanen. Makrognatia ditandai dengan
pertumbuhan mandibula atau maksila yang melebihi ukuran seharusnya, sedangkan
mikrognatia merupakan mandibula atau maksila yang lebih kecil dan merupakan
penyebab paling umum terjadinya maloklusi skeletal dengan prevalensi kejadian
1/1500 kelahiran hidup, dan seringkali berhubungan dengan abnormalitas skeletal lain,
sumbing langit-langit mulut dan kelainan bentuk lidah.
Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh
defek genetik pada pembentukan rantai globin (Taher et al., 2018). Indonesia termasuk
salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen
(angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian
epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia beta
berkisar 3-10% (Depkes, 2018).
Pada penyakit thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum yang disebabkan
oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang. Menurut beberapa studi
sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien thalasemia berhubungan erat
dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen dan Sjahruddin, 2011). Dapat
diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara kelainan perkembangan kraniofasial dan
thalasemia, yang pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang salah satu kelainan
tersebut yaitu makrognatia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKROGNATIA
1. Definisi
Makrognatia adalah suatu keadaan dimana mandibular dan region protuberansia
lebih besar daripada ukuran normal. Makrognatia juga disebut dengan megagnitia.
Makrognatia mengalami gejala klinis yaitu dagu berkembang lebih besar. Sebagian
besar makrognatia tidak menyebabkan terjadinya maloklusi (Patel, 2009).

2. Etiologi
Etiologi makrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberantia yang
berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat didapat melalui penyakit.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan macrognatia adalah gigantisme pituitary,
Paget’sdisease, dan akromegali. Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon
pertumbuhan berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma).
Penderita biasanya menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang
muka dan rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal,
hipertrofi tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang
dapat menyebabkan rahang menonjol (prognatisme)(Morokumo, 2010).

3. Patofisiologi
Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat pelepasan hormon
pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma).
Ligamen articular menjadi longgar dan memungkinkan mandibula untuk bergerak ke
depan. Ketika gigi anterior rahang bawah tumbuh untukpertama kali, rahang
bawah akan mendesak maju, sehingga bagian posterior rahang bawah lebih
luas dibandingkan bagian anterior rahang atas. Keadaan ini terus berkembang sehingga
dapat menyebabkan macrognathia (Lubowitz, 2011).
4. Diagnosis
Manifestasi klinis dari makrognatia meliputi:
 Rahang bawah lebih besar dari normal menyebabkan dagu protrusi
 Peningkatan volume maxilla sehingga terlihat seperti senyum
 Dagu prominen
 Sudut rahang yang curam
 Kerusakan keselarasan gigi, jarang menyebabkan maloklusi
 Kesulitan pemberian makanan pada anak-anak
 Kesulitan dalam menyebutkan artikulasi yang tepat dan berbicara

Makrognatia digambarkan dengan pertumbuhan berlebih dari mandibula atau


maxilla di atas ukuran yang seharusnya diamana klinisnya tampak jelas saat puncak
pertumbuhan rahang sekitar umur 12,2 tahun pada perempuan dan 14 tahun pada laki-
laki. Deteksi sonografi digunakan untuk diagnosis prenatal pada mikrognatia terisolasi
(manifestasi maloklusi tingkat II) yang normalnya berbeda dari keadaan actual
kelahiran pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto
rontgen gigi dan skull ray.

Gambar 1. Makrognatia,

5. Terapi
Makrognatia membutuhkan tatalaksana perpaduan dari (Soni, 2013):
a. Bedah reduksi dagu (genioplasti)
b. Osteotomi
c. Trapi ortodontik
Pada makrognatia penatalaksanaan berupa bedah ortognatik (orthognathic
surgery). Orthognatic surgery adalah teknik pembedahan dengan melakukan reposisi
dari maxilla, mandibula atau dagu. Pembedahan ini digunakan untuk mengkoreksi
adanya deformitas dentofacial. Tujuan yang diharapkan dari pembedahan ini adalah
didapatkannya fungsi (oklusi) dan untuk facial aesthetic (Kyechoyan, 2013).

Gambar 2. Pra dan post operatif pada makrognatia. Data post operatif diambil
satu tahun setelah operasi (Khechoyan, 2013).

Gambar 3. Gambaran klinis pra dan post operatif makrognatia. Data post operatif
diambil satu tahun setelah operasi (Khechoyan, 2013).
B. THALASEMIA
1. Definisi
Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh defek
genetik pada pembentukan rantai globin (Taher et al., 2018).

2. Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia. Fakta
ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak;
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di
dunia (Taher et al., 2018).
Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area tertentu di dunia.
Talasemia  ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania,
talasemia  tersebar di Afrika, Mediterania, Timor Tengah, India dan Asia Tenggara.
Angka kariernya mencapai 40-80%.
Thalassemia  memiliki distribusi sama dengan thalassemia  Dengan
kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di mediterania
dan bervariasi di Timor Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang merupakan varian
thalassemia sangat banyak dijumpai di India, Birma dan beberapa negara Asia
Tenggara. Adanya interaksi HbE dan thalassemia  menyebabkan thalassemia HbE
sangat tinggi di wilayah ini.
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan
pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir
disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak
meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara
berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara
dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti
dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen
thalassemia beta berkisar 3-10% (Depkes, 2018).
3. Diagnosis
Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor umumnya
sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan (Depkes, 2018).
1. Anamnesis:
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan. a. Pada thalassemia
β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang lebih tua.
b. Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor memerlukan
transfusi berkala.
c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
d. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
e. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia paling
banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.
f. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada anak
dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies
Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila
hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang,
perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.

4. Diagnosis Banding
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini
disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran eritrosit
mikrositik hipokrom (Taher et al., 2018). Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan,
karena pada anemia defisiensi Fe didapatkan:
- Pucat tanpa organomegali
- SI rendah
- IBC meningkat
- Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
- Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi
Anemia sideroblastik dimana didaptkan pula gambaran apusan darah tepi
mikrositik hipokrom dan gejala-gejala anemia, yang membedakan dengan thalassemia
adalah kadar besi dalam darah tinggi, kadar TIBC (Total Iron Binding Capacity) normal
atau meningkat sedangkan pada thalassemia kadar besi dan TIBC normal.
Dapat juga dibandingkan dengan anemia defisiensi G6PD, dimana enzim ini
bekerja untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat oksidasi. Merupakan salah satu
anemia hemolitik juga. Dapat dibedakan dengan thalassemia dengan gambaran apusan
darah tepi dimana pada defisiensi G6PD nomositik-normokrom dan pemeriksaan enzim
G6PD.
Thalassemia juga didiagnosis banding dengan jenis thalassemia lainnya, yang
memberi gambaran klinis yang sama. Namun pada pemeriksaan elektroforesis
hemoglobin dapat diketahui jenis thalassemia α atau thalassemia β. Pada thalassemia α
dengan HbH ditemukan jaundice dan splenomegali.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalassemia ialah:
1. Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita thalasemia
adalah:
- Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit,
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.
- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
- Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops
sel dan target sel.
Gambar 4. Sapuan darah tepi normal dan thalassemia.

- Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia terjadi
karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun, sedangkan
TIBC akan meningkat.
- Tes Fungsi Hepar
- Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut
sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu
empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan
adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi
kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.
Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar HbA2. Petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya
Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%,
sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 0,3.

4. Pemeriksaan rontgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan ‘hair on end’ yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar (Permono et al., 2010).

Gambar 5. Gambar rontgen kepala ‘hair on end’ dan tulang panjang yang terjadi penipisan
korteks.

6. Komplikasi
 Splenomegali karena penimbunan besi dan eritrosit abnormal, leukosit dan
trombosit.
 Anak dengan β thalassemia mayor dengan transfuse yang tidak adekuat dapat
menyebabkan pertumbuhan kurang dan mudah terinfeksi, hepatosplenomegali,
penipisan cortex tulang dan mudah fraktur.
 Hemosdierosis akibat pemberian transfuse, sehingga kadar serum besi yang
berlebihan.
 Kerusakan hepar yang disebabkan oleh besi yang berhubungan dengan komplikasi
sekunder dari transfuse dan infeksi hepatitis C merupakan penyebab tersering
hepatitis pada anak dengan thalassemia.
 Congestive heart failure dan cardiac aritmia pada transfusi tanpa chelating agent.
 Thrombosis dan septikemia pada splenektomi
 Wanita dengan fetus α-thalassemia meningkatkan komplikasi pada kehamilan
karena toksikemia dan peradarahan post partum (Permono et al., 2010).

7. Terapi
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut
setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan kecuali
memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan apabila nilai
Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada
semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang memiliki anggota
keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi
darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah harus
dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah periode
pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam
batas normal tanpa transfusi (Permono et al., 2010).

8. Hubungan Thalasemia dengan Makrognatia


Makrognatia adalah suatu keadaan dimana dagu berukuran lebih besar daripada
ukuran normal. WHO menyebut bahwa makrognatia sama dengan maxillary
hyperplasia atau mandibular hyperplasia, yang mengindikasikan bahwa makrognatia
berhubungan dengan pembesaran patologis (hiperplasia) maksila maupun mandibula.
Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat pelepasan
hormon pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak
(adenoma). Etiologinya antara lain kelainan bawaan (penyebab terbanyak), pituitary
gigantism (peningkatan hormon pertumbuhan), Paget’s disease, akromegali, dan
leantosis ossea.
Telah disebutkan bahwa pada thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum
yang disebabkan oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang.
Menurut beberapa studi sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien thalasemia
berhubungan erat dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen dan
Sjahruddin, 2011). Kelainan orofasial pada pasien thalasemia dihubungkan dengan
perubahan tulang yang terkait dengan eritropoesis yang inefektif. Tulang menjadi tipis,
dan fraktur patologis dapat terjadi. Perubahan pada tulang fasial dan kranial juga
berasal dari overekspansi tulang sumsum yang berujung pada penampakan wajah yang
tipikal (Helmi et al., 2017).
Elangovan et al. (2013). menyebutkan bahwa pasien thalasemia, terutama
pasien thalasemia β major biasanya memiliki berbagai macam kelainan orofasial.
Tingkat maloklusi yang tinggi, terutama maloklusi kelas I dan kelas II dapat ditemukan.
Pada maloklusi kelas I dan II pada pasien thalasemia, hiperplasia sumsum tulang yang
disebabkan oleh turnover sel darah merah yang terlalu cepat di maksila melebihi
mandibula. Elangovan et al. juga menyatakan bahwa deformitas tulang dan wajah
berkaitan erat dengan umur pasien, keparahan anemia, dan waktu pertama kali diberi
transfusi. Pasien yang mendapat transfusi darah yang adekuat saat kecil akan memiliki
perubahan tulang yang lebih parah saat remaja.
Pada studi yang dilakukan Gupta et al. (2016) terdapat temuan satu kasus
maloklusi kelas III di antara sampel pasien thalasemia lainnya yang kebanyakan
memiliki maloklusi kelas II. Pada pasien tersebut, ditemukan underbite yang parah dan
ukuran mandibula yang lebih besar dari biasanya (makrognatia). Keluarga pasien tidak
memiliki riwayat maloklusi kelas III. Menurut Gupta et al., temuan ini belum pernah
disebutkan dalam studi-studi sebelumnya dan belum ada literatur yang menyebutkan
hubungan makrognatia dan thalasemia yang jelas.
Temuan makrognatia atau hiperplasia mandibula pada pasien thalasemia
sebelumnya pernah dipaparkan oleh Lagia et al. (2007) yang melakukan studi
radiografi pada kerangka tulang seorang pasien perempuan berusia 14 tahun yang
diperkirakan meninggal tahun 1966 karena thalasemia. Pada mandibula pasien tersebut,
ditemukan pembengkakan kontur tulang dan ukuran mandibula yang lebih besar dari
normal. Hal ini membuktikan bahwa terdapat kemungkinan bahwa makrognatia
berhubungan dengan thalasemia.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Makrognatia merupakan kelainan pada rahang yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Diagnosis mikrognatia dan makrognatia ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai.
Telah disebutkan bahwa pada thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum
yang disebabkan oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang.
Menurut beberapa studi sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien
thalasemia berhubungan erat dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen
dan Sjahruddin, 2011). Kelainan orofasial pada pasien thalasemia dihubungkan dengan
perubahan tulang yang terkait dengan eritropoesis yang inefektif. Tulang menjadi tipis,
dan fraktur patologis dapat terjadi. Perubahan pada tulang fasial dan kranial juga
berasal dari overekspansi tulang sumsum yang berujung pada penampakan wajah yang
tipikal (Helmi et al., 2017).
Walaupun belum ada studi yang menggambarkan dengan jelas hubungan
makrognatia dengan thalasemia, temuan oleh Lagia et al. (2007) dan Gupta et al. (2016)
membuktikan bahwa makrognatia dapat menjadi salah satu manifestasi kelainan
orofasial pada thalasemia. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor internal dan
eksternal yang menyebabkan hiperplasia mandibula dan kelainan arah pertumbuhan
mandibula.
B. SARAN
Tenaga kesehatan dalam konsep interprofessional collaboration sebaiknya
mampu menerapkan kolaborasi antar profesi untuk melakukan tatalaksana makrognatia
pada thalasemia ini. Dokter umum atau spesialis kandungan dan anak, bersama bidan,
melakukan deteksi dini mengenai kelainan rahang pada bayi/anak, terutama pada
pasien yang beresiko tinggi lahir dengan thalassemia, kemudian melakukan konsultasi
kepada dokter gigi supaya pasien dapat segera mendapatkan pelayanan kesehatan yang
sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Elangovan, A., Mungara, J., Joseph, E., & Guptha, V. (2013). Prevalence of dentofacial
abnormalities in children and adolescents with β-thalassaemia major. Indian
Journal of Dental Research: Official Publication of Indian Society for Dental
Research, 24(4), 406–410. https://doi.org/10.4103/0970-9290.118360.
Gupta, D. K., Singh, S. P., Utreja, A., & Verma, S. (2016). Prevalence of malocclusion
and assessment of treatment needs in β-thalassemia major children. Progress in
Orthodontics, 17. https://doi.org/10.1186/s40510-016-0120-6.
Helmi, N., Bashir, M., Shireen, A., & Ahmed, I. M. (2017). Thalassemia review: features,
dental considerations and management. Electronic Physician, 9(3), 4003–4008.
https://doi.org/10.19082/4003.
Khechoyan D. Y. (2013). Orthognathic surgery: general considerations. Seminars in
plastic surgery, 27(3), 133-136.
Lagia, A., Eliopoulos, C., & Manolis, S. (2007). Thalassemia: macroscopic and
radiological study of a case. International Journal of Osteoarchaeology, 17(3), 269–
285. https://doi.org/10.1002/oa.881.
Lubowits A (2011). Macrognathia. (http://www.medindia.net/patients
/patientinfo/pagets_macrognathia.htm). Diakses – 8 Juli 2019.
Morokumo et al. 2010. Abnormal fetal movement, micrognathia and pulmonary
hypoplasia: a case report. BMC Pregnancy Childbirth, 10: 46.
Patel A (2009). The developmental disturbences of jaws. Philadelphia.
Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. (2010). Hemoglobin Abnormal:
Talasemia. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta: 2010. Hal 64-84.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1/2018 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia. Jakarta: Depkes.
Soni P. 2013. Macrognathia: Its Causes, Signs, Symptoms & Treatment. Pulp.
Taher, A. T., Weatherall, D. J., & Cappellini, M. D. (2018). Thalassaemia. Lancet
(London, England), 391(10116), 155–167. https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(17)31822-6
Zen, Y., & Sjahruddin, L. D. (2011). Posterior transverse interarch discrepancy on HbE β
thalassemia patients. Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi), 44(1), 1–6.
https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v44.i1.p1-6

Anda mungkin juga menyukai