Anda di halaman 1dari 21

ASPEK LABORATORIUM

DAN
DIAGNOSIS BANDING ANEMIA

Dr. Adang Muhammad Gugun, M.Kes SpPK

Bagian Patologi Klinik


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
PENDAHULUAN
Anemia adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan kulit dan membran mukosa
pucat, dan pada tes laboratorium didapatkan hitung hemoglobin (Hb), hematokrit (Hmt) dan
eritrosit kurang dari normal yang berakibat penurunan kapasitas oxygen-carrying di dalam
darah. Insidennya 30% pada setiap individu di seluruh dunia, prevalensinya terutama tinggi
di negara berkembang karena faktor defisiensi diet dan atau kehilangan darah akibat infeksi
parasit gastrointestinal. Umumnya anemia asimptomatik pada kadar hemoglobin di atas 10
g/dl, tetapi sudah dapat menyebabkan gangguan penampilan fisik dan mental.

A. Klasifikasi anemia
Anemia dapat diklasifikasikan berdasar morfologi dan penyebabnya
I. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologinya:
- Anemia mikrositik hipokrom
- Anemia normositik normokrom
- Anemia makrositik
II. Klasifikasi anemia berdasarkan penyebabnya dibagi atas :
1. Kehilangan darah (post hemoragik)
- Akut : akibat rauma atau tukak
- Kronik : hemorhoid, menstruasi, polip usus, neoplasma, dll.
2. Destruksi yang berlebihan (hemolitik)
a. Faktor intrakorpuskuler :
- Antibodi : respon isoimun, respon autoimun
- Infeksi : misalnya malaria
- Penjeratan dan penghancuran eritrosit oleh limpa : misalnya
hipersplenisme
- Oleh obat-obatan : misalnya kinidin dll
- Oleh bahan kimia atau pengaruh fisis
- Penyakit lain : misalnya limfoma, leukemia dll
- Trauma terhadap eritrosit
b. Faktor korpuskuler :
- Herediter : Hemoglobinopati, gangguan sintesis globin (misalnya
thalasemia), gangguan membran eritrosit (misalnya sferositosis),
defisiensi enzim (defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase)
- Akusita : misalnya Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH),
intoksikasi timah.
3. Pembentukan eritrosit berkurang/terganggu
a. Defisiensi substansi esensial : misalnya defiensi besi, vitamin B12/folat.
b. Infiltrasi pada sumsum tulang : misalnya leukemia, limfoma, multiple,
mieloma, karsinoma, mielofibrosis.
c. Gangguan endokrin
d. Penyakit ginjal kronik
e. Penyakit hati
f. Inflamasi kronik
g. Defisiensi eritroblast

2
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO11

Kelompok Kriteria Anemia Kadar Hemoglobin (Hb)


Laki-laki dewasa <13 g/dl

Wanita dewasa <12 g/dl

Wanita hamil <11 g/dl

B. Diagnosis Etiologi Anemia


Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan
gejala dari berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat
ditetapkan penyakit dasar yang menjadi anemiatersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap
akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan
penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa
mengetahui penyebab yang mendasar dari anemia tidak dapat diberikan terapi yang
tuntas pada kasus anemia tersebut.
Untuk menegakkan etiologi diagnosis anemia dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan tes penunjang laboratorium, sebagai berikut :

I. Tes Laboratorium Penunjang


1. Tes Saring
a. Tes darah rutin
2. Tes Diagnostik
(Tes diagnostik berdasarkan indikasi, lihat algoritme di bawah)
a. Tes apusan darah tepi
b. Tes hitung retikulosit
c. Tes Profil Besi ( Besi, TIBC, Ferritin)
d. Tes Faal Hepar
e. Tes Faal Ginjal
f. Tes Hormon Tiroid
g. Tes Coomb’s
h. Tes Elektoforesis hemoglobin
i. Aspirasi sumsum tulang
j. Tes kadar asam folat/vitamin B12 plasma

II. INDEKS ERITROSIT


Meskipun klasifikasi anemia yang berdasarkan penyebabnya (misalnya kegagalan
produksi sel darah merah atau kehilangan berlebihan atau penghancuran sel darah
merah) telah dipergunakan, namun klasifikasi yang paling bermanfaat sekarang
adalah klasifikasi berdasarkan pada indeks sel darah merah (Tabel 1) oleh karena
perlengkapan elektronik modern dapat mengukur dengan tepat ukuran sel darah
merah dan kadar haemoglobin.

Klasifikasi ini mempunyai dua keuntungan besar:

3
1. Jenis anemia (ukuran sel darah merah dan kadar haemoglobinnya)
menunjukkan kelainan yang mendasari dan oleh karena itu pemeriksaan lebih
lanjut sangat berguna dalam memastikan suatu diagnosis.
2. Indeks sel darah merah dapat memberi dugaan abnormalitas yang mendasari
sebelum anemia yang ditentukan sebelumnya berkembang, misalnya
makrositosis (sel darah merah besar) dengan defisiensi vitamim B12 atau folat
pada tingkat dini. Indeks abnormal juga dapat menunjuk suatu kelainan pentign
di mana anaemia mungkin tidak terjadi, misalnya beberapa kasus thalassemia di
mana sel darah merah sangat kecil (mikrositik) tetapi karena jumlahnya yang
meningkat, konsentrasi haemoglobin dalam darah adalah normal.

Tabel 1. Klasifikasi anemia

Mikrositik, hipokromik MCV, MCH berkurang


(MCV < 80 fl) (MCH < 27 pg)
misalnya defisiensi besi, thalassemia
Normositik, normokromik MCV, MCH normal
(MCV 80-95 fl) MCH 27-34 pg)
Misalnya setelah kehilangan darah akut, sebagian
besar anemia hemolitik dan anemia sekunder,
kegagalan sumsum tulang.
Makrositik MCV meningkat (>95 fl)
Misalnya anemia megaloblastik

Dua keadaan fisiologis yang menyebabkan nilai MCV lebih dari normal adalah bayi
baru lahir dan kehamilan. Pada bayi baru lahir selama beberapa minggu MVC tetap tinggi
tetapi berangsur turun dan mencapai 70 fl pada umur satu tahun. Selanjutnya perlahan
meningkat sepanjang masa anak sampai batas dewasa normal. Pada kehamilan normal
terdapat sedikit peningkatan MCV.

Indeks eritrosit ditentukan secara manual dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

1. MCV : Hematokrit x 10 fl
∑ Eritrosit (juta)

2. MCH : Hemoglobin x 10 pg

∑ Eritrosit (juta)

3. MCHC : Hemoglobin x 100 gr/dl RBC


Hematokrit

4
Algoritama pendekatan diagnostik anemia

Anemia

Hapusan darah tepi dan


indeks eritrosit
(MCV,MCH, MCHC)

Anemia mikrostik Anemia normositik Anemia


hipokromik normokromik makrositik

Lihat gambar 2 Lihat gambar 3 Lihat gambar 4

Gambar 2. Algoritma pendekatan diagnostik penderita dengan anemia mikrositik


hipokromik

ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK

Besi Serum

Menurun Normal

TIBC TIBC Besi Serum


Feritin Feritin N/

Besi sumsum Besi sumsum Elektroforesis Ring sideroblast


tulang negatif tulang positif HB dalam sumsum
tulang

Hb A2
HbF

Anemia Anemia akibat Thalasemia Besi sumsum


defisiensi besi penyakit kronik beta tulang positif

5
Gambar 3. Algoritma diagnosis anemia normositik normokromik

ANEMIA NORMOSITIK
NORMOKROMIK

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Tanda hemolisis Riwayat Sumsum tulang


posistif perdarahan akut

Tes coomb’s
Hipoplastik Displastik Infiltrasi Normal

Negatif Positif Tumor ganas Limfoma Faal hati


hematologi kanker faal ginjal
(leukemia, faal tiroid
mieloma) penyakit
Riwayat kronik
keluarga
positif

Enzimopati AIHA Anemia Anemia Anemia Anemia


Membranopati aplastik pada mieloptisik Pada
Hemoglobinopati leukemia GGK,
akut/ Penyakit
mieloma Hati
Kronik,
Hipotiroid,
A.Mikroangiopati/ Anemia pasca Anemia pada sindroma Peny.
Obat/parasit perdarahan akut Mielodisplastik Kronik

6
Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositik

ANEMIA MAKROSITIK

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Sumsum tulang
Riwayat
perdarahan
akut
Megaloblastik Non megaloblastik

Anemia Faal tiroid


pasca
perdarahan Faal Hepar
B12 serum Asam folat
akut
rendah rendah Displastik

Anemia def. B12/ Anemia Anemia def. Anemia


Asam folat dalam def. B12 Asam folat pada
terapi hipotiroidi

A pada
Penyakit
hepar

Sindroma
mielodiplastik

7
C. DIAGNOSIS BANDING ANEMIA

ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik merupakan kegagalan sistem hemopoesis karena adanya penekanan
multipotent myeloid stem cells dengan ditandai dengan anemia, trombositopenia dan
netropenia (pansitopenia). Penyebab anemia aplastik dapat herediter maupun acquired.
Lebih dari 50% kasus tidak diketahui sebabnya (idiopatik). Pada kasus lain dilaporkan
bahwa obat dan bahan mielotoksik, infeksi (hepatitis, Epstein-Barr virus, influenza, CMV,
B19 parvovirus) dan kondisi lain (kehamilan, paparan radiasi, penyakit imun) dapat
menyebabkan anemia aplastik. Pada beberapa kasus, anemia aplastik dikaitkan dengan
tuberkulosis milier, brucellosis dan infestasi parasit.

● Gambaran klinik
Manifestasi klinik muncul berdasarkan berat ringannya penyakit. Pada umumnya
pasien anemia hipoplastik atau aplastik tampak lemah, lelah dan takikardia. Jika terjadi
pansitopenia, gejala lain akan tampak misalnya petekia dan purpura yang disebabkan
karena trombositopenia, sedangkan netropenia menyebabkan demam dan infeksi. Beberapa
kasus anemia ini berkaitan dengan abnormalitas fenotip termasuk defek tulang, retardasi
mental serta abnormalitas kulit dan kuku. Hepatosplenomegali dan limfodenopati jarang
dijumpai pada kasus tanpa komplikasi.

● Pendekatan diagnosis
Untuk mendiagnosis anemia aplastik perlu dilakukan pendekatan sebagai berikut:
1. Menentukan jenis dan berat-ringannya sitopenia
2. Menilai adanya hepatosplenomegali dan limfodenopati
3. Mengevaluasi ada tidaknya masifestasi lain dari penyakit kelainan hipoplastik
herediter termasuk kelainan fisik dan radiologi
4. Menganalisis dengan cermat bukti adanya paparan bahan atau obat toksik, penyakit
infeksi seperti hepatitis atau mononukleosis infeksiosa, dan perdarahan.
5. Membuktikan adanya hiposelularitas sumsum tulang, dan mengeksklusi adanya
infiltrasi dan proses fibrotik.

● Pemeriksaan laboratorium
Gambaran darah rutin lengkap pada anemia hipoplastik atau aplastik pada umumnya
menunjukkan anemia berat sampai ringan, netropenia dan trombositopenia, dari hasil
indeks eritrosit dijumpai eritrosit normositik normokromik kadang-kadang ditemui
makrositik. Disamping itu, juga dijumpai limfositosis relatif. Gambaran pansitopenia
tersebut harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan morfologi darah tepi dan sumsum tulang.
Pada anemia aplastik/hipoplastik sumsum tulang gagal dalam mengkompensasi
adanya anemia di perifer karena adanya penurunan atau penekanan eritropoesis. Kondisi ini
ditunjukkan dengan hasil hitung retikulosit terkoreksi yang menurun.
Hasil morfologi darah tepi mendukung hasil darah rutin, dengan gambaran eritrosit
normositik normokromik. Makrositosis ringan mungkin dijumpai karena adanya pelepasan
dini eritrosit imatur ke sirkulasi, meskipun tidak ditemukan eritrosit berinti pada di darah
tepi. Gambaran anisopoikilositosis sangat ringan dapat ditemukan tapi tidak sering
dijumpai. Pada anemia hipoplastik/aplastik, eritrosit, netrofil dan trombosit pada umumnya
tidak menunjukkan kelainan morfologi spesifik yang nyata, serta tidak ditemukan sel
lekosit imatur di darah tepi.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan penurunan produksi ketiga jalur sel
(eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis). Prekursor eritroid mungkin tidak ditemukan
sama sekali, atau bisa ditemukan hanya prekursor eritrosit paling muda. Jarang ditemukan
8
kelainan spesifik morfologi eritrosit, granulosit dan trombosit/megakariosit. Limfosit, sel
plasma dan mast cells biasanya tampak relatif meningkat dan membuat kelompok tersendiri
(cluster).
Pemeriksaan lain diperlukan untuk mencari penyakit yang mendasari misalnya
pemeriksaan imunoserologi untuk hepatitis, CMV dan lain-lain.

● Diagnosis banding pansitopenia:


1. Kegagalan produksi sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Infiltrasi sumsum tulang
i. Lekemia akut
ii. Hairy cell leukemia
iii. Karsinoma metastase
iv. Limfoma
v. Multipel mieloma
vi. Waldenstrom macroglobulinemia
vii. Myelofibrosis
viii. Lipid storage disease
c. Anemia megaloblastik
i. Defisiensi vitamin B12
ii. Defisiensi asam folat
2. Peningkatan destruksi sel darah
a. Hipersplenisme
b. SLE
c. Infeksi berat
d. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
3. Hemopoesis inefektif
Myelodysplastic syndrome

\ANEMIA DEFISIENSI BESI


Anemia defisiensi besi akan terjadi apabila intake besi tidak adekuat sehingga tidak
memenuhi kadar standard yang dibutuhkan oleh tubuh, kebutuhan meningkat, penurunan
hemoglobin kronik (chronic blood loss), atau gangguan absorpsi
Besi didistribusikan ke 3 bagian, yaitu bagian penyimpanan (feritin dalam makrofag
sumsum tulang dan sel hati), bagian transportasi (transferin serum) dan bagian fungsional
(hemoglobin, mioglobin dan sitokrom). Hemoglobin dan feritin intrasel menempati 95%
distribusi total hemoglobin. Tahap perkembangan anemia defisiensi besi meliputi tahap I
(penurunan cadangan besi), tahap II (penurunan transport besi) dan tahap III (penurunan
besi fungsional).

● Pemeriksaan laboratorium
A. Pemeriksaan skrining
a. Darah lengkap
Sejak terjadi eritropoesis dengan defisiensi besi maka akan terlihat gambaran
mikrositik hipokromik, dibuktikan dengan penurunan nilai MCH dan MCV.
Penurunan hemoglobin akan tampak pada gambaran klasik tahap III. Red
blood cell distribution width (RDW) ditemukan > 15% dan dijumpai
sebelum terjadi penurunan kadar hemoglobin. Pada pasien risiko tinggi,
peningkatan RDW tersebut merupakan indikator yang sensitif. Saat terjadi
penurunan lanjut kadar hemoglobin, gambaran mikrositik hipokromik akan
9
semakin tampak jelas diikuti makin turunnya nilai MCV, MCHC dan MCH.
Jumlah eritrosit jelas menurun diikuti dengan penurunan nilai hematokrit.
Jumlah trombosit mungkin meningkat terutama pada kasus yang disebabkan
karena perdarahan kronik atau pada anak berhubungan dengan anemia
nutrisional, tetapi hal ini bukan merupakan gambaran diagnostik. Jumlah
lekosit pada umumnya normal.
b. Morfologi darah tepi
Polikromasia tampak pada awal penyakit meskipun belum didapatkan
gambaran yang nyata. Segera sesudahnya akan tampak eritrosit mikrositik
hipokromik. Pada kasus lebih lanjut, akan dijumpai anisositosis,
poikilositosis, sel target dan sel pensil meskipun tidak tampak dominasi
kelainan morfologi eritrosit tertentu. Kesan jumlah tombosit dapat normal
atau meningkat, sedangkan jumlah dan morfologi lekosit tidak didapatkan
kelainan.
c. Retikulosit
Pada anemia defisiensi besi, hitung retikulosit menunjukkan:
i. Normal atau rendah
ii. Meningkat, bila diakibatkan oleh perdarahan
B. Diagnosis
a. Profil besi
Pada anemia defisiensi dijumpai kadar feritin serum menurun, disertai
penurunan kadar besi (serum iron/SI). Sedangkan, nilai total iron- binding
capacity (TIBC) meningkat dengan saturasi transferin menurun.
Pengambilan darah untuk pemeriksaan besi tersebut disarankan pada pagi
hari dan puasa. Konsumsi besi melalui makanan dapat menyebabkan
peningkatan palsu.
C. Tes khusus
a. Besi dalam sumsum tulang.
Cadangan besi di sumsum tulang dapat dideteksi dengan pemeriksaan
hemosiderin sumsum tulang. Hasil pemeriksaan tersebut akan menunjukkan
penurunan atau bahkan tidak didapatkan cadangan besi sama sekali.
b. Serum transferin receptors (sTfR)
Pemeriksaan sTfR dikenal sebagai parameter diagnostik baru untuk menilai
defisiensi besi, tidak terpengaruh oleh penyakit kronik dan hasilnya dapat
dibandingkan dengan pemeriksaan besi pada sumsum tulang. Pada anemia
defisiensi besi ditemukan adanya kenaikan kadar sTfR yang sebanding
dengan derajat defisiensi besi. Pemeriksaan sTfR dilakukan menggunakan
immunoassay. Indeks sTFR-Ferritin pada anemia defisiensi besi meningkat
sedangkan pada anemia penyakit kronis normal atau turun.
c. Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP) dan Zinc Protoporphyrin (ZPP)
Protoporphyrin akan terakumulasi oleh karena tidak adanya besi kemudian
protoporphyrin akan berikatan dengan zinc membentuk ZPP.Keduanya
diperiksa dengan fluorometer.

Diagnosis banding gambaran mikrositik hipokromik:


1. Anemia penyakit kronik
2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik

10
Morfologi darah tepi anemia defisiensi
besi, menunjukkan anemia mikrositik
hipokromik, dan ditemukan sel pensil
(tanda patognomonik).

Anemia pada Penyakit Kronik


Anemia penyakit kronis yang juga sering disebut anemia pada inflamasi kronis
(anemia of chronic disease/ACD) merupakan suatu bentuk anemia derajat ringan sampai
sedang yang terjadi akibat infeksi kronis inflamasi atau penyakit keganasan / kanker yang
telah berlangsung minimal 1-2 bulan tanpa disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin.
Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di rumah sakit. Anemia
pada penyakit kronis ditandai dengan penurunan ringan dari massa eritrosit, namun dapat
juga memberat hingga membutuhkan transfusi, bahkan tidak jarang menyebabkan
penurunan keadaan umum dan kualitas hidup pasien.

Tabel 2. Penyebab Anemia Pada Penyakit Kronik


Penyakit Infeksi Kronik
Infeksi paru: abses, emfisema, tuberkulosis, pneumonia
Endokarditis
Penyakit radang panggul
Osteomielitis
Infeksi saluran kemih menahun
Infeksi jamur menahun
Meningitis
Inflamasi kronis tanpa disertai infeksi
Artritis rheumatoid
Demam rematik
Lupus eritematosus kronis
Trauma berat
Trauma panas
Abses steril
Penyakit keganasan
Karsinoma
Penyakit Hodgkin
Limfosarkoma

Leukemia
Mieloma
Lain-lain
Penyakit hati karena alkohol
Gagal jantung kongestif
Tromboflebitis
Penyakit jantung iskemik
Idiopatik

11
Penanganan ACD seringkali tertunda oleh karena anemia jenis ini dianggap suatu
gangguan sekunder dari penyakit utama yang sedang diderita. Memang benar ACD hanya
dapat dikoreksi apabila penyakit yang mendasari disembuhkan, akan tetapi apabila anemia
ini diperhatikan dan diketahui patogenesisnya secara benar akan sangat membantu klinisi
dalam penanganan pasien secara holistik.

Patogenesis
Pada anemia ini terjadi kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan terjadinya
hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar patogenesis ACD
berhubungan dengan keadaan berikut ini: (1) gangguan homeostasis besi (2) kegagalan
proliferasi sel progenitor eritroid, dan (3) penurunan respon sumsum tulang terhadap
eritropoietin.
Penyebab utama ACD adalah terjadinya gangguan homeostasis besi, dengan
peningkatan ambilan dan retensi besi dalam sel sistem retikuloendotelial. Hal ini
menyebabkan pergeseran besi dari sirkulasi menuju sistem retikuloendotelial sebagai
tempat cadangan besi, selanjutnya terjadi penurunan ketersediaan besi untuk sel prekursor
eritroid yang diperlukan untuk eritropoiesis.
Mekanisme kedua dari ACD adalah kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid.
Pada pasien dengan ACD, proliferasi dan differensiasi prekursor eritroid, erythroid burst-
forming units (BFU-E) dan erythroid colony-forming units (CFU-E) berjalan tidak
sempurna akibat efek inhibisi oleh interferon-α, -β, -α, TNF-α, dan IL-1 yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan BFU-E dan CFU-E.Mekanisme ketiga yaitu turunnya respon
eritropoietin. Hormon ini merupakan faktor pertumbuhan yang penting untuk differensiasi
eritrosit dan sintesis Hb. Ekspresi eritropoietin berbanding terbalik dengan oksigenasi
jaringan dan kadar Hb. Pada ACD terjadi respon eritropoietin yang inadekuat terhadap
derajat anemia pada sebagian besar kasus. Sitokin IL-1 dan TNF-α secara langsung
menghambat ekspresi eritropoietin invitro.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada ACD meliputi pemeriksaan hematologi, penilaian
status besi tubuh, dan pelacakan proses inflamasi. Pada ACD anemia mulai nyata setelah 1
bulan dari dideritanya suatu penyakit. Pada pemeriksaan hematologi rutin akan didapatkan
penurunan Hb yang ringan (9,5 g/dL) sampai sedang (8 g/dL) dan Hmt berkisar 25-40%.
Morfologi eritrosit biasanya normositik normokromik, akan tetapi sekitar 30% nya
menunjukkan mikrositik hipokromik dengan nilai RDW yang bervariasi. Pemeriksaan
hematologi lain seperti kecepatan enap (KED) darah menunjukkan hasil yang meningkat,
hitung retikulosit dapat berada dalam batas normal atau berkurang. Evaluasi ACD harus
melibatkan pemeriksaan status besi untuk menyingkirkan kemungkinan ADB.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan SI dan TIBC, %sat, dan kadar
SF normal bahkan lebih sering meningkat, sehingga diperlukan pemeriksaan sTfR atau
indeks sTfR-F yang tidak menunjukkan peningkatan. Pengecatan Prussian biru
menunjukkan melimpahnya cadangan besi di makrofag.

12
Gambar 27. Morfologi darah tepi ACD Gambar 28. Cadangan besi yang melimpah
menunjukkan normositik normokromik pada sumsum tulang

Diagnosis Banding:
1. Anemia Defisiensi Besi
2. Thalassemia
3. Anemia Sideroblastik

ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia megaloblastik merupakan anemia yang disebabkan karena defisiensi asam
folat dan/atau vitamin B12 dan dimasukkan dalam kelompok anemia makrositik. Pada
anemia makrositik, eritrosit berukuran besar abnormal (volume eritrosit rata-rata atau mean
corpuscular volume/MCV >95 fl).
Penyakit ini merupakan suatu kelompok anemia dengan adanya suatu kelainan yang
khas pada eritroblas di sumsum tulang berupa pematangan inti relatif lebih lambat
dibandingkan dengan sitoplasma (asinkronisasi nukleositoplasmik). Kromatin inti memberi
gambaran yang terbuka dengan pembentukan hemoglobin yang normal dalam sitoplasma
eritroblast sejalan dengan pematangannya. Defek yang menyebabkan maturasi inti yang
tidak sinkron adalah gangguan sintesis DNA.

Penyebab Anemia megaloblastik


1. Defisiensi asam folat :
a. Nutrisi : usia tua, kemiskinan, kelaparan, diet khusus.
b. Malabsorbsi : Tropical sprue, enteropati yang diinduksi gluten, gastrektomi
parsial, reseksi jejunum ekstensif, penyakit Crohn.
c. Pemakaian berlebihan :
1. Fisiologik : kehamilan dan menyusui, prematuritas
2. Patologik : Penyakit hematologik (anemia hemolitik, mielofibrosis),
keganasan (karsinoma, limfoma, mieloma), penyakit radang (Crohn,
tuberculosis, artritis rematoid, psoriasis, dermatitis eksfoliatif, malaria).
3. Kehilangan folat berlebihan lewat urin (penyakit hati aktif, gagal jantung
kongestif)
d. Obat-obatan (antikonvulsi, sulfasalazin)
e. Campuran (penyakit hati, alkoholisme, perawatan intensif)
2. Defisiensi vitamin B12 :
a. Nutrisi, terutama vegetarian

13
b. Malabsorbsi (anemia perniosiosa, gastrektomi total, divertikulosis jejenum,
striktur, tropical sprue kronik, reseksi ileum, penyakit Crohn, cacing pita
ikan.
c. infeksi dengan Diphylobothrium latum
3. Kelainan metabolisme vitamin B12 atau folat :
a. Defisiensi transkobalamin II
b. Nitrat oksida
c. Obat anti-folat

4. Obat-obatan
a. 6-merkaptopurin
b. 5-flurourasil
c. Sitosin arabinosid
d. Alkaloid vinka
e. Difenilhidantoin

5. Defek sintesis DNA lain


a. Defisiensi enzim kongenital : orotic aciduria, anemia diseritropoetik
congenital, anemia pernisiosa juvenil.
b. Defisiensi enzim yang didapat : alcohol, terapi hidroksi urea, sitosin
arabinosa.

Gambaran Klinis
Awitan biasanya lambat dengan gejala dan tanda anemia yang buruk secara
perlahan. Pasien mungkin menderita ikterus ringan karena pemecahan hemoglobin
berlebihan akibat peningkatan eritropoesis inefektif dalam sumsum tulang. Glositis,
stomatitis angularis, dan gejala malabsorbsi ringan disertai penurunan berat badan mungkin
terjadi akibat kelainan epitel. Purpura akibat trombositopenia dan pigmentasi melanin yang
tersebar luas (penyebab belum jelas) adalah gambaran yang jarang ditemukan. Banyak
pasien asimtomatis yang terdiagnosis setelah pemeriksaan hitung darah menunjukan adanya
makrositosis.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah tepi
Eritrosit bersifat makrositik (MCV > 95 fl) dan sering mencapai 120 – 140 fl pada
kasus berat dengan anisositosis dan poikilositosis, mungkin dijumpai eritrosit yang
makroovalosit, dengan sel megaloblast dan Howell-Jolly Bodies. Hitung retikulosit
memperlihatkan hasil yang rendah, dan jumlah lekosit dan trombosit total mungkin
turun sedikit. Sering dijumpai adanya kelainan morfologi lekosit berupa
hipersegmentasi netrofil.
2. Gambaran sumsum tulang
Kepadatan sel hiperseluler dengan hemopoesis tidak efektif. Pada hemopoesis
didapatkan diseritropoesis (gambaran normoblas megaloblastik, asinkronisasi rasio
nukleositoplasmik), digranulopoesis (ukuran besar misalnya giant metamielosit,
hipersegmentasi dan disinkronisasi pematangan nukleus dan sitoplasma),
distrombopoesis (megakariosit dengan inti yang hiperlobulasi).
3. Pemeriksaan kimia
Didapatkan peningkatan aktivitas LDH dalam serum, mencapai 10.000 l (normal
20-240l) disertai peningkatan kadar bilirubin indirek akibat pemecahan sel
sumsum tulang.
14
4. Pemeriksaan khusus
Tes Schilling dilakukan untuk menentukan apakah terdapat anemia pernisiosa
ataukah malabsorbsi yang lain. Untuk kadar asam folat dan vitamin B12 dilakukan
untuk mengetahui penyebab anemia megaloblastik

Tabel 3. Kadar asam folat serum, folat eritrosit dan vit. B2


Normal Vit B12 &
Pemeriksaan (g/L) Def folat Def vit B12 folat
Kadar folat serum 3-15 menurun normal/meningkat menurun
   
Kadar folat eritrosit 160-640 menurun normal/meningkat menurun
   
kadar Vit B12 serum 160-925 Normal menurun menurun
   

5. Pemeriksaan khusus untuk mencari etiologi


Untuk mencari etiologi anemia megaloblastik perlu dilakukan analisis intake
makanan, pemeriksaan tinja untuk mencari sisa makanan dan telur cacing
Dyphllobotrium latum serta pemeriksaan tes faal hati.

Gambar 29. Makro-ovalosit pada


anemia megaloblastik

Gambar 30. Howell-Jolly bodies pada


anemia megaloblastik

15
Gambar 31. Asinkronisasi
nukleositoplasmik normoblas pada
anemia megaloblastik

THALASSEMIA

Thalassemia adalah suatu bentuk anemia hemolitik kongenital. Terdapat 3 golongan


anemia hemolitik kongenital yaitu :
1. Stromatopati
Yaitu kelainan stroma sitoskeleton eritrosit sehingga morfologi eritrosit tidak seperti
cakram melainkan berubah seperti: sferositosis, ovalositosis, dan eliptositosis
2. Enzimopati
Yaitu kelainan enzim eritrosit seperti defisiensi enzim G-6PD, piruvat kinase
3. Hemoglobinopati
Yaitu kelainan pembentukan hemoglobin, atau lebih spesifik lagi kelainan
pembentukan rantai polipeptid globin. Contoh :
o Pembentukan polipeptide abnormal di mana salah satu asam amino
disubstitusi dengan asam amino jenis lain seperti anemia sel sabit, penyakit
HbC, HbD, HbM
o Kekurangan pembentukan globin seperti thalassemia

● Patogenesis Thalassemia
Hb tersusun atas heme (cincin porfirin yang mengikat Fe) dan globin (protein).
Globin tersusun atas 2 pasang rantai polipeptid yaitu sepasang rantai alfa dan sepasang
rantai non alfa (pada orang normal rantai β, γ, dan τ), sehingga dirumuskan sebagai
berikut :
α2β2 = HbA atau HbA1 (Hb Adult > 95% total Hb)
α2τ2 = Hb F (Hb Fetal < 2% total Hb)
α2δ2 = HbA2 ( < 3% total Hb)

Sintesis rantai globin tadi masing-masing disandi oleh gen β, γ, dan τ. Gena yang
menyandi sintesis globin beta terdapat pada kromosom 11 dan bersifat resesif. Sindroma
thalassemia akan timbul pada individu homozigot (thalassemia major). Manifestasi
thalassemia juga akan timbul kalau terjadi interaksi gena thalassemia dengan hemoglobin E
(penyakit thalassemia-Hb E atau βo /βE). Kedua keadaan klinik tersebut disebut sindroma
thalassemia. Bentuk heterozigot bertindak sebagai penyandang bakat (carrier atau trait)
dengan anemia ringan atau tidak anemia sama sekali, dengan gambaran eritrosit
hipokromik dan mikrositosis.

16
Jenis-jenis Hb dapat dibuktikan dengan pemeriksaan :
o Elektroforesis yang menilai kecepatan migrasi masing-masing hemoglobin dalam
suatu medan listrik.
o Hb F dengan denaturasi alkali.
o Pemeriksaan Hb A2 dengan microcolumn chromatography

Gambaran apus eritrosit


Pada thalassemia memiliki gambaran khas dengan anisositosis berat, mikrosit, hipokromik,
terdapat makrosit atau mikrosferosit, polikromasi, poikilositosis dengan sel target, sel
teardrops, bentuk sel bizzare (aneh) dan sering ditemukan normoblas.

Diagnosis thalassemia ditegakkan atas dasar :


1. Kenaikan Hb F dengan alkali denaturasi atau elektroforesis
2. Bukti trait pada kedua orang tua, yaitu peningkatan Hb A2 dengan pemeriksaan
elektroforesis dan microcolumn chromatography.
3. Pemeriksaan lain yang penting adalah adanya timbunan besi.

Gambar 32. Sel target dan basophilic stippling pada thalassemia, tampak jelas
gambaran hipokromisitas eritrosit

17
Gambar 33. Anisositosis, poikilositosis, tampak jelas sel target dan hipokromisitas
eritrosit pada thalassemia

Gambar 34. Anisositosis, teardrops dan basophilic stippling pada thalassemia

18
Anemia Hemolitik (Autoimmune Haemolytic Anaemia/AIHA)

Autoimmune Haemolytic Anaemia adalah anemia yang disebabkan adanya destruksi


eritrosit yang diakibatkan adanya autoantibodi yang langsung dapat melawan antigen pada
sel eritrosit itu sendiri. Masing-masing aktivitas autoantibodi ditentukan oleh suhu optimal
dalam tubuh atau suhu lingkungan. Suhu tersebut mempengaruhi aktivitas autoantibodi.
Berdasarkan reaktivitas autoantibodi pada suhu dingin atau panas, maka penyakit AIHA ini
dapat dibedakan menjadi 2 kelompok:
A. AIHA tipe hangat (warm AIHA)
1. Primer (idiopatik)
2. Sekunder (keganasan : CLL, limfoma, SLE, infeksi virus, obat)
B. AIHA tipe dingin (cold agglutinin syndrome)
1. Primer (idiopatik)
2. Sekunder (mycoplasma pneumoniae, mononukleosis infeksiosa, CLL, limfoma)

Gambaran klinis
Pasien AIHA pada umumnya datang dengan keluhan anemia dengan segala manifestasinya,
ikterik dan kadang-kadang disertai trombositopenia. Splenomegali bisa ditemukan terutama
pada kasus berat dengan aktivitas fagositosis yang meningkat. Pada kasus berat
kemungkinan pasien menderita demam, pucat, splenomegali, hepatomegali, dan takikardi
terutama pada AIHA tipe hangat. AIHA tipe dingin biasanya terjadi pada umur dewasa
atau tua dengan gejala Hb-uria, vasooklusif perifer, akrosianosis (Raynaud`s phenomenon).

Pemeriksaan laboratorium
Untuk skrining AIHA dilakukan pemeriksaan darah rutin lengkap. Kadar
hemoglobin akan menunjukkan penurunan yang dapat mencapai di bawah 5 gr/dl, demikian
pula dengan nilai hematokrit dan jumlah eritrosit. Nilai indeks eritrosit (MCV dan MCH)
masih tampak normal kecuali apabila ditemukan clumping eritrosit (MCV naik) atau
mikrosferositosis (MCV turun dan MCH normal).
Gambaran morfologi darah tepi menunjukkan adanya clumping eritrosit (cold
AIHA), mikrosferosit (warm AIHA) atau keduanya (mixed AIHA/cold & warm AIHA)
dengan hemoglobinisasi masih tampak normal (normokromik). Tanda-tanda peningkatan
eritropoesis sumsum tulang dapat ditemukan juga di darah tepi yaitu dengan adanya
polikromasi dan/atau eritrosit berinti.
Pada AIHA, secara efektif kompensasi aktivitas sumsum tulang terhadap adanya
anemia di perifer direfleksikan dengan adanya peningkatan hitung retikulosit
(retikulositosis). Dengan kata lain retikulositosis menggambarkan adanya peningkatan
eritropoesis sumsum tulang.
Untuk membuktikan adanya autoantibodi dalam tubuh pasien AIHA dilakukan
pemeriksaan tes Coomb (uji antihuman-globulin). Autoantibodi yang telah menyelimuti
eritrosit akan dideteksi oleh tes Coomb direk, sedangkan tes Coomb indirek bertujuan untuk
mendeteksi adanya autoantibodi yang belum melekat di permukaan eritrosit. Pada AIHA,
hasil tes Coomb tersebut menunjukkan positif kuat pada tes Coomb direk saja, atau
keduanya.
Pada AIHA pemeriksaan urin diperlukan untuk membuktikan adanya pemecahan
free hemoglobin di dalam sirkulasi terutama pada kasus hemolisis intravaskuler. Pada kasus
tersebut akan didapatkan hemoglobinuria, urobilinuria dan hemosiderinuria.

19
Pemeriksaan lain yang dapat mendukung penegakan diagnosis AIHA meliputi
pemeriksaan bilirubin indirek, LDH, haptoglobin (protein pengikat hb), hemopexin, dan
methemalbumin. Pada kasus hemolisis intravaskuler akan didapatkan peningkatan bilirubin
indirek, peningkatan LDH, penurunan haptoglobin dan hemopexin. Pada hemolisis
ekstravaskuler didapatkan peningkatan bilirubin indirek serum, peningkatan urobilinogen
urin dan feses.

Gambar 45. Clumping eritrosit pada AIHA tipe dingin (pemeriksaan morfologi darah tepi)

Gambar 46. Mikrosferositosis pada AIHA tipe hangat (pemeriksaan morfologi darah tepi)

20
REFERENSI

1. Anonim. 1980. Manual of Basic Techniques for a Health Laboratory, WHO.


2. Bakta I made Pendekatan Diagnosis dan Terapi terhadap Penderita Anemia
http://ejournal.iikmpbali.ac.id/index.php/BHJ
3. Dacie. S.C.V., Lewis. S.M.1995. Practical Haematology, 8th ed, Churchill
Livingstone.
4. Harijanto, P.N, 2006. Malaria dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi IV,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 1754.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE. Kapita Selekta Haematologi. Terjemahan Iyan
Darmawan : Kapita Selekta Haematologi, edisi 2, EGC Kedokteran, Jakarta 1996.
6. Kjelberg C et al, 1995. Practical of Hematologic Disorers, 2nd ed., ASCP Press,
Illinois.
7. Lee et al. Wintrobe’s Clinical Hematology, 10th edition, Williams & Wilkins A
Waverly Company, Philadelphia, 1998.
8. Parra, M.E., et al, 1991: Identification of Plasmodium Falciparum Histidine-Rich
Protein 2 in the Plasma of Humans with Malaria. J. Clin. Microbiol.,29,1629-1634
9. Rodak BF, 2002. Hematology: Clinical Principles and Applications, 2nd ed., WB
Saunders Co., Philadelphia.
10. Rodak. 2002. Hematology Clinical Principles and Applications, 2nd ed, WB
Saunders Co.
11. Evatt BL. Fundamental Diagnostic Hematology: Anemia. Atlanta & Geneva: US
Department of Health and Human Services & WHO, 1992.

21

Anda mungkin juga menyukai