Anda di halaman 1dari 15

Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis

Tri Pudy Asmarawati Budi Baktijasa PENDAHULUAN Hipertensi telah mempengaruhi kurang lebih 25% populasi dewasa di seluruh dunia. Prevalensinya diperkirakan meningkat sampai 60% pada tahun 2025. Kondisi ini merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit kardiovaskuler dan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia.1 Prevalensi yang tinggi ini juga merupakan penyebab penting terjadinya endstage kidney disease (ESKD), dengan resiko yang lebih tinggi pada kulit hitam. 2 Ginjal dan tekanan darah mempunyai suatu hubungan yang unik. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan penyebab sekaligus akibat dari hipertensi, dengan melalui proses yang multifaktorial.3 Lebih dari 80% pasien PGK mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Hasil uji klinis maupun studi observasional menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik merupakan prediktor kuat terjadinya ESKD oleh berbagai sebab termasuk hipertensi esensial, diabetes, dan glomerulonefritis.4 Hipertensi pada PGK seringkali bersifat menetap dan berkaitan dengan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan dengan hipertensi tanpa disertai PGK. Hipertensi pada pasien dengan penyakit parenkim ginjal kronik baik diabetik maupun nondiabetik mempercepat berkurangnya fungsi ginjal seperti halnya proses lain seperti aterosklerosis.5,6 Data-data epidemiologis dan uji klinis menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah memperlambat perburukan PGK dan sekaligus menurunkan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler. 4 Penatalaksanaan hipertensi pada PGK selain bertujuan untuk menurunkan tekanan darah juga untuk mencegah perburukan fungsi ginjal.2,3 Kebanyakan pasien dengan hipertensi dan PGK akan memerlukan antihipertensi multipel untuk mencapai target tekanan darah sesuai rekomendasi. Proteinuria adalah faktor resiko penting pada PGK sehingga penurunan proteinuria merupakan tujuan penting lainnya yang perlu dicapai pada penatalaksanaan hipertensi dan PGK.4 Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai patogenesis dan penatalaksanaan hipertensi pada pasien dengan PGK.
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

PATOGENESIS Komponen utama yang menentukan tekanan arterial adalah curah jantung dan tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi denyut jantung, sementara volume sekuncup dipengaruhi oleh kontraktilitas miokard dan ukuran kompartemen vaskuler. Tahanan perifer ditentukan oleh perubahan anatomi dan fungsional pada arteri kecil (diameter lumen 100-400 m) dan arteriol. Mekanisme hipertensi antara lain ditentukan oleh volume intravaskuler, sistim saraf otonom, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan mekanisme vaskuler.7 A. VOLUME INTRAVASKULER Volume intravaskuler merupakan penentu utama tekanan arterial. Natrium adalah komponen ion ekstraseluler dan berperan menentukan volume cairan ekstraseluler. Jika asupan NaCl melebihi kapasitas ginjal untuk mengekskresi natrium maka volume vaskuler akan meningkat diikuti dengan peningkatan curah jantung. Bagaimanapun juga, kebanyakan vascular beds (termasuk otak dan ginjal) mampu melakukan otoregulasi aliran darah. Jika aliran darah dipertahankan konstan pada kondisi peningkatan tekanan arterial, maka tahanan pada vaskuler tersebut harus dinaikkan. 7 Peningkatan awal tekanan darah sebagai respon terhadap peningkatan volume vaskuler disebabkan oleh peningkatan curah jantung, bagaimanapun juga, lama kelamaan tahanan perifer akan meningkat dan curah jantung kembali ke arah normal. Pada saat tekanan arterial meningkat akibat tingginya asupan NaCl, ekskresi natrium lewat urin meningkat dan keseimbangan natrium dipertahankan. Mekanisme ini disebut fenomena pressure-natriuresis yang menimbulkan peningkatan ringan glomerular filtration rate (GFR), menurunkan kapasitas absorpsi tubulus renal, dan kemungkinan juga faktor hormonal seperti atrial natriuretic factor. Pada individu dengan gangguan kapasitas ekskresi natrium, diperlukan tekanan arterial yang lebih tinggi untuk mencapai natriuresis dan keseimbangan natrium.7 ESKD merupakan contoh ekstrim hipertensi terkait volume. Pada sekitar 80% dari pasien-pasien ini, volume vaskuler dan hipertensi dapat dikontrol dengan dialisis adekuat. Sedangkan 20% lainnya mekanisme hipertensi berkaitan dengan peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin sehingga diperlukan hambatan farmakologis pada reninangiotensin untuk mengontrol tekanan darah. 7

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

B. AKTIVITAS SISTIM SARAF OTONOM Sistim saraf otonom mempertahankan homeostasis kardiovaskuler melalui sinyal tekanan, volume, dan kemoreseptor. Refleks adrenergik mengatur tekanan darah pada jangka pendek, dan fungsi adrenergik bersamaan dengan faktor terkait volume dan hormonal berperan dalam regulasi tekanan arterial jangka panjang. Ketiga katekolamin endogen (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin) berperan penting dalam regulasi kardiovaskuler. Neuron adrenergik membentuk norepinefrin dan dopamin (prekursor norepinefrin), dan disimpan di dalam vesikel pada neuron. Apabila neuron dirangsang, neurotransmiter ini akan dilepaskan ke celah sinaptik dan reseptor pada jaringan target. Selanjutnya, transmiter ini akan dimetabolisme atau diambil kembali oleh neuron. 7 Beberapa refleks memodulasi tekanan darah dari menit ke menit. Salah satu barorefleks arterial diperantarai oleh ujung saraf sensoris yang berada di sinus karotikus dan arkus aorta. Perangsangan pada baroreseptor ini meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan arteri yang mengakibatkan penurunan respon simpatetik sehingga tekanan arteri dan denyut jantung menurun. Bagaimanapun juga, aktivitas barorefleks ini menurun atau beradaptasi dengan tingginya tekanan arterial sehingga baru bekerja pada tekanan yang lebih tinggi. Pasien dengan neuropati otonom dan gangguan fungsi barorefleks dapat memiliki tekanan darah yang labil dengan episode peningkatan yang sulit dikontrol.7 Feokromositoma adalah contoh hipertensi akibat peningkatan sekresi katekolamin. Tekanan darah dapat diturunkan dengan tindakan eksisi tumor atau terapi farmakologis dengan antagonis reseptor 1 atau dengan inhibitor tirosin hidroksilase. Peningkatan aktivitas simpatis juga dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme ini. Obatobatan yang menghambat sistem saraf simpatis merupakan antihipertensi yang poten. 7 C. RESPON SISTEM RENIN-ANGIOTENSIN-ALDOSTERON Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan dalam regulasi tekanan arteri terutama melalui efek vasokonstriksi angiotensin II dan efek retensi natrium oleh aldosteron. Tiga stimulus utama yang merangsang sekresi renin yaitu: (1) menurunnya transpor NaCl di pars asenden loop of henle (mekanisme makula densa), (2) penurunan tekanan di dalam arteriol aferen ginjal (mekanisme baroreseptor), dan (3) stimulasi sistem saraf simpatis pada sel yang mensekresi renin lewat adrenoreseptor1. Sebagai kebalikan, sekresi renin dihambat oleh peningkatan transport NaCl di pars asenden loop of henle, peningkatan
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

tekanan di dalam arteriol aferen ginjal, dan blokade reseptor 1. Selain itu, sekresi renin juga dipengaruhi oleh berbagai faktor humoral, termasuk angiotensin II. Angiotensin II secara langsung menghambat sekresi renin oleh reseptor angiotensin II tipe 1 pada sel juxtaglomerulus, dan sekresi renin meningkat sebagai respon terhadap blokade farmakologis pada reseptor angiotensin-converting enzyme (ACE) atau angiotensin II.7 Pada saat dilepaskan ke sirkulasi darah, renin aktif akan membelah angiotensinogen untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat terutama di sirkulasi pulmonal. Angiotensin II merupakan presor poten dan faktor utama untuk sekresi aldosteron. Angiotensin II bekerja terutama pada reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) yang terdapat pada membran sel. Reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2) tersebar di dalam ginjal dan mempunyai efek fungsional yang berlawanan dengan reseptor AT1. Reseptor AT2 menginduksi vasodilatasi, ekskresi natrium, dan menghambat pertumbuhan sel serta pembentukan matriks. Bukti-bukti eksperimental menunjukkan bahwa reseptor AT2 memperbaiki remodelling vaskuler dengan merangsang apoptosis sel otot polos dan berperan dalam regulasi laju filtrasi glomerulus. Blokade reseptor AT1 menginduksi peningkatan aktivitas reseptor AT2.7 Tumor yang mensekresi renin adalah contoh hipertensi terkait renin. Pada kondisi ini, selain dengan eksisi atau ablasi tumor, terapi farmakologis yang menghambat produksi angiotensin II juga diperlukan untuk mengontrol hipertensi. Hipertensi renovaskuler merupakan contoh lain hipertensi terkait renin. Obstruksi pada arteri renalis menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga merangsang sekresi renin. Seiring dengan perjalanan penyakit maka akan terjadi kerusakan ginjal sekunder.7 Angiotensin II merupakan faktor primer yang mengatur sintesis dan sekresi aldosteron oleh korteks adrenal zona glomerulosa. Sintesis aldosteron juga tergantung pada kalium dan sekresinya menurun pada individu dengan kalium rendah. Aldosteron adalah mineralokortikoid poten yang meningkatkan reabsorpsi natrium. Keseimbangan elektrik dipertahankan melalui pertukaran natrium dengan kalium dan ion hidrogen. Maka dari itu, peningkatan sekresi aldosteron akan menyebabkan hipokalemia dan alkalosis. 7 EFEK HIPERTENSI TERHADAP GINJAL Otoregulasi ginjal normal bekerja untuk mempertahankan renal blood flow (RBF) dan GFR konstan selama tekanan arteri rata-rata 80-160 mmHg. Proses ini terjadi melalui 2 mekanisme intrinsik pada ginjal, yaitu refleks miogenik di arteriol aferen dan umpan balik
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

tubuloglomerulus. Refleks miogenik yang terbatas pada arteriol aferen menyebabkan pembuluh darah mengalami konstriksi atau dilatasi sebagai respon terhadap perubahan tekanan intraluminal. Peningkatan tekanan arteri menyebabkan respon vasokonstriksi, sedangkan penurunan tekanan arteri menyebabkan vasodilatasi. Umpan balik

tubuloglomerulus merespon perubahan tonus aferen ini dengan mengatur konsentrasi NaCL di tubulus distal. Konstriksi yang disebabkan oleh angiotensin II pada arteriol eferen memberikan perlindungan tambahan untuk mempertahankan GFR pada saat tekanan perfusi ginjal turun.2,8 Pada kondisi normal, vasodilatasi otoregulasi maksimal terjadi pada tekanan arteri rata-rata 80 mmHg, sehingga apabila terjadi penurunan tekanan darah lebih lanjut, GFR dan RBF akan mulai turun. Sementara saat tekanan arteri rata-rata mendekati batas atas kurva otoregulasi, konstriksi pembuluh darah preglomeruler tidak lagi mampu mengatasi tingginya tekanan darah sehingga terjadi transmisi langsung tekanan darah tinggi ke dalam sirkulasi glomerulus. Resultante tekanan intraglomeruler tinggi menyebabkan jejas glomerulus dan kerusakan ginjal dengan cepat.8 Pada hipertensi kronik, arteri-arteri kecil pada ginjal, termasuk arteriol aferen, mengalami beberapa perubahan potologis yang merubah otoregulasi ginjal. Seperti halnya pembuluh darah di manapun, arteriol aferen pada awalnya mengalami disfungsi endotel yang mengakibatkan gangguan vasodilatasi. Lama kelamaan, gangguan ini diperparah dengan perubahan histologis yaitu arteriosklerosis dan hiperplasia miointima. Perubahan fungsi dan struktur pembuluh darah ini digambarkan dengan pergeseran ke kanan kurva otoregulasi (Gambar 1).8 Lesi vaskuler aterosklerotik terkait hipertensi pada ginjal awalnya mengenai arteriol preglomeruler yang menyebabkan perubahan iskemik di glomerulus dan struktur postglomeruler. Jejas glomerulus dapat juga merupakan konsekuensi kerusakan langsung pada kapiler karena hiperperfusi glomerulus. Patologi glomerulus berkembang menjadi glomerulosklerosis dan kemudian tubulus renal mengalami iskemik dan bertahap menjadi atrofi. Lesi pada ginjal terkait hipertensi maligna terdiri dari nekrosis fibrinoid pada arteriol eferen, terkadang meluas pada glomerulus dan menyebabkan nekrosis fokal. Secara klinis, makroalbuminuria (rasio albumin urin/kreatinin urin acak >300 mg/g) atau mikroalbuminuria (rasio albumin urin/kreatinin urin acak 30-300 mg/g) merupakan petunjuk awal untuk kerusakan ginjal.7
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

Gambar 1. Otoregulasi ginjal untuk mempertahankan tekanan intreglomeruler relatif konstan dengan variasi MAP. Pada hipertensi kronik, kurva bergeser ke kanan. Dengan terjadinya gagal ginjal kronis, otoregulasi ginjal berubah sedemikian rupa sehingga tekanan intraglomeruler lebih bervariasi tergantung MAP. Jika perubahan ini berkelanjutan maka kurva akan semakin linier. Akibatnya, peningkatan MAP memperparah peningkatan tekanan intraglomeruler, dan sebaliknya.

HIPERTENSI PADA PGK DAN DIALISIS Pada individu normal, perubahan volume ekstraseluler jangka pendek menyebabkan hanya sedikit perubahan tekanan darah karena adanya efek buffer dari sistem renin angiotensin (RAS). Hal ini dibuktikan dari pengamatan bahwa peningkatan asupan garam pada diet mengakibatkan peningkatan berat badan kurang lebih 1,5-2 kg, akan tetapi tidak ada perubahan tekanan darah bermakna oleh karena RAS ditekan. Percobaan dengan antagonis angiotensin II pada individu dengan hipertensi esensial dan ACE-inhibitor pada subjek normal dan hipertensi menunjukkan bahwa supresi RAS berperan dalam sedikitnya peningkatan tekanan darah pada kondisi perubahan volume ekstraseluler (ECV) yang besar.9,10 Individu dengan ESKD sebagai akibat glomerulonefritis atau arteriosklerosis glomerulus, yang ditunjukkan dengan adanya hipertensi maligna, terjadi kerusakan arsitekstur glomerulus yang nyata. Hal ini menyebabkan iskemia juxtaglomerular apparatus (JGA) sehingga timbul gangguan sekresi renin. Penderita ESKD dengan peningkatan plasma renin activity (PRA) lebih sering disebabkan oleh glomerulonefritis atau arteriosklerosis daripada penyakit tubulointerstitial. Glomerulosklerosis menyebabkan penurunan progresif filtrasi glomerulus yang kemudian menurunkan paparan NaCl pada makula densa. Kondisi tersebut juga menyebabkan turunnya stimulasi baroreseptor pada region nefron yang kemudian meningkatkan sekresi renin oleh JGA. Sebaliknya, kekurangan air dan garam yang

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

sering menyertai penyakit tubulus ginjal menyebabkan tingginya paparan natrium pada sel makula densa di tubulus distal yang kemudian menekan sekresi renin. 9,10 Patofisiologi utama hipertensi pada pasien dialisis adalah ekspansi volume ekstraseluler.11 Pasien PGK yang telah menjalani hemodialisis (HD), fungsi ekskresi ginjal sebagian besar digantikan oleh dialisis. Individu tersebut mampu mengabsorpsi air dan garam seperti halnya individu dengan fungsi ginjal normal, tetapi mereka tidak dapat mengekskresinya sehingga harus dibuang setiap kali menjalani dialisis. Secara umum, pasien HD, yang menjalani dialisis tiga kali seminggu, mengalami peningkatan ECV 1-3 liter di antara tiap dialisis. Fluktuasi konstan ECV ini yang menyebabkan kerusakan sistem kardiovaskuler, selain itu juga berperan dalam peningkatan tekanan darah. 9-11 Mayoritas individu yang telah menjalani HD, di samping hilangnya hampir seluruh fungsi ekskresi, masih memiliki kemampuan untuk sekresi renin maupun respon terhadap perubahan volume, dan PRA dapat semakin meningkat. Kondisi ini tampaknya mengganggu mekanisme umpan balik volume renin-garam pada pasien HD hipertensif dan individu ini biasanya mensekresi renin dalam jumlah besar untuk status volume mereka dibandingkan dengan individu normal atau pasien HD normotensif. Kenyataan bahwa pasien HD mengalami overload cairan kronis dan terjadi kelainan aktivitas RAS inilah yang menyebabkan sebagian besar menderita hipertensi. 9 PENATALAKSANAAN Tujuan utama terapi antihipertensi pada PGK adalah untuk menurunkan baik tekanan sistemik maupun tekanan intraglomeruler. Penurunan tekanan darah sistemik dapat, tetapi tidak selalu, menurunkan tekanan intraglomeruler. Tujuan terapi lainnya adalah menurunkan ekskresi protein urin, mengurangi perburukan fungsi ginjal, dan mendapatkan efek kardioprotektif.3,12 Kebanyakan pasien PGK dan hipertensi memerlukan tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. 13 National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome and Quality Initiative (NKF/KDOQI) dan The Seventh Report of the Joint National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) menetapkan PGK sebagai kelompok resiko tinggi yang memerlukan terapi hipertensi intensif. Guidelines ini merekomendasikan terapi farmakologis dan modifikasi gaya hidup untuk mencapai target 130/80 mmHg.14,15 Target ini harus dicapai untuk melindungi ginjal, mencegah penyakit kardiovaskuler dan kerusakan organ. Sebagai upaya untuk mencapai tekanan darah sesuai
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

target pada penyakit ginjal atau diabetes, telah dibuat suatu algoritme oleh American Diabetes Association tahun 2005 dan guidelines KDOdc-BP tahun 2004 seperti pada gambar 2.5
Jika tekanan darah >130/80 mmHg pada Diabetes atau PGK dengan proteinuria derajat apapun

(jika TD sistolik <20 mmHg di atas target) Mulai dengan ARB atau ACE inhibitor dititrasi naik

(jika TD sistolik 20 mmHg di atas target) Mulai dengan ACE inhibitor atau ARB /diuretik tiazid*

Evaluasi dalam 2-3 minggu Jika tekanan darah belum mencapai target (130/80 mmHg)

Tambahkan diuretik tiazid long acting*

Tambahkan CCB atau -blocker (dititrasi naik)

Evaluasi dalam 2-3 minggu Jika tekanan darah belum mencapai target (130/80 mmHg)

Jika telah menggunakan CCB, tambahkan CCB dari subgrup lainnya atau jika menggunakan -blockers, tambahkan CCB Evaluasi dalam 4 minggu Jika tekanan darah belum mencapai target (130/80 mmHg)

Tambahkan vasodilator (hidralazine atau minoksidil) atau rujuk


Gambar 2 Algoritme dari American Diabetes Association, 2005; KDOdc-BP guidelines 2004 untuk terapi hipertensi pada pasien PGK atau diabetes. *diuretik tiazid hanya boleh digunakan jika eGFR 50 ml/mnt, jika tidak sebaiknya digantikan diuretik loop.

Obat-obatan Penghambat RAS ACE-inhibitors atau ARB merupakan terapi antihipertensi lini pertama pada pasien PGK, termasuk PGK yang lanjut, dengan atau tanpa disertai diabetes.3,12,16,17 Rekomendasi ini berdasarkan hasil dari beberapa randomized controlled clinical trial pada nefropati diabetik maupun nondiabetik. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa ACE-inhibitors dan ARB efektif dalam menurunkan tekanan darah, memperlambat perburukan penyakit ginjal baik diabetik maupun nondiabetik, nefropati.
2,18,19

menurunkan proteinuria dan juga

mencegah

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

ACE-inhibitors dan ARB terutama menurunkan resistensi arteriol eferen sehingga menurunkan tekanan kapiler glomerulus. Obat-obatan ini dapat mengurangi akumulasi matriks protein mesangial yang kemudian dapat mencegah sklerosis kapiler glomerulus. Selain itu, ACE-inhibitors dan ARB juga menurunkan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma (menurunkan proteinuria) tanpa merubah autoregulasi aliran darah ginjal. 4 Efek penurunan tekanan darah oleh ACE-inhibitors secara umum kurang pada kondisi hipertensi dengan kelebihan volume, seperti pada kasus PGK. Kontrol tekanan darah yang adekuat pada pasien PGK sulit dicapai tanpa adanya diuresis yang efektif. Diuresis efektif juga dapat mengaktivasi RAS dan mengembalikan efek antihipertensi melalui blokade RAS. Maka dari itu, penambahan diuretik pada ACE-inhibitors dapat bersifat sinergis.3 ARB bekerja menghambat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) sehingga dapat menghambat efek angiotensin II. Hambatan pada reseptor AT 1 oleh ARB disertai dengan aktivasi pada reseptor AT2 yang menghasilkan efek berlawanan dengan stimulasi pada AT 1 yaitu mempengaruhi diferensiasi sel, vasodilatasi, menghambat proliferasi dan hipertrofi sel, natriuresis, dan peningkatan nitric oxyde (NO). Stimulasi pada reseptor AT2 ini merupakan efek yang diharapkan pada penyakit ginjal dan kardiovaskuler.20 Hambatan pada RAS selain dapat mengontrol tekanan darah juga mempunyai manfaat lain. ACE-inhibitors diketahui dapat menurunkan indeks massa ventrikel kiri setelah periode 12 bulan penggunaan pada pasien hipertensi dengan gangguan ginjal berat, tetapi tidak menjalani dialisis. Studi lain menyebutkan losartan dan lisinopril mengurangi hipertrofi ventrikel kiri pada pasien dialisis baik normotensif maupun hipertensif. Losartan menurunkan massa ventrikel kiri lebih signifikan daripada enalapril dan amlodipin, akan tetapi kelemahan studi ini tidak terdapat kontrol dan waktu follow-up pendek. Angiotensin II merupakan zat dipsogenik dan penggunaan ACE-inhibitors pada beberapa kondisi secara signifikan mengurangi rasa haus dan penambahan berat badan interdialisis pada pasien hemodialisis. 12 Efek samping hambatan pada RAS antara lain supresi eritropoiesis dan resistensi terhadap eritropoetin (rHuEpo) akibat ACE-inhibitors sehingga diperlukan dosis rHuEpo lebih besar. ACE-inhibitors dan ARB dikaitkan dengan hiperkalemia terutama pada pasienpasien resiko tinggi, yaitu penderita diabetes, gagal jantung kongestif, dan PGK. Batuk sering dialami dengan penggunaan ACE-inhibitors, tetapi tidak pada ARB. Edema angioneurotik akibat obat-obatan ini dapat menjadi efek yang berpotensi fatal. 3

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

Calcium Channel Blockers Calsium channel blockers (CCBs) merupakan vasodilator poten dan juga dapat berperan memperbaiki fungsi endotel pada pasien hipertensi seperti halnya ACE-inhibitors.18 Antihipertensi ini dikelompokkan menjadi 2 subkelas heterogen yaitu dihidropiridin (nifedipin, amlodipin) dan nondihidropiridin (verapamil, diltiazem). 4,18 Meskipun dibagi menjadi dua subkelas, perbedaan dalam hal efek nefroprotektif juga terdapat pada subkelas yang sama, seperti dalam tabel 1. Faktor yang mempengaruhi perbedaan sifat ini antara lain variasi distribusi kanal kalsium intrarenal, perbedaan efek terhadap permeabilitas membran glomerulus, penurunan tekanan transkapiler, dan autoregulasi ginjal.4
Tabel 1 Perbandingan efek renal pada kelas-kelas antihipertensi yang sedang diteliti luas dalam kaitannya dengan penyakit ginjal (RAS-inhibitors dan CCBs).

CCB nondihidropiridin, seperti halnya ACE-inhibitors dan ARB, dapat menurunkan tekanan glomeruler, akumulasi matriks mesangial dan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga dapat mengurangi proteinuria. CCB dihidropiridin memiliki efek netral terhadap tekanan glomerulus, akumulasi matriks mesangial dan permeabilitas membran terhadap protein. Selain itu, karena berfungsi sebagai vasodilator poten terhadap arteriol aferen, kelas ini cenderung untuk menghilangkan ototregulasi RBF. Apabila CCB dipakai sebagai pilihan terapi pada pasien PGK dengan proteinuria tanpa menggunakan obat penghambat RAS, maka kelas nondihidropiridin lebih diutamakan mengingat efek antiproteinurianya. Sedangkan apabila dikombinasi dengan ACE-inhibitors maupun ARB, perbedaan subkelas CCB menjadi kurang bermakna. 2-4 Efek CCB terhadap proteinuria juga diteliti dalam subgrup yang dirandomisasi untuk mendapat ramipril atau plasebo dan diterapi dengan atau tanpa CCB untuk kontrol tekanan darah pada The Ramipril Efficacy in Nephropathy (REIN) trial. Hasilnya adalah efek proteinuria tergantung pada kontrol tekanan darah dan penggunaan konkomitan dengan ACEinhibitor (ramipril). Sebagai contoh, tanpa adanya ACE-inhibitor, proteinuria meningkat dari baseline pada pasien yang mendapat CCB dengan MAP >100 mmHg. Sementara, apabila
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011 10

MAP dipertahankan <100 mmHg, proteinuria turun pada pasien yang diterapi CCB tanpa mendapat ACE-inhibitor.4 Diuretik Overload cairan ekstraseluler sebagai akibat dari retensi garam merupakan penyebab utama hipertensi pada PGK. Diuretik berperan terutama dalam menurunkan reabsorpsi natrium di tubulus, mencegah ekspansi volume ekstraseluler, dan menurunkan tekanan darah. Obat ini juga meningkatkan efek antihipertensi ACE-inhibitors, ARB, dan obat lainnya.18 Pilihan agen diuretik tergantung pada GFR dan kebutuhan penurunan volume ekstraseluler. Diuretik tiazid direkomendasikan pada pasien dengan GFR ml/mnt/1,73 m2 (PGK stadium 1-3). Pada PGK stadium 4-5 diberikan diuretik loop. Pemberian diuretik hemat kalium pada pasien PGK stadium 4-5, yang sedang mendapat terapi ACE-inhibitors atau ARB, dan memiliki faktor risiko hiperkalemia harus dipertimbangkan dengan hati-hati mengingat efeknya terhadap konsentrasi kalium. Diuretik long acting atau kombinasi diuretik dengan antihipertensi lain sebaiknya lebih dipertimbangkan untuk meningkatkan kepatuhan pasien.15 Beta Blockers Sistem saraf simpatis mempengaruhi fungsi ginjal melalui beberapa reseptornya, yaitu 1 untuk curah jantung dan sekresi renin, 1 untuk konstriksi sistemik dan renovaskuler, serta 2 untuk dilatasi renovaskuler. Hiperaktivitas simpatetik sering dijumpai pada PGK dan merupakan faktor penting dalam meningkatkan resiko kejadian kardiovaskuler seperti halnya perburukan PGK. Akan tetapi, penggunaan obat-obatan beta blockers pada PGK sangat jarang, terutama pada pasien dengan PGK lanjut. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan efek obat ini pada fungsi ginjal dan metabolik. 21 Beta blockers mempunyai sifat farmakologis yang sangat bervariasi. Hal ini menentukan keamanan obat tersebut jika digunakan pada pasien PGK. Sifat farmakologis tersebut antara lain kelarutan dalam lemak, kardioselektivitas, rute ekskresi, dan adanya efek tambahan seperti vasodilator, antioksidan, aktivitas blokade kanal kalsium. Faktor metabolik seperti konsentrasi lipoprotein, kalium dan gula darah juga berbeda-beda pada masingmasing penyekat beta. Atenolol dan metoprolol dapat hilang dengan dialisis sehingga memerlukan suplementasi tambahan untuk mencegah aritmia setelah dialisis. Vasodilator beta blockers memiliki efek positif terhadap hemodinamik ginjal. Efek positif ini berkaitan dengan hambatan relatif pada reseptor 1 seperti pada carvedilol dan labelatol. Beberapa
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

11

studi mengevaluasi efek beta blockers dengan resiko kardiovaskuler pada PGK. Studi menggunakan carvedilol pada pasien PGK dengan hipertensi menunjukkan peningkatan albuminuria dan penurunan kejadian kardiovaskuler. 21 Beta blockers digunakan sebagai obat tambahan atau pengganti CCB pada pasien hipertensi dengan PGK, terutama apabila pasien tersebut juga mengalami gagal jantung, sindroma koroner akut, atau takikardi. 18 Direct Renin Inhibitors Aliskiren merupakan direct renin inhibitor (DRI) oral yang pertama kali tersedia. Efek renal aliskiren kurang lebih sama seperti ACE-inhibitor atau ARB, dengan tambahan efek antiprotenuria apabila diberikan bersama dengan ARB. 22 Studi AVOID (Aliskiren in the Evaluation of Proteinuria in Diabetes) menunjukkan aliskiren sebagai terapi tambahan pada ARB losartan menurunkan albuminuria dan memperlambat terjadinya disfungsi ginjal dibandingkan plasebo pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi, dan nefropati dengan berbagai tingkat GFR. Hasil ini menunjukkan bahwa aliskiren mempunyai efek renoprotektif yang potensial.23 Meskipun demikian, masih diperlukan penelitian lain untuk lebih memahami manfaat obat ini dalam penanganan hipertensi pada PGK. 3 Hipertensi pada dialisis Mayoritas pasien ESKD yang menjalani dialisis kronis memerlukan terapi antihipertensi. Beberapa kelas antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien dialisis kecuali diuretik. CCB merupakan obat yang paling sering diberikan pada pasien HD. Obat ini bekerja lebih efektif pada saat volume plasma meningkat dan tidak memerlukan tambahan dosis setelah HD. Studi preliminari dengan verapamil menunjukkan penurunan kejadian hipotensi intradialisis. ACE-inhibitors dan beta blockers memiliki manfaat kardiovaskuler tambahan terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. 11 ARB telmisartan jika ditambahkan pada terapi standar dengan ACE-inhibitors dan beta blockers menurunkan mortalitas, kematian akibat kardiovaskuler, dan kejadian rawat inap pada pasien hemodialisis yang mengalami gagal jantung kronik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%.24 Guidelines dari NKF/KDOQI menyarankan target tekanan darah 140/90 mmHg predialisis dan 130/80 mmHg postdialisis.11 Selain terapi farmakologis, restriksi natrium dalam diet maupun dialisat juga penting untuk mengurangi fluktuasi tekanan darah interdialisis.9-11

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

12

RINGKASAN Hipertensi merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit kardiovaskuler dan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Ginjal dan tekanan darah mempunyai suatu hubungan yang unik. Pada satu sisi, disfungsi ginjal dapat meningkatkan tekanan darah, sementara tekanan darah yang tinggi dapat mempercepat hilangnya fungsi ginjal. Tujuan utama terapi antihipertensi pada PGK adalah untuk menurunkan baik tekanan sistemik maupun tekanan intraglomeruler serta menurunkan proteiuria. Target yang harus dicapai harus pada atau di bawah 130/80 mmHg untuk melindungi ginjal, mencegah penyakit kardiovaskuler dan kerusakan organ. Pilihan antihipertensi utama pada PGK adalah obat yang bekerja menghambat RAS, dalam hal ini adalah ACE-inhibitors atau ARB. Kebanyakan pasien PGK memerlukan kombinasi tiga atau lebih obat untuk mencapai target tekanan darah. Pilihan obat lain yang dapat digunakan antara lain CCB, diuretik serta beta blockers. DAFTAR PUSTAKA 1. Androgue HJ, Madias NE. Sodium and potassium in the pathogenesis of hypertension. N Engl J Med 2007; 356: 1966-1978. 2. Bidani AK, Griffin KA. Pathophysiology of hypertensive renal damage: Implication for therapy. Hypertension 2004; 44:595-601. 3. Sica DA. Pharmacologic issues in treating hypertension in CKD. Adv Chronic Kidney Dis 2011; 18: 42-47. 4. Toto RD. Management of hypertensive chronic kidney disease: Role of Calcium Channel Blockers. J Clin Hypertens 2005; 7: 15-20. 5. Youshauddin M, Bakris GL. The kidney and hypertension. In: EJ Battegay,editors. Hypertension Principles and Practice. New York. Taylor and Francis Group; 2005. 6. Peralta CA, Hicks LS, Chertow GM, Ayanian JZ, Vittinghoff E, Lin F, Shlipak MG. Control of hypertension in adults with chronic kidney disease in the United States. Hypertension 2005; 45: 1119-1124. 7. Kotchen TA. Hypertensive vascular disease. In: AS Fauci, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. New York. The McGraw-Hill Companies Inc.; 2008. 8. Palmer BF. Renal dysfunction complicating the treatment of hypertension. N Engl J Med 2002; 347: 1256-1261. 9. Agarwal R. Management of hypertension in hemodialysis patients. Hemodial Int 2006; 10:241248.
Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

13

10. Doulton TWR, MacGregor GA. Blood pressure in haemodialysis patients: The importance of the relationship between the renin-angiotensin-aldosterone system, salt intake, and extracellular volume. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst 2004; 5: 14-22. 11. Malliara M. The management of hypertension in hemodialysis and CAPD patients. Hippokratia 2007; 4: 171-174. 12. Ritz E. Drug of choice in the management of hypertension in diabetes and diabetic nephropathy: Angiotensin-converting enzyme inhibitors. J Clin Hypertens 2011; 13: 285-289. 13. McCullough PA. Interface Between Renal Disease and Cardiovascular Illness. In: Libby P, editors. BRAUNWALD'S Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th edition. Philadelphia. Saunders Elsevier; 2007. 14. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA. Seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension 2003; 42:12061252. 15. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical practice guidelines on hypertension and antihypertensive agents in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2004; 43: 1-290. 16. Abboud H, Henrich WL. Stage IV Chronic Kidney Disease. N Engl J Med 2010; 362: 5665. 17. Susan S. Management of hypertension in diabetic patients with chronic kidney disease. Diabetes Spectrum 2008; 21: 30-35. 18. Wenzel RR. Renal protection in hypertensive patients: Selection of antihypertensive therapy. Drugs 2005; 2: 29-39. 19. Hoogwerf BJ. Renin-angiotensin system blockade and cardiovascular and renal protection. Am J Cardiol 2010; 105: 30-35. 20. Siragy HM. The angiotensin II type 2 receptor and the kidney. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst 2010; 11: 33-36. 21. Bakris GL, Hart P, Ritz E. Beta blockers in the management of chronic kidney disease. Int Soc Nephrol 2006; 70: 1905-1913. 22. Trimarchi H. Role of aliskiren in blood pressure control and renoprotection. Int J Nephrol Renovascular Dis. 2011, 4: 41-48.

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

14

23. Persson F, Lewis JB, Lewis EJ, Rossing P, Hollenberg NK, Parving HH. Impact of Baseline Renal Function on the Efficacy and Safety of Aliskiren Added to Losartan in Patients With Type 2 Diabetes and Nephropathy. Diabetes Care 2010; 33:23042309. 24. Cice G, Di Benedetto A, D'Isa S, D'Andrea A, Marcelli D, Gatti E, Calabro R. Effects of telmisartan added to angiotensin-converting enzyme inhibitors on mortality and morbidity in hemodialysis patients with chronic heart failure. J Am Coll Cardiol 2010; 56: 1701-1708.

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

15

Anda mungkin juga menyukai