Anda di halaman 1dari 15

REFERAT KARDIOLOGI

MANAJEMEN GAGAL JANTUNG DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK


BAB 1
PENDAHULUAN

Gagal jantung sering dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Gagal
jantung juga sering terjadi bersamaan dengan komorbid lain dan dapat berdampak langsung ke
organ lain, termasuk ginjal1. Progresivitas gagal jantung dan penyakit ginjal sering memberi efek
buruk melalui aktivasi berbagai siklus yang dapat mempercepat kerusakan jantung dan ginjal.
Jantung dan ginjal saling berinteraksi baik melalui kondisi akut maupun kronis yang kompleks
dan bergantung satu sama lain sehingga dapat berakhir pada disfungsi kedua organ2,3.
Gagal jantung dan gagal ginjal kronis mewakili epidemi penyakit kronis yang terjadi
bersamaan17. Kedua kondisi ini meningkat insiden dan prevalensinya terutama pada kelompok
usia tua, pasien dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes mellitus18. Munculnya salah satu
kondisi biasanya mendukung progresivitas yang lain19. Penyakit kardiovaskular tidak hanya
terbatas pada end-stage renal disease saja, tetapi gagal ginjal kronis tahap awal juga dapat
dikatakan berhubungan dengan derajat gagal jantung yang bervariasi sesuai dengan studi
populasi menurut ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities)20.
BAB 2
DEFINISI

ESC mendefinisikan gagal jantung berdasarkan tanda dan gejala baik itu dari
abnormalitas struktural dan/atau fungsional jantung yang menyebabkan menurunnya cardiac
output dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak saat istirahat maupun saat stress. HF juga dapat
dibagi menjadi ejection fraction yang dipertahankan ≥ 50% (HFpEF), ejection fraction yang
menurun < 40% (HFrEF), dan ejection fraction yang berkisar 40%-49% (HFmrEF)5.
Gagal ginjal kronis merupakan sindrom yang didefinisikan sebagai perubahan persisten
dari struktur maupun fungsi ginjal. Abnormalitas struktur yang dimaksud dapat berupa kista,
tumor, malformasi, dan atrofi berdasarkan dari hasil imaging. Sedangkan disfungsi ginjal dapat
bermanifestasi sebagai hipertensi, edema, dan perubahan output atau kualitas urin yang mana
dapat diketahui dari peningkatan serum kreatinin, cystatin C maupun BUN (blood urea
nitrogen). Dari semua itu, manifestasi patologi yang paling sering ditemui adalah fibrosis
ginjal16.
Ada pula yang mendefinisikan gagal ginjal kronis sebagai menurunnya estimated
glomerular filtration rate (eGFR) <60 ml/menit per 1.73 m2. Kriteria lain termasuk albuminuria,
abnormalitas pada sedimen urin, dan adanya abnormalitas histologis maupun struktural, bila
didapatkan > 3 bulan maka juga dapat didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis4.
BAB 3
KLASIFIKASI DAN ETIOPATOFISIOLOGI

Pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami penurunan fungsi ginjal dan demikian
pula sebaliknya, atau keduanya dapat berjalan bersama berdasarkan faktor resiko dan kelainan
sistemik. Keadaan ini disebut juga sebagai cardiorenal syndromes (CRS). CRS secara umum
didefinisikan sebagai kelainan pada jantung dan ginjal baik itu bersifat akut maupun kronis7.

Gambar 3.1 Cardio-renal syndromes

Penyakit jantung dan ginjal mempunyai jaras dua arah. Hal ini menyangkut perubahan
hemodinamik, respons inflamasi dan cell immune-mediated, stress-mediated dan mekanisme
neurohormonal, perubahan metabolik dan nutrisional termasuk mineral dan kelainan tulang yang
dapat mengubah cairan, pH, dan anemia pada kondisi akut maupun kronis6.
Gambar 3.2 Interaksi Jantung dan Ginjal

Perubahan Hemodinamik
Gagal jantung dapat mengarah pada kondisi dimana cardiac output juga berkurang.
Sedangkan GFR bergantung pada aliran plasma ginjal dan filtration fraction yang biasanya
ditentukan dari gradien tekanan antara kapiler dan ruang pada Bowman. GFR dapat
dipertahankan secara konstan meskipun ada penurunan cardiac output melalui autoregulasi
ginjal dan mekanisme umpan balik tubuluglomerulus, seperti vasokonstriksi dan vasodilatasi
arteriol aferen dan eferen. Filtration fraction dan aliran plasma ginjal berdiri secara independen
dari tekanan perfusi ginjal yang berada di dalam batasan autoregulasi9. Karema ginjal menerima
sekitar 25% cardiac output, sehingga teori lama yang dianut adalah terjadinya hipoperfusi pada
ginjal akan memicu baroreseptor, pelapasan renin juxtaglomerulus, dan aktivasi RAAS yang
mengakibatkan vasokonstriksi pada glomerulus maupun tubulus apparatus. Interaksi antara
jantung dan ginjal ini termasuk pada cardiorenal syndrome type 1 (akut). Gagal jantung dengan
penurunan cardiac output yang signifikan dapat mengarah pada hipoksia tubular bahkan akut
tubular nekrosis8.
Tekanan vena sentral dan/atau tekanan atrium kanan yang biasanya meningkat pada gagal
jantung merupakan tekanan terendah dalam sirkulasi sehingga secara bertahap seluruh aliran
darah akan tetap berada pada atrium kanan. Ini menyebabkan adanya tekanan yang berlawanan
dengan venous return dan cardiac output. Oleh karena itu tekanan vena sentral dan/atau tekanan
atrium kanan juga berperan sebagai tekanan arus balik aliran darah yang melalui ginjal sehingga
meningkatnya tekanan vena sentral biasanya dihubungkan dengan hipertensi vena ginjal10.
Hipertensi vena ginjal dapat memicu penurunan GFR melalui mekanisme penurunan aliran darah
ginjal dengan cara meningkatkan tekanan eferen, menurunkan tekanan perfusi transrenal,
meningkatkan tekanan hidrostatik intraglomerulus, meningkatkan tekanan intratubulus, dan
menurunkan tekanan filtrasi8. Pada kasus hipertensi vena ginjal yang persisten biasanya akan
mempengaruhi glomerulus dan tubulus. Kondisi ini akan memicu hipertrofi tubulus, fibrosis
interstisial tubulus ginjal, sclerosis intraglomerulus yang menyebabkan progresivitas penyakit
ginjal11.

Gambar 3.3 Perubahan Hemodinamik pada Interaksi Cardiorenal Syndrome

Respons Neurohormonal
Aktivasi RAAS dan system saraf simpatetik merupakan kunci dalam gagal jantung kronis
dan gagal ginjal kronis. Angiotensin II dan aldosteron memicu retensi natrium dan air yang
menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan ginjal, meningkatkan venous return dan meningkatkan
end-diastolic ventrikel, memperbanyak oksidatif stress, meningkatkan produksi sitokin
proinflamasi, perubahan fenotip pada cell-mediated immunity, dan percepatan remodeling
melalui mekanisme yang melibatkan fibrosis. Angiotensin II dan aldosteron dapat menstimulus
macrophage-derived galectin-3 yang mendorong remodeling dengan induksi terjadinya fibrosis
yang menyebabkan terjadinya degenerasi organ. Pelepasan angiotensin II dan aldosteron juga
menstimulus sistem natriuretic peptide. Atrial natriuretic peptide (ANP) dan B-type natriuretic
peptide (BNP) juga diproduksi dalam jumlah besar, tetapi tidak ada yang dapat mengimbangi
retensi natrium yang diinduksi oleh RAAS. Ketidakseimbangan neurohormonal antara RAAS,
ANP, dan BNP serta lemahnya respon ginjal akan berlanjut menjadi gagal jantung. Selanjutnya,
ANP dan BNP dijadikan marker yang dapat menilai tingkat keparahan gagal jantung dan
prognosisnya12. Kondisi ketidakseimbangan neurohormonal pada gagal jantung, hormon
antidiuretik dan prekursornya juga harus dipertimbangkan. Hormon ini dikeluarkan oleh
hipotalamus posterior oleh karena stimulasi osmoreseptor yang disebabkan oleh peningkatan
osmolaritas plasma atau stimulasi baroreseptor tekanan darah. Hormon antidiuretik ini juga
meningkatkan vasokonstriksi dan menghambat ekskresi air8. Aktivasi sistem saraf simpatetik
terjadi lebih awal pada gagal jantung. Peningkatan aktivitas simpatetik yang persisten dan tonus
adrenergik dapat menyebabkan penurunan respons sistemik dari densitas reseptor adrenergik dan
sensitivitas terhadap sinyal. Aktivasi simpatetik juga dapat mempengaruhi aktivitas saraf
simpatetik ginjal, terutama pada pasien dengan gagal jantung dengan penurunan ejection
fraction. Peningkatan aktivitas simpatetik ginjal mengakibatkan vasokonstriksi ginjal, memicu
aktivitas RAAS dengan menaikkan retensi natrium yang berakibat pada overload cairan serta
peningkatan katekolamin yang melebihi batas13. Selain itu, aktivasi RAAS dan aktivitas
simpatetik juga mengakibatkan akumulasi asymmetric dimethylarginine (ADMA) yang
disebabkan oleh rusaknya ekskresi ginjal. Kondisi ini yang mempercepat terjadinya progresivitas
penyakit jantung dan gagal ginjal kronis. Di samping itu, penurunan nitric oxide juga memiliki
peranan penting dalam progresivitas cardiorenal syndrome8.

Gambar 3.4 Respons Neurohormonal


BAB 4
DIAGNOSIS

Belum ada definisi atau kriteria yang memenuhi diagnosis gagal jantung pada pasien
gagal ginjal kronis. Overload volume pada intravascular maupun ekstravaskular dapat terjadi
walaupun tidak ada kelainan jantung secara struktural, terutama pada pasien yang bergantung
pada dialisis. Echocardiography dapat membantu mendiagnosis gagal jantung dengan
memberikan informasi mengenai volume pada ruang jantung, fungsi sistolik dan diastolic
ventrikel, ketebalan dinding ruang jantung, fungsi katup jantung, dan tekanan pengisian jantung5.
Diagnosis dapat dibedakan menjadi 3, yaitu HFpEF pada pasien gagal ginjal kronis non-dialisis,
HFrEF pada pasien gagal ginjal kronis non-dialisis, dan HFpEF maupun HFrEF pada pasien
gagal ginjal kronis yang rutin melakukan dialisis.

HFpEF pada pasien gagal ginjal kronis non-dialisis


Seperti populasi tanpa gagal ginjal kronis pada umumnya, diagnosis HFpEF pada pasien
gagal ginjal kronis non-dialisis sulit dan harus didukung banyak pengukuruan objektif termasuk
fungsi jantung yang buruk baik saat istirahat maupun aktivitas. Echocardiography harus
dilakukan pada penilaian derajat fungsi diastolic menggunakan American Society of
Echocardiography (derajat 1-4). Biomarker seperti BNP atau N-terminal pro-BNP memiliki nilai
prediktif negatif yang tinggi14. Efek dari perburukan GFR yang mempengaruhi BNP dan N-
terminal pro-BNP dapat berhubungan dengan rusaknya clearance ginjal dan adanya abnormalitas
jantung. Sedangkan obesitas dapat menurunkan kadar BNP dan N-terminal pro-BNP pada pasien
gagal jantung15. Pada pasien dengan kondisi kritis, penilaian invasive terhadap hemodinamik
seperti pengukuran tekanan arteri pulmonal, tekanan irisan kapiler pulmonal, cardiac output, dan
tekanan end-diastolic dibutuhkan untuk membedakan HFpEF dengan diagnosa lain seperti
obesity-associated deconditioning, hipertensi pulmonal primer, output yang tinggi dari
arteriovenous shunt, dan penyakit paru. Cardiopulmonary stress testing dengan pengukuran
konsumsi oksigen puncak dapat memberi infomasi tambahan dalam menilai derajat kerusakan
fungsional secara objetik dan dapat membedakan dyspnue yang disebabkan dari jantung atau
paru4.

HFrEF pada pasien gagal ginjal kronis non-dialisis


Mendiagnosis HFrEF pada populasi gagal ginjal kronis non-dialisis sama dengan
populasi tanpa gagal ginjal kronis. Monitoring HFrEF pada gagal ginjal kronis termasuk evaluasi
kadar natrium, kalium, kreatinin (GFR), rasio albumin dan kreatinin, BNP atau N-terminal pro-
BNP, troponin I atau troponin T, ST2, dan kadar galectin-3. Beberapa pemeriksaan pada kasus
HFpEF seperti monitoring pengukuran tekanan arteri pulmonal juga dapat diterapkan pada
pemeriksaan HFrEF. Perubahan pada status volume dapat terdeteksi pada pemeriksaan fisik,
radiografi dada, dan USG paru4.
HFpEF maupun HFrEF pada pasien gagal ginjal kronis yang rutin melakukan dialisis.
Pada pasien dialisis, gejala tipikal gagal jantung seperti paroxysmal nocturnal dyspnea,
orthopnea, dyspnea, kelelahan, asites, dan edema dapat bersifat sementara. Sangat penting untuk
mempertimbangkan penyakit paru obstruksif kronis, hipertensi pulmonal, anemia, dan
obstructive sleep apnea jika ada keluhan dyspnea. Pasien gagal jantung yang bergantung pada
dialisis harus melewati evaluasi yang sama seperti pasien gagal jantung non-dialisis dengan
beberapa evaluasi tambahan dan pertimbangan lain4.
Radiografi dada. Secara keseluruhan, tanda dari radiografi cukup spesifik tetapi kurang
sensitif dalam mendiagnosis gagal jantung. Radiografi dada dapat digunakan untuk screening
sumber dyspnea lain baik itu dari abnormalitas pulmonal maupun diafragmatikal. Sehingga
untuk menentukan adanya abnormalitas structural maupun fungsional memerlukan metode
diagnostik yang lain21.
Elektrokardiografi. Elektrokardiografi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
gangguan ritme atau sebagai bukti adanya kerusakan miokard dan penyakit perikard21.
Echocardiography. Pengukuruan ejection fraction ventrikel kiri, hipertrofi ventrikel kiri,
ejection fraction ventrikel kanan, dimensi ruang jantung, dan fungsi valvular sangat penting
dalam tatalaksana end-stage renal disease. Perlu ditambahkan juga, indikator disfungsi ventrikel
kiri termasuk indeks volume diastolik >86 ml/m2 atau indeks volume sistolik >37 ml/m2. Sekitar
87% pasien dengan end-stage renal disease memiliki abnormalitas pada echocardiography22.
BAB 5
TERAPI

Rekomendasi terapi pasien dengan populasi cardiorenal syndrome masih mengikuti


rekomendasi terapi dari penyakit yang paling dominan. Hal ini disebabkan belum banyak
penelitian yang secara spesifik pada populasi pasien cardiorenal syndrome. Terapi pada
cardiorenal syndrome tipe 1 dan 2 (gagal jantung akut maupun kronis yang mengakibatkan
disfungsi ginjal) lebih banyak berfokus pada pengobatan gagal jantungnya. Sedangkan pada
cardiorenal syndrome tipe 3 dan 4 (gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronis yang
mengakibatkan gagal jantung) lebih banyak berfokus pada pengobatan gagal ginjalnya.
Pendekatan terapi pada cardiorenal syndrome tipe 5 lebih dipusatkan pada etiologinya, seperti
sepsis, shock septik, atau vaskulitis34-37.
Belum ada terapi yang terbukti dapat menangani HFpEF, termasuk pada HFpEF dengan
gagal ginjal kronis. Obat-obatan yang dapat mengurangi efek-efek yang tidak diinginkan pada
HFrEF seperti angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEi), angiotensin II receptor blockers
(ARB), angiotensin receptor neprilysin inhibitors (ARNI), β-blockers, dan mineralocorticoid
receptor antagonists (MRA). Namun obat-obatan ini belum terbukti mempunyai manfaat yang
sama untuk pengobatan HFpEF23-24.
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi gejala, fungsi, dan
kualitas hidup. Pedoman dari ESC menjelaskan pasien dengan HFrEF yang simptomatis dapat
menggunakan ACEi dan β-blocker sebagai terapi lini pertama dengan tambahan MRA bila
gejalanya masih menetap. Substitusi ARB dapat diberlakukan pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi ACEi. Semua terapi ini dapat diberikan bersama dengan diuretik yang dapat
mengurangi tanda dan gejala overload volume dan kongesti5.
Gambar 5.1 Algoritma Terapi Pasien HFrEF Simptomatis

Diuretik. Thiazide merupakan preparat diuretik yang biasa digunakan sebagian populasi
dalam mengontrol tekanan darah dan merupakan preparat diuretik yang lebih dipilih dalam terapi
gagal ginjal kronis4. Penggunaan loop diuretic perlu diperhatikan pada pasien gagal jantung yang
tidak terkompensasi. Penggunaan regimen secara oral harus benar-benar memperhatikan dosis,
durasi, dan pertimbangan pemberian dalam bentuk intravena. Peningkatan dosis furosemide
intravena maupun pemberian secara kontinu melalui syringe pump dapat digunakan untuk
mengurangi kongesti28.
Blokade angiotensin. ACEi dan ARB dapat menurunkan GFR pada pasien dengan
HFpEF maupun HFrEF. Beberapa studi menyatakan bahwa pemberian ACEi dan ARB pada
pasien dengan gagal ginjal kronis stage 4 dan 5 semakin memperburuk fungsi ginjal. Tetapi pada
kelompok pasien dengan gagal ginjal kronis stage 1-3, penggunaan ACEi dan ARB masih
terbukti lebih banyak memberi manfaat25.
β-blocker. Penggunaan β-blocker diketahui memberi manfaat dalam pengobatan
penurunan fungsi ginjal, kecuali β-blocker yang mempengaruhi ekskresi ginjal secara signifikan
dan berpotensi terpapar berlebih seperti atenolol, nadolol, atau sotalol26. Atenolol dapat menjadi
bagian pengobatan untuk pendekatan hipertensi dan penyakit coroner bila diberikan 3x dalam
seminggu pada pasien end-stage renal disease selama hemodialisa27.
MRA. Pada pasien gagal jantung dengan gagal ginjal kronis stage 3, MRA secara umum
sama efektifnya digunakan sebagai terapi seperti pada pasien tanpa gagal ginjal kronis29, tetapi
MRA secara sistematis tidak akan digunakan pada gagal ginjal kronis dengan stage lebih
tinggi30. Penggunaan MRA sebagai terapi pada gagal jantung, baik HFrEF maupun HFpEF,
dengan gagal ginjal kronis stage 4 maupun 5 dan pasien dengan dialisis memberi efek yang
sangat terbatas. Bahkan pemberian MRA seperti spironolactone maupun eplerenone dapat
meningkatkan resiko hospitalisasi hingga resiko terjadinya kematian31. Pemberian finerenone
menurunkan resiko kematian, hospitalisasi penyakti kardiovaskular maupun kondisi emergensi
karena perburukan gagal jantung tanpa adanya perburukan hiperkalemia atau fungsi ginjal.
Walaupun hasilnya menjanjikan, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai pemberian
finerenone pada pasien gagal ginjal dengan stage lebih tinggi32.
ARNI. Pemberian ARNI direkomendasikan oleh ESC sebagai pengganti ACEi dan ARB
pada pasien HFrEF dengan LVEF ≤ 35% yang simptomatis dan simptomatisnya menetap hingga
penggunaan ACEi (atau ARB), β-blocker, dan MRA5. Pasien yang menggunakan ARNI sedikit
yang mengalami perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Seperti agen-agen lain, pemberian
ARNI pada pasien gagal ginjal stage 4 dan 5 masih perlu diteliti lebih lanjut33.
DAFTAR PUSTAKA

1. van Riet, E. E. et al. Epidemiology of heart failure: the prevalence of heart failure and
ventricular dysfunction in older adults over time. A systematic review. Eur. J. Heart Fail.
(2016) 18, 242–252.
2. Segall, L., Nistor, I. & Covic, A. Heart failure in patients with chronic kidney disease: a
systematic integrative review. BioMed Res. Int. (2014) 937398.
3. Filippatos, G., Farmakis, D. & Parissis, J. Renal dysfunction and heart failure: things are
seldom what they seem. Eur. Heart J. (2014) 35, 416–418.
4. House, A. A. et al. Heart failure in chronic kidney disease: conclusions from a Kidney
Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Controversies Conference. Kidney
International (2019) 95, 1304–1317.
5. Ponikowski, P. et al. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. European Heart Journal (2016) 37, 2129–2200.
6. Mentz, R. J., O’Connor, C. M. Pathophysiology and clinical evaluation of acute heart
failure. Nat. Rev. Cardiol. (2016) 13, 28–35.
7. House, A. A. Management of Heart Failure in Advancing CKD: Core Curriculum 2018.
Am J Kidney Dis. 72(2): 284-295.
8. Schefold, J. C. et al. Heart failure and kidney dysfunction: epidemiology, mechanisms
and management. Spinger Nature (2016) 12, 610-623.
9. Carlstrom, M., Wilcox, C. S. & Arendshorst, W. J. Renal autoregulation in health and
disease. Physiol. Rev. (2015) 95, 405–511.
10. Chen, K. P. et al. Peripheral edema, central venous pressure, and risk of AKI in critical
illness. Clin. J. Am. Soc. Nephrol. (2016) 11, 602–608.
11. Braam, B., Joles, J. A., Danishwar, A. H. & Gaillard, C. A. Cardio-renal syndrome —
current understanding and future perspectives. Nat. Rev. Nephrol. (2014) 10, 48–55.
12. Volpe, M., Carnovali, M. & Mastromarino, V. The natriuretic peptides system in the
pathophysiology of heart failure: from molecular basis to treatment. Clin. Sci. (2016)
130, 57–77.
13. Ramchandra, R. & Barrett, C. J. Regulation of the renal sympathetic nerves in heart
failure. Frontiers Physiol. (2015) 6, 238.
14. Hill SA, Booth RA, Santaguida PL, et al. Use of BNP and NT-proBNP for the diagnosis
of heart failure in the emergency department: a systematic review of the evidence. Heart
Fail Rev. (2014) 19:421–438.
15. Colbert G, Jain N, de Lemos JA, et al. Utility of traditional circulating and imaging-based
cardiac biomarkers in patients with predialysis CKD. Clin J Am Soc Nephrol. (2015)
10:515–529.
16. Romagnani, P., et al. Chronic kidney disease. Spinger Nature. Nat. Rev. Dis. Primers
(2017) 3:17088.
17. Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, et al. Global prevalence of chronic kidney disease—a
systematic review and meta-analysis. PLoS One. (2016) 11:e0158765.
18. McCullough PA, Kellum JA, Haase M, et al. Pathophysiology of the cardiorenal
syndromes: executive summary from the eleventh consensus conference of the Acute
Dialysis Quality Initiative (ADQI). Contrib Nephrol. (2013) 182:82–98.
19. Haase M, Muller C, Damman K, et al. Pathogenesis of cardiorenal syndrome type 1 in
acute decompensated heart failure: workgroup statements from the eleventh consensus
conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI). Contrib Nephrol. (2013)
182:99–116.
20. Di Lullo., et al. Left Ventricular Hypertrophy in Chronic Kidney Disease Patients: From
Pathophysiology to Treatment. Cardiorenal Med (2015) 5:254–266.
21. McCullough PA, Roberts WC. Influence of chronic renal failure on cardiac structure. J
Am Coll Cardiol. (2016) 67:1183–1185.
22. Aksut B, Starling R, Kapadia S. Stable coronary artery disease and left ventricular
dysfunction: the role of revascularization. Catheter Cardiovasc Interv. (2017) 90:777-783.
23. Pitt B, Pfeffer MA, Assmann SF, et al. Spironolactone for heart failure with preserved
ejection fraction. N Engl J Med. (2014) 370: 1383-1392.
24. Solomon SD, Zile M, Pieske B, et al. The angiotensin receptor neprilysin inhibitor
LCZ696 in heart failure with preserved ejection fraction: a phase 2 double-blind
randomized controlled trial. Lancet. (2012) 380: 1387-1395.
25. Damman K, Tang WH, Felker GM, et al. Current evidence on treatment of patients with
chronic systolic heart failure and renal insufficiency: practical considerations from
published data. J Am Coll Cardiol. (2014) 63(9):853-871.
26. Weir MA, Dixon SN, Fleet JL, et al. β-blocker dialyzability and mortality in older
patients receiving hemodialysis. J Am Soc Nephrol. (2015) 26: 987-996.
27. Agarwal R, Sinha AD, Pappas MK, et al. Hypertension in hemodialysis patients treated
with atenolol or lisinopril: a randomized controlled trial. Nephral Dial Transplant. (2014)
29: 672-681.
28. Felker GM, Lee KL, Bull DA, et al. Diuretic strategies in patients with acute
decompensated heart failure. N Engl J Med. (2011) 364: 797-805.
29. Eschalier R, McMurray JJ, Swedberg K, et al. Safety and efficacy of eplerenone in
patients at high risk for hyperkalemia and/or worsening renal function: analyses of the
EMPHASIS-HF study subgroups (Eplerenone in Mild Patients Hospitalization And
Survival Study in Heart Failure). J Am Coll Cardiol. (2013) 62:1585–1593.
30. Quach K, Lvtvyn L, Baigent C, et al. The safety and efficacy of mineralocorticoid
receptor antagonists in patients who require dialysis: a systematic review and meta-
analysis. Am J Kidney Dis. (2016) 68:591– 598.
31. Tseng WC, Liu JS, Hung SC, et al. Effect of spironolactone on the risks of mortality and
hospitalization for heart failure in pre-dialysis advanced chronic kidney disease: a
nationwide population-based study. Int J Cardiol. (2017) 238:72–78.
32. Filippatos G, Anker SD, Bohm M, et al. A randomized controlled study of finerenone vs.
eplerenone in patients with worsening chronic heart failure and diabetes mellitus and/or
chronic kidney disease. Eur Heart J. (2016) 37:2105–2114.
33. McMurray JJ, Packer M, Desai AS, et al. Angiotensin-neprilysin inhibition versus
enalapril in heart failure. N Engl J Med. (2014) 371(11):993-1004.
34. Hadjiphilippou, S. & Kon, S. P. Cardio-renal syndrome: review of our current
understanding. J. R. Soc. Med. (2016) 109: 12–17.
35. Tsuruya, K. & Eriguchi, M. Cardio-renal syndrome in chronic kidney disease. Curr.
Opin. Nephrol. Hypertension. (2015) 24: 154–162.
36. Bock, J. S. & Gottlieb, S. S. Cardio-renal syndrome: new perspectives. Circulation.
(2010) 121: 2592–2600.
37. Waldum, B. & Os, I. The cardio-renal syndrome: what the cardiologist needs to know.
Cardiology. (2013) 126: 175–186.

Anda mungkin juga menyukai