MAKALAH
BEDAH UMUM
Disusun oleh:
Pembimbing:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
JUDUL : PRINSIP-PRINSIP PERSIAPAN PASIEN PRE DAN POST OPERASI
UNTUK PENDERITA HIV AIDS
PENYUSUN :
Menyetujui :
Pembimbing Utama,
NIP.
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................3
2.1 HIV AIDS ....................................................................................................................3
2.1.1 Pengertian ...........................................................................................................3
2.1.2 Etiopatologi ........................................................................................................3
2.1.3 Transmisi HIV ....................................................................................................5
2.2 Preoperatif...................................................................................................................5
2.2.1 Pemeriksaan Preoperatif ....................................................................................5
2.2.2 Informed Consent ...............................................................................................8
2.2.3 Resiko Operatif pada Pasien...............................................................................9
2.2.4 Resiko Operatif pada Operator ...........................................................................9
2.2.5 Universal and Spesific Precaution .....................................................................10
2.3 Teknik Operasi ............................................................................................................11
2.4 Post Operative .............................................................................................................11
2.4.1 Resiko Terpapar .................................................................................................12
2.4.2 Post Eksposure HIV ...........................................................................................12
2.4.3 Konseling dan Test HIV .....................................................................................15
2.4.4 Diagnosa HIV .....................................................................................................18
2.4.5 Manajemen Post Exposure .................................................................................20
BAB III KESIMPULAN ...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................18
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiopatogenesis
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang
merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili retroviridae,
subfamili lentiviridae, genus lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk
famili retrovirus yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat
molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1. 6
Viral Entry
HIV yang masuk ke dalam tubuh selanjutnya akan menginfeksi sel T, sel
dendritik dan makrofag. HIV menargetkan sel yang menampilkan reseptor
komplementer (CD4, CCR-5 dan CXCR-4/ fusin) yang mungkin berupa sel CD4,
makrofag, atau sel Langerhans tergantung pada tempat pajanan. Glikoprotein virus
yaiitu gp120 / 41 memediasi pengenalan sel CD4+ dan reseptor kemokin dan
memungkinkan virus untuk melekat pada sel CD4+. Replikasi virus dimulai
segera setelah masuk ke dalam sel dan penyebaran terjadi melalui sistem sirkulasi
dan limfoid. 6
AIDS
Tahap lanjut dari infeksi HIV ditandai dengan peningkatan semua
parameter virologi (viral load, antigen p24, dll.) pada darah tepi dan kelenjar getah
bening. Jaringan limfoid hancur dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Virus berada
pada jaringan limfoid yang tersisa. Terdapat penekanan system imun dan infeksi
oporunistik dapat berakibat fatal pada tahap ini. Jumlah CD4 biasanya kurang dari
200 dan semakin menurun. 7
Gambar 1. Perjalanan Infeksi HIV
1. Sistem respiratori
Prevalensi penyakit pulmonary meningkat pada pasien dengan HIV karena
pada penderita HIV prevalensi merokoknya tinggi12 dan risiko infeksi seperti
pneumonia bakterial yang selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan pernapasan
akut, infeksi fungal dan infeksi virus juga tinggi. Pemeriksaan preoperatif harus
meliputi evaluasi fungsi paru secara teliti, termasuk analisis arterial blood gas dan
spirometri.9 Pada pasien dengan HIV, risiko terkena pneumonia postoperatif lebih
besar.9 Jika pasien direncakan untuk operasi dalam anestesi umum, harus
dipertimbangkan ketersediaan dukungan ventilator untuk postoperatif.9
2. Sistem kardiovaskuler
Infeksi bakteri oportunistik dapat menyebabkan endokarditis, gagal jantung
kongestif, vegetasi, aritmia, myocarditis, dan lain-lain. Lebih dari 50% pasien
terinfeksi HIV dengan atau tanpa terapi ART menunjukkan hasil ekokardiograf
yang tidak normal sehingga pemeriksaan preoperatif ECG dan echocardiogram
9
3. Sistem gastrointestinal
Pada pasien dengan HIV/AIDS seringkali ditemukan ketidakseimbangan
elektrolit karena infeksi seperti candidiasis oral dapat menyebabkan sakit saat
menelan dan saat makan sehingga nafsu makan pasien juga berkurang, infeksi
CMV juga dapat menyebabkan diare. Kondisi seperti ini dapat memperumit
perawatan untuk HIV/AIDS oleh karena itu kondisi preoperatif ini penting untuk
dikoreksi.9
5. Fungsi ginjal
Pasien penderita HIV memiliki prevalensi disfungsi ginjal yang lebih
tinggi akibat dari nefropati yang berhubungan dengan HIV dan penyebab lainnya.
Pemeriksaan preoperatif fungsi hati harus dilakukan karena dapat mempengaruhi
pemilihan anestetikum dan dosisnya, antibiotik perioperatif, dan obat-obatan
lainnya. Jika terdapat perubahan fungsi ginjal di periode perioperatif, regimen
ART dapat ditinjau kembali dan dosis obat-obatan dapat disesuaikan .12
6. Sistem saraf
Hampir sekitar 90% pasien penderita HIV ditemukan menderita
komplikasi neurologis seperti: infeksi non-viral (seperti toxoplasmosis,
Cryptococcus, candida, treponema, mycobacterium, aspergillus), ensefalitis
subakut, meningitis aseptik, ensefalitisherpes simpleks, leukoensefalopati
multifocal, neoplasia (limfoma serebral), polineuropati, dan demensia berkaitan
dengan HIV. Para ahli menyarankan bahwa gangguan di sistem neurologis
preoperatif merupakan suatu kontraindikasi terhadap anestesi regional.9
7. Komponen darah
Pada penderita HIV, trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada tahap
infeksi apapun. Neutropenia juga tidak jarang ditemukan pada pasien HIV dan
pasien dengan imunosupresi yang parah. Neutropenia dapat terjadi karena faktor
medikasi, infeksi HIV itu sendiri, infeksi sistemik, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, pemeriksaan preoperatif harus meliputi pemeriksaan komponen darah
atau konsultasi dengan hematologis jika angka trombosit mendekati 50.000 per
μL. Pada periode perioperatif, untuk mempertahankan angka neutrofil > 1.000 sel /
mm3, dapat dipertimbangkan pemberian G-CSF (faktor stimulasi koloni
granulosit) daripada GM-CSF meskipun penggunaan rutinnya tidak disarankan.
Selain itu, pada pasien dengan kondisi hemofilia, sebelum dilakukan operasi harus
ada koordinasi antara tim operasi dengan hematologis sebagai antisipasi jika
dibutuhkan transfusi faktor-faktor tertentu.12
8. Penggunaan zat-zat
Penggunaan zat aktif lebih nyata tampak pada individu dengan HIV
daripada populasi umumnya. Pada pasien dengan riwayat penggunaan zat aktif,
terdapat peningkatan risiko komplikasi dari operasi dan anestesi yang diberikan
seperti komplikasi kardiak terkait penggunaan kokain, peningkatan risiko
withdrawl symptoms pada periode postoperatif terkait penggunaan heroin,
benzodiazepine, dan alkohol. Oleh karena itu, sebelum operasi harus diperoleh
riwayat lengkap penggunaan zat-zat aktif ini. Perlu dipertimbangkan juga
pemeriksaan toksikologi urine dengan persetujuan pasien, dan untuk operasi
elektif dapat digunakan medikasi substitusi untuk beberapa waktu sebelum operasi
dilaksanakan.12
11
9. Alergi obat
Infeksi HIV biasanya dikaitkan dengan tingginya insidensi alergi obat oleh
karena itu riwayat alergi pasien yang detail harus didapatkan.12
terhadap infeksi menurun.14 Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan
penyakit yang berlanjut (CD4 <200 sel/mm3), status nutrisi yang buruk (serum
albumin yang rendah), dan atau neutropenia. Konsultasi dengan bagian nutrisi
harus diupayakan jika pasien tidak dapat mempertahankan asupan kalori yang
memadai pasca operasi. Insufisiensi adrenal klinis terjadi pada 5 % pada pasien
HIV dan hingga 20% pada pasien AIDS pasca operasi. Komplikasi yang terjadi
pasca operasi yaitu infeksi tulang, infeksi luka dan demam. Pengobatan
komplikasi sama seperti individu non-HIV.
2. Operasi mayor Abdominal
Pada operasi mayor abdominal, komplikasi yang paling sering ditemukan
yaitu infeksi luka, begitu pula pada beberapa operasi minor abdominal.
Penumonia, sepsis dan peritonitis atau abses intra abdominal juga sering
ditemukan. Sebagian besar kematian pasca operasi sering terjadi pada pasien yang
melakukan operasi darurat. 4
3. Operasi Umum
Penelitian melaporkan bahwa komplikasi berupa infeksi luka jarang
terjadi, namun sepsis sering menjadi komplikasi. 4
4. Operasi Anorektal
Komplikasi post operative yang sering ditemukan pada operasi anorektal
seperti penyakit condylomatous atau anal ulser yaitu penyembuhan luka atau
keterlambatan penyembuhan. Penyembuhan luka bervariasi dari yang memuaskan
hingga lambat atau buruk dan berhungan dengan rendahnya jumlah sel darah
putih. Dua kematian yang terjadi dalam 30 hari operasi, yang disebabkan oleh
limfoma dan PCP (Pneumocystis carinii pneumonia). 4
5. Splenectomy
Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi splenectomy yaitu infeksi
luka, atelectasis, dan demam. Dua perdarahan dilaporkan, serta 2 pasien
meninggal dikarenakan limfoma dan penyakit CMV (Cytomegalovirus). 4
6. Operasi Opthalmologic
Suatu penelitian menyatakan terdapat 10 laporan yang menyatakan
terdapat adanya komplikasi pada prosedur opthalmologic. Prosedur yang
dilakukan yang paling sering berupa implan ganciclovir, dan operasi retinal
reattachment. Komplikasi yang terjadi bervariasi tergantung dengan prosedur.
Implan ganciclovir dikaitkan dengan terjadinya perdarahan viterous yang ringan
hingga berat (pada pasien dengan trombositopenia), endopthalmitis, kebocoran
luka, katarak, uveitis anterior, dan retinal detachment. 4
7. Prosedur Dental
Suatu penelitian melaporkan komplikasi yang terjadi pada prosedur dental
berupa ekstraksi gigi. Komplikasi yang sering terjadi yaitu adanya dry socket,
4
keterlambatan penyembuhan, dan infeksi luka. Jika komplikasi terjadi, maka
perawatan yang diberika sama seperti pasien pada umumnya.
8. Operasi Cardiothoracic
Operasi mencakup endokarditis yang membutuhkan penggantian katup,
efusi perikardian yang membutuhkan drainase dan biopsi, empyema atau
pneumothoraks dan penyakit paru akut yang membutuhkan biopsi, dan lain-lain.
Komplikasi yang terjadi sangat bervariasi berupa kebocoran udara, sepsis,
mediastinisitis dan pneumonia.4
Suatu penelitian menyatakan bahwa ketika CD4 mengalami penurunan
hingga di bawah 200 sel, pasien lebih mudah terkena infeksi oportunistik dan
komplikasi berupa infeksi setelah operasi. Insidensi komplikasi berupa infeksi
pasca operasi dilaporkan sekitar 55% dan angka kematian hingga mencapai 30%
pada pasien setelah operasi abdominal. Adapun indikator kemungkinan terjadinya
komplikasi infeksi setelah operasi yaitu pada preoperative jumlah CD4, rasio
CD4/CD8, serum hemoglobin, sedangkan untuk post operative berupa jumlah
CD4, serum hemoglobin, dan albumin. Selain itu, pasien dengan jumlah CD4
preoperative <200 sel, anemia, jumlah CD4 post operative <200 sel, kadar serum
albumin<35g/L, memiliki insidensi mengalami komplikasi infeksi pasca operasi
lebih tinggi.15
Pasien dengan SSI (Surgical Site Infection) lebih mungkin berkembang
menjadi postoperative sepsis. Pasien dengan insisi yang bersih tidak dianjurkan
untuk menggunakan antibiotik, tetapi tidak ada laporan mengenai pasien yang
immunocompromised. Pada pasien dengan insisi terkontaminasi, antibiotik harus
17
Tes HIV adalah pemeriksaan laboratorium dengan tujuan untuk penemuan kasus.
Tes HIV bersifat sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, yaitu:
a) Perlu informasi singkat dan sederhana tanpa membuat pasien menjadi takut
tentang manfaat dan tujuannya
b) Perlu persetujuan pasien. Persetujuan verbal cukup untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Jika pasien menolak maka pasien diminta untuk
menandatangani formulir penolakan tes HIV.
c) Hasil tes HIV disampaikan kepada pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan
yang meminta
21
a) Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,,
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
b) Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan
keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan
enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil
skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai
hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western
blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan
usia lebih dari 18 bulan.
c) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit
dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada
pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil
positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24).
a) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi
dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus.
b) Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24
dari antibodi anti-p24 (Read, 2007).
TDF + 3TC (or FTC) sebagai obat utama yang sangat direkomendasikan
Jika RAL, DRV/r atau EFV tersedia, maka bisa dijadikan pilihan alternatif.
ABC + 3TC or TDF + 3TC (or FTC)
dapat dipertimbangkan sebagai obat
alternative
Jika RAL, DRV/r atau EFV tersedia, maka bisa dijadikan pilihan alternative.
NVP: Nevirapine.
Tabel 5. Profilaksis Co-Trimoxazole untuk Bayi, Anak-anak dan Remaja menurut WHO
18
DAFTAR PUSTAKA