Anda di halaman 1dari 36

PRINSIP-PRINSIP PERSIAPAN PASIEN PRE DAN POST OPERASI

UNTUK PENDERITA HIV AIDS

MAKALAH

BEDAH UMUM

Disusun oleh:

Catherine Gitta (160112170042)

Sintia Saputra (160112170048)

Inviolita Annisa (160112170069)

Siola Mayshitta (160112170070)

Pembimbing:

Farah Asnely Putri, drg., Sp.BM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNPAD

BANDUNG

2019
JUDUL : PRINSIP-PRINSIP PERSIAPAN PASIEN PRE DAN POST OPERASI
UNTUK PENDERITA HIV AIDS

PENYUSUN :

1. Catherine Gitta (160112170042)

2. Sintia Saputra (160112170048)

3. Inviolita Annisa (160112170069)

4. Siola Mayshitta (160112170070)

Bandung, April 2019

Menyetujui :

Pembimbing Utama,

Farah Asnely Putri, drg., Sp. BM

NIP.
3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................3
2.1 HIV AIDS ....................................................................................................................3
2.1.1 Pengertian ...........................................................................................................3
2.1.2 Etiopatologi ........................................................................................................3
2.1.3 Transmisi HIV ....................................................................................................5
2.2 Preoperatif...................................................................................................................5
2.2.1 Pemeriksaan Preoperatif ....................................................................................5
2.2.2 Informed Consent ...............................................................................................8
2.2.3 Resiko Operatif pada Pasien...............................................................................9
2.2.4 Resiko Operatif pada Operator ...........................................................................9
2.2.5 Universal and Spesific Precaution .....................................................................10
2.3 Teknik Operasi ............................................................................................................11
2.4 Post Operative .............................................................................................................11
2.4.1 Resiko Terpapar .................................................................................................12
2.4.2 Post Eksposure HIV ...........................................................................................12
2.4.3 Konseling dan Test HIV .....................................................................................15
2.4.4 Diagnosa HIV .....................................................................................................18
2.4.5 Manajemen Post Exposure .................................................................................20
BAB III KESIMPULAN ...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................18
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perjalananan infeksi HIV ...........................................................................................3


5

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Stadium HIV Secara Klinis menurut WHO ................................................3


Tabel 2. Profilaksis Post Exposure untuk Dewasa dan Remaja menurut WHO .........................12
Tabel 3. Profilaksis Post Exposure untuk Anak <10 tahun menurut WHO ................................12
Tabel 4. Profilaksis Co-Trimoxazole untuk Dewasa menurut WHO ..........................................13
Tabel 4. Profilaksis Co-Trimoxazole untuk Bayi, Balita dan Remaja menurut WHO ................13
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquired


Immuno Deficiency Syndrom) merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia
dewasa ini, terdapat hampir di seluruh dunia tanpa kecuali Indonesia. Masalah
yang berkembang sehubungan dengan penyakit infeksi HIV/AIDS adalah angka
kejadian yang cenderung terus meningkat dengan angka kematian yang tinggi.
Menurut UNAIDS Pada tahun 2017 tercatat jumlah kematian yang
disebabkan oleh AIDS sebanyak 940.000 kasus di seluruh dunia. Angka itu terdiri
dari kematian di usia dewasa sebanyak 830.000 dan sisanya pada usia anak
sebanyak 110.000. Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dalam
Kawasan Asia Pasifik. Kawasan ini menduduki peringkat ketiga sebagai wilayah
dengan pengidap HIV/AIDS terbanyak di seluruh dunia dengan total penderita
sebanyak 5,2 juta jiwa. 1
Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah
dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34
provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai
dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang
dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak
ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. 2
Seiring dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas penderita
HIV AIDS, tentu saja berdampak juga pada peningkatan pasien terinfeksi HIV
AIDS yang membutuhkan prosedur operasi. Intervensi bedah telah menjadi
komponen umum dalam manajemen pasien yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV) atau menderita konsekuensi klinis dari didapatnya
immunodeficiency syndrome (AIDS). 3
Pengambilan keputusan bedah dapat menjadi rumit jika pasien memiliki
infeksi HIV. Infeksi HIV mempengaruhi diagnosis banding status gizi dan harapan
hidup. Beberapa orang berpendapat bahwa infeksi HIV juga dapat mempengaruhi
penyembuhan luka dan tingkat komplikasi pasca operasi, ditambah dengan resiko
penularan terhadap operator.4
Operasi pada pasien yang terinfeksi HIV AIDS membutuhkan perhatian
khusus sebelum dan sesudah operasi untuk mencegah resiko yang mungkin
didapat pasien dan operator. Pada makalah ini, akan dibahas hal-hal penting
mengenai persiapan sebelum dan sesudah operasi pada penderita HIV AIDS.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV AIDS


2.1.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel
kekebalan tubuh yang disebut sel CD4, yang merupakan jenis sel T. Sel T adalah
sel darah putih yang berfungsi untuk mendeteksi anomali dalam sel serta infeksi.
Ketika HIV menargetkan dan menginfiltrasi sel-sel ini, ia mengurangi kemampuan
tubuh untuk memerangi penyakit lain. Hal tersebut meningkatkan risiko dan
dampak infeksi oportunistik. 5
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan
merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV. Agar dapat didiagnosis dengan
AIDS, seseorang dengan HIV harus memiliki kondisi terdefinisi AIDS atau
memiliki jumlah CD4 kurang dari 200 (terlepas dari apakah orang tersebut
memiliki kondisi terdefinisi AIDS). 5

2.1.2 Etiopatogenesis
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang
merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili retroviridae,
subfamili lentiviridae, genus lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk
famili retrovirus yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat
molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1. 6
Viral Entry
HIV yang masuk ke dalam tubuh selanjutnya akan menginfeksi sel T, sel
dendritik dan makrofag. HIV menargetkan sel yang menampilkan reseptor
komplementer (CD4, CCR-5 dan CXCR-4/ fusin) yang mungkin berupa sel CD4,
makrofag, atau sel Langerhans tergantung pada tempat pajanan. Glikoprotein virus
yaiitu gp120 / 41 memediasi pengenalan sel CD4+ dan reseptor kemokin dan
memungkinkan virus untuk melekat pada sel CD4+. Replikasi virus dimulai
segera setelah masuk ke dalam sel dan penyebaran terjadi melalui sistem sirkulasi
dan limfoid. 6

Primary HIV Infection


Selama tahap ini sel-sel yang terinfeksi HIV mencapai kelenjar getah
bening dan jaringan limfoid lainnya, di mana respon imun aktif terhadap antigen
virus dan pada saat yang sama terjadi replikasi virus pada limfosit T teraktivasi.
Jumlah virus yang menyebar ke jaringan limfoid lebih banyak dibanding
penyebaran virus dalam darah. Fenomena ini terjadi selama 2-3 minggu pertama
setelah infeksi dan ada penyebaran virus intens selama periode ini sehingga ini
disebut tahap penyebaran virus. Secara klinis ditandai dengan “penyakit seperti
flu” yang juga dikenal sebagai penyakit HIV akut. Periode sejak masuknya HIV di
dalam inang dan munculnya tingkat yang dapat terdeteksi dari antibodi spesifik
HIV disebut “Window Period”. Selama periode ini individu terinfeksi, menular ke
orang lain tetapi seronegatif yaitu tes HIV untuk mendeteksi antibodi negatif.
Periode jendela berkisar dari 3 minggu hingga 3 bulan rata-rata, kadang-kadang
bisa lebih lama. Tahap selanjutnya adalah respon imun muncul dimediasi oleh
limfosit T sitotoksik spesifik HIV (CTL) dan respon humoral yang memperbaiki
dan menetralkan antibodi spesifik HIV. 7
Clinically latent period/chronic Illness
Tahap ini ditandai dengan tidak adanya gejala infeksi virus akut,
penurunan regulasi viraemia, jumlah CD4 menjadi hampir normal dan penetral
dan pelengkap (C1) yang memperbaiki antibodi khusus virus muncul dalam darah.
Semua parameter virologi dalam darah tepi ( Viral RNA copies / viral load, virus
5

yang mengekspresikan sel mononuklear, dll.) Sangat rendah. Namun, replikasi


virus aktif dan terus menerus terjadi di kelenjar getah bening dan organ limfoid.
Selama jumlah CD4 lebih tinggi dari 500, respon imun yang dipasang oleh
jaringan limfoid efektif. Ada pengurangan bertahap Jumlah sel CD4 dan
peningkatan viral load selama tahap asimptomatik yang panjang. Peningkatan viral
load dalam darah tepi menunjukkan kegagalan dan penurunan progresif respon
imun. 7
Selanjutnya adalah fase simtomatik. Pada fase ini terjadi kerusakan
progresif dari sel mediasi HIV spesifik dan tidak spesifik dan rusaknya respon
imun humoral dan fase ini menjadi awal timbulnya AIDS. Jumlah CD4 berkisar
antara> 200 hingga 500 sel / μl dalam darah tepi. 7

AIDS
Tahap lanjut dari infeksi HIV ditandai dengan peningkatan semua
parameter virologi (viral load, antigen p24, dll.) pada darah tepi dan kelenjar getah
bening. Jaringan limfoid hancur dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Virus berada
pada jaringan limfoid yang tersisa. Terdapat penekanan system imun dan infeksi
oporunistik dapat berakibat fatal pada tahap ini. Jumlah CD4 biasanya kurang dari
200 dan semakin menurun. 7
Gambar 1. Perjalanan Infeksi HIV

1. Klasifikasi Stadium HIV


Tabel 1. Klasifikasi Stadium HIV Secara Klinis menurut WHO 8
Stadium Gejala Klinis
Tanpa Gejala
Primary HIV Infection
Acute retroviral syndrome
Tidak Ada penurunan berat badan
I Tanpa Gejala Atau hanya limpadenopati
Generalisata Persisten
Penurunan berat badan
ISPA berulang : sinusitis, otitis media,
tonsillitis, dan faringitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
II Angular Cheilitis
Reccurent oral ulceration
Seborik dermatitis
Ruam kulit yang gatal
Infeksi jamur pada kuku
Penurunan berat badan > 10 %
Diare, demam yang tidak diketahui
penyebabnya> 1 bulan
Kandidiasis oral
oral hairy leukoplakia
III TB Paru dalam 2 tahun terakhir
Infeksi bakteri berat : pneumonia,
piomiosis
Acute necrotizing ulcerative stomatitis,
gingivitis atau periodontitis
Anemia (<8gr/dl), dan atau neutropenia
7

(<500/mm3) dan atau Trombositopenia


kronik (<50.000 / mm3) lebih dari 1
bulan
Sindrom Wasting HIV
Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia bacterial yang berat berulang
dalam 6 bulan
Kandidiasis esophagus
Herpes simpleks ulseratif > 1 bulan
Limfoma
Kaposi sarcoma
IV
Kanker serviks yang invasive
Retinitis CMV
TB ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non TB meluas
Lekoensefalopati multifocal prograsif

2.1.3 Transmisi HIV


HIV telah diisolasi dari darah, semen, sekresi vaginal, dan cairan tubuh
lainnya seperti cairan serebrospinal (CSF), sinovial, pleural, peritoneal,
perikardial, amnion, dan ASI. Modus transmisi meliputi oral, hubungan seksual
rektal dan vaginal, transfusi darah, produknya, dan organ,9 jarum IV yang
digunakan bersama, transmisi vertikal dari ibu ke anak, serta didapatkan dari
pekerjaan. Penularan HIV akibat eksposur darah atau cairan tubuh terinfeksi dapat
terjadi melalui luka tajam atau percikan (baik sedikit atau banyak) pada membran
mukosa atau kulit yang tidak utuh. Penularan dapat terjadi dari berbagai jenis luka
seperti perkutan, intramuskuler, atau subuktan. Luka perkutan yang terkontaminasi
biasanya terjadi saat menutup jarum kembali atau ketika benda tajam yang
terkontaminasi tidak dibuang dengan benar.11 Kelompok berisiko tinggi tertular
HIV yaitu homoseksual maupun heteroseksual dengan pergaulan bebas, pasien
dengan penyakit menular seksual lainnya, pengguna obat intravena, dan pasien
hemofilia. 9

2.2 Persiapan Preoperatif untuk Pasien Penderita HIV/AIDS


2.2.1 Pemeriksaan preoperatif
Evaluasi preoperatif pada pasien HIV sama dengan pasien tanpa HIV,
namun, terdapat beberapa kondisi yang harus diperiksa dengan lebih teliti karena
komorbiditas, penggunaan zat aktif, dan MRSA yang mungkin lebih lazim
ditemukan pada penderita HIV.12Pemeriksaan preoperatif harus melibatkan semua
sistem organ karena infeksi HIV berpotensi menyebabkan komplikasi pada organ
tubuh lain. Komplikasi pada berbagai organ kebanyakan terjadi akibat infeksi
oportunis.9

1. Sistem respiratori
Prevalensi penyakit pulmonary meningkat pada pasien dengan HIV karena
pada penderita HIV prevalensi merokoknya tinggi12 dan risiko infeksi seperti
pneumonia bakterial yang selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan pernapasan
akut, infeksi fungal dan infeksi virus juga tinggi. Pemeriksaan preoperatif harus
meliputi evaluasi fungsi paru secara teliti, termasuk analisis arterial blood gas dan
spirometri.9 Pada pasien dengan HIV, risiko terkena pneumonia postoperatif lebih
besar.9 Jika pasien direncakan untuk operasi dalam anestesi umum, harus
dipertimbangkan ketersediaan dukungan ventilator untuk postoperatif.9

2. Sistem kardiovaskuler
Infeksi bakteri oportunistik dapat menyebabkan endokarditis, gagal jantung
kongestif, vegetasi, aritmia, myocarditis, dan lain-lain. Lebih dari 50% pasien
terinfeksi HIV dengan atau tanpa terapi ART menunjukkan hasil ekokardiograf
yang tidak normal sehingga pemeriksaan preoperatif ECG dan echocardiogram
9

sangat berguna untuk menggambarkan adanya disfungsi kardiak (yang secara


klinis mungkin tidak menunjukkan tanda dan gejala).9

3. Sistem gastrointestinal
Pada pasien dengan HIV/AIDS seringkali ditemukan ketidakseimbangan
elektrolit karena infeksi seperti candidiasis oral dapat menyebabkan sakit saat
menelan dan saat makan sehingga nafsu makan pasien juga berkurang, infeksi
CMV juga dapat menyebabkan diare. Kondisi seperti ini dapat memperumit
perawatan untuk HIV/AIDS oleh karena itu kondisi preoperatif ini penting untuk
dikoreksi.9

4. Fungsi hati dan ginjal


Pasien penderita HIV memiliki prevalensi disfungsi hati yang lebih tinggi,
hal ini diakibatkan dari ART atau penyakit hati yang sudah diderita sebelumnya.
Jika saat operasi terjadi co-infeksi dengan HBV atau HCV, dapat meningkatkan
risiko perdarahan akibat koagulopati atau trombositopenia. Pemeriksaan
preoperatif fungsi hati harus dilakukan karena dapat mempengaruhi pemilihan
anestetikum dan dosisnya, antibiotik perioperatif, dan obat-obatan lainnya.12

5. Fungsi ginjal
Pasien penderita HIV memiliki prevalensi disfungsi ginjal yang lebih
tinggi akibat dari nefropati yang berhubungan dengan HIV dan penyebab lainnya.
Pemeriksaan preoperatif fungsi hati harus dilakukan karena dapat mempengaruhi
pemilihan anestetikum dan dosisnya, antibiotik perioperatif, dan obat-obatan
lainnya. Jika terdapat perubahan fungsi ginjal di periode perioperatif, regimen
ART dapat ditinjau kembali dan dosis obat-obatan dapat disesuaikan .12

6. Sistem saraf
Hampir sekitar 90% pasien penderita HIV ditemukan menderita
komplikasi neurologis seperti: infeksi non-viral (seperti toxoplasmosis,
Cryptococcus, candida, treponema, mycobacterium, aspergillus), ensefalitis
subakut, meningitis aseptik, ensefalitisherpes simpleks, leukoensefalopati
multifocal, neoplasia (limfoma serebral), polineuropati, dan demensia berkaitan
dengan HIV. Para ahli menyarankan bahwa gangguan di sistem neurologis
preoperatif merupakan suatu kontraindikasi terhadap anestesi regional.9

7. Komponen darah
Pada penderita HIV, trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada tahap
infeksi apapun. Neutropenia juga tidak jarang ditemukan pada pasien HIV dan
pasien dengan imunosupresi yang parah. Neutropenia dapat terjadi karena faktor
medikasi, infeksi HIV itu sendiri, infeksi sistemik, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, pemeriksaan preoperatif harus meliputi pemeriksaan komponen darah
atau konsultasi dengan hematologis jika angka trombosit mendekati 50.000 per
μL. Pada periode perioperatif, untuk mempertahankan angka neutrofil > 1.000 sel /
mm3, dapat dipertimbangkan pemberian G-CSF (faktor stimulasi koloni
granulosit) daripada GM-CSF meskipun penggunaan rutinnya tidak disarankan.
Selain itu, pada pasien dengan kondisi hemofilia, sebelum dilakukan operasi harus
ada koordinasi antara tim operasi dengan hematologis sebagai antisipasi jika
dibutuhkan transfusi faktor-faktor tertentu.12

8. Penggunaan zat-zat
Penggunaan zat aktif lebih nyata tampak pada individu dengan HIV
daripada populasi umumnya. Pada pasien dengan riwayat penggunaan zat aktif,
terdapat peningkatan risiko komplikasi dari operasi dan anestesi yang diberikan
seperti komplikasi kardiak terkait penggunaan kokain, peningkatan risiko
withdrawl symptoms pada periode postoperatif terkait penggunaan heroin,
benzodiazepine, dan alkohol. Oleh karena itu, sebelum operasi harus diperoleh
riwayat lengkap penggunaan zat-zat aktif ini. Perlu dipertimbangkan juga
pemeriksaan toksikologi urine dengan persetujuan pasien, dan untuk operasi
elektif dapat digunakan medikasi substitusi untuk beberapa waktu sebelum operasi
dilaksanakan.12
11

9. Alergi obat
Infeksi HIV biasanya dikaitkan dengan tingginya insidensi alergi obat oleh
karena itu riwayat alergi pasien yang detail harus didapatkan.12

2.2.2 Informed Consent


Informed consent merupakan suatu keharusan saat dokter mengusulkan
tindakan intervensi bedah. Berbeda dengan pasien lain pada umumnya, terdapat
tiga aspek baru yang ditemukan pada pasien penderita HIV/AIDS.10
Aspek pertama yaitu pasien HIV/AIDS takut dikenali oleh masyarakat dan
takut akan penolakan sosial, oleh karena itu mereka seringkali meminta dokter
melakukan operasi yang tidak perlu seperti pengangkatan nodus limfatikus yang
dianggap dapat menandakan kondisi mereka atau pengangkatan kelenjar parotis
untuk pasien dengan DILS. Aspek kedua dari informed consent mengenai
penanganan pasien HIV/AIDS yang sudah lanjut. Beberapa pasien (dan
keluarganya) menolak tindakan operasi pada situasi gawat (seperti perforasi usus)
karena mereka ingin mengakhiri penderitaannya. Aspek ketiga yaitu harus
ditekankan pasa pasien AIDS bahwa mereka lebih rentan terhadap komplikasi
perioperatif.10

2.2.3 Risiko operatif pada pasien penderita HIV/AIDS


Risiko operasi pada pasien positif HIV ditentukan dengan cara yang
kurang lebih sama untuk pasien negatif HIV. Prediktor paling akurat untuk
menentukan hasil postoperatif yaitu status fisiologis preoperatif pasiennya, seperti
penilaian dari ASA yang dapat mengukur kesehatan umum. Saat menghitung
risiko morbiditas dan mortalitas dari suatu operasi, dokter bedah harus
mempertimbangkan 2 aspek yaitu: status patofisiologis pasien dan besarnya
prosedur yang akan dilakukan. Adanya keadaan patofisiologis akibat penyakit
lanjut (seperti imunosupresi, malnutrisi, infeksi, dan neoplasma) dapat
menandakan bahwa skala operasi yang akan dilakukan harus diperkecil hingga
tahap yang aman.10
Pada pasien HIV/AIDS, ditemukan empat faktor yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas operatifnya, yaitu:10
1. Status fisiologis yang terganggu
2. Operasi yang dibutuhkan secara fisiologis
3. Operasi darurat, melainkan operasi elektif
4. Operasi pada daerah terkontaminasi seperti kavitas oral atau anorektum.
Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa status kesehatan umum,
terutama ada atau tidak adanya kegagalan organ, dan status nutrisi pasien
merupakan prediktor yang lebih dapat diandalkan dalam memprediksi risiko
operatif. Angka viral load dan jumlah CD4, baik sendiri maupun kombinasi
keduanya, masih kurang cukup meyakinkan karena hasilnya tidak selalu
konsisten.12

2.2.4 Resiko Operatif pada Operator


Ancaman mengenai transmisi okupasional HIV lebih kecil daripada yang
diperkirakan. Walaupun semua eksposur cairan tubuh memiliki resiko, resiko
transmisi HIV meningkat jika terdapat: luka penetrasi jarum, luka penetrasi jarum
yang dalam, adanya darah yang terlihat pada jarum, dan jika pasien berada dalam
tahapan viraemia awal atau tahapan AIDS yang berkelanjutan, dan adanya darah
pada sarung tangan.10
Resiko transmisi HIV dengan luka yang dikarenakna oleh jarum suntik
yang terkontaminasi oleh darah pasien HIV-positive adalah 0.3% Resiko terkena
jarum jahit yang terkontaminasi oleh pasien HIV-positive tidak diketahui.
Peningkatan resiko transmisi terhubung dengan beberapa keadaan spesifik:16 kali
jika jarum jahit berpenetrasi ke jaringan lunak dalam, 5 kali jika terdapat darah
yang terlihat pada jarum atau prosedur yang melibatkan penempatan jarum dalam
arteri atau vena, dan 6 kali jika pasien mengidap tingkatan AIDS yang
berkelanjutan. Administrasi profilaktik zidovudine kepada ketenagakerjaan
13

kesehatan yang terluka mempengaruhi 80% penurunan resiko transmisi HIV


setelah terkena luka jarum.
Operator bedah menghadapi beberapa eksposur parenteral dan kutaneus
sepanjang karirnya. Chamber mengembangkan model matematis untuk
memperkirakan resiko serokonversi HIV dari jumlah luka tusuk jarum dan
seroprevalensi dari populasi pasien. Model ini memperkirakan nilai serokonversi
dari 0.3% konversi terhadap darah HIV-positif. Semakin tinggi HIV
seroprevalensinya dan semakin tinggi jumlah jarum, semakin tinggi resiko
transmisi HIV pada operator.

2.2.5 Universal and Specific Precautions


Semua cairan tubuh pasien harus dianggap sebagai zat yang berbahaya.
Alat pelindung seperti google, sarung tangan, gaun water-impermeable
dibutuhkan. Penggunaan sarung tangan lateks berkualitas tinggi wajib digunakan,
dan sarung tangan ini harus selalu tersedia pada semua situasi dimana adanya
bahaya eksposur cairan tubuh yang berbahaya terhadap ketenagakerjaan medis.
Penggunaan dua pasang sarung tangan mengurangi resiko eksposur dengan 98%
darah dari jarum akan hilang dan mengompensasi defek dari bahan sarung tangan.
Sarung tangan luar harus lebih besar setengah ukuran dari sarung tangan yang di
dalam.10
Tindakan ‘mencari’ jarum jahit dengan jari telunjuk tangan kiri merupakan
tindakan yang berbahaya. Sarung tangan khusus dengan penebalan latex dibagian
jari telunjuk tangan kiri telah diciptakan. Alat sekali pakai harus digunakan saat
alat tersedia. Semua pasien harus didorong untuk melakukan tes HIV. Adanya
penolakan pasien terhadap pemeriksaan HIV muncul dari tiga alasan, yaitu, rasa
takut pasien dalam mengetahui bahwa dia mengidap penyakit yang serius, rasa
takut adanya penolakan sosial, dan rasa takut mendapatkan perawatan dibawah
standar.10
2.3 Teknik Operasi
Teknik sederhana untuk mengurangi resiko transmisi HIV terhadap
operator mencakup: memotong dengan alat electrocautery, menghindari
perpindahan benda tajam dari tangan, dan tidak menggunakan tangan untuk
meretraksi jaringan.10 Penggunaan alat staples juga dapat menurunkan resiko
transmisi HIV dibandingkan dengan metode jahit. Benda tajam dapat diletakkan
pada Mayo stand sterile yang diletakkan diantara perawat instrumen dan operator,
walaupun hal ini menyebabkan adanya pengalihan perhatian operator bedah yang
lebih banyak dari pada biasanya. Oleh karena itu, metode ini lebih baik untuk
prosedur yang hanya membutuhkan sedikit waktu dan beresiko rendah, dan
mungkin tidak praktis untuk tindakan bedah dengan waktu yang panjang dan
resiko tinggi karena adanya kehilangan darah yang signifikan.13
Operator bedah sering menggunakan jarinya untuk melindungi viscera
yang ada dibawahnya, terutama saat menutup daerah abdomen. Oleh karena itu
tindakan ini dianggap berbahaya. Jarum yang tumpul sekarang mulai sering
digunakan untuk penutupan fascial.13 Laparoscopic surgery memberikan
keuntungan terhadap pasien dan operator .10

2.4 Post Operative


Keputusan untuk melakukan operasi akan menjadi kompleks jika pasien
terinfeksi HIV. HIV akan mempengaruhi status nutrisi, dan harapan hidup.
Penelitian menyatakan bahwa HIV dapat mempengaruhi penyembuhan luka post
operative dan angka komplikasi. Laporan dari hasil operasi pada pasien yang HIV
dapat berakibat sangat buruk atau baik. Oleh karena itu, beberapa dokter
menyarakan manajemen medis atau pendekatan yang lebih pada kondisi pasien
yang di rawat.4 Adapun beberapa operasi dan komplikasi yang ditemukan, yaitu :
1. Operasi ortopedi
Suatu penelitian mengemukakan bahwa pasien HIV dan pasien non-HIV
yang menjalani operasi ortopedik implant menunjukkan bahwa pasien yang
terinfeksi HIV hampir dua kali lipat lebih memungkinkan untuk terkena infeksi
pasca operasi. Hal ini dikarenakan kurangnya sel imun sehingga resistensi
15

terhadap infeksi menurun.14 Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan
penyakit yang berlanjut (CD4 <200 sel/mm3), status nutrisi yang buruk (serum
albumin yang rendah), dan atau neutropenia. Konsultasi dengan bagian nutrisi
harus diupayakan jika pasien tidak dapat mempertahankan asupan kalori yang
memadai pasca operasi. Insufisiensi adrenal klinis terjadi pada 5 % pada pasien
HIV dan hingga 20% pada pasien AIDS pasca operasi. Komplikasi yang terjadi
pasca operasi yaitu infeksi tulang, infeksi luka dan demam. Pengobatan
komplikasi sama seperti individu non-HIV.
2. Operasi mayor Abdominal
Pada operasi mayor abdominal, komplikasi yang paling sering ditemukan
yaitu infeksi luka, begitu pula pada beberapa operasi minor abdominal.
Penumonia, sepsis dan peritonitis atau abses intra abdominal juga sering
ditemukan. Sebagian besar kematian pasca operasi sering terjadi pada pasien yang
melakukan operasi darurat. 4
3. Operasi Umum
Penelitian melaporkan bahwa komplikasi berupa infeksi luka jarang
terjadi, namun sepsis sering menjadi komplikasi. 4
4. Operasi Anorektal
Komplikasi post operative yang sering ditemukan pada operasi anorektal
seperti penyakit condylomatous atau anal ulser yaitu penyembuhan luka atau
keterlambatan penyembuhan. Penyembuhan luka bervariasi dari yang memuaskan
hingga lambat atau buruk dan berhungan dengan rendahnya jumlah sel darah
putih. Dua kematian yang terjadi dalam 30 hari operasi, yang disebabkan oleh
limfoma dan PCP (Pneumocystis carinii pneumonia). 4
5. Splenectomy
Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi splenectomy yaitu infeksi
luka, atelectasis, dan demam. Dua perdarahan dilaporkan, serta 2 pasien
meninggal dikarenakan limfoma dan penyakit CMV (Cytomegalovirus). 4
6. Operasi Opthalmologic
Suatu penelitian menyatakan terdapat 10 laporan yang menyatakan
terdapat adanya komplikasi pada prosedur opthalmologic. Prosedur yang
dilakukan yang paling sering berupa implan ganciclovir, dan operasi retinal
reattachment. Komplikasi yang terjadi bervariasi tergantung dengan prosedur.
Implan ganciclovir dikaitkan dengan terjadinya perdarahan viterous yang ringan
hingga berat (pada pasien dengan trombositopenia), endopthalmitis, kebocoran
luka, katarak, uveitis anterior, dan retinal detachment. 4
7. Prosedur Dental
Suatu penelitian melaporkan komplikasi yang terjadi pada prosedur dental
berupa ekstraksi gigi. Komplikasi yang sering terjadi yaitu adanya dry socket,
4
keterlambatan penyembuhan, dan infeksi luka. Jika komplikasi terjadi, maka
perawatan yang diberika sama seperti pasien pada umumnya.
8. Operasi Cardiothoracic
Operasi mencakup endokarditis yang membutuhkan penggantian katup,
efusi perikardian yang membutuhkan drainase dan biopsi, empyema atau
pneumothoraks dan penyakit paru akut yang membutuhkan biopsi, dan lain-lain.
Komplikasi yang terjadi sangat bervariasi berupa kebocoran udara, sepsis,
mediastinisitis dan pneumonia.4
Suatu penelitian menyatakan bahwa ketika CD4 mengalami penurunan
hingga di bawah 200 sel, pasien lebih mudah terkena infeksi oportunistik dan
komplikasi berupa infeksi setelah operasi. Insidensi komplikasi berupa infeksi
pasca operasi dilaporkan sekitar 55% dan angka kematian hingga mencapai 30%
pada pasien setelah operasi abdominal. Adapun indikator kemungkinan terjadinya
komplikasi infeksi setelah operasi yaitu pada preoperative jumlah CD4, rasio
CD4/CD8, serum hemoglobin, sedangkan untuk post operative berupa jumlah
CD4, serum hemoglobin, dan albumin. Selain itu, pasien dengan jumlah CD4
preoperative <200 sel, anemia, jumlah CD4 post operative <200 sel, kadar serum
albumin<35g/L, memiliki insidensi mengalami komplikasi infeksi pasca operasi
lebih tinggi.15
Pasien dengan SSI (Surgical Site Infection) lebih mungkin berkembang
menjadi postoperative sepsis. Pasien dengan insisi yang bersih tidak dianjurkan
untuk menggunakan antibiotik, tetapi tidak ada laporan mengenai pasien yang
immunocompromised. Pada pasien dengan insisi terkontaminasi, antibiotik harus
17

diberikan untuk mengkontrol infeksi. Waktu terbaik dalam pemberian antibiotik


profilaksis yaitu 1 jam sebelum operasi atau pada awal anestesi. Jika operasi
berlangsung lebih dari 3 jam, pasien harus diberikan kembali antibiotik pada saat
operasi berlangsung, dan antibiotik harus diberika selama 1 hingga 2 hari setelah
operasi. Pasien dengan HIV dengan resiko yang rendah akan terjadinya
komplikasi infeksi dapat diberikan antibiotik sama seperti pasien pada umumnya
untuk mencegah adanya infeksi.15
SSI merupakan faktor utama penyebab kematian pasien setelah operasi
dimana pasien mengalami setidaknya satu gejala dari klasifikasi berikut.15
Klasifikasi SSI menurut CDC (Center for Disease Control and Prevention) yaitu
1. Drainase purulen dari lokasi insisi operasi
2. Bakteri yang terisolasi dari kultur cairan atau jaringan
3. Terdapat adanya nyeri, bengkak yang terlokalisir, lunak,
kemerahan, atau panas.

2.4.1 Resiko Terpapar


Penularan HIV terhadap dokter bedah yang menangani pasien merupakan
masalah yang umum. Adapun resiko terpapar bergantung pada tipe
penularannya16. Resiko penularan HIV bergantung pada tipe terpaparnya infeksi.
Transmisi perikutan melalui jarum diperkirakan terjadi sekitar 0.3%. Resiko
penularan dari jarum jahit dan benda tajam lainnya diperkirakan berada di bawah
dari 0.03%. Resiko transmisi paparan dari membran mukosa setidaknya terjadi
sekitar 0.09%. Resiko transmisi paparan dari kulit yang tidak intact diperkirakan
lebih kecil, sedangkan paparan dari cairan atau jaringan selain dari darah dianggap
lebih rendah daripada terpapar darah. 11
2.4.2 Post Eksposure HIV
Adapun alur perawatan jika terpapar yaitu :

• Pemeriksaan klinis yg terekspos


• Pertolongan pertama jika terdapat luka
• Pelaporan kejadian ke K3 (Keselamatan dan
Assestment Kesehatan Kerja)
• Penilaian eligibilitas untuk profilaksis post
exposure
• Test HIV yg terekspos & sumber jika
memungkinkan
Counselling  Resiko HIV
 Resiko dan keuntungan PEP
and Support  Efek samping
 Konseling mengenai PEP

 PEP harus dimulai secepat mgkn stlh terekspos


Prescription  Pemberian obat ARV selama 28 hari
 Informasi obat
 Konseling mengenai PEP
 Penilaian komorbiditas & kemungkinan
interaksi obat
 Test HIV kembali, 3 bulan setelah terekspos
Follow Up  Penyediaan intervensi pencegahan yang sesuai

Gambar 2. Alur perawatan jika terekspos virus HIV

1. Manajemen jika terkena darah


HIV dengan cepat dinonaktifkan setelah terpapar dengan menggunakan
germisida kimia dengan konsentrasi yang rendah daripada yang
digunakan dalam praktik. Sebelum membersihkan darah, gunakan
sarung tangan dan perlindungan pribadi lainnya. Jika permukaannya
tidak berporus, 1% cairan sodium hypoclorite digunakan (contoh :
pemutih dengan perbandingan 1:100) dan jika permukaan berpori,
gunakan 10% sodium hypoclorite (contoh : pemutih dengan
perbandingan 1:10) dan bilas dengan tidak menggosok permukaan
selama 20-30 menit sebagai dekontaminasi lalu di ikuti dengan
19

membersihkan area. Bahan yang dapat diserap harus didesinfeksi


dengan cairan sodium hypoclorite sebelum selesai. 11
2. Manajemen cedera jarum
Merawat luka segera setelah kecelakaan dengan mencuci bersih dengan
sabun dan air merupakan hal yang paling penting. Dalam kasus yang
berkontak dengan membran mukosa, gunakan air atau larutan saline
dengan cara membilas luka dan tidak memijat ataupun menggosok
daerah luka, dan jangan pernah membersihkan dengan alkohol. Selain
itu sangat penting untuk segera melaporkan insiden kecelakaan tersebut
ke departemen dan memastikan manajemen selanjutnya dan perawatan
tindak lanjut yang tepat. Penilaian risiko infeksi seperti bentuk/tipe
paparan dan status/sumber yang terpapar, selain itu pemberian post
exposure prophylaxis (PEP) juga harus dilakukan. 11
3. Post Exposure Prophylaxis (PEP)
Cedera jarum dianggap sebagai masalah medis yang mendesak dan
PEP harus dimulai sesegera mungkin dalam waktu 72 jam. Jika yang
terpapar ternyata menunjukkan test HIV yang negatif, PEP bisa
dihentikan. 11
Adapun indikasi untuk pemberian PEP menurut WHO 18 , yaitu :
 Terpapar melalui parenteral atau membran mukosa (paparan
seksual, cipratan ke mata, hidung atau rongga mulut)
 Terpapar cairan tubuh : darah, saliva yang terkena darah, ASI,
sekresi genital dan serebrospinal, amniotik, rectal, peritoneum,
sinovial, cairan pericardial atau pleura.

Adapun hal-hal yang tereskspos infeksi yang tidak memerlukan PEP


menurut WHO 18, yaitu :
 Jika individu yang terekspos dinyatakan sudah positif HIV
 Jika individu yang menjadi sumber transmisi dinyatakan negatif
terhadap HIV
 Terekspos cairan tubuh yang tidak menimbulkan resiko yang
signifikan, yaitu air mata, saliva yang tidak tercampur darah,
urin dan keringat.

2.4.3 Konseling dan Test HIV


Pemeriksaan HIV harus mendapatkan persetujan yang dapat dilakukan
secara lisan (verbal consent) sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013. Pasien
diperkenankan menolak tes HIV. Jika pasien menolak, maka pasien diminta untuk
menandatangan surat penolakan test secara tertulis. Semua pemeriksaan HIV harus
mengikuti mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen
dasar yang disebut “5C” (informed consent, confidentiality, counseling, correct
test result and connection/linked to prevention, care, and treatment services) yang
tetap diterapkan dalam pelaksanaannya. Prinsip konfidensial sesuai dengan
Permenkes no. 21 tahun 2013 pasal 21 ayat 3 berarti bahwa hasil pemeriksaan
harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada :
a) Yang bersangkutan
b) Tenaga kesehatan yang menangani
c) Keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap
d) Pasangan seksual
e) Pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tes HIV adalah pemeriksaan laboratorium dengan tujuan untuk penemuan kasus.
Tes HIV bersifat sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, yaitu:
a) Perlu informasi singkat dan sederhana tanpa membuat pasien menjadi takut
tentang manfaat dan tujuannya
b) Perlu persetujuan pasien. Persetujuan verbal cukup untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Jika pasien menolak maka pasien diminta untuk
menandatangani formulir penolakan tes HIV.
c) Hasil tes HIV disampaikan kepada pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan
yang meminta
21

d) Harus mendapatkan tindak lanjut pengobatan dan perawatan lainnya


seperti skrining TB, skrining IMS, konseling pasca tes jika dibutuhkan dan
pemberian ARV
e) Hasil tes bersifat konfidensial dan dapat diketahui oleh dokter dan tenaga
kesehatan lain yang berkepentingan

Grafik 1. Alur pemeriksaan HIV


(Sumber :http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf).
2.4.4 Diagnosa HIV
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagai menjadi dua kelompok :
1. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai tes skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISAs) sama seperti test serologi cepat (Rapid
Test). Uji Western blot atau indirect iimunofluorescence assay (IFA) yang
digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test skrining. Uji yang
menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak
digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
Deteksi Antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang
sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan
tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa
jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji
virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-
orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan
HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua
tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu
dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune,
wanita hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru
lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada
seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi
(tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
23

a) Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,,
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
b) Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan
keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan
enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil
skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai
hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western
blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan
usia lebih dari 18 bulan.
c) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit
dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada
pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil
positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24).
a) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi
dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus.
b) Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24
dari antibodi anti-p24 (Read, 2007).

2.4.5 Konseling Pasca Test HIV


1. Penyampaian Hasil Tes HIV
Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum
disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian
semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari
nilai hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan
sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam
medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien,
sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut
dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien. Pasien perlu
diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana yang
hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami hasil
tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk.
3. Konseling
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah
diperiksa spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan
secara tatap muka individual. Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes,
sebagai berikut :
a) Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
 Penjelasan tentang masa jendela/window period
 Pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari
25

 Risiko penularan HIV dari ibu ke anak


 Konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan tes
HIV.
b) Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
 Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
 Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapi
ARV, kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat
 Pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat
 Rencana pilihan persalinan
 Rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan
pilihannya
 Konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten)
 Tes HIV bagi bayi
 Tes HIV bagi pasangan
 Informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA
yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan
ODHA
 Rujukan bila perlu

2.4.6 Management Post Exposure


Berdasarkan pedoman profilaksis setelah terpapar HIV dan penggunaan
profilaksis co-trimoxazole untuk dewasa, remaja maupun anak-anak : rekomendasi
untuk pendekatan kesehatan masyarakat yang telah dipublikasikan oleh WHO dan
secara elektronik di website WHO pada bulan desember 2014. Untuk obat PEP,
jika diberikan 2 obat antiretroviral sudah efektif, tetapi jika diberikan 3 obat
antiretroviral sangat efektif. Pemberian obat ini harus diberikan selama 28 hari. 18
Tabel 2. Profilaksis Post Exposure untuk Dewasa dan Remaja menurut WHO
18

Post Exposure Prophylaxis ARV untuk dewasa dan remaja

TDF + 3TC (or FTC) sebagai obat utama yang sangat direkomendasikan

LPV/r / ATV/r direkomendasikan sebagai obat ketiga (rekomendasi yang


kondisional)

Jika RAL, DRV/r atau EFV tersedia, maka bisa dijadikan pilihan alternatif.

TDF: Tenofovir Disoproxil Fumarate; 3TC: Lamivudine; FTC: Emtricitabine;


LPV/r: Lopinavir/Ritonavir; ATV/r: Atazanavir/Ritonavir; RAL: Raltegravir;
DRV/r: Darunavir/Ritonavir; EFV: Efavirenz; AZT: Zidovudine; ABC: Abacavir;
NVP: Nevirapine.

Tabel 3. Profilaksis Post Exposure untuk Anak<10 tahun menurut WHO 18

Post Exposure Prophylaxis ARV untuk anak <10 tahun

AZT + 3TC sebagai obat utama yang
sangat direkomendasikan

ABC + 3TC or TDF + 3TC (or FTC)
 dapat dipertimbangkan sebagai obat
alternative

LPV/r / direkomendasikan sebagai obat ketiga (rekomendasi yang kondisional)

Jika RAL, DRV/r atau EFV tersedia, maka bisa dijadikan pilihan alternative.

TDF: Tenofovir Disoproxil Fumarate; 3TC: Lamivudine; FTC: Emtricitabine;


LPV/r: Lopinavir/Ritonavir; ATV/r: Atazanavir/Ritonavir; RAL: Raltegravir;
DRV/r: Darunavir/Ritonavir; EFV: Efavirenz; AZT: Zidovudine; ABC: Abacavir;
27

NVP: Nevirapine.

Pemberian co-trimoxazole merupakan obat kombinasi dari 2 obat


antimikroba (sulfamethoxazole dan trimethoprim) yang mencegah dan mengobati
dari infeksi bakteri, jamur dan protozoa. Terapi pencegahan dengan obat ini
merupakan intervensi yang baik, dapat ditoleransi serta murah. Co-trimoxazole
diberikan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV. 18

Tabel 4. Profilaksis Co-Trimoxazole untuk Dewasa menurut WHO 18

Penggunaan Co-trimoxazole pada dewasa (termasuk wanita yang hamil)

Profilaksis Co-trimoxazole direkomendasikan untuk HIV severe atau advanced


(WHO stadium 3/4 ) dan atau <350 sel/mm3
Jika pasien terkena malaria dan atau infeksi bakteri yang parah, maka pemberian
profilaksis Co-trimoxazole dapat diberikan tanpa melihat jumlah CD4 / stadium
WHO

Tabel 5. Profilaksis Co-Trimoxazole untuk Bayi, Anak-anak dan Remaja menurut WHO
18

Penggunaan Co-trimoxazole pada bayi, anak-anak, dan remaja

Profilaksis Co-trimoxazole direkomendasikan


Jika prevalensi malaria dan atau infeksi bakteri tinggi, maka pemberian profilaksis
Co-trimoxazole harus dilanjutkan sampai dewasa, terlepas dari pemberian terapi
retroviral
Jika prevalensi malaria dan atau infeksi bakteri rendah, maka pemberian
profilaksis Co-trimoxazole dapat dihentikan pada anak-anak yang berusia 5 tahun
ke atas yang secara klinis stabil dan atau terapi retroviral selama minimal 6 bulan,
CD4 >350 sel/mm3
BAB III
KESIMPULAN

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel


kekebalan tubuh yang disebut sel CD4, yang merupakan jenis sel T. Sel T adalah
sel darah putih yang berfungsi untuk mendeteksi anomali dalam sel serta infeksi.
Ketika HIV menargetkan dan menginfiltrasi sel-sel ini, ia mengurangi kemampuan
tubuh untuk memerangi penyakit lain. Hal tersebut meningkatkan risiko dan
5
dampak infeksi oportunistik. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV.
Persiapan preoperatif sebelum tindakan operasi pada pasien HIV umumnya
sama seperti pasien yang non HIV, tetapi terdapat penambahan pemeriksaan yang
meliputi organ-organ seperti sistem respiratori, kardiovaskuler, gastrointestinal,
fungsi hati dan ginjal, sistem saraf, komponen darah, penggunaan zat-zat, dan
alergi obat. Adapun komplikasi yang umumnya terjadi pasca operasi pada pasien
HIV dengan penyakit yang berlanjut (CD4 <200 sel/mm3) yaitu status nutrisi yang
buruk (serum albumin yang rendah), dan atau neutropenia. Resiko terekspos jarum
suntik, jarum jahit, dan terkena darah merupakan hal yang dapat terjadi selama
operasi berlangsung, penanganan berupa pemberian obat anti retroviral dan
pemberian profilaksis co-trimoxazole merupakan pedoman yang diberikan setelah
terpapar infeksi HIV.
29

DAFTAR PUSTAKA

1. UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic


2013. Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. 2013
2. Kemenkes RI.Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS & PIMS Di
Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta :
2018.
3. G, Morino, M. Baldan. Aids And Surgery. East and Central African
Journal of Surgery. 2004; 9; 2.
4. David NR, Megan C, Rebacca C. Complication Of Surgery in HIV-
Infected Patient. New York :University Medical Center.1998;12(17):2243-
2251.Available at :https://www. researchgate.net/publication /13423964
Complications_of_surgery_in_HIV-infected_patients. Accessed 12 Mei
2019.
5. Felman Adam. Explaning HIV and AIDS. 2018. Available at:
https://www.medicalnewstoday.com/articles/17131.php. Accessed 7 April
2019.
6. Kummar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and Cotran; Pathologic Basic of
Disease Ninth edition Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2015.
7. National AIDS Control Organisation. Guideline Of HIV Testing. 2007.
Available at : https://www.who.int/hiv/pub/guidelines/india_art.pdf.
Accessed 7 April 2019.
8. World Health Organization. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS
And HIV/AIDS Case definitions for surveillance. 2005. Available at:
https://www.who.int/hiv/pub/guidelines/clinicalstaging.pdf . Accessed 7
April 2019.
9. Prout J, Agarwal B. Anaesthesia and Critical Care for Patients with HIV
Infection. British Journal of Anaesthesia. 2005;5(5):153-156.
10. Smit S. Guidelines for Surgery in the HIV Patient. CME. 2010;28(8):356-
358.
11. Kar SK, Chakraborty B. HIV in Intensive Care Unit: Concerns and
Constraints of Intensivists. Translational Biomedicine. 2015;6(4):1-6.
12. Perioperative Management - AIDS Institute Clinical Guidelines. 2019.
Available at : https://www.hivguidelines.org/hiv-care/perioperative-
management/. Accessed 7 April 2019.
13. Schecter WP and Stock P. Surgery in Patients with HIV. HIV In Site
Knowledge Base: San Fransisco. 2003.
14. Kigera JWM, Straetemans M,Vuhaka SK, Nagel IM. Is There an Increased
Risk of Post Operative Surgical Site Infection after Orthopedic Surgery in
HIV Patients? A Systematic Review and Meta Analysis. Plos One.
2012;8(8); 1-11. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3414529/pdf/pone.004225
4.pdf. Accessed 7 April 2019.
15. Bao CL, Lei Z, Andy T, Bin L. Treatment of Postoperative Infectious
Complication in Patients with Human Immunodeficiency Virus Infection.
World J Emergency Medicine. 2014;5(2): 103-106. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4129878/pdf/WJEM-5-
103.pdf. Accessed 20 mei 2019.
16. Davison PS, Reisman NR, Pellegrino ED, Larsin EE. Perioperative
Guidelines for Elective Surgery in the Human Immunodeficiency Virus
Positive Patient. American Society of Plastic Surgeons. 2008;121(5):1-9.
Available from : https://dacemirror.sci-hub.tw/journal-
article/27bc045e1ab371bee54bfc5d4450ced1/davison2008.pdf. Accessed 7
April 2019.
17. Read, JS. Diagnosis of HIV-1 Infection inChildren Younger Than 18
Months in the United States. American Academy of Pediatrics.
2007.120(6):1-19. Available from :
https://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/120/6/e1547.full.p
df. Accessed 22 Juny 2019.
18. World Oral Health. Guidelines on Post Exposure Prophylaxis for HIV and
The Use of Co-Trimoxazole Prophylaxis for HIV Related Infection Among
Adults, Adolescents and Children : Recommendations for A Public Health
Approach. 2014. Available at :
https://www.researchgate.net/publication/270049973_Guidelines_on_post
exposure_prophylaxis_for_HIV_and_the_use_of_co
trimoxazole_prophylaxis_for_HIV-
related_infections_among_adults_adolescents_and_children. Accessed 7
April 2019.

Anda mungkin juga menyukai