Anda di halaman 1dari 24

TUTOR GUIDE

BLOK 15
KELAINAN MUKOSA MULUT

SALIVARY GLAND DISEASES

PRODI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2018

1|Page
PETUNJUK UNTUK MAHASISWA

TUTORIAL 4 BLOK 15
Hari/tanggal : Selasa, 2 januari 2018

SKENARIO:
Seorang pasien wanita berusia 60 tahun dirujuk ke Klinik Oral Medicne dengan
keluhan utama mulut kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, makan dan
menelan, dan perubahan rasa kecap. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan sedang
dalam pengobatan dengan beberapa obat antihipertensi (metildopa 50 mg dan
hydrochlorothiazide 25 mg dua kali sehari) selama beberapa tahun terakhir.

Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Wajah pasien tampak pucat.

Pemeriksaan Ekstra Oral:


Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan intraoral:
Permukaan mukosa bukal, gingiva, dan dorsum lidah tampak kering, merah, dan
halus. Saliva tampak kental, lengket, dan mengganggu pasien. Karies gigi pada
serviks atau leher gigi ditemukan di hampir semua gigi.

Analisislah kasus di atas berdasarkan metode seven jumps!

PETUNJUK UNTUK TUTOR


2|Page
PRODI KEDOKTERAN GIGI
TUTORIAL 4
BLOK 15 (KEDOKTERAN KLINIK DAN MANIFESTASI ORAL)

MODUL : Kelainan Mukosa Mulut


POKOK BAHASAN : Salivary Gland Diseases
SUBPOKOK BAHASAN : Xerostomia
LEVEL KOMPETENSI : 4
PENANGGUNG JAWAB : Dr. Irna Sufiawati, drg., Sp.PM
KONTRIBUTOR : Dr. Irna Sufiawati, drg., Sp.PM
Drg. Mutiara, Sp.RKG
TANGGAL : 2 Januari 2018
WAKTU : 08.00-12.00

Sasaran belajar
Setelah mengikuti diskusi kelompok ini mahasiswa mampu:
1. Merumuskan diagnosis kasus berdasarkan anamnesis, tanda-gejala klinis dan
pemeriksaan lab, faktor etiologi/predisposisi penyakit, dan diagnosis banding
dengan menyusun resume kasus (overview case) dan menjelaskan ilmu kedokteran
dasar terkait dengan kasus (Oral biologi, farmakologi)
2. Menjelaskan perbedaan tanda-gejala klinis kasus dengan diagnosis bandingnya
3. Menentukan pemeriksaan penunjang dan rujukan yang tepat terkait kasus
4. Menganalisis etiopatogenenesis kasus
5. Merencanakan talaksana kasus sesuai dengan konsep patofisiologi penyakit serta
kompetensi dokter gigi umum, prognosis dan komplikasi kasus diatas?
6. Menganalisis epidemiologi kasus
7. Mengaplikasikan konsep bioetika humaniora dan profesionalisme pada kasus,
serta komplikasi.

SKENARIO:
Seorang pasien wanita berusia 60 tahun dirujuk ke Klinik Oral Medicine dengan
keluhan utama mulut kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, menelan
makanan, dan perubahan rasa kecap, serta air liur terasa kental. Keluhan ini
dirasakan sudah sejak lama, tetapi semakin terasa sejak tahun lalu. Pasien memiliki
riwayat hipertensi dan sedang dalam pengobatan dengan beberapa obat
antihipertensi diantaranya metildopa 50 mg 1x/hari selama beberapa tahun terakhir.

Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Pemeriksaan Ekstra Oral:


Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan intraoral:

3|Page
Permukaan mukosa bukal, gingiva, dan dorsum lidah tampak kering kemerahan dan
licin. Saliva tampak kental dan lengket. Karies gigi pada serviks gigi ditemukan di
hampir semua gigi.

PEMBAGIAN WAKTU:
Pertemuan I
1. Pendahuluan 10 menit
2. Melakukan Seven jump step (step 1-5) 120 menit
3. Feedback tutor & penutup 20 menit
Pertemuan II
1. Pendahuluan 10 menit
2. Melakukan diskusi pendahuluan dan presentasi (step 7) 120 menit
3. Feedback tutor & penutup 20 menit

MEKANISME PEMBELAJARAN TUTORIAL:


Step 1
Klarifikasi istilah / pengertian yang masih asing, antara lain :
1) Mulut kering
2) Perubahan rasa kecap
3) Air liur
4) Kental
5) Hipertensi
6) Metildopa
7) Mukosa bukal
8) Gingiva
9) Dorsum lidah
10) Karies
11) Serviks gigi

Step 2 Perumusan masalah


Step 2 merupakan langkah penting dalam tutorial, karena perumusan masalah tersebut
dapat dijadikan pembahasan dalam step selanjutnya dan dapat berkembang menjadi
learning issue. Sehingga tutor perlu memastikan atau mengarahkan permasalahan yang
dirumuskan (minimal) sesuai dengan sasaran belajar.
Perumusan masalah dalam skenario :
 Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, dan riwayat keluhan utama pasien?
 Bagaimana hubungan antara kelainan sistemik dan terapi yang sedang dijalani
dengan keluhan utama pasien?

4|Page
 Mengapa mulut pasien terasa kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, menelan
makanan, dan perubahan rasa kecap, serta air liur terasa kental.
 Mengapa keluhan diderita pasien sudah lama, dan kemudian semakin terasa sejak
tahun lalu?
 Bagaimana hubungan gejala klinis pasien dengan kondisi oralnya?
 Mengapa mukosa labial, bukal, dan lidah tampak kering kemerahan dan licin?
 Mengapa Saliva tampak kental dan lengket?
 Mengapa Karies gigi ditemukan pada serviks gigi di hampir semua gigi?
 Adakah hubungan antara karies di serviks gigi dengan keluhan utama pasien?
 Bagaimana ilmu kedokteran dasar terkait kasus?
 Bagaimana etiopatofisologis, prognosis, komplikasi serta penanganan kasus diatas?
 Bagaimana epidemiologi kasus?
 Bagaimana BHP kasus?

Di akhir step 2, tutor dapat mengarahkan mahasiswa untuk mengklasifikasikan


permasalahan untuk mempermudah pelaksanaan step 3 (curah pendapat).

Step 3: Curah pendapat/brain storming


Step ini menjawab masalah yang dirumuskan pada step 2. Prinsip pada step curah pendapat
adalah mahasiswa berhak menyampaikan pendapat sesuai dengan pengetahuan
dasarnya, tidak ada sanggahan, sehingga untuk satu permasalahan dapat menjadi
beberapa pendapat, tutor dapat mengarahkan ketua kelompok untuk mengaktifkan
peserta diskusi dalam curah pendapat.

Step 4: Analisis permasalahan


Setelah curah pendapat dari permasalahan step 3, mahasiswa dapat mendiskusikan
pendapat yang paling rasional untuk menjawab permasalahan di step 2, kemudian
disusun beberapa hipotesis (kemungkinan dari hasil diskusi tentang permasalahan
tersebut). Pelaksanaan di step 4 adalah mahasiswa merumuskan hipotesis yang merupakan
kesimpulan dari step 3 (curah pendapat/brain storming) mengenai diagnosis kerja,
patogenesis/patofisiologi kasus dan penatalaksanaan dalam kasus dll. Dari analisis step 4 ini
dapat dirumuskan hal-hal yang lebih jauh dipelajari oleh mahasiswa (yaitu dijadikan sebagai
learning issue).

Step 5: Merumuskan learning issue


Learning issue digali berdasarkan pengetahuan apa yang kurang dalam kelompok. Setelah
diinventarisasi pengetahuan yang diperlukan, kemudian dirumuskan hal-hal yang hendak
diketahui/dipelajari sebagai learning issue sebelum pertemuan tutorial kedua (pertemuan
beberapa hari berikutnya). Tutor perlu memastikan learning issue yang disusun telah sesuai
dengan sasaran belajar, yaitu:
1. Bagaimana diagnosis kasus berdasarkan anamnesis, tanda-gejala klinis dan
pemeriksaan lab, faktor etiologi/predisposisi penyakit, dan diagnosis banding dengan
menyusun resume kasus (overview case)
2. Jelaskan mengenai ilmu kedokteran dasar terkait dengan kasus terutama anatomi,
histologi, fisiologi dan farmakologi
3. Jelaskan perbedaan tanda dan gejala klinis xerostomia dengan kelainan mukosa
mulut lainnya yang hampir sama.
4. Bagaimana etiopatofisiologi xerostomia
5. Bagaimana menentukan rujukan yang tepat terkait kasus
6. Bagaimana talaksana xerostomia sesuai dengan konsep patofisiologi penyakit serta
kompetensi dokter gigi umum.
7. Bagaimana prognosis dan dapat melakukan rujukan yang tepat terkait kasus?

5|Page
8. Jelaskan epidemiologi kasus
9. Bagaimana konsep bioetika humaniora dan profesionalisme pada kasus

Step 6: Mencari informasi


Step ini sebagai bahan dalam menjawab learning issue. Informasi diperoleh dari jurnal, buku
ajar, internet dan pakar.

Step 7: Laporan hasil step 6


Informasi yang diperoleh didiskusikan sehingga kelompok memahami apa yang mereka
ingin ketahui (perumusan learning issue), kemudian perumusan ini dipresentasikan dan
didiskusikan. Tutor mengevaluasi ketercapaian sasaran belajar.

PETUNJUK UNTUK TUTOR

1. Resume kasus (overview case):


Hal-hal yang diharapkan dalam resume kasus (case overview):
1) Menjabarkan anamnesis terkait keluhan utama:
Pasien wanita berusia 60 tahun mengeluh mulut kering, sangat tidak nyaman ketika
berbicara, makan dan menelan, dan perubahan rasa kecap.

2) Menjabarkan gejala dan tanda/gambaran klinis:


Permukaan mukosa bukal, gingiva, dan dorsum lidah tampak kering, merah, dan halus.
Saliva tampak kental, lengket, dan mengganggu pasien.
Karies gigi pada serviks atau leher gigi ditemukan di hampir semua gigi.

3) Hal yang dapat mengarah pada faktor etiologi/predisposisi penyakit:


Usia pasien.
Riwayat hipertensi dan mengkonsumsi obat antihipertensi (metildopa 50 mg) selama
beberapa tahun terakhir.

4) Menentukan diagnosis dan diagnosis banding:


Diagnosis: Drug-induced xerostomia
Diagnosis Banding: Aplasi/Agenesis, Sialolit, Sialodenitis, Sindrom Sjogren

Ilmu kedokteran dasar terkait dengan kasus

Anatomi: Mukosa Mulut


Istilah membran mukosa digunakan untuk menggambarkan lapisan pada traktus
gastrointestinal, jalur nafas, dan rongga tubuh lainnya yang berkomunikasi dengan
lingkungan luar. Di rongga mulut lapisan ini disebut membran mukosa mulut atau mukosa
mulut. Di bibir, mukosa mulut ini bersambung dengan kulit, dan di faring mukosa mulut ini
bersambung dengan lapisan mukosa yang melapisi saluran pencernaan. Maka secara
anatomis mukosa mulut terletak diantara kulit dan mukosa gastrointestinal dan
menunjukkan sifat-sifat dari kedua bagian tersebut.
Fungsi Mukosa Mulut: Mukosa mulut memiliki beberapa fungsi. Fungsi utama adalah
proteksi terhadap jaringan yang lebih dalam di rongga mulut. Sebagai pelapis permukaan,
mukosa mulut memisahkan dan melindungi jaringan dan organ yang lebih dalam di regio
oral dari lingkungan rongga mulut. Suatu populasi mikroorganisme yang secara normal
berada di rongga mulut dapat menyebabkan infeksi bila masuk kedalam jaringan. Banyak
organisme ini yang dapat menghasilkan substansi yang memiliki efek toksik terhadap

6|Page
jaringan. Epitel mukosa mulut bertindak sebagai sawar utama terhadap ancaman tersebut.
Mukosa mulut menunjukkan sejumlah adaptasi epitel dan jaringan pengikat untuk menahan
gangguan yang ada. Fungsi lainnya dari mukosa mulut adalah sebagai organ sensoris, dan
tempat aktifitas dan sekresi kelenjar.
Klasifikasi Mukosa Mulut: Tiga tipe utama mukosa mulut ditemukan di rongga mulut
yaitu mukosa pelapis, mastikasi, dan khusus. Klasifikasi mukosa ini didasarkan pada
penampakan histologis umum jaringan. Mukosa pelapis ( lining) adalah tipe mukosa yang
ditandai oleh tekstur permukaan yang lebih lembut, permukaan yang lembab, dan
kemampuannya untuk meregang dan ditekan, dimana ia bertindak sebagai bantalan untuk
struktur dibawahnya. Mukosa pelapis meliputi mukosa bukal, mukosa labial, mukosa
alveolar, dasar mulut, permukaan ventral lidah, dan palatum lunak. Mukosa mastikasi
ditandai oleh tekstur permukaannya yang kenyal/elastis dan memiliki ketahanan. Mukosa
mastikasi meliputi gingiva cekat, palatum keras, dan permukaan dorsal lidah. Mukosa
khusus juga ditemukan di permukaan dorsal dan lateral lidah dalam bentuk papilla lingual,
yang merupakan struktur khas yang terdiri dari epitel dan lamina propria.

Gambar 1. Anatomi Mukosa Mulut

Lidah adalah suatu organ muskular yang berhubungan dengan pengunyahan,


pengecapan dan pengucapan yang terletak pada sebagian di rongga mulut dan faring. Lidah
sebagai indera pengecap mempunyai beberapa fungsi yaitu membantu proses pengecapan
dan perasa, mengatur letak makanan ketika dikunyah, membantu menelan, mendorong
makanan ke dalam pharynx (pada waktu menelan), pembersihan mulut, dan memainkan
peranan yang penting sebagai alat bantu dalam berbicara.
Lidah terdiri atas dua kelompok otot yaitu otot intrinsik dan otot ekstrinsik. Otot
intrinsik berfungsi untuk melakukan semua gerakan lidah. Otot ekstrinsik berfungsi
mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta membantu melakukan gerakan
menekan makanan pada langit-langit dan gigi, kemudian mendorongnya masuk ke faring.
Lidah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu radiks, korpus, dan apeks. Radiks lidah
melekat pada tulang hioid dan mandibula, di bagian bawah kedua tulang terdapat otot
geniohioid dan otot milohioid. Korpus lidah bentuknya cembung dan bersama apeks
membentuk duapertiga anterior lidah. Radiks dan korpus dipisahkan oleh alur yang
berbentuk ”V” yang disebut sulkus terminalis.

7|Page
Gambar 2. Anatomi lidah

Lidah merupakan kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang ditutup oleh
membran mukosa (selaput lendir). Selaput lendir ini tampak kasar karena adanya tonjolan-
tonjolan yang disebut papila yang merupakan akhiran-akhiran saraf pengecap dan terletak
pada seluruh permukaan lidah. Saraf-saraf pengecap inilah yang dapat membedakan rasa
makanan.
Jenis-jenis papilla
Terdapat empat jenis papilla pada lidah manusia,yaitu:
1) Papila fungiform, terletak di 2/3 anterior lidah dan pada umumnya terdiri dari satu hingga
beberapa taste buds di setiap papila yang diinervasi oleh nervus facial (VII). Papila ini
terlihat seperti bintik-bintik berwarna merah karena kaya akan pembuluh darah. Jumlah
papila fungiform di setiap lidah manusia adalah sekitar 200 papila. Papila ini lebih sensitif
terhadap rasa manis dan asin. Papila di lidah bagian depan memiliki lebih banyak taste
buds dibanding dengan papila di lidah bagian tengah. Diperkirakan ada sekitar 1120
taste buds di papila fungiform pada setiap lidah.
2) Papila circumvalata, terletak pada pangkal dorsum lidah di depan sulcus terminalis
linguae yang tersusun seperti huruf V. Papila ini sensitif terhadap rasa asam dan pahit di
1/3 posterior lidah yang diinervasi oleh nervus glossopharyngeal (IX). Jumlahnya berkisar
3-13 papila di setiap lidah dengan jumlah taste buds 252 di setiap papila sehingga total
2200 taste buds yang terdapat di papila circumvalata pada setiap lidah. Dalam jumlah
besar taste buds ini terletak mengelilingi papila circumvalata yang membentuk garis
seperti huruf V ke arah posterior lidah.
3) Papila foliate, terletak pada lipatan dan celah bagian lateral lidah. Sensitivitas papila ini
lebih dominan terhadap rasa asam yang diinervasi oleh nervus glossopharyngeal (IX).
Rata-rata terdapat 5-6 papila foliata di setiap sisi lidah yang terdiri dari 117 taste buds
per papila sehingga total terdapat 1280 taste buds di papila foliata pada setiap lidah.
4) Papila filiform, papila terkecil dengan penampang 0,1 - 0,25 mm dan tidak memiliki taste
buds. Papila ini lebih dominan untuk menerima rangsang sentuh.

8|Page
Gambar 3. Gambaran mikroskopis lidah memperlihatkan tiga
jenis papila pada permukaan lidah

Persarafan pada lidah dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:


1) Saraf sensoris, utuk mempersarafi 2/3 Dua pertiga anterior oleh nervus lingualis.
Dan 1/3 posterior oleh nervus lingualis, glosofaring dan vagus.
2) Saraf pengecap, untuk mempersarafi : b. Duapertiga anterior oleh serabut-serabut
nervus fasialis. 3. Satupertiga posterior oleh nervus glosofaring.
3) Saraf motorik Mempersarafi otot-otot lidah yaitu otot stiloglosus, hioglosus dan
genioglosus.
Vaskularisasi Lidah
1) Arteri Lingualis, merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Arteri ini terus
berjalan melewati otot-otot pengunyahan bagian posterior menuju ke tulang hioid,
kemudian bersama-sama dengan nervus hipoglosus dan vena lingualis menuju otot
hioglosus. Setelah melewati otot hioglosus arteri lingualis ini bercabang yaitu rami
dorsalis lingual dan di ujung anterior terbagi lagi menjadi dua cabang terminalis yaitu
a) arteri sublingualis berjalan diantara otot genioglosus dan glandula dan sublingual;
b) arteri lingualis profunda terletak di bagian lateral permukaan bawah lidah
2) Vena lingualis profunda terletak pada membran mukosa bagian lateral bawah lidah.
Vena lingualis profunda dan vena sublingualis bergabung dengan dorsal lingualis di
daerah posterior dari otot hioglossus, lalu berjalan menuju vena jugularis.
Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe berjalan di belakang papila sirkumvalata menuju posterior menembus
dinding faring dan memasuki nodus limfatikus di daerah servikal yang terletak di sebelah
lateral vena jugularis interna.

Fisiologi: Saliva
Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki konsistensi seperti lendir dan
merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva
dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta sejumlah kelenjar saliva minor yang
tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali pada ginggiva dan palatum.
Fungsi saliva adalah:
 Menjaga kelembaban dan membasahi rongga mulut.
 Melumasi dan melunakkan makanan sehingga memudahkan proses menelan dan
mengecap rasa makanan.
 Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel dan bakteri, sehingga
dapat mengurangi akumulasi plak gigi dan mencegah infeksi.
 Menghambat proses dekalsifikasi dengan adanya pengaruh buffer yang dapat
menekan naik turunnya derajat keasaman (pH).
Dalam 24 jam, kelenjar-kelenjar saliva dapat mensekresi kira-kira 1 sampai 1,5 liter. Saliva
disekresi karena adanya rangsangan, baik secara langsung oleh ujung-ujung saraf yang ada
di mukosa mulut maupun secara tidak langsung oleh rangsangan mekanis, termis, kimiawi,
psikis atau olfaktori. Rangsang mekanik merupakan rangsang utama untuk meningkatkan

9|Page
sekresi saliva. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi, terutama dari
kelas Immunoglobulin A (IgA) yang ditransportasikan ke dalam saliva. Selain antibodi, saliva
juga mengandung beberapa jenis enzim antimikrobial seperti lisozim, laktoferin dan
peroksidase serta beberapa komponen seperti growth factor, yang berguna untuk menjaga
kesehatan dari jaringan luka mulut dan dapat membantu proses pencernaan, khususnya
karbohidrat.

Anatomi Kelenjar Saliva


Saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva yang terdiri atas sepasang kelenjar saliva mayor serta
beberapa kelenjar saliva minor.
Kelenjar saliva mayor terdiri dari kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis.
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar, terletak bilateral di depan telinga antara
ramus mandibularis dan processus mastoideus dengan bagian yang meluas ke muka di
bawah lengkung zigomatik. Kelenjar submandbularis merupakan kelenjar saliva terbesar
kedua yang terletak pada dasar mulut di bawah korpus mandibula. Salurannya bermuara
melalui lubang yang terdapat di samping frenulum lingualis. Kelenjar sublingualis adalah
kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak paling dalam, pada dasar mulut antara mandibula
dan otot genioglossus. Masing-masing kelenjar sublingualis sebelah kanan dan kiri bersatu
untuk membentuk massa kelenjar di sekitar frenulum lingualis.
Kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar lingualis, bukalis, labialis, palatinal, dan
glossopalatinal. Kelenjar-kelenjar ini berada di bawah mukosa dari bibir, lidah, pipi, serta
palatum.
Kelenjar saliva merupakan kelenjar merokrin yang bentuknya berupa tubuloasiner atau
tubuloaveoler. Bagian dari kelenjar saliva yang menghasilkan sekret disebut asini. Berikut
adalah sel-sel yang menyusun asini kelenjar saliva.
a. Asini serous Asini serous tersusun dari sel-sel berbentuk piramid yang mengelilingi
lumen kecil dan berinti bulat. Di basal sel terdapat sitoplasma basofilik dan di apeks
terdapat butir-butir pro-enzim eosinofilik, yang akan disekresikan ke lumen asini
menjadi enzim. Hasil sekresi aini serous berisi enzim ptialin dan bersifat jernih dan
encer seperti air.
b. Asini mukous Asini mukous tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid sampai kolumner
yang mengelilingi lumen kecil dan memiliki inti pipih atau oval yang terletak di basal.
Sitoplasma asini mukous yang berada di basal sel bersifat basofilik sedangkan daerah
inti dan apeks berisi musin yang bewarna pucat. Hasil sekresi asini mukous berupa
musin yang sangat kental.
c. Asini campuran Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous. Bagian
serous yang menempel pada bagian mukous tampak sebagai bangunan berbentuk
bulan sabit.
Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur lain yaitu mioepitel. Mioepitel terdapat di
antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk gepeng, berinti gepeng, memiliki
sitoplasma panjang yang mencapai sel-sel sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil
di dalam sitoplama sehingga membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan hasil sekresi.
Hasil sekresi kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus interkalatus yang tersusun dari sel-
sel berbentuk kuboid dan mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus
interkalatus akan bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus intralobularis
yang tersusun dari sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai garis-garis di basal dan tegak lurus
dengan membrana basalis yang berfungsi sebagai transport ion. Duktus striatus dari
masing–masing lobulus akan bermuara pada saluran yang lebih besar yang disebut duktus
ekskretorius atau duktus interlobularis.

10 | P a g e
Gambar 4. Anatomi kelenjar saliva

Mekanisme Sekresi Saliva


Saliva disekresi sekitar 1 sampai 1,5 liter setiap hari tergantung pada tingkat perangsangan.
Kecepatan aliran saliva bervariasi dari 0,1-4,0 ml/menit. Pada kecepatan 0,5 ml/menit
sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis dan kelenjar submandibularis; sisanya
disekresi oleh kelenjar sublingual dan kelenjar saliva minor. 18 Sekresi saliva yang bersifat
spontan dan kontinyu disebabkan oleh stimulasi konstan saraf parasimpatis dan berfungsi
menjaga agar mulut serta tenggorokan tetap basah setiap waktu.
Selain stimulasi sekresi yang bersifat konstan, sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui dua
jenis refleks saliva yang berbeda, yaitu:
a. Refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi Refleks saliva sederhana terjadi saat
baroreseptor di dalam rongga mulut merespons adanya makanan. Saat diaktifkan,
reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serabut saraf afferen yang membawa
informasi ke pusat saliva di medula spinalis. Pusat saliva kemudian mengirim impuls
melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva.
Gerakan gigi juga mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan karena
adanya manipulasi terhadap baroreseptor yang terdapat di mulut.
b. Refleks saliva didapat, atau terkondisi. Pada refleks saliva didapat, sekresi saliva
dihasilkan tanpa rangsangan oral. Hanya dengan berpikir, melihat, membaui, atau
mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran saliva melalui
refleks ini.
Pusat saliva di medula mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui sarafsaraf otonom.
Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis berfungsi meningkatkan sekresi saliva, tetapi
jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Stimulasi parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam
jumlah besar dan kaya enzim, sedangkan stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva
yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya mucous.

Farmakologi: Antihipertensi
Antihipertensi adalah obat–obatan yang digunakan untuk mengobati hipertensi.
Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya

11 | P a g e
penyakit kardiovaskular dan mereka yang beresiko terkena stroke maupun miokard infark.
Pemberian obat perlu dilakukan segera pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140/90
mmHg.
Obat-obat hipertensi dapat dibagi menjadi 7, yaitu antara lain.
1) Diuretik
Mekanisme kerja: menghambat absorbsi garam dan air sehingga volume darah dapat
menurun akibatnya tekanan darah ikut turun.
Diuretik ini dibagi menjadi 3 tebagi menjadi 3 yaitu:
 Golongan thiazid yang bekerja pada tubulus distal dengan kerja meningkatkan
ekskresi Na+ dan Cl-. Contoh: HCT dan indapamid
 Golongan diuretik kuat yang bekerja di ansa henle bagian assendens dengan kerja
menghambat kotranspor Na+, K+, Cl-, dan menghambat resorpsi air dan elektrolit.
Contoh: furosemid, torasemid, asam etakrinat dan bumetamid.
 Golongan diuretik hemat kalium, contohnya : triamteren, amilorid, dan spironolakton.
2) Alfa blockers
Mekanisme kerja: memblok reseptor alfa adrenergik yang ada pada oto polos
pembuluh. Dibedakan menjadi
a. Alfa blockers nonselektif, contoh : fentolamin
b. Alfa 1 blockers selektif, contoh : prazosin, terazosin. Doksazosin dll.
3) Beta blockers
Mekanisme kerja: menempati reseptor beta adrenergik. Blokade reseptor ini
menyebabkan penurunan aktifitas adrenalin dan noradrenalin. Contoh: atenolol,
metoprolol, labetolol dll.
4) Agonis alfa 2
Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor alfa 2 yang berdaya vasodilatasi. Contoh:
klonidin
5) Antagonis kalsium
Mekanisme kerja : menghambat pemasukan ion Ca ke dalam sel sehingga penyaluran
impuls dan kontraksi dinding pembuluh. Contoh : nifedipin, nikardipin, verapamil, dll.
6) Panghambat RAS (Renin Angiotensin Sysem)
Mekanisme kerja : mencegah pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang
berdaya vasokonstriksi kuat. Selain itu menghambat pembentukan aldosteron yang
bersifat retensi garam dan air. Contoh : kaptopril, losartan, benazepril, dll.
7) Vasodilator
Mekanisme kerja : berkhasiat vasodilatasi langsung terhadap pembuluh darah sehingga
tekanan darah turun. Contoh : hidralazin dan monoksidil.

Lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk pengobatan awal
hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat
angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
(Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.

Tabel 1. Obat Hipertensi

12 | P a g e
2. Menjelaskan perbedaan tanda-gejala klinis kasus serta diagnosis bandingnya
Xerostomia adalah keluhan subyektif pada pasien berupa adanya rasa kering
dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi daliva (hiposalivasi) dan atau
perubahan komposisi saliva (Guggenheimer 2003; Scully, 2005).
Xerostomia merupakan istilah konvensional yang digunakan untuk keluhan subyektif pasien
terhadap mulut kering, tetapi hiposalivasi merupakan kondisi obyektif tentang
penurunan sekresi saliva. Walaupun sebagian besar pasien xerostomia mengalami

13 | P a g e
hiposalivasi tetapi sebagian tidak demikian. Di lain sisi pasien yang dalam pengukuran
mengalami hiposalivasi tetapi tidak mengeluhkan adanya xerostomia (Khovidhunkit, 2009).
Gejala klinis xerostomia meliputi saliva yang berbusa, kental atau bertalian,
bibir kering dan pecah, rasa terbakar, lidah berfisur dan bernodul, pipi yang
kering dan pucat, kelenjar saliva bengkak dan sakit, rasa haus yang meningkat,
sulit mengunyah, sulit menelan (disfagia), sulit berbicara (disfoni) dan gangguan
pengecapan. Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk memakan makanan
kering seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah pada retensi
gigi palsu, luka akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum, rasa terbakar
kronis, halitosis dan tidak tahan makan makanan pedas.
Keluhan xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari karena produksi saliva
berada pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga disebabkan karena
bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat mengganggu interaksi sosial
dan menyebabkan menghindari pertemuan social.
Xerostomia dapat meningkatkan infeksi oral seperti kandidiasis oral dan infeksi
oropharing, meningkatkan penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan insiden
karies, terjadi perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut.

Diagnosa Banding Xerostomia


1) Aplasi/Agenesis
 Aplasi adalah kelainan yang ditandai dengan tidak adanya satu atau lebih kelenjar
saliva mayor secara kongenital, biasa terjadi pada kelenjar parotis.
 Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan sialografi.
 Pengobatan dilakukan dengan menggunakan saliva tiruan.
2) Sialolit
 Sialolit merupakan kalkulus pada kelenjar saliva. Komposisi 2/3nya terdiridari bahan-
bahan anorganik terutama kalsium fosfat. Sisanya terdiriatas bahan organik, yaitu
lemak bebas. Sebagian besar terjadi pada kelenjarsubmandibularis.
 Penyebabnya belum diketahui tetapi diperkirakan bahwa jamur, bakteri, atau sel-
sel epitel deskuamatif bertindak sebagai nukleusawal kalsifikasi progresif.
 Diagnosis ditegakkan dengan radiografi, namun tidak semua kalkulus radiopak, oleh
karena itu, sialografi juga perlu dilakukan.
 Pengobatan dengan pengangkatan kalkulus
3) Sialodenitis
 Sialodenitis adalah radang kelenjar ludah. Diagnosisnya sialodenitis supuratif akut,
terlihat sebagai pembengkakan kelenjar bersangkutan yang menimbulkan rasa sakit
akut diikuti keluarnya pus pada orifice saluranutama.
 Ada dua macam sialodenitis yaitu bakterial (bakteri streptococcus faklutatif) dan viral
(Paramycovirus).
 Penatalaksanaan untuk bacterial sialodenitis dapat dilakukan dengan pemberian
amoksisilin. Penatalaksanaan untuk viral sialodenitis tidak perlu karena gejala
akanmereda dengan sendirinya dalam waktu satu minggu.
4) Sindrom Sjogren
 Ada dua macam sindrom Sjogren, yaitu primer (dikenal sebagai sindromsiccka,
adanya kekeringan mata dan mulut) dan sekunder (gejala pada primer dengan
kelainan meluas ke jaringan ikat)
 Penatalaksanaannya dengan meredakan gejala xerostomia dan menghilangkan
infeksi candidadengan anti jamur, serta mencegah timbulnya karies dan
penyakit periodontal.

3. Menjelaskan etiologi dan patogenesis terkait kasus

14 | P a g e
Etiologi Xerostomia
Xerostomia pada kasus ini diduga terjadi akibat efek farmakologis atau efek samping obat
antihipertensi metildopa dan hydrochlorothiazide.
Banyak sekali obat yang mempengaruhi sekresi saliva. Lebih dari 600 obat dilaporkan dapat
menyebabkan xerostomia sebagai efek samping. Banyak antihipertensi seperti ACEI, diuretik
thiazide, diuretik loop, dan clonidine berhubungan dengan xerostomia.

Tabel 1. Obat yang dapat menyebabkan xerostomia

Xerostomia dapat disebabkan oleh faktor lainnya yaitu:


1) Efek radioterapi
Gangguan fungsi kelenjar saliva setelah terapi radiasi pada daerah kepala dan leher
untuk perawatan kanker sudah banyak diketahui. Jumlah dan keparahan kerusakan
jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan lamanya penyinaran.
Pengaruh radiasi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar saliva serous dibandingkan
dengan kelenjar saliva mukus. Penyinaran kelenjar saliva berakibat berkurangnya volume
saliva, dengan terjadinya gejala-gejala antara lain: kepekatan saliva, pH saliva lebih
rendah, kecepatan sekresi protein berkurang, sedang konsentrasi protein naik,
konsentrasi sekresi IgA berkurang, konsentrasi elektrolit bertambah, jumlah
mikroorganisme kariogenik naik, terutama Candida, laktobasilus dan streptokokus.

Tabel 2. Dosis penyinaran dan sekresi saliva

2) Gangguan kelenjar saliva

15 | P a g e
Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan
menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih sering mempengaruhi
kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini
dan penyumbatan duktus.
Kista-kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan
penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian
mempengaruhi sekresi saliva.
Sindroma Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi
kelenjar airmata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi
limfosit sehingga sekresinya berkurang.

3) Gangguan sistem syaraf


Gangguan pada sistem syaraf pusat dan atau perifer dapat mempengaruhi kecepatan
sekresi saliva. Kelainan syaraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel,
juga akan mengakibatkan turunnya pengeluaran atau sekresi saliva. Sebaliknya
gangguan pada sistem syaraf juga dapat mengakibatkan naiknya sekresi saliva.
Contohnya adalah penyakit Parkinson.

4) Faktor lokal seperti kebiasaan buruk


Bernafas melalui mulut biasanya disertai pembesaran dan peradangan gingiva terutama
daerah anterior, biasanya akibat maloklusi, hambatan pada nasal, deviasi septum nasi
atau pembesaran kelenjar adenoid. Kebiasan buruk penderita yang lain adalah merokok,
baik dengan menggunakan pipa, tembakau ataupun cerutu, karena biasanya nikotin
merangsang sekresi saliva, kandungan nikotin yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
terhambatnya sekresi saliva. Pola makan diet tinggi protein mempunyai efek diuretik
sehingga juga dapat menimbulkan xerostomia.

5) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital murni pada kelenjar saliva sangat jarang terjadi. Aplasia ataupun
malformasi kelenjar liur dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Kelainan kongenital ini
sering disertai dengan kelainan kongenital lain, seperti sumbing palatum atau
mandibulofacial dysostosis.

6) Defisiensi nutrisi dan hormonal


Defisiensi nutrisi, seperti anemia pernisiosa, anemia defisiensi zat besi, defisiensi vitamin
A dan B dapat menyebabkan xerostomia.2 Defisiensi hormonal, seperti menopause dapat
menyebabkan timbulnya xerostomia akibat defisiensi hormon estrogen. Hal ini dapat
terjadi selama atau sesudah menopause.

7) Penyakit sistemik.
Demam, diare yang lama atau pengeluaran urine yang melampaui batas, misalnya
pada penderita diabetes atau penyakit lain yang dapat menyebabkan dehidrasi dapat
juga menyebabkan xerostomia. Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang
diikuti oleh terjadinya keseimbangan air yang negatif, dapat menyebabkan turunnya
sekresi saliva, sehingga kebutuhan pambasahan mulut meningkat.
Kesehatan umum yang menurun pada penderita-penderita lanjut usia dapat
menyebabkan berkurangnya sekresi saliva yang mengakibatkan meningkatnya risiko
terhadap radang mulut. Juga pada gangguan pada pengaturan elektrolit, seperti pada
penderita penyakit ginjal yang melakukan hemodialisis, dapat mengalami rasa tidak enak
karena kekeringan di mulut yang terus-menerus.
Gangguan emosional, seperti stres, putus asa dan rasa takut, dapat menyebabkan
menurunnya sekresi saliva. Ini terbukti antara lain pada waktu ujian lisan, waktu

16 | P a g e
berpidato. Banyak penyakit sistemik lain seperti Sjogren’s syndrome, diabetes mellitus,
diabetes insipidus, sarcoidosis, infeksi HIV, graft-versus-host disease, psychogenic
disorders juga dapat mengakibatkan xerostomia.
Sarkoidosis dan amiloidosis adalah penyakit inflamasi kronis lainnya yang
menyebabkan xerostomia. Dalam sarkoidosis, noncaseating granuloma epiteloid dalam
kelenjar ludah mengakibatkan aliran saliva berkurang. Dalam amiloidosis, deposito
amiloid dalam kelenjar ludah menyebabkan xerostomia.
Penyakit kelenjar ludah juga dapat terjadi pada beberapa individu yang terinfeksi
HIV, terutama pada anak-anak. Penyakit ini menyebabkan pembesaran kelenjar parotid,
kadang-kadang, kelenjar submandibula, sehingga xerostomia. Infiltrasi limfosit-T
terutama terdiri dari sel CD8+, berbeda jika dibandingkan dengan SS di mana sel CD4+
mendominasi.
Penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan xerostomia termasuk rheumatoid
arthritis, lupus eritematosus sistemik, skleroderma, diabetes mellitus, hipertensi, cystic
fibrosis, transplantasi sumsum tulang, gangguan endokrin, kekurangan gizi, nefritis,
disfungsi tiroid dan penyakit saraf seperti Bell palsy dan cerebral palsy. Kondisi
Hyposecretory, seperti PBC, gastritis atrofi dan insufisiensi pankreas, juga menyebabkan
xerostomia.

17 | P a g e
Patogenesis xerostomia yang diinduksi obat-obatan:
Sekresi saliva terjadi di bawah kontrol saraf parasimpatis dan simpatis. Saraf parasimpatis
menyebabkan sekresi saliva cair, glandula parotis mengeluarkan saliva yang encer.
Rangsangan saraf simpatis menyebabkan vasokontriksi dan sekresi saliva sedikit pada bahan
organik dari kelenjar submandibula. Produksi relatif glandula submandibula adalah 70%,
dan glandula sublingualis 30%. Produksi atau sekresi setiap jenis kelenjar saliva terhadap
volume cairan sangat bergantung pada sifat rangsangan. Perasaan mulut kering terjadi bila
kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama-sama dengan penguapan air kurang dari
0,06 ml/ menit (3ml/ jam), akan timbul keluhan mulut kering. Bila produksi saliva berkurang
dari 20 ml/ hari dan berlangsung pada waktu yang lama, maka keadaan ini disebut
xerostomia. Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam
komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan
lancar, sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada penderita mulut kering.
Xerostomia sangat sering disebabkan oleh obat-obatan, lebih dari 600 obat yang umum
digunakan yang dapat menyebabkan gangguan pada mulut atau berkurangnya fungsi
kelenjar saliva. Mekanisme xerostomia yang disebabkan obat-obatan meningkatkan pH
optimal menjadi 7,4. Obat antihipertensi metildopa dan hydrochlorothiazide termasuk obat-
obatan yang menyebabkan xerostomia.
Obat-obatan dapat mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem
syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses seluler yang
diperlukan untuk salivasi. Obat-obatan tersebut juga dapat secara tidak langsung
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.
Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan dapat menyebabkan xerostomia
dengan mengganggu transmisi sinyal pada daerah pertemuan parasimpatik
neuro efektor (parasympathetic neuro effector junctions), menganggu aksi pada
daerah pertemuan adrenergic neuro-efektor (adrenergic neuro effector
junctions), atau menyebabkan depresi koneksi dari sistem saraf otonom. Pada
dosis terapi obat tidak merusak anatomi kelenjar ludah, oleh karena itu kelainan ini bersifat
reversibel jika penggunaan obat dihentikan.

Hubungan Antihipertensi terhadap Xerostomia


Obat - obatan antihipertensi memiliki efek samping sistemik maupun rongga mulut yang
salah satunya adalah xerostomia
Penelitian Nederfors (1994) tentang hubungan β- adenoreseptor terhadap sekresi
saliva menunjukkan adanya pengurangan laju aliran saliva akibat penggunaan obat. Hal ini

18 | P a g e
terjadi akibat perubahan pada sel asini dimana sekresi kalsium mengubah
konsentrasi kelenjar saliva menjadi lebih tinggi dan adanya perubahan osmotik
yang mengakibatkan penurunan laju alir saliva.
Penelitian Nederfors (1995) tentang hubungan Kaptopril terhadap sekresi saliva
menunjukkan bahwa adanya peningkatan laju aliran saliva baik yang distimulasi maupun
tidak. Pada penelitian ini ditemukan kontroversi bahwa yang terjadi adalah sebaliknya
peningkatan dari laju alir saliva. Penyebabnya adalah dari segi farmakodinamik seperti
sistem renin-angiotensin yang berperan penting dalam regulasi hemostasis kardiovaskuler.
Angiotensin II mengakibatkan vasokontriksi arteri dan menstimulasi pembentukan
aldosteron. Sedangkan mekanisme primer dari kaptopril adalah menghambat angiotensin
converting enzyme yang dan terjadi kaskade sistem renin-angiotensin-aldosteron. Akibat
berkurangnya konsentrasi aldosteron, ACE inhibitor menstimulasi natriursis. Hal ini juga
yang menjelaskan mengapa ACE inhibitor yang menyebabkan penurunan tekanan darah,
dimana peningkatan sedikit tekanan darah juga menyebabkan peningkatan laju
aliran darah ke kelenjar saliva.
Penelitian Nederfors (1996) tentang hubungan metoprolol terhadap sekresi saliva
ditemukan adanya penurunan laju alir saliva yang signifikan. Hal ini dijelaskan dari
mekanisme efek Metoprolol yang pada awalnya mengurangi curah jantung dan
massa ventrikel kiri, tanpa peningkatan yang besar dari resistensi perifer total. Kemudian
resistensi perifer total berkurang yang mengakibatkan peningkatan curah jantung,
penurunan dari resistensi perifer total dijelaskan sebagai perubahan struktural
dari resistensi arteri. Jadi, penurunan tekanan darah yang terjadi dengan
mengonsumsi obat ini diperkirakan akibat pengurangan aktivitas saraf simpatis
pada resistensi arteri. Hal ini menunjukkan perubahan yang serupa pada saraf simpatis
yang terjadi di dalam kelenjar saliva.

4. Menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat terkait kasus.


Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis xerostomia, yaitu:
 Pemeriksaan jumlah sekresi saliva
Pemeriksaan jumlah sekresi saliva atau sialometri dapat dilakukan dengan menampung
saliva selama 3-5 menit dengan bantuan perangkat penampung saliva. Laju aliran saliva
normal yang tidak distimulasi dari kelenjar parotis adalah sekitar 0,4-1,5 ml/ menit. Laju

19 | P a g e
aliran saliva normal yang tidak distimulasi ‘keadaan istirahat’ seluruh saliva 0,3-0,5 ml/
menit dan yang distimulasi adalah 1-2 ml/ menit. Jika laju aliran saliva kurang dari 0,1ml/
menit maka keadaan ini dikatakan sebagai xerostomia, meskipun aliran berkurang
mungkin tidak selalu dikaitkan dengan keluhan kekeringan pada mulut.
 Biopsi
Biopsi terhadap kelenjar saliva biasanya dilakukan untuk mambantu diagnosa xerostomia
akibat Sjorgren’s syndrome Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>50
limfosit pada 4x4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat
dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).
 Radiologi:
Rontgen dua dimensi merupakan modalitas terpilih untuk melihat keadaan kelenjar ludah
karena mudah, cepat, biaya terjangkau dan hasilnya dapat diandalkan. Rontgen
dua dimensi yang biasa digunakan adalah foto panoramic, PA foto dan oklusal foto.
Foto rontgen dapat memperlihatkan kalsifikasi dari sialolit dan kemungkinan keterlibatan
struktur tulang di sekitarnya.

Obstruksi kelenjar ludah dan inflamasi pada kelenjar ludah merupakan penyakit yang
paling umum terjadi. Karena jaringan lunak dan kelenjar ludah tidak tampak pada
rontgen foto maka sialografi merupakan modalitas tepilih untuk kondisi ini. Sialografi
dilakukan dengan memasukkan bahan kontras ke kelenjar ludah. Setelah bahan kontras
menyebar ke saluran kelenjar ludah dilakukan pemotretan rontgen. Saluran kelenjar
ludah yang tersumbat akan tampak sebagai gambaran radiopak yang terputus.

Bila pasien alergi terhadap bahan kontras iodine yang digunakan pada sialografi maka
USG dan MRI merupakan modalitas terpilih untuk pemeriksaan kelenjar ludah. CBCT
(cone beam computed tomography) atau CT konvensionel merupakan modalitas
pilihan lain yang dapat diandalkan untuk pemeriksaan ini.

1) RADIOGRAFI KONVENSIONAL

Teknikradiograf intraoral dan ekstraoral dapat digunakan, tergantung dari gejala klinis
dan riwayat penyakit pasien. Gambaran rontgen potensial untuk mengidentifikasi
berbagai keadaan patologi disekitar area kelenjar ludah, terutama yang berhubungan
dengan kemungkinan adanya sialolit (batu pada kelenjar ludah). Sialolit dapat terbentuk
secara multipel pada lokasi yang berbeda. Pilihan radiograf intraoral untuk melihat
keadaan ini adalah oklusal foto, dan radiograf ekstraoral terpilih adalah panoramik
dan posteroanterior foto. Tetapi teknik ini dibatasi oleh fakta bahwa 20% sialolit pada
kelenjar ludah submandibular dan 40% sialolit pada kelenjar ludah parotis tidak
terkalsifikasi sempurna sehingga terlihat radiolusen dan tidak tampak pada rontgen foto.

20 | P a g e
Gambar 5. Foto oklusal mandibular memperlihatkan gambaran radiopak dari sialolit
pada duktus Wharton.

a. b.

Gambar 6. Potongan dari panoramic foto a. Sialolit pada kelenjar ludah parotis
superimpose dengan leher kondilus. b. Submandibular sialolit terletak dekat sudut
mandibular dan di atas tulang hyoid terlihat sebagai gambaran radiopak berbentuk
lingkaran.

2) USG (Ultra Sonografi)

Merupakan modalitas imejing dengan menggunakan getaran suara berfrekwensi tinggi.


Biasa digunakan untuk melihat kelainan yang mengenai jaringan lunak. Karena tidak
menggunakan sinar pengion, maka USG aman digunakan untuk semua pasien.
Keuntungan dari modalitas ini adalah biaya yang murah, tetapi diperlukan keterampilan
khusus dari operator untuk menggunakan alat USG dan menginterpretasikan hasil. USG
tepat untuk digunakan pada kasus lesi kistik dan untuk mengidentifikasi lesi autoimun
tingkat lanjut.

Gambar 7.Gambaran USG kelenjar submandibular. Margin kelenjar ditandai dengan


panah hitam. Tampak gambaran kalkulus pada hilum duktus utama (panah putih).

3) SIALOGRAFI

Sialografi adalah teknik radiograf dengan menggunakan bahan kontras yang disuntikkan
ke dalam duktus kelenjar ludah sebelum dilakukan imejing dengan radiograf

21 | P a g e
konvensional, CBCT atau medical CT. Sialograf merupakan imejing paling detail untuk
melihat keadaan seluruh duktus kelenjar ludah.

a. b.
Gambar 8. Gambaran sialografi a. Proyeksi lateral dari kelenjar parotis normal b. Proyeksi
lateral dari kelenjar submandibular normal memperlihatkan opaksifikasi dari seluruh
kelenjar ludah.

Gambar 9. Gambaran sialograf dari kelenjar parotis kiri memperlihatkan bagian radiopak
yang terputus dari kelenjar ludah karena tidak terisi bahan kontras yang disebabkan oleh
adanya batu dalam kelenjar ludah

4) CBCT atau Konvensional CT


CBCT merupakanmodalitas imejing tiga dimensi yang khusus digunakan untuk bidang
kedokteran gigi. Mesin CBCT memiliki radiasi yang lebih kecil dan biaya pemeriksaan
yang lebih murah dibandingkan konvensional CT sehingga merupakan modalitas imejing
terpilih untuk mendeteksi adanya sialolit bila batu yang terbentuk cukup terkalsifikasi
segingga tampak radiopak pada gambaran CBCT.

22 | P a g e
Gambar 10. Tampilan axial CBCT memperlihatkan gambaran radiopak dengan batas
tegas pada bagian anterior duktus Wharton menunjukkan adanya batu kelenjar ludah.

5) MRI
Magnetic Resonance Image (MRI) merupakan modalitas imejing dengan
menggunakan resonansi magnetik untuk melihat kondisi jaringan lunak disekeliling
kelenjar ludah. MRI dapat membedakan pembengkakan yang terjadi,baik itu berasal dari
intrinsik atau ekstrinsik kelenjar ludah. MRI terbukti sangat baik dalam memberikan
resolusi kontras pada kelenjar ludah dan aman karena tidak menggunakan sinar pengion.
Kerugian dari MRI adalah biaya pemeriksaan yang mahal serta tidak dapat memberikan
informasi mengenai fungsi kelenjar ludah.

a. b.
Gambar 11. Gambaran MRI a. Kelenjar parotis normal dilihat dari axial b. MRI dari axial
memperlihatkan gambaran massa dengan batas tegas dan jelas pada kelenjar ludah
parotis kanan.

5. Merencanakan talaksana kasus sesuai dengan konsep patofisiologi penyakit


serta kompetensi dokter gigi umum.
 Kekeringan mulut akibat efek samping obat-obatan dapat hilang beberapa bulan setelah
obat-obatan tersebut dihentikan dan apabila obat tersebut digunakan jangka panjang
maka kekeringan mulut dapat bersifat irreversible.
 Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif yang
berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral
(Guggenheimer, 2003).
 Terapi rehidrasi, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory,
pharmacotherapeutic), saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi
yang dapat direkomendasikan (Navazesh, 2003).
 Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva buatan,
beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang
juga dapat memicu sekresi saliva.
 Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu
obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien
mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini. (efek samping ?)
 Jika penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik, dapat
disarankan memnggunakan terapi alternatif seperti akupuntur (Guggenheimer, 2003).
 Perawatan karies servikal gigi dengan penambalan.

6. Epidemiologi
Xerostomia adalah gejala yang sangat umum terjadi. Xerostomia lebih sering pada
wanita dibandingkan pria. Xerostomia terutama sering pada orang tua. Diperkirakan
prevalensi xerostomia sekitar 20% pada populasi umum, dengan peningkatan prevalensi

23 | P a g e
pada wanita (sampai 30%) dan orang tua (hingga 50%). Pada populasi usia lanjut,
xerostomia telah dilaporkan terjadi pada 17-39% dari orang yang berusia 65 tahun atau
lebih.

7. Mengaplikasikan konsep bioetika humaniora dan profesionalisme pada kasus


 Beneficence: dokter gigi mampu menegakan diagnosis xerostomia melalui anamnesis
,tanda dan gejala, pemeriksaan fisik dan penunjang.
 Nonmaleficence: dokter gigi dapat melakukan tatalaksana xerostomia dan mencegah
komplikasi serta dapat merujuk dengan benar.
 Autonomi: dokter gigi mempunyai kewajiban menghargai hak-hak pasien, memberikan
informasi mengenai xerostomia dan tindakan medis yang akan dilakukan, serta meminta
ijin terhadap pasien sebelum melakukan tindakan medis.
 Justice: dokter gigi mampu memberikan edukasi pasien mengenai faktor penyebab
xerostomia.

Komplikasi: Sulit makan dan perubahan rasa kecap.

DAFTAR PUSTAKA
 Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. Burket’s Oral Medicine, Diagnosis and
Treatment. 10th ed. BC Decker Inc. 2003.
 Marx RE, Stern D. Oral and Maxillofacial Pathology. A Rationale for Diagnosis and
Treatment. 1st ed. London: Quitessence Publishing Co,Inc. 2000.
 Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology, Clinical-Pathologic Correlations. 4 th ed.
WB Saunders Company. St Louis. 2003.
 Scully C. Oral Disease, Diagnosis and Management. Edisi revisi. London: Martin Dunitz
Ltd. 2001.
 Silverman S, et all. Essentials of Oral Medicine. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2001.
 Tyldesley WR, Longman L, Field A. Tyldesley’s Oral Medicine. 5 th ed. New York: Oxford
University Press. 2003.
 Nanci Antonio. Ten Cate’s Oral Histology. Development, structure, and function. Mosby
Inc. USA.2013.p 278-310.
 Guggenheimer, J; Moore, P; Xerostomia Etiology, recognition and treatment; JADA, Vol.
134, 2003; 61-69.
 Nonzee V, Manopatanakul S, Khovidhunkit SO. Xerostomia, hyposalivation and oral
microbiota in patients using antihypertensive medications. J Med Assoc Thai. 2012
Jan;95(1):96-104.
 Furness, S; Worthington, HV; Bryan, G; Birchenough, S; McMillan, R (Dec 7, 2011).
Furness, Susan, ed. "Interventions for the management of dry mouth: topical
therapies". Cochrane database of systematic reviews (Online) (12): CD008934.
 Visvanathan, V; Nix, P (February 2010). "Managing the patient presenting with
xerostomia: a review". International journal of clinical practice 64 (3): 404–7.
 Nishat Sultana, M. Ehtaih Sham. Xerostomia: An overview. International journalof dental
clinics 2011:3(2):58-61.

24 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai