BLOK 15
KELAINAN MUKOSA MULUT
1|Page
PETUNJUK UNTUK MAHASISWA
TUTORIAL 4 BLOK 15
Hari/tanggal : Selasa, 2 januari 2018
SKENARIO:
Seorang pasien wanita berusia 60 tahun dirujuk ke Klinik Oral Medicne dengan
keluhan utama mulut kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, makan dan
menelan, dan perubahan rasa kecap. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan sedang
dalam pengobatan dengan beberapa obat antihipertensi (metildopa 50 mg dan
hydrochlorothiazide 25 mg dua kali sehari) selama beberapa tahun terakhir.
Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Wajah pasien tampak pucat.
Pemeriksaan intraoral:
Permukaan mukosa bukal, gingiva, dan dorsum lidah tampak kering, merah, dan
halus. Saliva tampak kental, lengket, dan mengganggu pasien. Karies gigi pada
serviks atau leher gigi ditemukan di hampir semua gigi.
Sasaran belajar
Setelah mengikuti diskusi kelompok ini mahasiswa mampu:
1. Merumuskan diagnosis kasus berdasarkan anamnesis, tanda-gejala klinis dan
pemeriksaan lab, faktor etiologi/predisposisi penyakit, dan diagnosis banding
dengan menyusun resume kasus (overview case) dan menjelaskan ilmu kedokteran
dasar terkait dengan kasus (Oral biologi, farmakologi)
2. Menjelaskan perbedaan tanda-gejala klinis kasus dengan diagnosis bandingnya
3. Menentukan pemeriksaan penunjang dan rujukan yang tepat terkait kasus
4. Menganalisis etiopatogenenesis kasus
5. Merencanakan talaksana kasus sesuai dengan konsep patofisiologi penyakit serta
kompetensi dokter gigi umum, prognosis dan komplikasi kasus diatas?
6. Menganalisis epidemiologi kasus
7. Mengaplikasikan konsep bioetika humaniora dan profesionalisme pada kasus,
serta komplikasi.
SKENARIO:
Seorang pasien wanita berusia 60 tahun dirujuk ke Klinik Oral Medicine dengan
keluhan utama mulut kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, menelan
makanan, dan perubahan rasa kecap, serta air liur terasa kental. Keluhan ini
dirasakan sudah sejak lama, tetapi semakin terasa sejak tahun lalu. Pasien memiliki
riwayat hipertensi dan sedang dalam pengobatan dengan beberapa obat
antihipertensi diantaranya metildopa 50 mg 1x/hari selama beberapa tahun terakhir.
Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan intraoral:
3|Page
Permukaan mukosa bukal, gingiva, dan dorsum lidah tampak kering kemerahan dan
licin. Saliva tampak kental dan lengket. Karies gigi pada serviks gigi ditemukan di
hampir semua gigi.
PEMBAGIAN WAKTU:
Pertemuan I
1. Pendahuluan 10 menit
2. Melakukan Seven jump step (step 1-5) 120 menit
3. Feedback tutor & penutup 20 menit
Pertemuan II
1. Pendahuluan 10 menit
2. Melakukan diskusi pendahuluan dan presentasi (step 7) 120 menit
3. Feedback tutor & penutup 20 menit
4|Page
Mengapa mulut pasien terasa kering, sangat tidak nyaman ketika berbicara, menelan
makanan, dan perubahan rasa kecap, serta air liur terasa kental.
Mengapa keluhan diderita pasien sudah lama, dan kemudian semakin terasa sejak
tahun lalu?
Bagaimana hubungan gejala klinis pasien dengan kondisi oralnya?
Mengapa mukosa labial, bukal, dan lidah tampak kering kemerahan dan licin?
Mengapa Saliva tampak kental dan lengket?
Mengapa Karies gigi ditemukan pada serviks gigi di hampir semua gigi?
Adakah hubungan antara karies di serviks gigi dengan keluhan utama pasien?
Bagaimana ilmu kedokteran dasar terkait kasus?
Bagaimana etiopatofisologis, prognosis, komplikasi serta penanganan kasus diatas?
Bagaimana epidemiologi kasus?
Bagaimana BHP kasus?
5|Page
8. Jelaskan epidemiologi kasus
9. Bagaimana konsep bioetika humaniora dan profesionalisme pada kasus
6|Page
jaringan. Epitel mukosa mulut bertindak sebagai sawar utama terhadap ancaman tersebut.
Mukosa mulut menunjukkan sejumlah adaptasi epitel dan jaringan pengikat untuk menahan
gangguan yang ada. Fungsi lainnya dari mukosa mulut adalah sebagai organ sensoris, dan
tempat aktifitas dan sekresi kelenjar.
Klasifikasi Mukosa Mulut: Tiga tipe utama mukosa mulut ditemukan di rongga mulut
yaitu mukosa pelapis, mastikasi, dan khusus. Klasifikasi mukosa ini didasarkan pada
penampakan histologis umum jaringan. Mukosa pelapis ( lining) adalah tipe mukosa yang
ditandai oleh tekstur permukaan yang lebih lembut, permukaan yang lembab, dan
kemampuannya untuk meregang dan ditekan, dimana ia bertindak sebagai bantalan untuk
struktur dibawahnya. Mukosa pelapis meliputi mukosa bukal, mukosa labial, mukosa
alveolar, dasar mulut, permukaan ventral lidah, dan palatum lunak. Mukosa mastikasi
ditandai oleh tekstur permukaannya yang kenyal/elastis dan memiliki ketahanan. Mukosa
mastikasi meliputi gingiva cekat, palatum keras, dan permukaan dorsal lidah. Mukosa
khusus juga ditemukan di permukaan dorsal dan lateral lidah dalam bentuk papilla lingual,
yang merupakan struktur khas yang terdiri dari epitel dan lamina propria.
7|Page
Gambar 2. Anatomi lidah
Lidah merupakan kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang ditutup oleh
membran mukosa (selaput lendir). Selaput lendir ini tampak kasar karena adanya tonjolan-
tonjolan yang disebut papila yang merupakan akhiran-akhiran saraf pengecap dan terletak
pada seluruh permukaan lidah. Saraf-saraf pengecap inilah yang dapat membedakan rasa
makanan.
Jenis-jenis papilla
Terdapat empat jenis papilla pada lidah manusia,yaitu:
1) Papila fungiform, terletak di 2/3 anterior lidah dan pada umumnya terdiri dari satu hingga
beberapa taste buds di setiap papila yang diinervasi oleh nervus facial (VII). Papila ini
terlihat seperti bintik-bintik berwarna merah karena kaya akan pembuluh darah. Jumlah
papila fungiform di setiap lidah manusia adalah sekitar 200 papila. Papila ini lebih sensitif
terhadap rasa manis dan asin. Papila di lidah bagian depan memiliki lebih banyak taste
buds dibanding dengan papila di lidah bagian tengah. Diperkirakan ada sekitar 1120
taste buds di papila fungiform pada setiap lidah.
2) Papila circumvalata, terletak pada pangkal dorsum lidah di depan sulcus terminalis
linguae yang tersusun seperti huruf V. Papila ini sensitif terhadap rasa asam dan pahit di
1/3 posterior lidah yang diinervasi oleh nervus glossopharyngeal (IX). Jumlahnya berkisar
3-13 papila di setiap lidah dengan jumlah taste buds 252 di setiap papila sehingga total
2200 taste buds yang terdapat di papila circumvalata pada setiap lidah. Dalam jumlah
besar taste buds ini terletak mengelilingi papila circumvalata yang membentuk garis
seperti huruf V ke arah posterior lidah.
3) Papila foliate, terletak pada lipatan dan celah bagian lateral lidah. Sensitivitas papila ini
lebih dominan terhadap rasa asam yang diinervasi oleh nervus glossopharyngeal (IX).
Rata-rata terdapat 5-6 papila foliata di setiap sisi lidah yang terdiri dari 117 taste buds
per papila sehingga total terdapat 1280 taste buds di papila foliata pada setiap lidah.
4) Papila filiform, papila terkecil dengan penampang 0,1 - 0,25 mm dan tidak memiliki taste
buds. Papila ini lebih dominan untuk menerima rangsang sentuh.
8|Page
Gambar 3. Gambaran mikroskopis lidah memperlihatkan tiga
jenis papila pada permukaan lidah
Fisiologi: Saliva
Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki konsistensi seperti lendir dan
merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva
dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta sejumlah kelenjar saliva minor yang
tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali pada ginggiva dan palatum.
Fungsi saliva adalah:
Menjaga kelembaban dan membasahi rongga mulut.
Melumasi dan melunakkan makanan sehingga memudahkan proses menelan dan
mengecap rasa makanan.
Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel dan bakteri, sehingga
dapat mengurangi akumulasi plak gigi dan mencegah infeksi.
Menghambat proses dekalsifikasi dengan adanya pengaruh buffer yang dapat
menekan naik turunnya derajat keasaman (pH).
Dalam 24 jam, kelenjar-kelenjar saliva dapat mensekresi kira-kira 1 sampai 1,5 liter. Saliva
disekresi karena adanya rangsangan, baik secara langsung oleh ujung-ujung saraf yang ada
di mukosa mulut maupun secara tidak langsung oleh rangsangan mekanis, termis, kimiawi,
psikis atau olfaktori. Rangsang mekanik merupakan rangsang utama untuk meningkatkan
9|Page
sekresi saliva. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi, terutama dari
kelas Immunoglobulin A (IgA) yang ditransportasikan ke dalam saliva. Selain antibodi, saliva
juga mengandung beberapa jenis enzim antimikrobial seperti lisozim, laktoferin dan
peroksidase serta beberapa komponen seperti growth factor, yang berguna untuk menjaga
kesehatan dari jaringan luka mulut dan dapat membantu proses pencernaan, khususnya
karbohidrat.
10 | P a g e
Gambar 4. Anatomi kelenjar saliva
Farmakologi: Antihipertensi
Antihipertensi adalah obat–obatan yang digunakan untuk mengobati hipertensi.
Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
11 | P a g e
penyakit kardiovaskular dan mereka yang beresiko terkena stroke maupun miokard infark.
Pemberian obat perlu dilakukan segera pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140/90
mmHg.
Obat-obat hipertensi dapat dibagi menjadi 7, yaitu antara lain.
1) Diuretik
Mekanisme kerja: menghambat absorbsi garam dan air sehingga volume darah dapat
menurun akibatnya tekanan darah ikut turun.
Diuretik ini dibagi menjadi 3 tebagi menjadi 3 yaitu:
Golongan thiazid yang bekerja pada tubulus distal dengan kerja meningkatkan
ekskresi Na+ dan Cl-. Contoh: HCT dan indapamid
Golongan diuretik kuat yang bekerja di ansa henle bagian assendens dengan kerja
menghambat kotranspor Na+, K+, Cl-, dan menghambat resorpsi air dan elektrolit.
Contoh: furosemid, torasemid, asam etakrinat dan bumetamid.
Golongan diuretik hemat kalium, contohnya : triamteren, amilorid, dan spironolakton.
2) Alfa blockers
Mekanisme kerja: memblok reseptor alfa adrenergik yang ada pada oto polos
pembuluh. Dibedakan menjadi
a. Alfa blockers nonselektif, contoh : fentolamin
b. Alfa 1 blockers selektif, contoh : prazosin, terazosin. Doksazosin dll.
3) Beta blockers
Mekanisme kerja: menempati reseptor beta adrenergik. Blokade reseptor ini
menyebabkan penurunan aktifitas adrenalin dan noradrenalin. Contoh: atenolol,
metoprolol, labetolol dll.
4) Agonis alfa 2
Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor alfa 2 yang berdaya vasodilatasi. Contoh:
klonidin
5) Antagonis kalsium
Mekanisme kerja : menghambat pemasukan ion Ca ke dalam sel sehingga penyaluran
impuls dan kontraksi dinding pembuluh. Contoh : nifedipin, nikardipin, verapamil, dll.
6) Panghambat RAS (Renin Angiotensin Sysem)
Mekanisme kerja : mencegah pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang
berdaya vasokonstriksi kuat. Selain itu menghambat pembentukan aldosteron yang
bersifat retensi garam dan air. Contoh : kaptopril, losartan, benazepril, dll.
7) Vasodilator
Mekanisme kerja : berkhasiat vasodilatasi langsung terhadap pembuluh darah sehingga
tekanan darah turun. Contoh : hidralazin dan monoksidil.
Lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk pengobatan awal
hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat
angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
(Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.
12 | P a g e
2. Menjelaskan perbedaan tanda-gejala klinis kasus serta diagnosis bandingnya
Xerostomia adalah keluhan subyektif pada pasien berupa adanya rasa kering
dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi daliva (hiposalivasi) dan atau
perubahan komposisi saliva (Guggenheimer 2003; Scully, 2005).
Xerostomia merupakan istilah konvensional yang digunakan untuk keluhan subyektif pasien
terhadap mulut kering, tetapi hiposalivasi merupakan kondisi obyektif tentang
penurunan sekresi saliva. Walaupun sebagian besar pasien xerostomia mengalami
13 | P a g e
hiposalivasi tetapi sebagian tidak demikian. Di lain sisi pasien yang dalam pengukuran
mengalami hiposalivasi tetapi tidak mengeluhkan adanya xerostomia (Khovidhunkit, 2009).
Gejala klinis xerostomia meliputi saliva yang berbusa, kental atau bertalian,
bibir kering dan pecah, rasa terbakar, lidah berfisur dan bernodul, pipi yang
kering dan pucat, kelenjar saliva bengkak dan sakit, rasa haus yang meningkat,
sulit mengunyah, sulit menelan (disfagia), sulit berbicara (disfoni) dan gangguan
pengecapan. Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk memakan makanan
kering seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah pada retensi
gigi palsu, luka akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum, rasa terbakar
kronis, halitosis dan tidak tahan makan makanan pedas.
Keluhan xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari karena produksi saliva
berada pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga disebabkan karena
bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat mengganggu interaksi sosial
dan menyebabkan menghindari pertemuan social.
Xerostomia dapat meningkatkan infeksi oral seperti kandidiasis oral dan infeksi
oropharing, meningkatkan penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan insiden
karies, terjadi perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut.
14 | P a g e
Etiologi Xerostomia
Xerostomia pada kasus ini diduga terjadi akibat efek farmakologis atau efek samping obat
antihipertensi metildopa dan hydrochlorothiazide.
Banyak sekali obat yang mempengaruhi sekresi saliva. Lebih dari 600 obat dilaporkan dapat
menyebabkan xerostomia sebagai efek samping. Banyak antihipertensi seperti ACEI, diuretik
thiazide, diuretik loop, dan clonidine berhubungan dengan xerostomia.
15 | P a g e
Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan
menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih sering mempengaruhi
kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini
dan penyumbatan duktus.
Kista-kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan
penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian
mempengaruhi sekresi saliva.
Sindroma Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi
kelenjar airmata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi
limfosit sehingga sekresinya berkurang.
5) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital murni pada kelenjar saliva sangat jarang terjadi. Aplasia ataupun
malformasi kelenjar liur dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Kelainan kongenital ini
sering disertai dengan kelainan kongenital lain, seperti sumbing palatum atau
mandibulofacial dysostosis.
7) Penyakit sistemik.
Demam, diare yang lama atau pengeluaran urine yang melampaui batas, misalnya
pada penderita diabetes atau penyakit lain yang dapat menyebabkan dehidrasi dapat
juga menyebabkan xerostomia. Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang
diikuti oleh terjadinya keseimbangan air yang negatif, dapat menyebabkan turunnya
sekresi saliva, sehingga kebutuhan pambasahan mulut meningkat.
Kesehatan umum yang menurun pada penderita-penderita lanjut usia dapat
menyebabkan berkurangnya sekresi saliva yang mengakibatkan meningkatnya risiko
terhadap radang mulut. Juga pada gangguan pada pengaturan elektrolit, seperti pada
penderita penyakit ginjal yang melakukan hemodialisis, dapat mengalami rasa tidak enak
karena kekeringan di mulut yang terus-menerus.
Gangguan emosional, seperti stres, putus asa dan rasa takut, dapat menyebabkan
menurunnya sekresi saliva. Ini terbukti antara lain pada waktu ujian lisan, waktu
16 | P a g e
berpidato. Banyak penyakit sistemik lain seperti Sjogren’s syndrome, diabetes mellitus,
diabetes insipidus, sarcoidosis, infeksi HIV, graft-versus-host disease, psychogenic
disorders juga dapat mengakibatkan xerostomia.
Sarkoidosis dan amiloidosis adalah penyakit inflamasi kronis lainnya yang
menyebabkan xerostomia. Dalam sarkoidosis, noncaseating granuloma epiteloid dalam
kelenjar ludah mengakibatkan aliran saliva berkurang. Dalam amiloidosis, deposito
amiloid dalam kelenjar ludah menyebabkan xerostomia.
Penyakit kelenjar ludah juga dapat terjadi pada beberapa individu yang terinfeksi
HIV, terutama pada anak-anak. Penyakit ini menyebabkan pembesaran kelenjar parotid,
kadang-kadang, kelenjar submandibula, sehingga xerostomia. Infiltrasi limfosit-T
terutama terdiri dari sel CD8+, berbeda jika dibandingkan dengan SS di mana sel CD4+
mendominasi.
Penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan xerostomia termasuk rheumatoid
arthritis, lupus eritematosus sistemik, skleroderma, diabetes mellitus, hipertensi, cystic
fibrosis, transplantasi sumsum tulang, gangguan endokrin, kekurangan gizi, nefritis,
disfungsi tiroid dan penyakit saraf seperti Bell palsy dan cerebral palsy. Kondisi
Hyposecretory, seperti PBC, gastritis atrofi dan insufisiensi pankreas, juga menyebabkan
xerostomia.
17 | P a g e
Patogenesis xerostomia yang diinduksi obat-obatan:
Sekresi saliva terjadi di bawah kontrol saraf parasimpatis dan simpatis. Saraf parasimpatis
menyebabkan sekresi saliva cair, glandula parotis mengeluarkan saliva yang encer.
Rangsangan saraf simpatis menyebabkan vasokontriksi dan sekresi saliva sedikit pada bahan
organik dari kelenjar submandibula. Produksi relatif glandula submandibula adalah 70%,
dan glandula sublingualis 30%. Produksi atau sekresi setiap jenis kelenjar saliva terhadap
volume cairan sangat bergantung pada sifat rangsangan. Perasaan mulut kering terjadi bila
kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama-sama dengan penguapan air kurang dari
0,06 ml/ menit (3ml/ jam), akan timbul keluhan mulut kering. Bila produksi saliva berkurang
dari 20 ml/ hari dan berlangsung pada waktu yang lama, maka keadaan ini disebut
xerostomia. Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam
komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan
lancar, sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada penderita mulut kering.
Xerostomia sangat sering disebabkan oleh obat-obatan, lebih dari 600 obat yang umum
digunakan yang dapat menyebabkan gangguan pada mulut atau berkurangnya fungsi
kelenjar saliva. Mekanisme xerostomia yang disebabkan obat-obatan meningkatkan pH
optimal menjadi 7,4. Obat antihipertensi metildopa dan hydrochlorothiazide termasuk obat-
obatan yang menyebabkan xerostomia.
Obat-obatan dapat mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem
syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses seluler yang
diperlukan untuk salivasi. Obat-obatan tersebut juga dapat secara tidak langsung
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.
Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan dapat menyebabkan xerostomia
dengan mengganggu transmisi sinyal pada daerah pertemuan parasimpatik
neuro efektor (parasympathetic neuro effector junctions), menganggu aksi pada
daerah pertemuan adrenergic neuro-efektor (adrenergic neuro effector
junctions), atau menyebabkan depresi koneksi dari sistem saraf otonom. Pada
dosis terapi obat tidak merusak anatomi kelenjar ludah, oleh karena itu kelainan ini bersifat
reversibel jika penggunaan obat dihentikan.
18 | P a g e
terjadi akibat perubahan pada sel asini dimana sekresi kalsium mengubah
konsentrasi kelenjar saliva menjadi lebih tinggi dan adanya perubahan osmotik
yang mengakibatkan penurunan laju alir saliva.
Penelitian Nederfors (1995) tentang hubungan Kaptopril terhadap sekresi saliva
menunjukkan bahwa adanya peningkatan laju aliran saliva baik yang distimulasi maupun
tidak. Pada penelitian ini ditemukan kontroversi bahwa yang terjadi adalah sebaliknya
peningkatan dari laju alir saliva. Penyebabnya adalah dari segi farmakodinamik seperti
sistem renin-angiotensin yang berperan penting dalam regulasi hemostasis kardiovaskuler.
Angiotensin II mengakibatkan vasokontriksi arteri dan menstimulasi pembentukan
aldosteron. Sedangkan mekanisme primer dari kaptopril adalah menghambat angiotensin
converting enzyme yang dan terjadi kaskade sistem renin-angiotensin-aldosteron. Akibat
berkurangnya konsentrasi aldosteron, ACE inhibitor menstimulasi natriursis. Hal ini juga
yang menjelaskan mengapa ACE inhibitor yang menyebabkan penurunan tekanan darah,
dimana peningkatan sedikit tekanan darah juga menyebabkan peningkatan laju
aliran darah ke kelenjar saliva.
Penelitian Nederfors (1996) tentang hubungan metoprolol terhadap sekresi saliva
ditemukan adanya penurunan laju alir saliva yang signifikan. Hal ini dijelaskan dari
mekanisme efek Metoprolol yang pada awalnya mengurangi curah jantung dan
massa ventrikel kiri, tanpa peningkatan yang besar dari resistensi perifer total. Kemudian
resistensi perifer total berkurang yang mengakibatkan peningkatan curah jantung,
penurunan dari resistensi perifer total dijelaskan sebagai perubahan struktural
dari resistensi arteri. Jadi, penurunan tekanan darah yang terjadi dengan
mengonsumsi obat ini diperkirakan akibat pengurangan aktivitas saraf simpatis
pada resistensi arteri. Hal ini menunjukkan perubahan yang serupa pada saraf simpatis
yang terjadi di dalam kelenjar saliva.
19 | P a g e
aliran saliva normal yang tidak distimulasi ‘keadaan istirahat’ seluruh saliva 0,3-0,5 ml/
menit dan yang distimulasi adalah 1-2 ml/ menit. Jika laju aliran saliva kurang dari 0,1ml/
menit maka keadaan ini dikatakan sebagai xerostomia, meskipun aliran berkurang
mungkin tidak selalu dikaitkan dengan keluhan kekeringan pada mulut.
Biopsi
Biopsi terhadap kelenjar saliva biasanya dilakukan untuk mambantu diagnosa xerostomia
akibat Sjorgren’s syndrome Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>50
limfosit pada 4x4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat
dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).
Radiologi:
Rontgen dua dimensi merupakan modalitas terpilih untuk melihat keadaan kelenjar ludah
karena mudah, cepat, biaya terjangkau dan hasilnya dapat diandalkan. Rontgen
dua dimensi yang biasa digunakan adalah foto panoramic, PA foto dan oklusal foto.
Foto rontgen dapat memperlihatkan kalsifikasi dari sialolit dan kemungkinan keterlibatan
struktur tulang di sekitarnya.
Obstruksi kelenjar ludah dan inflamasi pada kelenjar ludah merupakan penyakit yang
paling umum terjadi. Karena jaringan lunak dan kelenjar ludah tidak tampak pada
rontgen foto maka sialografi merupakan modalitas tepilih untuk kondisi ini. Sialografi
dilakukan dengan memasukkan bahan kontras ke kelenjar ludah. Setelah bahan kontras
menyebar ke saluran kelenjar ludah dilakukan pemotretan rontgen. Saluran kelenjar
ludah yang tersumbat akan tampak sebagai gambaran radiopak yang terputus.
Bila pasien alergi terhadap bahan kontras iodine yang digunakan pada sialografi maka
USG dan MRI merupakan modalitas terpilih untuk pemeriksaan kelenjar ludah. CBCT
(cone beam computed tomography) atau CT konvensionel merupakan modalitas
pilihan lain yang dapat diandalkan untuk pemeriksaan ini.
1) RADIOGRAFI KONVENSIONAL
Teknikradiograf intraoral dan ekstraoral dapat digunakan, tergantung dari gejala klinis
dan riwayat penyakit pasien. Gambaran rontgen potensial untuk mengidentifikasi
berbagai keadaan patologi disekitar area kelenjar ludah, terutama yang berhubungan
dengan kemungkinan adanya sialolit (batu pada kelenjar ludah). Sialolit dapat terbentuk
secara multipel pada lokasi yang berbeda. Pilihan radiograf intraoral untuk melihat
keadaan ini adalah oklusal foto, dan radiograf ekstraoral terpilih adalah panoramik
dan posteroanterior foto. Tetapi teknik ini dibatasi oleh fakta bahwa 20% sialolit pada
kelenjar ludah submandibular dan 40% sialolit pada kelenjar ludah parotis tidak
terkalsifikasi sempurna sehingga terlihat radiolusen dan tidak tampak pada rontgen foto.
20 | P a g e
Gambar 5. Foto oklusal mandibular memperlihatkan gambaran radiopak dari sialolit
pada duktus Wharton.
a. b.
Gambar 6. Potongan dari panoramic foto a. Sialolit pada kelenjar ludah parotis
superimpose dengan leher kondilus. b. Submandibular sialolit terletak dekat sudut
mandibular dan di atas tulang hyoid terlihat sebagai gambaran radiopak berbentuk
lingkaran.
3) SIALOGRAFI
Sialografi adalah teknik radiograf dengan menggunakan bahan kontras yang disuntikkan
ke dalam duktus kelenjar ludah sebelum dilakukan imejing dengan radiograf
21 | P a g e
konvensional, CBCT atau medical CT. Sialograf merupakan imejing paling detail untuk
melihat keadaan seluruh duktus kelenjar ludah.
a. b.
Gambar 8. Gambaran sialografi a. Proyeksi lateral dari kelenjar parotis normal b. Proyeksi
lateral dari kelenjar submandibular normal memperlihatkan opaksifikasi dari seluruh
kelenjar ludah.
Gambar 9. Gambaran sialograf dari kelenjar parotis kiri memperlihatkan bagian radiopak
yang terputus dari kelenjar ludah karena tidak terisi bahan kontras yang disebabkan oleh
adanya batu dalam kelenjar ludah
22 | P a g e
Gambar 10. Tampilan axial CBCT memperlihatkan gambaran radiopak dengan batas
tegas pada bagian anterior duktus Wharton menunjukkan adanya batu kelenjar ludah.
5) MRI
Magnetic Resonance Image (MRI) merupakan modalitas imejing dengan
menggunakan resonansi magnetik untuk melihat kondisi jaringan lunak disekeliling
kelenjar ludah. MRI dapat membedakan pembengkakan yang terjadi,baik itu berasal dari
intrinsik atau ekstrinsik kelenjar ludah. MRI terbukti sangat baik dalam memberikan
resolusi kontras pada kelenjar ludah dan aman karena tidak menggunakan sinar pengion.
Kerugian dari MRI adalah biaya pemeriksaan yang mahal serta tidak dapat memberikan
informasi mengenai fungsi kelenjar ludah.
a. b.
Gambar 11. Gambaran MRI a. Kelenjar parotis normal dilihat dari axial b. MRI dari axial
memperlihatkan gambaran massa dengan batas tegas dan jelas pada kelenjar ludah
parotis kanan.
6. Epidemiologi
Xerostomia adalah gejala yang sangat umum terjadi. Xerostomia lebih sering pada
wanita dibandingkan pria. Xerostomia terutama sering pada orang tua. Diperkirakan
prevalensi xerostomia sekitar 20% pada populasi umum, dengan peningkatan prevalensi
23 | P a g e
pada wanita (sampai 30%) dan orang tua (hingga 50%). Pada populasi usia lanjut,
xerostomia telah dilaporkan terjadi pada 17-39% dari orang yang berusia 65 tahun atau
lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. Burket’s Oral Medicine, Diagnosis and
Treatment. 10th ed. BC Decker Inc. 2003.
Marx RE, Stern D. Oral and Maxillofacial Pathology. A Rationale for Diagnosis and
Treatment. 1st ed. London: Quitessence Publishing Co,Inc. 2000.
Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology, Clinical-Pathologic Correlations. 4 th ed.
WB Saunders Company. St Louis. 2003.
Scully C. Oral Disease, Diagnosis and Management. Edisi revisi. London: Martin Dunitz
Ltd. 2001.
Silverman S, et all. Essentials of Oral Medicine. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2001.
Tyldesley WR, Longman L, Field A. Tyldesley’s Oral Medicine. 5 th ed. New York: Oxford
University Press. 2003.
Nanci Antonio. Ten Cate’s Oral Histology. Development, structure, and function. Mosby
Inc. USA.2013.p 278-310.
Guggenheimer, J; Moore, P; Xerostomia Etiology, recognition and treatment; JADA, Vol.
134, 2003; 61-69.
Nonzee V, Manopatanakul S, Khovidhunkit SO. Xerostomia, hyposalivation and oral
microbiota in patients using antihypertensive medications. J Med Assoc Thai. 2012
Jan;95(1):96-104.
Furness, S; Worthington, HV; Bryan, G; Birchenough, S; McMillan, R (Dec 7, 2011).
Furness, Susan, ed. "Interventions for the management of dry mouth: topical
therapies". Cochrane database of systematic reviews (Online) (12): CD008934.
Visvanathan, V; Nix, P (February 2010). "Managing the patient presenting with
xerostomia: a review". International journal of clinical practice 64 (3): 404–7.
Nishat Sultana, M. Ehtaih Sham. Xerostomia: An overview. International journalof dental
clinics 2011:3(2):58-61.
24 | P a g e