Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai
alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi,
walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini
berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan
sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah
di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung
serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat
proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri
akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan
perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan
diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan tubuh pada
kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai (ekstrem), belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga
menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia
relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi
degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase.
Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau
regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah
eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas beserta contoh kasusnya?
9. Apakah bahan-bahan piranti prostodonsi memiliki potensi mengakibatkan
alergi pada pasien?
10. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas pada pasien
dengan perawatan prostodonsi?

C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan
imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas (alergi), kasus hipersensitifitas
dalam penggunaan perawatan prostodonsia, serta untuk memenuhi tugas mata
kuliah Oral Medicine I

D. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan makalah ini adalah


menambah pemahaman dan wawasan penulisan maupun pembaca tentang reaksi
alergi yang terjadi pada tubuh yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pada bidang
prostodonsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI ALERGI

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen. Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat
yang masuk sebagai zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi
makanan merupakan reaksi sistem kekebalan yang terjadi segera setelah
mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab alergi
dapat memicu tanda dan gejala seperti masalah pencernaan, gatal-gatal atau
bengkak saluran udara. Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan
gejala parah atau bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai
anafilaksis. Kadang, alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih
umum terjadi, yaitu intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan
kondisinya lebih ringan dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan
tubuh.

B. MEKANISME ALERGI

Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau


mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi,
serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan
imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan tubuh,
tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon imun
yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi alergen
dan tahap elisitasi.
1. Tahap Sensitisasi
Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang
spesifik. Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan kontak
pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab alergi).
2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel
mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast
dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan
terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast.
Hal ini menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam
darah. Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi
alergi. Berikut ini adalah skema mekanisme alergi.
C. TANDA DAN GEJALA ALERGI

Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi
yang ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat
lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi
dapat dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada
jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah
yang paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut,
dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan
kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat,
reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.

Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :


1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam
berdarah dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik
disebut nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi alergi yang
sangat berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat berupa shock berupa
tekanan darah secara tiba – tiba dan cepat sehingga membahayakan nyawa si
penderita, kepala pusing dan sang penderita terlihat sangat cemas sehingga perlu
penanganan yang cepat dan harus segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi
anafilaksis paling sering terjadi pada gigitan serangga dan alergi obat tertentu
namun reaksi anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan
mungkin tidak begitu terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit.
Gejala sedang dapat membuat tubuh merasa sakit, seolah-olah mendapat flu
atau bahkan dingin.sedangkan gejala parah dari reaksi alergi akan
menimbulkan rasa yang sangat tidak nyaman, bahkan melumpuhkan.
Kebanyakan gejala reaksi alergi menghilang tak lama setelah berhenti
eksposur. Reaksi alergi yang paling parah disebut anafilaksis. Anafilaksis
dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis segera. Penanganan
cepat sangat penting untuk anafilaksis. Jika tidak ditangani secara cepat,
anafilaksis dapat menyebabkan koma atau kematian Gejala dapat berkembang
pesat. Dalam anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh
yang dapat mencakup:
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka)
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi
kecenderungan untuk menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu. Bila salah
satu orangtua alergi, anak mereka memiliki kesempatan 50% memiliki alergi. risiko
itu melompat hingga 75% jika kedua orang tua memiliki alergi.

D. ETIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu. · Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus) Secara
mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan
enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik
sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat
menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau
kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek
yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak
dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat
menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi
maka resiko pada anak meningkat menjadi 53 – 70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak
keluarga yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat
mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus,
gangguan ini kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis
reaksi alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi
makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-
anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah

E. PATOFISIOLOGI

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam


tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan
yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut.
Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk
yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel
B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan
panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada
saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok.
Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun,
dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

F. KLASIFIKASI ALERGI

1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe
I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-
atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten
untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun,
kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi,
bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi
pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus
adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada
paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam poison ivy, logam berat
epidermidis
, dll.)
Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)
Antigen persisten atau
Makrofag, epithelo senyawa asing dalam
21-28
Granuloma Pengerasan id dan sel raksaksa, tubuh
hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,
etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis


Tipe Mekanisme Imun Gangguan
Prototipe
1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis,
Anafilaksis antibody IgE  pelepasan beberapa bentuk
amino vasoaktif dan asma bronchial
mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel
radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan Anemia hemolitik
terhadap dengan antigen pada autoimun,
antigen permukaan eritroblastosis
jaringan sel fagositosis sel target fetalis, penyakit
tertentu atau lisis sel target oleh Goodpasture,
komplemen atau pemfigus vulgaris
sitotosisitas yang
diperantarai oleh sel yang
bergantung antibody
3 Penyakit Kompleks antigen- Reahsi Arthua,
Kompleks antibodi mengaktifkan  serum sickness,
Imun komplemen menarik lupus eritematosus
perhatian nenutrofil sistemik, bentuk
menjadikan pelepasan tertentu
enzim lisosom, radikal glumerulonefritis
bebas oksigen, akut
dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,
Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,
(Lambat) sitotoksisitas yang penolakan
diperantarai oleh sel T transplant

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik
hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Kejang perut, mual
6. Neuritis optic
7. Glomerulonefritis
8. Sindrom lupus eritematosus sistemik
9. Gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

G. PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya


urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan


3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada
oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup


seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi
makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa
penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi
imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial
dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

I. DIAGNOSTIK

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan
obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna
dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine,
toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri
(Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit
(Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat),
tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi

J. TERAPI

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol
). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat
terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial
akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan
otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini
tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada
asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian
peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer.
Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan
kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E
yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

K. Basis Gigi Tiruan


Basis gigi tiruan telah mengalami perkembangan yaitu dimulai dari kayu,
kulit kerang, tulang paus, gading selanjutnya berkembang dari logam pada tahun
1851 hingga saat ini menggunakan bahan seperti polimer. Perkembangan basis gigi
tiruan diikuti dengan peningkatan dari kualitas serta kuantitas dari bahan basis gigi
tiruan. Basis gigi tiruan merupakan bagian dari gigi tiruan yang berhadapan pada
jaringan lunak rongga mulut, sekaligus sebagai tempat melekatnya anasir gigi
tiruan.
Basis gigi tiruan memiliki tujuan primer yaitu berhubungan dengan sistem
pengunyahan, selain itu juga berfungsi sebagai pendukung anasir gigi
tiruan,menyalurkan gaya-gaya pengunyahan ke struktur pendukung rongga mulut,
menggantikan tulang alveolar yang telah hilang, dan mengembalikan estetis wajah.
Persyaratan yang ideal untuk bahan basis gigi tiruan adalah sebagai berikut:
1. Biokompatibilitas: tidak beracun dan menimbulkan iritan
2. Memiliki penampilan yang sesuai dengan jaringan di sekitarnya
3. 3. Stabilitas dimensi baik
4. Penghantar termal yang baik
5. Radiopak
6. Permukaannya keras, sehingga tidak mudah tergores atau aus serta halus dan
mengkilat
7. Memiliki modulus elastisitas, flexural strength, kekuatan impak, fatique yang
tinggi dan ketahanan terhadap abrasi.
8. Stabilitas warna baik
9. Tidak larut dan menyerap cairan
10. Tidak toksik dan tidak bersifat iritan
11. Mudah dimanipulasi
12. Mudah diperbaiki apabila terjadi fraktur
13. Mudah dibersihkan
14. Bebas dari porositas
15. Harga ekonomis
Namun, sampai saat ini belum ada bahan basis gigi tiruan yang memenuhi
semua persyaratan di atas. Bahan yang digunakan dalam pembuatan basis gigi
tiruan dibagi menjadi dua kelompok yaitu logam dan non logam.
1. Logam
Dalam kedokteran gigi, beberapa bahan logam seperti metal alloy, nickel
cromium, cobalt cromium dan titanium telah banyak digunakan sebagai bahan
basis gigi tiruan. Logam memiliki beberapa keunggulan seperti akurasi yang
baik tanpa terjadi perubahan bentuk dalam rongga mulut, dapat memberikan
stimulasi ke jaringan di bawahnya dan mencegah terjadinya atropi pada tulang
alveolar sehingga dapat mempertahankan kesehatan jaringan yang berkontak
dengan basis gigi tiruan. Logam juga memiliki beberapa kekurangan seperti
pembuatan yang rumit, sulit dimanipulasi, dan tidak dapat digunakan pada
pasien yang alergi terhadap logam. Indikasi dalam penggunaan logam sebagai
bahan basis gigi tiruan:
- Gigitan yang dalam (Deep Bite)
- Pasien alergi terhadap akrilik
- Pasien dengan intermaksila kecil
- Untuk kasus yang tidak mementingkan estetis
2. Non Logam
Berdasarkan reaksi termalnya, basis non logam dibagi menjadi 2, yaitu termoset
dan termoplastik.
a. Termoset
Termoset merupakan bahan yang hanya dapat dibentuk satu kali dengan
adanya pemanasan. Contoh bahan termoset adalah vulkanit. Vulkanit
diperkenalkan oleh Nelson Goodyear. Vulkanit memiliki estetik dan
stabilitas dimensi yang rendah. Pada tahun 1851 PMMA atau resin akrilik
menggantikan vulkanit sebagai bahan basis gigi tiruan yang baru. Resin
akrilik banyak digunakan karena memiliki banyak kelebihan, yaitu mudah
dimanipulasi dan harga relatif murah. Beberapa kekurangan resin akrilik
yaitu dapat menimbulkan reaksi alergi terhadap monomer sisa yang
dihasilkan resin akrilik.
b. Termoplastik
Termoplastik merupakan bahan yang dapat dilunakkan dan dibentuk
berulang kali dengan suhu dan tekanan yang tinggi tanpa terjadi perubahan
kimia. Termoplastik merupakan gigi tiruan dengan cangkolan non metal
(NMCDs). Contoh bahan termoplastik yaitu asetal, polikarbonat, resin
akrilik termoplastik dan nilon. Beberapa keuntungan dari termoplastik
yaitu: sangat stabil, memiliki sifat fatigue yang tinggi, fleksible dan ringan,
memiliki ketahanan yang baik dalam jangka waktu yang lama, alternatif
gigi tiruan bagi pasien yang memiliki sensitivitas terhadap monomer
metilmetakrilat ataupun logam, stabilitas dimensi dan stabilitas warna yang
baik, dapat di lakukan relining.
c. Asetal Termoplastik
Asetal termoplastik pertama kali dikenalkan sebagai resin termoplastik pada
tahun 1971. Asetal termoplastik adalah bahan berbasis apoly-oxy-metilen.
Asetal termoplastik merupakan bahan homo-polimer yang baik digunakan
jangka pendek, tetapi sebagai co-polimer baik digunakan dalam jangka
panjang. Salah satu keuntungan asetal adalah kuat, tahan terhadap fraktur,
fleksibel dan hypoallergenic (bebas dari monomer sisa). Asetal termoplastik
dapat digunakan sebagai bahan gigi tiruan sebagian, jembatan sementara,
splint oklusal dan cocok untuk mempertahankan dimensi vertikal selama
terapi restoratif provisional. Namun, asetal termoplastik tidak dapat
digunakan pada gigi bagian anterior karena memiliki warna yang kurang
translusen
d. Polikarbonat Termoplastik
Polikarbonat termoplastik merupakan rantai polimer yang tersusun bisphenol-
A carbonate. Sama seperti asetal, polikarbonat sangat kuat, resisten terhdap
fraktur dan fleksibel. Polikarbonat termoplastik tidak menggunakan monomer
dan katalis dalam proses pembuatannya. Polikarbonat termoplastik idealnya
digunakan pada mahkota sementara juga jembatan tetapi tidak dapat digunakan
pada GTSL. Polikarbonat termoplastik sangat translusensi dan sangat estetis.
Pasien dengan temporer dan provisional restorasi menggunakan polikarbonat
termoplastik memberikan keunggulan yang baik pada fungsi dan estetis dengan
pemakaian singkat atau jangka menengah. Polikarbonat termoplastik
memperlihatkan penyerapan air yang rendah sehingga tidak mudah menyerap
saliva dan sangat baik untuk digunakan serta tidak mengiritasi membran
mukosa oral. Polikarbonat termoplastik memiliki derajat adhesi dan kohesi
yang baik terhadap membran mukosa. Kekurangan bahan ini pada saat proses
pembuatan dengan temperatur yang tinggi saat moulding terjadi distorsi yang
besar serta kekerasan yang rendah
e. Akrilik Termoplastik
Akrilik termoplastik lebih dikenal dengan nama polimetil metakrilat (PMMA).
Akrilik termoplastik memiliki kekuatan tensil dan fleksural yang tinggi, namun
memilikikekuatan impak yang rendah, porositas yang tinggi, penyerapan air
yang tinggi dan memiliki monomer sisa. Akrilik termoplastik memiliki warna
yang dapat disesuaikan dengan gigi dan jaringan gingiva. Namun, akrilik tidak
sebaik asetal yang dapat digunakan dengan baik pada saat tekanan oklusal oleh
sebab itu tidak dapat mempertahankan vertikal dimensi dengan periode waktu
yang lama. Akrilik termoplastik memiliki kekerasan permukaan 50-65 dan
sangat sering digunakan pada pasien dengan kondisi bruxism.
f. Nilon Termoplastik
Nilon termoplastik merupakan polimer kristalin yang memiliki sifat tidak dapat
larut dalam pelarut, ketahanan panas yang tinggi dan memiliki kekuatan yang
tinggi serta kekuatan tensil yang baik.Pada beberapa dekade belakangan ini,
penggunaan nilon termoplastik semakin meningkat sebagai bahan basis
alternatif untuk menggantikan bahan metal dan resin akrilik. Sebagai bahan
basis gigitiruan, nilon termoplastik memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
1) Semitranslusen dan estetis lebih baik
2) Fleksibel
3) Tidak terdapat monomer sisa yang dapat menyebabkan alergi pada
pemakai gigitiruan karena penggunaan injection moulding.
BAB III
PEMBAHASAN

Laporan Kasus: Toleransi mukosa rongga mulut terhadap kontak alergen


biomaterial prostodonsia

Dua kasus alergi rongga mulut terhadap bahan prostodonsi dilaporkan, yang
menekankan pada dosis alergen dan manifestasi klinis dari alergi kontak bahan-
bahan prostodonsi. Gejala timbul setelah insersi protesa baru dengan bahan yang
sama dengan protesa sebelumnya. Pasien-pasien ini dapat mentoleransi alergen
dalam kuantitas kecil dan pertambahan kuantitasnya mengganggu tingkat toleransi
pasien. Kasus-kasus ini mengindikasikan kemungkinan hubungan antara alergi
kontakta dengan dosis alergen.
Reaksi hipersensitivitas terhadap bahan protesa yang digunakan dalam
kedokteran gigi belum seluruhnya dijelaskan. Etiologi lesi dalam rongga mulut
serta perkembangannya setelah insersi restorasi belum dijabarkan dengan rinci dan
pendapat-pendapat klinis sangat beragam.
Alergen yang paling umum dalam bahan protesa adalah (meth)acrylates dan
logam. Occupational allergic contact dermatitis yang disebabkan oleh
(meth)acrylates dipandang umum dalam bahan kedokteran gigi sedangkan reaksi
yang timbul akibat acrylates pada pasien lebih jarang. Alergi terhadap akrilat tidak
sering menjadi penyebab stomatitis karena protesa gigi dan tambalan mengandung
akrilat dalam bentuk terpolimerisasi sehingga tidak mengakibatkan alergi.
Dermatitis kontakta terhadap logam terutama nikel sering ditemukan namun
munculnya dalam mulut jarang ditemukan. Terdapat dua laporan kasus alergi
terhadap bahan protesa yang timbul saat insersi protesa baru dari bahan yang sama
dengan protesa pertamanya.
Laporan kasus 1: Seorang wanita usia 70 tahun menderita eritema oral dan oedema
pada lidah, bibir, dan kelopak mata, yang terjadi ketika menggunakan gigi tiruan
rahang atas dan bawah barunya. (Gambar 1)
Gambar 1. Stomatitis kontakta akibat alergi.

Dia pernah memiliki protesa gigi akrilik selama 10 tahun. Gigi tiruan
barunya dibuat karena pencabutan beberapa gigi. Selama 10 jam setelah
pemasangan gigi tiruan baru, dia merasa kesulitan bernafas. Keesokan harinya
gejala yang dirasakan bertambah parah dan segera dirawat darurat ke rumah sakit
militer, Sofia. Setelah diinjeksi intramuscular Methylprednisolon, dia dirujuk ke
departemen berbeda dengan dugaan reaksi alergi terhadap gigi tiruan. Dia tidak
memiliki riwayat alergi dan tidak pernah terpapar akrilik. Setelah menerima
informasi dokter gigi, diketahui bahwa gigi tiruan yang baru dan gigi tiruan lama
dibuat dari Superacryl – produk dari SpofaDental. Menurut produsen tersebut,
komponen bubuk dan cairan bahan basis gigi tiruan akrilik yang digunakan pasien
adalah: bubuk yang mengandung polymethyl methacrylate dan cairan mengandung
MMA, dan bahan cross-linking seperti EGDMA. Satu bulan kemudian dilakukan
patch testing. Patch test dilakukan dengan bahan yang dipakai dalam pemeriksaan
gigi (Chemotechnique Diagnostics®, Vellinge, Sweden) termasuk MMA,
EGDMA, TEGDMA, UDMA, 2HEMA, BISGMA, BP dan N,N-Dimethyl-4-
toluidine (Table 1) dengan IQ Chambers® (Chemotechnique Diagnostics®,
Vellinge, Sweden).
Gambar 2. Hasil Patch test.

Patches diangkat setelah dua hari dan dibaca pada hari ketiga. Hasil Patch test
ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil Patch test.

Pembahasan Kasus
Bahan akrilik ditemukan dalam banyak produk perawatan gigi.
Occupational allergic contact dermatitis karena akrilat pada petugas medis sering
dilaporkan. Namun, sensitisasi pada pasien jarang ditemukan. Hal ini diduga karena
pasien sebelumnya telah tersensitisasi oleh gigi tiruan lama karena tidak ada riwayat
paparan (meth)acrylates yang dilaporkan, serta gejala alergi timbul sangat cepat
setelah insersi gigi tiruan baru. Menariknya, pasien mentoleransi gigi tiruan
lamanya yang terbuat dari bahan yang sama. Gigi tiruan yang baru tidak ditoleransi.
Studi oleh Sadamory et al. mendemonstrasikan monomer residu yang cenderung
lebih sedikit pada gigi tiruan yang telah lama digunakan dibandingkan dengan yang
baru saja digunakan. Kuantitas monomer residu MMA yang larut pada hari pertama
setelah pemasangan gigi tiruan berada pada tingkat tertinggi dan kebanyakan
monomer residu yang lepas terjadi pada 4 atau 5 tahun pertama, sehingga
menjelaskan mengapa pasien dapat mentoleransi protesa lamanya. Selain itu, alasan
lain dari manifestasi alergi, seperti siklus polimerisasi gigi tiruan. Kuantitas dari
monomer residu bergantung pada durabilitas siklus curing. Siklus curing yang
singkat menghasilkan gigi tiruan dengan monomer residu lebih banyak, sehingga
lebih cenderung menyebabkan reaksi mukosa, dibandingkan dengan gigi tiruan
dengan siklus curing lebih lama. Koutis dan al melaporkan sebuah kasus stomatitis
alergi kontak yang diakibatkan oleh monomer akrilik pada gigi tiruan dan gejala
pasien hilang setelah merebus gigi tiruan lebih lama. Kasus ini menunjukkan bahwa
alergi kontakta yang parah terhadap bahan akrilat terjadi pada pasien yang telah
sebelumnya tersensitisasi oleh gigi tiruan lamanya.

Laporan kasus ke2: Seorang wanita usia 54 tahun mengeluh rasa gatal dan rasa
terbakar pada rongga mulut selama 1 bulan. Gejala muncul kurang lebih tiga hari
setelah pemasangan dua restorasi pasak mahkota pada gigi 26 dan 27. Pasien
menggunakan dua base cast bridges (regio kanan atas dan kiri). Pasien
menggunakan bridge tersebut selama 10 tahun tanpa adanya keluhan. Pemeriksaan
fisik menunjukkan lesi aftosa yang berhubungan erat dengan restorasi pasak
mahkota dan tidak ditemukan reaksi gingiva maupun bukal sekitar base cast
bridges.

Gambar 3. Lesi aftosa dalam hubungannya dengan restorasi cast mahkota pasak.

Pasien memiliki riwayat sensitifitas terhadap asesoris selama lebih dari 30


tahun. Dokter giginya mengkonfirmasi bahwa bridge dibuat dari aloi nickel-
chrome, beserta mahkota pasak yang baru. Patch testing dilakukan dengan bahan
pemeriksaan gigi (Chemotechnique Diagnostics®, Vellinge, Sweden) dan dengan
IQ Chambers® (Chemotechnique Diagnostics®, Vellinge, Sweden). Patches
dibuka setelah dua hari dan dibaca hasilnya pada hari ketiga. Hasil positif patch test
ditunjukkan pada tabel 2.

Gambar 4. Hasil patch test pasien kedua.

Table 2. Hasil positif tes patch pada pasien ke2.

PEMBAHASAN
Temuan klinis dermatitis kontakta intra oral yang paling sering terhadap
nikel adalah plak likenoid atau erosi pada mukosa bukal yang bersebelahan dengan
antigen. Pada pasien, manifestasi klinis dari hipersensitifitas terhadap nikel adalah
lesi aftosa yang muncul setelah pemasangan restorasi mahkota pasak baru dan tidak
ada tanda-tanda sebelumnya meskipun kedua bridge yang mengandung nikel telah
ada dalam mulut. Reaksi kulit positif terhadap logam seperti nikel tidak selalu
berhubungan dengan reaksi alergi intra oral. Ditemukan bahwa pada pasien dengan
riwayat rekasi kulit positif terhadap nikel tidak menimbulkan efek lokal atau
sistemik dalam merespon aloi logam mengandung nikel saat periode observasi
hingga 15 tahun. Shultz et al melaporkan kasus alergi terhadap bracket dental pada
pasien yang sebelumnya terdesentisisasi, namun gejalanya muncul satu tahun
kemudian. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat ambang batas pada paparan ion
nikel yang menjelaskan kurangnya gejala untuk periode waktu yang lama. Pada
awalnya, kemungkinan terdapat toleransi oral terhadap nikel pada bracket; seiring
berjalannya waktu, lepasnya partikel nikel dari bracket menjadi sangat besar
melebihi batas toleransi, kemudian pasien mengalami gejala. Kasus ini
menunjukkan reaksi alergi yang baru muncul setelah pemasangan restorasi dental
baru, meskipun pasien telah berkontak dengan alergen dari restorasi lainnya selama
bertahun-tahun. Sebelum perawatan prostodonsi pertama dan keduanya, pasien
tidak ditanya mengenai alergi logam. Klinisi menemukan bahwa pasien mengetahui
alerginya namun tidak mempertimbangkan bahwa dia dapat terpapar terhadap
logam yang sama saat menerima perawatan gigi.

Penyakit rongga mulut berhubungan dengan restorasi protesa cekat

Restorasi protesa cekat seringkali memiliki perpanjangan ke dalam sulkus


gingiva, sehingga sel epitel gingiva berkontak dengannya. Korosi aloi logam terjadi
karena reaksi antara cairan rongga mulut dengan makanan yang dikonsumsi, dan
mengakibatkan reaksi jaringan di sekitarnya serta inflamasi. Respon imunologis
dapat terjadi secara lokal, sehingga terjadi ketidaknyamanan dan reaksi dengan
intensitas beragam, termasuk stomatitis dan reaksi likenoid. Reaksi lokal ini dapat
diiringi dengan reaksi sistemik, dan sel yang tersensitisasi oleh ion logam
mengalami hipersensitivitas yang lambat. Berkurangnya kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri seiring meningkatnya usia akan mempersulit kondisi.
Inflamasi meningkatkan permeabilitas jaringan terhadap komponen noxious
sehingga membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan mekanis. Lingkungan
rongga mulut adalah unik karena dapat menginisiasi reaktivitas aloi logam sehingga
melepaskannya beserta hasil reaksi dari badan restorasi. Reaktivitas biologis aloi
dental dalam rongga mulut dapat mendukung adesi bakteri dan memberikan efek
beracun secara langsung pada jaringan, beserta efek sub toksik termasuk alergi dan
reaksi autoimun.
Banyak laporan dan studi dalam literatur dental yang membahas proses ini.
Iritasi mekanis karena keberadaan fisik piranti dental dan tekanan yang
diaplikasikan pada jaringan juga dapat mengakibatkan reaksi jaringan lokal.
Terdapat kurang lebih 20 elemen yang digunakan dalam praktik dental yang
melibatkan aloi dari protesa dental yang dibuat. Aloi ini melewati proses casting
dalam laboratorium dental menjadi beragam bentuk. Aloy casting dental digunakan
secara luas dalam prostodonsi cekat sehingga berkontak dengan mukosa oral dalam
periode panjang. Aloi Ni-Cr adalah yang paling populer dan berguna dalam
pembuatan restorasi prostodonsi cekat karena sifat mekanis yang dikembangkan
dan harganya lebih ekonomis. Aloi metal base Ni-Cr dan Co-Cr lebih banyak
menggantikan aloi emas dalam pembuatan restorasi metal keramik cekat. Sebuah
literatur dilakukan untuk menemukan penyakit oral yang mungkin diakibatkan oleh
protesa cekat logam. Kata kunci yang muncul dan kombinasinya digunakan untuk
mengidentifikasi literatur relevan: protesa dental cekat, protesa sebagian cekat,
burning mouth syndrome, pigmentasi oral, efek sitotoksik, alergi, dan reaksi
likenoid. Laporan singkat ini akan membahas 4 tipe penyakit oral yang dapat
berkembang karena piranti prostodonsi cekat: burning mouth syndrome, pigmentasi
oral, hipersensitivitas, reaksi likenoid, dan efek genotoksik dan sitotoksik.
Burning mouth syndrome (BMS) dikarakterisasikan dengan rasa terbakar
dan sakit konstan dengan perubahan mukosa oral yang tidak terdeteksi. Pasien
biasanya mengeluh sensasi terbakar pada beragam lokasi dalam rongga mulut,
namun biasanya mukosa labial dan lidah. Etiologi belum dipahami dengan jelas,
namun dapat diklasifikasikan dalam varian primer yang berhubungan dengan latar
belakang neuropati dan varian kedua, yang muncul sebagai akibat dari faktor
presipitasi lokal seperti hipersensitif kontakta. Prevalensi BMS dipengaruhi oleh
usia (meningkat dengan pertambahan usia), dan jenis kelamin (meningkat pada
wanita, terutama post menopause), sehingga sulit untuk menyebutkan prevalensi
dengan akurat. Studi yang menginvestigasi hubungan antara BMS dan piranti cekat
menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Beberapa didasarkan pada temuan
patch test, yang mengkonfirmasi hipersensitivitas terhadap logam, dan beberapa
berdasarkan konsentrasi logam pada saliva. Meskipun hasil patch test positif, atau
konsentrasi logam tinggi pada saliva tidak ditemukan berkorelasi dengan BMS,
sebuah saran dibuat untuk melakukan tes ini pada pasien yang memiliki BMS dan
protesa cekat.
Hipersensitivitas dan reaksi likenoid.
Bahan yang digunakan dalam aloi dental harus biokompatibel dan
sebaiknya tidak menyebabkan efek toksik atau merugikan ketika berkontak dengan
jaringan. Dengan kata lain, bahan biokompatibel harus tidak mengandung toksik,
tidak bocor atau berdifusi, dan tidak dapat diserap dalam sistem sirkulasi, karena
hal ini dapat mengakibatkan efek sistemik yang berbahaya, termasuk efek
teratogenik atau karsinogenik. Nikel, kromium, merkuri, paladium dan kobalt
sering digunakan dalam kedokteran gigi, dan semuanya adalah alergen.
Nikel adalah alergen umum, dan insidensi alergi nikel dan dermatitis nikel
telah dilaporkan secara luas dalam literatur, dengan alergi nikel secara khusus
sering ditemukan pada wanita. Penggunaan bahan yang mengandung nikel
dilaporkan menjadi sumber pada reaksi alergi. Secara intraoral, alergi nikel
cenderung bermanifestasi dengan gejala seperti sensasi terbakar, hiperplasia
gingiva dan parestesi lingual. Alergi nikel sering diasosiasikan dengan reaktivitas
kromium dan kobalt. Meskipun emas telah disarankan sebagai alternative nikel
pada pasien alergi, terdapat laporan kasus pada perkembangan orofacial
granulomatosis sebagai respon terhadap mahkota emas. Diyakini bahwa korelasi
statistik terdapat antara perluasan restorasi emas dan tingkat reaksi alergi; semakin
terpapar oleh permukaan emas dalam mulut, maka semakin tinggi resiko alergi
emas. Paladium adalah logam lain yang telah dilaporkan secara luas sebagai
penyebab reaksi likenoid; kurang lebih 13-15% pasien dengan sensitivitas paladium
memiliki reaksi likenoid.

Pigmentasi oral
Aloi nikel pertama kali diperkenalkan sebagai pengganti aloi logam mulia
yang semakin mahal dan menjadi populer karena substruktur dan sifatnya. Karena
lingkungan oral sangat kompleks, aloi ini terus menerus mengalami korosi, dan ion-
ion seperti (Ni+3) kemungkinan dilepaskan selama aloi tersebut digunakan dalam
rongga mulut. Telah dibuktikan bahwa perkembangan pigmentasi oral
berhubungan erat dengan terjadinya korosi aloi. Daerah pigmentasi linear yang
terlihat sering muncul dengan cepat pada daerah sekitar gigi yang direstorasi. Stain
yang mengandung perak menghasilkan pigmentasi di sekitar restorasi cekat
berbasis logam mulia. Regio berpigmentasi ini dapat muncul karena logam yang
terlepas lainnya seperti perak, tembaga, paladium, dan emas. Joska et al melaporkan
temuan perak dan tembaga pada akar gigi dengan restorasi mahkota berbasis emas.
Logam yang lepas membentuk senyawa soluble di dalam sulkus gingiva, yang
memfasilitasi transportnya dan deposisi ke dalam jaringan lunak di bawahnya.
Upaya telah diarahkan pada pemahaman mekanisme pigmentasi gingiva, namun
belum jelas. Beberapa menduga terdapat Ni atau Cr dalam jaringan gingiva di dekat
mahkota yang terbuat dari aloi Ni-Cr, namun tidak ada jejak logam ini yang
terdeteksi dalam biopsy jaringan tersebut. Terlepas dari mekanisme di balik
pigmentasi oral sekitar piranti cekat, tidak ada laporan mengenai konsekuensi
berbahaya yang berpotensi dari pigmentasi ini, selain keluhan estetik.

Efek genotoksik dan sitotoksik


Proliferasi, metabolisme dan fungsi lain serta sifat fibroblast gingiva
berubah ketika sel terpapar ion logam yang lepas seperti Ni+3 and Cr+3. Selain itu,
ion metal ini mengakibatkan produksi mediator inflamasi yang berlebih seperti
Interleukin-1b, Interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor alpha. Ion logam ini juga
telah dibuktikan memiliki efek sitotoksik pada jaringan karena mengakibatkan
perubahan DNA dan RNA, mengubah sintesis protein dan mendorong pemecahan
oksidatif DNA, sehingga terjadi apoptosis. Genotoksisitas dan mutagenitas
beragam ion logam telah diinvestigasi dalam sel prokariotik dan eukariotik.
Terdapat beberapa studi in vivo yang melaporkan pelepasan logam dari piranti
ortodonti cekat dan efek biologisnya pada DNA sel mukosa oral. Genotoksisitas ion
logam yang dilepaskan dari restorasi protesa cekat dikonfirmasi setelah
menginvestigasi casting aloi yang sering digunakan seperti Co/Cr/Mo dan Ni/ Cr.
Logam yang terlepas bertanggung jawab pada kerusakan DNA pada sel mukosa
oral. Di sisi lain, aloi Ni-Cr dilaporkan lebih sitotoksik daripada aloi Co-Cr atau
Au-Pt. Satu-satunya keterbatasan studi ini adalah terdiri dari hanya beberapa
laporan mengenai komplikasi yang mungkin timbul dari piranti prostodonti cekat,
tanpa data prevalensi atau tingkat insidensi. Kesimpulannya, piranti cekat dapat
dihubungkan dengan beberapa gangguan oral. Pasien yang mengeluh gangguan di
atas harus diperiksa oleh dokter umum dan dokter giginya mengenai pemakaian
piranti protesanya. Patch test dapat dipercaya untuk konfirmasi alergi logam. Tes
ini melibatkan aplikasi alergen yang dicurigai dalam konsentrasi tertentu, dalam
bentuk larutan atau krim, pada kulit pasien. Sebagai contoh, jika diduga alergi nikel,
diagnosis dikonfirmasi dengan patch test menggunakan 5% Nikel sulfat dalam
petroleum jelly. Dokter gigi harus berhati-hati akan potensi korosi aloi metal yang
dapat melepaskan ion logam. Mereka juga harus memperhatikan aloi yang
berpotensi menyebabkan alergi dan mengambil beberapa tindakan untuk
mengurangi resiko reaksi alergi. Pasien hipersensitif harus diidentifikasi dengan
patch test, dan menggunakan aloi berbeda dalam mulut tidak dianjurkan.
Kemungkinan perlu memodifikasi rencana perawatan ketika salah satu gangguan
di atas ditemui setelah pembuatan piranti cekat yang menggunakan komponen
logam. Studi ini hanyalah ulasan awal subjek tersebut. Diperlukan penelitian yang
lebih banyak dalam bentuk studi kohort untuk menyelidiki insidensi penyakit oral
yang muncul dari piranti protodonsi cekat, juga survey cross sectional untuk
menyelidiki prevalensi gangguan tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme terjadinya alergi terdiri
dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari hipersensitivitas terdiri dari
empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe IV. Jdan macamnya terdiri dari
alergi oleh karena debu, suhu udara, makanan, obata-obatan dan oleh bahan kimia
lainnya yang dapat berpengaruh. Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap alergi
dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang, dan
untuk terapi alergi dapat dilakukan dengan menghindari allergen dan melakukan
terapi farmakologis.
Biasanya, respon alergi tidak dikarakterisasikan dengan dosisnya; yaitu
reaksi tubuh tidak bergantung pada dosis yang diaplikasikan. Kedua kasus
menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk setiap ion logam dalam tingkat
rendah atau monomer akrilik yang dilepaskan pada penderita alergi tanpa adanya
pengukuran respon alergi. Tidak adanya tanda klinis dari alergi oral pada pasien
yang terbukti sensitif di hasil patch test terhadap monomer metal atau akrilik,
meskipun metal atau monomer akrilik adalah komponen protesa dental dalam
rongga mulutnya, mengakibatkan alergi oral dengan tipe dependen. Jika tingkat ini
terlewati, maka konsep independen dapat diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda,adji,Prof,Dr,spkk,dkk.2010. MIMS Indonesia petunjuk


konsultasi.Jakarta.CMP MEDIK
Subowo, Prof,dr, MSc.,PhD.2010.Imunologi Klinik.Jakarta.sagung seto.
http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.htm
http://artikelterkait.com/reaksi-alergi-terhadap-makanan.html
http://artikesehatan.wordpress.com/alergi/
http://donadivinamed.wordpress.com/2009/03/17/bio-resonance-therapy/
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/
http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html
http://hilmaqonianap.blogspot.com/2012/06/makalah-alergi-tugas-individu-
tekkom_25.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
http://insanimj.blogspot.com/2010/11/makalah-farmakologi-tentang-alergi.html
http://sahabatnews.blogspot.com/2012/06/pengertian-alergi.html
http://sehatindonesia.com/kolum/3/seputar-alergi/41/apa-itu-alergi-makanan
http://sofiatussholeha.blogspot.com/2013/06/makalah-hipersensitivitas.html
http://www.anneahira.com/alergi-dingin.htm
http://www.anneahira.com/alergi-udara-dingin.htm
http://www.bimbingan.org/makalah-tentang-makanan-yang-menyebabkan-
alergi.htm
http://www.forumsains.com/kesehatan/alergi-pada-hidung/5/?wap2
http://www.parenting.co.id/article/mode/anak.alergi.makanan.dan.debu/001/003/4
53
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-k5ms69-pkb.pdf
Alanko K, P Susitaival, R Jolanki, L Kanerva. Occupational skin diseases among
dental nurses. Contact Dermatitis 2004; 50:77-82.
Austin A, R Basker. Residual monomer levels in denture bases. Br Dent J
1982;153:424-426.
Bauer A, U. Wollina. Dentureinduced local and systemic reactions to acrylate.
Allergy 1998; 53:722-723.
Dimova M, V Dosseva, I Stoeva. Clinical report of nickel allergy after
metalceramic restorations. Problems of Dentistry 2005,XXXI(2);33-37.
Geukens S., A Goossens. Occupational contact allergy to (meth) acrylates. Contact
Dermatitis 2001; 44:153159.
Hamann C, L De Paola, P Rodgers. Occupation-related allergies in dentistry. J Am
Dent Assoc 2005, 136:500-510.
Ivanova I. Intraoral contact hypersensitivity to prosthodontic biomaterials.
Dissertation 2008, Medical university, Faculty of dental medicine, Sofia,
p.173.
Kanerva L, A. Lahtinen, J. Toikkanen, H. Forss, T. Estlander, P. Susitaival, R.
Jolanki. Increase in occupational skin diseases of dental personnel. Contact
Dermatitis 1999; 40:104-108.
Kanerva L, K Alanko, T Estlander. Allergic contact gingivostomatitis from a
temporary crown made of methacrylates and epoxy diacrylates. Allergy
1999; 54 (12):1316-1321.
Koutis D, S Freeman. Allergic contact stomatitis caused by acrylic monomer in a
denture. Australas J Dermatol 2001; 42:203-206.
Lunder T, M Rogl-Butina. Chronic urticaria from an acrylic dental prosthesis.
Contact Dermatitis 2000; 43:232-233.
Sadamori S, H Kotani, T Hamada. The usage period of dentures and their residual
monomer contents. J Prosthet Dent 1992; 68:374-376.
Shultz J, E Connelly, L Glesne, E Warshaw. Cutaneous and oral eruption from oral
exposure to nickel in dental braces. Dermatitis 2004; 15:154-157.
Spiechowicz E, P Glanz, T. Axell, P. Grochowski. A long term follow-up of allergy
to nickel among fixed prosthesis wearers. Eur J Prosthodont Dent 1999;
7:41-44.
Stoeva I. Allergic reactions to dental alloys in prosthetic dentistry. Problems of
Dentistry 2006, XXXII:64-69.
Stoeva I, A. Kisselova. Prevalence of metal sensitivity in symptomatic patients with
dental alloy restorations and the relation to the clinical manifestations.
Biotechnol&Biotechnol EQ 2010; 24(2): 1870-1873.
Vilaplana J, C Romaguera, F Cornellana. Contact dermatitis and adverse oral
mucous membrane reactions related to the use of dental prosthesis. Contact
Dermatitis 1994; 30:80-84.
Zhang X, Wei LC, Wu B, Yu LY, Wang XP, Liu Y. A comparative analysis of
metal allergens associated with dental alloy prostheses and the expression
of HLA-DR in gingival tissue. Mol Med Rep 2016; 13: 91-98.
Imirzalioglu P, Alaaddinoglu E, Yilmaz Z, Oduncuoglu B, Yilmaz B, Rosenstiel S.
Influence of recasting different types of dental alloys on gingival fibroblast
cytotoxicity. J Prosthet Dent 2012; 107: 24-33.
Lazarov A, Kidron D, Tulchinsky Z, Minkow B. Contact orofacial granulomatosis
caused by delayed hypersensitivity to gold and mercury. J Am Acad
Dermatol 2003; 49: 1117-1120.
Ahlgren C, Ahnlide I, Bjorkner B, Bruze M, Liedholm R, Moller H, Nilner K.
Contact allergy to gold is correlated to dental gold. Acta Derm Venereol
2002; 82: 41-44.
Joska L, Venclikova Z, Poddana M, Benada O. The mechanism of gingiva metallic
pigmentations formation. Clin Oral Investig 2009; 13: 1-7.

Anda mungkin juga menyukai