PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai
alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi,
walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini
berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan
sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah
di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung
serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat
proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri
akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan
perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan
diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan tubuh pada
kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai (ekstrem), belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga
menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia
relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi
degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase.
Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau
regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah
eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas beserta contoh kasusnya?
9. Apakah bahan-bahan piranti prostodonsi memiliki potensi mengakibatkan
alergi pada pasien?
10. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas pada pasien
dengan perawatan prostodonsi?
C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan
imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas (alergi), kasus hipersensitifitas
dalam penggunaan perawatan prostodonsia, serta untuk memenuhi tugas mata
kuliah Oral Medicine I
D. MANFAAT
A. DEFINISI ALERGI
B. MEKANISME ALERGI
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi
yang ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat
lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi
dapat dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada
jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah
yang paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut,
dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan
kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat,
reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.
D. ETIOLOGI
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak
keluarga yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat
mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus,
gangguan ini kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis
reaksi alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi
makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-
anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah
E. PATOFISIOLOGI
F. KLASIFIKASI ALERGI
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe
I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-
atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten
untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam poison ivy, logam berat
epidermidis
, dll.)
Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)
Antigen persisten atau
Makrofag, epithelo senyawa asing dalam
21-28
Granuloma Pengerasan id dan sel raksaksa, tubuh
hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,
etc.)
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik
hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Kejang perut, mual
6. Neuritis optic
7. Glomerulonefritis
8. Sindrom lupus eritematosus sistemik
9. Gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
G. PEMERIKSAAN FISIK
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada
oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. DIAGNOSTIK
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan
obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna
dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine,
toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri
(Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit
(Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat),
tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi
J. TERAPI
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol
). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat
terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial
akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan
otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini
tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada
asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian
peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer.
Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan
kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E
yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
Dua kasus alergi rongga mulut terhadap bahan prostodonsi dilaporkan, yang
menekankan pada dosis alergen dan manifestasi klinis dari alergi kontak bahan-
bahan prostodonsi. Gejala timbul setelah insersi protesa baru dengan bahan yang
sama dengan protesa sebelumnya. Pasien-pasien ini dapat mentoleransi alergen
dalam kuantitas kecil dan pertambahan kuantitasnya mengganggu tingkat toleransi
pasien. Kasus-kasus ini mengindikasikan kemungkinan hubungan antara alergi
kontakta dengan dosis alergen.
Reaksi hipersensitivitas terhadap bahan protesa yang digunakan dalam
kedokteran gigi belum seluruhnya dijelaskan. Etiologi lesi dalam rongga mulut
serta perkembangannya setelah insersi restorasi belum dijabarkan dengan rinci dan
pendapat-pendapat klinis sangat beragam.
Alergen yang paling umum dalam bahan protesa adalah (meth)acrylates dan
logam. Occupational allergic contact dermatitis yang disebabkan oleh
(meth)acrylates dipandang umum dalam bahan kedokteran gigi sedangkan reaksi
yang timbul akibat acrylates pada pasien lebih jarang. Alergi terhadap akrilat tidak
sering menjadi penyebab stomatitis karena protesa gigi dan tambalan mengandung
akrilat dalam bentuk terpolimerisasi sehingga tidak mengakibatkan alergi.
Dermatitis kontakta terhadap logam terutama nikel sering ditemukan namun
munculnya dalam mulut jarang ditemukan. Terdapat dua laporan kasus alergi
terhadap bahan protesa yang timbul saat insersi protesa baru dari bahan yang sama
dengan protesa pertamanya.
Laporan kasus 1: Seorang wanita usia 70 tahun menderita eritema oral dan oedema
pada lidah, bibir, dan kelopak mata, yang terjadi ketika menggunakan gigi tiruan
rahang atas dan bawah barunya. (Gambar 1)
Gambar 1. Stomatitis kontakta akibat alergi.
Dia pernah memiliki protesa gigi akrilik selama 10 tahun. Gigi tiruan
barunya dibuat karena pencabutan beberapa gigi. Selama 10 jam setelah
pemasangan gigi tiruan baru, dia merasa kesulitan bernafas. Keesokan harinya
gejala yang dirasakan bertambah parah dan segera dirawat darurat ke rumah sakit
militer, Sofia. Setelah diinjeksi intramuscular Methylprednisolon, dia dirujuk ke
departemen berbeda dengan dugaan reaksi alergi terhadap gigi tiruan. Dia tidak
memiliki riwayat alergi dan tidak pernah terpapar akrilik. Setelah menerima
informasi dokter gigi, diketahui bahwa gigi tiruan yang baru dan gigi tiruan lama
dibuat dari Superacryl – produk dari SpofaDental. Menurut produsen tersebut,
komponen bubuk dan cairan bahan basis gigi tiruan akrilik yang digunakan pasien
adalah: bubuk yang mengandung polymethyl methacrylate dan cairan mengandung
MMA, dan bahan cross-linking seperti EGDMA. Satu bulan kemudian dilakukan
patch testing. Patch test dilakukan dengan bahan yang dipakai dalam pemeriksaan
gigi (Chemotechnique Diagnostics®, Vellinge, Sweden) termasuk MMA,
EGDMA, TEGDMA, UDMA, 2HEMA, BISGMA, BP dan N,N-Dimethyl-4-
toluidine (Table 1) dengan IQ Chambers® (Chemotechnique Diagnostics®,
Vellinge, Sweden).
Gambar 2. Hasil Patch test.
Patches diangkat setelah dua hari dan dibaca pada hari ketiga. Hasil Patch test
ditunjukkan dalam tabel 1.
Pembahasan Kasus
Bahan akrilik ditemukan dalam banyak produk perawatan gigi.
Occupational allergic contact dermatitis karena akrilat pada petugas medis sering
dilaporkan. Namun, sensitisasi pada pasien jarang ditemukan. Hal ini diduga karena
pasien sebelumnya telah tersensitisasi oleh gigi tiruan lama karena tidak ada riwayat
paparan (meth)acrylates yang dilaporkan, serta gejala alergi timbul sangat cepat
setelah insersi gigi tiruan baru. Menariknya, pasien mentoleransi gigi tiruan
lamanya yang terbuat dari bahan yang sama. Gigi tiruan yang baru tidak ditoleransi.
Studi oleh Sadamory et al. mendemonstrasikan monomer residu yang cenderung
lebih sedikit pada gigi tiruan yang telah lama digunakan dibandingkan dengan yang
baru saja digunakan. Kuantitas monomer residu MMA yang larut pada hari pertama
setelah pemasangan gigi tiruan berada pada tingkat tertinggi dan kebanyakan
monomer residu yang lepas terjadi pada 4 atau 5 tahun pertama, sehingga
menjelaskan mengapa pasien dapat mentoleransi protesa lamanya. Selain itu, alasan
lain dari manifestasi alergi, seperti siklus polimerisasi gigi tiruan. Kuantitas dari
monomer residu bergantung pada durabilitas siklus curing. Siklus curing yang
singkat menghasilkan gigi tiruan dengan monomer residu lebih banyak, sehingga
lebih cenderung menyebabkan reaksi mukosa, dibandingkan dengan gigi tiruan
dengan siklus curing lebih lama. Koutis dan al melaporkan sebuah kasus stomatitis
alergi kontak yang diakibatkan oleh monomer akrilik pada gigi tiruan dan gejala
pasien hilang setelah merebus gigi tiruan lebih lama. Kasus ini menunjukkan bahwa
alergi kontakta yang parah terhadap bahan akrilat terjadi pada pasien yang telah
sebelumnya tersensitisasi oleh gigi tiruan lamanya.
Laporan kasus ke2: Seorang wanita usia 54 tahun mengeluh rasa gatal dan rasa
terbakar pada rongga mulut selama 1 bulan. Gejala muncul kurang lebih tiga hari
setelah pemasangan dua restorasi pasak mahkota pada gigi 26 dan 27. Pasien
menggunakan dua base cast bridges (regio kanan atas dan kiri). Pasien
menggunakan bridge tersebut selama 10 tahun tanpa adanya keluhan. Pemeriksaan
fisik menunjukkan lesi aftosa yang berhubungan erat dengan restorasi pasak
mahkota dan tidak ditemukan reaksi gingiva maupun bukal sekitar base cast
bridges.
Gambar 3. Lesi aftosa dalam hubungannya dengan restorasi cast mahkota pasak.
PEMBAHASAN
Temuan klinis dermatitis kontakta intra oral yang paling sering terhadap
nikel adalah plak likenoid atau erosi pada mukosa bukal yang bersebelahan dengan
antigen. Pada pasien, manifestasi klinis dari hipersensitifitas terhadap nikel adalah
lesi aftosa yang muncul setelah pemasangan restorasi mahkota pasak baru dan tidak
ada tanda-tanda sebelumnya meskipun kedua bridge yang mengandung nikel telah
ada dalam mulut. Reaksi kulit positif terhadap logam seperti nikel tidak selalu
berhubungan dengan reaksi alergi intra oral. Ditemukan bahwa pada pasien dengan
riwayat rekasi kulit positif terhadap nikel tidak menimbulkan efek lokal atau
sistemik dalam merespon aloi logam mengandung nikel saat periode observasi
hingga 15 tahun. Shultz et al melaporkan kasus alergi terhadap bracket dental pada
pasien yang sebelumnya terdesentisisasi, namun gejalanya muncul satu tahun
kemudian. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat ambang batas pada paparan ion
nikel yang menjelaskan kurangnya gejala untuk periode waktu yang lama. Pada
awalnya, kemungkinan terdapat toleransi oral terhadap nikel pada bracket; seiring
berjalannya waktu, lepasnya partikel nikel dari bracket menjadi sangat besar
melebihi batas toleransi, kemudian pasien mengalami gejala. Kasus ini
menunjukkan reaksi alergi yang baru muncul setelah pemasangan restorasi dental
baru, meskipun pasien telah berkontak dengan alergen dari restorasi lainnya selama
bertahun-tahun. Sebelum perawatan prostodonsi pertama dan keduanya, pasien
tidak ditanya mengenai alergi logam. Klinisi menemukan bahwa pasien mengetahui
alerginya namun tidak mempertimbangkan bahwa dia dapat terpapar terhadap
logam yang sama saat menerima perawatan gigi.
Pigmentasi oral
Aloi nikel pertama kali diperkenalkan sebagai pengganti aloi logam mulia
yang semakin mahal dan menjadi populer karena substruktur dan sifatnya. Karena
lingkungan oral sangat kompleks, aloi ini terus menerus mengalami korosi, dan ion-
ion seperti (Ni+3) kemungkinan dilepaskan selama aloi tersebut digunakan dalam
rongga mulut. Telah dibuktikan bahwa perkembangan pigmentasi oral
berhubungan erat dengan terjadinya korosi aloi. Daerah pigmentasi linear yang
terlihat sering muncul dengan cepat pada daerah sekitar gigi yang direstorasi. Stain
yang mengandung perak menghasilkan pigmentasi di sekitar restorasi cekat
berbasis logam mulia. Regio berpigmentasi ini dapat muncul karena logam yang
terlepas lainnya seperti perak, tembaga, paladium, dan emas. Joska et al melaporkan
temuan perak dan tembaga pada akar gigi dengan restorasi mahkota berbasis emas.
Logam yang lepas membentuk senyawa soluble di dalam sulkus gingiva, yang
memfasilitasi transportnya dan deposisi ke dalam jaringan lunak di bawahnya.
Upaya telah diarahkan pada pemahaman mekanisme pigmentasi gingiva, namun
belum jelas. Beberapa menduga terdapat Ni atau Cr dalam jaringan gingiva di dekat
mahkota yang terbuat dari aloi Ni-Cr, namun tidak ada jejak logam ini yang
terdeteksi dalam biopsy jaringan tersebut. Terlepas dari mekanisme di balik
pigmentasi oral sekitar piranti cekat, tidak ada laporan mengenai konsekuensi
berbahaya yang berpotensi dari pigmentasi ini, selain keluhan estetik.