Definisi Anemia
Anemia (dalam bahasa Yunani = tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah
seldarah merah atau jumlah hemoglobin dalam darah berada di bawah normal.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sehingga darah tidak dapat
mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yangdiperlukan tubuh.
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria
WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12
g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita
dengan keganasan. Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu
merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi
penderita anemia.
2. Etiologi Anemia
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia:
• Pendekatan kinetik
Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam turunnya
Hb.
• Pendekatan morfologi
Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan perubahan ukuran
eritrosit (Mean corpuscular volume/MCV) dan res-pons retikulosit.
Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
• Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh
kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan
darah (defi siensi Fe)
• Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, inflitrasi tumor)
• Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
• Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritro-poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan
androgen [hipogonadisme])
• Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan
karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya
pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif)
dan sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
Peningkatan destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
Pendekatan morfologi
Penyebab anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah pada
apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah normal
mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira
7-8 micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran lebih
besar dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi disebut makrositik. Sel darah
merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil disebut mikrositik.
Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah dengan sampel
jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume
(MCV) dan angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koefi
sien variasi volume sel darah merah atau RBC distribution width (RDW). RDW
normal berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW menunjukkan adanya
variasi ukuran sel.
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
• Anemia makrositik
• Anemia mikrositik
• Anemia normositik
Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Anemia makrositik merupakan
anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat
disebabkan oleh:
• Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua
keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan
gambaran peningkatan MCV
• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah
(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia
akut)
• Penggunaan alkohol
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme
Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah
merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya
disertai penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean
concentration hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
• Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe (disebabkan oleh; diet yang tidak
mencukupi, kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, perdarahan saluran
cerna, menstruasi, malabrobsi), anemia penyakit kronis/anemia inflamasi
(seperti abses, empisema), defisiensi tembaga.
• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik
kongenital dan didapat.
• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
Anemia normositik
Anemia normositik disebabkan karena perdarahan akut, hemolysis, dan
penyakit-penyakin infiltrative metalistik pada sumsum tulang. Tejadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai perubahan konsentrasi hemoglobin.
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh:
• Anemia pada penyakit ginjal kronik.
• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik.
• Anemia hemolitik:
o Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah:
Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim
(defisiensi G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
o Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun,
autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid,
idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia
hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia
trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).
Anemia karena perdarahan
Karena adanya pengeluaran darha yang sedikit-sedikit atau cukup banyak baik
diketahui atau tidak. Terbagi menjadi 2 yaitu;
a. Perdarahan akut
Timbul rejatan bila pengeluaran darah cukup banyak, terjadinya
penurunan kadar hemoglobin baru terjadi beberapa hari
kemuadian.
b. Perdarahan kronis
Perdarahan yang timbul sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui
pasien.
Anemia hemolitik
Terjadi karena penurunan sel darah merah (normal 120 hari) baik secara sementara
atau terus menerus. Salah satu jenis anemia ini adalah anemia hemolitik autoimun
(Auti Imun Hemolitik Anemia (ALHA) dimana zat antibody IgG dibentuk terkait
pada membrane sel darah merah.
a. Intrinsik
• Kelainan membrane seperti sferositosis hereditis,
hemoglobinuria makturnal pamosimal
• Kelianan glikolisis
• Kelainan enzim, seperti defisiensi glukosa -6 fosfat
dehydrogenase (GEDP)
b. Ekstrinsik
• Gangguan system imun
• Infeksi
• Luka bakar
Anemia aplastik
Terjadi karena ketidakseimbangan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.
Penyebabnya bisa kongenital namun jarang, idiopatik (kemungkinan idiopatik)
LES, kemoterapi, radioterapi, toksin seperti kloramfenikol, sulfenomid analgesic,
anti apileptik (hidantoin), pasca hepatitis.
Kelainan Laboratorium
Penemuan pada Darah.
Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam.
Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit
biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin
dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel
eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak
normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan
sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan,
tetapi fungsinya masih normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl.
Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding
Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat.
Penemuan pada Sumsum Tulang.
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang
lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan
sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari
kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat
sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai
sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan
kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil
kurang dari 500/ml (0.5 C 10/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ml (20 C
10/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen.
Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony
Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst
Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda
pengurangan dalam sel primitif.
Penemuan Radiologi.
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk
membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik morpologi
dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia
aplastik.
Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan
hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor
myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak
ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel
darah merah.
3
Gambar 1. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal.
3
Gambar 2. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien anemia aplastik.
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial adalah penyakit lain
yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki gejala pansitopenia
adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH),
myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red
cell aplasia.
Fanconi anemia.
Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana 10% dari
pasien terjadi saat anak-anak.Gejala fisik yang khas adalah tinggi badan yang
pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan alat
kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan retardasi mental.
Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit darah tepi yang
menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture dengan bahan yang
menyebabkan pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau
mitomycin C (MMC).
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH).
PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria
dengan trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien anemia aplastik berkembang
menjadi PNH. Hal itu menunjukkan kemungkinan anemia aplastik merupakan salah
satu penyebab PNH. Diagnosis PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi
antigen CD59 sel dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji
urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu gejala PNH.
Myelodisplastic syndrome(MDS).
MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell yang terdapat
adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari sumsum tulang, yang
membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia, disfungsi elemen
darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia. Kegagalan sumsum tulang
biasanya hiperselular dan normoselular, walaupun begitu MDS dapat ditemukan
dengan hiposelular. Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia
aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan
MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya
abnormalitas pada tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS
juga mungkin ditemukan adanyacincin sideroblas (akumulasi besi pada
mitokondria).
Myelofibrosis.
Ada 2 ciri utama myelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis dan fibrosis
sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis menyebabkan
hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang
menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan terjadinya peningkatan
jumlah megakaryocytes.
Aleukemic leukemia4.
Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri kehilangan sel blast pada
darah tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari semua penderita
leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat muda atau pada orang tua.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia.
Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai
dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang dari 1%, dan sumsum
tulang yang normoselular mengandung kurang dari 0,5% eritroblast. Untuk
penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala sitopenia seperti leukemia dapat
dibedakan yang pada leukemia ditemukan tidak selalu adanya penurunan WBC.
Kadar WBC pada leukemia dapat normal, turun, atau meningkat..
b. Imunosupresan
- Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah
2-4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%.4,17 Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/
berat badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering
dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama
15-29 hari.
Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin
tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum,
edem,hiperglikemia, dan osteonekrosis.17
- Antilimfosit globulin (ALG)
Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan
siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam
produksi limfokin-limfokin supresif.4,11,17 Pemberian ALG secara cepat akan
mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika
limfosit total kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang.
Sediaan ALG invitro merangsang proliferasi sel T dan mempromosikan sekresi
beberapa faktor pertumbuhan.4,11,17 Antilimfosit globulin dapat diberikan
dengan dosis 40 mg/kg berat badan /hari selama 12 jam dilanjutkan dengan
infus yang dikombinasikan dengan metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari
intravena selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari
selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturutturut yang
dikombinasikan dengan prednison 40mg/ m2/hari selama 5 hari dimulai pada
hari terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan panas dingin,
kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan terapi
menggunakan ALG tunggal sekitar 50%.5
- Antitymocyt Globulin (ATG)
Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan
mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang
diberikan 100-200mg/kg berat badan intravena. Kontraindikasi ATG adalah
reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan atau trombositopenia.17
Penelitian yang membandingkan hasil akhir antara tata laksana anemia aplastik
dengan ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST) dilaporkan bahwa pada
155 pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai protokol terbaru.18 The
European blood and marrow transplant severe anemia aplastic working party
melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang diberikan
terapi imunosupresan.
Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG dan siklosporin A
lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok respons hematologi,
kualitas responsdan kematian awal.19
- Siklosporin A (Cs A)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral,
sebagai inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan
interleukin-2 dan interferon-y.4,5,11 Dan dapat menghambat reaksi imun
seperti penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat
diberikan 8 mg/kg berat badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan
dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada
dewasa. Dosis kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk
menghindari efek toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari
untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi
dengan siklosporin tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan
ATG meningkatkan kecepatan
remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.4,12
- Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada
saat penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum
tulang.4 Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen
mustard. Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin
berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma.17 Sejumlah
peneliti menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan
/hari selama 4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang
diberikan akan meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang
ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi.20
Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat dengan
CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif
dibandingkan dengan imunosupresan konvensional
lainnya, dalam hal memperbaiki hematopoesis normal dan pencegahan relaps
atau kelainan-kelainan klonal sekunder, meskipun tanpa dilakukan TST.21
Penelitianyang dilakukan terhadap 19 pasien yang diberikan CPA dengan dosis
50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil terapi CPA dosis
tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia aplastik berat.
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan transplantasi
sumsum tulang.20