Anda di halaman 1dari 35

1.

Definisi Anemia
Anemia (dalam bahasa Yunani = tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah
seldarah merah atau jumlah hemoglobin dalam darah berada di bawah normal.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sehingga darah tidak dapat
mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yangdiperlukan tubuh.

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria
WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12
g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita
dengan keganasan. Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu
merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi
penderita anemia.

2. Etiologi Anemia
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia:
• Pendekatan kinetik
Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam turunnya
Hb.
• Pendekatan morfologi
Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan perubahan ukuran
eritrosit (Mean corpuscular volume/MCV) dan res-pons retikulosit.
Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
• Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh
kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan
darah (defi siensi Fe)
• Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, inflitrasi tumor)
• Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
• Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritro-poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan
androgen [hipogonadisme])
• Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan
karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya
pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif)
dan sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
Peningkatan destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
Pendekatan morfologi
Penyebab anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah merah pada
apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah normal
mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira
7-8 micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran lebih
besar dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi disebut makrositik. Sel darah
merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil disebut mikrositik.
Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah dengan sampel
jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume
(MCV) dan angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koefi
sien variasi volume sel darah merah atau RBC distribution width (RDW). RDW
normal berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW menunjukkan adanya
variasi ukuran sel.
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
• Anemia makrositik

• Anemia mikrositik

• Anemia normositik

Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Anemia makrositik merupakan
anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat
disebabkan oleh:
• Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua
keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan
gambaran peningkatan MCV
• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah
(defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia
akut)
• Penggunaan alkohol
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme
Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah
merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya
disertai penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean
concentration hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
• Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe (disebabkan oleh; diet yang tidak
mencukupi, kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, perdarahan saluran
cerna, menstruasi, malabrobsi), anemia penyakit kronis/anemia inflamasi
(seperti abses, empisema), defisiensi tembaga.
• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik
kongenital dan didapat.
• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
Anemia normositik
Anemia normositik disebabkan karena perdarahan akut, hemolysis, dan
penyakit-penyakin infiltrative metalistik pada sumsum tulang. Tejadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai perubahan konsentrasi hemoglobin.
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh:
• Anemia pada penyakit ginjal kronik.
• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik.
• Anemia hemolitik:
o Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah:
Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim
(defisiensi G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell).
o Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun,
autoimun (obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid,
idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia
hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia
trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).
Anemia karena perdarahan
Karena adanya pengeluaran darha yang sedikit-sedikit atau cukup banyak baik
diketahui atau tidak. Terbagi menjadi 2 yaitu;
a. Perdarahan akut
Timbul rejatan bila pengeluaran darah cukup banyak, terjadinya
penurunan kadar hemoglobin baru terjadi beberapa hari
kemuadian.
b. Perdarahan kronis
Perdarahan yang timbul sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui
pasien.
Anemia hemolitik
Terjadi karena penurunan sel darah merah (normal 120 hari) baik secara sementara
atau terus menerus. Salah satu jenis anemia ini adalah anemia hemolitik autoimun
(Auti Imun Hemolitik Anemia (ALHA) dimana zat antibody IgG dibentuk terkait
pada membrane sel darah merah.
a. Intrinsik
• Kelainan membrane seperti sferositosis hereditis,
hemoglobinuria makturnal pamosimal
• Kelianan glikolisis
• Kelainan enzim, seperti defisiensi glukosa -6 fosfat
dehydrogenase (GEDP)
b. Ekstrinsik
• Gangguan system imun
• Infeksi
• Luka bakar
Anemia aplastik
Terjadi karena ketidakseimbangan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah.
Penyebabnya bisa kongenital namun jarang, idiopatik (kemungkinan idiopatik)
LES, kemoterapi, radioterapi, toksin seperti kloramfenikol, sulfenomid analgesic,
anti apileptik (hidantoin), pasca hepatitis.

3. Penegakkan Diagnosa Anemia


1. Melalui anamnesa, ditemukan beberapa komponen penting dalam riwayat
penyakit yang berhubungan dengan anemia:
• Riwayat atau kondisi medis penyebab anemia (misalnya, melena
pada penderita ulkus peptikum, artritis reumatoid, gagal ginjal).
• Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia yang
baru terjadi pada umumnya disebabkan penyakit yang didapat,
sedangkan anemia yang berlangsung lifelong, terutama dengan
adanya riwayat keluarga, pada umumnya merupakan kelainan
herediter (hemoglobinopati, sferositosis herediter).
• Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan hemoglobinopati
terutama didapatkan pada penderita dari Mediterania, Timur
Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia Tenggara.
• Obat-obat tertentu, seperti alkohol, asam asetilsalisilat, dan
antiinflamasi nonsteroid harus dievaluasi dengan cermat.
• Riwayat transfusi.
• Penyakit hati.
• Pengobatan dengan preparat Fe.
• Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.
• Penilaian status nutrisi.
2. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat,
takikardi, sakit dada, dyspnea, nafas pendek, cepat lelah, pusing, kelemahan,
tinitus, penderita defisiensi yang berat mempunyai rambut rapuh dan halus,
kuku tipis rata mudah patah, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak
pucat, licin, mengkilat, merah daging meradang dan sakit (Guyton, 1997).
Manifestasi klinis anemia besi adalah pusing, cepat lelah, takikardi, sakit
kepala, edema mata kaki dan dispnea waktu bekerja. (Gasche C.,
1997:126).Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah menemukan tanda
keterlibatan organ atau multi sistem dan untuk menilai beratnya kondisi
penderita. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan:
• adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
• pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku,
wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan
70-100%.
• ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering
sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada penelitian 62
tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5
mg/dL dan pada 68% pende rita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.
Gastrointestinal: Anoreksia dan menoragia,menurunya fertilisasi , hematuria (
pada anemia hemolitik )
limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri
tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infiltratif
(seperti pada leukemia mielositik kronik), lesi litik (pada mieloma multipel
atau metastasis kanker).
• penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada
talasemia.
• lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
• petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
• kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.
• Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia
sideroblastik familial).
• Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.
3. Pemeriksaan laboratoris
• Complete blood count (CBC). CBC terdiri dari pemeriksaan:
- hemoglobin,
- hematokrit,
- jumlah eritrosit,
- ukuran eritrosit,
- hitung jumlah leukosit.
Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan
retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan pemeriksaan (tidak rutin
diperiksa). Pada banyak automated blood counter, didapatkan parameter
RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemui :
- Jumlah Hb lebih rendah dari normal ( 12 – 14 g/dl )
- Kadar Ht menurun ( normal 37% - 41% )
- Peningkatan bilirubin total ( pada anemia hemolitik )
- Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
- Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak ( pada anemia
aplastik )
- Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
- Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume
korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan
mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP).
Pansitopenia (aplastik).
- Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons
sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
- Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat
mengindikasikan tipe khusus anemia).
- LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal :
peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
- Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia,
misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup
lebih pendek.
- Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
- SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin
meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
- Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi
(hemolitik)
- Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
- Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
- Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan
dengan defisiensi masukan/absorpsi
- Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
- TBC serum : meningkat (DB)
- Feritin serum : meningkat (DB)
- Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
- LDH serum : menurun (DB)
- Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
- Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster,
menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
- Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya
asam hidroklorik bebas (AP).
- Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak
berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe
anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan
penurunan sel darah (aplastik).
- Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan :
perdarahan GI (Doenges, 1999)

Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu


diagnostik. Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g% menjadi 10 g%
dalam 7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung retikulosit =
0) dan bila destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per hari), Hb akan
turun 7% dalam 7 hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada
penderita ini, Hb turun lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat diasumsikan
supresi sumsum tulang saja bukan merupakan penyebab anemia dan
menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel darah merah (Mean corpuscular
volume/MCV) dan RBC distribution width/RDW dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

• Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi


Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak
dapat dideteksi dengan automated blood counter.
 Sel darah merah berinti (normoblas)
Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas
dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis (penyakit sickle
cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian dari gambaran
lekoeritroblastik pada pende-rita dengan bone marrow replacement. Pada
penderita tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya normoblas dapat
menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal
jantung berat.
 Hipersegmentasi neutrofi l
Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang ditandai dengan lebih
dari 5% neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofi l berlobus >6.
Adanya hipersegmentasi neutrofi l dengan gambaran makrositik berhubungan
dengan gangguan sintesis DNA (defi siensi vitamin B12 dan asam folat).
• Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit
absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah
efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan
dengan jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa anemia. Klasifikasi anemia
normositik atau makrositik dengan peningkatan hitung retikulosit dapat dilihat
pada bagan berikut ini:
Klasifikasi anemia makrositik berdasarkan hitung retikulosit dapat
dilihat pada bagan di bawah ini:

• Jumlah leukosit dan hitung jenis


Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau
infiltrasi sumsum tulang, hipersplenisme atau defi siensi B12 atau asam folat.
Adanya leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau
keganasan hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat
memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu:
- Peningkatan hitung neutrofi l absolut pada infeksi
- Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
- Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu
- Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi
- Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian
kortikosteroid
- Jumlah trombosit
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk
diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan
pada sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat),
sepsis, defisiensi folat atau B12. Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan
pada penyakit mieloproliferatif, defi siensi Fe, inflamasi, infeksi atau keganasan.
Perubahan morfologi trombosit (trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat
ditemukan pada penyakit mieloproliferatif atau mielodisplasia.
• Pansitopenia: Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defi siensi
folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia
ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic
trapping sel-sel hematologis.

4. Penatalaksanaan Medis Penderita Anemia


Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah
yang hilang.
1. Transpalasi sel darah merah.
2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan
oksigen
5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan: Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan
makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur, pemberian preparat
fe, Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan, Peroglukonat 3x 200 mg/hari
/oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian
cairan dan transfusi darah.
ANEMIA APLASTIK

PENGERTIAN ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum
tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh
pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian
besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga
sebagai anemia hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan
berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa seseorang dapat diduga
secara potensial menderita keracunan sumsum tulang berat dan sering terdapat
kasus cedera sumsum tulang yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu,
penyebab pasti seseorang menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan
dengan pasti. Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor yang
menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga
berdasarkan penyebabnya yaitu : anemia aplastik didapat (acquired aplastic
anemia); familial (inherited); idiopathik (tidak diketahui).Sumber lainnya membagi
penyebabnya menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat,
penyebab lain). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab
tersebut.
Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Bahan Kimia.
Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an, keracunan pada
sumsum tulang, benzene juga sering digunakan sebagai bahan pelarut. Benzene
merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.
Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia
pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak. Selain
penyebab keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas
hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum, metaplasia
mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat meracuni tubuh dengan
cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene juga
dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil.
Terdapat juga hubungan antara pengguanaan insektisida menggunakan benzene
dengan anemia aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah
banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus dalam literatur.
Selain itu DDT(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan
dalam insektisida. Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada
perang dunia pertama dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab
anemia aplastik fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui
kulit. Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain dari
tahun 1940 sampai 1946.
Obat.
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik itu
mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada penyakit anemia
aplastik. Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan masalah
kegagalan sumsum tulang masih dijumpai dalam kasus yang jarang. Hal ini
disebabkan oleh dari beberapa interpretasi laporan kasus dirancukan dengan
kombinasi dalam pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi
fungsi sumsum tulang apabila menggunakan obat dalam dosis tinggi serta tingkat
keracunan tidak mempengaruhi organ lain. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai
penyebab anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas),
dan obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan,
sulfonamid).
Radiasi.
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal
dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam perkembangan anemia aplastik
dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras
intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut,
dan anemia aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi
dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.
Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh : (a) secara langsung oleh
jumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen ; atau (b) secara
tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil
reaktif yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan.
Secara mitosis jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala
bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh
energi tingkat tinggi sinar g, yang dimana dapat menembus rongga perut. Kedua,
dengan menyerap partikel a dan b (tingkat energi b yang rendah membakar tetapi
tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang mungkin dapat merusak
sumsum tulang yang dapat menimbulkan anemia aplastik.
Virus. Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum
tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus,
herpesvirus, flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab
anemia aplastik.
Penyebab lain.
Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia aplastik
berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa anemia
aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Terkadang
anemia aplastik juga dijumpai pada pasien dengan penyakit sistemik lupus
erythematosus. Selain itu terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan
kehamilan berkaitan dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih
belum jelas.
Familial (Inherited) Anemia Aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik antara
lain pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.

GEJALA DAN TANDA KLINIK ANEMIA APLASTIK


Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang
disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan
kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan
namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan
dari neutropenia. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses),
bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu,
pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, ulser dan pendarahan pada hidung
(epitaxis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia
subur. Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat
fatal.
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/ml (10 C 10/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar
untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat
atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan
pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau
diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.

Kelainan Laboratorium
Penemuan pada Darah.
Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam.
Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit
biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin
dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel
eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak
normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan
sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan,
tetapi fungsinya masih normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl.
Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron Binding
Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat.
Penemuan pada Sumsum Tulang.
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang
lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan
sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari
kekurangan sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat
sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai
sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan
kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil
kurang dari 500/ml (0.5 C 10/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ml (20 C
10/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen.
Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony
Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst
Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda
pengurangan dalam sel primitif.
Penemuan Radiologi.
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk
membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik morpologi
dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia
aplastik.
Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan
hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor
myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak
ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel
darah merah.

3
Gambar 1. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien normal.
3
Gambar 2. Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien anemia aplastik.

PATOGENESIS ANEMIA APLASTIK


Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses
penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Penulusuran penyebab dilakukan
melalui penelitian epidemiologik. Kebanyakan kasus dari Anemia Aplastik
idiopatik dan dapatan immune-mediated, dengan keterlibatan aktivasi dari tipe 1
cytotoxic T cells.
Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang merupakan
interaksi antara progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro
(microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur
hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor pertumbuhan hematopoetik. Sel-
sel hematologik imatur dapat terlihat dengan pemeriksaan flouresent activate flow
citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34+ dan adhesi protein kurang dari
1% pada sumsum tulang normal. Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen
melalui beberapa mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan
produksi atau fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan
sumsum tulang melalui mekanisme imunologis.
Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam kerusakan
jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti interferon-α(IFN-γ) dan
tumor necrosis factor β (TNF-β). Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali
terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui fas-ligand
menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN- γ melalui interferon
regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke
dalam siklus sel. IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide synthase
(NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek
toksiknya menyebar.
Pada anemia aplastik, sel – sel CD34+ dan sel – sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada
hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif.
Oleh karena itu, sel – sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian
pasien anemia aplastik.
Penyebab anemia aplastic dapat dibagi dua sebagai berikut.
1. Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain :
a. Anemia fanconi, disebabkan inherited bone marrow failure
syndrome (IBMFs)
b. Non fanconi. Seperti cartilage hai hypoplasia, pearson syndrome,
amegakaryotic thrombocytopenia, scwachman-diamond syndrome,
dubowitz syndrome, diamond blackfan syndrome, familial aplastic
anemia
c. Dyskeratosis congenital.
2. Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain :
a. Akibat infeksi Seperti virus hepatitis, epstein barr virus, HIV,
parovirus, dan mycobacteria
b. Akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene,
Chlorinated hycrocarbons, dan organophospates
c. Akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,
phenylbutazone
d. Akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan
systemic lupus erythematosus (SLE)
e. Akibat kehamilan. Patofisiologi timbulnya anemia dapat
digambarkan secara skematik seperti pada Gambar1.
Seperti dilihat dari Gambar 1, akibat adanya kerusakan sel induk (seed theory),
kerusakan lingkungan mikro (soil theory), dan adanya mekanisme imunologik
menyebabkan kerusakan sel induk hemopoetik yang menyebabkan pansitopenia.
Pada pansitopenia, eritrosit menurun akan menyebabkan sindrom anemia, leukosit
menurun akan menyebabkan tubuh mudah infeksi, dan trombosit menurun akan
menyebabkan pendarahan.

Gambar 1. Kerusakan sel induk hmopoetik menyebabkan gejala pansitopenia

Gambar 2. Destruksi immune hematopoiesis. Antigen muncul ke T limfosit oleh


antigen presenting cells (APCs), memicu T-cell aktif dan proliferasi. T-bet, faktor
transkripsi, bersatu dengan interferon-γ (IFN-γ) dan menginduksi ekspresi gen.
SAP bersatu dengan Fyn dan memodulasi aktivitas SLAM pada ekspresi IFN-γ,
menyebabkan transkripsi gen. pasien dengan anemia aplastic menunjukan
konsitutif ekspresi T-bet dan tingkat SAP rendah. IFN-γ dan TNF- α meregulasi
reseptor T-cell lain dan reseptor Fas. Tingginya produksi interleukin-2 membuat
perluasan polyclonal T-cell. Aktivasi reseptor Fas oleh Fas-ligand menuntun
apoptosis sel target. Beberapa efek IFN-γ dimediasi oleh interferon regulatory
factor 1 (IRF-1), yang menghambat transkripsi gen selular dan jalan masuk siklus
sel. IFN-γ adalah penginduksi kuat dari banyak gen seluler, termasuk dapat
menginduksi sintesis nitric oxide (NOS), dan produksi dari gas beracun nitric oxide
(NO) dapat menyebabkan efek toxic yang tidak beraturan. Kejadian ini dapat
memicu pengurangan siklus sel dan kematian sel karena apoptosis.

DIAGNOSIS

Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia


tanpa adanya keganasan,infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria
diagnosis pada anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic
anemia study group (IAASG) antara lain : (1) satu dari tiga (a) hemoglobin kurang
dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%, (b) trombosit kurang dari 50x109/L,
(c) leukosit kurang dari 3,5x109/L atau netrofil kurang dari 1,5x109/L, (2) dengan
retikulosit kurang dari 30x109/L, dan (3) dengan gambaran sumsum tulang yang
dapat dilihat pada Gambar :

Gambar 1 menunjukkan kerusakan sel induk hemopoetik menyebabkan gejala


pansitopenia1.
Gambar 2 menunjukkan sumsum tulang penderita tampak hipoplasia dengan
penggantian jaringan lemak (kiri) dibandingkan dengan sumsum tulang normal
(kanan)1,7.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial adalah penyakit lain
yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki gejala pansitopenia
adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH),
myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red
cell aplasia.
Fanconi anemia.
Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana 10% dari
pasien terjadi saat anak-anak.Gejala fisik yang khas adalah tinggi badan yang
pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan alat
kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan retardasi mental.
Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit darah tepi yang
menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture dengan bahan yang
menyebabkan pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau
mitomycin C (MMC).
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH).
PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria
dengan trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien anemia aplastik berkembang
menjadi PNH. Hal itu menunjukkan kemungkinan anemia aplastik merupakan salah
satu penyebab PNH. Diagnosis PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi
antigen CD59 sel dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji
urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu gejala PNH.
Myelodisplastic syndrome(MDS).
MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell yang terdapat
adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari sumsum tulang, yang
membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia, disfungsi elemen
darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia. Kegagalan sumsum tulang
biasanya hiperselular dan normoselular, walaupun begitu MDS dapat ditemukan
dengan hiposelular. Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia
aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan
MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya
abnormalitas pada tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS
juga mungkin ditemukan adanyacincin sideroblas (akumulasi besi pada
mitokondria).
Myelofibrosis.
Ada 2 ciri utama myelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis dan fibrosis
sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis menyebabkan
hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang
menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan terjadinya peningkatan
jumlah megakaryocytes.
Aleukemic leukemia4.
Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri kehilangan sel blast pada
darah tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari semua penderita
leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat muda atau pada orang tua.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
Pure red cell aplasia.
Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai
dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang dari 1%, dan sumsum
tulang yang normoselular mengandung kurang dari 0,5% eritroblast. Untuk
penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala sitopenia seperti leukemia dapat
dibedakan yang pada leukemia ditemukan tidak selalu adanya penurunan WBC.
Kadar WBC pada leukemia dapat normal, turun, atau meningkat..

Penatalaksanaan Anemia Aplastik


Berdasarkan patofisiologi penyakit ini, pendekatan terapi anemia aplastik
terdiri dari tata laksana suportif yang ditujukan untuk mengatasi keadaan
pansitopenia yang ditimbulkannya, penggantian stem cell dengan transplantasi
sumsum-tulang atau penekanan proses imunologis yang terjadi dengan
menggunakan obatobat imunosupresan.2,5
Tata laksana suportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejal akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan
transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap
HLA (human leukocyte antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi
hepatitis, virus sitomegalo dan toksoplasmosis,5 pada beberapa kasus mencegah
graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang
sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti reaksi
transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan
zat besi.13,14
Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah
perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan
jumlah trombosit di atas 20.000/uL.5,13 Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi
suspensi trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit dapat
menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukanlebih dari 10 kali, dan
keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.13 Isoimunisasi dapat dicegah
dengan pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila
perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis.3,5
Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat
diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit
dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya
berat dan sering menjadi penyebab kematian.5,12
Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan pemeriksaan
kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis
tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteni terapi
dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil kultur negatif.12 Bila demam
menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan
anti jamur.15,16
Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah
penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan yang
mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu
ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.4,5,13

Tata laksana medikamentosa Obat-obatan


Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien
anemia aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai
untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontra-indikasi untuk dilakukan
transplantasi sumsum tulang.5 Tujuan pemberian obat-obatan untuk mengurangi
morbiditas, mencegah komplikasi, dan eradikasi keganasan.17
a. Androgen
Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960. Efek
androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi
eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid.
Penggunaan androgen tunggal sebagai terapi anemia aplastik ternyata tidak
meningkatkan angka kesintasan pada pasien. Penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat, androgen sebagai tambahan terapi antitymocyte globulin (ATG) juga tidak
menunjukkan keuntungan, sedangkan penelitian yang dilakukan di Eropa
menunjukkan androgen hanya meningkatkan respons hematologi tetapi tidak
meningkatkan angka kesintasan.2
Terapi androgen pada pasien anemia aplastik yang gagal dengan terapi
imunosupresan mungkin berguna, meskipun berbahaya. Preparat androgen yang
sering digunakan adalah metil testosteron, testosteronenantat, testosteron propionat,
oksimetolon dan etiokolanolon. Dosis yang digunakan adalah 2-5 mg/ kg berat
badan/minggu, secara intramuskular. Dosis nandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg
berat badan /minggu.11,12
Efek samping yang dapat timbul dari pemberian preparat androgen ini
seperti kolestasis, hepatomegali, tumor hepar, maskulinisasi, kebotakan, dan
pembesaran alat kelamin. Pasien dengan terapi androgen sebaiknya dilakukan
pemeriksaan fungsi hati secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap
tahun, dan pemeriksaan usia tulang per tahun.4,15

b. Imunosupresan
- Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah
2-4 mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%.4,17 Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/
berat badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering
dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama
15-29 hari.
Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin
tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum,
edem,hiperglikemia, dan osteonekrosis.17
- Antilimfosit globulin (ALG)
Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan
siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam
produksi limfokin-limfokin supresif.4,11,17 Pemberian ALG secara cepat akan
mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika
limfosit total kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang.
Sediaan ALG invitro merangsang proliferasi sel T dan mempromosikan sekresi
beberapa faktor pertumbuhan.4,11,17 Antilimfosit globulin dapat diberikan
dengan dosis 40 mg/kg berat badan /hari selama 12 jam dilanjutkan dengan
infus yang dikombinasikan dengan metilprednisolon 1mg/kg berat badan /hari
intravena selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20mg/kg berat badan /hari
selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturutturut yang
dikombinasikan dengan prednison 40mg/ m2/hari selama 5 hari dimulai pada
hari terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan panas dingin,
kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan terapi
menggunakan ALG tunggal sekitar 50%.5
- Antitymocyt Globulin (ATG)
Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan
mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang
diberikan 100-200mg/kg berat badan intravena. Kontraindikasi ATG adalah
reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan atau trombositopenia.17
Penelitian yang membandingkan hasil akhir antara tata laksana anemia aplastik
dengan ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST) dilaporkan bahwa pada
155 pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai protokol terbaru.18 The
European blood and marrow transplant severe anemia aplastic working party
melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang diberikan
terapi imunosupresan.
Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG dan siklosporin A
lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok respons hematologi,
kualitas responsdan kematian awal.19
- Siklosporin A (Cs A)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral,
sebagai inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan
interleukin-2 dan interferon-y.4,5,11 Dan dapat menghambat reaksi imun
seperti penolakan jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat
diberikan 8 mg/kg berat badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan
dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada
dewasa. Dosis kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk
menghindari efek toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari
untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi
dengan siklosporin tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan
ATG meningkatkan kecepatan
remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.4,12
- Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada
saat penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum
tulang.4 Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen
mustard. Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin
berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma.17 Sejumlah
peneliti menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan
/hari selama 4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang
diberikan akan meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang
ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi.20
Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat dengan
CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif
dibandingkan dengan imunosupresan konvensional
lainnya, dalam hal memperbaiki hematopoesis normal dan pencegahan relaps
atau kelainan-kelainan klonal sekunder, meskipun tanpa dilakukan TST.21
Penelitianyang dilakukan terhadap 19 pasien yang diberikan CPA dengan dosis
50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan hasil terapi CPA dosis
tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia aplastik berat.
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan transplantasi
sumsum tulang.20

Faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik (growth factors)


Dari beberapa penelitian, pemberian cytokines dapat menyebabkan
perbaikan jumlah neutrofil dan juga meningkatkan angka kesintasan, meskipun jika
digunakan berkepanjangan dapat meningkatkan risiko penyakit klonal. Dari
penelitian, penggunaan recombinant human granulocyte-macrophage stimulating
factor (GM-CSF) dengan dosis 8-32 ug/kg/hari intravena yang dikombinasikan
dengan siklosponin A dan ALG dapat meningkatkan jumlah sel-sel darah di perifer
maupun di sumsum tulang. Keadaan ini bersifat sementara atau menetap yang
ditandai dengan respon klinis terhadap infeksi. Pasien dengan jumlah granulosit
awal lebih banyak memberikan respon terapi yang lebih baik, diduga karena
meningkatnya cadangan sel prekursor mieloid di sumsum tulang. Jangan diberikan
setelah 24 jam pemberian sitostatik karena dapat meningkatkan sensitivitas.2,17
Dapat juga diberikan recombinat human granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF) yang dapat mengaktifkan dan menstimulasi produksi, stimulasi,
migrasi dan sitotoksisitas dan neutrofil. Dosis yang dapat diberikan 5ug/kg berat
badan /hari subkutan. Efek samping yang dapat terjadi, risiko untuk berkembang
menjadi sindrom mielodisplastik atau leukemia mieloid akut. Human IL-3 dengan
dosis sampai 1000ug/m2/hari juga dapat merangsang aktivitas sistem hematopoetik
bila diberikan bersama faktor pertumbuhan yang lain. Faktor pertumbuhan ini
merupakan terapi tambahan pada anemia aplastik yang dengan infeksi, dan berguna
pada pasien anemia aplastik berat karena stem cell pada sumsum tulang yang sangat
kurang.2,12,17 Penelitian yang mempelajari efek GMCSF, IL-3, IL-6, dan G-CSF
didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling baik dalam memperbaiki respons
hematopoesis.22

Terapi obat kombinasi


Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik
hasilnya Iebih memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal.
Kombinasi ALG, metilprednisolon dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial
atau total sebesar 65%.5,23 Kombinasi lain antara ATG, siklosporin A dan G-CSF
dilaporkan memberikan respon hematopoetik yang memuaskan dengan penurunan
angka kematian.
Penelitian yang dilakukan Stephen Rosenfeld dkk, dengan metode kohort
pada 122 pasien yang diberikan 40 mg/kg berat badan /hari dengan ATG selama 4
hari dan 10-12 mg/kg berat badan /hari, siklosporin A selama 6 bulan dan
pemberian jangka pendek kortikosteroid didapatkan kurang lebih setengah dan
pasien anemia aplastik berat mempunyai waktu penyembuhan yang lebih baik
dengan hasil jangka panjang yang memuaskan.15,24
Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada
pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesintasan 7 tahun
yang memuaskan pada 55% kasus.32 Kombinasi ATG dan CsA merupakan terapi
imunosupresan lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat.25,26
- Transplantasi sumsum tulang (TST)
Transplantasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat pertama
kali dilakukan pada tahun 1970. Sayangnya hanya 25-30% pasien yang
mendapatkandonor yang diharapkan.2,5 Pengobatan anemia aplastik dengan
transplantasi sumsum tulang meningkatkan angka kesintasan sekitar 60-70%.
Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon yang lebih
baik lagi sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum tersensitisasi
oleh paparan antigen sebelumnya.4,11
Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 1305 pasien didapatkan angka
kesintasan 5 tahun meningkat dan 48% ±7% pada tahun 1976-1980 menjadi
66%±6% pada tahun 1988-1992 (p<0,0001).
Risiko terjadinya graft-versus-host-disease (GVHD) dan pneumonia
interstisial menurun tetapi risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak.27
Penelitian lainyang dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastikdidapatkan
bahwa TST menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab
morbiditas dan
mortalitas yang utama akibat GVHD kronik.28
Penelitian yang dilakukan terhadap 6.691 pasien yang dilakukan TST
alogenik temyata kemungkinan dapat sembuh lebih besar, meskipun beberapa
tahun setelah TST mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan populasi normal.29
Sulitnya mencari donor yang sesuai dengan pasien, dapat diatasi dengan TST yang
berasal dan cord blood; dan penelitian yang dilakukan terhadap 78 pasien yang
mendapat TST cord blood dan donor yang related, dan 65 pasien yang dilakukan
TST dengan donor unrelated, disimpulkan bahwa cord blood adalah altematif yang
mungkin sebagai sumber sel induk untuk TST padaanak-anak dan dewasa dengan
kelainan hematologis mayor, terutama jika donor dan recipient related.30
Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD, graft failure dan
infeksi. Penelitian retrospektifyang dilakukan Min CK, dan kawan-kawan
terhadap40 pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik didapatkan
insidens graft failure, GVHD akut, GVHD kronis masing-masing 22,5%, 12,8%
and 23,1%.sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia interstisial dan 2,5%
pneumonia.31

Efek jangka panjang pada pengobatan anemia aplastik


Pengobatan anemia aplastik baik dengan TST maupun dengan penggunaan
imunosupresan menimbulkanefek jangka panjang pada pasien. Pasien yang mampu
bertahan hidup akan berisiko terkena keganasan. Angka kejadian sindrom
mielodisplasia dan leukemia akut lebih tinggi dibandingkan dengan TST.
(Tabel1) Dari laporan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dampak jangka
panjang terapi anemia aplastik mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadi tumor
padat, sindrom mielodisplastik dan leukemia akut setelah terapi TST dan
imunosupresan.5,32
Tabel 1. Efek jangka panjang pengobatan anemia aplastik

Penatalaksanaan dalam Bidang Kedokteran Gigi pada Pasien Dengan Anemia


Aplastik
Seperti kita ketahui pada anemia aplastik pasien mengalami bisitopenia atau
pansitopenia. Pada rongga mulut, leukopenia akan menyebabkan infeksi berupa
ulserasi mulut, sedangkan trombositopenia akan menyebabkan perdarahan pada
mukosa seperti petheciae, perdarahan gusi dan lain-lain, pada pasien dengan anemia
aplastik juga rentan terhadap infeksi bakteri dan jamur pada rongga mulut.
Manajemen dental untuk menghilangkan gejala di rongga mulut harus
dibarengi dengan terapi sistemik dari anemia itu sendiri. Pada beberapa kasus
seperti ulserasi kita dapat meresepkan anastesi kumur seperti benzodyamine HCL,
dibarengi dengan pemberian vitamin B12, asam folat dan zat besi. Terapi lokal
untuk ulser dapat dilakukan. Pemberian oral hygiene instruction dan dental health
education merupakan sesuatu yang wajib dilakukan.
Anestesi tidak sadar atau sedasi selama tindakan kedokteran gigi tidak
disarankan karena dikhawatirkan menimbulkan hipoksia. Tindakan bedah seperti
pencabutan gigi harus dilakukan konsultasi dengan dokter penyakit dalam yang
merawat.
Untuk kasus dengan perdarahan gusi atau mukosa dan pasien denga
trombositopenia, tindakan bedah minor sekalipun seperti skeling dan rootplaning
dihindari, pemberian vitamin K dan agen pembekuan darah mungkin diperlukan.

Penatalaksanaaan di bidang prostodonsia


Pada pasien dengan anemia aplastik yang dicurigai disebabkan oleh paparan
bahan kimia penggunaan prostesa berbahan akrilik dihindari. Pilih bahan kerangka
logam yang dipadukan dengan porselen. Sebisa mungkin dkungan gigi lebih
diutamakan dibanding dukungan mukosa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder. Anemia Aplastik .Buku
Ajar IlmuPenyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
Hal: 627-633
2. Isyanto, & Abdulsalam, M. (2005). Masalah Pada Tata Laksana Anemia
Aplastik Didapat. Sari Pediatri, 7(1), 26–33.
3. Young, N. S. (2013). Current concepts in the pathophysiology and treatment
of aplastic anemia. Hematology / the Education Program of the American
Society of Hematology. American Society of Hematology. Education Program,
2013(8), 76–81. https://doi.org/10.1182/asheducation-2013.1.76
4. Oehadian M. 2012. Pendekatan klinis dan diagnosis anemia. CDK-194/ vol. 39
no. 6.
5. Yunita D. 2015. Anemia.
http://www.academia.edu/18750689/Makalah_Anemia. Diakses pada 5
November 2018.
6. Kasinah. 2015. Asuhan keperawatan pada anemia. Fakultas Ilmu Kesehatan
UMP. http://repository.ump.ac.id/4996/6/Karsinah%20BAB%20II.pdf.
Diakses pada 5 November 2018.
7. Price, E. A., Mehra, R., Holmes, T. H., & Schrier, S. L. 2011. Anemia in older
persons: Etiology and evaluation. Blood Cells, Molecules, and Diseases. 46(2),
159–165.
8. Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011. [cited
2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com
9. Schrier SL. Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult.
January 2011. [cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com
10. Teff eri A. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo
Clin Proc. 2003;78:1274-80.
11. Mehta BC. Approach to a patient with anemia.Indian J Med Sci.2004;58:26-9.
12. Karnath BM. Anemia in the adult patient. Hospital Physician 2004:32-6.
13. Schrier SL. Macrocytosis. January 2011. [cited 2011, June 9 ]. Available from:
www.uptodate.com
14. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p :
3-16.
15. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps
TJ. Williams Hematology. 6ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.
16. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik
Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.
17. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment.
[serial online]1999;70:46-52. Avaiable from:
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi /reprint/103/11/46. Accessed
July 07, 2008.
18. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In:
Handin RI, Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology.
2 ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.
19. Bakhshi S. Aplastic Anemia. Avaiable from : http://emedicine.medscape.com
/article/198759. Accessed July 07, 2008.

Anda mungkin juga menyukai