Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang karakteristiknya berupa


disregulasi dari karbohidrat, protein, dan metabolism lipid. Tanda khas dari gangguan
ini adalah meningkatnya kadar gula darah (hiperglikemi), yang dihasilkan dari defek
sekresi insulin dari pankreas, perubahan kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemi
yang terus menerus dapat berdampak pada semua jaringan tubuh dan berhubungan
dengan komplikasi multiple system organ, termasuk mata, saraf, ginjal, dan
pembuluh darah (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Penyakit ini ditandai dengan abnormalnya kadar gula darah dan
penggunaannya dan diklasifikasikan oleh American Diabetic Association (ADA)
menjadi 4 tipe. Empat tipe ini ditentukkan oleh mekanisme mendasar, setiap tipe
menunjukkan kadar glikemia yang berbeda (Little, James W., et al, 2013).
Diabetes mellitus tipe 1 (insulin dependent diabetes melitus/ IDDM) terjadi
karena kerusakan sel β langerhans (sel penghasil insulin) pada pankreas, umumnya
menjurus pada kekurangan insulin absolut /mutlak. Diabetes mellitus tipe 2 (non-
insulin dependent diabetes melitus/ NIDDM) penyebabnya bervariasi yang terutama
adalah resistensi insulin (jumlah insulin banyak, tetapi tidak dapat berfungsi) dapat
juga disertai kekurangan insulin relatif, ganguan produksi ( sekresi ) insulin. Diabetes
tipe spesifik lainnya terdiri dari lebih 56 kondisi patologis yang berhubungan dengan
defek genetik di fungsi sel β, seperti penyakit atau infeksi yang menyebabkan
diabetes. Diabetes Gestational merupakan kondisi diabetes sementara yang dialami
selama masa kehamilan (Little, James W., et al, 2013).
Diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi yang memudahkan terkena
penyakit gingivitis dan periodontitis. Diabetes menyebabkan perubahan jaringan
periodontal, mukosa mulut, fungsi kelenjar saliva, dan peningkatan resiko karies
(Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).

1
Diabetes mellitus sangat penting bagi dokter gigi, karena dokter gigi terletak
di posisi sebagai anggota dari tim kesehatan yang mendeteksi banyak kasus dari
penyakit ini. Dokter gigi juga harus dapat memberikan pasien manajemen medis
terhadap penyakitnya tanpa membahayakan keselelamatan pasien. Aspek krusial dari
pasien gigi yang mempunyai diabetes itu ditentukkan dari tingkat keparahan penyakit
dan tingkat control glikemik nya, sebagaimana adanya komplikasi dari diabetes,
sehingga perawatan gigi yang tepat dapat diberikan. Penentuan terpenting adalah
pengetahuan akan kadar gula darah pasien pada saat perawatan gigi diberikan (Little,
James W., et al, 2013).

2
BAB II
ISI

2.1 Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus berasal dari bahasa latin, yang mengacu pada rasa manis
atau madu (mellitus) pada air seni yang menjadi ciri penyakit ini. Diabetes mengacu
pada berlebihnya jumlah kadar gula (glukosa) di dalam darah. kondisi ini umumnya
terkait dengan tidak berfungsinya pankreas. Pankreas memegang peranan penting
dalam proses pencernaan, dengan menghasilkan enzim yang diperlukan untuk
memecah (memetabolisasi) makanan yang masuk. Peran kunci pankreas lainnya
boleh dikatakan sebagai pengendali bahan bakar. Pankreas mengatur pemakaian gula
darah tubuh, yang memberikan energi bagi seluruh sel tubuh, memberi bahan bakar
pada otak dan organ serta jaringan tubuh lainnya (Littin, Scott C., 2009).
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejalan yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resitensi insulin
(Suyono, Slamet., dkk, 2011).
Diabetes mellitus disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif baik
karena pengeluaran insulin dari pankreas yang sedikit atau karena tidak responsifnya
jaringan perifer terhadap insulin. Penyakit ini dapat mengenai individu dari segala
usia, tetapi lebih sering mengenai individu lanjut usia dan individu dengan obesitas
(Zambito, R.F. Sciubba, J.J., 1997 dan dan Ship, J.A. 2003).
Hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas penting untuk
menjaga keseimbangan kadar glukosa darah, ≥126mg/dL atau >7mmol/L gula darah
puasa dan gula darah sewaktu ≥200mg/dL atau >11,1mmol/L. Apabila terdapat
gangguan kerja insulin baik kualitas maupun kuantitias, maka keseimbangan tersebut
menjadi terganggu dan glukosa darah akan cenderung naik (Riaz, S. 2009).
Penyebab terjadinya diabetes mellitus adalah ketidak mampuan sel β pulau
langerhans pada pankreas untuk memproduksi hormon insulin (dalam jumlah cukup)

3
yang mengakibatkan kuantitas dan kualitas insulin yang diproduksi tidak sesuai
dengan kebutuhan metabolisme glukosa. Bila terjadi cacat pada sel β pankreas , maka
insulin tidak dihasilkan secara normal, akibatnya sebagian besar glukosa didalam
darah tidak dapat masuk kedalam sel jaringan tubuh untuk proses metabolisme,
sehingga glukosa yang tertimbun didalam darah makin lama makin bertambah
banyak. Hal ini mengakibatkan kadar glukosa di dalam darah akan berlebihan
(disebut hiperglikemia) dan sel jaringan tubuh kekurangan glukosa, karena glukosa
darah berlebihan maka sebagian glukosa akan dikeluarkan bersama urin. Atas dasar
uraian diatas, maka yang disebut diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang
biasanya bersifat herediter yang ditandai dengan adanya glukosa didalam urin
(glukosuria) (Tjay, T.H, Rahardja, K., 2007).
Untuk dapat memahami definisi itu lebih jelas, ada baiknya diterangkan
terlebih dahulu apa yang terjadi pada orang yang tidak menderita diabetes atau
normal (Suyono, Slamet., dkk, 2011).

2.2 Patofisiologi
Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia
yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabloisme itu insulin memegang peranan yang sangat
penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan oleh sel
β di pankreas.
Tampak pada gambar 2.1, dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup
dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan
sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel sehingga glukosa dapat masuk sel untuk
kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya kadar glukosa dalam darah
normal.

4
Gambar 2.1. Normal insulin sensitif (Sumber: Suyono, Slamet, 2011)

Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada
keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resistensi insulin), meskipun insulin ada dan
reseptor juga ada, tetapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel
tidak dapat terbuka (tetap tertutup) hingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk
dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap di luar sel, hingga kadar glukosa
dalam darah meningkat.

Gambar 2.2 Diabetes tipe 2 resistensi insulin (Sumber: Suyono, Slamet, 2011)

5
2.3 Tanda dan Gejala
Biasanya diabetes berkembang secara bertahap dan hanya memperlihatkan
beberapa tanda atau gejala (kalau ada). Ini terutama umum terjadi pada DM tipe 2.
Ada kalanya tanda dan gejala muncul secara tiba-tiba, seperti: (Littin, Scott C. 2009)
 Rasa haus yang semakin meningkat
 Sering buang air kecil
 Rasa lapar
 Rasa seperti terkena flu, termasuk rasa lelah dan lemah.
 Turunnya berat badan dengan penyebab yang tidak jelas
 Pandangan menjadi kabur/buram
 Mudah tersinggung atau jadi cepat marah
 Lambatnya penyembuhan luka iris dan luka jatuh\rasa kesemutan atau
mati rasa di tangan atau kaki
 Gusi merah bengkak dan jadi sensitif
 Infeksi gusi, kulit, vagina atau kandung kemih yang sering kambuh.

Ketika kadar gula dalam darah tinggi, ginjal tidak lagi sanggup menyerap
kembali semua gula yang tersaring itu. Gula yang bersirkulasi itu akan membawa air
yang berasal dari jaringan tubuh. Akibatnya, orang yang bersangkutan akan
mengalami dehidrasi dan merasa haus. Untuk mengganti cairan yang keluar itu,
penderita terus menerus akan minur air dan minuman lainnya (Littin, Scott C. 2009).

Gejala yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah ditandai
gejala 3P, poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia
(banyak makan) (Riaz, S. 2009).

6
2.4 Prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai tahun delapan puluhan telah
dilaksankan di berbagai kota di Indonesia, prevalensi diabetes berkisar antara 1,5%
s/d 2,3%, kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar 6%. Hasil penelitian
epidemiologis beikutnya tahun 1993 di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya
peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun
1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok, daerah sub-urban di selatan Jakarta
menjadi 12,8%. Demikian pula prevalensi DM di ujung pandang (daerah urban),
meingkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998 dan terakhir
pada tahun 2005 menjadi 12,5% (Suyono, Slamet., dkk, 2011).
Di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di suatu kota kecil di Jawa Barat
angka itu hanya 1,1%. Disuatu daerah di Tanah Toraja didapatkan prevalensi DM
hanya 0,8%. Disini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural (Suyono, Slamet.,
dkk, 2011).

Gambar 2.3. Prevalensi Diabetes mellitus di berbagai kota di


Indonesia. (Sumber: Suyono, Slamet, 2011)

Melihat tendensi kenaikan DM secara global yang tadi dibicarakan terutama


disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1

7
atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM tipe 2 di Indonesia akan meningkat
dengan drastis, yang disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Faktor keturunan (genetik)
2. Faktor kegemukan (obesitas)
 Perubahan gaya hidup tradisional ke gaya hidup barat
 Makan berlebihan
 Hidup santai, kurang gerak badan
3. Faktor demografi
 Jumlah penduduk meningkat
 Urbanisasi
 Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat
4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi (Suyono, Slamet., dkk,
2011).

Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum


perkiraan penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi
prevalensi DM sbesar 4,6%, diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6juta.
Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun
2020 nanti aka nada sejumlah 178juta penduduk berusia diatas 20tahun dan dengan
asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes
(Suyono, Slamet., dkk, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya dikeluarkan
pada desember 2008 menunjukkan bahwa prevalensi nasioanal untuk TGT 10,25%
dan diabetes 5,7% (1,5% pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya dan
4,2% baru ketahuan diabetes pada saat penelitian) (Suyono, Slamet., dkk, 2011).

8
Gambar 2.4. Prevalensi diabetes di Indonesia tahun 2008.
(Sumber: Suyono, Slamet, 2011)

Dengan hasil penelitian ini maka kita sekarang untuk pertama kali punya
angka prevalensi nasional. Sekedar untuk perbandingan menurut IDF pada tahun
2006 angka prevalensi Amerika Serikat 8,3% dan China 3,9%, jadi Indonesia berada
diantaranya (Suyono, Slamet., dkk, 2011).

2.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan American Diabetes Assosiation
(ADA ) 1997, yang ditetapkan berdasarkan penyebabnya yaitu : diabetes mellitus tipe
1 (insulin dependent diabetes melitus/ IDDM), diabetes mellitus tipe 2 (non-insulin
dependent diabetes melitus/ NIDDM), diabetes mellitus gestasional, diabetes tipe lain
disebabkan bermacam–macam misalnya defek / cacat genetik fungsi sel β , defek
genetik kerja insulin, pankreatitis, dan obat / zat kimia, infeksi (Greenberg, M.S.,
Glick, M, 2003, Tjay, T.H, Rahardja, 2007, Riaz, S. 2009).
1. Diabetes mellitus tipe 1 (insulin dependent diabetes melitus/ IDDM) terjadi
karena kerusakan sel β langerhans (sel penghasil insulin) pada pankreas, umumnya
menjurus pada kekurangan insulin absolut /mutlak, penyebabnya adalah autoimun
dan idiopatik. Onset dari penyakit ini sering datang tiba-tiba. Pada pasien ini terdapat
gejala dari diabetes, yaitu poliuria (urine berlebih), polidipsia (haus), polifagia
(banyak makan), dan tanda-tanda dari diabetes seperti pruritis, kelemahan dan lelah.

9
Pasien ini lebih mudah untuk menderita komplikasi sistemik yang berat. Diabetes tipe
1 ini dapat terjadi setelah infeksi virus. Biasanya tipe ini terjadi pada pasien yang
berumur di bawah 40 tahun. Pada diabetes mellitus ini, pasien mutlak membutuhkan
insulin.
2. Diabetes mellitus tipe 2 (non-insulin dependent diabetes melitus/ NIDDM)
penyebabnya bervariasi yang terutama adalah resistensi insulin ( jumlah insulin
banyak, tetapi tidak dapat berfungsi) dapat juga disertai kekurangan insulin relatif ,
ganguan produksi ( sekresi ) insulin. Waktu timbul dari tipe ini (onset) biasanya
berangsur-angsur, dan kondisi ini sering dihubungkan dengan obesitas. Resiko
terjadinya diabetes tipe 2 ini meningkat dengan bertambahnya usia dan kurangnya
aktifitas fisik seperti berolah raga. Tipe ini biasanya lebih umum pada orang dengan
hipertensi dan dislipidemia. Tipe ini diturunkan melalui gen dominan dan lebih sering
terjadi pada usia 40 tahun keatas.
3. Diabetes tipe lain disebabkan bermacam–macam misalnya defek / cacat
genetik fungsi sel β , defek genetik kerja insulin, pankreatitis, dan obat / zat kimia,
infeksi.
4. Diabetes Mellitus Gestasional yaitu kondisi diabetes sementara yang
dialami selama masa kehamilan.
Diabetes tipe 2 merupakan bentuk diabetes yang paling banyak ditemui dan
mencapai hingga 90% dari seluruh penderita diabetes. Diabetes mellitus tipe 2 paling
banyak dijumpai pada populasi dewasa yang juga merupakan populasi periodontitis
kronis. Efek sinergis akumulasi plak dan kalkulus merupakan respon host yang
efektif di dalam mempengaruhi tingkat keparahan dan perluasan destruksi periodontal
pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sehingga sangat sulit untuk mengontrol kondisi
sistemiknya (Tjay, T.H, Rahardja, 2007).

Peningkatan diabetes melitus tipe 2 pada remaja dan dewasa muda telah
diobservasi dan dihubungkan dengan peningkatan berat badan (obesitas) pada masa
juvenil (remaja). Sebagai tambahan, diabetes mellitus tipe 1 yang diobservasi pada

10
anak-anak, remaja dan dewasa muda mungkin memegang peranan penting untuk
meningkatkan destruksi periodontal apabila tidak dikontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa periodontitis kronis yang diperparah dengan komplikasi diabetes mellitus tipe
1 dan 2 dapat meningkatkan resiko keparahan penyakit periodontal dan akan
mempengaruhi dalam hal terapi klinis (Greenberg, M.S., Glick, M, 2003, Tjay, T.H,
Rahardja, 2007 ).
Penanganan diabetes secara umum dapat dengan melakukan diet, rajin berolah
raga, berhenti merokok. Bila diperlukan dapat juga dilakukan pengobatan sesuai tipe
diabetes yang diderita oleh individu (Tjay, T.H, Rahardja, 2007 ).

2.6 Komplikasi Diabetes


Penyebab utama tingginya tingkat kesakitan dan kematian pada diabetes
adalah komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang mempengaruhi sistem
organ multiple. Tabel (2-1) Orang dengan diabetes memiliki peningkatan resiko
kebutaan, gagal ginjal, myokardial infark, stroke, amputasi limb, inang penyakit
maladies (Greenberg and Glick, 2003). Onset dan progress komplikasi ini
berhubungan dengan adanya hiperglikemi berkelanjutan.

11
Komplikasi vaskular merupakan hasil dari atherosclerosis dan
microangiopathy. Peningkatan deposit lipid dan pembentukan atheroma terlihat pada
pembuluh darah yang lebih besar, sejalan dengan peningkatan ketebalan dinding
arteri. Proliferasi sel endotelial, perubahan pada membran dasar endothelial dan
perubahan fungsi sel endotelial memicu kerusakan microvaskular. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).
Patofisiologi komplikasi diabetes merupakan hal kompleks. Kontrol glikemik
yang rendah merupakan faktor resiko utama terjadinya komplikasi, tetapi tidak semua
pasien yang tidak terkontrol mengalami diabetes. Hiperglikemik merubah fungsi
multiple cell type dan matriks ekstraselulernya . Hal ini menyebabkan perubahan
struktural dan fungsional pada jaringan yang terluka. Penelitian saat ini berfokus pada
metabolisme lipoprotein dan glication protein lipids dan asam nuclei mempunyai
hubungan yang erat dengan perbedaan komplikasi diabetes. (Greenberg, M.S., Glick,
M., 2003).

12
Fungsi membran sel ditentukan oleh bilayer phospholipid, perubahan pada
metabolisme lipid berefek besar pada fungsi sel. Oksidasi dari sirkulasi low density
lipoprotein (LDL) dalam individu hiperglikemik meningkatkan stress oxidant dalam
vaskulatur. Hal ini memicu chemotaksis monosit dan makrofag dalam dinding sel ,
dimana LDL teroksidasi menyebabkan perubahan adhesi selulerr dan meningkatkan
produksi sitokin dan growth factor. Growth factor memicu stimuli proliferasi sel otot
halus meningkatkan ketebalan dinding pembuluh darah . Perubahan lain termasuk
peningkatan formasi atheroma dan pembuatan microthrombi dalam pembuluh darah
yang lebih besar dan perubahan permeabilitas vaskular dan fungsi endothelial sel
dalam mikrovaskular (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Glikasi protein, lemak dan asam nuklei meningkat dengan hiperglikemi
berkelanjutan. Mikrovaskular retina, renal glomerullus dan arm endoneurial seperti
dinding pembuluh darah yang lebih besar, mengakumulasi deposit dari glycated
protein yang disebut advanced glication end products (AGE). Pembentukan AGE
merubah bagian-bagian struktural dan fungsional jaringan yang terkena. Contohnya
pembentukan AGE pada makromolekul kolagen. Kolagen AGE termodifikasi
berakumulasi, menebalkan dinding pembuluh darah dan mempersempit lumen. AGE
modified arterial colagen mengimobilisasi sirkulasi DL berpengaruh terhadap
pembentukan atheroma. Akumulasi AGE menyebabkan penebalan dasar membran
pada mikrovaskular retina dan sekitar nervus dan meningkatkan ketebalan matriks
mesangial pada glomerolus. Efek komulatif perubahan ini adalah penyempitan lumen
secara progresif dan menurunkan perfusi jaringan yang terkena. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).
Pembentukan AGE juga memiliki efek mayor pada level seluler,
menyebabkan modifikasi dalam komponen matriks extracellular dan perubahan
dalam interaksi “sel ke matriks” dan “matriks ke matriks”. Perlekatan AGEs terhadap
reseptor spesifik seluler telah diidentifikasi pada permukaan sel otot hallus, sel
endotelial, neuron, monosit dan makrofag menghasilkan peningkatan permeabilitas
vaskular dan pembentukan thrombus, proliferasi otot halus pada dinding pembuluh

13
darah dan perubahan phenotypic dalam monosit dan makrofag. Hasil akhirnya
menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflammatory dan growth factor
tertentu. Sitokin dan growth factor berkontribusi terhadap proses inflamasi kronis
pada pembentukan lesi atherosklerotik. Mereka juga merubah wound healing.
Peningkatan produksi mediator proinflamatory menghasilkan peningkatan destruksi
jaringan sebagai respon terhadap antigen, misalnya bakteri yang menyebabkan
penyakit periodontal. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Perubahan metabolisme protein dan lemak memicu peningkatan karakteristik
kadar gula plasma pada diabetes, sehingga terjadi hubungan antara berbagai variasi
diabetes. Bagaimanapun perubahan metabolik ini bervarias pada setiap individu.
(Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
2.7 Management
Tujuan utama perawatan primer pada pasien diabetes termasuk mendapat
kadar gula darah mendekati normal dan mencegah komplikasi diabetes. Tujuan
lainnya adalah pertumbuhan dan pembangunan normal, berat badan normal,
pencegahan sustained hiperglikemi atau hipoglikemi simptomatik, pencegahan
diabetes ketoasidosis dan nonketotik asidosis dan deteksi awal dan perawatan
komplikasi diabetik jangka panjang. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Diet, olah raga, kontrol berat badan dan medikasi merupakan fokus utama
perawatan diabetes. Obesitas umum terjadi pada diabetes tipe 2 dan berkontribusi
terhadap resistensi insulin. Penurunan berat badan dan olah raga meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin dan memudahkan penggunaannya oleh jaringan
target. Medikasi primer yang digunakan pada manjemen diabetes tipe 1 adalah
insulin, dimana pasien diabetes tipe 1 bergantung padanya untuk bertahan. Individu
diabetes tipe 2 mengkonsumsi medikasi oral secara berkala meskipun juga
menggunakan insulin untuk kontrol glikemik. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Manajemen medis dan tujuan perawatan diabetes telah berubah sejak
publikasi Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) tahun 1993. Prospektif
ini secara random. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diberikan ineksi

14
insulin secara intensif sebanyak 3 sampai 4 kali per hari memiliki kontrol gllikemik
lebih baik dan pengurangan resiko retinopati dibandingkan pasien yang diberi dosis
konvensional sebanyak 1 sampai 2 suntikan insuli per hari. Gejala dan tanda klinis
dan labolatoris neuropathy dan nephropathy berkkurang dari 54% ke 60 %.
Komplikasi makrovaskuler juga berkurang. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
American Diabetic Assosiation mendeklarasikan bahwa tujuan perawatan
primer pada diabetes tipe 1 seharusnya untuk mendapat gula darah terkontrol
‘minimal sama dengan intensively treated cohort” oleh DCCT. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).
2.7.1 Oral Agent
Sejumlah oral agent tersedia untuk merawat diabetes, kebanyakan untuk
merawat diabetes tipe 2. Sulfonylurea generasi pertama tidak banyak digunakan saat
ini. Mereka sudah digantikan oleh agen generasi kedua yang lebih poten, lebih sedikit
interaksi obat dan lebih sedikit efek sampingnya. Sulfonylurea menstimulasi sekresi
insulin pankreatik. Peningkatan kuantitas sekresi insulin menyebabkan entry glukosa
lebih besar pada sel target sehingga menurunkan kadar glukosa darah. Sulfonylures
diminum satu sampai dua kali perhari. Efek samping dari sulfonylurea adalah
hipoglikemik sehingga intake makanan harus adekuat. (Greenberg, M.S., Glick, M.,
2003).
Repaglinin menstimulasi sekresi insulin pankreatik, Repaglinin diabsorpsi
cepat, mencapai kadar plasma puncak dalam 30-40 menit lalu dimetabolisme cepat.
Obat ini diminum dengan makanan dan menurunkan puncak post prandial plasma
glukosa umum dengan diabetes tipe 2 ke derajat lebih besar. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).
Metformin merupakan agen biguanide yang menurunkan glukosa plasma
terutama dengn mencegah glycogenolysis pada hati. Metformin meningkatkan
penggunaan insulin, karena tidak menstimulasi peningkatan sekresi insulin, obat ini
sedikit menyebabkan hipoglikemik. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).

15
Agen thiazolidinedione trolirasaine, rosiglita zone dan pioglitozone berfunsi
untuk meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin, sehingga meningkatkan
utilisasi glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Obat ini menurunkan hepatik
glukoneogenesis dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemik. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).
Acarbose diminum dengan makanan dan memperlambat pencernaan dan
uptake karbohidrat. Obat ini menurunkan puncak post prandial plasma glukosa.
Acarbose tidak menyebabkan hipoglikemi. Tetapi jika absorpsi terhambat pada
pasien yang kadar plasma insulinnya meningkat kerena injeksi insulin atau
penggunaan sulfonylurea. Kadar glukosa pada aliran darah tidak akan defisien. Untuk
mencegah hipoglikemik. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).

2.2

16
2.7.2 Insulin
Semua pasien diabetes tipe 1 menggunakan insulin exogenous seperti
kebanyakan diabetes tipe 2. Insulin diberikan via injeksi subkutaneus dengan syringe.
Insulin infusion pumps memberikan insulin melalui catheter subkutaneus. Preparat
insulin bervariasi, onset, puncak dan durasi aktivitas bervariasi dan diklasifikasikan
sebagai long, intermediate, short atau rapid acting.( Tabel 2.3) (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).

Tabel 2.3

Idealnya penggunaan insulin exogenous memberikan profil insulin


menyerupai pada individu nondiabetik dengan continuous basal level insulin tersedia
oleh peningkatan yang menyertai setiap kali makan. Tidak ada preparat insulin
tunggal yang dapat mencapai tujuan ini hanya dengan 1 sampai 2 kali injeksi per hari.
Kombinasi dari preparat insulin yang berbeda diambil 3 kali atau lebih atau
penggunaan infus pumps subkutaneus mendekati profil ideal tetapi bahkan dengan
preparat seperti ini kadar glukosa darah sering tidak stabil. (Greenberg, M.S., Glick,
M., 2003).
Ultralente insulin merupakan longest acting insulin, sering disebut juga
peakless insulin. Ultralente mempunyai onset of action sangat lambat, aktivitas
puncak minimal dan duration of action lama. Biasanya dipilih untuk menyerupai
tingkat metabolik basal sekresi insulin dari pankreas normal. (Greenberg, M.S.,
Glick, M., 2003).

17
Intermediate acting insulin (Lente dan neutral Protamine Hagedorn(HPN))
memerlukan waktu beberapa jam setelah injeksi untuk memulai efeknya. Aktivitas
puncak bervariasi diantara individu dan tempat injeksi tetapi umumnya terjadi antara
4-6 jam setelah injeksi. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Regular insulin atau short acting mempunyai onset aktivitas 30 sampai 1 jam
setelah injeksi serta aktivitas puncak 2-3 jam. Rapid acting insulin disebut lispro
insulin diabsorpsi cepat, aktif setelah kurang lebih 15 menit setelah injeksi dan
mencapai aktivitas puncak dalam 30-90 menit. Rapid dan short acting insullin
diminum sesaat atau pada saat makan. Regular insulin yang diminum sebelum
sarapan akan mencapai puncak aktivitasnya pada saat pertengahan pagi. (tabel.2.4)
Tabel 2.4

18
Komplikasi umum pada terapi insulin adalah hipoglikemia, berpotensi
kedaruratan yang mengancam nyawa. Hipoglikemi lebih sering terjadi pada orang
yang menggunakan insulin daripada sulfonylurea. Regimen perawatan intensif untuk
perawatan diabetes meningkatkan resiko hipoglikemi. Sehingga terlihat keuntungan
jangka panjang pengurangan komplikasi diabetes pada perawtan intensif harus
dipertimbangkan melawan peningkatan resiko dari simptomatik low blood Glucose.
Pada DCCT insidensi hipoglikemik parah pada pasien yang tidak sadar atau
membutuhkan asisten meningkat tiga kali lipat pada penanganan cohort daripada
grup kontrol konvensional. Sepertiga episode hipoglikemik parah mengakibatkan
seizure atau kehilangan kesadaran. Sebagai tambahan, 36% episode tersebut terjadi
tanpa gejala peringatan pasien. (Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).
Fenomena ini disebut “hypoglycemia unawareness” yang sering terjadi pada
pasien diabetes dengan kontrol glikemik bagus daripada yang kontrolnya tidak baik.
Hypoglycemia unawareness ditandai oleh ketidakmampuan untuk mengenali tanda
peringatan hypoglycemia sampai glukosa darah turun ke kadar yang sangat rendah.
Tanda dan gejala hipoglikemi umum terjadi ketika kadar gula darah turun sampai <
60mg/dL, tetapi dapat juga terjadi pada pasien diabetes dengan kurangnya kontrol
metabolik kronis. Pada pasien dengan hypoglycemia unawareness, Kadar glukosanya
turun sampai 40 mg/dL atau lebih rendah sebelum individu merasa hipoglikemik.
(Greenberg, M.S., Glick, M., 2003).

2.8 Manifestasi Oral


Diabetes mempengaruhi sebagian besar tubuh manusia, tidak terkecuali
rongga mulut. Komplikasi oral dari poorly controlled diabetes mellitus meliputi
xerostomia, infeksi bakteri virus dan jamur (termasuk candidiasis), poor wound
healing, peningkatan insidensi dan keparahan karies, gingivitis dan penyakit
periodontal, abses periapikal, burning mouth syndrome. Manifestasi oral pada pasien
uncontrolled diabetes umumnya berhubungan dengan kehilangan cairan melalui

19
urinasi, respon lanjutan infeksi, perubahan mikrovaskular, kemungkinan peningkatan
konsentrasi glukosa dalam saliva.(Little. JW et al, 2002)
Pada saat lingkungan normal rongga mulut berubah karena penurunan aliran
saliva atau perubahan komposisi saliva, mulut yang sehat beresiko terkena caries dan
penurunan kondisi mukosa. Mukosa oral yang kering, atopik dan cracking merupakan
akibat xerostomia (2002, Little. JW et al) Mukositis, ulser, deskuamasi, dan bakterial
oportunistik, infeksi virus atau jamur dan inflamasi, depapilasi, sakit lidah merupakan
masalah yang sering. Kesulitan dalam lubrikasi, mastikasi, tasting dan menelan
merupakan komplikasi xerostomia dan mungkin berkontribusi terhadap intake
nutrisi.
Konsentrasi glukosa dalam saliva parotid pada individu tanpa diabetes
bervariasi dari 0,22-1,69 mg/100mL sedangkan pada individu uncontrolled diabetes
sekitar 0,22-6,33 mg/100mL. Jika ada efeknya yaitu peningkatan insidensi karies gigi
dan lainnya. Juga terdapat peningkatan insidensi dan keparahan inflamasi gingiva,
abses periodontal dan penyakit periodontal kronis. .(Little. JW et al, 2002)
Infeksi oral fungal dapat ditemukan pada pasien diabetes tidak
terkontrol misalnya candidiasi mucormycosis langka. .(Little. JW et al, 2002)
Diabetes neuropathy dapat bermanifestasi menjadi oral symptom parestesi dan
tingling, numbness, burning atau kesakitan disebabkan perubahan patologi yang
melibatkan saraf di regio oral. Diabetes berasosiasi dengan oral burning symptom.
Beberapa penelitian menyarankan pasien yang diperkirakan “prediabetic” dapat
dibuktikan dengan adanya penebalan dan hyalinisasi pembuluh darah kecil pada
biopsi gingival (2002, Little JW et al)

20
Bajaj et al, 2012

2.9 Prosthodonti pada pasien diabetik


Menurut Naqas,et al (2013), prosthodontist yang menangani pasien semua
umur harus menyadari bahwa kelainan metabolik yang telah dikenal ini mempunyai
dampak pada penanganan prostodonti final. Saliva memiliki peran penting dalam
retensi prostetik removable dan perawatan mikrobiota oral yang dikenali dan tidak
dapat diabaikan. Diabetes melitus dikenal merubah parenkim kelenjar ludah mayor
secara kualitatif dan kuantitatif yang mengarah pada hiposalivasi. Subtitusi dari
jaringan normal glandular oleh jaringan adipose menurunkan produksi saliva dan
gejala burning mouth.
Hiposalivasi biasanya berhubungan dengan augmentasi jamur misalnya
Candida albicans dan spesies lain yang memicu kemungkinan infeksi oral.
Peningkatan konsentrasi glukosa memfasilitasi perlekatan jamur yang lebih besar ke
sel epitelial dan mengganggu mekanisme pertahanan neutrofil polimorfik.
Manifestasi Oral Candidiasis dapat terjadi dengan bentuk berbeda misalnya median
rhomboid glossitis, athropik glossitis, denture stomatitis dan angular cheilitis
Naqas,et al (2013)
Hubungan diabetes dan dentures sangat dikenal, dan keduanya cenderung
memperbesar insidensi Oral Candidiasis. Proliferasi fungi dapat dipicu oleh

21
pemakaian complete dentures, terutama pada mukosa palatal. Hubungan antara
penurunan sirkulasi vaskular lokal karena tekanan protesa dengan kebiasaan oral
hygiene yang buruk harus diwapadai pada pasien tersebut. Lesi proliferatif yang
berkaitan dengan dentures, berhubungan dengan kondisi protesa yang kurang baik,
dan pada jangka waktu pemakaian yang lama berhubungan juga dengan perubahan
jaringan pendukung keras. Selain insidensi oral candidiasis, pasien diabetes memiliki
peningkatan resiko lesi oral lain, misalnya lichen planus, leukoplakia atau
eritroplakia. (Naqas,et al 2013)
Kebanyakan pasien diabetes dengan gigi tiruan lengkap melaporkan
berubahan sensasi rasa dan kelainan sensoris lain seperti burning mouth syndrome,
disphagia, dll. Penyebab simptom kompleks adalah variasi aliran saliva, perubahan
pada kapasitas buffer saliva dan neuropathy perifer. Adanya retinopati dan neuropati
membatasi kemampuan pasien menjaga kebersihan oral dan gigi tiruannya. (Naqas, et
al, 2013)
Membran mukosa oral kehilangan resiliensinya karena xerostomia secara
tidak langsung mempengaruhi perlekatan complete denture. Resiliensi jaringan lunak
merupakan faktor penting untuk adaptasi gigi tiruan yang baik. . (Naqas, et al, 2013)
Kondisi glikemik yang rendah, xerostomia, berkurangnya kemampuan buffer
saliva, dan early onset diabetic dapat meningkatkan resiko dental caries pada pasien
diabetes. Kondisi karies membatasi penggunaan gigi sebagai gigi abutment
(penyangga) untuk fixed prosthesis dan kontruksi overdenture. . (Naqas, et al, 2013)
Delayed atau impaired wound healing terjadi pada pasien diabetes sebagai
akibat berkurangnya suplai darah ke jaringan, pengurngan oksigen ke sel, perubahan
mikrovaskular angiopatik, pengurangan produksi kolagen, peningkatan aktivitas
kolagenase. Banyak perencanaan prosedur bedah misalnya pre-prosthetic surgery
atau dental implant placement yang hanya dapat dilakukan jika kadar glikemik
normal. . (Naqas, et al, 2013)

22
Periodontitis sering disebut komplikasi keenam diabetes. Periodontitis lebih
sering dan lebih parah pada pasien diabetes daripada populasi normal. Fungsi sel
yang terlibat pada respon inflamasi ini, termasuk neutrofil, monosit, dan makrofag,
dipengaruhi oleh diabetes. Perlekatan, kemotaksis dan fagositosis neutrofil sering
terganggu. Sel ini merupakan pertahanan awal tubuh dan menghambat fungsi mereka
akan mencegah penghancuran bakteri pada poket periodontal, sehingga meningkatkan
destruksi periodontal. Respon imunoinflamatory lain tidak teratur pada pasien
diabetes. Contohnya makrofag dan monosit sering menghambat penngkatan produksi
proinlammatory sitokin dan mediator misalnya faktor nekrosis tumor (TNF-ɑ)
sebagai respon terhadap patogen periodontal, yang dapat meningkatkan host tissue
destruction. Peningkatan kadar TNF-ɑ ditemukan pada cairan darah dan gingival
crevicular, menyebabkan hiper responsif lokal dan sistemik sel imun ini. Kontrol
glikemik penting pada respon ini. . (Naqas, et al, 2013)
Kondisi compromised periodontal ini menghambat penggunaan gigi sebagai
abutment untuk gigi tiruan cekat. Pasien yang kehilangan gigi karena kesehatan
periodontal yang buruk menunjukkan peningkatan level residual ridge resorption.
Beberapa faktor misalnya penurunan suplai darah ke jaringan karena angiopati
mikrovaskular meningkatkan resopsi residual ridge. Sehingga konstruksi complete
denture (pasien diabetes) pada ridge yang teresopsi parah menjadi tantangan untuk
prosthodontist. . (Naqas, et al, 2013)
Terapi implant prosthodontik merupakan masukan yang menarik untuk alat
prosthetik fixed/removable. Beberapa studi dilakukan mengenai pengaruh diabetes
pada osteointegrasi dan keberhasilan perawatan implan. Diabetes mellitus bukan
merupakan kontraindikasi absolut untuk prostesis implan. Beberapa kriteria miaslnya
level glikemik sistemik, kontrol glikemik pada tulang, kondisi periodontal
diperhitungkan untuk pasien diabetik. Perawatan untuk poor wound healing,
gangguan osteointegrasi, peningkatan kemunkinan infeksi dan periodontitis
mempengaruhi keberhasilan terapi implan. Seleksi pasien yang tepat dengan level

23
glikemik terkontrol baik dan pemberian antibiotik adekuat meningkatkan survival of
dental implans pada pasien dengan diabetes (Naqas, T A et al. 2013)

2.10 Management Prosthodontik pada pasien diabetik


Sebagai seorang prostodontist peluang mendapatkan pasien dengan kondisi diabetes
melitus sangatlah besar. Kecermatan dalam menggali informasi dan pengenalan tanda-tanda
diabetes melitus menjadi hal yang harus dikuasai demi berhasilnya perawatan yang akan
dilakukan dan mendapatkan kepuasan dan keselamatan pasien. Kondisi oral pasien dengan
diabetes melitus meliputi xerostomia, burning mouth (kemungkinan karena neuropati),
penyembuhan luka yang tertunda, meningkatnya insidensi dan keparahan dari infeksi,
pembesaran kelenjar ludah parotis, gingivitis, dan periodontitis. Candidiasis
merupakan infeksi sekunder dari adanya xerostomia dan diantara pemakai gigi tiruan
(Patton, Lauren L., 2012).
Dengan adanya perubahan dalam tingkat vaskular pada pasien diabetes
memicu juga perubahan di lingkup oral. Prosedur dental yang rutin dikerjakan oleh
seorang prostodontis dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Prosedur pencetakan dan
Try-in, (2) Prosedur preparasi, (3) Prosedur bedah pada pemasangan implant.
1. Prosedur Pencetakan dan Try-In
Kelainan vaskular pada pasien diabetes menyebabkan perubahan serat kolagen pada
jaringan periodontal baik fungsi dan bentuknya. Diabetes melitus tidak dapat dikatakan
sebagai penyebab terjadinya periodontitis dan gingivitis, tetapi diabetes mengubah respon
jaringan periodonsia terhadap faktor lokal mempercepat resorbsi tulang dan mencegah
penyembuhan luka pasca operasi (Carranza, 2006).
Saat melakukan pencetakan pada pasien dengan Diabetes Melitus disertai
periodontitis bukan tidak mungkin gigi yang hendak dicetak dapat tercabut karena
resorbsi tulang alveolar, dan bahan cetak yang terlampau menekan terhadap gusi
dapat menyebabkan perdarahan. Kontrol yang dapat dilakukan oleh prostodontis pada
prosedur ini adalah dengan melakukan pemilihan bahan cetak yang bersifat

24
mukostatik. Sementara kontrol perdarahan dengan hemostatik lokal sudah cukup
adekuat untuk menghentikan perdarahan lokal akibat pencetakan.
2. Prosedur preparasi
Preparasi dalam pembuatan mahkota pasak atau protesa jembatan merupakan
prosedur yang memerlukan ketelitian dan terkadang memakan waktu yang cukup
lama. Dengan memepertimbangkan faktor pengurangan stress dan menjaga level gula
darah prosedur ini dapat dilakukan secara standar pada pasien dengan tingkat resiko
rendah hingga menengah. Prosedur yang lama dapat diupayakan menjadi beberapa
kunjungan dan pekerjaan diupayakan dilakukan pada pagi hari.
3. Prosedur bedah
Prosedur bedah pada pasien diabetes hanya dapat dilakukan jika faktor resiko
pasien adalah faktor resiko menengah. Dalam melaksanakan prosedur bedah pada
pasien dengan diabetes melitus perlu diingat adanya kerentanan pasien terhadap
infeksi.Kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh defisiensi polymorphonuclar
leukocyte (PMN), sebagai akibat kecacatan kemotaksis, defektif fagositosis, atau
kecacatan adherensi (Carranza, 2006). Selain kerentanan terhadap infeksi dalam
melakukan prosedur bedah pada pasien diabetes melitus perlu juga dipertimbangkan
faktor penyembuhan luka yang lambat. Penyembuhan luka yang lambat sering
dianggap sebagai kontra indikasi dari pemasangan implan dental pada pasien dengan
diabetes melitus. Pada tahun 2003 Micha Peled dkk melakukan penelitian terhadap
pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dengan diberikan perawatan implant
overdenture. Hasil penelitian ini menyimpulkan pada pasien dengan diabetes mellitus
tipe 2 yang terkontrol pemasangan implan overdentur menunjukkan hasil yang
memuaskan tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan daya
tahan implan jangka panjang pada berbagai grup pasien dengan diabetes melitus.

2.11 Klasifikasi Pasien dengan Diabetes Melitus


Dalam menangani pasien diabetes melitus, seorang dokter gigi harus terlebih
dahulu melakukan klasifikasi terhadap pasien dengan resiko diabetes

25
melitus.Pengetahuan tenatang klasifikasi pasien akan berguna dalam menentukan
derajat resiko pada pasien tersebut. Penentuan derajat resiko pasien diabetes melitus
terhadap perawatan dental akan menentukan prosedur dental apa saja yang dapat
dilakukan. Klasifikasi tersebut adalah :
1. Pasien yang tidak mengetahui dirinya menderita Diabetes Melitus
Dari seluruh pasien dengan diabetes melitus, terdapat peluang satu persen pasien
dengan kategori menderita diabetes tetapi tidak terdiagnosis. Dokter gigi harus cermat
terhadap pasien dengan kategori ini, informasi mengenai gejala diabetes seperti
polidipsia, polifagia, poliuria, dan kehilangan berat badan harus didapatkan.
Pemeriksaan darah di labaoratorium dan konsultasi dengan dokter umum diperlukan
jika hasil pemeriksaan menunjukkan tanda positif. (Naqas, T A et al. 2013)
2. Pasien yang mengetahui dirinya memiliki Diabetes Melitus
Pada pasien yang mengetahui dirinya menderita diabetes, dokter gigi harus
menggali informasi tambahan sebagai berikut: jenis diabetesnya, terapi yang sudah di
dapat, kontrol terhadap diabetesnya, dan kondisi komplikasi neurologik, vaskular,
dan ginjal serta infeksius. Pasien diminta untuk memberikan informasi spesifik
tentang rekurensi hipoglikemi, riwayat perawatan rumah sakit untuk ketoasidosis, dan
obat-obatan yang sudah diminum. Informasi mengenai pemeriksaan gula darah puasa
dan HBA1c sebisa mungkin didapatkan juga yang terbaru atau melalui konsultasi
dengan dokter umum. Setelah informasi tersebut didapatkan maka dokter gigi dapat
menentukan derajat resiko pasien dengan Diabetes Melitus sebagai berikut:
o Pasien dengan resiko rendah
Kondisi pasien dengan kontrol metabolisme yang baik dan penggunaan obat-
obatan yang stabil termasuk dalam kategori ini. Tanda lainnya adalah tidak adanya
komplikasi neurologis, vaskular dan infeksius. Kadar gula darah puasa berada pada
tingkat kurang dari 200 mg/dl, dan konsentrasi HbA1c kurang dari 7 persen.
Pada pasien dengan kondisi seperti ini dapat dilakukan semua protokol normal
untuk semua prosedur restorasi dental, dan memepertimbangkan pengurangan

26
terhadap stress, kontrol gula darah, resiko infeksi pada prosedur pembedahan. Untuk
prosedur pembedahan perlu dipertimbangkan penggunaan sedasi.
o Pasien dengan resiko menengah
Pasien yang memiliki beberapa gejala, tetapi masih dalam kondisi metabolisme yang
baik. Tidak pernah terdapat gejala hipoglikemia, dan ketoasidosis, terdapat beberapa
komplikasi diabetes. Pada pemeriksaan gula puasa, level gula darah berada pada nilai
dibawah 250 mg/dl, dan konsentrasi HbA1c diantara 7-9% dan memiliki kontrol gula darah
yang wajar. Pada pasien ini pertimbangan utama adalah kontrol gula darah, pengurangan
stress dan kontrol infeksi serta kemungkinana penggunaan sedasi pada prosedur restorasi
dental. Sementara untuk tindakan pembedahan hanya dapat dilakukan setelah berkonsultasi
dengan dokter umum, dan juga memepertimbangkan rawat inap untuk pembedahan yang
kompleks dan juga konsultasi mengenai perubahan dosisi insulin dengan dokter umum yang
merawat.
o Pasien dengan resiko tinggi
Pasien dengan resiko tinggi memiliki komplikasi multiple dan kontrol metabolisme yang
buruk. Terdapat riwayat hipoglikemi dan ketoasidosis yang sering, dan sering dipelukann
penyesuaian terhadap dosisi insulin. Pemeriksaan gula darah di lab menunjukkan nilai lebih
dari 250 mg/dl dan nilai HbA1c lebih dari 9 % termasuk dalam kategori ini. Pada pasien ini
semua prosedur dental harus ditunda hingga kondisi stabil atau lebih baik. Namun prosedur
dental pada kasus pasien dengan infeksi dental aktif perlu dilakukan upaya minimal untuk
melakukakan kontrol infeksi.

Ketika klasifikasi pasien telah dilakukan aspek yang perlu diperhatikan adalah panduan
utama dalam menatalaksana pasien dengan diabetes melitus. Terdapat tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan prosedur dental terhadap pasien dengan diabetes, yaitu:
1. Pengurangan Stress
Stress pada prosedur dental dapat terjadi sebagai akibat karena prosedur dental yang
panjang dan juga rasa nyeri pada prosedur yang dilakukan. Pada pasien dengan Diabetes
Melitus rasa stress dapat memicu berkurangnya level gla darah secara tiba-tiba dan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Dalam mengantisipasi hal ini operator dapat
melakukan upaya pengurangan stress dengan melakukan tindakan di pagi hari, pengurangan

27
waktu kerja dengan membagi prosedur perawatan ke beberapa kunjungan, dan penggunaan
anastesi sedasi jika diperlukan.
2. Instruksi Asupan Makanan
Asupan makanan bagi pasien dengan diabetes melitus merupakan hal yang penting
dalam menjaga stabilitas gula darah. Penurunan level gula darah karena berkurangnya asupan
makanan dapat menyebabkan hipoglikemia. Dokter gigi harus menginstruksikan agar pasien
makan terlebih dahulu sebelum perawatan, pemberian waktu jeda untuk makan bila prosedur
dental memakan waktu lama, pertimbangan pemberian makanan yang lunak atau cair karena
adanya kemungkinan kesulitan makan saat prosedur dental dilakukan.
3. Pengurangan Resiko Infeksi
Pasien diabetes merupakan dengan resiko infeksi tinggi. Dalam melakukan prosedur
dental, operator dental harus memperhatikan hal ini. Pencegahan infeksi dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik profilaksis ketika akan melakukan prosedur pembedahan, terapi
endodontik, dan scaling subgingiva. Penggunaan material yang non absorable lebih baik
mengingat waktu penyembuhan luka yang lama. Perawatan periodontal menjadi
pertimbangan utama dalam menjaga oral hygiene pasiem.

28
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes merupakan penyakit yang banyak ditemui pada masyarakat. Mempelajari


dan mengetahui tipe serta tindakan penanganan yang tepat akan memudahkan prosthodontist
dalam menangani pasien dengan diabetes.

29

Anda mungkin juga menyukai