Anda di halaman 1dari 27

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 15 TAHUN DENGAN TRAUMA TUMPUL


ABDOMEN HEMODINAMIK STABIL DENGAN RUPTUR LIEN

Disusun Oleh:
Ni Putu Dian Apriandary G991905047

Periode: 15 Juli 2019 – 21 Juli 2019

Pembimbing
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : An R
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tegalrejo, Boyolali
Tanggal Masuk : 13 Juli 2019
No. RM : 0146xxxx

II. Keluhan Utama


Nyeri kepala dan perut setelah KLL.
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala dan perut
setelah KLL sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien jatuh dari motornya
dengan posisi yang tidak diketahui. Pingsan (+), muntah (-), kejang (-). Oleh
keluarga pasien dibawa ke RS UNS dan dilakukan pemeriksaan radiologi (CT
Scan kepala + 3D, Genu AP + lateral, Pelvis AP, Femur AP + lateral), pemerisaan
laboratorium serta pemberian obat - obatan. Karena keterbatasan sarana, pasien
dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta untuk
penanganan lebih lanjut.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat darah sukar membeku : disangkal
V. Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal

2
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
VI. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pelajar dan berobat dengan pembiayaan JR.
VII. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Makan : 3 kali sehari dengan porsi sedang
VIII. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi lengkap.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. General Survey
Airway : Clear.
Breathing : SDV simetris kanan dan kiri, ronchi dan wheezing (-),
RR: 20 x/m.
Circulation : TD: 100/60 mmHg, HR: 60 x/menit.
a. Keadaan Umum : Kesan sakit sedang, compos mentis dengan GCS E4V5M6,
S: 36,6ºC
b. Kulit : Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),
hiperpigmentasi (-)
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik (-/-), cekung(-/-), ekimosis
(-/+), pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
e. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
f. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-).
g. Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
h. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
i. Thorak : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris

3
j. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC IV anterior dextra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II di SIC IV anterior dextra, intensitas normal,
regular, bising (-).
k. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
l. Abdomen : lihat status lokalis
m. Urinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-)
n. Ekstremitas: CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

II. Status Lokalis


Regio Abdomen

Inspeksi : tampak jejas (+) pada region hipokondriaka sinistra.


Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani

4
Palpasi : ballotement (-), massa (-), nyeri tekan nyeri tekan (+) diseluruh
lapang perut, dengan punctum maksimum di regio hipokondriaka
sinistra.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (13 Juli 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.4 g/dL 10.8 – 15.6
Hematokrit 26 % 33 – 45
Leukosit 24.1 ribu/µl 4.5 – 14.5
Trombosit 252 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.16 juta/µl 4.00 – 5.20
Golongan Darah O
Index Eritrosit
PT 17.8 detik 10.0 – 15.0
APTT 34.4 detik 20.0 - 40.0
INR 1.490 -
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 140 Mg/dl 60-100
Kreatinin 0.8 Mg/dl 0.3-0.7
Ureum 34 Mg/dl <48
HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan CT-Scan Kepala + 3D di RS UNS (13 Juli 2019)

5
Kesimpulan: Edema Cerebri dengan perdarahan sinus maxillaris sinistra
b. Pemeriksaan Foto Thorax AP di RSUD Dr. Moewardi (13 Juli 2019)

6
Kesimpulan: Tak tampak fraktur maupun dislokasi, cord dan pulmo tak
tampak kelainan
c. Pemeriksaan USG Abdomen (Hepar), Lien, Pancreas, Ginjal di RSUD
Dr. Moewardi (13 Juli 2019)

Kesimpulan: USG FAST (+) di Morrison’s Pouch, splenorenal Pouch dan


perivesica.
d. Pemeriksaan Foto Pelvis AP di RS UNS (13 Juli 2019)

Kesimpulan: Tak tampak fraktur maupun dislokasi.

7
e. Pemeriksaan Foto Pelvis AP di RSUD Dr. Moewardi (13 Juli 2019)

Kesimpulan: Tak tampak fraktur maupun dislokasi.


f. Pemeriksaan Foto Genu AP dan Lateral di RS UNS (13 Juli 2019)

Kesimpulan: Genu sinistra tak tampak fraktur maupun dislokasi.


g. Pemeriksaan Foto Femur AP dan Lateral di RS UNS (13 Juli 2019)

Kesimpulan: Femur dextra tak tampak fraktur maupun dislokasi.

8
D. ASSESMENT
1. Cidera Otak Ringan dengan GCS E4V5M6
2. Oedem Cerebri
3. Trauma Tumpul Abdomen (TTA) hemodinamik stabil dengan rupture
lien
E. PLANNING
1. Monitoring GCS, KUVS
2. Oksigenasi 3 lpm
3. Posisikan head up 30ᵒC
4. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
5. Injeksi ranitidine 25mg
6. Injeksi parasetamol 500mg/ 8 jam
7. Bed rest total
8. Menjaga hygine
9. Diet Cair

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan pelvis.
Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah atas oleh
diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang miring yang disebut
pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk bagian dari abdomen, dan
rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga abdomen meluas ke atas sampai
mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak
atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien terterdapat di
dalamnya.
Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ sistem
digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula suprarenalis, dan
plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan membrane serosa dari sistem
digestivus. Kadang-kadang ada organ sistem digestivus yang sebagian atau sementara
terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan sebaliknya kadang-kadang organ
genitalia terdapat di dalam rongga abdomen, misalnya uterus yang membesar.
Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri, pembengkakan atau
letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi sembilan region oleh dua bidang
horizontal yaitu bidang subcostalis dan bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal
yang melalui linea midklavikularis kanan dan kiri.
Regio abdomen tersebut adalah:
 Atas: hipokondrium kanan-epigastrium-hipokondrium kiri
 Tengah: lateralis kanan-umbilikalis-lateralis kiri
 Bawah: inguinal kanan-hipokondrium-inguinal kiri

Trauma Abdomen
Pendahuluan
Trauma abdomen didefinisikan sebagai cedera yang terjadi anterior dari garis
puting ke lipatan inguinal dan posterior dari ujung skapula ke lipatan gluteal. Gerakan

10
pernapasan diafragma memperlihatkan isi intraabdomen yang cedera, pada pandangan
pertama, tampaknya terisolasi ke dada.
Cedera perut traumatik diklasifikasikan lebih lanjut sebagai intraperitoneal atau
retroperitoneal. Cedera intraperitoneal lebih terarah untuk didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik. Dalam cedera ini, baik sistem nyeri parietal dan visceral terpengaruh.
Reseptor nyeri parietal menyebabkan nyeri lokal, seperti cedera hati atau limpa. Reseptor
nyeri viseral klasik menyebabkan nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi umumnya terkait
dengan hemoperitoneum atau cedera viskus berongga. Cedera intraperitoneal dapat hadir
sebagai nyeri alih ke bahu, skapula, panggul, toraks, dan punggung. Cedera
retroperitoneal sering kurang bisa ditemukan dengan diagnosis fisik. Sejumlah besar
darah dapat terakumulasi dalam ruang retroperitoneal tanpa menyebabkan temuan fisik
yang jelas.

Ekstensi Abdomen.

Zona retroperitoneum. Zona 1: sentral, zona 2: lateral, zona 3: pelvis.


Cedera simultan dengan struktur intraperitoneal dan retroperitoneal yang tidak
biasa dan dapat mempersulit pemeriksaan fisik. Intoksikan, seperti alkohol, dan depresan,

11
stimulan, dan halusinogen sistem saraf pusat lainnya dapat membuat pemeriksaan klinis
tidak reliabel. Kehadiran masalah medis yang mendasari dan penyakit kejiwaan lebih
lanjut dapat membingungkan evaluasi trauma.
Abdomen sering cedera baik setelah trauma tumpul dan tajam. Sekitar 25% dari
semua korban trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi klinis abdomen
dengan cara pemeriksaan fisik tidak memadai untuk mengidentifikasi cedera intra-
abdomen karena tingginya jumlah pasien dengan perubahan status mental sekunder
terhadap trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan, dan karena tidak dapat diaksesnya
pelvis, abdomen bagian atas, dan organ retroperitoneal untuk palpasi. Untuk alasan ini,
beberapa modalitas diagnostik telah berevolusi selama 3 dekade terakhir, termasuk
diagnostic peritoneal lavage (DPL), ultrasonography (USG), computed tomography
(CT), dan laparoskopi, yang semuanya memiliki kelebihan, kekurangan, dan
keterbatasan.
Abdomen adalah kotak hitam diagnostik. Untungnya, dengan beberapa
pengecualian tidak perlu untuk menentukan organ intra-abdomen yang cedera, hanya
apakah laparotomi eksplorasi diperlukan. Pemeriksaan fisik abdomen tidak dapat
diandalkan dalam membuat penentuan ini. Namun, sebagian besar ahli setuju bahwa
kehadiran rigiditas abdomen atau distensi abdominal pada pasien dengan trauma
abdomen merupakan indikasi untuk bedah eksplorasi segera.
Perkembangan teknologi, pengalaman, dan invasi yang lebih modern telah
menjadi penentu yang paling penting dari penggunaan metode diagnostik untuk trauma
abdomen. Di pusat-pusat trauma modern di abad ke-21, teknologi non-invasif lebih baik
membantu penggunaan USG dan CT dalam evaluasi korban trauma.

Trauma Tumpul
Trauma tumpul paling sering terjadi pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor.
Cedera terjadi sekunder terhadap geser, robek, atau kekuatan dampak langsung.
Kehadiran tanda sabuk pengaman merupakan indikasi cedera intra-abdomen dalam
setidaknya 25% kasus. Memastikan apakah hanya sabuk pangkuan digunakan, terutama
pada anak-anak. Lap-satunya hambatan pada anak-anak mempengaruhi mereka untuk
cedera intra-abdomen seperti perforasi usus dan robekan mesenterika. Evaluasi tulang

12
belakang lumbal direkomendasikan karena cedera ini mungkin terkait dengan fraktur
transversal tulang belakang lumbal (Chance fracture).
Mekanisme trauma tumpul abdomen
Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung pada
mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ
berhubungan dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau
mobile. Berbagai macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi
sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh.
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan
cedera organ intraabdomen, yaitu :
 Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen
anterior dan posterior.
 Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan
kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi
deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi
peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan
ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau.
 Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan
intraluminal yang dapat menyebabkan rupture organ berongga.
 Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur
pelvis, fraktur costa).
 Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan ruptur diafragma bahkan ruptur kardiak.
Diagnosis
a. Anamnesis
Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat sangat
diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ
intraabdomen akibat trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Informasi diperoleh
dari paramedis, polisi atau yang mendampingi pasien saat transportasi dan juga
dari pasien sendiri jika pasien sadar baik (Richard et al, 2007). Saat melakukan
anamnesis, digunakan sistem MIST, yaitu :
Mekanisme cedera

13
Injury (cedera yang didapat)
Signs (tanda atau gejala yang dialami)
Treatment (penanganan yang telah diberikan)
b. Pemeriksaan fisik
Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen
terkadang sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50%
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016;
Sugrue, 2000). Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan variasi
cedera dari berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat
interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma
memberikan tantangan tambahan.
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu :
Nyeri perut
Nyeri tekan pada abdomen
Perdarahan gastrointestinal
Hipovolemik
Tanda-tanda peritonitis
Akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di intraperitoneum dan rongga pelvis
dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak signifikan. Keluhan
nyeri perut maupun nyeri tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang baik
untuk mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut
dapat menurun bila didapatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS).
Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen. Pada pemeriksaan fisis, ada
beberapa tanda yang dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan cedera
organ intraabdomen, yaitu :
 Lap belt marks: berhubungan dengan ruptur usus halus
 Kontusio dengan steering wheel shaped
 Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen
sign): mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul
setelah beberapa jam sampai beberapa hari
 Distensi abdomen

14
 Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada
diafragma
 Bruit pada abdomen: mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang
mendasari atau adanya fistel arteriovenous fistula.
 Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera
peritoneum
 Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan
cedera lien atau hepar.

Penanganan Awal Trauma Abdomen


Primary Survey
A. Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita trauma abdomen.
Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt, chin lift atau jaw thrust,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas.
Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat dipakai
oropharyngeal tube. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway,
lebih baik memasang airway definitif. Jika ada disertai dengan cedera kepala,
leher atau dada maka tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan
imobilisasi in-line.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang airway terganggu karena
faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endotrakeal. Setiap penderita trauma diberikan oksigen. Bila
tanpa intubasi, sebaiknya diberikan dengan face mask. Pemakaian pulse oximeter
baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
C. Circulation
Resusitasi pasien dengan trauma abdomen harus diberikan dengan cepat. Pasien
yang datang dengan hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-40% volume
darah yang hilang) dan harus menerima produk darah sesegera mungkin, hal yang
sama berlaku pada pasien dengan perdarahan yang signifikan jelas. Upaya yang

15
harus dilakukan untuk mencegah hipotermia, termasuk menggunakan selimut
hangat dan cairan prewarmed.
D. Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
E. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting untuk
memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan lengkap dan visualisasi head-to-toe
pasien adalah wajib pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk
bagian bokong, bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian belakang leher,
dan perineum. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar penderita
tidak kedinginan.
Secondary Survey
Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei
sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi PRIMARY
SURVEY. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari
kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama:
1. Pemeriksaan kepala
• Kelainan kulit kepala dan bola mata
• Telinga bagian luar dan membrana timpani
• Cedera jaringan lunak periorbital
2. Pemeriksaan leher
• Luka tembus leher
• Emfisema subkutan
• Deviasi trachea
• Vena leher yang mengembang
3. Pemeriksaan neurologis
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
• Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
• Penilaian rasa raba/sensasi dan reflex
4. Pemeriksaan dada
• Clavicula dan semua tulang iga

16
• Suara napas dan jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia)
5. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
• Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
• Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
trauma wajah
• Periksa dubur (rectal toucher)
• Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
6. Pelvis dan ekstremitas
• Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes
gerakan apapun karena memperberat perdarahan)
• Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
• Cari luka, memar dan cedera lain
7. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) :
• Foto atas daerah abdomen yang cedera dilakukan secara selektif.

Penatalaksanaan di Ruang Emergensi


1. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas, pernapasan dan sirkulasi).
2. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan
pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif
3. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan
4. Gunting pakaian penderita dari luka.
5. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
6. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
7. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan lakukan bendungan pada
luka dada.
8. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan secara cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
9. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfusi; ini sering
merupakan tanda adanya perdarahan internal.

17
10. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan
mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
11. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau
jumlah urine perjam.
12. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan dibasahi dengan
salin untuk mencegah kekeringan visera
13. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.
14. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan
muntah.
15. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat
ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
16. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi
peritonium pada kasus luka tusuk.
17. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
18. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari
lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
19. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah,
adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorax.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit
yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan rupture lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus
halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.

18
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal
dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine
yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5. IVP (Intravenous Pyelogram)
Dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam
rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat
diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL:
• Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
• Trauma pada bagian bawah dari dada
• Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera
otak)
• Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
• Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL:
• Hamil
• Pernah operasi abdominal
• Operator tidak berpengalaman
• Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.

19
Indikasi Laparatomi
1. Intervensi bedah segera bagi organ yang terkena.
2. Hemodinamik yang tidak stabil.
3. Adanya tanda peritoneal(peritonitis) pada pemeriksaan fisik.
4. Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen.
5. Luka tembak menyeberang rongga peritoneum.
6. Eviscerasi omentum atau usus.
7. Pendarahan dari gaster, rectum atau traktus urogenitalis pada luka tusuk.
Follow up/ observasi pasien
Setelah laparatomy, pasien diberikan terapi non operatif dengan resusitasi cairan
dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik serial dan jika
adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan laparatomi.
Biasanya pasien diobservasi 12 – 48 jam sebelum dibenarkan pulang. Pasien
dibenarkan pulang jika:
 Luka yang dialami bukan luka tembus dan;
 Keadaan umum/ hemodinamik yang stabil setelah 12 – 48 jam.
 Tidak ada indikasi untuk admisi.
 Berespon baik terhadap terapi.

Ruptur Lien
Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya lien yang
merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atautidak langsung.Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu
dampak penting kepada lien dari beberapa sumber. Penyebab utamanya adalah cedera
langsung atau tidak langsung yang menyebabkan laserasi kapsul linealis dan avulsi
pedikel lien sebagian atau menyeluruh.
Pada trauma lien yang perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda perdarahan
yang memperlihatkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri abdomen pada
kuadran atas kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma.
Perdarahan lambat yang terjadi kemudian pada trauma tumpul lien dapat terjadi
dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh
kasus, masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini terjadi karena adanya tamponade

20
sementara pada laserasi yang kecil atau adanya hematom subkapsuler yang membesar
secara lambat dan kemudian pecah.
Untuk menentukan diagnosis trauma tumpul maka diperlukan anamnesis adanya
riwayat trauma abdomen bagian kiri bawah, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, yang menunjukkan tanda-tanda trauma tumpul dengan ruptur lien.
Di rumah sakit yang besar dengan tenaga dan fasilitas yang baik dianjurkan untuk
memberikan pertolongan konservatif, bila dengan perawatan konservatif ini dengan
observasi yang ketat keadaan penderita memburuk maka segera dilakukan operatif.
Dengan majunya teknik bedah, maka pandangan bahwa setiap ruptur lien harus
dibuang telah diubah. Pandangan sekarang bahwa sedapat mungkin lien harus
dipertahankan, kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan.

Diagnosis Ruptur Lien


Robekan atau kerusakan lien akibat trauma tumpul abdomen dapat bervariasi yaitu
robekan transversal melalui hilus, robekan longitudinal dengan hematom subcapsular
sampai terputusnya arteri dan vena lienalis.
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan:
A. Anamnesis
Didapatkan adanya trauma. Trauma tersebut dapat berat atau ringan. Langsung atau tidak
langsung akibat kecelakaan atau jatuh dari ketinggian.
Trauma tadi dapat menimbulkan jejas atau tidak terdapat jejas pada dinding perut. Jejas
tersebut dapat juga selain pada perut bagian kiri atas (contre coupe).
B.Pemeriksaan Fisik
1.Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien tergantung adanya organ-organ lain yang
ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan dan adanya kontaminasi rongga peritoneum.
Ditemukan masa di kiri atas. Terdapat darah bebas dalam rongga perut secara klinis hal
ini penting dan dapat diketahui dengan cara:
a. Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau tidaknya tanda-tanda
syok dan anemia akibat perdarahan yang hebat.
b. Pekak sisi dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya hematom
subcapsular atau omentum yang membungkus suatu hematom subcapsuler disebut
Ballance sign.

21
c. Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga gejalanya tegang
otot perut dan rasa nyeri mencolok. Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita
datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan intra abdomen, atau dengan
gambaran seperti ada tumor intra abdomen. Pada bagian kiri atas yang nyeri tekan
disertai tanda anemia.
2. Pada pemeriksaan lokal yaitu didapatkan nyeri perut bagian atas tetapi pada sepertiga
kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri.
Bila darah mengumpul pada perut kiri atas pada daerah lien akan memberikan rasa nyeri
pada bahu kiri (Kehr’s sign) dijumpai ± 50%. Semua penderita ruptur lien dan nyeri bahu
kiri baru timbul pada posisi trendelenberg.
Pengumpulan darah pada rong ga peritoneum dapat diketahui dengan menggunakan pita
ukur untuk mengukur lingkar perut yang bertambah setiap jamnya.
C. Pemeriksaan Penjunjang
1. Pemeriksaan darah rutin, yaitu kadar Hemoglobin, Hematokrit, angka Leukosit
karena terjadi perdarahan maka akan terjadi penurunan hemoglobin, hematokrit, dan
disertai peningkatan leukosit.Hemoglobin diperiksa berulang kali secara serial untuk
mengetahui penurunan yang bertahap.
2. Untuk membantu menentukan adanya darah bebas didalam rongga peritoneum yang
meragukan dapat dilakukan:
- Peritoneum lavage adalah tindakan melakukan bilasan rong ga per ut dengan
memasukkan ± 1 liter cairan air garam fisiologis (NaCl 0,9%) yang steril melalui
kanul dimasukkan kedalam rong ga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi
dikeluarkan lagi, bila cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya
adalah ada darah dalam rongga perut. Menurunnya hematokrit disertai dengan
perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya memerlukan peritoneal
lavage yang kedua meskipun peritoneal lavage yang pertama memberi hasil yang
negatif.
- Pemeriksaan foto abdomen, yaitu foto polos abdomen 3 posisi, yang perlu
diperhatikan adalah adanya gambaran patah tulang iga sebelah kiri, peninggian
diafragma kiri, bayangan lien yang membesar, dan udara bebas intra atau
retroperitoneal. Pada foto polos abdomen memperlihatkan pendorongan lambung atau

22
kolon transversa, dan peningkatan suatu bayangan opak di hipokondrium atas kiri,
obliterasi pada ginjal kiri, bayangan psoas kiri dan hemidiafragma kiri naik.
- Pemeriksaan angiografi, khususnya pada penderita yang gawat dimana dapat
diketahui dengan pasti adanya kerusakan- kerusakan pada lien baik kerusakan berat
maupun ringan.
- Pemeriksaan CT scan dengan cara sekarang yang sangat populer ini dapat kita
menentukan diagnosis pasti dari ruptur lien. Selain untuk mendiagnosis, scanning
dapat dipakai untuk mengevaluasi berat ringannya kerusakan, untuk pengamatan
lebih lanjut, dan untuk melihat penyembuhan dan kerusakan pada lien. Hal ini sangat
berguna bila kita mengobati penderita ruptur lien secara konservatif. Dengan scanning
dapat dilihat bahwa 2 sampai 5 bulan setelah trauma pada lien, gambaran lien dapat
sudah normal kembali apabila dibandingkan dengan angiografi, scanning mempunyai
ketelitian yang sama dengan morbiditas yang lebih rendah.

Penatalaksanaan
Dengan majunya teknik bedah, maka pandangan bahwa setiap ruptur lien harus dibuang
telah diubah pandangan sekarang bahwa sedapat mungkin lien harus dipertahankan,
kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
 Splenektomi total bukan lagi merupakan pengobatan yang paling tepat dengan
alasan:
 Kecenderungan terjadinya overwhelming post splenectomy infection sindrome
(OPSI) pada penderita post splenektomi baik pada penderita bayi maupun
penderita orang dewasa.
 Fungsi lien yang melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri, terutama organisme-
organisme yaitu pneumococcus dan meningacoccus yang mempunyai kapsul dan
dianggap sebagai benda asing.
 Adanya kemungkinan perdarahan pada lien dapat berhenti spontan.
 Lien yang robek dapat disembuhkan dengan penjahitan.
 Dengan demikian maka terapi pada ruptur lien adalah:
 Non operatif atau konservatif
Hal umum yang perlu mendapat pertolongan segera pada pasien trauma yaitu:
 Evaluasi terhadap saluran pernafasan dan tulang vertebra.

23
Dengan memperhatikan adanya sumbatan pada saluran pernafasan kebawah dan
mencakup larynx, serta benda asing yang harus dikeluarkan dan adanya
kemungkinan fraktura vertebra cervicalis, sehingga dilakukan hiperekstensi
kepala dan leher pasien untuk mempertahankan saluran pernafasan atau untuk
memasukkan pipa endotracheal atau cara sederhana dengan satu metode dengan
mengangkat dagu. Bila tindakan ini gagal untuk menghilangkan obstruksi, maka
pipa endotracheal dipasang melalui hidung untuk mencegah hiperekstensi leher
pada fraktur vertebra cervicalis.
Bila intubasi trakea nasal tidak berhasil, maka diindikasikan krikotiroidotomi
bedah dengan membuat insisi kulit vertikal atau transversa yang meluas melalui
ligamentum cricothyroidea yang diikuti pemasangan pipa trakeostomi kecil.
 Pertukaran udara
Perhatian selanjutnya pada tercukupinya pertukaran udara, pemberian oksigenasi
yang adekuat.
 Sirkulasi
Nadi dipalpasi dan dinilai kecepatan dan irama. Dilakukan pemeriksaan terhadap
tensi atau pengukuran untuk mengetahui adanya tanda-tanda syok yang perlu
segera dilakukan tranfusi darah dan terapi cairan yang seimbang diberikan secara
cepat untuk mengatasi syok hipovolemik.
Pemasangan pipa lambung (NGT) untuk mencegah muntah dan aspirasi dan
pemasangan kateter untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai jumlah
urin yang keluar.

Operatif
a. Splenektomi total
Splenoktomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien yang luas,
avulsi lien, kerusakan pembuluh darah hilum, dan kegagalan splenorrhapi.
Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan, meskipun ada kemungkinan
terjadinya OPSI. Insiden untuk terjadi OPSI lebih berarti bila dibandingkan
dengan bahaya maut karena perdarahan yang hebat.Lebih dari 50% dari semua
ruptur lien memerlukan splenektomi total untuk mengurangi OPSI dikemudian
hari ada pendapat-pendapat yang menganjurkan:

24
Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang telah robek
di implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau di pinggang di
belakang peritoneum. Caranya ialah: jaringan lien tadi dimasukkan kedalam
injeksi spuit dan melalui injeksi spuit tadi jaringan lien dimasukkan kedalam otot-
otot dinding perut.
- Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai untuk
mencegah terjadinya OPSI.
- Prophylaksis dengan antibiotika. Pemberian antibiotika (denicilline,
erythomycin, dan trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan,
terutama kali ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C.
- Anjuran praktis adalah agar setiap penderita post splenektomi dianjurkan
supaya segera memeriksakan ke dokter setiap kali menderita panas. Penderita
tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika dan dievaluasi lebih
lanjut, untuk mendapat perawatan medis yang sempurna.
b. Splenektomi parsial
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien dipertahankan, maka
dikerjakan splenektomi parsial dianggap lebih menguntungkan daripada
splenektomi total. Caranya ialah eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien
tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital.
c. Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional
dengan teknik bedah. Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital,
mengikat pembuluh darah yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terluka.
Luka dijahit dengan jahitan berat asam poliglikolat atau polidioksanon atau
chromic catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan jahitan simpel matras atau jahitan figure of
eight.
Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pembungkusan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.

25
Daftar Pustaka

American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi 7.
Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
Brunicardi, FC, 2007. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. USA: The McGraw-
Hill Companies, Inc.
De Jong W, Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mackersie RC. 2001. Abdominal Trauma, dalam: Norton et al. Surgery: Basic Science an
Clinical Evidence. New York: Spriger-Verlang Inc.; h825-45.
Offner, P., 2013. Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-treatment [Accessed 24
August 2017].
Stone, CK, 2003. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. 6th edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Tood SR. 2004. Critical Concepts in Abdominal Injury. Critical Care Clinics; 20(1)
Townsend. 2001. Management of Spesific Injury, dalam: Sabiston Textbook of Surgery
16th Edition, Philadelphia: W.B. Saunders Co.; h331-43.
Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh Manusia.
Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.

26
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyartan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Anak Fakultas Kedokteran Universitasa Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 15 TAHUN DENGAN TRAUMA TUMPUL


ABDOMEN HEMODINAMIK STABIL DENGAN RUPTUR LIEN

Hari, tanggal: Selasa, 16 Juli 2019

Oleh:

Ni Putu Dian Apriandary (G 991905047)

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Presentasi Kasus Chief Residen,

Dr. Suwandi, Sp.B., Sp.BA dr. Hafidh


NIP. 196301271986111002

27

Anda mungkin juga menyukai