Anda di halaman 1dari 18

SEPSIS

Definisi
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis
merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada
semua usia dan jenis kelamin.

Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis
tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar
kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam
neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen
antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan
anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
yang intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. Bayi dan anak-anak
immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang memiliki
gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi bakteri. Infeksi
tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk menghancurkan
bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon inflamasi terhadap
infeksi dapat membangkitkan gejala klinis yang bervariasi didefinisikan sebagai sindrom sepsis.

Epidemiologi

Sepsis, yang mana masih digunakan istilah SIRS untuk menyebut suatu akibat dari
infeksi, tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan kematian di Amerika Serikat. Pada
kenyataannya, dalam peninjauan data sekitar 750 juta pasien yang dirawat di rumah sakit dari
tahun 1979 – 2000, didapatkan 10.319.418 diantaranya adalah kasus sepsis. Selama masa
peneitian, terjadi peningkatan tahunan 8,7% kejadian sepsis, dari sekitar 164.000 kasus
menjadi hampir 660.000 kasus yang dilaporkan dari hasil survei nasional yang menunjukan
bahwa selama hampir 1,6 juta pasien rawat inap pada anak usia 19 tahun atau dibawahnya,
ada 42.364 kasus sepsis berat anak per tahun. Kejadian terbesar pada bayi (5,16 kejadian per
1000 kasus), dan menurun tajam pada anak-anak lebih tua (0,20 per 1000 dalam usia 10
sampai 14 tahun), dan lebih tinggi kejadian pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Mereka juga melaporkan bahwa angka kematian di rumah sakit untuk pasien yang memenuhi

1
kriteria sepsis berat adalah sekitar 10%, atau kematian nasional 4383 (6,2 per 100,000
penduduk).

Etiologi Sepsis

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 %
kasus, yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut
akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan
jaringan, demam dan syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung
jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococcus dan
bakteri gram negatif lainnya menyebabkam sepsis. Selain itu jamur opoortunistik, virus ( dengue
dan herpes ) atau protozoa ( Falciparum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis,
walaupun jarang.

Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidogliksn
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.

Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman , misalnya α-hemolisin ( S.


Aurens ), E. coli hemolisin ( E. coli ) dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.

Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatif
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem
imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS
sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor
nekrosis tumor (tumor necrosis factor/ TNF) dan interleukin 1(IL-1), IL-6, dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering mengikat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

2
Fisiologis Pertahanan Tubuh

Sistem pertahanan tubuh kita dimulai dari yang tampak atau dari yang berukuran makro
saperti kulit,asam lambung, pergerakan cilia (pada epitel pernapasan), flora normal,
imunoglobulin, sekresi mukus, dan lapisan mukosa. Namun awal sepsis dimulai jika infeksi
dapat menembus lapisan mukosa sehingga faktor tersebut dapat lolos sampai ke aliran darah
(sistemik). Adapun pejamu juga mensekresikan protein yang secara tak langsung menghambat
perlengketan bakteri seperti fibronektin, laminin, kolagen, dan vitronekti. Protein-protein tersebut
berada pada matriks ekstraselular dan berfungsi untuk mencegah perlekataan bakteri terhadap
sel target sehingga mencegah bakteri dapat melakukan perlengketan dan menembus lapisan
sel untuk menuju pembuluh darah.

Tidak hanya sampai disitu, sekalipun bakteri berhasil lolos menuju pembuluh darah,
tetap ada pertahanan spesifik tubuh yaitu sel-sel imun seperti neutrofil, monosit-makrofag,
limfosit (B dan T), imunoglobulin, sistem komplemen dan sitokin.

Neutrofil adalah sel efektor yang berdiferensiasi yang merupakan garis pertahanan
pertama akan terjadinya infeksi, perlukaan jaringan atau kejadian lain yang dapat merangsang
peningkatan mediator peradangan seperti sitokin. Normalnya,setelah dikeluarkan ke pembuluh
darah, neutrofil akan tetap ada selama 6 sampai 7 jam. Hampir 50% dari sirkulasi neutrofil
melekat pada dinding endotelial pembuluh darah setelah dihasilkan oleh sumsum tulang

Monocytes-Macrophages merepresentasikan sebuah kelompok yang heterogen dari sel


yang terkait secara penotifikal yang timbul dari sel cabang yang sama sebagai granulosit.
Sebagaimana disebutkan, monosit-makrofag memperlihatkan beberapa kesamaan dengan
neutrofil dalam mempertahankan kelompok besar terhadap mikroba. Yang membedakan
monosit-makrofag dengan neutrofil adalah karena makrofag dapat bergerak menuju tempat
yang cidera atau meradang dengan pasien yang kekurangan β2 integrin. Makrofag dapat
berpindah melalui kemotaksis lain seperti komplemen pelengkap (C5a), peptida bakteri, antigen
asing, dan sitokin seperti IL-1, TNF-α, dan MCP-1.

Limfosit timbul dari sebuah sel cabang hematopoietik pada sumsum tulang. Lebih dini
dalam jalur perbedaan, sel limfoid progenitor yang mengalami pematangan dalam satu dari dua
kompartemen yang terbatas, dimana ia membutuhkan karakteristik fungsional dan phenotypic.
Sel yang jelas meninggalkan sumsum tulang belakang untuk menjalani sebuah proses
“pendidikan” atau pematangan dalam thymus. Sel T yang matang melakukan migrasi dari
thymus yang menempati dalam pinggiran berbagai organ lymphoid seperti limpa, kelenjar getah
bening, potongan intestinal Peyer. Sel progenitor getah bening lainnya yang melakukan

3
pematangan baik pada sumsum tulang belakang ataupun liver fetal, dimana ia dikomitmenkan
pada sintesis kekebalan globulin (Sel B).

Faktor humoral memegang peranan penting sebagai mediator sel imun yaitu untuk
menuntun sel-sel penghancur mikroba menuju lokasi invasi. Berbagai respon selular adalah
sebuah fenomena kompleks yang tinggi yang sering diawali dan dioptimiskan dengan berbagai
faktor humoral yang luas termasuk kekebalan globulin, aktivasi komplemen, dan sitokin.
Imunoglobulin atau antibodi dihasilkan oleh Limfosit B yang sudah matang.

Patogenesis sepsis
Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel luar yang khas terdiri dari
lipopolisakarida yang dikenal sebagai endotoksin karena dapat memacu respons toksin. Toksin
akan direspons oleh sitokin yang akan mengaktivasi respons immun. Pada fase awal tumor
necrosis factor (TNF) α , IL-1, IL-6, IL-8 dan platelet agregating factor (PAF) berperan dalam
proses terjadinya respons immun sistemik yang terjadi pada jam ke 2. Sitokin ini juga
menyebabkan depresi miokard, menghambat oksigen radikal spesies pada sel endotel dan
menyebabkan dilatasi otot polos vaskuler. Interleukin –6 dan granulosite colony stimulating
factor (G-CSF) mulai berperan dalam memproduksi immunoglobulin sel B aktif, differensisis sel
T, sintesis protein fase akut (CRP). G-CSF berperan dalam peningkatan aktivasi neutrofil,
memperlambat apoptosis neutrofil dan meningkatkan produksinya dari sumsum tulang. Juga
terjadi peningkatan degranulasi neutrofil, perlekatan pada endotel dan daya oksidasi neutrofil.
Terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan sistem komplemen. Proses metabolisme asam
arakhidonat menghasilkan leukotrien, tromboksan A2, dan prostaglandin (PGE2 dan PGI2). IL-1
dan IL-6 akan mengaktivasi sel T untuk menghasilkan interferon γ, IL-2, IL-4 dan GM-CSF.
Interaksi tersebut akan meningkatkan respons inang terhadap infeksi. Interferon gamma dan
TNF akan meningkatkan aktivitas fagosit neutrofil.

Tabel 3. Mediator sepsis

Type Mediator Activity

Lipopolysaccharide
Cellular Activation of macrophages, neutrophils, platelets, and
mediators endothelium releases various cytokines and other
Lipoteichoic acid

4
Peptidoglycan mediators

Superantigens

Endotoxin

Cytokines Potent proinflammatory effect

TNF-alpha and IL-1 Neutrophil chemotactic factor


IL-8
IL-6 Acts as pyrogen, stimulates B and T lymphocyte
IL-10 proliferation, inhibits cytokine production, induces
immunosuppression
MIF*
G-CSF
Activation and degranulation of neutrophils

Complement
Cytotoxic, augments vascular permeability, contributes
to shock
Humoral Nitric oxide
mediators
Lipid mediators Involved in hemodynamic alterations of septic shock

Phospholipase A2
PAF† Promote neutrophil and macrophage, platelet

Eicosanoids activation and chemotaxis, other proinflammatory


effects
Arachidonic acid
metabolites Enhance vascular permeability and contributes to lung
injury

Adhesion molecules
Enhance neutrophil-endothelial cell interaction,
Selectins
regulate leukocyte migration and adhesion, and play a
Leukocyte integrins
role in pathogenesis of sepsis

Dikutip dari Sharma S. 2004

5
Pada dasarnya terdapat keseimbangan antara mediator proinflamasi dengan
antiinflamasi. Bila penyebab inflamasi lebih dominan kerusakan akan berlanjut menjadi DIC,
depresi otot jantung, gangguan mikrosirkulasi, gangguan penyaluran oksigen ke jaringan, gagal
multi organ. Terjadinya gangguan homeostasis dan aktivasi sistem inflamasi intravaskuler pada
syok septik terutama disebabkan disregulasi dalam pembentukan berbagai sitokin. Endotoksin,
TNF α, PAF leukotrien dan tromboksan A2 meningkatkan permeabilitas kapiler. Endotel juga
melepaskan endothelium derived relaxing factor yang menyebabkan relaksasi otot polos dan
menghambat agregasi trombosit. Aktivasi komplemen akan menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskuler, aktivasi dan degranulasi neutrofil. Proses ini melepaskan
oksigen radikal bebas, enzim lisosomal, pembentukan mikroemboli yang akan merusak endotel
vaskuler 4,5.

Tabel 4. Kriteria disfungsi organ ganda

Organ System Mild Criteria Severe Criteria

Hypoxia/hypercarbia requiring assisted ARDS requiring PEEP* >10


Pulmonary
ventilation for 3-5 d cm H2O and FiO2† <0.5

Bilirubin 2-3 mg/dL or other liver function


Jaundice with bilirubin 8-10
Hepatic tests more than twice normal, PT
mg/dL
elevated to twice normal

Oliguria (<500 mL/d or increasing


Renal Dialysis
creatinine) 2-3 mg/dL

Stress ulceration with need for


Intolerance of gastric feeding for more
Gastrointestinal transfusion, acalculous
than 5 d
cholecystitis

aPTT >125% of reference range,


Hematologic DIC
platelets <50-80,000

Decreased ejection fraction with Hyperdynamic state not


Cardiovascular
persistent capillary leak responsive to pressors

6
CNS Confusion Coma

Peripheral nervous Combined motor and sensory


Mild sensory neuropathy
system deficit

Gambar. 1 Skema patogenesis sepsis (dikutip dari Sharma, 2004)

Hipotensi terjadi akibat aktivasi faktor XII, prekalikrein, kalikrein, kininogen, bradikinin
yang bersifat vasodilator kuat. Proses selanjutnya akan terjadi penurunan deformitas eritrosit
yang menyebebkan gangguan homeostasis mikrosirkulasi. Peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler pada sistem vaskuler sistemik dan paru menyebabkan edema jaringan terutama

7
di paru, ginjal, kulit, otot, jantung dan otak. Pooling intravasculer dapat terjadi di intestinal akibat
relaksasi arteriolae dan konstriksi venulae. Darah yang terperangkap ini menyebabkan volume
kapiler menurun, aliran balik vena dan curah jantung menurun. Kongesti darah dapat terjadi di
paru dan kelenjar adrenal yang bisa berlanjut menjadi perdarahan. Respons adrenergik dalam
mikrosirkulasi akan dipengaruhi oleh endotoksin dan terjadi gangguan sensitivitas terhadap
noradrenalin. Peningkatan viskositas darah dan resistensi post kapiler. Redistribusi aliran darah
organ, terbukanya arteriovenous shunt, reaksi multiple endotelium 4.

Faktor Resiko Sepsis:

Faktor risiko sepsis pada anak menurut Zimmerman dan Bone adalah :

1. Faktor pejamu :
Malnutrisi, immunodefisiensi, penyakit kronis, trauma/ luka bakar, penyakit berat.

2. Faktor pengobatan :
Tindakan operasi, prosedur invasif, antibiotika, terapi immunosupresif, lama perawatan,
lingkungan rumah sakit.

8
Pathway

9
10
Gambaran Klinis

Tanda SIRS ditemukan 2 dari gejala berikut :

1. Suhu tubuh > 38 0C atau < 36 0C


2. Denyut jantung > 90 kali/menit
3. Laju napas > 20 kali/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
4. Leukosit > 12.000 atau < 4.000/mm3 atau ditemukan10% leukosit imatur.
Beberapa ahli tidak sependapat untuk syarat penemuan kuman gram negatif, mengingat bahwa
bakteri tersebut sering sudah tidak dijumpai, disamping itu kuman penyebab tidak selalu gram
negatif 1,2.

Sepsis ditandai dengan gejala SIRS dan ditemukannya kuman penyebab infeksi. Gejala
tambahan berupa gangguan perfusi organ :

1. Perubahan status mental.


2. Hipoksemia, PaO2 <72 mm Hg dengan FiO2 21%.
3. Peningkatan kadar laktat plasma.
4. Oliguria (produksi urine < 30 ml atau 0.5 ml/kg selama minimal 1 jam)

Infeksi merupakan istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi yang terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar
proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan
reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.

Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan
kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi
dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami
inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama.

Sepsis merupakan SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui ( ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut ). Meskipun SIRS, sepsis dan syok
septic biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.
Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah, bersifat sepintas,
dijumpai setelah jejas berada dipermukaan mukosa primer ( tanpa fokus infeksi intravaskuler

11
atau ekstravaskuler ). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi atau hipotensi.

Diagnosa Klinis

Upaya untuk membakukan terminologi telah mengakibatkan pembentukan kriteria untuk


diagnosis sepsis dalam dewasa dirawat di rumah sakit. Kriteria ini meliputi manifestasi dari
pejamu menanggapi infeksi, selain identifikasi organisme. Istilah sepsis, sepsis berat dan syok
septik digunakan untuk menghitung besarnya sistemik reaksi radang. Pasien dengan sepsis
memiliki bukti dari infeksi, serta sistemik tanda-tanda dari peradangan (misalnya, demam,
leukositosis dan takikardia). Hipoperfusion dengan tanda-tanda disfungsi organ disebut sepsis
berat. Syok septik memerlukan kehadiran di atas, terkait dengan bukti-bukti yang lebih
signifikan jaringan hipoperfusion dan hipotensi sistemik. Di samping hipotensi, maldistribusi dari
aliran darah dan shunting di mikrosirkulasi, lebih lanjut yaitu terganggunya pengiriman nutrisi
untuk jaringan sekitar.

Mengenali sepsis dimulai dengan mendefinisikan pasien berisiko. Manifestasi klinis sepsis
biasanya akan menjadi jelas dan meminta inisiasi perawatan sebelum konfirmasi bakteriologik
organisme atau sumber organisme diidentifikasi. Selain demam, takikardia, dan takipnoe,
tanda-tanda hipoperfusi seperti kebingungan, malaise, oliguria, atau hipotensi mungkin
ditemukan. Karena hal-hal ini maka kita harus agresif mencari adanya kemungkinan infeksi
termasuk melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, inspeksi dari semua luka, evaluasi
kateter infus atau badan-badan asing lainnya, mendapatkan kultur sesuai, dan terapi ajuvan
sebagaimana diperlukan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

*Laboratorium: Kultur darah dengan mengambil specimen darah pasien dengan


mengisolasi mikroorganisme darah atau situs lokal infeksi.

Penatalaksanaan

Dasar pengelolaan :

Dasar strategi pengelolaan meliputi :

12
1. Mencari dan memberantas kuman penyebab infeksi dengan memberi antibiotik adekuat
menghilangkan fokal infeksi dengan tindakan bedah.
2. Memulihkan hemodinamik dengan resusitasi cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid maupun
koloid. Perbaikan tekanan perfusi dan fungsi jantung dapat dilakukan dengan pemberian
vasoaktif dan inotropik.
3. Memulihkan fungsi organ.
Untuk mencapai tujuan diatas diperlukan pemberian antibiotika walaupun hasil kultur
kuman belum ditemukan. Tindakan menghilangkan sumber infeksi dikerjakan dengan
drainase eksudat, eksisi nekrosis, ekstirpasi . Menghilangkan perubahan hemodinamik
dan pemulihan perfusi jaringan dengan cepat. Memperbaiki pernapasan, pemberian
cairan adekuat, pemberian kortikosteroid masih kontroversi, penggunaan vasoaktif
dengan memperbaiki aliran darah dan perfusi jaringan dan memulihkan tekanan darah.

4. Memulihkan fungsi organ tubuh vital terutama jantung, paru, ginjal.


5. Penggunaan antiendotoksin dan antimediator : antibodi anti TNF , antibodi anti IL-1,
IGM, IGA, IGG, Ep5, HA-1A, interferon gamma.
6. Pengelolaan lain : nutrisi, perawatan intensif, monitoring ketat
Tatalaksana yang dapat diberikan antara lain pemberian antibiotika, dimana pemberian
antimikroba harus diberikan secepatnya setelah darah dan specimen lainnya dikultur. Apabila
hasilnya belum dapat ditentukan dapat diberikan pengobatan secara empirik yang efektif
melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Pemilihan antimikroba dapat merupakan hal
yang kompleks, maka harus memperhatikan riwayat pasien, komorbiditas, sindroma klinis, data
pewarnaan gram, dan pola resistensi lokal. Dosis maksimal antimikroba yang dianjurkan dapat
diberikan secara intrvena, dengan penyesuaian pada gangguan renal jika dibutuhkan. Apabila
hasil kultur telah didapatkan, maka regimen dapat lebih disederhanakan, karena
seringkaliantimikroba tunggal dapat adekuat untuk pengobatan pathogen yang diketahui.

Komplikasi

Komplikasi yang akan terjadi pada penderita septik bila tidak segera ditangani sebagai
berikut:

 Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan

13
 Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler
karena hipoksia

Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi,
melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debridemen luka untuk membuang jaringan
nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan dengan
benar.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

menggunakan pendekatan ABCDE

1. Airway : yakinkan kepatenan jalan napas, berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau

nasopharyngeal), jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi

dan bawa segera mungkin ke ICU.

2. Breathing: kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang

signifikan, kaji saturasi oksigen, periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi

dan kemungkinan asidosis, berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask, auskulasi

dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada, periksa foto thorak.


14
3. Circulation : kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan,

monitoring tekanan darah, tekanan darah, periksa waktu pengisian kapiler, pasang infuse

dengan menggunakan canul yang besar, berikan cairan koloid – gelofusin atau

haemaccel, pasang kateter, lakukan pemeriksaan darah lengkap, siapkan untuk

pemeriksaan kultur, catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature

kurang dari 36Oc, siapkan pemeriksaan urin dan sputum, berikan antibiotic spectrum luas

sesuai kebijakan setempat.

4. Disability: Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal

sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan

menggunakan AVPU.

5. Exposure : Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat

suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Risiko terhadap kerusakan integritas kulit b.d penurunan perfusi jaringan, odema, syok,

hemoragia

2. Tidak efektifnya perfusi jaringan b/d vasodilatasi ,penurunan curah jantung dan defisit

volume cairan.

3. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b/d terganggunya pengiriman oksigen kedalam

jaringan

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan mual, muntah,

metabolisme meningkat.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

15
1. Tidak efektifnya perfusi jaringan b/d vasodilatasi ,penurunan curah jantung dan defisit

volume cairan.

Tujuan: Perfusi jaringan adekuat.

Intervensi :

 Observasi status cardiovascuker :frekuensi denyut jantung ,irama.

 Observasi status hemodinamik : vital sigh,CVP.

 Pantau intake output dan balance cairan.

 Kaji warna kulit ,suhu,sianosis, capilary refill.

 Pantau asidosis dan koreksi ketidakseimbangan

 Kolaborasi medis : pemberian cairan dan obat-obatan.

2. Risiko terhadap kerusakan integritas kulit b.d penurunan perfusi jaringan, odema, syok,

hemoragia

Tujuan : Integritas kulit dapat dipertahankan

Intervensi :

 Lakukan personal hygiene : mandi, oral hygiene dll

 Cegah tekanan dengan kasur anti dekubitus

 Lakukan alih baring tiap 2 jam

 Masage area yang tertekan

 Hindari efek membekas dari linen

3. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b/d terganggunya pengiriman oksigen kedalam

jaringan

16
Tujuan :

Intervensi :

I: Pertahankan jalan nafas dengan posisi yang nyaman atau semi fowler

R : meningkatkan ekspansi paru-paru

I: Pantau frekuensi dan kedalaman jalan nafas

R :pernapasan cepat dan dangkal terjadi karena hipoksemia, stress dan sirkulasi

endotoksin

I: Auskultasi bunyi nafas, perhatikan krekels, mengik

R : kesulitan bernafas dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari

kongesti pulmonal/ edema intersisial

I: Catat adanya sianosis sirkumoral

R : menunjukkna oksigen sistemik tidak adequate

I: Selidiki perubahan pada sensorium

R : fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenisasi

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan mual, muntah,

metabolisme meningkat

Tujuan :

Intervensi :

 Kaji BB dalam hubungannya dengan usia gestasi dan ukuran. Dokumentasikan

pada grafik pertumbuhan. Timbang BB setiap hari.

 Pertahankan lingkungna termonetral, termasuk penggunaan incubator sesuai

indikasi. Pantau suhu pemanas bayi dan lingkungan dengan sering.

 Lakukan pemberian makan awal dan sering serta lanjutkan sesuai toleransi.

17
 Kaji toleransi terhadap makanan. Perhatikan warna feses, konsistensi dan

frekwensi, adanya penurunan subtansi, lingkar abdomen, muntah dan residu

lambung.

 Pantau masukan dan haluaran. Hitung konsumsi kalori dan elektrolit setiap hari.

 Kaji tingkat dehidrasi, perhatikan fontanel, turgor kulit, BJ urine, kondisi membran

mukosa dan fluktuasi BB.

 Pantau kadar Dextrosix segera setelah kelahiran dan secara rutin sampai

glukosa serum distabilkan.

 Kaji tanda-tanda hipoglikemia

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Ediai 8. Jakarta : EGC.

Doenges, Marilyn E.dkk. 2000. Rencana Perawatan. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media

Aesculapius FK UI.

Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan. Jakarta : Info Medika Jakarta.

Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem Pernapasan : Salemba

18

Anda mungkin juga menyukai