I. DEFINISI
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, gangguan kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen.
II. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian trauma kapitis setiap tahunnya diperkirakan
mencapai kasus. Dari jumlah tersebut, 10% sebelum tiba di rumah sakit, sampai
di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala
berat (CKB), cedera terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-
44 tahun.
Dari epidemiologi di Indonesia belum ada data dari salah satu rumah sakit
di Jakarta. RS Cipto Mangunkusumo. Untuk rawat terdapat dengan CKR, CKS,
dan sekitar dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
III. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera mengenai kepala
tengkorak / jaringan otak dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur
tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi
dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup
kontusio kortikal, hematom subdural, epidural hematoma, dan hematoma
intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai
suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera kepala
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala
berat, dengan timbulnya cedera kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan penderita.
1
Penyebab cedera kepala sekunder antara lain : penyebab sistemik
(hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan
penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dan komplikasi dari cedera kepala antara lain : hematoma
epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan duramater),
perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan
arachnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arachnoidea), perdarahan subarachnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di
dalam ruangan antara arachnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri
(massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah
arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan di dalam jaringan
otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi
dan ventrikel yang menyempit), sedangkan cedera otak fokal
(CKR,CKS,CKB,commutio,kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma
serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
Sehubungan dengan tingginya insidensi cedera kepala sistemik, lebih dari 50%
pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu
diperhatikan hal-hal anggota seluruh tubuh sebagai berikut :
a) Cedera kepala dan leher
Laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, racoon’s eyes (ekhimosis periorbital),
atau battle’s sign (ekhimosis retroaurikuler).
b) Cedera daerah thoraks
Fraktur iga, pneumothoraks, hematothoraks, tamponade jantung (bunyi
jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
c) Cedera daerah abdomen
2
Khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan ditandai
dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
d) Cedera daerah pelvis
Cedera pada daerah pelvis bila secara klinisnya tidak jelas dan
membutuhkan konfirmasi radiologis.
e) Cedera daerah spinal
Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal ( >> ) dapat terjadi
secara bersamaan.
f) Cedera daerah ekstremitas
Dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf,
pembuluh darah).
V. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi :
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan :
a. Ada riwayat trauma kapitis
b. Tidak pingsan
c. Gejala sakit kepala dan pusing
d. Tidak perlu perawatan
e. Obat simptomatik
f. Istirahat di rumah
2. Commotio Cerebri (geger otak)
a. Keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit
b. Nyeri kepala
c. Vertigo
d. Mual, muntah
e. Pucat
f. Tidak ada defisit neurologis
g. Amnesia ante / retro grade, timbul akibat terhapusnya ingatan
rekaman kejadian di lobus temporalis
h. Terapi simptomatik
i. Ra watan selama 3-5 hari
j. Observasi kemungkinan komplikasi dan mobilisasi bertahap
3. Contusio Cerebri (memar otak)
a. Pingsan > 10 menit - < 6 jam
b. Nyeri kepala
c. Mual, muntah
d. Adanya defisit neurologis
e. Amnesia ante/retrograde
f. Terapi simptomatik
3
g. Rawat 5-10 hari
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut diserati dengan
robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama
pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung
disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan
mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena.
Frakur pada fossa anterior menimbulkan gejala :
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala :
Hematom retroaurikuler, ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis cranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis cranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi
terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.
VII. TALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala primer pada dasarnya memiliki
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan cedera sekunder memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, lakukan Advanced
Life Support (ACLS) telah menetapkan standar yang disesuaikan tingkat
keparahan cedera yaitu ringan, sedang, dan berat.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : C (circulation), A (airway), B (breathing), D (disability), dan E
(exposure/envimomental control) yang kemudian dilanjutkan dengan RJP
[ Resusitasi jantung pulmonanal (resusitasi).
A. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan :
Pemeriksaan status umum dan neurologi
5
Perawatan luka
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
Observasi tanda vital
Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48
jam
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi
hematoma intrakranial
6
Muntah, berikan IVFD NaCl 0,9% atau RL 1 kolf/12 jam, untuk
mencegah dehidrasi.
b. Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang dan Berat :
Urutan tindakan menurut prioritas
Dengan tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C), disability (D)
dan exposure (E), resusitasi jantung dan paru (RJP).
A : posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang
turun ke bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa nasofaring
Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
B : oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermiten
Bila perlu pakai ventilator
C : jika terjadi hipotensi (sistolik 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau pneumothoraks dan
shock septik.
Edem otak adalah gambaran umum yang ditemukan pada cedera kepala,
terutama pasien anak-anak dan dewasa muda
10
Decreased appetite
Posttraumatic stress disorder
Cognitive impairment
Memory dysfunction
Impaired concentration and attaltion
Slowing of reaction time
Slowing of information-processing speed
Uncommon and rate sequele
Subdural and epidural hematoma
Cerebral venous thrombosis
Second impact syndrome
Seizures
Nonepileptic seizures (pseudoseizures)
Transient global amnesia
Tremor
Dystonia
IX. PROGNOSIS
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada
pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk memiliki nilai prognostik
yang besar. Skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap
dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih
kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10%.
11