Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Infeksi respiratorik akut (IRA) merupakan penyebab
terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Di Indonesia, IRA merupakan
masalah kesehatan yang utama karena masih tingginya angka kejadian IRA terutama
pada anak-anak balita (Saftari, 2009).

Infeksi respiratorik akut dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu infeksi


respiratorik akut atas (IRA-A) dan infeksi respiratorik akut bawah (IRA-B). Infeksi
respiratorik atas adalah infeksi primer saluran pernapasan di atas laring, sedangkan
infeksi saluran pernapasan dari laring ke bawah disebut infeksi respiratorik bawah.
Dilihat dari struktur saluran pernapasan, bronkiolitis digolongkan kedalam infeksi
respiratorik akut bawah (IRA-B). World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa IRA-B menjadi penyebab kematian kedua terbanyak pada anak, yaitu sekitar
2,1 juta (19,6%) (Tamba, 2009).

Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus


yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epideik setiap tahun dan ditandai
dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Bronkiolitis terutama disebabkan
oleh Respiratory Syncytial Virus (RSV), 60-90% dari kasus, dan sisanya disebabkan
oleh virus Parainfluenza tipe 1,2, dan 3, Influenza B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau
Mycoplasma. Respiratory Syncytial Virus adalah penyebab utama bronkiolitis dan
merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemik (WHO,2009).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan


virus yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epideik setiap tahun dan
ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing (WHO,2009).

2.2. Epidemiologi

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi.


Paling sering terjadi pada umur 2-24 bulan, puncaknya pada umur 2-8 bulan.
Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berumur di bawah 2 tahun
dan 75% di antaranya terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun (Zain,
2010). Orenstein (2012) menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi
pada bayi laki-laki berumur 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup
di lingkungan padat penduduk.

Sebanyak 11,4% anak berumur dibawah 1 tahun dan 6% anak berumur


1-2 tahun di AS pernah menderita bronkiolitis. Penyakit ini menyebaban
90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap
tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di RS
pada bayi. Insidens bronkiolitis di negara berkembang hampir sama dengan di
Amerika Serikat (AS). Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau
musim hujan di negara-negara tropis (Zain, 2010).

Median lama perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi prematur
dan kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley
menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi dengan umur yang
lebih muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada
bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk
beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi
dengan masa gestasi <34 minggu, umur <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen

2
<90%, laju respiratori >70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia
bronkopulmonar (bronchopulmonar dysplasia, BPD) (Zain, 2010).

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara


berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta
kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3% (Zain, 2010).

Umumnya mengenai usia < 2 tahun (puncak usia 2-6 bulan), 69%
terjadi pada usia < 1 tahun, 95% terjadi pada usia < 2 tahun. 2,2 kasus per 100
anak/ tahun. 1% dari anak yang rawat inap pada usia 1 tahun. Anak laki-laki
lebih banyak terkena daripada anak perempuan (1,25 : 1 sampai 1,5 : 1).
Bronkiolitis dapat terjadi sepanjang tahun, seperti pada puncak musim dingin,
musim gugur, dan musim hujan. Terutama menular melalui kontak langsung
dengan secret nasal. Aman bila jarak dengan penderita > 6 kaki. RSV dapat
hidup pada area terkontaminasi sampai 6 jam sehingga meningkatkan kejadian
nosocomial. Setelah kontak dengan penderita, cuci tangan merupakan hal yang
sangat penting. Pada pasien, virus dapat bertahan sampai 10 hari. Kejadiannya
sering pada bayi yang tidak mendapatkan ASI. Penyebaran lebih mudah pada
ruangan tertutup atau lingkungan yang padat (PPM,2010).

2.3. Etiologi

Bronkiolitis mula-mula digambarkan sebagai komplikasi campak dan


parotitis, tetapi kini telah dihubungkan dengan banyak virus pernapasan
(Hazinski, 2007). Penyebab paling sering dari bronkiolitis adalah respiratory
syncytial virus (RSV). Sekitar 95% kasus bronkiolitis disebabkan oleh invasi
RSV (Zain, 2010)

Virus lain yang merupakan penyebab bronkiolitis adalah virus influenza,


parainfluenza, rhinovirus, human metapneumovirus, dan bocavirus (Koehoorn
et al., 2008). Tidak ada bukti yang kuat bahwa bakteri menyebabkan
bronkiolitis. Kadang-kadang, secara klinis bronkopneumonia dapat terancukan
dengan bronkiolitis (Orenstein, 2012).

3
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV (Respiratory Syncytial
Virus). Sekitar 75.000 sampai 125.000 anak dibawah usia 1 tahun dirawat di
Amerika Serikat setiap tahunnya (Junawanto,2016).

2.4. Patofisiologi

Respiratory Syncytial Virus adalah single stranded RNA virus yang


berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua
glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk
menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan
protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target
dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi
protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B.
RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan
menimbulkan sekuele (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).

Gambar 2.1. Respiratory Syncytial Virus (Vapotherm, 2015).

Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring


kemudian menyebar dari saluran napas atas ke saluran napas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran napas dan melalui aspirasi sekresi

4
nasofaring. Respiratory Syncytial Virus mempengaruhi sistem saluran napas
melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus
yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis
sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan
debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia
juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus .
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih
terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida
(neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran
napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan
ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin
yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi
sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi
sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas (Setiawati, Asih,
& Makmuri, 2005).

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,


menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.
Karena resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan
diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit
saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter
saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran
napas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi, tetapi karena
radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan
air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi
total dan udara yang terjebak diabsorbsi (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005).

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.


Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan.

5
Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan
oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat sekama
end-expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.
Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit (Zain,
2010)

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan
diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh
makrofag (Zain, 2010). Berikut ini gambar interaksi neuroinflamasi dan ‘neural
remodeling’ pada saluran jalan napas yang terinfeksi RSV.

Gambar 2.2. Interaksi neuroinflamasi dan ‘neural remodeling’ pada


saluran jalan napas yang terinfeksi RSV (Setiawati, Asih, & Makmuri, 2005)

2.5. Manifestasi Klinis


Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang
encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai
demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distress nafas yang
ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan

6
menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita
infeksi saluran napas atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau
tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.

Gejala pada anak yang menderita bronkiolitis (PPM,2010):


1. Satu sampai empat hari sebelumnya didapatkan pilek encer, hidung
tersumbat.
2. Demam sub febris (kecuali infeksi sekunder oleh bakteri)
3. Puncak gejala pada hari ke-5 sakit: batuk, sesak napas, takipneu,
mengi, minum menurun, apnea, sianosis

Tanda pada anak yang menderita bronkiolitis (PPM,2010):


1. Napas cuping hidung
2. Penggunaan otot bantu napas
3. Sesak napas, takipnea, apnea
4. Hiperinflasi dada
5. Retraksi, expiratory effort
6. Ronki pada akhir inspirasi dan awal inspirasi
7. Ekspirasi memanjang
8. Hepar atau limpa dapat teraba

2.6. Diagnosis

a. Penegakan Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Anak
umumnya pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita infeksi
virus beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal berupa gejala infeksi
respiratori- atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu
hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas.

7
1. Anamnesis

Pada anamnesis, perlu dilakukan identifikasi faktor risiko dari


bronkiolitis akut. Adapun faktor risiko bronkilitis akut adalah sebagai
berikut:
1. Jenis kelamin laki-laki
Bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki
daripada anak perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kaliber
saluran repiratorik yang relative lebih sempit pada anak laki-laki
disbanding perempuan.

2. Bayi yang tidak mendapatkan ASI

Bayi yang minum air susu ibu (ASI) memiliki risiko lebih rendah
mengalami bronkiolitis akut dibandingkan bayi yang tidak minum
ASI. Hal ini dihubungkan dengan ASI mempunyai antibodi
terhadap respiratory syncytial virus (RSV) termasuk imunoglobulin
(Ig)G, IgA, interferon- γ (IFN-γ), serta mempunyai aktivitas
netralisasi melawan RSV. Penelitian Bachrach mendapatkan bahwa
ASI eksklusif selama 4 bulan mengurangi risiko rawat inap akibat
infeksi respiratorius akut bawah.

3. Bayi perokok pasif

Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu


perokok lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak
merokok. Asap rokok yang terdiri dari asap utama dan asap
sampingan mengandung tar, nikotin, dan poliaromatik hidrokarbon.
Paparan asap rokok baik prenatal maupun pascanatal dapat
mempengaruhi morfogenesis paru maupun perkembangan sistem
imunologis anak. Satu penelitian mendapatkan bahwa perokok pasif
meningkatkan risiko infeksi RSV dengan rasio odd (RO) 3,87.
Strachan dan Cook melaporkan rasio odd (RO) terinfeksi RSV 1,72
bila ibu merokok. Carroll dkk, pada penelitian kohort retrospektif

8
mendapatkan RR 1,19 (IK95% 1,08;1,31) bila ibu perokok. Peneliti
lainnya melaporkan prevalensi infeksi respiratorius atas akut
meningkat dari 81,6% menjadi 95,2% pada bayi jika hanya ayah
yang merokok.

4. Vaksinasi BCG

Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin hidup yang

dilemahkan, diduga dapat merangsang produksi IFN-γ.15 Linehan,


dkk pada penelitian kohort retrospektif melaporkan bahwa
imunisasi BCG mengurangi kejadian mengi {RO 0,68 (IK95%
0,53;0,87)}. Adanya rangsangan pembentukan IFN-γ oleh BCG
pada awal kehidupan mengakibatkan keseimbangan Th1/Th2
mengarah ke Th1, walaupun pada usia selanjutnya terjadi
rangsangan pembentukan Th2 oleh RSV yang merupakan penyebab
terbanyak bronkiolitis akut.

5. Riwayat atopi

Atopi merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai


predisposisi bronkiolitis akut. Hal ini didasari karena pasien
bronkiolitis akut berat sering mengalami mengi berulang atau
berkembang menjadi asma. Carroll, dkk mendapatkan peningkatan
risiko bronkiolitis akut sebesar 1,52 (IK95% 1,26;1,87) bila ibu
menderita asma.

6. Cuaca
Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada
musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada
musim hujan.

Factor risiko lain terjadinya bronkiolitis adalah status social ekonomi


rendah, factor mekanis (diameter saluran napas), kepadatan rumah (jumlah
anggota keluarga yang besar), berada pada tempat penitipan anak atau ke

9
tempat-tempat umum yang ramai, dan rendahnya antibody maternal terhadap
RSV.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis
adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,50C.
obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Pada kasus
yang berat mengi dapat terdengar tanpa stetoskop. Usaha-usaha
pernapasan untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping
hidung dan retraksi intercostal. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala
menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.
Kriteria bronkiolitis terdiri dari :
a. Wheezing pertama kali
b. Umur 24 bulan atau kurang
c. Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya
batuk, pilek, demam
d. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat
menyebabkan wheezing.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat digunakan skor Respiratory


Distress Assessment Intrument (RDAI), yang menilai distress napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor
lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3
dimasukkan dalam kategori ringan.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit


biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah
(AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang
membutuhkan ventilator mekanik (Zain, 2010).

10
Pada foto Rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan
infiltrat (patchy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat
pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens
akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior (Zain, 2010).

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan


aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dilakukan kultur virus
tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif
pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan
antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA.
Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90% (Setiawati, Asih, Makmuri,
2005).

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan


berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju
pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas, beratnya wheezing, dan
oksigenasi (Zain, 2010).

11
Skala klinis yang digunakan Abul-Ainine dan Luyt adalah :

1. Frekuensi Pernapasan (FP) : dihitung manual, baik dengan palpasi


dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali
penghitungan dan diambil rata-ratanya.
2. Frekuensi Jantung (FJ) : diambil dari pulse oxymetry yang dibaca
lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
3. Saturasi O2 : diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali
selama pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya.
4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI
menurut Lowell et al.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel, dan
menangis)

Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis


sebagai berikut:

1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).


2. Penggunaan otot bantu napas : skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3
(retraksi berat).

12
3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik
dan ekspiratorik).

Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan


manifestasi klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis
banding yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis
sebaiknya dipikirkan, misalnya pneumonia berbagai sebab dapat
memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang
menyerupai bronkiolitis. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis
bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi,
rentang umur terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu
tahun (Zain, 2010).

2.7. Diagnosis Banding


Asma bronkial merupakan diagnosis banding yang tersering.
Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah 2 tahun.
Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama kali,
sedangkan pada asma selain tanpa disertai demam kejadian seperti ini
merupakan kejadian yang berulang. Gambaran sugestif asma bronkial adalah
serangan berulang, riwayat asma bronkial dan penyakit alergi lain dalam
keluarga serta eosinophilia (Wijaya, 2014).
Selain asma, pneumonia karena bakteri pun kadang-kadang sulit
dibedakan apabila disertai dengan sumbatan respiratorik karena kaliber saluran
yang masih kecil. Gambaran sugestif pneumonia bacterial berupa demam ≥ 37,8
o
C (100 oF), neutrofilia dan opasitas pada foto rontgen toraks. Sebaliknya,
bronkiolitis biasanya tidak disertai demam dengan kadar leukosit normal
(Wijaya, 2014).
Diagnosis banding lain dari bronkiolitis adalah aspirasi benda asing,
sistik fibrosis, dan gagal jantung. Gejala respirasi persisten atau berulang dn
jangka Panjang disertai gagal tumbuh mengarahkan diagnosis kea rah sistik
fibrosis. Aspirasi benda asing diperkuat dengan manifestasi klinis berupa onset
gejala yang tiba-tiba, riwayat episode batuk atau tersedak, wheezing ekspirasi,
dan hilang suara. Gagal jantung kongestif ditandai dengan murmur, gagal
tumbuh, edema atau riwayat gejala yang muncul perlahan (Wijaya, 2014).

13
2.8. Penatalaksanaan

Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan


biasanya hanya suportif. Pada prinsipnya, tatalaksana bronkiolitis meliputi
beberapa Tindakan dasar yang meliputi eliminasi mikroorganisme penyebab,
menghilangkan keluhan yang terjadi, dan sekaligus tatalaksana supportif yang
mempercepat penyembuhan penderita (Junawanto,2016).

Prinsip Pengobatan (Junawanto,2016):

1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan
distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan
nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen
30 – 40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam
ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin
(mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2
L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan
rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU). Penggunaan kateter nasal
serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat
sedasi..

Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu


memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya
adalah untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat
obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi paru. Transient oxygen
desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur, durasinya <6 detik,
sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam
hitungan jam sampai hari.

2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya

14
cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola
pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat
diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik.
Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang
terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena perlu
pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.
3. Bronkodilator dan Kortikosteroid

Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus


diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di
Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis,
namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap,
ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada
keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.

Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009


menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak
dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama
perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.

Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat.


Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas
untuk membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada
saluran pernapasan.

4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya
masih kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American
Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik,
imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit

15
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan
cara nebulizer aerosol dengan dosis 20mg/mL diberikan dalam 12-18 jam
per hari selama 3- 7 hari.
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh
virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering
digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak
terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya
diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik
yang dipakai biasanya yang berspektrum luas,namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun
perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain
pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah
nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau obstruksi
saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan deep
suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada anak usia
2 – 12 bulan.

Tatalaksana berdasarkan PPK Sanglah tahun 2017 :

1. Oksigen 1-2 liter per menit nasal prong (sesuai PPK ARDS)
2. D5 0,225 NS pada anak berusia < 2 tahun dan D5 0,45 NS pada anak usia
³ 2 tahun sesuai derajat dehidrasi dan kebutuhan rumatan.
3. Salbutamol inhalasi 0,005 – 0,1 mg/kgbb/kali ditambah NaCl 3 % hingga
4 mL tiap 6-8 jam selama 5 hari
4. Deksametason intravena bolus 1 mg/kgbb/hari, dilanjutkan 6 jam
kemudian dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari dibagi tiga selama 5 hari
5. Nasal suction bila secret berlebih
6. Fisioterapi dada bila terdapat atelectasis

16
Tatalaksana berdasarkan WHO tahun 2009 :

a. Antibiotik

o Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan
diberikan kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau
amoksisilin (25 mg/ kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari.
Apabila terdapat tanda distres pernapasan tanpa sianosis tetapi anak
masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit dan beri
ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.
Bila anak memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di
rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25
mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. Bila
keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan membaik,
dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari.
o Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat)
segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-
kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
o Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau
IV sekali sehari).

b. Oksigen

o Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan
berat.
Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah
dengan nasal prongs atau kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter
naso- faringeal. Pemberian oksigen terbaik untuk bayi muda adalah
mengguna- kan nasal prongs.
o Teruskan terapi oksigen sampai tanda hipoksia menghilang,

17
Perawat harus memeriksa sedikitnya tiap 3 jam bahwa kateter atau prongs
berada dalam posisi yang benar dan tidak tersumbat oleh mukus dan semua
sambungan terpasang aman.

2.9. Komplikasi

Jika anak gagal memberikan respons terhadap terapi oksigen atau keadaan
anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat
kemungkinan pneumothorax (WHO,2009).
Tension Pneumothorax yang diikuti dengan distress pernapasan dan
pergeseran jantung, membutuhkan penanganan segera dengan menempatkan
jarum di daerah yang terkena agar udara bisa keluar (perlu diikuti dengan insersi
kateter dada dengan katup di bawah air untuk menjamin kelangsungan
keluarnya udara sampai kebocoran udara menutup secara spontan dan paru
mengembang) (WHO, 2009).

2.10. Prognosis

Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama
sesudah batuk dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit,
serangan apnea terjadi pada bayi yang sangat muda, dan asidosis respiratoir
mungkin ada. Sesudah periode kritis, perbaikan terjadi dengan cepat dan
seringkali secara dramatis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka
fatalitas kasus di bawah 1%; kematian dapat merupakan akibat dari serangan
apnea yang lama, asidosis respiratoir berat yang tidak terkompensasi, atau
dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta
ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan,
misalnya penyakit jantung kongental, displasia bronkopulmonal, penyakit
imunodefisiensi, atau fibrosis kistik mempunyai angka morbiditas yang lebih
besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas (Orenstein, 2012).

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : IMDAP
Umur/tanggal lahir : 9 bulan 14 hari/02-03-2021
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Status Perkawinan :-
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Alamat : Dusun Tulang Nyuh, Desa Tegak
No. Rekam Medis : 272523
Tanggal Pemeriksaan : 14-12-2021

3.2 Anamnesa
a. Keluhan Utama : Sesak
b. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien anak-anak usia 9 bulan datang ke Poliklinik Anak RSUD


Klungkung bersama orang tua dengan keluhan sesak. Keluhan sesak
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak di rasakan terus
menerus. Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
keluhan batuk. Keluhan batuk disertai dengan dahak, namun dahak sulit
dikeluarkan. Kemudian keluhan batuk diikuti dengan pilek berwarna
bening dan dirasakan terus menerus.
Kemudian, 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak napas
sehingga pasien dibawa berobat ke puskesmas dan mendapatkan terapi
uap. Setelah dilakukan terapi uap, keluhan sesak dirasakan tidak membaik
sehingga pasien dirujuk ke Poliklinik Anak RSUD Klungkung. Sesak
tidak dipengaruhi cuaca maupun aktivitas.

19
Keluhan lain seperti demam (-), muntah (-). Ibu pasien
mengatakan bahwa nafsu makan pasien dikatakan menurun dan pasien
juga minumnya hanya sedikit-sedikit. BAB dan BAK dalam batas normal.

c. Riwayat penyakit dahulu :


• Riwayat keluhan yang sama : ada, saat usia 3 bulan
• Riwayat asma : tidak ada
• Riwayat penyakit jantung : tidak ada

d. Riwayat penyakit keluarga :


• Riwayat keluhan yang sama : tidak ada

e. Riwayat pengobatan
Pasien mendapatkan nebulizer di puskesmas tetapi tidak membaik sehingga di
rujuk ke RSUD Klungkung

f. Riwayat sosial :
• Makan dan minum : baik
• Aktivitas social : baik

g. Riwayat Imunisasi
- BCG : 1 kali
- Polio : 2 kali
- Hepatitis B: 3 kali
- DPT : 1 kali
- Campak :-

h. Riwayat persalinan
- Lahir : SC
- BBL : 3900
- PBL : 50 cm
- Bayi : Segera menangis

20
i. Riwayat Nutrisi
- ASI : 2 bulan, frekuensi 10 x/hari
- Susu formula : sejak usia 2 bulan, frekuensi 4 x/hari
- Bubu Susu : 6 bulan, frekuensi 3 x/hari
- Nasi tim : usia 9 bulan, frekuensi 3 x/hari
- Makanan Dewasa : -

j. Status Antropometri
- BB : 10 kg
- TB :72 cm
- BB/U : 0 – 2 SD (normal)
- TB/U : 0 SD (normal)
- IMT : 19,6 Kg/m2
- IMT/U : 1 – 2 SD (normal)

3.3 Pemeriksaan Fisik


• Status Present
Keadaan umum : sakit sedang
GCS : Composmentis (E4V5M6)
Tekanan darah :-
Nadi : 120x/menit
Respirasi rate : 38x/menit
Suhu : 37oC
SpO2 : 93%

• Status General
Kepala : Normochepali, warna rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil
(+/+) bulat isokor
THT :
o Telinga :bentuk normal, sekret tidak ada
o Hidung : sekret (+) berwarna bening, nafas cuping hidung (+)

21
o Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
o Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-), lidah kotor (-)
o Mukosa mulut : basah, stomatitis angularis (-),ulkus (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
o Pemeriksaan pulmo
§ Inspeksi : bentuk thorax normochest, simetris, retraksi (+)
subcostal
§ Palpasi : ekspansi simetris, fremitus vocal simetris
§ Perkusi : sonor seluruh lapang paru
§ Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+).
o Pemeriksaan Cor / Jantung
§ Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
§ Palpasi : ictus kordis teraba disebelah di linea
midclavicular pada ICS 5
§ Perkusi :
• Batas kanan : Parasternal Linea (D) ICS V
• Batas kiri (bawah) : Midclavicula Linea (S) ICS V
• Batas atas : Sternalis Linea (S) ICS II
• Batas pinggang : Parasternalis Linea (S) ICS III
§ Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Abdomen :
o Inspeksi : distensi (-)
o Auskultasi : BU (+) normal
o Perkusi : timpani (4 kuadran abdomen)
o Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : pembesaran (-)
o Lien : tidak teraba

Ekstremitas :

22
- -
o Edema :
- -

o Akral hangat : + +
+ +

o Sianosis : - -
- -
o CRT < 2 detik

3.4 Diagnosis Banding


• Bronkiolitis Akut
• Bronkopneumonia
• Asma Bronkial

3.5 Pemeriksaan Penunjang


• Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 11.2 g/dL 10,8-16.5
Leukostit 9.73 ribu/uL 3,5-10
Neutrofil 39 % 39,3-73,7
Limfosit 48.6 % 18,0-48,3
Monosit 9.0 % 4.4 – 12.7
Eosinofil 1.05 % 600 – 7.30
Basofil 1.91 % 0.00 - 1.70
Eritrosit 4.8 juta/uL 3,5-5,5
Ht 35.5 % 35-55
Indeks Eritrosit
MCV 74.8 fL 81.1-96

23
MCH 23.6 pg 27.0-31.2
MCHC 31.6 % 31.5-35.0
RDW-CV 12.3 % 11.5 – 14.5
Trombosit 434 Ribu/uL 145-450
MPV 5.31 fL 6.90 – 10.6

3.6 Diagnosis Kerja

Bronkiolitis Akut

3.7 Penatalaksanaan
• Farmakologi

o IVFD D5 ¼ 8 tpm
o Nebulizer Combivent + NaCl 3% tiap 6 jam
o Ampisilin 2 x 500 mg
o Gentamicin 1 x 50 mg

24
3.8 Follow Up

No. Tanggal S O A P
1. 16/12/2021 • Lemah (+) KU : lemah Bronkiolitis o IVFD D5 ¼ 8 tpm
• Sesak (+) GCS : composmentis akut o Nebulizer
berkurang Nadi : 120x/menit Combivent +

• Batuk (+) RR : 38x/menit NaCl 3% tiap 6

• Pilek (+) Suhu : 36,5oC jam

• Demam (-) SpO2 : 96% o Ampisilin 2 x 500


mg
• Makan
Mata : anemis (-/-), ikterik o Gentamicin 1 x 50
sedikit-sedikit
(-/-) mg
• BAB (-)
Hidung : secret (+/+)
• BAK (+)
bening, napas cuping hidung
(-)
Pulmo :
• Inspeksi : simetris
(+/+), retraksi (+)
subcostal
• Perkusi : sonor seluruh
lapang paru
• Auskultasi :
bronkovesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), wheezing
(+/+)
Cor : S1S2 tunggal
regular, murmur (-)
Abdomen : distensi (-),
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat
(+/+)

25
2. 17/12/2021 • Sesak (+) KU : lemah Bronkiolitis o IVFD D5 ¼ 8 tpm
berkurang GCS : composmentis akut o Nebulizer
• Batuk (+) Nadi : 100x/menit Combivent +

• Pilek (+) RR : 35x/menit NaCl 3% tiap 6

• Demam (-) Suhu : 36,8oC jam

• Makan mulai SpO2 : 97% o Ampisilin 2 x 500

banyak mg
Mata : anemis (-/-), ikterik o Gentamicin 1 x 50
• BAB (+)
(-/-) mg
• BAK (+)
Hidung : secret (+/+)
bening, napas cuping hidung
(-)
Pulmo :
• Inspeksi : simetris
(+/+), retraksi (-)
• Perkusi : sonor seluruh
lapang paru
• Auskultasi :
bronkovesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), wheezing
(+/+)
Cor : S1S2 tunggal
regular, murmur (-)
Abdomen : distensi (-),
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat
(+/+)

3. 18/12/2021 • Sesak (-) KU : baik Bronkiolitis BPL


• Batuk (+) GCS : composmentis akut
jarang Nadi : 122x/menit

• Demam (-) RR : 33x/menit


Suhu : 36,5oC

26
• Makan mulai SpO2 : 96%
banyak
• BAB (+) Mata : anemis (-/-), ikterik
BAK (+) (-/-)
Hidung : secret (-/-), napas
cuping hidung (-)
Pulmo :
• Inspeksi : simetris
(+/+), retraksi (-)
• Perkusi : sonor seluruh
lapang paru
• Auskultasi :
bronkovesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : S1S2 tunggal
regular, murmur (-)
Abdomen : distensi (-),
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat
(+/+)

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan oleh virus,
biasanya lebih berat terjadi pada bayi muda, terjadi epidemic setiap tahunnya dan ditandai
dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Episode wheezing terjadi selama beberapa
bulan setelah serangan bronkiolitis, namun akan berhenti. Factor risiko dari bronkiolitis
meliputi jenis kelamin, umur, riwayat atopi keluarga, prematuritas, riwayat pemberian ASI,
paparan asap rokok, dan gizi kurang.

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada kasus didapatkan diagnosis pada kasus yaitu Bronkiolitis Akut.

TEORI KASUS
Anamnesis : Anamnesis :
• Usia < 2 tahun • Usia 9 bulan
• Pilek, batuk, dan demam subfebris • 5 hari SMRS batuk (+), pilek (+)
• Sesak napas, takipnea, retraksi dinding • 1 hari SMRS sesak napas (+)
dada dan mengi dalam 1-2 hari setelah • Rewel, makan dan minum menurun
onset gejala
• Rewel, kesulitan minum, dan muntah
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik :
• Takipnea dengan fase ekspirasi • Hidung : secret (+) bening, napas
memanjang cuping hidung (+)
• Retraksi dinding dada (subcostal, • Pulmo :
intercostal, suprasternal, dan § Inspeksi : bentuk thorax
supraklavikula) normochest, simetris, retraksi (+)
• Mengi dan ronki basah halus pada subcostal
seluruh lapang paru § Palpasi : ekspansi simetris,
• Pada bronkiolitis berat, terdapat fremitus vocal simetris
tanda dehidrasi, distress napas berat § Perkusi : sonor seluruh lapang
(laju napas >60 kali/menit, retraksi paru
hingga suprasternal, head nodding,

28
napas cuping hidung) dan gagal § Auskultasi : vesikuler (+/+),
napas (sianosis hingga apnea) rhonki (-/-), wheezing (+/+).

Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan penunjang :


• Laboratorium • Laboratorium
Darah lengkap : leukosit normal Darah lengkap : leukosit normal
• Rontgen Thoraks (9,73 ribu/uL)
Foto Rontgen toraks didapatkan • Rontgen Thoraks : -
gambaran hiperinflasi dan infiltrat
(patchy infiltrates)

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien sesuai dengan keadaan
bronkiolitis. Pada prinsipnya, tatalaksana bronkiolitis meliputi beberapa Tindakan dasar yang
meliputi eliminasi mikroorganisme penyebab, menghilangkan keluhan yang terjadi, dan
sekaligus tatalaksana supportif yang mempercepat penyembuhan penderita. Pada kasus ini
diberikan tatalaksana berupa IVFD D5 ¼ 8 tpm, Nebulizer Combivent + NaCl 3% tiap 6 jam,
Ampisilin 2 x 500 mg, dan Gentamicin 1 x 50 mg.

29
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dilaporkan penderita laki-laki usia 9 bulan dengan keluhan sesak napas sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan terus menerus dan tidak membaik
setelah di terapi uap. Keluhan didahului dengan batuk dan pilek 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Riwayat demam disangkal. Makan dan minum dikatakan menurun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada status generalis
didapatkan pada pemeriksaan pulmo adanya retraksi subcostal, dan suara napas
bronkovesikuler disertai suara napas tambahan wheezing (+/+). Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan darah lengkap dalam batas normal. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis Bronkiolitis Akut.

30
DAFTAR PUSTAKA

Orenstein, David M., 2012. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, & Arvin. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson, Ed. 15, Vol. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Setiawati L., Asih R., & Makmuri, 2005. Tata Laksana Bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Tamba, Rony A.P., 2009. Faktor Risiko Infeksi Respiratorik Akut Bawah pada Anak di RSUP
Dr Kariadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

Zain, Magdalena S., 2010. Bronkiolitis. Dalam : Rahajoe N.N., Supriyanto B., & Setyanto D.B.
Buku Ajar Respirologi Anak, Ed. 1. Badan Penerbit IDAI, Jakarta

Junawanto, I. 2016. Diagnosis dan Penanganan Terkini Bronkiolitis Pada Anak. Jakarta : CDK
Journal
Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak. 2017. RSUP Sanglah Denpasar

Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 2010. RSUP Sanglah Denpasar

Rahmayanti. 2020. Diagnosis, Tatalaksana dan Prognosis Bronkiolitis Pada Anak. Aceh :
Jurnal Kedokteran Manngroe Medika

Wijaya, Surya. 2014. Pedoman Diagnosis Bronkiolitis Akut. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kedokteran

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta : WHO Indonesia

31

Anda mungkin juga menyukai