PENDAHULUAN
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Infeksi respiratorik akut (IRA) merupakan penyebab
terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Di Indonesia, IRA merupakan
masalah kesehatan yang utama karena masih tingginya angka kejadian IRA terutama
pada anak-anak balita (Saftari, 2009).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
Median lama perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi prematur
dan kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley
menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi dengan umur yang
lebih muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada
bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk
beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi
dengan masa gestasi <34 minggu, umur <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen
2
<90%, laju respiratori >70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia
bronkopulmonar (bronchopulmonar dysplasia, BPD) (Zain, 2010).
Umumnya mengenai usia < 2 tahun (puncak usia 2-6 bulan), 69%
terjadi pada usia < 1 tahun, 95% terjadi pada usia < 2 tahun. 2,2 kasus per 100
anak/ tahun. 1% dari anak yang rawat inap pada usia 1 tahun. Anak laki-laki
lebih banyak terkena daripada anak perempuan (1,25 : 1 sampai 1,5 : 1).
Bronkiolitis dapat terjadi sepanjang tahun, seperti pada puncak musim dingin,
musim gugur, dan musim hujan. Terutama menular melalui kontak langsung
dengan secret nasal. Aman bila jarak dengan penderita > 6 kaki. RSV dapat
hidup pada area terkontaminasi sampai 6 jam sehingga meningkatkan kejadian
nosocomial. Setelah kontak dengan penderita, cuci tangan merupakan hal yang
sangat penting. Pada pasien, virus dapat bertahan sampai 10 hari. Kejadiannya
sering pada bayi yang tidak mendapatkan ASI. Penyebaran lebih mudah pada
ruangan tertutup atau lingkungan yang padat (PPM,2010).
2.3. Etiologi
3
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV (Respiratory Syncytial
Virus). Sekitar 75.000 sampai 125.000 anak dibawah usia 1 tahun dirawat di
Amerika Serikat setiap tahunnya (Junawanto,2016).
2.4. Patofisiologi
4
nasofaring. Respiratory Syncytial Virus mempengaruhi sistem saluran napas
melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus
yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis
sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan
debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang merusak epitel bersilia
juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus .
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih
terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida
(neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran
napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan
ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin
yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi
sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi
sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas (Setiawati, Asih,
& Makmuri, 2005).
5
Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan
oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat sekama
end-expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.
Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit (Zain,
2010)
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan
diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh
makrofag (Zain, 2010). Berikut ini gambar interaksi neuroinflamasi dan ‘neural
remodeling’ pada saluran jalan napas yang terinfeksi RSV.
6
menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita
infeksi saluran napas atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau
tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.
2.6. Diagnosis
a. Penegakan Diagnosis
7
1. Anamnesis
Bayi yang minum air susu ibu (ASI) memiliki risiko lebih rendah
mengalami bronkiolitis akut dibandingkan bayi yang tidak minum
ASI. Hal ini dihubungkan dengan ASI mempunyai antibodi
terhadap respiratory syncytial virus (RSV) termasuk imunoglobulin
(Ig)G, IgA, interferon- γ (IFN-γ), serta mempunyai aktivitas
netralisasi melawan RSV. Penelitian Bachrach mendapatkan bahwa
ASI eksklusif selama 4 bulan mengurangi risiko rawat inap akibat
infeksi respiratorius akut bawah.
8
mendapatkan RR 1,19 (IK95% 1,08;1,31) bila ibu perokok. Peneliti
lainnya melaporkan prevalensi infeksi respiratorius atas akut
meningkat dari 81,6% menjadi 95,2% pada bayi jika hanya ayah
yang merokok.
4. Vaksinasi BCG
5. Riwayat atopi
6. Cuaca
Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada
musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada
musim hujan.
9
tempat-tempat umum yang ramai, dan rendahnya antibody maternal terhadap
RSV.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis
adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,50C.
obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Pada kasus
yang berat mengi dapat terdengar tanpa stetoskop. Usaha-usaha
pernapasan untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping
hidung dan retraksi intercostal. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala
menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.
Kriteria bronkiolitis terdiri dari :
a. Wheezing pertama kali
b. Umur 24 bulan atau kurang
c. Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya
batuk, pilek, demam
d. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat
menyebabkan wheezing.
3. Pemeriksaan Penunjang
10
Pada foto Rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan
infiltrat (patchy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat
pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens
akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior (Zain, 2010).
11
Skala klinis yang digunakan Abul-Ainine dan Luyt adalah :
12
3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik
dan ekspiratorik).
13
2.8. Penatalaksanaan
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan
distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan
nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen
30 – 40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam
ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin
(mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen
diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2
L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan
rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU). Penggunaan kateter nasal
serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat
sedasi..
2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya
14
cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola
pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat
diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik.
Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang
terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena perlu
pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.
3. Bronkodilator dan Kortikosteroid
4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya
masih kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American
Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik,
imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit
15
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan
cara nebulizer aerosol dengan dosis 20mg/mL diberikan dalam 12-18 jam
per hari selama 3- 7 hari.
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh
virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering
digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak
terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya
diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik
yang dipakai biasanya yang berspektrum luas,namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun
perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain
pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah
nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau obstruksi
saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan deep
suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada anak usia
2 – 12 bulan.
1. Oksigen 1-2 liter per menit nasal prong (sesuai PPK ARDS)
2. D5 0,225 NS pada anak berusia < 2 tahun dan D5 0,45 NS pada anak usia
³ 2 tahun sesuai derajat dehidrasi dan kebutuhan rumatan.
3. Salbutamol inhalasi 0,005 – 0,1 mg/kgbb/kali ditambah NaCl 3 % hingga
4 mL tiap 6-8 jam selama 5 hari
4. Deksametason intravena bolus 1 mg/kgbb/hari, dilanjutkan 6 jam
kemudian dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari dibagi tiga selama 5 hari
5. Nasal suction bila secret berlebih
6. Fisioterapi dada bila terdapat atelectasis
16
Tatalaksana berdasarkan WHO tahun 2009 :
a. Antibiotik
o Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan
diberikan kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau
amoksisilin (25 mg/ kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari.
Apabila terdapat tanda distres pernapasan tanpa sianosis tetapi anak
masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit dan beri
ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.
Bila anak memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di
rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25
mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. Bila
keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan membaik,
dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari.
o Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat)
segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-
kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
o Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau
IV sekali sehari).
b. Oksigen
o Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan
berat.
Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah
dengan nasal prongs atau kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter
naso- faringeal. Pemberian oksigen terbaik untuk bayi muda adalah
mengguna- kan nasal prongs.
o Teruskan terapi oksigen sampai tanda hipoksia menghilang,
17
Perawat harus memeriksa sedikitnya tiap 3 jam bahwa kateter atau prongs
berada dalam posisi yang benar dan tidak tersumbat oleh mukus dan semua
sambungan terpasang aman.
2.9. Komplikasi
Jika anak gagal memberikan respons terhadap terapi oksigen atau keadaan
anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat
kemungkinan pneumothorax (WHO,2009).
Tension Pneumothorax yang diikuti dengan distress pernapasan dan
pergeseran jantung, membutuhkan penanganan segera dengan menempatkan
jarum di daerah yang terkena agar udara bisa keluar (perlu diikuti dengan insersi
kateter dada dengan katup di bawah air untuk menjamin kelangsungan
keluarnya udara sampai kebocoran udara menutup secara spontan dan paru
mengembang) (WHO, 2009).
2.10. Prognosis
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama
sesudah batuk dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit,
serangan apnea terjadi pada bayi yang sangat muda, dan asidosis respiratoir
mungkin ada. Sesudah periode kritis, perbaikan terjadi dengan cepat dan
seringkali secara dramatis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka
fatalitas kasus di bawah 1%; kematian dapat merupakan akibat dari serangan
apnea yang lama, asidosis respiratoir berat yang tidak terkompensasi, atau
dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta
ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan,
misalnya penyakit jantung kongental, displasia bronkopulmonal, penyakit
imunodefisiensi, atau fibrosis kistik mempunyai angka morbiditas yang lebih
besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas (Orenstein, 2012).
18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesa
a. Keluhan Utama : Sesak
b. Riwayat penyakit sekarang :
19
Keluhan lain seperti demam (-), muntah (-). Ibu pasien
mengatakan bahwa nafsu makan pasien dikatakan menurun dan pasien
juga minumnya hanya sedikit-sedikit. BAB dan BAK dalam batas normal.
e. Riwayat pengobatan
Pasien mendapatkan nebulizer di puskesmas tetapi tidak membaik sehingga di
rujuk ke RSUD Klungkung
f. Riwayat sosial :
• Makan dan minum : baik
• Aktivitas social : baik
g. Riwayat Imunisasi
- BCG : 1 kali
- Polio : 2 kali
- Hepatitis B: 3 kali
- DPT : 1 kali
- Campak :-
h. Riwayat persalinan
- Lahir : SC
- BBL : 3900
- PBL : 50 cm
- Bayi : Segera menangis
20
i. Riwayat Nutrisi
- ASI : 2 bulan, frekuensi 10 x/hari
- Susu formula : sejak usia 2 bulan, frekuensi 4 x/hari
- Bubu Susu : 6 bulan, frekuensi 3 x/hari
- Nasi tim : usia 9 bulan, frekuensi 3 x/hari
- Makanan Dewasa : -
j. Status Antropometri
- BB : 10 kg
- TB :72 cm
- BB/U : 0 – 2 SD (normal)
- TB/U : 0 SD (normal)
- IMT : 19,6 Kg/m2
- IMT/U : 1 – 2 SD (normal)
• Status General
Kepala : Normochepali, warna rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil
(+/+) bulat isokor
THT :
o Telinga :bentuk normal, sekret tidak ada
o Hidung : sekret (+) berwarna bening, nafas cuping hidung (+)
21
o Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
o Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-), lidah kotor (-)
o Mukosa mulut : basah, stomatitis angularis (-),ulkus (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
o Pemeriksaan pulmo
§ Inspeksi : bentuk thorax normochest, simetris, retraksi (+)
subcostal
§ Palpasi : ekspansi simetris, fremitus vocal simetris
§ Perkusi : sonor seluruh lapang paru
§ Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+).
o Pemeriksaan Cor / Jantung
§ Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
§ Palpasi : ictus kordis teraba disebelah di linea
midclavicular pada ICS 5
§ Perkusi :
• Batas kanan : Parasternal Linea (D) ICS V
• Batas kiri (bawah) : Midclavicula Linea (S) ICS V
• Batas atas : Sternalis Linea (S) ICS II
• Batas pinggang : Parasternalis Linea (S) ICS III
§ Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Abdomen :
o Inspeksi : distensi (-)
o Auskultasi : BU (+) normal
o Perkusi : timpani (4 kuadran abdomen)
o Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : pembesaran (-)
o Lien : tidak teraba
Ekstremitas :
22
- -
o Edema :
- -
o Akral hangat : + +
+ +
o Sianosis : - -
- -
o CRT < 2 detik
23
MCH 23.6 pg 27.0-31.2
MCHC 31.6 % 31.5-35.0
RDW-CV 12.3 % 11.5 – 14.5
Trombosit 434 Ribu/uL 145-450
MPV 5.31 fL 6.90 – 10.6
Bronkiolitis Akut
3.7 Penatalaksanaan
• Farmakologi
o IVFD D5 ¼ 8 tpm
o Nebulizer Combivent + NaCl 3% tiap 6 jam
o Ampisilin 2 x 500 mg
o Gentamicin 1 x 50 mg
24
3.8 Follow Up
No. Tanggal S O A P
1. 16/12/2021 • Lemah (+) KU : lemah Bronkiolitis o IVFD D5 ¼ 8 tpm
• Sesak (+) GCS : composmentis akut o Nebulizer
berkurang Nadi : 120x/menit Combivent +
25
2. 17/12/2021 • Sesak (+) KU : lemah Bronkiolitis o IVFD D5 ¼ 8 tpm
berkurang GCS : composmentis akut o Nebulizer
• Batuk (+) Nadi : 100x/menit Combivent +
banyak mg
Mata : anemis (-/-), ikterik o Gentamicin 1 x 50
• BAB (+)
(-/-) mg
• BAK (+)
Hidung : secret (+/+)
bening, napas cuping hidung
(-)
Pulmo :
• Inspeksi : simetris
(+/+), retraksi (-)
• Perkusi : sonor seluruh
lapang paru
• Auskultasi :
bronkovesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), wheezing
(+/+)
Cor : S1S2 tunggal
regular, murmur (-)
Abdomen : distensi (-),
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat
(+/+)
26
• Makan mulai SpO2 : 96%
banyak
• BAB (+) Mata : anemis (-/-), ikterik
BAK (+) (-/-)
Hidung : secret (-/-), napas
cuping hidung (-)
Pulmo :
• Inspeksi : simetris
(+/+), retraksi (-)
• Perkusi : sonor seluruh
lapang paru
• Auskultasi :
bronkovesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : S1S2 tunggal
regular, murmur (-)
Abdomen : distensi (-),
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat
(+/+)
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan oleh virus,
biasanya lebih berat terjadi pada bayi muda, terjadi epidemic setiap tahunnya dan ditandai
dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Episode wheezing terjadi selama beberapa
bulan setelah serangan bronkiolitis, namun akan berhenti. Factor risiko dari bronkiolitis
meliputi jenis kelamin, umur, riwayat atopi keluarga, prematuritas, riwayat pemberian ASI,
paparan asap rokok, dan gizi kurang.
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada kasus didapatkan diagnosis pada kasus yaitu Bronkiolitis Akut.
TEORI KASUS
Anamnesis : Anamnesis :
• Usia < 2 tahun • Usia 9 bulan
• Pilek, batuk, dan demam subfebris • 5 hari SMRS batuk (+), pilek (+)
• Sesak napas, takipnea, retraksi dinding • 1 hari SMRS sesak napas (+)
dada dan mengi dalam 1-2 hari setelah • Rewel, makan dan minum menurun
onset gejala
• Rewel, kesulitan minum, dan muntah
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik :
• Takipnea dengan fase ekspirasi • Hidung : secret (+) bening, napas
memanjang cuping hidung (+)
• Retraksi dinding dada (subcostal, • Pulmo :
intercostal, suprasternal, dan § Inspeksi : bentuk thorax
supraklavikula) normochest, simetris, retraksi (+)
• Mengi dan ronki basah halus pada subcostal
seluruh lapang paru § Palpasi : ekspansi simetris,
• Pada bronkiolitis berat, terdapat fremitus vocal simetris
tanda dehidrasi, distress napas berat § Perkusi : sonor seluruh lapang
(laju napas >60 kali/menit, retraksi paru
hingga suprasternal, head nodding,
28
napas cuping hidung) dan gagal § Auskultasi : vesikuler (+/+),
napas (sianosis hingga apnea) rhonki (-/-), wheezing (+/+).
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien sesuai dengan keadaan
bronkiolitis. Pada prinsipnya, tatalaksana bronkiolitis meliputi beberapa Tindakan dasar yang
meliputi eliminasi mikroorganisme penyebab, menghilangkan keluhan yang terjadi, dan
sekaligus tatalaksana supportif yang mempercepat penyembuhan penderita. Pada kasus ini
diberikan tatalaksana berupa IVFD D5 ¼ 8 tpm, Nebulizer Combivent + NaCl 3% tiap 6 jam,
Ampisilin 2 x 500 mg, dan Gentamicin 1 x 50 mg.
29
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dilaporkan penderita laki-laki usia 9 bulan dengan keluhan sesak napas sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan terus menerus dan tidak membaik
setelah di terapi uap. Keluhan didahului dengan batuk dan pilek 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Riwayat demam disangkal. Makan dan minum dikatakan menurun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada status generalis
didapatkan pada pemeriksaan pulmo adanya retraksi subcostal, dan suara napas
bronkovesikuler disertai suara napas tambahan wheezing (+/+). Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan darah lengkap dalam batas normal. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis Bronkiolitis Akut.
30
DAFTAR PUSTAKA
Orenstein, David M., 2012. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, & Arvin. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson, Ed. 15, Vol. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Setiawati L., Asih R., & Makmuri, 2005. Tata Laksana Bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Tamba, Rony A.P., 2009. Faktor Risiko Infeksi Respiratorik Akut Bawah pada Anak di RSUP
Dr Kariadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Zain, Magdalena S., 2010. Bronkiolitis. Dalam : Rahajoe N.N., Supriyanto B., & Setyanto D.B.
Buku Ajar Respirologi Anak, Ed. 1. Badan Penerbit IDAI, Jakarta
Junawanto, I. 2016. Diagnosis dan Penanganan Terkini Bronkiolitis Pada Anak. Jakarta : CDK
Journal
Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak. 2017. RSUP Sanglah Denpasar
Rahmayanti. 2020. Diagnosis, Tatalaksana dan Prognosis Bronkiolitis Pada Anak. Aceh :
Jurnal Kedokteran Manngroe Medika
Wijaya, Surya. 2014. Pedoman Diagnosis Bronkiolitis Akut. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kedokteran
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta : WHO Indonesia
31