Anda di halaman 1dari 8

Ridhatul Aulia

2010070130007

TUGAS KGD 3

A. Etiologi Abortus

Lebih dari 80% abortus terjadi pada minggu pertama, dan setelah itu angka ini cepat
menurun. Kelainan kromosom merupakan penyebab, pada paling sedikit seperuh dari
kasus abortus dini ini, dan setelah itu insidennya juga menurun. Faktor penyebab
terjadinya abortus dibagi menjadi beberapa faktor yaitu :

a.Faktor janin
1) Perkembangan zigot abnormal
Temuan morfologis tersering pada abortus spontan dini adalah kelainan
perkembangan zigot, mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang
plasenta. Disorganisasi morfologis pertumbuhan ditemukan pada 40%
abortus spontan sebelum minggu ke-20. Diantara mudigah yang panjang
ubun-ubun ke bokongnya (CRL = Crown Rump Length) kurang dari 30
mm, frekuensi kelainan perkembangan morfologis adalah 70%. Mudigah-
mudigah yang menjalani pemeriksaan biakan jaringan dan analisis
kromosom, 60% memperlihatkan kelainan kromosom. Janin dengan
panjang ubun-ubun ke bokong (CRL) 30 sampai 180 mm, frekuensi
kelainan kromosom adalah 25%.
2) Abortus aneuploidi
Sekitar seperempat dari kelainan kromosom disebabkan oleh kesalahan
gametogenesis ibu dan 5% oleh kesalahan ayah. Dalam suatu studi terhadap
janin dan neonatus dengan trisomi 13, pada 21 dari 23 kasus, kromosom
tambahan berasal dari ibu
3) Trisomi autosom
Merupakan kelainan kromosom yang tersering dijumpai pada abortus
trimester pertama. Trisomi dapat diebabkan oleh nondisjunction tersendiri,
translokasi seimbang materal atau paternal, atau inversi kromosom
seimbang. Trisomi untuk semua autosom kecuali kromosom nomor 1
pernah dijumpai pada abortus, tetapi yang tersering adalah autosom 13, 16,
18,21 dan 22.
4) Monosomi X
Merupakan kelainan kromosom tersering berikutnya dan memungkinkan
lahirnya bayi perempuan hidup (sindrom Turner). Triploidi sering dikaitkan
dengan degenerasi hidropik pada plasenta. Janin yang memperlihatkan
kelainan ini sering mengalami abortus dini, dan beberapa mampu bertahan
hidup lebih lama mengalami malformasi berat
5) Kelainan struktural kromosom
Sebagian bayi lahir hidup dengan dengan translokasi seimbang dan
mungkin normal.
6) Abortus euploid
Abortus euploid memuncak pada usia gestasi sekitar 13 minggu. Insiden
abortus euploid meningkat secara drastis setelah usia ibu 35 tahun.
b. Faktor maternal
1) Usia ibu Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30
tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di
bawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30 sampai 35 tahun.
2) Paritas
Risiko abortus semakin tinggi dengan bertambahnya paritas ibu, hal ini
mungkin karena adanya faktor dari jaringan parut pada uterus akibat
kehamilan berulang. Jaringan parut ini mengakibatkan tidak adekuatnya
persedian darah ke plasenta yang dapat pula berpengaruh pada janin.
3) Infeksi
Adanya infeksi pada kehamilan dapat membahayakan keadaan janin dan
ibu. Infeksi dapat menyebabkan abortus, dan apabila kehamilan dapat
berlanjut maka dapat menyebabkan kelahiran prematur, BBLR, dan
eklamsia pada ibu.
4) Anemia
Anemia dapat mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu dan janin
karena dengan kurangnya kadar hemoglobin maka berkurang pula kadar
oksigen dalam darah. Hal ini dapat memberikan efek tidak langsung pada
ibu dan janin antara lain kematian janin, meningkatnya kerentanan ibu pada
infeksi dan meningkatkan risiko terjadinya prematuritas pada bayi
5) Faktor aloimun
Kematian janin berulang pada sejumlah wanita didiagnosis sebagai akibat
faktor-faktor aloimun. Diagnosis faktor aloimun berpusat pada beberapa
pemeriksaan yaitu perbandingan HLA ibu dan ayah, pemeriksaan serum ibu
untuk mendeteksi keberadaan antibodi sitotoksik terhadap leukosit ayah
dan pemeriksaan serum ibu untuk mendeteksi faktor-faktor penyekat pada
reaksi pencampuran limfosit ibu-ayah
6) Faktor hormonal
Salah satu dari penyakit hormonal ibu hamil yang dapat menyebabkan
abortus adalah penyakit diabetes mellitus. Diabetes mellitus pada saat hamil
dikenal dengan diabetes meliitus gestasional (DMG). DMG didefinisikan
sebagai intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada
saat hamil. Dinyatakan DMG bila glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl atau 2
jam setelah beban glukosa 75 gram ≥ 200 mg/dl atau toleransi glukosa
terganggu.
7) Gamet yang menua
Didapatkan peningkatan insidensi abortus yang relatif terhadap kehamilan
normal apabila inseminasi terjadi 4 hari sebelum atau 3 hari sesudah saat
pergeseran suhu tubuh basal. Dengan demikian, mereka menyimpulkan
bahwa penuaan gamet di dalam saluran genitalia wanita sebelum
pembuahan meningkatkan kemungkinan abortus
8) Kelainan anatomi uterus
Leiomioma uterus, bahkan yang besar dan multipel, biasanya tidak
menyebabkan abortus. Apabila menyebabkan abortus, lokasi leiomioma
tampaknya lebih penting daripada ukurannya.
c.Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor paternal (ayah) dalam terjadinya
abortus spontan. yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat
menyebabkan abortus. Adenovirus atau virus herpes simpleks ditemukan pada
hampir 40% sampel semen yang diperoleh dari pria steril. Virus terdeteksi dalam
bentuk laten pada 60% sel, dan virus yang sama dijumpai pada abortus

B. Epidemiologi Kehamilan Ektopik Terganggu

Kejadian kehamilan ektopik di dunia adalah 0,25-2,0% dari seluruh kehamilan (Yadav et
al., 2017). Di Amerika Utara, kehamilan ektopik terjadi pada 19,7 kasus dari 1000
kehamilan, dan merupakan penyebab mortalitas utama pada kehamilan trimester pertama.
Angka kejadian di negara berkembang kejadiannya dipercaya lebih tinggi lagi, tetapi data
yang spesifik belum diketahui. Secara umum di Indonesia, kejadian kehamilan ektopik
berkisar 5-6 perseribu kehamilan (Khairani, 2018)
Kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko. Berikut beberapa
faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.

a. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya

Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka ke kambuhan
sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah
kehamilan ektopik kedua

b. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron

Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan kontrasepsi spiral
(3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik
karena dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel
telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim

c. Kerusakan dari saluran tuba

1. Faktor dalam lumen tuba:

Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau membentuk kantong


buntu akibat perlekatan endosalping

 Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkelok-kelok dan hal ini disertai
gangguan fungsi silia endosalping
 Operasi plastik tuhu dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab lumen
tuba menyempit.

2. Faktor pada dinding tuba:

 Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba.
 Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang
dibuahi di tempat itu

3. Faktor di luar dinding tuhu:

 Perlekatan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat menghambat


perjalanan telur.
 Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba

Faktor lain
 Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus,
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur.
 Fertilisasi in vitro

C. Epidemiologi Molahidatosa
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan pengetahuan tentang
faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindari terjadinya MH, seperti tidak
hamil di usia ekstrim dan memperbaiki gizi (Martaadisoebrata, 2005).

Faktor resiko

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya MH adalah :

1. Usia ibu
Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang ekstrim
(terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini
berhubungan dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature
(Kruger TF, 2007). Ovum patologis terjadi karena gangguan pada proses
meiosis, sehingga ovum tidak memiliki inti sel

(Martaadisoebrata, 2005). Jika ovum patologis tersebut dibuahi oleh satu sel
sperma maka karyotipe yang dihasilkan adalah 46,XX homozigot dan ini
adalah karyotipe tersering yang ditemukan pada MHK (90%) (Berek, 2007).
Menurut Berek, ovum dari wanita yang lebih tua lebih rentan terhadap
pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko untuk MHK
meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 35 tahun dan 7,5
kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 40 tahun (Berek, 2007).
2. Status gizi
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
janin, dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi
zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan
dalam pertumbuhan dan perkembangan janinnya (Saleh, 2005).
Studi kasus kontrol dari Italia dan Amerika Serikat telah menunjukkan
bahwa asupan makanan rendah karoten dapat dikaitkan dengan peningkatan
resiko kehamilan MHK. Daerah dengan tingginya insiden kehamilan mola
juga memiliki frekuensi tinggi kekurangan vitamin A. Faktor diet, karena itu,
sebagian dapat menjelaskan variasi regional dalam insiden MHK (Berek,
2007).
Berkowitz et al menyatakan bahwa kekurangan prekusor vitamin A, karoten,
atau lemak hewan sebagai faktor penyerapan vitamin A, yang mungkin
menjadi faktor penyebab MH. Kekurangan vitamin A menyebabkan
penyusutan janin dan kegagalan pembangunan epitel pada hewan betina dan
degenerasi epitel semineferous dengan penurunan perkembangan gamet yang
pada hewan jantan (Berek, 2009).
3. Riwayat obstetri
Resiko untuk MHK dan MHP meningkat pada wanita dengan riwayat aborsi
spontan sebelumnya (Brinton LA, 2005). Sebuah MH sebelumnya juga
merupakan faktor resiko yang kuat (Berek, 2009). Ibu multipara cenderung
beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan tranmisi secara genetik (Saleh, 2005).
4. Genetik
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian
sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada kasus MH
lebih banyak ditemukan kelainan Balance translocation dibandingkan
dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita
dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan
proses meiosis berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum
yang kosong atau intinya tidak aktif (Martaadisoebrata, 2005).
5. Kontrasepsi oral dan perdarahan irreguler

Resiko untuk mola parsial dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi oral


dan riwayat perdarahan irregular (Berek, 2007). Kontrasepsi oral,
peningkatan resiko MH dengan lamanya penggunaan. Sepuluh tahun atau
lebih meningkatkan resiko lebih dari 2 kali lipat (Berek, 2009). Pada salah
satu penelitian efek ini terbatas pada pengguna estrogen dosis tinggi,
meskipun pada penelitian yang lain menyebutkan pil tidak berefek pada
komplikasi pascaMH (Hoskins WJ, 2005).
6. Golongan darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O
memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi golongan
darah lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor imunologik
berkaitan dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan trofoblas. (Hoskins WJ,
2005)
7. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita yang
merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada
wanita yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human
Papilloma virus, Adenovirus, dan Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan
(Berek, 2009).
Meskipun peran genetik di dalam perkembangan MH adalah pasti, sedikit
diketahui tentang genotip yang menjadi faktor predisposisi MH atau faktor
lingkungan yang meningkatkan resiko patologis ovum. (Hoskins WJ, 2005).

Anda mungkin juga menyukai