“PNEUMONIA”
Kelompok 2
An. J berjenis kelamin perempuan dan saat ini berusia 9 tahun. An. J masuk ke UGD
dengan keluhan nyeri abdomen. Mual dan muntah selama 3 hari, serta demam sejak 1 hari yang
lalu. Pagi ini, An. J mengalami napas cepat dan tubuhnya menjadi sedikit pucat. An. J pernah
mengalami penyakit pneumonia 3 tahun yang lalu, serta asma intermiten ringan sejak kecil,
namun memburuk sejak 3 tahun yang lalu. Selama iniAn. J menjalani pengobatan asma dengan
albuterol 2x/minggu. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh An. J saat ini adalah 400C;
HR = 176 bpm; RR = 40x/menit; TD = 90/60 mmHg; dan saturasi O2 = 84% di suhu ruang.
Wajah px tampak pucat, lemah dan kesulitan bernapas. Hasil uji darah menunjukkan hasil
sebagai berikut.
pH 7,33 WBC 32,200/𝜇L (32,2 x 109/L)
PCO2 33mmHg Hemoglobin 10,4 g/dL
PO2 55 mmHg Platelet count 544 x 103/ 𝜇L
Bikarbonat 17 mEq/L C-reactive protein 309 mg/L
Hasil endotracheal intubation menunjukknan adanya secret kental berwarna kekuningan. Foto
radiothorax menunjukkan adanya bagian putih di sisi kanan bawah lobus paru dengan sedikit
penumpukan cairan pleura di sisi kanan. Begitu MRS, An. J mendapatkan perawatan berupa
pemasangan oksigen. Setelah dipasang nasal oksigen, saturasi SpO2 pasien meningkat menjadi
94%.
Terapi farmakologis diberikan kepada An. J meliputi vacomycin dan recephin intravena.
Pemeriksaan antropometri tidak dapat dilakukan karena kondisi px yang sesak napas, namun
orang tua px memberitahukan bahwa 1 bulan yang lalu anaknya pernah mengukur tinggi badan
dan berat badan di UKS yang menunjukkan TB = 125 cm dan berat badan 21,5 kg.
Pola makan sehari-hari An. J adalah sebagai berikut.
- An. J memiliki pola makan yang teratur, sebanyak 3 kali sehari dan1 kali snack hanya
ketika di sekolah.
- Selalu sarapan setiap pagi, paling sering dengan 2 lembar roti tawar, 1 sdm selai roti
merk Nutella, dan susu cair kemasan merk ultra sebanyak 1 gelas sedang (190 ml).
- Pada saat istrirahat sekolah, An. J sering membeli jajanan berupa nutrisari, cilok,
dantelur gulung.
- Makanan yang paling sering dikonsumsi saat makan siang adalah 1 centong (centong
magic com) nasi dan 3 buah nugget ayam merk fiesta chicken karagen dan 1 sdm saus
tomat kemasan.
- Menu makan malam yang sering dikonsumsi adalah 1 bungkus mie instan atau 1
centong dengan 2 buah sosis bernardi kecil dan 1 butir telur ceplok.
- Sebelum tidur selalu mengkonsumsi susu UHT sebanyak 1 gelas.
- Memiliki riwayat alergi ikan dan seafood.
- Tidak suka mengkonsumsi buah dan sayur, kecuali dalam bentuk jus buah.
- Sangat menyukai mie instan.
- Ketika asma muncul, biasanya nafsu makan An. J sangat menurun dan hanya bisa
mengkonsumsi susu.
Hasil recall 24 jam An. J adalah sebagai berikut.
06.00 susu UHT ½ gelas (1 gela = 190 ml)
09.00 nasi 2 sdm, nugget 1 buah
13.00 ½ gelas susu sereal (1 gelas = 1 sachet susu energen +190 ml air)
14.00 ¼ gelas air putih
16.00 ½ gelas the jahe (1 gelas = 1 sachet the gelas, 2 sdm gu;a pasir, 1 ruas jari jahe
geprek, 1 batang serai geprek, 190 ml air)
18.00 ½ gelas susu UHT yang dipanaskan + 1 sdm marshmellow
Kedua orang tua An. J bekerja di perusahaan swasta, dan setiap hari An. J diasuh oleh
pembantu. An. J berasal dari ekonomi menengah ke atas. Selama ini orang tua dari An. J tidak
pernah mendaatkan edukasi gizi sebelumnya, dan hanya mengetahui bahwa An. J tidak boleh
mengkonsumsi ikan dan seafood.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Penyakit
Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak di negara berkembang. Penyebab umum penyakit
Pneumonia adalah bakteri Streptococcus Pneumoniae, Haemophilius Influenzae dan
Staphyloccocus Aureus yang pada umumnya menyerang bagian alveolus paru-paru dengan
membentuk cairan secret disebabkan oleh proses kolonisasi bakteri pada saat sistem imun
dalam tubuh sedang melemah. Pneumonia menyerang dengan ditandai dengan gejala
respiratorik akut seperti dysapnea, sesak nafas dan gambaran foto rongen infiltrate bercak-
bercak atau infiltrate difus yang dikenal sebagai gambaran bronkopneumonia,
penumpukan gambaran putih pada bagian lobus paru-paru yang dikenal sebagai gambaran
pneumonia lobaris. Pneumonia bakteri pada umumnya responsive terhadap pengobatan
dengan antibiotik golongan beta-laktam.(Said M, 2001)
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita.
Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor lingkungan dan
sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain
umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai,
polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, membedong anak
(menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.
Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur
kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan
ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal,
imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI, 2000). Faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita,
faktor lingkungan dam faktor perilaku.
1. Faktor Balita
a. Umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak
berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari
kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1
tahun mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna
dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Resiko untuk terkena
pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang
lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum
sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. Status Pemberian Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU
vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian
kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus,
sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk
bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59
bulan. Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif melawan infeksi dengan
memelihara integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur
pengembangan dan fungsi paru (Klemm, 2008).
c. Status Gizi Balita
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat
dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan
meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia.
Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan
untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit,
penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien
(Sunyataningkamto, 2004).
d. Pemberian ASI Eksklusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga
memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang
masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama
kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi.
Sehingga pemberian ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus.
e. Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang
lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi
pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti
kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya.
f. Riwayat Asma
Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami
peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza.
Bayi dan anak-anak kurang dari lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami
pneumonia sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia
6 bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita
pneumonia.
2. Faktor Lingkungan
a. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu
sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.
Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin
mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat
pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan
anak balitanya.
b. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap
harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu
terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi
atau pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena
pneumonia.
c. Sosial Ekonomi
Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih besar
untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya sehingga anak akan
mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia.
Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang
yang lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat
sehingga lebih memungkinkan terhindar dari serangan ISPA.
3. Faktor Perilaku
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan antara
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang orang
tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA
dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).
Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi
silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan
menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok
juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting
terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.
2. Patofisiologi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas
yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran
napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik
yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat
terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas
tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur
untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi
oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian
hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2
. Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin
agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,
edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma
protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas.
Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-
obatan, latihan, udara dingin, dan stress. Selain merangsang sel inflamasi, terdapat
keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa
inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan
pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan
pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
4.2 Assesment
Kode/Indikator Hasil Assesment Nilai Standard Kesimpulan
Antropometri
Berdasarkan WHO 2005
AD-1.1.1 Tinggi badan TB = 125 cm 3 > TB/U z-score > -2 Normal
TB/U z-score =
-1,27
AD-1.1.2 Berat badan BB = 21,5 kg 1 > BB/U z-score > -2 Normal
BB/U z-score =
-1,79
AD 1.1.5 IMT MT = 13,8 1 > IMT/U z-score > -2 Normal
IMT/U z-score =
-1.50
Kesimpulan Domain Antropometri: Antropometri 1 bulan lalu normal beresiko
Biokimia
BD-1.1.1 ARTERIAL pH = 7,33 Normal 7,35-7,45 Asidosi
PH
Client History
Kode Hasil Assesment Kesimpulan
CH-1.1.1 AGE Usia 9 th Kelompok usia anak-anak
CH-1.1.2 Perempuan
GENDER
Fisik/Klinis
PD-1.1.3 - Secret kuning di Pneumonia
CARDIOVASCULAR- endotracheal
PULMONARY intubation
SYSTEM - Foto putih di Pneumonia lobar
sisi kanan
bawah lobus
paru.
- Penumpukan Reaksi inflamasi terhadap
cairan di pleura pathogen
kanan.
PD-1.1.9 VITAL SIGN - Suhu tubuh Normal 36,5 – 37,20C Tinggi → demam
400C
- TD 90/60 Normal 80-100/60 Normal
mm/Hg mm/Hg
- HR 176 bpm Normal 70-120 bpm Tinggi
- RR 40x/menit Normal 20-30x/menit Tinggi
Kesimpulan Domain Fisik/Klinis: Pasien memiliki sesak napas dan demam, HR dan RR
tinggi, infeksi bakteri yang menyebabkan pneumonia lobar.
Food History
FH-1.1. Berdasarkan Berdasarkan rumus
Asupan Zat Gizi recall 24 jam Haris Benedict
(kuantitatif)
FH-1.1.1 TOTAL Asupan : kalori Normal : 1341 Persentasi pemenuhan
ENERGY INTAKE recall 24 jam 25,1%
INADEQUATE 336.75 kkal
Pola Makan
FH-1.2.2.3 Snack pattern
MEAL/SNACK 1xsehari, meal 3x
PATTERN sehari
4.3 Diagnosis
Kode Diagnosis
NI-2.1 Kekurangan asupan oral (P) berkaitan dengan menurunnya kemampuan
untuk mengonsumsi energi yang cukup (E) ditandai dengan mual dan
muntah (S).
NI-5.1 Meningkatnya kebutuhan protein (P) berkaitan dengan permintaan
protein yang meningkat (E) ditandai dengan kadar CRP tinggi, kadar
WBC tinggi, dan adanya infeksi (S).
NI-5.9.1 Asupan vitamin c kurang (P) berkaitan dengan pengetahuan orang tua
terkait gizi kurang (E) ditandai dengan asupan makanan rendah vitamin
C seperti makanan instan, makanan olahan, dan gorengan (S).
NI- Asupan zinc kurang (P) berkaitan dengan pengetahuan orang tua terkait
5.10.1 gizi kurang (E) ditandai dengan asupan estimasi mineral Zn kurang (S).
NB-1.1 Kurangnya pengetahuan orangtua tentang makanan dan gizi (P)
berkaitan dengan belum pernah mendapat edukasi gizi (E) ditandai
dengan kualitas pola makan An.J buruk, cenderung makanan pokok dan
lauk (S).
4.4 Intervensi
Tujuan:
ND-2.1 ENTERAL NUTRITION
Tujuan :
- Meningkatkan penerimaan makanan terkait dengan kondisi fisiologis mual dan
muntah
Prinsip Diet:
- Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Rendah serat
- Pemberian makanan enteral dilakukan pada pasien hingga pasien dapat dapat
memenuhi kebutuhan melalui asupan oral.
- Proporsi karbohidrat 40-60% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Proporsi protein 12-20% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Proporsi lemak 30-40% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Pemenuhan kebutuhan vitamin C dan zinc sesuai AKG anak usia 9 tahun
- Pemenuhan cairan 2175 ml dalam 24 jam.
- Konsentrasi : 1-2 kkal/ml (Sharma dan Joshi, 2014)
Syarat Diet
1. Komposisi formula enteral :
- Energi : 1341 kkal
- Karbohidrat : 192,7 gr (57,5% dari total energy)
- Protein : 41,9 gr (12,5% dari total energy)
- Lemak : 44,7 gr (30% dari total energy)
- Vitamin C : 300 mg (Berdasarkan penelitian Mochalkin, 1970)
- Zinc : 11 mg
- Cairan : 2104,2 ml dalam 24 jam
2. Konsentrasi formula enteral 1,3 kkal/ml
3. Volume formula enteral: 1032 ml/hari, 200 ml/feeding
4. Jumlah pemberian formula enteral 5 kali/hari, dengan pemberian 2x enteral komersial
dan 3x enteral RS
5. Formula enteral diberikan menggunakan enteral feeding tube
Perhitungan Kebutuhan
Kebutuhan energi perempuan menurut rumus haris benedict
Kebutuhan Energi = REE x faktor aktivitas/stress
Kebutuhan energy = [655+ (9,6 x 21,5) + (1,7x 125) - (4,7 x 9)] x 1,3
= 1031,6 x 1,3
= 1341 kkal
Subtotal
%Pemenuh
an
Jenis Makanan : Enteral 3 Waktu Makan: Siang Jam : 13.00
Subtotal
%Pemenuh
an
Jenis Makanan : Enteral 4 Waktu Makan: Sore Jam : 16.30
4
Entramix Entramix sdm 58 260 10 8 38 35 30
Subtotal 260 10 8 38 35 30
Nama Komposisi Berat K Vit C Zinc
Menu UR Gra E P L H
Bahan T m
%Pemenuh 19,
an 19,4 23,9 17,9 7
Jenis Makanan : Enteral 5 Waktu Makan: Malam Jam : 20.00
Subtotal
%Pemenuh
an
Total
Kebutuhan
%Pemenuha
n
4.8 Edukasi/Konseling
Tujuan:
E-1.1 PURPOSE OF THE NUTRITION EDUCATION
Tujuan : memberikan informasi gizi kepada orangtua dan pengasuh mengenai gizi
seimbang untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Materi:
- Penjelasan mengenai gizi seimbang
- Penjelasan mengenai pemilihan bahan makanan yang dapat membantu memenuhi
kebutuhan zat gizi seperti sumber vitamin C dan zinc.
Energi (kkal) Protein (g) % Lemak (g) % KH (g) % Vit. C (mg) Zinc (mg)
Agnes, GL., & Michael, NH. 2018. Patofisiologi untuk Profesi Kesehatan. Translate: Yulianti,
Devi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Anthony S. Fauci. 2008. Harrison’s Internal Medicine, 17th. Edition. USA,. McGraw-Hill.
BPOM RI. Salbutamol. [online] http://pionas.pom.go.id/monografi/salbutamol. Diakses pada
26 Februari 2019.
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia.
Dawood OT, Ibrahim MIM, Palaian S. 2010. Parent’s knowledge and management of their
children’s ailments in Malaysia. Pharmacy Practice.
Depkes, 2000. Buku Pintar Konseling Keluarga Mandiri Sadar Gizi. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta : Depkes
RI.
Hatta, M., 2001. Hubungan Imunisasi Campak dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan Tahun 2000, Thesis, FKM UI, Jakarta.
Janssens, JP., & Kause, KH. 2004. Pneumonia in the very old. The Lancet Infectious Diseases.
4: 24-112.
Kaiser Permanen. 2015. Albuterol Drug Information. [online]
https://wa.kaiserpermanente.org/kbase/topic.jhml?docld=hn-1305003. Diakses pada 26
Februari 2019.
Klemm R, et al. 2008. Newborn Vitamin A Supplementation reduced infant mortality in Rurak
Bangladesh. Official Journal Of American Academy Of Pediatrics Journal. 122: 148
Mateuzzi. D, Swennen. E, Rossi. M, Hartman. T and Lebet. V. Prebiotic effect of wheat germ
preparation in human healthy subjects. Food Microbiol. 2004 ; 21 : 121-123
Mochalkin, N. Ascorbic Acid in The Complex Therapy of Acute Pneumonia. Voen. Med.
Zhurnal 1970, 9, 17 – 21. [online] http://www.mv.helsinki.fi/home/hemila/T5.pdf.
Diakses pada 2 Maret 2019.
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. 2008. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization. 86:408–
416.
Said Mardjanis, 2001, Pneumonia pada anak, Sari Pedriatri Vol 3 No 3 Desember 2001: 141-
146. Jakarta
Suganda, Diana Felicia. 2013. Tatalaksana Nutrisi Penyakit Kritis Pada Anak Dengan
Pneumonia Berat. Serial Kasus. Jakarta: FKUI.
Suhandayani I. (2007). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. [Skripsi Ilmiah]. Semarang: Fakultas
Ilmu Keolahragaan UNNES.
Sunyataningkamto 2004. The rool of Indoor air Pollution And Other Factors in the Incidence
Of Pneumonia In under-five Children. Paediatrica Indonesia, 44(1-2).
Ugajin, M., Yamaki, K., Iwamura, N., Yagi, T., Asano, T. 2012. Blood Urea Nitrogen to Serum
Albumin Ratio Indepently Predicts Mortality and Severity of Community-Acquired
Pneumonia. International Journal of General Medicine 5: 583-589.