Anda di halaman 1dari 33

TUGAS DIETETIK PENYAKIT INFEKSI DAN DEFISIENSI

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN

“PNEUMONIA”

Kelompok 2

Rasyid Qanit 101511233049 Faricca Kusuma W. 101611233038

Maryam Jamilah 101611233005 Muhammad Ziddan Z. 101611233043

Aprilia Kusumawardhani 101611233021 Annisa Alifia Yahya 101611233045

Antasya Muslimah S. 101611233023 Kus Aisya Amira 101611233046

Chika Dewi Haliman 101611233029 Firda Sahdani 101611233047

Ali Iqbal Tawakal 101611233030 Aghnaita Firda P. 101611233052

Alvi 'Izza Ardi 101611233031 Kirana Dwiyanti P. 101611233057

PROGRAM STUDI S1 GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
STUDI KASUS

An. J berjenis kelamin perempuan dan saat ini berusia 9 tahun. An. J masuk ke UGD
dengan keluhan nyeri abdomen. Mual dan muntah selama 3 hari, serta demam sejak 1 hari yang
lalu. Pagi ini, An. J mengalami napas cepat dan tubuhnya menjadi sedikit pucat. An. J pernah
mengalami penyakit pneumonia 3 tahun yang lalu, serta asma intermiten ringan sejak kecil,
namun memburuk sejak 3 tahun yang lalu. Selama iniAn. J menjalani pengobatan asma dengan
albuterol 2x/minggu. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh An. J saat ini adalah 400C;
HR = 176 bpm; RR = 40x/menit; TD = 90/60 mmHg; dan saturasi O2 = 84% di suhu ruang.
Wajah px tampak pucat, lemah dan kesulitan bernapas. Hasil uji darah menunjukkan hasil
sebagai berikut.
 pH 7,33  WBC 32,200/𝜇L (32,2 x 109/L)
 PCO2 33mmHg  Hemoglobin 10,4 g/dL
 PO2 55 mmHg  Platelet count 544 x 103/ 𝜇L
 Bikarbonat 17 mEq/L  C-reactive protein 309 mg/L
Hasil endotracheal intubation menunjukknan adanya secret kental berwarna kekuningan. Foto
radiothorax menunjukkan adanya bagian putih di sisi kanan bawah lobus paru dengan sedikit
penumpukan cairan pleura di sisi kanan. Begitu MRS, An. J mendapatkan perawatan berupa
pemasangan oksigen. Setelah dipasang nasal oksigen, saturasi SpO2 pasien meningkat menjadi
94%.
Terapi farmakologis diberikan kepada An. J meliputi vacomycin dan recephin intravena.
Pemeriksaan antropometri tidak dapat dilakukan karena kondisi px yang sesak napas, namun
orang tua px memberitahukan bahwa 1 bulan yang lalu anaknya pernah mengukur tinggi badan
dan berat badan di UKS yang menunjukkan TB = 125 cm dan berat badan 21,5 kg.
Pola makan sehari-hari An. J adalah sebagai berikut.
- An. J memiliki pola makan yang teratur, sebanyak 3 kali sehari dan1 kali snack hanya
ketika di sekolah.
- Selalu sarapan setiap pagi, paling sering dengan 2 lembar roti tawar, 1 sdm selai roti
merk Nutella, dan susu cair kemasan merk ultra sebanyak 1 gelas sedang (190 ml).
- Pada saat istrirahat sekolah, An. J sering membeli jajanan berupa nutrisari, cilok,
dantelur gulung.
- Makanan yang paling sering dikonsumsi saat makan siang adalah 1 centong (centong
magic com) nasi dan 3 buah nugget ayam merk fiesta chicken karagen dan 1 sdm saus
tomat kemasan.
- Menu makan malam yang sering dikonsumsi adalah 1 bungkus mie instan atau 1
centong dengan 2 buah sosis bernardi kecil dan 1 butir telur ceplok.
- Sebelum tidur selalu mengkonsumsi susu UHT sebanyak 1 gelas.
- Memiliki riwayat alergi ikan dan seafood.
- Tidak suka mengkonsumsi buah dan sayur, kecuali dalam bentuk jus buah.
- Sangat menyukai mie instan.
- Ketika asma muncul, biasanya nafsu makan An. J sangat menurun dan hanya bisa
mengkonsumsi susu.
Hasil recall 24 jam An. J adalah sebagai berikut.
06.00 susu UHT ½ gelas (1 gela = 190 ml)
09.00 nasi 2 sdm, nugget 1 buah
13.00 ½ gelas susu sereal (1 gelas = 1 sachet susu energen +190 ml air)
14.00 ¼ gelas air putih
16.00 ½ gelas the jahe (1 gelas = 1 sachet the gelas, 2 sdm gu;a pasir, 1 ruas jari jahe
geprek, 1 batang serai geprek, 190 ml air)
18.00 ½ gelas susu UHT yang dipanaskan + 1 sdm marshmellow
Kedua orang tua An. J bekerja di perusahaan swasta, dan setiap hari An. J diasuh oleh
pembantu. An. J berasal dari ekonomi menengah ke atas. Selama ini orang tua dari An. J tidak
pernah mendaatkan edukasi gizi sebelumnya, dan hanya mengetahui bahwa An. J tidak boleh
mengkonsumsi ikan dan seafood.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Penyakit
Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak di negara berkembang. Penyebab umum penyakit
Pneumonia adalah bakteri Streptococcus Pneumoniae, Haemophilius Influenzae dan
Staphyloccocus Aureus yang pada umumnya menyerang bagian alveolus paru-paru dengan
membentuk cairan secret disebabkan oleh proses kolonisasi bakteri pada saat sistem imun
dalam tubuh sedang melemah. Pneumonia menyerang dengan ditandai dengan gejala
respiratorik akut seperti dysapnea, sesak nafas dan gambaran foto rongen infiltrate bercak-
bercak atau infiltrate difus yang dikenal sebagai gambaran bronkopneumonia,
penumpukan gambaran putih pada bagian lobus paru-paru yang dikenal sebagai gambaran
pneumonia lobaris. Pneumonia bakteri pada umumnya responsive terhadap pengobatan
dengan antibiotik golongan beta-laktam.(Said M, 2001)

Perbandingan pneumonia lobaris (A), bronkopneumonia (B),


dan pneumonia interstisial (C).
(Agnes & Micheal, 2018)

Pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan distribusinya,


yaitu pneumonia lobaris, bronkopneumonia, dan pneumonia interstisial. Pneumonia
lobaris merupakan anemia yang mencakup area paru yang jelas, sering kali pada sebuah
lobus tunggal. Pneumonia ini paling sering disebabkan oleh bakteri Steptococcus
pneumoniae (pneumokokus). Bakteri dan reaksi inflamasi yang dihasilkan menyebar
melalui pori alveolar dalam mede seperti gelombang yang pada akhirnya melibatkan
seluruh lobus paru.
Bronkopneumonia merupakan suatu proses multifokal, biasanya berpusat pada
bronki yang melibatkan area di satu atau kedua paru. Pneumonia ini disebabkan karena
obstruksi bronki kecil oleh mucus, isi lambung yang teraspirasi, neoplasma, atau benda
asing. Organisme terperangkap di bagian distal obstruksi, lalu memperbanyak diri
sehingga mengakibatkan fokus infeksi. Lokasi dan luas infeksi bergantung pada penyebab
yang mendasari terjadinya obstruksi, terganggunya status kesehatan individu, dan sifat
organisme penyebab.
Pneumonia interstisial (pneumonitis) merupakan suatu proses penyebaran yang
mempengaruhi dinding alveolar. Berbeda dengan pneumonia lobaris dan
bronkopneumonia, infeksi pada pneumonia ini terjadi pada dinding alveolar (bukan rongga
alveolar), dan secara histologis terdapat reaksi inflamasi akut yang kurang jelas. Penyebab
dari pneumonia ini yang paling umum adalah virus dan Mycoplasma pneumoniae
(organisme yang menyerupai bakteri). (Agnes & Michael, 2018)
Tabel 1. Perbandingan pneumonia lobaris, bronkopneumonia, dan pneumonia interstisial

Sumber: Agnes & Michael, 2018, page 173

2.2 Faktor Risiko Penyakit


Berdasarkan pernyataan Rudan, dkk pada tahun 2008, melaporkan bahwa terdapat 3
kelompok faktor risiko yang memengaruhi insiden pneumonia pada anak. Faktor risiko
tersebut adalah faktor risiko yang selalu ada (definite risk factors), faktor risiko yang
sangat mungkin (likely risk factors), dan faktor risiko yang masih mungkin (possible risk
factors). Faktor risiko yang selalu ada (definite risk factors) meliputi gizi kurang, berat
badan lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI, polusi udara dalam-ruang, dan
pemukiman padat. Faktor risiko ini seharusnya diperhatikan secara serius dan perlu
intervensi segera agar penurunan insiden pneumonia berdampak signifikan pada
penurunan angka kematian anak balita. Faktor risiko tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

 Malnutrisi (z score BB/U <-2)


 Berat Badan Lahir Rendah (<2500 g)
 ASI non eksklusif (4 bulan pertama
kehidupan)
Faktor Risiko yang selalu ada
 Tidak/belum imunisasi campak (dalam 12
bulan pertama kehidupan)
 Polusi udara dalam ruang
 Pemukiman padat
 Orangtua perokok
 Defisiensi Seng
Faktor Risiko yang sangat mungkin  Pengalaman ibu sebagai pengasuh
 Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung,
asma)
 Tingkat pendidikan ibu
 Curah hujan
 Ketinggian daerah tempat tinggal
Faktor Risiko yang masih mungkin
 Defisiensi Vitamin A
 Polusi udara luar
 Urutan kelahiran

Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita.
Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor lingkungan dan
sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain
umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai,
polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, membedong anak
(menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.
Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur
kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan
ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal,
imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI, 2000). Faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita,
faktor lingkungan dam faktor perilaku.
1. Faktor Balita
a. Umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak
berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari
kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1
tahun mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna
dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Resiko untuk terkena
pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang
lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum
sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. Status Pemberian Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU
vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian
kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus,
sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk
bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59
bulan. Pemberian vitamin A berperan sebagai protektif melawan infeksi dengan
memelihara integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur
pengembangan dan fungsi paru (Klemm, 2008).
c. Status Gizi Balita
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat
dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan
meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia.
Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan
untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit,
penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien
(Sunyataningkamto, 2004).
d. Pemberian ASI Eksklusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga
memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang
masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama
kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi.
Sehingga pemberian ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus.
e. Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang
lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi
pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti
kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya.
f. Riwayat Asma
Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami
peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza.
Bayi dan anak-anak kurang dari lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami
pneumonia sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia
6 bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita
pneumonia.
2. Faktor Lingkungan
a. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu
sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.
Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin
mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat
pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan
anak balitanya.
b. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap
harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu
terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi
atau pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena
pneumonia.
c. Sosial Ekonomi
Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih besar
untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya sehingga anak akan
mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia.
Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang
yang lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat
sehingga lebih memungkinkan terhindar dari serangan ISPA.
3. Faktor Perilaku
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan antara
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang orang
tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA
dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).
Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi
silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan
menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok
juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting
terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.

4. Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan


Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai hubungan
yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita. Dikatakan bahwa balita
yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.3 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi gejala infeksi umum dangejala gangguan
respiratori. Gejala khas pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah),
sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Pada anamnesis, dapat ditemukan bahwa gejala yang timbul biasanyamendadak,
tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri
dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah
saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai
pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura (Dahlan, 2009).

2.4 Patofisiologi Penyakit


1. Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan keadaan yang timbul oleh adanya proliferasi
mikroorganisme di alveolus dan respon tubuh untuk melawan mikroorganisme
tersebut. Mikroorganisme yang bersifat patogen dapat masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui beberapa jalan, paling sering akibat aspirasi melalui orofaring terutama
saat tidur, yang sering terjadi pada usia lanjut, saat terjadi penurunan kesadaran, dan
melalui penyebaran infeksi secara hematogen (Harrison’s, 2008).
Faktor mekanik seperti rambut-rambut halus, turbinasi udara di rongga hidung,
struktur anatomis percabangan trakhea-bronkus, mekanisme pembersihan muko-
siliaris dan adanya faktor antibakteri lokal merupakan faktor yang sangat penting
dalam pertahanan tubuh, baik untuk menangkap partikel maupun membunuh
mikroorganisme patogen yang masuk ke saluran nafas.
Saat sistem pertahanan tubuh baik atau jumlah mikroorganisme yang dapat
mencapai ke alveolus masih sedikit, makrofag dan protein lokal yang terdapat di
alveolus akan melawan patogen yang masuk melalui aktivitas antibakteri atau
antiviral. Manifestasi pneumonia dapat terjadi ketika aktivitas makrofag di alveolus
berlebihan dalam melawan mikroorganisme patogen. Pada kondisi ini, makrofag
menginisiasi respon inflamasi dari tubuh yang merupakan proses yang lebih dominan
daripada proliferasi mikroorganisme itu sendiri sehingga memicu timbulnya gejala
klinis pada pneumonia. Pelepasan mediator inflamasi interleukin (IL) 1 dan tumor
necrosis factor (TNF) menimbulkan demam, kemokin IL-8 dan granulocyte-colony
stimulating factor (GCSF) menstimulasi pelepasan neutrofil ke alveolus dan
menimbulkan leukositosis perifer serta sekret yang purulen. Adanya mediator
inflamasi dan masuknya neutrofil menimbulkan kerusakan pembuluh kapiler alveolus
sehingga menghasilkan gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi, suara ronkhi
pada auskultasi, dan hipoksemia akibat terganggunya proses pertukaran gas di
alveolus.
Pneumonia dapat mengakibatkan kehilangan cairan seiring dengan
progresivitas penyakit. Kondisi dehidrasi dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal,
sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi urea oleh ginjal yang ditandai dengan
meningkatnya kadar urea dalam darah. (Ugajin et al., 2012)
Pada usia lanjut, terjadi perubahan fisiologis pada sistem pernafasan seperti
penurunan kemampuan pengembangan/recoil paru, kekuatan otot-otot respirasi,
perubahan struktural dinding dada yang menyebabkan penurunan compliance paru,
serta terjadi peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena terganggunya mekanisme
pertahanan muko-siliaris. (Janssens, Krause., 2004)
Penurunan compliance paru akibat kerusakan kapiler, adanya hipoksemia,
jumlah sekret yang meningkat, serta spasme bronkus akan menimbulkan gejala sesak
nafas (dyspnea) dan tachypnea sebagai usaha kompensasi. Pada tahap lebih lanjut,
peningkatan frekuensi pernafasan dapat timbul akibat sepsis. Pada kondisi ini,
mikroorganisme patogen mengganggu mekanisme vasokonstriksi yang normal terjadi
sebagai kompensasi saat terjadi hipoksia sehingga timbul keadaan hipoksemia yang
berat. Tekanan darah dapat menurun akibat shock. Perubahan fungsi paru akibat
penurunan volume dan compliance paru serta perpindahan darah intra pulmonal dapat
memberikan prognosis yang buruk hingga kematian.

2. Patofisiologi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas
yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran
napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik
yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat
terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas
tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur
untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi
oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian
hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2
. Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin
agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,
edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma
protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas.
Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-
obatan, latihan, udara dingin, dan stress. Selain merangsang sel inflamasi, terdapat
keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa
inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan
pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan
pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

2.5 Tatalaksana Diet


Secara umum kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan kondisi sakit kritis,
khususnya yang menggunakan ventilator, dimana kebutuhan energi basal menggunakan
rumus harris benedict dan mengalikan dengan faktor stres. Penggunaan ventilator dan juga
obat-obatan akan menurunkan energy expenditure, sehingga hal tersebut dipertimbangkan
dalam menentukan faktor stres. Penentuan kebutuhan protein yaitu sesuai pada kondisi
sakit kritis dengan jumlah 1,2g/kgBB dengan mempertimbangkan N:NPC sesuai kondisi
penyakitnya. Pemberian protein melalui nutrisi enteral berupa formula semi elemental.
Pemberian lemak melalui nutrisi enteral formula semielemental akan dapat mencukupi
kebutuhan lemak total, sehingga tidak diperlukan tambahan emulsi lemak intravena.
Pemilihan pemberian formula enteral pada pasien berkaitan dengan fungsi saluran
gastrointestinalnya masih baik dan untuk mengurangi refluks yang mungkin terjadi dalam
pemberian nutrisi enteral, harus diperhatikan posisi kepala yang lebih tinggi pada saat
pemberian, nutrisi enteral diberikan dalam drip lambat menggunakan syringe pump atau
feeding buret. Pemilihan formula jenis semi elemental pada pasien-pasien ini karena lebih
mudah diabsorpsi, lebih tidak membuat alergi, dapat ditoleransi lebih baik pada pasien
malabsorpsi.
Terdapat hubungan antara peran antioksidan dalam diet seperti Vitamin C, Vitamin
E,  karoten dan selenium dengan fungsi paru yang baik. Berbagai antioksidan terdapat
dalam cairan ekstraselular dan berperan penting dalam melindungi paru dari cidera
oksidatif akibat proses inflamasi karena inhalasi asap rokok dan polutan lainnya. Hasil
penelitian selama 3 tahun terhadap hubungan asupan antioksidan harian dengan fungsi
paru menunjukkan hubungan yang positif antara fungsi paru dengan asupan vitamin C,
vitamin E dan karotenoid. Dari semua karotenoid yang diteliti, lutein/zeaxanthin
mempunyai hubungan terkuat dengan fungsi paru.
Penyakit paru dapat memberikan gejala klinis yang dapat mempengaruhi asupan
nutrisi, seperti rasa mudah kenyang, anoreksia, penurunan berat badan, batuk dan sesak
saat makan. Ketika penyakitnya bertambah berat, gejala klinis sangat berdampak buruk
terhadap status nutrisi, sehingga penilaian status nutrisi sangat penting dilakukan.
Penilaian tersebut mencakup riwayat berat badan, asupan makanan, pengobatan, marker
biokimia (albumin, prealbumin, profil lipid) dan status fungsional. (Suganda, 2013)
BAB III
PATOFISIOLOGI KASUS

3.1 Kerangka Patofisiologi


1. Patofisiologi Pneumonia
2. Patofisiologi Asma Intermiten

3.2 Penjelasan Patofisiologi


1. Pneumonia
Riwayat alamiah terjadinya penyakit pneumonia, diawali pada saat patogen masuk
melalui proses inhalasi, umumnya jenis patogen penyebab pneumonia yakni streptococcus
pneumoniae kemudian masuk ke jaringan epitel dikarenakan virus tersebut memiliki kapsul
yang dapat memudahkan untuk menembus jaringan epitel. Bergerak dan terjadi kolonisasi
patogen di nasofaring sehingga memicu sistem imun inate untuk melakukan migrasi
makrofag, neutrofil dan monosit menuju epitel dan terjadi fagositosis patogen. Apabila
proses fagositosis berhasil, maka proses kolonisasi akan berhenti tetapi apabila tidak
berhasil, patogen akan bergerak turun menuju alveolus melalui pembuluh darah dan
kembali memicu proses fagositosis patogen pada alveolus. Apabila proses fagositosis
berhasil, maka patogen akan mati dan apabila proses fagositosis gagal maka akan terjadi
infeksi yang disebut Pneumonia Lobaris. Pada kondisi pneumonia lobaris, apabila infeksi
menyebar ke pleura akan memicu inflamasi di pleura dan terjadi penumpukan cairan
eksudat di pleura kemudian membentuk cairan putih yang memenuhi pleura dan juga
memicu peningkatan tekanan di pleura yang menyebabkan pleuric pain.
Disisi lain, Pneumonia Lobaris akan memicu beberapa keadaan diantaranya:
1. Penurunan Hemoglobin yang berdampak pada penurunan SO2 dikarenakan respon
tubuh yang terjadi apabila terjadi infeksi, maka ferritin akan membawa Fe agar
tidak menjadi media tumbuh untuk patogen.
2. Peningkatan kadar C reaktif Protein dan White Blood Cell (Sel darah putih) yang
menjadi indikator terjadinya proses inflamasi sehingga memicu respon sistem
imun.
3. Inflamasi dan odema alveoli, menyebabkan alveolus terisi cairan eksudat (secret
kuning). Cairan eksudat yang terdiri atas leukosit, eritrosit menyebabkan trombosit
sebagai factor pembekuan darah meningkat, guna mengembalikan epitel pembuluh
darah yang terbuka. adanya cairan eksudat yang mengisi alveolus menyebabkan
fungsi paru-paru menurun, karena difusi gas di dalam alveoulus menjadi terhambat.
difusi gas dalam alveolus yang terhambat atau berkurang, menyebabkan hypoxemia
atau kadar oksigen dalam darah di bawah batas normal. akibatnya pasien menjadi
lemas. untuk mengkompensasi terjadinya hypoxia, tubuh melakukan kompensasi
dengan hiperventilasi atau napas cepat dan tekanan O2 (PO2) dalam darah
diturunkan. difusi gas dalam alveolus yang terhambat juga mengakibatkan
karbondioksida yang dihasilkan dari proses metabolism tubuh, tidak bisa keluar
dengan optimal. akibatnya, karbondioksida menumpuk dalam darah.
menumpuknya karbondioksida dalam darah mengakibatkan pH darah menjadi
asam (asidosis). akibat dari asidosis ini, tubuh mengalami gejala dan mekanisme
tertentu untuk melakukan kompensasi, seperti mual muntah, menurunkan
reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus ginjal (mengakibatkan kadar bikarbonat dalam
darah juga menurun), dan hiperventilasi atau napas cepat. Napas cepat (Respiratoy
Rate/RR tinggi) yang diakibatkan baik hypoxia maupun asidosis ini, disertai dengan
jantung memompa darah lebih cepat, agar pertukaran gas dalam darah berlangsung
lebih cepat (mengikuti proses napas cepat), akibatnya Hear Rate (HR) juga tinggi.
4. Terjadi demam yang merupakan tanda terjadinya inflamasi/ peradangan yang
berakibat pada meningkatnya kebutuhan energi untuk menyelesaikan proses
inflamasi dan dehidrasi karena memerlukan banyak cairan untuk menormalkan
suhu tubuh akibat inflamasi.
2. Asma Intermiten
Asma intermitten yang dialami oleh px merupakan inflamasi saluran nafas
kronik yang bisa kambuh sewaktu waktu. Keadaan ini, memicu terjadinya
hipersensitivitas pada bronkus px yang apabila terdapat beberapa benda atau keadaan
tertentu, pada penderita asma akan dideteksi sebagai alergen. Alergen masuk kedalam
rongga hidung melalui inhalasi yang kemudian memicu sekresi sel dendritik dan
menstimulasi columnal epitel untuk mensekresi tymic stromal limfosit yang digunakan
untuk mengaktivasi sel denritik yang telah disekresi. Sel dendritik yang aktif kemudian
membantu mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T terdiri dari Th 1 dan Th 2. Sel
Th1 menghasilkan IFN-𝛾, lypholoxin, dan interleukin (IL)-2 yang penting dalam
mekanisme pertahanan seluler dalam menanggapi infeksi. Sel Th 2 menghasilkan
sitokin, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-13, IL-3, dan GM-CSF, yang dapat memediasi
peradangan alergi. IL-4 dan IL-13 akan membentuk Ig-E. Ig E atau imunoglobulin E
adalah antibodi yang bertanggung jawab untuk aktivasi reaksi alergi, penting untuk
patogenesis penyakit alergi, perkembangan, dan persistensi peradangan. IL-9 dan IL-4
akan menstimulasi sekresi sel mast, sedangkan IL-3 menstimulasi sekresi basofil. IL-
3, IL-5, dan GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi, dan memperpanjang ketahanan
hidup eusinofil. IgE juga menstimulasi sekresi sel mast, basofil, dan eusinofil. Sel mast
menstimulasi sekresi basofil dan basofil menstimulasi sekresi eusinofil. Saat sel mast,
basofil, dan eusinofil teraktivasi dan berdegranulasi akan mengeluarkan mediator yang
bertanggung jawab terhadap proses inflamasi. Mediator tersebut adalah histamin dan
prostaglandin. Mediator menyebabkan otot polos mengalami vasodilatasi dan otot
polos viseral mengalami konstriksi. Hal tersebut mengakibatkan bronkus mengalami
konstriksi.
Asma yang sudah diderita sejak kecil mengakibatkan inflamasi saluran napas
yang kronik. Sel inflamasi dan mediator yang dikeluarkannya akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya hiperaktivitas bronkus (Hbr). Bronkus yang hiperaktivitas akan membuat
bronkus itu mengalami konstriksi (penyempitan). Saat bronkus mengalami konstriksi,
pasien akan mengalami sesak napas.
3. Hubungan antara Pneumonia dan Asma Intermitten pada Pasien
Pneumonia dapat menjadi faktor yang dapat memperparah riwayat asma
intermitten pada Px karena pada Pneumonia terjadi juga penurunan fungsi paru yang
dapat memperparah kondisi Px saat sesak nafas kambuh. Begitu juga keadaan asma
intermitten memiliki pengaruh tidak langsung terhadap penyakit Pneumonia, dimana
saat Px mengalami sesak nafas karena penyakit asma intermitten, Px mengalami
penurunan kemampuan penerimaan makan karena kondisi sulit bernafas maupun efek
tidak langsung dari pemberian albuterol, dan berdampak pada menurunnya nafsu
makan padahal pada saat sesak nafas kambuh Px membutuhkan lebih banyak asupan
karena terjadi peningkatan kebutuhan energi. Apabila hal tersebut terjadi terus menerus
mengakibatkan menurunnya status gizi dan sistem imun yang membuat Px menjadi
lebih rawan terinfeksi penyakit.
BAB IV
NUTRITION CARE PROCESS

4.1 Identitas Pasien


Nama : An. J No. RM :-
Umur : 9 tahun Ruang :-
Sex : perempuan Tgl kasus :-
Pekerjaan :- Alamat :-
Pendidikan :-
Agama :- Diagnosis medis : asma intermiten dan
pneumonia

4.2 Assesment
Kode/Indikator Hasil Assesment Nilai Standard Kesimpulan
Antropometri
Berdasarkan WHO 2005
AD-1.1.1 Tinggi badan TB = 125 cm 3 > TB/U z-score > -2 Normal
TB/U z-score =
-1,27
AD-1.1.2 Berat badan BB = 21,5 kg 1 > BB/U z-score > -2 Normal
BB/U z-score =
-1,79
AD 1.1.5 IMT MT = 13,8 1 > IMT/U z-score > -2 Normal
IMT/U z-score =
-1.50
Kesimpulan Domain Antropometri: Antropometri 1 bulan lalu normal beresiko
Biokimia
BD-1.1.1 ARTERIAL pH = 7,33 Normal 7,35-7,45 Asidosi
PH

BD-1.1.2 ARTERIAL Bikarbonat : 17 Normal : 21-28 mEq/L Asidosis


BICARBONAT mEq/L
BD-1.1.3 PARTIAL PCO2 : 33 mm/Hg Normal : 35-45 mm/Hg Asidosis terkompensasi
PRESSURE PCO2 sebagian

BD-1.1.4 PARTIAL PO2 : 55 mm/Hg Normal : 75-100 mm/Hg Hipoksemia


PRESSURE PO2

BD-1.6.1 C- CRP : 309 mg/L Normal : 10 mg/L Inflamasi


REACTIVE PROTEIN

BD-1.10.1 Hemoglobin HB : 10,4 gr/dL Normal : 11-13 gr/dL Anemia

WBC 32200 Normal 3500-10000 Inflamasi


mm3/L mm3/L

Platelet count Normal 150000-390000 Tinggi


544000 mm3/L mm3/L

Saturation O2 84- Normal 95-100%) Hb ↓


94%
Kesimpulan Domain Biokimia: Asidosis metabolik terkompensasi sebagian alkalosis
metabolik dengan hipoksemia berat (O2) dan anemia (Hb < 11 gr/dL).

Client History
Kode Hasil Assesment Kesimpulan
CH-1.1.1 AGE Usia 9 th Kelompok usia anak-anak

CH-1.1.2 Perempuan
GENDER

CH-2.2.1 Diberi intervensi nasal oksigen Asma


OXYGEN
THERAPY

CH-2.1.12 - Asma intermittent bawaan sejak


RESPIRATORY kecil
- Pneumonia sejak 3 tahun lalu
CH-2.1.8 memperparah asma
ALERGI Alergi seafood dan ikan
CH-3.1.1
SOCIO Keluarga menengah keatas karena
ECONOMIC kedua orang tuanya bekerja dan
FACTOR memiliki pengasuh.
Kesimpulan Domain Client History: Px berusia berjenis kelamin perempuan, berusia 9 tahun,
menderita asma intermiten yang diperparah oleh pneumonia, alergi ikan dan seafood, serta
berasal dari perekonomian menengah ke atas.

Fisik/Klinis
PD-1.1.3 - Secret kuning di Pneumonia
CARDIOVASCULAR- endotracheal
PULMONARY intubation
SYSTEM - Foto putih di Pneumonia lobar
sisi kanan
bawah lobus
paru.
- Penumpukan Reaksi inflamasi terhadap
cairan di pleura pathogen
kanan.

PD-1.1.3 SHORTNES Napas cepat dan Sesak napas → asma


BREATH pendek

PD-1.1.5 DIGESTIVE Mual muntah dan


SYSTEM nyeri abdomen.

PD-1.1.8 SKIN Kulit pucat

PD-1.1.9 VITAL SIGN - Suhu tubuh Normal 36,5 – 37,20C Tinggi → demam
400C
- TD 90/60 Normal 80-100/60 Normal
mm/Hg mm/Hg
- HR 176 bpm Normal 70-120 bpm Tinggi
- RR 40x/menit Normal 20-30x/menit Tinggi

Kesimpulan Domain Fisik/Klinis: Pasien memiliki sesak napas dan demam, HR dan RR
tinggi, infeksi bakteri yang menyebabkan pneumonia lobar.
Food History
FH-1.1. Berdasarkan Berdasarkan rumus
Asupan Zat Gizi recall 24 jam Haris Benedict
(kuantitatif)
FH-1.1.1 TOTAL Asupan : kalori Normal : 1341 Persentasi pemenuhan
ENERGY INTAKE  recall 24 jam 25,1%
INADEQUATE 336.75 kkal

FH-1.5.1.1 TOTAL Total : 11,14 gr Normal : 44,7 gr Persentasi pemenuhan


FAT 24,9%

FH-1.5.2.1 PROTEIN Total : 11,3 gr Normal : 41,9 gr Persentasi pemenuhan


INTAKE 27%

FH-1.5.3.1 CARBO Total : 45.03 gr Normal : 192,7 gr Persentasi pemenuhan


INTAKE 23,4%

FH- 1.6.1 VITAMIN Berdasarkan penelitian


INTAKE Mochalkin, 1970.
1.6.1.2 VIT.C Total : 2.56 mg Normal : 300 mg Persentasi pemenuhan
0,9%
FH- 1.6.2
MINERAL/ELEMENT
INTAKE Berdasarkan RDA
1.6.2.8 ZINK Total : 0.75 mg Normal : 11 mg Persentasi pemenuhan
6,8%
Berdasarkan rumus
Air : 237,5 ml Charrney dan Malone, Persentase pemenuhan
Susu : 190 ml 2009 20,3 %
FH-1.2.1 Total cairan oral= Normal : 2104,2 ml/ 24
FLUID/BEVERAGE 427,5 ml jam
INTAKE

Pola Makan
FH-1.2.2.3 Snack pattern
MEAL/SNACK 1xsehari, meal 3x
PATTERN sehari

FH-2.1.3.3 Orang tua kerja


CAREGIVER sehingga px
diurus oleh
pengasuh yang
kurang
mengontrol
makanannya dan
memberikan
makanan yang px
sukai saja.
FH-4.1.1 AREA Orang tua px tidak
LEVEL OF mendapatkan
KNOWLEDGE/SKILL edukasi gizi.

FH-4.2.12 FOOD An. J suka


PREFERENCES gorengan,
makanan instan,
tidak suka buah
sayur kecuali
dalam bentuk jus.
Konsumsi Obat
FH-3.1.1 Vacomychin & Antioksidan
PRESCRIPTION Rocephin Obat pneumonia
MEDICATION USE intravena

FH-3.1.2 OTC Albuterol Obat asma


MEDICINE USE
Aktivitas Fisik - - -
Kesimpulan Domain Food History: Asupan energy kurang, asupan mikronutrien kurang (A,
C, Kalium, zink, Fe) kurang, asupan cairan kurang, kebiasaan makan 3 x meal dan 1 x snack,
serta pengetahuan orang tua dan caregiver kurang.

4.3 Diagnosis
Kode Diagnosis
NI-2.1 Kekurangan asupan oral (P) berkaitan dengan menurunnya kemampuan
untuk mengonsumsi energi yang cukup (E) ditandai dengan mual dan
muntah (S).
NI-5.1 Meningkatnya kebutuhan protein (P) berkaitan dengan permintaan
protein yang meningkat (E) ditandai dengan kadar CRP tinggi, kadar
WBC tinggi, dan adanya infeksi (S).
NI-5.9.1 Asupan vitamin c kurang (P) berkaitan dengan pengetahuan orang tua
terkait gizi kurang (E) ditandai dengan asupan makanan rendah vitamin
C seperti makanan instan, makanan olahan, dan gorengan (S).
NI- Asupan zinc kurang (P) berkaitan dengan pengetahuan orang tua terkait
5.10.1 gizi kurang (E) ditandai dengan asupan estimasi mineral Zn kurang (S).
NB-1.1 Kurangnya pengetahuan orangtua tentang makanan dan gizi (P)
berkaitan dengan belum pernah mendapat edukasi gizi (E) ditandai
dengan kualitas pola makan An.J buruk, cenderung makanan pokok dan
lauk (S).

4.4 Intervensi
Tujuan:
ND-2.1 ENTERAL NUTRITION
Tujuan :
- Meningkatkan penerimaan makanan terkait dengan kondisi fisiologis mual dan
muntah
Prinsip Diet:
- Tinggi Kalori Tinggi Protein
- Rendah serat
- Pemberian makanan enteral dilakukan pada pasien hingga pasien dapat dapat
memenuhi kebutuhan melalui asupan oral.
- Proporsi karbohidrat 40-60% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Proporsi protein 12-20% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Proporsi lemak 30-40% dari total energi (Sharma dan Joshi, 2014)
- Pemenuhan kebutuhan vitamin C dan zinc sesuai AKG anak usia 9 tahun
- Pemenuhan cairan 2175 ml dalam 24 jam.
- Konsentrasi : 1-2 kkal/ml (Sharma dan Joshi, 2014)

Syarat Diet
1. Komposisi formula enteral :
- Energi : 1341 kkal
- Karbohidrat : 192,7 gr (57,5% dari total energy)
- Protein : 41,9 gr (12,5% dari total energy)
- Lemak : 44,7 gr (30% dari total energy)
- Vitamin C : 300 mg (Berdasarkan penelitian Mochalkin, 1970)
- Zinc : 11 mg
- Cairan : 2104,2 ml dalam 24 jam
2. Konsentrasi formula enteral 1,3 kkal/ml
3. Volume formula enteral: 1032 ml/hari, 200 ml/feeding
4. Jumlah pemberian formula enteral 5 kali/hari, dengan pemberian 2x enteral komersial
dan 3x enteral RS
5. Formula enteral diberikan menggunakan enteral feeding tube

Perhitungan Kebutuhan
Kebutuhan energi perempuan menurut rumus haris benedict
Kebutuhan Energi = REE x faktor aktivitas/stress

REE =655+(9,6 x BB(kg))+(1,7x TB(cm))-(4,7 x usia (tahun))


Faktor stress pasien pneumonia dengan ARDS = 1,2-1,3

Kebutuhan energy = [655+ (9,6 x 21,5) + (1,7x 125) - (4,7 x 9)] x 1,3
= 1031,6 x 1,3
= 1341 kkal

Kebutuhan Protein = (12,5% x Kecukupan energy) / 4


= (12,5% x 1341)/4
= 41,9 g → 12,5% dari total energy
Kebutuhan Lemak = (30% x Kecukupan energy) / 9
= (30% x 1341)/9
= 44,7 g → 30% dari total energi
Kebutuhan Karbohidrat = [Kebutuhan energi – kebutuhan protein (kkal) - kebutuhan
lemak (kkal)] /4
= [1341 - 42*4) - (45*9)] /4
= 192,8 g → 57,5% dari total energy

Kebutuhan cairan menurut rumus Charney & Malone, 2009


𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐢𝐫𝐚𝐧 = (1000 + 50(𝐵𝐵 − 10))𝑚𝑙/24 jam
= (1000 + 50(21.5 − 10))𝑚𝑙/24 jam
= (1000 + 50 × 11.5)𝑚𝑙/24 jam
= (1000 + 575)𝑚𝑙/24 jam
= 1575 𝑚𝑙/24 jam
Kebutuhan cairan saat demam meningkat sebesart 12% setiap 10C peningkatannya.
Suhu tubuh An. J meningkat sebesar 2,80C
𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐢𝐫𝐚𝐧 = (1575 + 2.8 × 12% × 1575)ml/24 jam
= (1575 + 529.2)ml/24 jam
= 𝟐𝟏𝟎𝟒. 𝟐 𝐦𝐥/24 jam

Jenis Diet, Bentuk Makanan Cara Pemberian Frekuensi


Jenis diet : TKTP, rendah Sonde 5 kali
serat

Bentuk makanan : formula enteral


komersial dan enteral RS

4.5 Pangan Fungsional


Sumber Bahan Makanan Zat Bioaktif Kegunaan
Meningkatkan kesehatan
Prebiotik : Frukto
Pisang, gandum, dairy product saluran cerna, peningkatan
oligosakarida (FOS)
sistem imun
Jeruk, jambu, kembang kol, Mekanisme pertahanan tubuh
Antioksidan (Vitamin C)
selada terhadap penyakit
Biji bunga matahari, kacang Mekanisme pertahanan tubuh
Antioksidan (Vitamin E)
almond, telur ayam terhadap penyakit
Karotenoid, likopen (Vitamin
Wortel, tomat, pepaya Zat anti infeksi
A)
Glutation peroksidase
Daging, ikan Mencegah kerusakan sel
(Selenium)

4.6 Perencanaan Menu


Nama Komposisi Berat K Vit C Zinc
Menu UR Gra E P L H
Bahan T m
Jenis Makanan : Enteral 1 Waktu Makan: Pagi Jam : 06.00
4
Entramix Entramix sdm 58 260 10 8 38 35 30
Subtotal 260 10 8 38 35 30
19,
%Pemenuh 19,4 23,9 17,9 7
an
Jenis Makanan : Enteral 2 Waktu Makan:Pagi Jam : 09.30

Subtotal
%Pemenuh
an
Jenis Makanan : Enteral 3 Waktu Makan: Siang Jam : 13.00

Subtotal
%Pemenuh
an
Jenis Makanan : Enteral 4 Waktu Makan: Sore Jam : 16.30
4
Entramix Entramix sdm 58 260 10 8 38 35 30
Subtotal 260 10 8 38 35 30
Nama Komposisi Berat K Vit C Zinc
Menu UR Gra E P L H
Bahan T m
%Pemenuh 19,
an 19,4 23,9 17,9 7
Jenis Makanan : Enteral 5 Waktu Makan: Malam Jam : 20.00

Subtotal
%Pemenuh
an
Total
Kebutuhan
%Pemenuha
n

4.7 Interaksi Obat dan Makanan


Interaksi dengan
Nama Obat Dosis Kegunaan
Makanan
Albuterol Oral Obat asma Menurunkan kadar
4 mg (lansia dan kalsium, Mg, fosfat,
pasien yang sensitive dan kalium dalam
dosis awal 2 mg) 3-4 plasma.
kali sehari, dosis
tunggal, maksimal 8
mg.
Anak di bawah 2 tahun
200 mcg/kg bb 4 x
sehari.
2-6 tahun 1-2 mg 3-4
kali sehari.
Interaksi dengan
Nama Obat Dosis Kegunaan
Makanan
6-12 tahun 2 mg.
Inhalasi aerosol
100-200 mcg (1-2
hirupan). Untuk gejala
yang persisten 3-4 kali
sehari, anak 100 mcg
(1 hirupan) dapat
dinaikkan menjadi 200
mcg (2 hirupan) bila
perlu. Profilaksis untuk
bronkospasme akibat
latihan fisik, 200 mcg
(2 hirupan), anak 100
mcg (1 hirupan).
Vancomycin Injeksi intravena: Antibiotik Tidak ada reaksi
500mg selama 1-2 jam dengan makanan
tiap 6 jam atau 1 gram
selama 100 menit tiap
12 jam selama 7-10
hari
Bayi 1-4 minggu:
15mg/kgBB tiap 8 jam
Bayi diatas 1 bulan: 10
mg/kgBB tiap 8 jam
Rocephin intravena Berdasarkan tingkat Obat penyakit infeksi Pemberian bersamaan
keparahan pneumonia untuk dewasa, anak- dengan kalsium dapat
anak termasuk bayi. menimbulkan endapan
yang dapat merusak
beberapa organ tubuh.

4.8 Edukasi/Konseling
Tujuan:
E-1.1 PURPOSE OF THE NUTRITION EDUCATION
Tujuan : memberikan informasi gizi kepada orangtua dan pengasuh mengenai gizi
seimbang untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Materi:
- Penjelasan mengenai gizi seimbang
- Penjelasan mengenai pemilihan bahan makanan yang dapat membantu memenuhi
kebutuhan zat gizi seperti sumber vitamin C dan zinc.

Media: food model, buku foto makanan, leaflet


Sasaran: orang tua dan pengasuh
Metode, Durasi:
Metode : diskusi
Tempat : ruang rawat inap pasien
Frekuensi edukasi : 2x dalam 1 bulan
Durasi : 15-30 menit

4.9 Monitoring dan Evaluasi


Parameter Waktu Metode Target Pencapaian
Antropometri

Biokimia H+7 setelah diberi Pengukuran uji Hasil analisis


BD penanganan analisis gas darah menunjukkan angka
normal
Fisikl/Klinis Setiap hari Wawancara dan Berkurang frekuensi
PD-1.1.5 observasi makan mual dan muntah
PD-1.1.9 VITAL SIGN Setiap hari Pengukuran Tanda vital mencapai
menggunakan angka normal (36,5-
thermometer 37,2 derajat Celsius)
Food History
FH-1.1.1.1 Energi Setiap hari Comstock dan re-call 1. Mencapai
FH-1.2.2.3 Pola makan presentsi
FH-1.5.1.1 Lemak kebutuhan
FH-1.5.2.1 Protein energi
FH-1.5.3.1 Karbohidrat 2. Sisa makan
FH-1.6.1.2 Vitamin C <25%
FH-1.6.2.8 Zinc
FH-1.2.1 Fluid
FH-4.1.1 Pengetahuan Sebelum dan setelah Pre & post test Hasil post test benar >
sesi edukasi 80%

Hasil Recall An. J berdasarkan software Nutrisurvey

Energi (kkal) Protein (g) % Lemak (g) % KH (g) % Vit. C (mg) Zinc (mg)

336,75 11,3 14 11,14 30 45,03 56 2,56 0,75

Jumlah Energi Protein Lemak


Nama Bahan KH (g) Vit. C (mg) Zinc (mg)
(g) (kkal) (g) (g)
susu ultramilk uht
80 51,2 2,6 2,6 4,2 1,3 0,3
full cream
nasi putih 20 26 0,5 0 5,7 0 0,1
chicken nugget
25 62,5 5 3,3 0,5 0 0
karage fiesta
minyak 1 8 0 0,9 0 0 0
energen vanila 15 67,3 0,5 1,8 12,4 0 0
gula pasir 10 38,7 0 0 10 0 0
susu ultramilk uht
80 51,2 2,6 2,6 4,2 1,3 0,3
full cream
DAFTAR PUSTAKA

Agnes, GL., & Michael, NH. 2018. Patofisiologi untuk Profesi Kesehatan. Translate: Yulianti,
Devi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Anthony S. Fauci. 2008. Harrison’s Internal Medicine, 17th. Edition. USA,. McGraw-Hill.
BPOM RI. Salbutamol. [online] http://pionas.pom.go.id/monografi/salbutamol. Diakses pada
26 Februari 2019.
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia.
Dawood OT, Ibrahim MIM, Palaian S. 2010. Parent’s knowledge and management of their
children’s ailments in Malaysia. Pharmacy Practice.
Depkes, 2000. Buku Pintar Konseling Keluarga Mandiri Sadar Gizi. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta : Depkes
RI.
Hatta, M., 2001. Hubungan Imunisasi Campak dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan Tahun 2000, Thesis, FKM UI, Jakarta.
Janssens, JP., & Kause, KH. 2004. Pneumonia in the very old. The Lancet Infectious Diseases.
4: 24-112.
Kaiser Permanen. 2015. Albuterol Drug Information. [online]
https://wa.kaiserpermanente.org/kbase/topic.jhml?docld=hn-1305003. Diakses pada 26
Februari 2019.
Klemm R, et al. 2008. Newborn Vitamin A Supplementation reduced infant mortality in Rurak
Bangladesh. Official Journal Of American Academy Of Pediatrics Journal. 122: 148
Mateuzzi. D, Swennen. E, Rossi. M, Hartman. T and Lebet. V. Prebiotic effect of wheat germ
preparation in human healthy subjects. Food Microbiol. 2004 ; 21 : 121-123
Mochalkin, N. Ascorbic Acid in The Complex Therapy of Acute Pneumonia. Voen. Med.
Zhurnal 1970, 9, 17 – 21. [online] http://www.mv.helsinki.fi/home/hemila/T5.pdf.
Diakses pada 2 Maret 2019.
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. 2008. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health Organization. 86:408–
416.
Said Mardjanis, 2001, Pneumonia pada anak, Sari Pedriatri Vol 3 No 3 Desember 2001: 141-
146. Jakarta
Suganda, Diana Felicia. 2013. Tatalaksana Nutrisi Penyakit Kritis Pada Anak Dengan
Pneumonia Berat. Serial Kasus. Jakarta: FKUI.
Suhandayani I. (2007). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. [Skripsi Ilmiah]. Semarang: Fakultas
Ilmu Keolahragaan UNNES.
Sunyataningkamto 2004. The rool of Indoor air Pollution And Other Factors in the Incidence
Of Pneumonia In under-five Children. Paediatrica Indonesia, 44(1-2).
Ugajin, M., Yamaki, K., Iwamura, N., Yagi, T., Asano, T. 2012. Blood Urea Nitrogen to Serum
Albumin Ratio Indepently Predicts Mortality and Severity of Community-Acquired
Pneumonia. International Journal of General Medicine 5: 583-589.

Anda mungkin juga menyukai