Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang
menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari
spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung
adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul
pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan
oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru
mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas.
Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup.
Insidensi hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hisprung. Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000
kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan
perempuan (4:1). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada bayi
aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai
dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom
waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Berdasarkan banyaknya faktor resiko dan akibat yang
ditimbulkan dari Hisprung, maka kami membuat makalah mengenai
Hisprung untuk mengetahui proses terjadinya penyakit,
penatalaksanaan, dan komplikasi yang dapat terjadi.

1
a.2Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antaralain:
a.2.1 Tujuan Umum
Membantu mahasiswa memahami tentang faktor resiko
Hisprung dan bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada
klien dengan penyakit hisprung.
a.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pembuatan makalah ini adalah:
a. Untuk memahami definisi Hisprung.
b. Untuk mengetahui epidemiologi Hisprung.
c. Untuk mengetahui klasifikasi Hisprung..
d. Untuk mengetahui etiologi/ penyebab Hisprung.
e. Untuk mengetahui patofisiologi Hisprung.
f. Untuk mengetahui faktor resiko Hisprung.
g. Untuk mengetahui manifestasi klinis Hisprung.
h. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik yang dapat
dilakukan pada pasien dengan Hisprung.
i. Untuk memahami penatalaksanaan Hisprung.
j. Untuk mengetahui pencegahan apasaja yang dapat
dilakukan untuk menghindari Hisprung.
k. Untuk mengetahui prognosis Hisprung.
l. Untuk mengetahui komplikasi Hisprung.

a.3Ruang Lingkup Penulisan


Ruang lingkup penulisan makalah ini antara lain mengenai
bagaiamana mekanisme perjalanan penyakit dan komplikasinya,
berupa definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
faktor resiko, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik,
penatalaksanaan, pencegahan, prognosis, dan komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien dengan Hisprung.

a.4Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan
metode kepustakaan/ library research yang berkaitan dengan
Hisprung.

a.5Sistematika Penulisan
Sistematikan penulisan dalam makalah ini sebagai berikut:
i. BAB I: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan
penulisan berupa tujuan umum dan tujuan khusus, ruang

2
lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
ii. BAB II: Pembahasan jurnal terdiri dari definisi, epidemiologi,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, faktor resiko, manifestasi
klinis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan,
pencegahan, prognosis, dan komplikasi.
iii. BAB III: Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
iv. Daftar Pustaka.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut Donna L. Wong (2003), Hirschsprung (megakolon atau
aganglionis) merupakan anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus.
Hirsprung adalah penyakit tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum
atau bagian rektosigmoid colon, ketidakadaan sel-sel ganglion dalam
rektum menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta
tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & swoden, 2000).
Penyakit Hirsprung diikenalkan pertama kali oleh Hirschprung
tahun 1886. Zuelser dan Wilson (1948), mengemukakan bahwa pada
dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Kondisi hisrprung merupakan kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus tersering pada neonates, dan banyak terjadi pada bayi
aterm dengan berat lahir 3 Kg, yang berumur 0 28 hari. (Arief
Mansjoer, 2000).
Jadi dapat disimpulkan, bahwa penyakit Hisprung merupakan
keadaan tidak ada atau sedikitnya saraf ganglion parasimpatis pada
pleksus meinterikus dari kolon distalis, sehingga tidak ada peristaltik
pada area yang terkena (daerah yang terkena dikenal sebagai segmen
aganglionik), usus mengalami hipertrofi dan dilatasi serta menimbulkan
distensi dan obstruksi abdomen (Catzel&Roberts, 1992).

2.2 Epidemiologi

4
Di Indonesia insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara
pasti, namun berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
dapat diprediksi setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
Hirschsprung. Menurut Wyllie (2000); Kartono (2004), mencatat 20-40
pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta, terdapat laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan perbandingan 4:1 dan adanya kenaikan insidens
pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Iqbal dkk (2010), di
Rumah Sakit Sheikh Zayed-Pakistan menunjukkan proporsi penyakit
Hirschsprung lebih tinggi pada anak laki-laki (70,59%;12 dari 17 orang)
dari pada anak perempuan (29,41%;5 dari 17 orang). Penelitian
tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih
banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83% ; 10 dari 17 orang)
dibandingkan dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).
2.3 Klasifikasi

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2


tipe yaitu (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1996;
Sacharin, 1986):
1. Hirschsprung segmen pendek: Segmen pendek aganglionosis
mulai dari anus sampai sigmoid yang dapat disebut penyakit
hirschsprung klasik, terjadi pada sekitar 70% kasus penyakit
Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
2. Hirschsprung segmen panjang: Pada hirschsprung segmen
panjang, daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid
bahkan terkadang mengenai seluruh kolon atau sampai usus
halus. Insidens pada Hirschsprung segmen panjang antara laki-
laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1
dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin.

5
Menurut Sjamsuhidajat dan Wim de jong (1997), klasifikasi penyakit
Hirschsprung dibagi menjadi berdasarkan kolon aganglionik,
antaralain:
1. Hirschsprung kolon aganglionik total: Hirschsprung kolon
aganglionik total apabila terkena daerah aganglionik mengenai
seluruh kolon.
2. Hirschsprung kolon aganglionik universal: Hirschsprung
aganglionosis universal apabila daerah aganglionik meliputi
seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
Dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu:

a. Tipe kolon spastik

Tipe kolon spastik, dipicu oleh makanan yang menyebabkan


konstipasi berkala (konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri.
Terkadang konstipasi silih berganti dengan diare, tampak lendir
pada tinja. Nyeri biasanya berupa serangan nyeri tumpu atau
kram, di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual,
sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk
berkonsentrasi.

b. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan


konstipasi yang relative tanpa rasa nyeri. Diare mulai muncul
secara tiba tiba dan tidak dapat ditahan. Ciri yang khas adalah
diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita
mengalami perut kembung dan konstipasi dengan sedikit nyeri.

2.4 Etiologi
Penyakit hisprung disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach
dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah
proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh
kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus
(Budi, 2010). Penyebab penyakit Hisprung belum diketahui secara
pasti (Greaf,1994), namun kemungkinan dapat dikarenakan faktor
genetik dan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom,
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal

6
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding
plexus. Menurut Behrman (1996), terdapat hubungan peningkatan
resiko familial dari penyakit Hisprung, dimana laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan (4:1).
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan anak FKUI, 1985 :
1. Terdapat kemungkin karena adanya kegagalan sel-sel Neural
Crest ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau
kegagalan pleksus mesenterikus dan submukoisa untuk
berkembang kearah kranio kaudal di dalam dinding usus.
2. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari
pleksus Aurbach di kolon.
3. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum
dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon.
2.5 Manifestasi Klinis
Menurut Budi (2010), Tanda dan gejala yang dapat timbul pada
penyakit Hisprung adalah Obstipasi (sembelit) yang merupakan tanda
utama. Terdapat tanda (trias) yang sering ditemukan pada penyakit
Hisprung meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam),
perut kembung, dan mutah berwarna hijau. Pada bayi yang menderita
penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat
keluar sama sekali. Apabila dibiarkan lebih lama, maka akan
menyebabkan berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi
gangguan pertumbuhan. Berikut beberapa tanda dan gejala pada
penyakit Hisprung (Kowalak, 2012):
Tanda dan gejala pada neonates meliputi:

a. Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam tempo 24 hingga 48


jam, akibat usus tidak mampu mendorong isinya ke arah distal.
b. Muntah yang mengandung feses dan empedu sebagai akibat
obstruksi intestinal.
c. Malas makan
d. Distensi abdomen karena retensi isi usus dan obstruksi usus.
e. Iritabilitas (anak menjadi rewel) akibat distensi abdomen yang
ditimbulkan.

7
f. Dehidrasi yang berhubungan dengan kesulitan menyusu dan
ketidakmampuan mengkonsumsi cukup cairan.
g. Diare overflow yang terjadi karena peningkatan sekresi air ke
dalam usus disertai obstruksi usus.

Tanda dan gejala pada anak-anak (masa pertumbuhan)meliputi:


a. Konstipasi persisten akibat menurunnya motilitas GI.
b. Distensi abdomen akibat retensi feses.
c. Ekstremitas yang lisut (pada kasus-kasus berat) yang terjadi
sekunder karena gangguan motilitas intestinal dan pengaruhnya
pada nutrisi serta asupan makanan.
d. Kehilangan jaringan subkutan (pada kasus-kasus berat) yang
terjadi sekunder akibat malnutrisi.
e. Abdomen yang besar dan menonjol akibat retensi feses dan
perubahan homeostasis cairan seta elektrolit yang ditimbulkan.
f. Tidak dapat meningkatkan berat badan

g. Diare cair yang keluar seperti disemprot

h. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus


halus dan dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat
mengancam jiwa.

Tanda dan gejala pada dewasa (yang lebih jarang ditemukan):

a. Distensi abdomen akibat penurunan motilitas usus dan


konstipasi.
b. Konstipasi intermitten yang kronis dan merupakan keadaan
sekunder karena gangguan motilitas usus.
c. Kotoran berbentuk pita

d. Berbau busuk

8
e. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti
gelombang)

f. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia

2.6 Faktor Resiko


Beberapa faktor resiko dari penyakit Hirsprung menurut Ngastiyah
(1997 : 138), antara lain:
1) Faktor Bayi
a) Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur
yang paling rentan terkena penyakit Hirschsprung karena
penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyebab paling
umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).
b) Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi
sebagai bagian dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan
kromosom. Kelainan kromosom yang paling umum beresiko
menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom
Down. Insidens yang terjadi antara 2-10% dari individu dengan
penyakit Hirschsprung merupakan penderita sindrom Down.
Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan
karakteristik fitur wajah, cacat jantung bawaan, dan
keterlambatan perkembangan anak.

2) Faktor Ibu
a) Umur Ibu
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil
dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada
bayi. Bayi dengan Sindrom Down lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa
menopause.
b) Ras/Etnis

9
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan
perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba
(pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat
disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest,
membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan
memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan
kongenital.
2.7 Patofisiologi

10
11
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk
penyakit hisprung, sebagai berikut (Betz,2002):
A. Anamnesis
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan
anamnesis adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium
pertama yang pada umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna
hijau, adanya obstipasi masa neonatus. Apabila terjadi pada anak
yang lebih besar maka mengalami obstipasi semakin sering, perut
kembung, dan pertumbuhan terhambat. Anamnesis dilakukan juga
dengan mengetahui riwayat keluarga sebelumnya yang pernah
menderita keluhan sama, misalnya anak laki-laki terdahulu
meninggal sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi.

12
B. Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena
mengalami obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali normal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses,
kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah
dan akan terjadi pembusukan.

C. Foto abdomen
Pada foto polos abdomen dapat memperlihatkan gambaran
obstruksi usus letak rendah, meskipun pada bayi masih sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.
D. Enema barium
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana
akan dapat memperlihatkan tiga tanda khas yaitu adanya daerah
penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto
barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feses.
Gambaran khas yang terlihat adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.

13
(Foto barium enema pada penderita penyakit Hirschsprung)

E. Biospsi
Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan
melalui prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel
ganglion pada pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-
mukosa (Meissner). Di samping tersebut akan terlihat dalam jumlah
banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi

14
pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak
ditemukan pada serabut saraf parasimpatik. Namun, biasanya biopsi
hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua, tiga, dan lima sentimeter
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Sedangkan Menurut Polley (1986) pada laporan yang
diteliti, melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil
negatif palsu dan komplikasi.

F. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif yang mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit
yang melibatkan sfingter anorektal. Manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan
histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki dua
komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti
poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang
spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah hiperaktivitas pada
segmen dilatasi, tidak adanya kontraksi peristaltik yang terkoordinasi
pada segmen usus aganglionik, sampling reflex tidak berkembang
yang artinya tidak dijumpainya relaksasi sfingter interna setelah

15
distensi rektum akibat desakan feses atau tidak adanya relaksasi
spontan.
a) Hasil pemeriksaan manometri anorektal pada pasien tanpa
penyakit Hirschsprung

b) Hasil pemeriksaan manometri anorektal pada penderita penyakit


Hirschsprung

2.9

Penatalaksanaan
1) Medis (Betz Cecily & Sowden 2002 : 98).
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion
aganglionik di usus besar serta membebaskan dari obstruksi dan
mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga
fungsi spinkter ani internal. Terdapat dua tahapan dalam
penatalaksanaan medis, antaralain:
a. Temporari ostomy yang dibuat proksimal terhadap segmen
aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal
melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan
ukuran normalnya.

16
b. Pembedahan koreksi dilakukan lagi, saat berat anak mencapai
sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi
pertama.
Menurut Darmawan K (2004: 37), Terdapat beberapa prosedur
pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley &
Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling
sering dilakukan, dimana terdiri dari penarikan usus besar yang
normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah.
2) Perawatan
Dalam perawatan penyakit Hisprung dapat dilakukan dengan
tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya, apabila
adanya ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal,
yang dapat dilakukan dengan membantu orang tua dalam
mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini,
membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak,
mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis
(pembedahan), serta dapat dilakukan deng mendampingi orang tua
pada perawatan colostomy setelah rencana pulang. Dimana pada
perawatan preoperasi harus memperhatikan kondisi klinis anak-
anak dengan keadaan malnutrisi yang tidak dapat bertahan dalam
pembedahan ataupun hingga status fisiknya meningkat. Hal ini
perlu melibatkan pengobatan secara simptomatik seperti
dilakukanya enema, diet rendah serat, serta nutrisi parenteral total
(NPT) (FKUI, 2000 : 1135).
3) Pengobatan medis
Dalam penatalaksanaan penyakit Hisprung dapat dilakukan
dengan berbagai cara, namun terdapat salah satu cara seperti
diberikan pengobatan medis yang memilki tujuan umum dan
mencakup 3 hal, seperti penanganan komplikasi dari penyakit
Hirschsprung yang tidak terdeteksi, penatalaksanaan sementara
sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan, serta untuk
memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.

17
Pertama, penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung
yang tidak terdeteksi. Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada
penyeimbangan cairan dan elektrolit, menghindari distensi
berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis.
Maka dari itu, hidrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika
diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki peranan
utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Kedua, penatalaksanaan sementara sebelum operasi
rekonstruktif definitif dilakukan. Dapat dilakukan dengan
pembersihan kolon dengan melakukan irigasi dengan rectal tube
berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah
terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin
dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Sedangkan yang ketiga,
yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi
rekonstruksi, dapat dilakukan dengan injeksi BOTOX pada
sphincter interna, terbukti memicu pola pergerakan usus yang
normal pada pasien post-operatif.
4) Tindakan bedah
a) Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara yaitu berupa kolostomi pada
usus yang memiliki memiliki ganglion normal paling distal.
Kolostomi adalah tindakan operasi darurat untuk menghilangkan
gejala obstruksi usus serta mencegah enterokolitis sebagai
salah satu komplikasi yang berbahaya, dengan menunggu dan
memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
operasi definitif. Pada tindakan kolostomi, perlu untuk
memberikan dukungan pada orang tua, karena kolostomi
sementara sukar diterima, sebagai perawat harus meyakinkan
dan memberikan dukungan banyak terhadap orang tua seperti
bagaimana merawat anak dengan kolostomi, observasi apa
yang perlu dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan

18
bagaimana menggunakan kantong stoma. Kolostomi memiliki
fungsi yang lain diantaranya menurunkan angka kematian pada
saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber
usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud dkk,1997;
Swenson dkk,1990).
b) Tindakan Bedah Definitif
- Prosedur Swenson
Menurut Kartono (1993); Swenson dkk (1990);
Corcassone (1996); Swenson (2002). Orvar swenson dan
Bill (1948) adalah seseorang yang memperkenalkan operasi
tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif
pada penyakit Hirschsprung. Operasi Swensom dilakukan
denagn teknik anastomosis intususepsi ujung ke ujung usus
aganglionik dan ganglionik melalui anus dan reseksi serta
anastomosis sepanjang bertitik-titik.
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi
rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi
serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal
rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah
direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui
saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada
bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to
end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi.
Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan
sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik atau abdomen. Selanjutnya

19
dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup
(Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
- Prosedur Duhamel
Secara lebih spesifik prosedur Duhamel dilakukan
dengan cara menaikkan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskanya dibelakang usus aganglionik,
membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan
bagian posterior kolon normal yang telah ditarik. Prosedur ini
diperkenalkan oleh Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side (Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan
fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila
terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa
modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya:
- Modifikasi Grob: Anastomose dengan pemasangan 2
buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm,
untuk mencegah inkontinensia.
- Modifikasi Talbert dan Ravitch: Berupa pemakaian stapler
untuk melakukan anastomose side to side yang panjang.
- Modifikasi Ikeda: Membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari.
- Modifikasi Adang: Modifikasi adang, dimana kolon yang
ditarik transanal dibiarkan prolaps untuk sementara.
Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, pada hari
ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang

20
prolaps dan pemasangan 2 buah klem, kedua klem
dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem lebih dititik
beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).

- Prosedur Soave
Pada prosedur soave pertama kali diperkenalkan oleh
Rehbein tahun 1959 dalam tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997;
Swenson dkk,1990).
- Prosedur Rehbein
Prosedur Rehbein merupakan prosedur yang berupa
deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end

21
to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level
otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan
jahitan satu lapis yang dikerjakan pada intraabdominal
ekstraperitoneal. (Swenson dkk,1990).
5) Pertimbangan khusus
Terdapat beberapa pertimbangan khusus sebelum dilakukan
pembedahan kedaruratan untuk dekompresi, seperti
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan cegah
syok, memberikan nutrisi yang adekuat dan melakukan terapi
hidrasi melalui pemberian cairan infus sebagaimana diperlukan.
Transfusi dapat dilakukan untuk mengoreksi keadaan syok atau
dehidrasi.Mengatasi distress pernapasan dengan mempertahankan
tubuh pasien pada posisi tegak (Tempatkan bayi di tempat duduk
bayi).
1. Sesudah kolostomi atau ileostomi
- Menempatkan bayi dalam incubator yang dihangatkan
dengan mengatur suhu pada 36,7 o hingga 37,2o (98 oF hingga
99 oF) atau dalam alat penghangat (radiant warmer). Pantau
tanda-tanda vital, mengawasi adanya kemungkinan sepsis
dan enterokolitis (Peningkaan frekuensi pernapasan dan
distensi abdomen).
- Melakukan pemantauan dan catat asupan serta cairan (yang
meliputi pemantauan cairan drainase dari ileostomy atau
kolostomi) dan keseimbangan elektrolit dengan cermat. Ukur
dan catat jumlah cairan drainase dari pipa NGT dan gantikan
cairan serta elektrolit menurut instruksi dokter. Cek feses
dengan teliti untuk mendeteksi pengeluaran air yang
berlebihan melalui feses tanda kehilangan cairan.
- Melakukan pemeriksaan urine untuk berat jenis serta
kandungan glukosa (hiperalimentasi dapat menimbulkan
diuresis osmotic) dan pemeriksaan darah.
- Meganti atau mengubah posisi tubuh secara rutin untuk
mencegah pneumonia aspirasi dan perekahan kulit. Serta
lakukan pula pengisapan (suction) nasofaring secara rutin.

22
- Mempertahankan daerah disekitar stoma tetap bersih serta
kering dan selubungi stoma dengan kassa steril atau
kantung kolostomi atau ileostomi untuk menampung cairan
yang keluar dari lubang tersebut. Gunakan teknik perawatan
aseptic sampai luka benar-benar sembuh. Evaluasi
kemungkinan prolaps, perubahan warna, atau perdarahan
yang berlebihan.
- Pemberian nutrisi oral dapat dimulai ketika bising usus
terdengar kembali. Pasien bayi akan dapat menerima ASI
atau formula elemental dengan baik.
- Sebelum pulang, apabila memungkinkan maka rujuk dahulu
orang tua bayi dengan terapi enterostoma untuk
memperoleh informasi tentang perawatan ostomi.
2. Sebelum pembedahan korektif
- Melaukan lavase kolon sehari sekali dengan larutan normal
saline untuk mengevakuasi isi kolon; enema dan preparat
laksan yang dapat dipakai untuk membersihkan kolon. Catat
secara akurat jumlah cairan lavase yang diteteskan ke
dalam stoma. Selanjutnya ulangi lavase sampai cairan yang
mengalir balik tidak lagi mengandung partikel feses.
- Berikan antibiotik sebagai persiapan operasi pada usus
sebagaimana diinstruksikan dokter.
3. Sesudah pembedahan korektif
- Menjaga agar luka operasi tetap bersih serta kering dan
tetap memeriksa apakah terdapat reaksi inflamsi yang
signifikan. Jangan menggunakan thermometer rektal untuk
mengukur suhu ataupun memberikan preparat supositoria
rektal sebelum luka operasi benar-benar sembuh. Setelah
tiga atau empat hari, bayi akan memperdengarkan bising
usus yang pertama dan mengeluarkan feses cair yang dapat
menimbulkan rasa tidak nyaman. Catat frekuensi buang air
besarnya.
- Periksa apakah terdapat darah dalam urine, khususnya pada
anak laki-laki.

23
- Pemberian nutrisi oral diberikan ketika bising usus aktif mulai
terdengar dan pengeluaran cairan melalui pipa NGT
berkurang. Mulai pemberian nutrisi oral dengan cairan jernih
dan tingkatkan volume larutan nutrisi menurut toleransi
pasien.
- Memberikan informasi kepada orang tua untuk menunda
pemberian makanan apabila pada pemberian sebelumnya
meningkatkan frekuensi defekasi. Lakukan informed consent
dengan memberikan penjelasan bahwa anak mereka dapat
kembali mengontrol kerja sfingternya dan dapat
mengonsumsi makanan biasa, dan untuk mengingatkan
orang tua bahwa kontinensia total dapat terjadi selama
beberapa tahun, konstipasi dapat timbul kembali sewaktu-
waktu.
- Memberikan penjelasan dengan cara informed consent
terhadap orang tua, karena bayi yang menderita menderita
penyakit Hirschprung memerlukan pembedahan dan
perawatan di rumah sakit pada usia dini. Maka anjurkan
orang tua agar sebanyak mungkin berpartisipasi dalam
perawatan.
2.10 Pencegahan
Pencegahan pada penyakit Hirsprung dapat dilakukan dengan
berbagai cara, dari sebelum masa kehamilan maupun saat kehamilan.
Maka dapat diperhatikanya pola makanan sehat untuk ibu hamil,
dimana pada ibu hamil harus memperbanyak konsumsi makanan yang
banyak mengandung vitamin, antioksidan, dan mineral penting lainnya.
Nutrisi tersebut bisa didapatkan dari nasi dengan karbohidrat
kompleks, sayuran, buah, sumber protein, dan susu khusus ibu hamil.
Dengan terpenuhinya kebutuhan nutrisi pada ibu hamil, maka
kesehatan ibu hamil tetap baik dan mampu menjalani keseharian
dengan lancar. Kedua, dengan mengurangi aktivitas yang menguras
tenaga. Kesehatan ibu hamil harus tetap dijaga, dengan menjaga
tempo dan periode waktu beraktivitas. Aktivitas yang baik untuk ibu

24
hamil, tentu saja olahraga ringan atau senam hamil tidak terlalu berat
dan hingga menyebabkan ibu kelalahan.
Konsultasi kehamilan secara rutin, cara berkonsultasi dapat
menjadi pengawasan kepada kesehatan dan janin. Melakukan
pemeriksaan kehamilan secara rutin (satu bulan sekali), yang
berkaitan dengan kesehatan ibu dan janin dapat diawasi secara baik
oleh bidan atau dokter yang menangani kehamilan. Selanjutnya
pencegahan yang dapat diterapkan dengan cara menghindari
konsumsi alkohol dan merokok.
2.11 Komplikasi Hisprung
Komplikasi pada penyakit hisprung akan tampak setelah dilakukan
tindakan pembedahan, diantaranya:
1) Enterokolitis
Merupakan peradangan usus kronis yang disebabkan oleh
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus.
Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,
diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Insidens
terjadinya komplikasi Enterokolitis sampai 58% pada penderita
penyakit hirschprung pasca tindakan bedah.

2) Sepsis dan syok septik


Sepsis dan syok septik, infeksi pada penyakit hirschprung
berasal dari kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus
mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus
sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoreksia. Jaringan
iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dimana kuman akan menjadi
lebih virulen. Maka akan terjadi infeksi kuman dari lumen usus ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular dan akhirnya ke rongga
peritoneal sehingga terjadilah sepsis. Kondisi tersebut kemudian
dapat menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah dan
disertai dengan kegagalan sirkulasi yang selanjutnya disebut
sebagai syok septik.

25
3) Nekrosis dan perforasi
Menurut Verawati (2014), Iskemia yang terjadi pada dinding
usus dapat berlanjut, dan dalam keadaan iskemia metabolisme
akan terganggu, jaringan tidak mendapatkan sirkulasi darah yang
baik sehingga dapat terjadi nekrosis dan perforasi. Potensi
komplikasi untuk operasi kompleks yang berhubungan dengan
penyakit hirschprung mencakup seluruh spektrum komplikasi
bedah GI. Komplikasi pasca bedah yang paling sering meliputi
enterokolitis setelah prosedur swenson, sembelit setelah perbaikan
duhamel dan diare serta inkontinensia setelah prosedur pull melalui
soave. Secara keseluruhan komplikasi yang paling umum adalah
kebocoran anastomosis dan obstruksi usus (Wagner, 2015).
2.12 Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara
umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan
hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan
saluran cerna sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka
kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi
sekitar 20%.

26
BAB III
Penutupan
3.1 Kesimpulan
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan
masalah, baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Hisprung
disebut juga penyakit congenital aganglionosis atau megacolon yaitu
tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam
colon. Disebabkan oleh aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam
lapisan dinding usus, mulai dari springter ani uterus ke arah proksimal,
70% terbatas di daerah rektoigmois, 10% sampai seluruh kolon dan
sekitrnya 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Tanda dan
gejala yang akan timbul pada penyakit hisprung terdapat trias antara
lain mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam), perut
kembung, dan mutah berwarna hijau. Hal yang dapat dilakukan dalam
penatalaksanaan maupun pemeriksaan diagnostik juga dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan pencegahan, tindakan yang
dilakukan salah satunya dengan kolostomi, pembedahan yang
penatalaksaanya dapat diberikan pengobatan medis serta perawatan
yang intesif serta melakukan informend consent terhadap orang tua
klien.
3.2 Saran
1) Sebagai mahasiswa keperawatan, hendaknya kita memahami
pengertian dari Hisprung dan faktor apasaja yang dapat
menyebabkan penyakit Hisprung untuk menurunkan angka
kematian klien dengan penyakit Hisprung di Indonesia.
2) Sebagai mahasiswa keperawatan, hendaknya kita memahami
penatalaksanaan apasaja yang dapat dilakukan pada klien dengan
Hisprung untuk mencegah adanya komplikasi dan manifestasi yang
lebih buruk pada klien dengan Hisprung.

27
DAFTAR PUSTAKA

- Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC


- Mansjoer , arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta :
Media aesulapius FKUI.
- Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1985. Ilmu Kesehatan
Anak, Buku Kuliah 1, Infomedika, Jakarta.
- Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-
Hall intl.inc.;1997.p.2097-105.
- Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit
Hirschsprung) . Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC

- Betz, Cecily, dkk. 2002. BUku Saku Keperawatan Pediatrik Ed.3.


Jakarta : EGC
- Verawati, Siska. 2014. Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit
Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Kota Medan.
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/view/5079/2772. Diakses
- Wagner, Justin P. 2015. Hirschprung Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#a2. Diakses
- Kowalak, Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
Buku
- Kedokteran EGC
- Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
- Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung
Seto
- Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
- Corcassone M, Guys JM, Lacombe M,et al. Management of
Hirschsprungs disease: Currative surgery before 3 months of age. J
Pediatr Surg 1996;30:1132-4.
- Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson
dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

28
- Reding R, Goyet JV, Goseyye S,et al. Hirschsprungs disease: A 20
year experience. J Pediatr Surg 1997;32:1221-5.
- Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In:
Raffensperger JG,editor. Swensons pediatric surgery. 5th ed.
Connecticut:Appleton& Lange; 1990. p.555-77.
- Swenson O.Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr
2002;109:914-918.
- Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC
- Budi. 2010. Asuhan Keperawatan Penyakit Hisprung. Disitasi dari
http://www.mediakeperawatan.com/?
id=budixtbn.padatanggal26Oktober2010.
- Kartono D. 2010. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta
- Holschneider A. and Ure B. M, 2005. Hirschprungs Disease in
Pediatric Surgery. 4th Ed. Elsevier Saunders Philadelpia, Pensylvania.
Pp 477-495
- Rochadi, 2012. Terapi Pembedahan dan Peran GENA RET pada
Penyakit Hirschsprung, Disertasi, Pascasarjana FK UGM
- Langer J. C. 2005 Hirschprungs Disease in Principles and Practice of
Pediatric Surgery.. Lippincott William & Wilkin, Philadelphia. pp 1347-
1364.

29

Anda mungkin juga menyukai