Oleh :
AHMAD FIRMAN ISMAIL
0911011068
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2011
1. Pengertian
Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti virus DNA yang lain
mempunyai karakteristik melakukan replikasi didalam inti sel dan membentuk intranuclear
inclusion body. Intranuclear inclusion body yang matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus.
Karakteristik dari lesi adalah adanya central intranuclear inclusion body eosinofilik yang ireguler
yang dibatasi oleh fragmen perifer dari kromatin pada tepi membran inti.
2. Etiologi
Penyakit herpes simpleks di sebabkan oleh virus herpes simpleks. Berdasarkan perbedaan
imunologi dan klinis, virus herpes simpleks dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
1. Virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non genital, biasanya pada
daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat menyerang daerah genital. Infeksi virus ini
biasanya terjadi saat anak-anak dan sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7
tahun..
2. Virus herpes simpleks tipe 2 hampir secara eksklusif hanya ditemukan pada traktus genitalis
dan sebagian besar ditularkan lewat kontak seksual.
3. Penyebaran
Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara langsung dan sebagian besar
dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa adanya antibodi , kontak dengan partner seksual
yang menderita lesi herpes aktif, sebagian besar akan mengakibatkan penyakit yang bersifat
klinis. Penyebaran tanpa hubungan sexual dapat terjadi melalui autoinokulasi pada penderita
infeksi virus herpes simpleks atau dengan cara lain yang dibuktikan pada kasus herpes genital
pada anak-anak.
Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum jelas, tetapi diduga tidak jauh
berbeda dengan penularan virus herpes yang lain seperti sitomegalovirus, Epstein-Barr virus dan
lain-lain.
Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan virus pada ibu yang
terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini merupakan penularan pada neonatal yang paling
sering terjadi. Meskipun demikian kejadian herpes neonatal kecil sekali yaitu 1 : 25 000
kelahiran . Beberapa keadaan yang mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah banyak
sedikitnya virus, kulit ketuban masih utuh atau tidak, ada atau tidaknya lesi herpes genital, dan
ada atau tidaknya antibodi virus herpes simpleks. Pada ibu hamil dengan infeksi primer dan
belum terbentuk antibodi maka penularan dapat terjadi sampai 50 % sedangkan pada infeksi
rekuren hanya 2,5 5 %.
4. Gejala klinis
Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
1. Infeksi primer yang biasanya disertai gejala ( simtomatik ) meskipun dapat pula tanpa gejala
( asimtomatik ). Keadaan tanpa gejala kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari
antibodi yang bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa
inkubasi yang khas selama 3 6 hari ( masa inkubasi terpendek yang pernah ditemukan 48 jam )
yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi
nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang multipel dan dapat
menyatu. Adenopati inguinalis yang bisa menjadi sangat parah. Gejala sistemik mirip influenza
yang bersifat sepintas sering ditemukan dan mungkin disebabkan oleh viremia. Vesikel yang
terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat terjadi ulserasi serta
terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat
mengakibatkan disabilitas yang berat. Retensi urin dapat terjadi karena rasa nyeri yang
ditimbulkan ketika buang air kecil atau terkenanya nervus sakralis. Dalam waktu 2 4 minggu,
semua keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya
reaktivasi virus dari ganglion saraf. Kelainan pada serviks sering ditemukan pada infeksi primer
dan dapat memperlihatkan inflamasi serta ulserasi atau tidak menimbulkan gejala klinis.
2. Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, pertikel-partikel virus akan
menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang
berlangsung lama. Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf
secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang
mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis ( pelepasan virus ) dengan atau tanpa lesi
yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus
untuk periode waktu yang lebih singkat (2 5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada
infeksi primer, dan secara khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat
pada infeksi primer, infeksi serviks tidak begitu sering terjadi pada infeksi yang rekuren.
Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin, meskipun jarang, melalui plasenta atau lewat
korioamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus spontan, prematuritas, ataupun kelainan
kongenital dengan gejala mirip infeksi pada sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis,
IUGR. Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus
genitalis bawah setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru
lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :
1. Disseminata ( 70 % ), menyerang berbagai organ penting seperti otak, paru. Hepar, adrenal,
dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50 % yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang
berhasil hidup sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terserang bayi
prematur.
2. Lokalisata ( 15 % ) dengan gejala pada mata, kulit dan otak dengan kematian lebih rendah
dibanding bentuk disseminata, tetapi bila tidak diobati 75 % akan menyebar dan menjadi bentuk
disseminata yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30 % disertai kelainan
neurologis.
5. Diagnosis
Secara klinis bila didapatkan lesi yang khas maka dapat dicurigai infeksi virus herpes
simpleks, tetapi diagnosis yang paling baik adalah ditemukannya virus dalam kultur jaringan.
Sensitivitas pada pemeriksaan kultur hampir 95 % sebelum lesi tersebut membentuk krusta saat
spesimen diperoleh dan ditangani dengan benar. Pada hakekatnya hasil positif palsu tidak
ditemukan. Sayangnya pemeriksaan ini cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam,
dan bahkan pada yang eksaserbasi asimtomatik diperlukan waktu yang lebih lama lagi mengingat
titer virus yang lebih rendah.
Cara yang lebih cepat adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA, dengan
sensitivitas 97,5 % dan spesifisitas 98 % meskipun waktu yang dibutuhkan tetap lebih dari 24
jam. Metode serologi ini banyak dipakai dalam penelitian epoidemiologi dan secara luas mulai
banyak dipakai meskipun manfaat dalam klinis masih diragukan karena sebagian besar populasi
adalah seropositif untuk virus herpes simpleks tipe 1 sedang reaksi silang dengan virus herpes
simpleks tipe 2 sering terjadi. Bila ditemukan serokonversi atau adanya IgM spesifik maka
kemungkinan infeksi primer harus dipikirkan.
6. Penyembuhan
Prinsip utama adalah jangan biarkan virus dan bayi bertemu .Wanita yang terkena infeksi
virus herpes genitalis dianjurkan untuk tidak hamil. Apabila ibu sudah terlanjur hamil hati-hati
dengan ancaman partus prematurus dan viremia pada ibu karena penurunan daya tahan tubuh.
Ibu yang terkena virus herpes genitalis dan bayi yang lahir dengan herpes neonatal dapat diobati
dengan acyclovir atau vidarabine yang aman terhadap kehamilan maupun pada bayinya.
Karena beratnya ancaman infeksi virus herpes pada neonatus, persalinan perabdominam
dianjurkan pada kasus-kasus dengan dugaan lesi herpes pada genitalia atau dengan kultur atau
Pap smear terakhir yang memperlihatkan hasil positif untuk virus herpes. Kultur hanya dilakukan
pada ibu dengan lesi herpetik yang mencurigakan. Bila tidak terdapat lesi, persalinan dapat
dilakukan pervaginam.
Bayi yang lahir dengan ibu atau bapak yang sedang terserang herpes genital atau oral dapat
dirawat gabung dengan ibu, dan dapat diberikan ASI bila tidak ada lesi pada puting dan dihindari
kontak langsung dengan setiap lesi yang ada.
Sejak tahun 1980an mulai digunakan pengobatan antivirus untuk infeksi herpes dengan
acyclovir. Acyclovir terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi virus herpes simpleks dan tidak
terkonsentrasi dalam sel yang tidak terinfeksi. Obat ini bersifat penghambat kompetitif terhadap
polimerase DNA virus dan merusak rantai DNA. Mekanisme ini dapat menghambat
pembentukan DNA virus dan mempunyai keamanan yang tinggi dengan selektivitas terhadap sel
yang terinfeksi.
Acyclovir dapat digunakan dalam beberapa bentuk preparat antara lain krim untuk topikal,
powder untuk intravena, kapsul oral dan suspensi oral. Preparat topikal digunakan dengan
dioleskan pada daerah terinfeksi setiap 3 jam, 6 kali perhari, selama 7 hari. Acyclovir intravena
diberikan pada kasus yang berat dengan dosis 5 mg/ kg setiap 8 jam selama 5 hari.
Kapsul oral acyclovir diindikasikan untuk 3 keadaan yaitu : Pengobatan infeksi primer,
pengobatan infeksi ulang yang berat dan penekanan rekurensi yang sering dan berat. Dosis
pemberian acyclovir oral adalah 200 mg, 5 kali perhari selama 10 hari.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksinasi yang efektif untuk infeksi virus herpes simpleks,
meskipun pada model binatang didapatkan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi dan
untuk mengurangi pembentukan fase laten di ganglion saraf.
ASUHAN KEPERAWATAN HERPES SIMPLEKS
1. Pengkajian
a. Biodata
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dandewasa muda.
jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita.
P e k e r j a a n ; beresiko tinggi pada penjajak seks komersial
b. Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanankesehatan adalah nyeri
pada lesi yang timbul.
c. Riwayat penyakit sekarang
Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.
Pada beberapa kasus,timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang mengalami demam
ataupenyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh atau pada penderita yangmengalami trauma
fisik maupun psikis.
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada aera kulit yang mengalami peradangan
berat dan vesikulasi hebat.
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan masalah herpes simplek
antara lain :
a. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan
b. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakitherpes simpleks.
c. Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung,tidak langsung ,
kontak droplet
3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan
c. Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung,tidak langsung ,
kontak droplet)
Hasil yang diharapkan:
Klien menyebutkan perlunya isolasi sampai ia tidak lagi menularkaninfeksi.
Klien dapat menjelaskan cara penularan penyakit.
Rencana keperawatan:
Jelaskan tentang penyakit herpes simpleks, penyebab, cara penularan, danakibat yang
ditimbulkan.
Anjurkan klien untuk menghentikan kagiatan hubungan seksual selamasakit dan jika perlu
menggunakan kondom.
Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan kegiatan seksual dengansatu orang (satu sama
lain setia) dan pasangan yang tidak terinfeksi(hubungan seks yang sehat)
4. Evaluasi Keperawatan
1. Nyeri berkurang/hilang
2. Mekaisme koping pasien dan keluarga baik
3. Tidak terjadi infeksi
4. Tidak terjadi komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
FKUI, 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta. Media Aesculapius. Hal:151-152
Rassner, 1995. Buku Ajar Dan Atlas Dermatologi. Jakarta. EGC. Hal:42-43
Wikipedia, 2010. Herpes Zoster. Http://id.wikipedia.com.
Harahap, Marwali.2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates: Jakarta.
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI : Jakarta
Smeitzer, Suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Brunner & Suddarth. EGC:
Jakarta