Anda di halaman 1dari 7

APLIKASI DI INDONESIA

Meski sudah banyak kampanye dan sosialisasi mengenai penyakit HIV dan AIDS, masyarakat masih
belum sepenuhnya memahami dan bersikap terbuka pada para penderita. Kondisi ini terlihat dari
adanya stigma negatif yang berujung pada diskriminasi. Dengan kata lain, masyarakat sebenarnya juga
tidak mendapatkan pemahaman dan informasi yang tepat terkait penyakit satu ini.

Alhasil, Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) masih sering menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga membuat banyak dari mereka menolak untuk membuka status terhadap pasangan atau
sengaja mengubah perilaku untuk menghindari reaksi negatif. Reaksi ini tentunya dapat menghambat
usaha untuk mengintervensi penyebaran HIV dan AIDS.

Stigma dan diskriminasi sendiri pun dapat muncul dari adanya respon masyarakat pada HIV dan AIDS
yang berlebihan. Ancaman kepada individu yang terinfeksi atau yang termasuk dalam kelompok tertentu
telah meluas. Mengingat HIV dan AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan
kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, bahkan takut terhadap penyakit ini.

Agar dapat memahami sisi ODHA lebih baik, berikut beberapa fakta terkait diskriminasi dan juga stigma
yang melekat pada mereka.

Kurangnya dukungan bagi ODHA dan keluarga mereka

Seharusnya, ODHA mengalami proses yang mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka.
Namun, masyarakat masih kerap memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan
keluarganya sebagai warga kelas dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

Tempat layanan kesehatan yang diskriminatif

Lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan
tempat pertama di mana orang mengalami stigma dan diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu
perawatan medis yang kurang baik, menolak memberikan pengobatan. Masih saja ada rasa takut
tertular yang melatarbelakangi sikap-sikap tersebut.

Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi mereka adalah: isolasi, pemberian label nama atau
metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran kerahasiaan,
perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja
kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas-fasilitas rumah sakit.

Akses untuk perawatan

ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan banyak yang juga tidak
mempunyai akses untuk pengobatan ARV, mengingat tingginya harga obat-obatan tersebut. Bahkan
ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya
karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin
terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.

Diskriminasi HAM

Penghilangan kesempatan ODHA untuk bekerja, dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang
berbeda pada ODHA oleh petugas kesehatan.

Peradilan moral yang tidak sesuai

Sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan menganggap sebagai orang yang tidak bermoral
serta keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi. Termasuk juga
penghilangan kesempatan ODHA untuk bekerja dan membuka status HIV dan AIDS seseorang pada
orang lain tanpa seizin penderita.
Start small. Mulailah dari hal-hal kecil untuk membantu menurunkan diskriminasi dan stigma pada
ODHA, antara lain:

 Jadilah contoh yang baik. Terapkan apa yang sudah kita ketahui, pikirkanlah kata-kata yang kita
gunakan dan bagaimana memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk mengubah pikiran dan
tindakanmu.
 Berbagilah pada orang lain mengenai hal-hal yang sudah kita ketahui dan ajaklah mereka untuk
membicarakan tentang stigma dan bagaimana mengubahnya. Berikan pengertian bahwa stigma
itu melukai orang lain.
 Mengatakan stigma sebagai sesuatu yang “salah” dan “buruk” tidaklah cukup. Bantulah orang
yang bertindak melakukan perubahan. Setuju pada tindakan yang harus dilakukan,
mengembangkan rencana dan lakukan.

Perubahan akan sesuatu yang besar dapat dimulai dari kamu.

SUMBER:

https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/sayaberani/153416-menghapus-stigma-hiv-dan-aids
APLIKASI 2

Stigma dan diskriminasi telah menjadi hukuman sosial oleh masyarakat di berbagai belahan dunia
terhadap pengidap HIV/AIDS yang bisa bermacam-macam bentuknya, antara lain berupa tindakan-
tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang terinfeksi HIV.
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan tes HIV, enggan
mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh perawatan yang semestinya serta
cenderung menyembunyikan status penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat
penyakit yang tadinya dapat dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya
dan membuat penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung.

Stigma dan diskrimansi terhadap ODHA merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk
menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada
unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum harus
menjadi prioritas upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh sebab itu perlu dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dan
mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi stigma dan diskriminasi (Komisi
Penanggulangan AIDS, 2007).

Epidemi HIV/AIDS

HIV/ AIDS telah menjadi pandemi dan masalah kesehatan di seluruh dunia. Data surveilans WHO (2013)
menunjukkan jumlah orang dengan HIV/AIDS per wilayah negara tahun 2011 untuk semua golongan
umur sebagai berikut: Afrika menempati urutan pertama dengan jumlah 23 juta kasus, Asia Tenggara 3.5
juta kasus, Amerika 3 juta kasus, Eropa 2.3 juta kasus, Pasifik Barat 1.3 juta kasus, dan terakhir
Mediterania Timur 560 ribu kasus. Total jumlah kasus secara global adalah 34 juta kasus.

Secara kumulatif sejak 1 April 1987 hingga Desember 2012 kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan
laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) terdapat 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan total kematian
7.293 kasus. Dari jumlah kumulatif ini Sulawesi Selatan menempati urutan ke-8 dengan total 2.972 kasus
HIV, dan 1.446 AIDS dengan 167 kematian. Provinsi ini juga melaporkan peningkatan jumlah kasus
terbanyak pertama dari seluruh propinsi di Indonesia yaitu 404 kasus dan menempati urutan ke-12
tertinggi prevalensi kasus AIDS diantara 33 propinsi di Indonesia yaitu 18/100.000 penduduk.
Data Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan jumlah kumulatif HIV/AIDS tahun 2005 sampai dengan
Juni 2012 masing-masing sebagai berikut: tahun 2005 HIV 408, AIDS 176, tahun 2006 HIV 511 sedangkan
AIDS 137, tahun 2007 HIV 393, AIDS 219, tahun 2008 meningkat HIV 456, AIDS 90, tahun 2009 HIV 562
sedangkan AIDS 153, tahun 2010 HIV 548 sedangkan AIDS 246, tahun 2011 baik HIV & AIDS meningkat
tajam HIV 607 kasus sedangkan AIDS 650, tahun 2012 HIV 629, AIDS 354, tahun 2013 sampai dengan
bulan September HIV 647 dan AIDS 361 kasus.

Stigma dan Diskriminasi

Stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, namun juga dilakukan oleh
petugas kesehatan baik dokter dan perawat serta mahasiswa yang perpendidikan tinggi juga ikut
melakukan diskriminasi dan stigmatisasi. Di sisi lain para petugas kesehatan baik dokter atau perawat
yang dalam keseharianya sering menangangani pengidap penyakit ini juga biasanya mendapatkan
perlakuan diskriminasi dan stigma oleh masyarakat, seperti contohnya jika sakit mereka menghindari
untuk terlihat berobat atau menolak untuk ditangani oleh dokter dan petugas kesehatan yang biasa
menangani pengidap HIV/AIDS.

Herek et al (2002) menemukan bahwa ekspresi nyata dari stigmatisasi HIV/ AIDS di Amerika pada tahun
1999, 1 dari 5 orang dewasa yang disurvei mengatakan mereka "takut" pada orang dengan AIDS. Satu
dari 6 orang mengaku "jijik" berhubungan dengan orang-orang dengan AIDS. Penelitian lain yang
dilakukan pada tahun 2000, sebuah survei internet nasional terhadap lebih dari 5600 orang dewasa
Amerika, mengungkapkan temuan serupa. Kurang lebih 1 dari 5 orang responden setuju dengan
pernyataan bahwa orang-orang yang terkena AIDS melalui hubungan seks atau penggunaan narkoba
layak mendapatkan apa yang mereka derita sekarang.

Survei awal yang dilakukan melibatkan 10 orang mahasiswa FKM UMI dengan cara wawancara
didapatkan bahwa masih terdapat 4 orang diantara 10 orang yang diwawancarai mengaku ‘takut’
bergaul dengan Odha dengan alasan khawatir jika bergaul dengan mereka akan tertular. Saat
ditanyakan, bagaimana sikap mereka jika ada teman mereka yang menderita HIV, keempat orang
tersebut memilih untuk menjauhinya. Padahal para mahasiswa tersebut umumnya sudah mendapatkan
matakuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang juga membahas tentang cara penularan virus HIV,
namun mereka masih saja melakukan stigmatisasi terhadap Odha.

Upaya Mengurangi Stigma


Stigma yang terkait dengan penyakitnya merupakan tantangan psikologis tersendiri untuk Odha. Saat
mereka diketahui mengidap HIV, perlahan tapi pasti satu persatu teman-temannya menjauhi, bahkan
tak jarang keluarganya pun menjauhi. Padahal, disaat seperti ini Odha sangat membutuhkan dukungan
penuh dari lingkungan sosialnya, karena mereka mengalami tekanan psikologis yang cukup berat akibat
dinyatakan terinfeksi HIV.

Nasronuddin 2007, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar ACTH dan kadar kortisol dalam
tujuh hari pertama yang dipicu oleh stressor psikologis akibat dinyatakan terinfeksi HIV, selain akibat
stressor psikologis peningkatan setelah hari ke tujuh terjadi akibat stressor biologis HIV, dari sini dapat
dilihat bahwa efek dari pernyataan diagnosis mengidap HIV terhadap seseorang sangat signifikan
meningkatkan tingkat stress, belum lagi menghadapi reaksi keluarga dan teman-teman yang perlahan
tapi pasti beranjak menjauh.

Dengan berusaha mencoba memahami pengalaman hidup yang dialami pengidap HIV akan
menyebabkan hasil psikologis yang positif untuk membantu meningkatkan kualitas hidup orang dengan
HIV/ AIDS (Treisman & Angelino, 2004). Memberikan pengertian dan pengetahuan yang memadai
kepada masyarakat terutama kepada mahasiswa sebagai intelektual muda menjadi suatu hal yang
sangat penting, mahasiswa yang notabene kisaran usianya kurang lebih sama dengan rata-rata usia
odha tentunya akan lebih mudah mengerti dan tersentuh jika belajar dan bergaul langsung dari odha
tentang pengalaman pahitnya menghadapi stigmatisasi, dilain pihak odha akan lebih merasa nyaman
mengungkapkan statusnya kepada mereka yang usianya kurang lebih sama dengan mereka.

Stigma dan diskriminasi biasanya terjadi akibat ketakutan yang berlebihan akan tertular penyakit ini.
Masalah lain yaitu penyakit ini dianggap sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya, serta
anggapan bahwa penyakit tersebut hanya ditularkan akibat dari perilaku menyimpang sehingga
dianggap merupakan aib bagi pengidap dan keluarganya. Padahal, jika benar-benar dipahami dan
dimengerti cara penularanya, sebenarnya penyakit ini dapat dicegah tanpa harus menjauhi apalagi
sampai melakukan stigma dan diskriminasi terhadap para pengidapnya. Dibutuhkan berbagai penelitian
aplikatif, konsisten agar terwujud peran serta berbagai pihak dalam upaya menurunkan stigma dan
diskriminasi yang dialami Odha, sehingga mereka mau lebih terbuka mengenai penyakitnya yang makin
memudahkan upaya pencegahan penularan terselubung dan memudahkan odha mengakses pelayanan
kesehatan yang adekuat tanpa rasa takut akan menghadapi stigma dan diskriminasi.
SUMBER:

Gobel, Fatmah A. 2014. http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/artikel/artikel-kontribusi/1005-


stigma-dan-diskriminasi-terhadap-odha-tugas-dan-tanggungjawab-siapa . Diakses pada 12 Oktober 2017
Pk 22.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai