Anda di halaman 1dari 40

LaboratoriumRadiologi

Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

HIRSCHSPRUNG DISEASE

Oleh

Suhana Binti Bahtiar


1210015041

Pembimbing

dr. Dompak, Sp. Rad

LAB / SMF RADIOLOGI


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah kelompok penulis dapat menyelesaikan referat mengenai
Hirschsprung ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan ini merupakan hasil
dari belajar mandiri selama berada di stase radiologi di Laboratorium Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Dalam pembuatan laporan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1

dr.Emil Bachtiar Moerad, Sp.P selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Mulawarman.
dr. Suhartono, Sp. THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum.

dr. Dompak, Sp.Rad selaku dosen pembimbing klinik di stase radiologi yang
telah membimbing dan memberi banyak masukan selama penyusunan referat

ini.
Teman-teman yang telah mendukung dan membantu terselesaikannya referat
ini.
Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak maka penulis

menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu,
penulis berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun
kepada penulis. Sebagai penutup penulis hanya bisa berdoa semoga laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Samarinda, Juli 2016

Suhana Binti Bahtiar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Hirschsprung Disease (HD) atau yang disebut juga dengan aganglionik

megakolon kongenital adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak


adanya sel-sel saraf yang disebut sel-sel parasimpatetik ganglion intramural pada
lapisan otot (pleksus myenteric) dan lapisan submucosa (pleksus Auerbach dan
Meissner) yang umumnya terjadi pada bagian distal colon yaitu rectum dan
sebagian colon sigmoid bahkan dapat juga terjadi pada seluruh usus (Total
Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan
hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat
terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal,
tidak ada nafsu makan, muntah, dan enterokolitis.1,3,4
Secara umum ada 2 tipe HD berdasar letak segmen aganglionik pada rectum
dan colon yaitu tipe I dimana segmen aganglionik terjadi pada daerah distal
sigmoid dan rektum disebut short segmen. Tipe II segmen aganglionik dapat
sampai colon dan terminal ileum yang disebut long segmen. Daerah perbatasan
antara segmen ganglion dan aganglion disebut zona transitional. Zona transitional
ini biasanya terdapat pada regio rectosigmoid atau colon sigmoid (65%), colon
descendens (14%), rectum (8%), colon yang lain (10%) dan dapat terjadi pada
usus halus (3%). Sedang menurut tipenya, HD klasik (umum) terdapat pada 75%
kasus, long segmen disease pada 15%, ultra short segmen (5%) dan variable
length pada 5% kasus.3
Hirschsprung Disease terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi

dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat sekitar 20-40 pasien penyakit


Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.1,3,4
Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah Sakit Sheikh Zayed,
Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi pada anak
laki-laki 70,59% daripada anak perempuan 29,41%. Penelitian tersebut juga
menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih banyak ditemukan pada umur
< 2 tahun 58,83% dibandingkan dengan umur > 2 tahun 41,17%.3,5
Berdasarkan penelitian Hidayat (2009) dalam kurun waktu 3 tahun (20052008) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo terhadap 28 kasus penyakit
Hirschsprung menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% dan
pada perempuan adalah 57,15%.6
Menurut penelitian Kartono (2010) yang menangani penyakit Hirschsprung
di RS Cipto Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih
banyak ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71%
sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85%. Kartono juga mencatat
penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%) berjenis kelamin
lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%) Mortalitas dari
kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam
diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan dan diagnosis dan
penatalaksanaan HD dengan enterokolitis yang baik dan tepat.3,7

1.2

Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan mengenai penyakit hirschsprung pada umumnya dan gambaran


radiologinya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hirschsprung Disease (HD) atau yang disebut juga dengan aganglionik
megakolon kongenital adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak
tidak adanya sel-sel saraf yang disebut sel-sel parasimpatetik ganglion intramural
pada lapisan otot (pleksus myenteric) dan lapisan submucosa (pleksus Auerbach
dan Meissner) yang umumnya terjadi pada bagian distal colon yaitu rectum dan
sebagian colon sigmoid bahkan dapat juga terjadi pada seluruh usus (Total
Colonic Aganglionois (TCA).1,8
2.2 Epidemiologi
Penyakit hirschsprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran dan merupakan
penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada neonatus.1 Penyakit
ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 4:1. Risiko tertinggi terjadinya penyakit hirschprung biasanya pada
pasien yang mempunyai riwayat keluarga penyakit hirschprung dan pada pasien
penderita Down Syndrome.9,10 Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75-90%
kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 10-17% kasus. Anak kembar
dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit
hirschsprung, laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5%-17,6% dengan
130 kali lebih tinggi pada anak laki dibandingkan anak perempuan. Penyakit
hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis
dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami
aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan
menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang
kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.2,3

2.3Determinan Penyakit Hirschsprung


2.3.1 Faktor Bayi
a. Umur bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling
rentan terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung
merupakan salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi
berumur 0-28 hari).11
b. Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian
dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan
kromosom yang paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit
Hirshsprung adalah Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit
Hirschsprung merupakan penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah
kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom 21. Hal ini
terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung bawaan, dan
keterlambatan perkembangan anak.12,13

2.3.2 Faktor Ibu


a. Umur
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi
dengan Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause.14
b. Ras/Etnis

Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan


kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo
(impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan
darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik
yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan
kelainan kongenital. 14

2.4Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.3
a. Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis
untuk Hirschsprungs disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa
hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest
vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.
Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal
untuk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena
elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor
yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari
sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vaskular, atau
mekanisme lainnya.3
b. Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2,


telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprungs disease segmen
panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada
tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi
ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprungs disease adalah
endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22.
Sinyal dari gen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel
neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering
ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene
baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi
genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting
untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada protooncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 5070% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada
hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.3
c. Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi
sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan
Hirschsprungs disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik
normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada
perkembangan penyakit ini.3
d. Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus
aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat
10

mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam
etiologi dari Hirschsprungs disease.3

2.5 Embriologi Kolon


Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi
dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima.
Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua
belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya
sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam
migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.7
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang
membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah
menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai
dari membran dasar dan berakhir di lapisan muskular.7
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga
buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri
sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan
biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.15
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan
embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang
lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian
besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.15

11

2.6 Anatomi dan Fisiologi


Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (1,5 m) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani, diameter usus besar
sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi
menjadi sekum, kolon dan rectum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati sekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan
sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatica dan fleksura
lienalis.3,16

Klasifikasi Meningitis

Gambar 1. Letak anatomis usus besar di rongga abdomen

12

Gambar 2. Letak anatomis usus besar di rongga abdomen


Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema. Pada posisi ini, gaya berat membantu mengalirkan air dari rectum ke
fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir dinamakan rectum dan
terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu
inci terakhir dari rectum dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfinter ani
eksternus dan internus. Panjang rectum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm).3
Usus besar memiliki empat lapis morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khs pada usus besar saja.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan
demikian rectum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
tenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut
membenutuk kantong-kantong kecil yang dinamakan haustra. Pendises eipploika
adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan

13

mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
daripada usus halus.3

Gambar 3 (a) Struktur makroskopis usus besar (b) perdarahan usus besar
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon
transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon transversum, kolon desendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rectum). Suplai darah tambahan untuk rectum
adalah melalui arteri sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media
yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.3
Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan inferior,
sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam
vena-vena ini dan mengakibatkan hemoroid.3

14

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan


perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk
mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Sistem syaraf autonomik
intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : (1) Pleksus Auerbach : terletak diantara
lapisan otot sirkuler dan longitudinal, (2) Pleksus Henle : terletak disepanjang
batas dalam otot sirkuler, (3) Pleksus Meissner: terletak di sub-mukosa. Pada
penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut.3

Gambar 4. Persarafan Sistem Pencernaan

15

Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal;
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling: atas,
medial dan depan.3

Gambar 5. Strutur Anatomis Rektum


Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter
ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya

16

kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus


pelvik (saraf parasimpatis).3

2.7 Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan adanya kerusakan primer
akibat tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus
submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
peristaltik, yang menyebabkan penumpukan isi usus dan distensi usus yang.
Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi
terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat
padat (feses), cairan, dan gas.8

Gambaran 6. Gambaran segmen aganglion pada Penyakit Hirschprung


Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang
aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus
fungsional, di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.2
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, imaturitas dari sel ganglion atau
kerusakan sel ganglion pada usus besar. 2
a. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan

17

sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus
myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon. 2
b. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH).
Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel
ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh
selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.2
c. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat diakibatkan
gangguan vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran
darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull
through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.2

Tipe Hirschsprungs Disease:


Secara umum ada 2 tipe HD berdasar letak segmen aganglionik pada rectum
dan colon yaitu tipe I dimana segmen aganglionik terjadi pada daerah distal
sigmoid dan rektum disebut short segmen. Tipe II segmen aganglionik dapat
sampai colon dan terminal ileum yang disebut long segmen. Daerah perbatasan
antara segmen ganglion dan aganglion disebut zona transitional. Zona transitional
ini biasanya terdapat pada regio rectosigmoid atau colon sigmoid (65%), colon
descendens (14%), rectum (8%), colon yang lain (10%) dan dapat terjadi pada
usus halus (3%). Sedang menurut tipenya, HD klasik (umum) terdapat pada 75%
kasus, long segmen disease pada 15%, ultra short segmen (5%) dan variable
length pada 5% kasus.2
18

Gambar 7. Tipe Hirschsprung Disease berdasarkan seberapa banyak colon


yang terkena
A. Tipe short segmen rectosigmoid, B. Tipe Long segmen colonic (warna
hitam mengindikasikan segmen aganglionik dan stenosis. A A : subdivisi
anal canal normal (1). Lower rectum, (2). Upper rectum, (3). Rectosigmoid
junction (4) bagian di proksimal no.3; B D: segmen aganglionik pada
rectum dan colon dan B E: aganglionik dari anus sampai duodenum
termasuk seluruh colon, ileum dan jejunum. B,F: aganglionik dimulai dari
flexura lienalis sampai ileum terminal. A, C : gambaran klasik, yaitu zona
aganglionik pada rectum dan rectosigmoid junction.

2.5

Gambar 8. Tipe Zona Aganglionik


Tipe 1: zona aganglionik pada rectosigmoid dan segmen yang menyempit
adalah pada bagian proksimalnya; Tipe 2: Zona aganglionik adalah bagian
yang seluruhnya mengalami penyempitan; Tipe 3: segmen stenosis anular
pada batas antara segmen yang berganglion dan yang aganglionik; Tipe 4:
Slight anular stenosis pada batas segmen yang berganglion dan aganglionik
tanpa perubahan kaliber colon; Tipe V: Double aganglionic contracted
segments dengan segmen yang berganglion tampak dilatasi.
Gambaran Klinis
Terdapat trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran

mekonium yang terlambat, muntah hijau (bilious emesis) dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan

19

tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang ketika mekonium dapat dikeluarkan segera.17
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan dengan gejala yang timbul distensi abdomen dan bilious emesis. Pada
beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya
enterokolitis. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna hijau
disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan
gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans
neonatal, atau peritonitis intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang dapat
menyerang pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai demam.8
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit
hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi,
distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.8
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu
atau bulan pertama kehidupan.2
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan
sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
20

dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya
kosong.2

Gambar 9. Gambaran klinis pasien dengan Hirschsprung Disease


Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara
penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana
beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan.2
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus.
Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun
telah dilakukan colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon
yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu,
diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan
nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan

21

perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis
necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit
hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan
perforasi.2

2.6. Penegakkan Diagnosis


Penegakkan diagnosis penyakit hirschsprung berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya
konstipasi pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah
terlambat keluarnya mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Gejala lain yang
biasanya ditemukan adalag distensi abdomen, gangguan passase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih
tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan.3
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan
kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema
dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit
ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran
spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal
intestinal.17

Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.
Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak sudah
kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses,

22

kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan
terjadi pembusukan.7

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti HD adalah pemeriksaan histopathologi, pemeriksaan
imunohistokimia, yaitu ditemukannya bagian atau segmen yang aganglionik pada
biopsi rectal dengan irisan 3,4 dan 5 cm.2,3
Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan untuk penegakkan diagnosis
HD adalah pencitraan radiologi. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya
pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk
mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos
abdomen dengan posisi anteroposterior-supine, lateral-errect dan left lateral
decubitus (LLD) tampak dilatasi lumen colon dan tampak udara usus pada regio
pelvic dengan tanda-tanda obstruksi letak rendah. Untuk menegakkan diagnosis
lebih lanjut dilakukan pemeriksaan barium enema.2,

Gambar 10. Foto Polos Abdomen Pasien Hirschsprung

23

Gambar 11. Foto polos abdomen penderita Hirschsprung disease posisi APsupine: gambar a tampak dilatasi pada sistem usus dan gambaran feses (mottled
appearance di proksimal) dan tak tampak gambaran udara/feses di bagian distal
(di rongga pelvis-rektum dan sigmoid). gb.c. posisi setengah duduk: gambaran air
fluid level (kadang-kadang ada) gb.d. Posisi Left Lateral Decubitus (LLD): air
fluid level (+), multiple

Barium enema
Pada barium enema, dapat dijumpai beberapa tanda atau gambaran yang khas
pada kasus HD yaitu2,3:
24

1. Zona transisi yang digambarakan sebagai perubahan yang signifikan pada


diameter usus dari yang tidak berdilatasi ke daerah yang berdilatasi sewaktu di
masukkan kontras enema.
2. Rectosigmoid Index (RSI), ratio dari diameter terbesar rectum dan diameter
terbesar sigmoid (dipertimbangan tidak normal bila ratio <1).
3. Kontraksi irregular pada bagian yang aganglionik dengan gambaran teeth
appearance
4. Gambaran cobblestone appearance atau mukosa yang irregular atau spasme
kolon proksimal.
5. Adanya filling defect oleh karena bahan fekalit.
6. Tidak adanya pengeluaran mekonium dalam waktu 48 jam pertama kelahiran.
Pemeriksaan barium enema adalah pemeriksaan radiologi pilihan pada kasus
HD dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi, yaitu sensitifitas (neonatus
59,5%, anak yang lebih tua 68,5%) dan spesifisitas (neonatus 82,75%, anak
yang lebih tua 85%); akurasi (neonatus 90% anak yang lebih tua 94,2%).
Berdasarkan tanda atau gambaran yang telah disebutkan di atas dapat menentukan
diagnosis hirschsprung berdasarkan skoring yang telah ditentukan. Apabila
didapatkan adanya gambaran zona transisi dan RSI maka masing-masing
diberikan skor 2 sedangkan untuk tanda dan gambaran lainnya masing-masing
diberikan skor 1. Sistem skoring ini bermanfaat khususnya menginformasikan
kemungkinan diagnostik HD. 2,3

Tabel Interpretasi Hasil Skoring


Nilai
6-8
4-5
1-3

% Kemungkinan
100
66
40

Penilaian
Tinggi
Sedang
Rendah

25

b
b

Gambar 12. a Barium Enema pada anak laki-laki umur 1 bulan dengan gambaran
kontraksi irregular; Gambar b. Gambar HD dengan kolon yang berdilatasi dan
zona transisi.1,3

26
a

Gambar
13. a.
Gambar
HD dengan kolon
yang

berdilatasi dan zona transisi. Gambar b. Barium enema pada neonatus dengan
Zona Transisi dan Cobblestone appearance. 1,3

27

Gambar 14. Gambaran beberapa HD pada pemeriksaan Barium enema: Zone


transisi dan spsme (no.2), kontraksi irreguler, mucosa irreguler & bergerigi dan
cobblestone mucosa (no.4), Index Rectosigmoid (no 3) dan evakuasi lambat.

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,
sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon
mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling
mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus
obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit
hirschsprung harus dipikirkan pada semua neonates dengan berbagai bentuk
perforasi spontan dari usus besar/kecil atau semua anak kecil dengan appendicitis
selama 1 tahun.18

28

Anorectal manometry
Dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung, gejala yang
ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum
dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan
dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode
ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus.8

Biopsi rektal
Merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirschprung.8,17
Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal
karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan
sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample
yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini
biasanya harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada
mukosa rectal lebih tebal.8

Gambar 15. Sampel biopsi pada Morbus Hirschprung

29

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan
obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi3:
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
o Simple
o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia

2.9 Tatalaksana
2.9.1 Preoperatif
1. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi
buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan
yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar
memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian
bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat
diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama
dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal.3
2. Teapi Farmakologi
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan
untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk
mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon
melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal

30

dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena


diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.3

2.9.2 Operatif
Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.
1. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling
distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus
dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang
berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka
kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomosis.3

Gambar 15. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease


2. Tindakan Bedah Definitif
a. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai
tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya,
operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan
preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal
dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah
aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering
dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson

31

memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan


spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.3

Gambar 16. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease


Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah
hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding
rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati
saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik,
selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya
telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui
saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari
anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior,
selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah
anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvic atau
abdomen. Selanjutnya, dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup (Kartono, 1993; Swenson dkk, 1990).3

32

b. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar
prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke
arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud
dkk,1997). Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan
fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel diantaranya:
a) Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2
buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk
mencegah inkontinensia;
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
c) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
d) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik
transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah
dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah
klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem
disini lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasis.3

33

Gambar 17. Teknik pembedahan dengan prosedur Duhame


c. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.
Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah
definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave
ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian
menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut.3
d. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.3
3. Post Operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal
pull-through), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada
bentuk short segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan
kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan
operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun
Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull
Though satu tahap tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk
memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis. Pemberian
makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan
pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke
empat pada pasien yang sering muntah pada pemberian makanan.
Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan
perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.3

34

2.10 Komplikasi
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post
operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan
secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga
prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum
digunakan sebagai segmen yang di pull-through. Setelah operasi pasien-pasien
dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang ada
gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada
pascaoperasi.4,8
2.11 Prognosis
Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui
proses perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitive. Beberapa peneliti
melaporkan tingkat kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian
yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Belum ada penelitian
prospektif yang membandingkan antara masing-masing jenis operasi yang
dilakukan. Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung
membutuhkan kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya,
dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan. Kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.3

35

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penelusuran literatur tersebut dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen
(90%) terletak pada rectosigmoid.
2. Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal.
3. Dasar patofisiologi karena tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar.
4. Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena
meliputi: Ultra short segment, Short segment, Long segment, Very longs
segment.
5. Gejala kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama
kehidupan, distensi abdomen dan muntah.
6. Pemeriksaan penunjang diantaranya Barium enema, Anorectal manometry dan
Biopsy rectal sebagai gold standard.
7. Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara dan bedah
definitive (Prosedur Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein)
8. Komplikasi utama adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur
anastomosis.
9. Prognosis baik. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan.

36

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Alehossein M, Roohi A, Pourgholami M, Mollaeian M, Salamati P. (2015).


Diagnostic Accuracy of Radiologic Scoring Sysem for Evaluation of Suspicious
Hirschsprung Disease in Children. Iran J Radiol, 2015 April;12(2):e12451.
Diakses pada tanggal 28 Juni 2016.

2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:


Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468.3.
3. Wibowo NR. (2011). Hirschsprung Disease. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak. Diakses pada tanggal 7 Juli
2016
4. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartzs PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New
York. Page 1496-1498.
5. Iqbal, M. Z. dkk., 2010. Hirschsprung Disease. Professional Med J Jun
2010;17(2) : 223-231. http://www.theprofesional.com/article/APR-JUN2010/1585.pdf.
6. Hidayat M. dkk., 2009. Anorectal Function Of Hirsphrungs Patients After
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2
April-June 2009
7. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.
Jakarta
8. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia.
Page 2113-2114.
38

9.Sani R., 2010. Hirschsprung Disease (Megacolon Congenital).


http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/hirschprung-diseasemegacolon.html.
10.Matei, P., 2008. Hirschsprungs Disease. Dalam : Pediatric
Gastroenterology.Edisi Pertama. Mosby Elsevier. Philadelphia
11.Greene, E. 2010. Hirschsprung Disease : A Personal Perspective.
www.springer.com/cda/content/.../cda.../9783540339342-c1.pdf.
12.Childrens Health. 2008. Hirschsprungs Disease. http://www. health of
children. com/G-H/Hirschsprung-s-Disease.html
13. Badash, M. 2011. Hirschsprungs Disease (Congenital Megacolon; Colonic
Aganglionosis). http://healthlibrary.epnet.com
14. Tarigan, J.B. 2009. Konformitas Perkawinan Semarga (Sumbang) pada Batak
Karo. Skripsi FISIP USU. Medan.
15. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2010. What I Need to
Know About Hirschsprung Disease. http:// digestive. niddk. nih.gov/
ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/.
16. Lindseth, G. N., 2006. Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi. Edisi
Keenam. EGC. Jakarta
17. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640
18. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.

39

40

Anda mungkin juga menyukai