Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS

KEJANG DEMAM

Disusun Untuk Memenuhi


Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Panembahan
Senopati Bantul

Diajukan Kepada:
dr. Yosephine Maria Christina, M.Sc, Sp.A

Disusun oleh:
Sarah Disa Khoirunnisa
20194010094
KSM ILMU KESEHATAN ANAK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2020

HALAMAN PENGESAHAN

KEJANG DEMAM
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Panembahan Senopati
Bantul

Disusun oleh:

Sarah Disa Khoirunnisa

20194010094

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal 6 April 2020

Menyetujui dan mengesahkan,


Dokter Pembimbing

dr. Yosephine Maria Christina, M.Sc, Sp. A

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukuri penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah

meberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

presentasi kasus “Kejang Demam“ dan tak lupa pula kita panjatkan shalawat dan

salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menghantarkan kita dari zaman

kegelapan menuju ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Allah SWT, telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga sehingga
mampu menyelesaikan Presentasi Kasus ini dengan baik.

2. dr. Yosephine Maria Christina, M. Sc, Sp.A selaku dokter pembimbing dalam
menyelesaikan presentasi kasus ini.

3. Teman-teman ko-asistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati


Bantul

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.


Bantul, Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak


berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di
atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan
oleh proses intracranial.
Menurut The International League Against yang dikutip oleh Veisani,
et al. 2014, kejadian kejang demam pada bayi atau anak – anak pasti disertai
suhu lebih dari 38°C tanpa disertai adanya infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP),
ataupun riwayat kejang sebelumnya yang tanpa disertai dengan demam.
Kejang demam mempengaruhi 2- 5% anak–anak di dunia. Anak–anak jarang
mendapatkan kejang demam pertamanya sebelum umur 6 bulan atau setelah 5
tahun (Waruiru, 2014 ; Fadila, 2014).
Prevalensi kejang demam di dunia di dapatkan sebanyak 20% yang
masuk dalam departement gawat darurat anak. U.S National Collaborative
Perinatal Project (NCPP) melaporkan 54.000 anak dengan prevelensi kejang
demam sebanyak 3,5% dan pada anak di Amerika Afrika sebanyak 4,2%. Studi
di Eropa Barat melaporkan prevelensi anak dengan kejang demam terjadi lebih
sering di Jepang sebanyak 9-10% dan di India. sebanyak 5-10%. Prevelensi
tertinggi terjadi di Guam sebanyak 14% dan diantaranya mengalami satu
periode. Hasil presentase didapatkan kejadian kejang demam pada anak
sebanyak 3-4 % dan sekitar 6- 15 % kejang demam terjadi setelah usia 4 tahun
(Maria, 2009).
Prevelensi kejang demam di Indonesia tahun 2009-2010 mencapai
16%. Hasil survey yang didapatkan di Indonesia pada bulan April 2009
terdapat 15 kasus kejang demam dan sebanyak 80% disebabkan karena adanya
infeksi saluran pernapasan (Subianto, 2009). Wibisono (2015), melaporkan
angka kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun 2012-2013 di dapatkan
sebanyak 3-4% dari anak yang berusia 6 bulan sampai 2 tahun.
Kejang demam sangat berhubungan dengan usia, selain itu faktor
genetik adalah salah satu faktor terbesar terjadinya kejang demam pada anak.
Sebanyak 25% sampai 40% didapatkan bahwa penyebab dari kejang demam
dikarena riwayat keluarga dan sebanyak 27% didapatkan dari saudara kandung
serta 10% didapatkan dari orang tua. (Hasanpour et al, 2009). Penyebab dari
kejang demam ini sebenarnya belum diketahui. Nelson dan Ellenberg (1978,
dalam Nindela, 3 2014) mengatakan pencetus kejang demam terbanyak adalah
infeksi saluran pernafasan atas sebanyak 38%, diikuti dengan otitis media
sebanyak 23%, pnemonia sebanyak 15% dan didapatkan sebanyak 7%
penyakit gastroenteritis.
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu (henti nafas)
yang dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia (berkurangnya kadar oksigen
jaringan) sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Apabila anak sering kejang,
akan semakin banyak sel otak yang rusak dan mempunyai risiko menyebabkan
keterlambatan perkembangan, retardasi mental, kelumpuhan dan juga 2-10%
dapat berkembang menjadi epilepsi (Mohammadi, 2010).
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama lengkap : An NG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 20 Oktober 2017
Usia : 2 tahun 4 bulan

Nama Ayah : Tn. S


Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Buruh
Usia : 43 tahun

Nama Ibu : Ny. S


Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Usia : 43 tahun
Alamat : Sumber RT 02 Balakan Sumberagung Jetis, Bantul

B. Anamnesis

Alloanamnesis dengan Ibu penderita, 22 Februari 2020 WIB

a. Keluhan Utama:

Kejang seluruh tubuh > 5 menit (< 15 menit) sebanyak 1x disertai anak tidak

sadar pasca kejang HMRS

Keluhan Tambahan:

Demam (+), Batuk (+), Pilek (+), Dahak (-), Mual/muntah (-), BAB cair/diare (-)
b. Riwayat penyakit sekarang:

1 HSMRS : Pasien mengeluh batuk ngikil (+) dengan pilek, dahak (-).

Sesak napas terkadang jika batuk. Tidak didapatkan keluhan

mual/muntah, BAB cair, maupun diare. Makan/minum (+).

HMRS : Demam (+) sejak Sabtu pagi pukul 11.00 dengan suhu

mencapai 40 derajat diikuti kejang pukul 13.00. Kejang (+)

terjadi di rumah dengan frekuensi kejadian 1x dan durasi

waktu kurang lebih 5 menit (< 15 menit). Merupakan kejang

seluruh tubuh, diikuti dengan anak tidak sadar pasca

kejadian. Tidak didapatkan keluhan mual/muntah, BAB cair,

maupun diare. Makan/minum (+).

c. Riwayat penyakit dahulu:

Pernah dirawat di RS dengan riwayat:

• DCA dan Anemia Defisiensi Besi, tahun 2017

• RFA dan Kejang Demam Sederhana (+) 1x, Maret 2019

• Bronkopneumonia, Desember 2019

• RFA dan Otitis Media Akut, Februari 2020

• Speech Delay

Kesan : Terdapat riwayat penyakit dahulu yang menjadi faktor resiko penyakit

sekarang. Kejadian kejang demam yang pertama terjadi ketika pasien berusia 1

tahun 4 bulan. Suhu tubuh mencapai 400C saat terjadinya kejang, dengan interval

waktu yang singkat antara awitan demam dengan kejadian kejang. Dimana hal

tersebut merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kejang demam berulang.
Sedangkan RFA dan OMA yang baru terjadi 2 minggu sebelum pasien

mengalami penyakit sekarang, dapat menjadi indikasi adanya pengobatan infeksi

yang belum tuntas. Hal tersebut dapat menjadi faktor resiko terjadinya demam

yang memicu kejadian kejang.

d. Riwayat penyakit keluarga

• Anggota keluarga tidak ada yang sedang demam

• Anggota keluarga tidak ada yang sedang batuk pilek

• Asma, TB, DM, hipertensi dalam keluarga disangkal

• Ayah memiliki riwayat kejang demam

Kesan : Terdapat riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit

sekarang. Dimana riwayat kejang demam atau epilepsy dalam keluarga

merupakan salah satu faktor resiko kejadian kejang demam berulang.

e. Riwayat Penyakit Sosial

 Tetangga tidak ada yang sedang demam

 Tetangga ada yang sedang batuk pilek

 Keluarga maupun tetangga tidak ada yang merokok di lingkungan rumah

Kesan : Terdapat hubungan riwayat penyakit sosial yang berhubungan dengan


penyakit sekarang (batuk-pilek)

f. Riwayat Pribadi

Riwayat Perkembangan
- Bahasa : mampu tertawa dan berteriak, belum mampu mengucapkan
beberapa kata / berkomunikasi
- Motorik halus : meraih benda, menggapai benda, memukulkan sesuatu ke
kedua tangan, menumpuk benda, mencorat-soret
- Motorik kasar : duduk tanpa berpegangan, berdiri tanpa berpegangan,
berjalan, berlari, melompat
- Sosial dan kemandirian : tersenyum, bermain bersama orang lain, meraih
mainan

Kesan : terdapat gangguan dalam berbicara (speech delay)

Pedigree

75 73
80 43 78

ibu)

50 47 Ibu Ayah 43 39
K
D
10

15 2

Keterangan:
: Laki-Laki

: Perempuan

: Tinggal Serumah

K : Riwayat kejang demam


Kesan: Pasien adalah anak hidup ketiga dari pasangan ayah berumur 43 tahun
dan ibu berusia 43 tahun. Ayah memiliki riwayat penyakit dahulu kejang
demam
Psikososial

Status anak diharapkan, hubungan orangtua dengan anak cukup baik. Pasien
merupakan anak kelima, dengan jumlah anak hidup 3

Status Gizi

 BB = 11 kg, TB = 84 cm
 BB/U = -2SD s.d. +2SD = baik
 TB/U = -2SD s.d. +2SD = normal
 BB/TB = -2 SD s.d. +2SD = normal
Kesan : Status gizi baik

Riwayat Makan

Usia Jenis Makanan Frekuensi Keterangan


0–6 ASI eksklusif Sedikitnya 8 ASI diberikan setiap
bulan kali sehari, kali bayi
pagi siang, sore menginginkan
maupun malam
6–9 ASI + MPASI Makanan lumat • ASI tetap
Bulan diberikan 2-3 diberikan
Ibu memberikan bubur
kali sehari dimana ASI
buah, bubur sayuran yang
diberikan
sudah dilunakan, dan
terlebih dahulu
bubur tim saring
kemudian MPASI
• 2-3 sendok
makan penuh
setiap kali
makan, secara
bertahap
ditingkatkan
sampai 1/2
mangkuk
berukuran 250 ml
setiap kali makan
9-12 Memberikan MPASI 3-4 kali sehari • ASI masih tetap
bulan dalam bentuk makanan makanan diberikan
lunak atau lembik lembek  +  1-2 • Jumlah setiap
(dimasak dengan kali sehari kali makan : ½
banyak air dan tampak makanan sampai dengan ¾
berair ) atau dicincang selingan atau mangkuk
bergantung pada berukuran 250 ml
Ibu memberikan bubur nafsu makan
nasi,  bubur ayam, nasi bayi +
tim, kentang pur. Dengan Pemberian ASI
diberikan makanan
selingan berupa biskuit
1 Tahun- Memperkenalkan 3-4 kali sehari • Jumlah setiap
Sekarang makanan yang berbentuk makanan kali makan :
padat atau biasa disebut keluarga +  1-2 semangkuk penuh
dengan makanan kali sehari berukuran 250 ml
keluarga makanan • Pemberian ASI
selingan atau masih tetap
Ibu memberikan bergantung pada diteruskan
makanan keluarga, nafsu makan sampai saat ini
dengan lauk ayam, ikan, bayi +
telur, tempe. Pemberian ASI
Sayur Sop, sayur bening.
Jajanan seperti cookies
dan nugget juga
diberikan

Riwayat kehamilan dan persalinan

Pasien adalah anak ke 3 hidup dari ibu P3A2 usia 40 tahun, selama hamil ibu

rutin kontrol ke bidan dan dokter, tekanan darah tinggi (-), pendarahan

pervaginam (-), kejang (-), kehamilan merupakan kehamilan yang diharapkan.

Riwayat persalinan : ibu hamil aterm usia kehamilan 37 minggu, lahir secara

spontan. Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, Bayi lahir

menangis kuat, air ketuban jernih, IMD (+), Injeksi vit K1 (+), Injeksi Hb0 (+).

Kesan : Riwayat persalinan baik


Riwayat Imunisasi

Imunisasi Status Keterangan

HBO (+) 1 x Usia 0 bulan

BCG (+) 1 x Usia 3 bulan

Polio (IPV) (+) 3x Usia 2,3,6 bulan

DPT/HB/HiB (+) 3x Usia 2,3,6 bulan

Campak (+) 1x Usia 12 bulan

Kesan : Imunisasi lengkap


C. Pemeriksaan Fisik

Tanggal Pemeriksaan : 22 Februari 2020

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital

Nadi : 130 x/menit, kuat, reguler

Pernafasan : 30 x/menit

Suhu : 38.6º C (axilla)

Status Generalis :

Kulit : Warna kuning langsat, kelembaban cukup, ujud kelainan kulit


(-)

Kepala : Bentuk mesocephal, ukuran normocephal, rambut distribusi


merata

Mata : Mata cowong (-/-), konjungtiva pucat (-/-),sklera ikterik (-/-)


, pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)

Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)

Telinga : Bentuk normal, sekret (-).

Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar

Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar

Submandibuler : tidak membesar

Kesimpulan : Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan kelainan.

Thorax : retraksi (-/-), gerakan simetris kanan kiri


Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Pulmo

Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru

Batas paru-hepar : SIC V kanan

Batas paru-lambung : SIC VI kiri

Auskultasi : vesikuler, ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Kesimpulan: Pada pemeriksaan thorax didapatkan ronkhi

Abdomen

- Inspeksi : sejajar dengan dada (+), tanda peradangan (-), distensi (-)

- Auskultasi : bising usus (+) normal


- Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
- Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), turgor baik dan elastisitas cepat
(<2detik)

Kesimpulan : Pada pemeriksaan abdomen tidak ada kelainan

Ekstremitas (Superior & Inferior : dextra & sinistra)


Akral hangat, ADP kuat, CRT < 2 detik
Kesimpulan : Pada pemeriksaan ekstermitas tidak ditemukan kelainan
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hasil pemeriksaan darah lengkap 22 Februari 2020, di IGD
Hematologi Hasil Rujukan
Hemoglobin 13,0 g/dl 9,5 – 14,0 g/dl
Leukosit 12,31 x 103/uL H 4,00 – 11x103/uL
Eritrosit 7,10 x 106/uL 4,5 – 5,5x106/uL
Trombosit 243 x 103/uL 150 – 450 x 103/uL
Hematokrit 45,7 vol% 42,0-52,0 vol%
Eosinofil 2% 2 – 4%
Basofil 1% 0 – 1%
Batang 0% 2 – 5%
Segmen 78% 40 – 60%
Limfosit 12% 45 -65%
Monosit 7% 2 – 8%
GDS 120 80-200 mg/dl
Natrium 135 137-145 mmol/l
Kalium 4.0 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 104 98-107 mmol/l

Kesimpulan: Bacterial Infection

2. Hasil Pemeriksaan Rontgen Thorax PA

Hasil : Broncopneumonia
Besar cor normal
D. Diagnosis Banding
• KDK
• Meningitis
• Epilepsi

E. Diagnosis Kerja
• KDS
• Febris H-1
• Bacterial Infection
• Pneumonia

F. Penatalaksanaan

• Inf D5% 10 tpm makro (IGD)  KAEN 3B 10 tpm makro


• Nebu ventolin 1R (IGD)  Nebu ventolin/8jam
• O2 2 lpm
• Stesolid suppo No I (IGD)
• Inj diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB/x hingga 4 mg k/p kejang
• Diazepam 1,5 mg pulv po/8 jam jika t > 380C
• Paracetamol 120 mg IV jika t > 390C
• Paracetamol (10-15 mg/kgBB/kali) 1 cth/4jam k/p
• Inj.Ampicillin (100-200 mg/kgBB/hari) 3 x 400 mg
• Inj.Gentamicin (5-10 mg/kgBB/hari) 1x80mg
• Bila demam t >= 37,5 C Ampi/Genta stop  Inf. Ceftriaxon 1 x 900 mg drip
Nacl 100 cc

G. Rencana Pemeriksaan
• Evaluasi darah rutin post terapi
• Cek Urin Lengkap

H. Prognosis
• Quo ad vitam & Quo ad funtionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Senin, 24 Februari 2020


S: • Demam • BAB/BAK dbn
• Batuk (+), ngikil (+), pilek (+) • Mual/muntah (-)
• Kejang (-)
• Diare (-)
• Sesak napas (terkadang saat batuk)
• Retraksi dada (-) / Napas cuping hidung (-) • Makan/Minum (+)

O: KU : Sedang, Compos mentis


VS : HR 130 x/menit, RR 30 x/menit, T 37 oC,
• Kepala : normocephal, mata cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-), serumen (-/-),
mukosa mulut lemab (+), sianosis (-), hiperemi faring (-).
• Leher : simetris (+), pembesaran limfonodi (-),
• Thorax : I/ simetris (+/+), retraksi (-/-), Pal/ fokal fremitus seimbang dextra
sinistra (+/+), gerak dada simetris (+/+), Per/ Sonor (+/+) pada semua lapang
paru, A/ suara dasar paru : vesikuler (+/+), suara tambahan : rhonki (-/-),
wheezing (-/-), krepitasi (+/+), Cor S1 S2 reguler, bising jantung (-)
• Abdomen : I/datar (+), distensi (-), A/ BU (+), Per/ timpani (+), Pal/ Supel
(+), NT (-) , turgor kulit baik (+)
• Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat, CRT < 2”
A: Febris H-3, KDS, Pneumonia, Bakterial Infection
P: • KaEn 3B 10 tpm makro
• Nebu ventolin/8jam
• Inj diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB/x hingga 4 mg k/p kejang
• Diazepam 1,5 mg pulv po/8 jam jika t > 38 derajat celcius
• Paracetamol 120 mg IV jika t > 39 derajat celcius
• Paracetamol syr 120 mg 1 cth/4jam k/p
• Inj.Ampicillin (100-200 mg/kgBB/hari) 3 x 400 mg
• Inj.Gentamicin (5-10 mg/kgBB/hari) 1x80mg
• Evaluasi Darah Rutin
Selasa 25 Februari 2020
S: • Demam • BAB/BAK dbn
• Batuk, ngikil, pilek • Sesak napas (-)
• Kejang (-) • Diare (-)
• Mual/muntah (-) • Makan/Minum (+)
• Retraksi dada (-) / Napas cuping hidung (-)

O: KU : Sedang, Compos mentis


VS : HR 130 x/menit, RR 30 x/menit, T 37,7 oC,
• Kepala : normocephal, mata cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-), serumen (-/-),
mukosa mulut lemab (+), sianosis (-), hiperemi faring (-).
• Leher : simetris (+), pembesaran limfonodi (-),
• Thorax : I/ simetris (+/+), retraksi (-/-), Pal/ fokal fremitus seimbang dextra
sinistra (+/+), gerak dada simetris (+/+), Per/ Sonor (+/+) pada semua lapang
paru, A/ suara dasar paru : vesikuler (+/+), suara tambahan : rhonki (-/-),
wheezing (-/-), krepitasi (+/+), Cor S1 S2 reguler, bising jantung (-)
• Abdomen : I/datar (+), distensi (-), A/ BU (+), Per/ timpani (+), Pal/ Supel
(+), NT (-) , turgor kulit baik (+)
• Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat, CRT < 2”
A: Febris H-4, Pneumonia, Bacterial infection, KDS
P: • KaEn 3B 10 tpm makro
• Nebu ventolin/8jam
• Inj diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB/x hingga 4 mg k/p kejang
• Diazepam 1,5 mg pulv po/8 jam jika t > 38 derajat celcius
• Paracetamol 120 mg IV jika t > 39 derajat celcius
• Paracetamol syr 120 mg 1 cth/4jam k/p
• Inj.Ampicillin / Gentamicin stop  Masuk Ceftriaxon 1 x 900 mg IV drip
NaCl 100 cc
• Cek Urin Lengkap

Rabu, 26 Februari 2020


S: • Demam (-) • Retraksi dada (-) / Napas cuping hidung (-)
• Batuk, ngikil, pilek (-) • BAB/BAK dbn
• Kejang (-) • Makan/Minum (+)
• Mual/muntah (-) • Sesak napas (-)
• Diare (-)

O: KU : Sedang, Compos mentis


VS : HR 130 x/menit, RR 30 x/menit, T 37 oC,
• Kepala : normocephal, mata cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-), serumen (-/-),
mukosa mulut lemab (+), sianosis (-), hiperemi faring (-).
• Leher : simetris (+), pembesaran limfonodi (-),
• Thorax : I/ simetris (+/+), retraksi (-/-), Pal/ fokal fremitus seimbang dextra
sinistra (+/+), gerak dada simetris (+/+), Per/ Sonor (+/+) pada semua lapang
paru, A/ suara dasar paru : vesikuler (+/+), suara tambahan : rhonki (-/-),
wheezing (-/-), krepitasi (+/+) , Cor S1 S2 reguler, bising jantung (-)
• Abdomen : I/datar (+), distensi (-), A/ BU (+), Per/ timpani (+), Pal/ Supel
(+), NT (-) , turgor kulit baik (+)
• Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat, CRT < 2”
A: Febris H-5, Pneumonia, KDS, Bakterial Infection
P: • KaEn 3B 10 tpm makro
• Nebu ventolin/8jam
• Inj diazepam 0.3-0.5 mg/kgBB/x hingga 4 mg k/p kejang
• Diazepam 1,5 mg pulv po/8 jam jika t > 38 derajat celcius
• Paracetamol 120 mg IV jika t > 39 derajat celcius
• Paracetamol syr 120 mg 1 cth/4jam k/p
• Ceftrixon stop  Inj.Ampicillin (100-200 mg/kgBB/hari) 3 x 400 mg,
Inj.Gentamicin (5-10 mg/kgBB/hari) 1x80mg lanjut


Kamis, 27 Februari 2020
S: • Demam (-)
• Batuk, ngikil, pilek (-)
• Kejang (-)
• Mual/muntah (-)
• Sesak Napas (-)
• Retraksi dada (-) / Napas cuping hidung (-)
• Makan/Minum (+)
• BAB/BAK dbn
• Diare (-)

O: KU : Sedang, Compos mentis


VS : HR 130 x/menit, RR 30 x/menit, T 37 oC,
• Kepala : normocephal, mata cowong (-/-), CA (-/-), SI (-/-), serumen (-/-),
mukosa mulut lemab (+), sianosis (-), hiperemi faring (-).
• Leher : simetris (+), pembesaran limfonodi (-),
• Thorax : I/ simetris (+/+), retraksi (-/-), Pal/ fokal fremitus seimbang dextra
sinistra (+/+), gerak dada simetris (+/+), Per/ Sonor (+/+) pada semua lapang
paru, A/ suara dasar paru : vesikuler (+/+), suara tambahan : rhonki (-/-),
wheezing (-/-), krepitasi (-/-), Cor S1 S2 reguler, bising jantung (-)
• Abdomen : I/datar (+), distensi (-), A/ BU (+), Per/ timpani (+), Pal/ Supel
(+), NT (-) , turgor kulit baik (+)
• Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat, CRT < 2”
A: Pneumonia, KDS
P: BLPL
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak

berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di

atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan

oleh proses intracranial (Bararan& Jaumar 2013). Merupakan suatu perubahan

fungsi pada otak secara mendadak dan sangat singkat atau sementara yang

dapat disebabkan oleh aktifitas yang abnormal serta adanya pelepasan listrik

serebal yang sangat berlebihan. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh,

bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya (IDAI, 2016).

Menurut Wulandari & Erawati (2016) Kejang demam merupakan

kelainan neorologis yang paling sering ditemukan pada golongan anak umur 6

bulan sampai 5 tahun. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami

kejang demam, namun jarang sekali. National Institute of Health (1980)

menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg

(1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila

anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,

pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi berusia

kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk

dalam kejang neonatus. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya

maka tidak disebut sebagai kejang demam.


B. EPIDEMIOLOGI

Angka insidensi dan prevalensi kejang demam berbeda di tiap negara.

Berdasarkan data WHO 2012 kejang demam 80% terjadi di negara-negara

miskin dan 3,5-10,7 % terjadi di negara maju. Di Amerika Serikat dan Eropa

prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam

meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Sekitar

80% dan mungkin mendekati 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang

demam sederhana. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.

Bahkan di kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insidensi kejang

demam yang lebih besar, rnencapai 14%. Sebagian besar penderita kejang

demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi

sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna

mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Angka

kejadian kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun

(AAP, 2011). Meskipun National Institute of Health (1980) menggunakan

batasan berbeda yaitu lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg

(1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan.

Prevalensi kejang demam di Indonesia tahun 2009-2010 mencapai 16%

Hasil survey yang didapatkan di Indonesia pada bulan April 2009 terdapat 15

kasus kejang demam dan sebanyak 80% disebabkan karena adanya infeksi

saluran pernapasan (Subianto, 2009). Wibisono (2015) melaporkan angka

kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun 2012-2013 di dapatkan

sebanyak 3-4% dari anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun.


B. ETIOLOGI

Penyebab kejang demam tidak diketahui secara pasti, meskipun

biasanya diawali demam, dengan  suhu yang mencapai 38°C atau lebih.

Risiko terhadap kejang demam meningkat, jika anak memiliki anggota

keluarga dengan riwayat tersebut. Dalam banyak kasus, demam tinggi

disebabkan oleh infeksi. Contohnya adalah cacar air, flu, infeksi telinga

bagian tengah, dan  tonsilitis.

Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan

vaksinasi pada anak dengan riwayat kejang demam. Dalam kasus yang

langka, kejang demam dapat terjadi setelah anak mendapatkan vaksinasi.

Angka kejadian kejang demam pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per

100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah

25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan

pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis.

C. FAKTOR RESIKO

Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya:

1. Faktor Demam

Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, penyebab tersering

pada anak adalah adanya infeksi, yang merupakan penyebab terbanyak

timbulnya kejang demam (80%). Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi

pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40-56%). Bangkitan kejang

yang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% penderita dan
sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas atau

sama dengan 400C.

Pada keadaan demam atau meningkatnya suhu di hipotalamus, otot,

kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan mengeluarkan mediator kimia berupa

epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini merangsang

peningkatan potensial aksi pada neuron. Dimana dalam keadaan demam,

kenaikan suhu 1o C mengakibatkan kenaikan metabolisme basal sebesar 10-

15%. Adanya peningkatan suhu secara cepat akan mengakibatkan kebutuhan

glukose dan oksigen meningkat sebesar 20%, yang menyebabkan reaksi

oksidasi terjadi lebih cepat dan tubuh kekurangan pasokan oksigen sehingga

terjadi hipoksia. Pada kejadian ini transport ATP terganggu sehingga Na

intrasel dan K ekstrasel meningkat, menyebabkan potensial membran

cenderung turun dan aktifitas sel saraf meningkat terjadi fase depolarisasi

neuron dengan cepat sehingga dapat terjadi perubahan keseimbangan dalam

membrane sel neuron yang mengakibatkan lepasnya muatan listrik. Letupan

listrik yang besar dan tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya kejang.

Kesimpulan dari berbagai hasil penelitian dan percobaan binatang

menyimpulkan bahwa kejang terjadi tergantung dari kecepatan waktu antara

mulai timbul demam sampai mencapai suhu puncak (onset) dan tinggiya suhu

tubuh. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan menimbulkan discharge

di daerah oksipital.

2. Faktor Usia

Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa

sebanyak 4% anak akan mengalami demam kejang, terjadi dalam satu


kelompok usia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan demam tanpa

infeksi intrakranial, sebagian besar (90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6

bulan sampai dengan 5 tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia 18

sampai dengan 24 bulan, faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam

sebanyak 25% dari anak yang mengalami kejang demam.

Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid

eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar

CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk

terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis

pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan

perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas neuron.

Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai

eksitabilitas neural (kemampuan berespon terhadap rangsangan) lebih tinggi

dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai

developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Developmental

window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu

anak berusia kurang dari 2 tahun. Anak yang mendapat serangan bangkitan

kejang demam pada usia awal masa developmental window, akan mempunyai

waktu fase eksitabilitas neural lebih lama dibanding anak yang mendapat

serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window. Apabila

anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak pada fase eksitabilitas,

maka akan mudah terjadi bangkitan kejang.


3. Genetik

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et. al di Halifax, Nova

Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam

dipengaruhi oleh faktor keturunan. Hal ini juga di dukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Talebian et. al yang memperoleh hasil bahwa sebesar 42,1%

kejadian kejang demam disebabkan oleh riwayat keluarga yang juga positif

kejang demam.

Hal tersebut berkaitan dengan adanya kelainan kanal yang disebut juga

sebagain sindrom channelopaties. Kondisi dimana adanya defek pada kanal

yang akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara aliran masuknya

Natrium dan keluarnya kalium. Chanelopathi adalah defek dari ion chanel

yang bersifat genetik, dimana terjadi kelainan pembentukan protein ion chanel

pada waktu penggabungan beberapa asam amino, sehingga menyebabkan

membran sel menjadi hipereksitabel (kemampuan berespon terhadap

rangsangan secara berlebihan).


D. KLASIFIKASI

1. Kejang dengan demam

a. Kejang Demam

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat < 15 menit, dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik, tanpa

gerakan fokal, disertai dengan anak tidak sadar pasca kejang. Kejang tidak

berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80%

di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam sederhana

berlangsung < 5 menit dan berhenti sendiri.

2. Kejang demam komplex

Merupakan kejang demam yang lama berdurasi lebih dari 15 menit.

Kejang berbentuk fokal / parsial, atau umum yang didahului parsial.

Kejang berulang / lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Wulandari & Erawati,

2016).
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit/

kejang berulang > 2 kali dan diantara bangkitan kejang, anak tidak sadar.

Kejang lama terjadi pada 8% kasus kejang demam. Kejang fokal adalah

kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara

2 bangkitan kejang, anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak

yang mengalami kejang demam.

2. Bukan Kejang Demam

1. Meningitis

Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput mengineal

yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme merupakan salah

bentuk dari infeksi Sistem Saraf Pusat yang ditandai dengan adanya gejala

spesifik dari sistem saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, gejala rangsang

meningkat, gejala peningkatan tekanan intrakranial, & gejala defisit

neurologi (Widagdo, 2011). Pemeriksaan meningeal sign dan pungsi

lumbal dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis. Meskipun

berdasarkan bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak

dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami

kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi

dilaksanakannya pungsi lumbal adalah anak dengan kecurigaan adanya

infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti tes

meningeal positif.

2. Ensephalitis

Ensefalitis adalah infeksi intrakranial dapat melibatkan jaringan


otak atau lapisan yang menutupi otak yang disebabkan oleh bakteri, virus

dan jamur. Penyembuhannya dapat sembuh total atau komplit sampai pada

menimbulkan penurunan neurologis (Riyadi & Suharsono, 2010).

3. Meningoensephalitis

Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen

dan jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.

Pasien meningoencephalitis ditegakkan secara klinis dengan adanya

keluhan demam, penurunan kesadaran, dan kejang.

2. Kejang tanpa demam

Kejang tanpa demam yang berulang / memiliki riwayat kejang

serupa, serta tidak ada penyebab lain seperti hipoglikemia, hiperglikemia,

gangguan elektrolit, keracunan, trauma, maupun hipoksi, dapat disebut

sebagai epilepsi.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan

gejala yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik

neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditandai dengan

sedikitnya 2 kali atau lebih kejang tanpa provokasi dengan interval waktu

lebih dari 24 jam.

3. Status Epileptikus

Status epileptikus adalah serangkaian kejang yang berulang atau

bersifat kontinyu dengan gangguan kesadaran yang berlangsung lebih dari

atau sama dengan 30 menit, baik dengan atau tanpa demam. Status

epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus-


menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,

kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak yang menyebar luas.

Apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar

kemungkinan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat

menyebabkan kematian.

E. PATOFISIOLOGI

Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan

kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat dari

metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah glukosa.

Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan

diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Sumber energi otak adalah glukosa

yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh

membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar

yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neoron dapat dilalui dengan

mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit

lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron

tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan

sebaliknya.

Neuron adalah sel utama pada sistem saraf yang terdiri dari tubuh dan

serabut saraf yang menghantar hantaran dari cell body ke neuron selanjutnya.

Serabut saraf memiliki dendrit yang menerima sinyal dari neuron lain dan axon

yang mengirim sinyal disebut potensial aksi ke neuron lain. Saat neuron

bertemu satu sama lain disebut dengan sinaps dimana axon mengirim sinyal ke
dendrit atau cell body. Neutotransmitter berikatan dengan reseptor memberi

sinyal pada sel untuk membuka kanal ion dan menyampaikan sinyal elektrik

disebut dengan excitatory neurotransmitters. Selai itu juga ada reseptor yang

berfungsi untuk menutup kanal ion yang menghambat sinyal elektrik masuk ke

cell body yang disebut dengan inhibitory nerutotransmitters.

Excitatory neurotransmitter adalah glutamat yang berikatan dengan

reseptor NMDA yang membuka kanal ion kalsium (Ca ++). Kalsium memiliki

muatan positif yang membuat keadaan dalam sel lebih positif shingga terjadi

potensial aksi. Inhibitory neurotransmitter adalah GABA yang berikatan

dengan reseptor GABA yang membuka kanal ion Klorida (CL -). Klorida

memiliki muatan negatif sehingga membuat keadaan dalam cell body negatif

yang menghambat potensial aksi.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan

mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen

akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak

mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang

hanya 15%. Hal ini dapat mengakibatkan kondisi otak dalam keadaan hipoksia

sehingga tubuh akan melakukan respon dengan Hiperventilasi (kondisi dimana

kita bernapas cepat) dimana pada kondisi tersebut tingkat Co2 dalam tubuh

akan mengalami penurunan yang dapat memicu alkalosis respiratorik dan

peningkatan ph darah, kedua hal tersebut dapat menyebabkan syaraf lebih aktif

dan terjadilah kejang. Disamping itu, kenaikan suhu tubuh yang cepat dapat

memicu perubahan glutamin menjadi glutamate yang mana glutamate

merupakan reseptor utama pengikat NMDA sebagai excitatory


neurotransmitter yang dapat mengakibatkan peningkatan masuknya chanel

Ca2+, sehingga mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dimana

kondisi di dalam akan lebih positif dan syaraf menjadi lebih aktif. Demam

terjadi karena sitokin yang dikeluarkan oleh leukosit sebagai respon imun

dalam tubuh untuk menyerang virus maupun bakteri, namun menurut beberapa

literatur, sitokin dipercaya mampu meningkatkan NMDA reseptor sehingga

menyebabkan peningkatan Ca2+ yang masuk dan mengakibatkan kondisi

didalam lebih positif sehingga terjadilah lepas muatan listrik.. Lepas muatan

listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke

membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter

dan terjadi kejang. (Nurindah , 2014)

F. DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan

bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.

Anamnesis

Riwayat yang ditanyakan meliputi:

• Riwayat kejang sebelumnya, apakah disertai dengan demam atau tanpa

demam

• Riwayat tumbuh kembang anak sebelum dan setelah kejang

• Riwayat penyakit lain yang menyertai

Gejala yang digali dari anamnesis meliputi:

• Kejang umum: sering dideskripsikan sebagai kelojotan (tonik-klonik)


• Kejang fokal: kejang pada satu sisi tangan / kaki atau satu sisi tubuh atau

bagian tubuh tertentu

• Durasi kejang

• Frekuensi kejang atau kejang berulang

• Ada tidaknya demam sebelum kejang, suhu tubuh sebelum/saat kejang

• Derajat kesadaran saat dan setelah kejang

• Cari sumber infeksi yang bisa menyebabkan demam

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik anak dengan kejang demam, selain adanya

peningkatan suhu, umumnya normal atau sesuai dengan penyebab demam

(contoh: rhonki pada paru pada anak bronkopneumonia yang demam). Penting

untuk melihat tanda dari meningitis dan ensefalitis untuk menyingkirkan

diagnosis banding:

• Meningitis: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski yang positif

dengan atau tanpa gejala neurologis fokal. Pada bayi baru lahir, tanda-

tanda ini jarang terlihat pada meningitis.

• Ensefalitis: beberapa  gangguan kesadaran, perubahan tingkah laku,

penemuan neurologis fokal (contoh: hemiparesis, kejang fokal dan

disfungsi otonom), gangguan motorik, ataksia, gangguan pada saraf

kranial, disfagia, meningismus, atau disfungsi sensorimotor unilateral.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada kejang demam tujuan

utamanya adalah mencari sumber infeksi yang menyebabkan demam, bukan

untuk menentukan kejang demam. Apabila dokter pemeriksa sudah meyakini


adanya demam disebabkan infeksi virus simpleks, misalnya pada ISPA, maka

diagnosis klinik sudah cukup adekuat.  Serum elektrolit jarang ditemukan

bermanfaat pada evaluasi kejang demam.

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang

demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab

demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi

misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah. (AAP, 2011)

2. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat

ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia

<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum

baik. Pungsi Lumbal dilaksanakan bila ada indikasi tanda dan gejala.

• Pungsi lumbal dilakukan pada anak dengan demam dan kejang yang

memiliki tanda dan gejala meningitis (contoh: kaku kuduk, tanda Kernig

dan Brudzinski) atau dengan riwayat dan pemeriksaan yang mengarah ke

meningitis atau infeksi intrakranial.

• Bayi usia 6 – 12 bulan dengan demam dan kejang dapat dipertimbangkan

untuk dilakukan pungsi lumbal bila tidak menerima imunisasi

Haemophilus influenzae tipe B (HiB) atau Streptococcus pneumoniae,

atau pada status imunisasi yang tidak jelas.


• Pungsi lumbal dipertimbangkan pada anak dengan kejang dan demam

bila pasien sudah menerima antibiotik sebelumnya, dikarenakan

pemberian antibiotik bisa memudarkan tanda dan gejala meningitis.

• Pasca kejang demam kompleks, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk

menyingkirkan kemungkinan meningitis karena kemungkinan tanda dan

gejala meningitis menjadi sulit untuk dievaluasi. Hasil studi Kimia et

al (2010) menunjukkan bahwa sedikit pasien kejang demam kompleks

memiliki meningitis bakterial akut dengan gejala.

3. Neuroimaging

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan

(CTscan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,

tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:

• Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

• Paresis nervus VI

• Papiledema

Neuroimaging tidak berguna pada anak anak dengan kejang demam,

berdasarkan kasus pada 71 anak dengan kejang demam tidak ditemukan

adanya suatu kondisi kelainan intrakranial seperti adanya lesi, perdarahan,

hidrochephalus, abses atau edema serebri.

4. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada

pasien kejang demam. Pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien

dengan kejang demam sederhana, namun masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak

usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

INDIKASI RAWAT INAP

1. Anak berusia kurang dari 6 bulan

2. Kejang demam jenis kompleks

3. Hiperpireksia

4. Kejang demam yang pertama

5. Adanya kelainan neurologis yang menyertai


H. TATALAKSANA

Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:

1. Pengobatan fase akut

Pada waktu kejang, pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah

atau muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi

terjamin, awasi airway, breathing, dan circulation pasien. Perhatikan keadaan

vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung.

Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan pemberian antipiretik. Tidak

ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia


sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Obat – obat yang dapat

digunakan sebagai antipiretik adalah:

• Parasetamol 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam

• Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 3 – 4 kali sehari.

Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik

diazepam yaitu antara 5 – 10 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak

dijumpai apabila diberikan dengan kecepatan 2 mg/menit dan dosis tidak

melebihi 10 mg. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal.

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada

waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam

keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah

diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-

lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis

maksimal 10 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan

penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.

Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali

menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui

rektum telah dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981;

Kaspari dkk., 1981).

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah

(prehospital) adalah diazepam rektal. Jika kesulitan dalam pemberian diazepam

intravena di IGD dan pasien belum diberikan diazepam rektal sebelumnya,

maka dapat juga diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg atau

diazepam rektal 5 mg ( BB <12 kg ) dan 10 mg ( BB >= 12 kg ), dapat diulang


max 2x dengan durasi 5 menit apabila kejang masih berlanjut. Bila sudah

mendapat diazepam rektal sebelumnya, bisa langsung diberikan injeksi

diazepam intravena. Jika kejang tidak juga berhenti, lanjut berikan

Fenobarbital 20 mg/kg iv (selama 5-10 menit/dengan kecepatan 100mg/menit

dengan dosis maksimal 1000 mg) ATAU Fenitoin dengan dosis awal 20 mg/kg

iv (diencerkan 50 ml NS dengan kecepatan 50mg/menit atau selama 20 menit

dengan dosis maksimal 1000mg). Pemberian fenitoin, harus dilakukan

pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan

menyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan diazepam,

pertimbangkan pemberian rumatan dengan Fenitoin 5-10 mg/kg dibagi 2 dosis

atau Fenobarbital 3-5 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.

2. Mencari dan mengobati penyebab

Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.

Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada

kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis

atau bila kejang demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

o Antipiretik

• Parasetamol 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam

• Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 3 – 4 kali sehari.

o Antikonvulsan

Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu profilaksis intermiten dan

profilaksis jangka panjang / rumatan.


Profilaksis Intermitten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten

diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:

• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

• Usia <6 bulan

• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh

meningkat dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau

rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk BB <12 kg) dan (10 mg untuk BB >= 12 kg),

sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.

Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu

diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat

menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Profilaksis jangka panjang

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan

penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan,

maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam

jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal

2. Kejang lama >15 menit


3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,

misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Dengan catatan:

• Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,

BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.

• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak

mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.

• Anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk

pemberian terapi profilaksis intermiten dahulu, jika tidak berhasil /

orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.

Antikonvulsan rumatan yang dapat digunakan adalah fenobarbital dan

asam valproate. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari

efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Namun pemakaian

fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan

belajar pada 40-50% kasus. Sehingga obat pilihan saat ini adalah asam

valproat. Meskipun pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang

dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis

asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, sedangkan

fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumatan diberikan

selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak

membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang

demam.
G. EDUKASI

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua.

Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan

meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua, kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang

efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang

• Tetap tenang dan tidak panik

• Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher

• Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,

bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

• Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil)

lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

• Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

• Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

• Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5

menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal

hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.

• Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau

lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti
dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar,

atau terdapat kelumpuhan.

H. PROGNOSIS

Kecacatan atau kelainan neurologis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan

sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan

mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya

normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang

berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat

gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal

tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi

menjadi kejang lama.

Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulangnya kejang demam adalah:

1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang

4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.

5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang

demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang

demam paling besar pada tahun pertama.

Kemungkinan terjadinya epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:

1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang

demam pertama

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode / lebih dalam satu tahun.

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi

sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan

kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak

dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.

Kematian

Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka

kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana

dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.


BAB IV

ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari

pasien ini, maka dapat didiagnosis sebagai Kejang Demam Sederhana yang

disebabkan karena Pneumonia, bacterial infection.

Dari data anamnesis didapatkan bahwa pasien berusia 2 tahun 1 bulan,

mengalami kejang untuk kedua kalinya setelah satu tahun yang lalu, munculnya

kejang diawali dengan demam dengan tipe kejang yang general. Kejang berlangsung

selama kurang lebih 5 menit dengan frekuensi kejang sebanyak 1 kali dalam 24 jam.

Maka dari hal tersebut dapat ditegakkan sebagai diagnosia Kejang Demam Sederhana

menyingkirkan diagnosa banding Epilepsi dan KDK.

Dari data pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh yang tinggi, disertai dengan

batuk pilek dan terkadang disertai sesak napas saat batuk. Pada pemeriksaan auskultasi

didapatkan suara ronkhi yang kemudian menjadi krepitasi di kedua lapang paru.

Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan, hasil yang didapat mengindikasikan

adanya infeksi pada saluran pernapasan (pneumonia) sebagai penyebab terjadinya

demam yang menjadi penmicu bangkitan kejang. Selain itu, pemeriksaan meningeal

sign yang dilakukan juga membantu menyingkirkan diagnosia banding Meningitis.

Dari data pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan

adanya peningkatan angka leukosit dengan angka 12.310 uL di atas nilai normal dan

gambaran neutrofil shift to right (Segmen = 78%) yang menandakan terdapatnya

inflamasi yang terjadi di tubuh. Sedangkan pemeriksaan rontgen thorax memberikan

gambaran bronkopneumonia, yang menunjang pemeriksaan fisik sebelumnya akan


indikasi adanya infeksi saluran pernapasan (pneumonia). Dimana pada beberapa

literature dijelaskan bahwa sebanyak 80% kasus kejang demam disebabkan karena

adanya infeksi saluran pernapasan.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah inf KaEN 3B, digunakan

untuk memenuhi kebutuhan harian cairan dan elektrolit, sedangkan antipiretik pada

pasien ini diberikan injeksi paracetamol 120 mg IV jika demam tinggi >39 0C, dan

peroral diberikan Paracetamol 10 – 15 mg/kg/BB/x jika demam yang tidak melebihi

390C. Pemberian diazepam peroral diberikan sebagai antikonvulsan intermitten atau

profilaksis kejang demam bila suhu naik ningga >38oC. Sedangkan jika terjadi kejang

berulang diberikan diazepam injeksi dengan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB/x. Untuk

antibiotik sebagai tatalaksana pneumonia pada pasien ini diberikan antibiotic

ampicillin injeksi dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari dan gentamicin injeksi dengan

dosis 5-10 mg/kgBB/hari. Namun pada tanggal 25/02 ampi genta di stop digantikan

ceftriaxone dengan dosis 1 x 900 mg drip Nacl 100 cc karena suhu tubuh pasien t >

37.50C. Nebu ventolin juga diberikan tiap 8 jam sebagai bronkodilator.


DAFTAR PUSTAKA

Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang


Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2016.
Analisis Fakto Resiko Kejadian Kejang Demam di Ruang Perawatan Anak RSU
Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 2 No. 2, Juli 2016 : 1-72
Whelan H, Harmelink M, Chou E, Sallowm D, Khan N, Patil R, et al. Complex
Febrile Seizure – A Systematic Review. Disease-a-Month, 2017;63:5-23.
IDAI. 2016. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1
Fuadi, Tjipta B dan Wijayadi N. 2010 Sari Pediatri: Faktor Resiko Bangkitan
Kejang Demam Pada Anak vol 12.3:3 12 2010: 149-9
Jhonston, M.V. (2007). Seizures in childhood. Dalam: Kliegman, R.M.,
Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton, B.F., ed. Nelson textbook of
pediatrics. 18th ed. United states of america: Saunders elsevier:2457-2473.
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. 2007. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Lumbantobing, SM. (2007). Kejang demam (febrile convulsions). Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Mahmood, K.T., Fareed, T., Tabbasum, R., (2011). Management of febrile
seizures in children. Journal Biomedical Science And Research, 3 (1): 353-
357
Siqueira, L.F.M.D. (2010). Febrile seizures: update on diagnosis and
management. Rev assoc med bras, 56 (4): 489-492.

Anda mungkin juga menyukai