Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN DIAGNOSA MEDIS

DI RUANG CEMPAKA 1 RSUP SANGLAH DENPASAR

Oleh:
Ni Kadek Diah Widiastiti Kusumayanti 1902621006
Ni Made Sinta Febrina 1902621009
Luh Dea Pratiwi 1902621019
I Dewa Ayu Alit Maharani Laras 1902621022
Ni Made Sri Ardhia Padmasari 1902621031
Ayu Indri Agustin 1902621033
Anak Agung Gede Candra Dwipa 1902621043
Ni Made Sekar Sari 1902621045

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hirschprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan suatu
kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada submukosa
yang secara anatomi terletak pada bagian anus dan membenang secara
proksimal yang menyebabkan obstruksi fungsi kolon (Wagner, 2018).
Hirschprung’s disease merupakan masalah yang berhubungan abnormalitas
gen, yang mana gen ini mempengaruhi hampir 50% abnormalitas pada bayi
(National Organization for Rare Disorders, 2017). Hirschprung’s disease
merupakan penyakit kongenital yang berkembang selama kehamilan dan
muncul saat persalinan. Kondisi ini dapat terjadi karena diet ibu atau adanya
penyakit yang diderita saat hamil (Brennan, 2019).

Hirschprung’s disease dapat mengenai 1 dari 5000 bayi baru lahir, jika orang
tuanya membawa hirschprung’s disease dalam gennya terutama ibu maka
akan diturunkan pada anaknya. Anak laki-laki memiliki risiko yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak perempuan (Brennan, 2019). Insiden
penyakit hirschsprung di Indonesia belum begitu jelas. Jika diperkirakan
angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka dapat diprediksi dengan
jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan
lahir 1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschsprung. Di RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40 penderita penyakit
Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya (Kementerian Kesehatan, 2017).
Tanda gejala biasanya muncul pada 6 minggu awal kehidupan yang pada
beberapa kasus dapat muncul pada 48 jam pertama. Salah satu tandanya
adalah perut kembung dan tidak adanya pengeluaran mekonium pada
beberapa hari pertama pasca lahir.

Penyakit hirschsprung dianggap sebagai kasus kegawatdaruratanbedah yang


perlu penanganan segera. Jika tanpa penanganan segera, maka mortalitas
dapat mencapai 80% pada bulan-bulan pertama kehidupan. Dengan
penanganan yang tepat angka kematian dapat di tekan (Kementerian
Kesehatan, 2017). Operasi merukan salah satu tindakan yang cepat untuk
membantu penyembuhan penyakit hirschprung, yaitu bisa dengan melakukan
prosedur pull-through yaitu memotong bagian usus besar yang tidak
memiliki saraf dan menyambungkan bagian yang baru dengan anus. Selain
itu juga bisa dilakukan operasi ostomi untuk membuatkan jalan pengeluaran
feses (Brennan, 2019). Rectal washing merupakan salah satu tindakan yang
direkomendasikan untuk membantu anak dengan penyakit hirschprung.
Tindakan ini efektif untuk mengurangi tekanan pada perut dan membantu
untuk mengeluarkan feses (Duthie, 2011). Bedasarkan uraian diatas maka
kami memilih untuk menggunakan pasien dengan diagnosa medis
hirschprung disease yang mendapatkan tindakan rectal washing sebagai kasus
kelolaan kelompok di ruang Cempaka I Neonatus.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui kasus hirschprung pada neonatus dalam tatanan klinik dan


intervensi yang diterapkan secara evidence based keperawatan

1.2.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui asuhan keperawatan kepada pasien dengan hirschprung’s


disease
2) Mengetahui evidence based terkait intervensi yang dapat diberikan pada
pasien dengan hirschprung’s disease

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritik

Hasil laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber tambahan


informasi mengenai konsep penyakit, asuhan keperawatan dan penerapan
intervensi jurnal terbaru yang menjalani perawatan di rumah sakit.

1.3.2 Manfaat Praktik


Dapat dijadikan gambaran awal mengenai perawatan dan pencegahan
perburukan kondisi pasien dengan hirschprung’s disease.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan suatu
kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada
submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada
bagian anus dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001).
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan bawaan berupa tidak adanya sel
ganglion parasim-patis usus (pleksus submukosa Meissner dan pleksus
mienterikus Auerbach) mulai dari sfingter anus internal ke arah proksimal
dengan panjang segmen tertentu. Sekitar 90% aganglinosis mengenai daerah
rektum dan sigmoid. Aganglionosis ini meyebabkan gangguan peristaltik se-
hingga menyebabkan obstruksi saluran cerna (Kessmann, 2006). Pada tahun
1691, seorang anatomist Belanda, Fredericus Ruysche, melakukan otopsi pada
anak perempuan berusia 5 tahun dimana ditemukan megacolon dengan
riwayat nyeri abdomen dan konstipasi (Georgeson, 2010). Hal ini sebagai
awal dikenalnya penyakit megacolon namun patogenesis penyakit belum
dapat dijelaskan (Wang, et al., 2009). Harald Hirschsprung, seorang dokter
anak berasal dari Denmark, merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan
penyakit ini secara definitif melalui presentasi ilmiah dalam konfrensi asosiasi
pediatri di Berlin, Jerman pada tahun 1886 (Wang, et al., 2009; Moore, et al.,
2010). Dia memaparkan dua kasus bayi yang meninggal akibat komplikasi
obstruksi usus. Usus besar tampak dilatasi dan hipertropi namun rektum
tampak normal. Tidak ditemukannya sel ganglion intramural pada myenteric
dan Meissner’s plexuses (Auerbach’s dan Meissner’s plexuses) turun ke arah
bawah dari bagian colon yang mengalami dilatasi menjadi hal yang paling
dikaitkan sebagai penyebab penyakit megacolon kongenital (Amiel, et al.,
2001).
2.2 Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai
penyebab tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel
krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna
bagian bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion
parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga menyebabkan peristaltik
usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat
menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian
proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung
panjang usus yang mengalami aganglion (Nurko, 2012)
2.3 Epidemiologi
Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).
Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih
banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013).
Terdapat studi yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%)
terjadi pada penderita yang memiliki saudara kandung dengan total colonic
involvement. Sekitar 25% obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh
Hirschsprung’s disease (Georgeson, 2010). Berdasarkan batas inferior secara
anatomi (internal anal sphincter), penderita dapat diklasifikasikan menjadi
short- dan long-segment disease. Short- segment disease merupakan lokasi
terbanyak dan mempengaruhi bagian rectosigmoid pada colon (80% dari
seluruh kasus). Sedangkan long-segment disease kasusnya lebih jarang
(kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi hampir seluruh bagian colon,
tetapi sangat jarang mengenai usus halus (Kessmann, 2006; Moore, 2010).
2.4 Manifestasi Klinis
Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan
riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun,
evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian
yang penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus
(hampir 90% manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et
al., 2011). Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya
jumlah meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease
(>80% dari keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis
antara lain obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang
lebih tua (10%- 50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir
100% kasus), konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore,
2010).
Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated
enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4
minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen,
dan muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan
mortalitas penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et
al., 2014).
Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik
noninvasif yang digunakan untuk endeteksi refleks pada rectoanal
(rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila
ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa ARM berguna untuk mengeksklusi Hirschsprung’s
disease (negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk
dalam tes diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita
yang kooperatif sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-
anak usia diatas satu tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008).
Hal ini menyebabkan ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary
screening kasus Hirschsprung’s disease (Ishfaq, et al., 2014).
2.5 Patofisiologi
Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan
esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke
arah craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia
gestasi minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al.,
2010). Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric
nervous system, yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah
penyebab utama Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan
oleh besarnya kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric
nervous system dan menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini
migrasi nueral crest tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang
tidak memiliki sel ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai
sebagai penyebab berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain
berubahnya matriks ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural
cell adhesion molecules (Georgeson, 2010).
Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa
faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu
kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan
yang menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam
patofisiologi Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap
berkaitan dengan dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam
mempengaruhi perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu,
beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain
hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum,
imperforated anal, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism,
Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Diaz, et al.,
2015).
Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para
ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal
Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short
segment Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan
(4) tidak termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang
kontroversial dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen
distal yang normal.
2.6 Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia
mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada
komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1,
infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab
terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan
menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,
diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi
nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan
terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus (Kartono,2010).
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus
letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada
dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan
iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen.
Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan
muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan
iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis
dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat
menyebabkan enterokilitis (Badash, 2011).
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai
pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung
datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski
telah dilakukan kolostomi. Kejadian enterokolitis berdasarkan prosedur
operasi yang dipergunakan Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar
14,8%, Duhamel sebesar 15,4% dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran
klinis distensi abdomen ada sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang,
darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada
sebanyak 22 orang (Hidayat, 2010).
2.7 Penatalaksanaan Medis
Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan alternative adalah operasi
berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian
kontinuitas usus. Tetapi bila belum dapat dilakukan operasi biasanya
merupakan tindakan sementara dipasang pipa rectum, dengan atau tanpa
dilakukan pembiasaan dengan air garam fisiologis secara teratur.
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus
besar dan fungsi spinkter ani internal sehingga dapat normal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan mendilatasi usus besar untuk mengembalikan
ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat
anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah
operasi pertama ( Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 )

Menurut Puri (2010), penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu


pembedahan dan konservatif.

 Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua
tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga
tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal
(memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan).
Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:
1. Prosedur Duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, membuat
dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon
normal yang telah ditarik
2. Prosedur Swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to
end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi
dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior
3. Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh
kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa
 Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan
mekonium dan udara.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus.
Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung
pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini,
disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang
diperlukan untuk penegakkan diagnosis (Kartono, 2010)
 Foto polos abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran
obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan
sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis
nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan
diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster.
Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi
usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak
gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas dapat
terlihat.1 Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis
dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat
terlihat jelas dengan barium enema.
 Barium enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi
abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur
gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang.
Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit dari sfingter anal
dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit
ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi.1,2 Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun
1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat
mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH. Dalam literatur dikatakan
bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas
65-100%. Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya
zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa
ditemukan pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan
mendadak; 2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut; 3. Funnel,
bentuk seperti cerobong. Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat
juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran permukaan
mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan
melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang
berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema tidak
direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya
resiko perforasi dinding kolon.
 Foto retensi barium
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema
merupakan hal yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus.
Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto
polos abdomen untuk elihat retensi barium. Gambaran yang terlihat
yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon
berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan
disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto
enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat
tanda PH.1 Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup
signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan PH walaupun
zona transisi tidak terlihat. Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan
pertama kali oleh Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan balón
kecil dengan kedalaman yang berbeda- beda dalam rektum dan kolon.1
Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi
defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada
dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif
terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem
pencatat seperti poligraph atau komputer.
b. Pemeriksaan Histopatologi
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat
dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang
normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik
(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi
PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut.
Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf
(parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila
menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu
enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatis,
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin. Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan
asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi
gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan
adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis PH. Hanya
saja pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat
memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan
pewarnaan enolase spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode
peroksidase-antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan
diagnosis PH (Gerson, 2009)
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan
eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran
pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab
memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan
pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif
selanjurnya(Kartono,2010).
Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti
perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi. Noblett tahun 1969
mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat
keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih
sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi
pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut sebuah
penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum
bergantung pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan
seri yang diperiksa dan keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila
semua kriteria tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu
99,7%.9 Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea
dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan
ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsi isap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach (Rahman, 2009).

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV

INTERVENSI JURNAL

4.1 Ringkasan Jurnal

Judul artikel : Feasibility and efcacy of home rectal irrigation


in neonates and early infancy with Hirschsprung
disease
Peneliti : Lu, C., Xie, H., Li, H., Geng, Q., Chen, H., Mo, X., &
Tang, W.
Judul Jurnal : Pediatric surgery international
Tahun publikasi : 2019

Penyakit Hirschsprung (HSCR) merupakan penyakit yang ditandai dengan


tidak adanya sel ganglion (aganglionosis) di pleksus mienterik dan submukosa
usus distal, sehingga mengakibatkan kejang persisten pada usus yang terkena dan
usus fungsional mengalami obstruksi. Salah satu cara untuk mengatasi adanya
HSCR adalah dengan melakukan perawatan irigasi pada rektal. Jadi, irigasi rektal
dapat dilakukan dirumah selama periode neonatal dan awal masa bayi.
Penelitian ini merupakan sebuah studi prospektif dilakukan untuk
mengevaluasi kelayakan dan efikasi pemberian irigasi pada rektal di rumah
selama periode neonatal dan awal masa bayi untuk pasien dengan HSCR. Orang
tua akan belajar mengenai teknik irigasi rektal di rumah sakit dan setelah
menguasai teknik tersebut , irigasi rectal dapat dilakukan di rumah secara mandiri.
Kriteria inklusi adalah pasien yang didiagnosis dengan HSCR selama periode
neonatal; dan rectosigmoid, segmen panjang, dan kolon HSCR total. Kriteria
eksklusi adalah berat badan lahir rendah, anomali gastrointestinal non-HSCR; dan
kelahiran prematur dini. Antara Januari 2014 dan Desember 2016, total 147 anak-
anak didiagnosis dengan HSCR selama periode neonatal yang dirawat di Rumah
Sakit Anak-Anak Universitas Medis Nanjing yang telah memenuhi kriteria inklusi
dan terdaftar dalam penelitian. Semua pasien didiagnosis dengan HSCR
berdasarkan enema barium dan evaluasi patologis spesimen biopsi rektal selama
periode neonatal. Irigasi rektal rumah dilakukan pada neonatus didiagnosis
dengan HSCR untuk membersihkan sisa kotoran.

Enam pasien dikeluarkan karena adanya hasil biopsi dari sel-sel ganglion
yang ditemukan dalam rektal setelah periode neonatal. Seratus dua puluh dua
pasien berhasil menjalani 2-4 bulan irigasi rektal di rumah selama periode
neonatal, diikuti oleh prosedur SSPT ( single-stage pull-through) setelah periode
neonatal (kelompok A, n  = 122). Sebanyak sembilan belas pasien bukan
kandidat untuk irigasi rektal rumah, sehingga kolostomi dilakukan selama
periode neonatal kemudian diikuti oleh prosedur multi-tahap setelah periode
neonatal (kelompok B, n = 19). Serta sebanyak seratus dua puluh dua anak yang
sehat, sesuai usia dan jenis kelamin untuk kelompok A terdaftar sebagai
kelompok kontrol sehat untuk penilaian status gizi (kelompok C, n = 122). Berat
lahir, rasio jenis kelamin, segmen aganglionik, usia, dan skor enterokolitis
terkait-Hirschsprung (HAEC) pada saat diagnosis HSCR diukur untuk
mengevaluasi kelayakan irigasi rektal rumah pada neonatus dan awal masa
bayi. Indeks nutrisi, termasuk berat, panjang tubuh, serum albumin, serum
prealbumin, protein pengikat retinol serum, dan kejadian HAEC setelah 2-4
bulan irigasi rektal rumah yang berhasil, digunakan untuk menilai kemanjuran
irigasi rektal rumah. Penyempitan atau kebocoran anastomosis, eksoriasi
perianal, frekuensi defekasi, dan morbiditas HAEC pasca operasi dicatat untuk
mengevaluasi efek menguntungkan yang difasilitasi oleh adanya perawatan
irigasi rektal di rumah.
Irigasi rektal adalah teknik umum untuk persiapan usus pada pasien
dengan HSCR, dan dapat secara efektif mencuci sisa tinja di usus besar. Irigasi
rektal dilakukan dengan menempatkan tabung lunak ke distal usus besar dan
berulang kali menyuntikkan 0,9% NaCl untuk irigasi, kurang lebih sebanyak 100–
150 mL NaCl 0,9% atau sesuai kebutuhan. Pada saat studi, orang tua pasien diberi
instruksi cara melakukan irigasi rektal oleh dokter profesional dan perawat dengan
durasi pelatihan biasanya berlangsung sekitar 1 minggu. Irigasi rektal yang efektif
tidak akan mengakibatkan adanya distensi abdomen. Setelah teknik irigasi dubur
dikuasai, semua orang tua melakukan irigasi rektal 1-2 kali setiap hari di rumah
setelah pulang dari rumah sakit. Komunikasi antara masing-masing orang tua dan
dokter atau perawat setelah keluar dari rumah sakit tetap dilakukan kontinyu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan skor HAEC yang lebih


tinggi pada kelompok B dan usia yang lebih tua pada saat diagnosis HSCR
dikaitkan dengan kelompok B, dibandingkan dengan kelompok A. Rasio HSCR
rectosigmoid dengan non-rectosigmoid HSCR lebih tinggi pada kelompok A
daripada kelompok B. Serta tidak ada perbedaan dalam berat lahir, berat pada
saat diagnosis HSCR, dan rasio jenis kelamin antara kelompok A dan B. Tidak
ada perbedaan dalam berat lahir, panjang lahir, usia irigasi rektal di rumah, berat
irigasi rektal pasca-di rumah, dan serum albumin irigasi rektal post-home antara
kelompok A dan C. Tingkat HAEC pada periode irigasi rektal rumah pada
kelompok A rendah, namun, tingkat serum prealbumin irigasi rektal post-home
dan protein pengikat retinol secara signifikan lebih rendah pada kelompok A
daripada kelompok C. Sehingga kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini
yaitu adanya perawatan irigasi rektal di rumah selama periode neonatal atau
awal masa kanak-kanak adalah layak dan efektif pada pasien dengan HSCR.

4.2 Analisis SWOT


a. Strength
1) Orang tua belajar teknik irigasi rektal rumah di rumah sakit dan setelah
menguasai teknik, irigasi rektal rumah dilakukan.
2) Terapi ini dapat diberikan pada pasien yang didiagnosis dengan HSCR
(Hirschsprung disease) selama periode neonatal; dan rectosigmoid,
segmen panjang, dan kolon HSCR total
3) Penelitian dilakukan antara Januari 2014 dan Desember 2016
4) orang tua pasien diberi instruksi tentang cara melakukan irigasi dubur
oleh dokter profesional dan perawat; Durasi pelatihan biasanya
berlangsung kira-kira 1 minggu.
5) Setelah teknik irigasi rektal dikuasai, semua orang tua melakukan
irigasi rektum 1-2 kali setiap hari di rumah setelah pulang dari rumah
sakit.
6) Setiap pasien diikuti setidaknya 6 bulan setelah dilakukan (PT). Waktu
operasi PT, tingkat penyempitan atau kebocoran anastomosis, eksoriasi
perianal, frekuensi buang air besar, dan morbiditas HAEC
(Hirschsprung-associated enterocolitis) pasca operasi dicatat untuk
mengevaluasi efek menguntungkan yang memfasilitasi irigasi
pemulihan rumah.
7) Irigasi rektal, cara konvensional dan efektif untuk persiapan pra-
operasi, dapat meringankan obstruksi usus yang disebabkan oleh
segmen aganglionik pada pasien dengan HSCR.
b. Weakness
1) Terapi tidak dapat diberikan pada bayi berat badan lahir rendah;
anomali gastrointestinal non-HSCR; ventilasi mekanis; dan kelahiran
prematur dini.
c. Opportunity
1) Total 147 anak-anak didiagnosis dengan HSCR selama neonatal
periode dirawat di Rumah Sakit Anak-Anak Universitas Medical
Nanjing memenuhi kriteria inklusi dan terdaftar dalam penelitian.
2) Irigasi rektum rumah dapat menunda waktu PT dari periode neonatal
atau awal masa bayi hingga masa bayi, dengan peningkatan ruang
perut karena pertumbuhan dan perkembangan.
d. Treat
1) Irigasi rektal rumah efektif ketika tabung ditempatkan dengan hati-hati
ke dalam segmen dilatasi
2) Keterlambatan usia saat diagnosis, tinggi Skor HAEC, dan segmen
aganglionik yang diperluas mungkin merupakan parameter penting
untuk mengevaluasi kelayakan irigasi rektum rumah selama periode
neonatal

4.3 Implikasi Keperawatan


Dalam praktik keperawatan anak, penyakit hisprung menjadi penyakit
yang memiliki kegiatan personal hygiene yang tinggi karena menyangkut
feses. Sehingga, untuk mengontrol terjadinya risiko infeksi akibat personal
hygiene yang kurang baik dapat dilakukan kolaborasi dalam melakukan irigasi
rektal yang mampu dilakukan perawat secara mandiri. Irigasi rektal
merupakan cara konvensional dan efektif untuk persiapan pra-operasi, dapat
meringankan obstruksi usus yang disebabkan oleh segmen aganglionik pada
pasien dengan HSCR. Irigasi rektal adalah teknik umum untuk persiapan usus
pada pasien dengan HSCR, dan dapat secara efektif mencuci sisa tinja di usus
besar. Irigasi rektal dilakukan dengan menempatkan tabung lunak ke distal
usus besar dan berulang kali menyuntikkan 0,9% NaCl untuk irigasi, kurang
lebih sebanyak 100–150 mL NaCl 0,9% atau sesuai kebutuhan. Intervensi ini
sudah banyak diterapkan oleh perawat. Selain perawat, keluarga juga dapat
diberdayakan untuk melakukan irigasi rektal jika sudah terpapar informasi dan
cara yang tepat dari dokter atau perawat. Irigasi rektal diharapkan dapat
memberikan manfaat yang signifikan dalam mengontrol risiko infeksi dan
meningkatkan personal hygiene pada pasien anak dengan penyakit hisprung.
4.4 Pembahasan Jurnal Pendukung
Didukung juga dari jurnal dengan penerapan intervensi Irigasi
transanal atau TAI (Transanal Irrigation) dapat diterima pada bayi dengan
penyakit Hirschsprung. Penggunaan metode ini dapat diterapkan dalam
piramida bertahap perawatan, yang dapat diterapkan ketika perawatan
konservatif dan medis untuk disfungsi usus (seperti saran diet dan gaya hidup,
penggunaan obat pencahar secara teratur, supositoria, enema, atau evakuasi
manual) telah gagal. TAI juga dapat dipertimbangkan sebelum dilakukannya
perawatan bedah pada anak dengan disfungsi usus. TAI ini melibatkan irigasi
air volume besar pada dubur dan usus besar yang dilakukan dengan
memasukkan kateter (sering dengan balon) atau kerucut melalui anus.
Keluarga atau pengasuh dapat dilatih dan dibimbing dalam penggunaan TAI,
pelatihan harus mencakup menjelaskan kepada pengasuh gejala perforasi
kolon, dan serta bagaimana cara menangani bila dalam keadaan darurat.
Tingkat keberhasilan TAI bervariasi dalam berbagai kondisi yang mendasari
pasien, indikasi, dan keadaan penggunaan. Rata-rata tingkat keberhasilan TAI
pada anak - anak diperkirakan 78% untuk inkontinensia fekal, 78% untuk
sembelit, dan 84% untuk kondisi disfungsi usus lainnya (Mesiello, et all.
2017).
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
1. Hirschsprung adalah kelainan bawaan berupa tidak adanya sel ganglion
parasim-patis usus (pleksus submukosa Meissner dan pleksus mienterikus
Auerbach) mulai dari sfingter anus internal ke arah proksimal dengan
panjang segmen tertentu. Salah satu cara untuk mengatasi adanya HSCR
adalah dengan melakukan perawatan irigasi pada rektal. Irigasi rektal dapat
dilakukan dirumah selama periode neonatal dan awal masa bayi dan terbukti
efektif pada pasien dengan HSCR.
2. Hasil analisis SWOT yang telah dilakukan menemukan bahwa kekuatan
intervensi jurnal dan peluang penerapannya lebih banyak dibandingkan
dengan kelemahan dan ancaman sehingga diharapkan hasil analisis yang
telah dilakukan dapat memberikan manfaat dalam pemberian intervensi
khususnya pada pasien HSCR.
3. Implikasi dalam bidang keperawatan bahwa intervensi sudah banyak
diterapkan oleh perawat. Selain perawat, keluarga juga dapat diberdayakan
untuk melakukan irigasi rektal jika sudah terpapar informasi dan cara yang
tepat dari dokter atau perawat. Didukung juga dari jurnal dengan penerapan
intervensi Irigasi transanal atau TAI (Transanal Irrigation) dapat diterima
pada bayi dengan penyakit Hirschsprung.
5.2 Saran
1. Saran bagi perawat diharapkan dapat menerepkan intervensi jurnal dengan
menghadirkan ibu saat melakukan irigasi rectal agar ibu bisa
melakukannya secara mandiri saat dirumah.
2. Saran bagi orang tua diharapkan saat melukan intervensi kepada bayinya
sudah paham dengan informasi yang diberikan terkait tindakan irigasi rectal
dan tetap memperhatikan personal hygiene agar terhindar dari infeksi.
Daftar Pustaka

Badash, M. 2011. Hirschsprung’s Disease (Congenital Megacolon; Colonic


Aganglionosis).

Brennan, D. 2019. What is Hirschprung’s disease. Retrieved from:


https://www.webmd.com/children/what-is-hirschsprungs-disease#1. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2019.

Duthie, MG. 2011. Managing hirschprung’s disease. Retrieved from:


https://www.gponline.com/managing-hirschsprungs-disease/gi-
tract/article/1066814. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2019.

Gerson KE. Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5th edition.
Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475.

Hidayat M. dkk., 2010. Anorectal Function Of Hirsphrung’s Patients After


Definitive Surgery.The Indonesian Journal of Medical Science
Volume 2 No.2 April-June 2010.

Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.


Jakarta12.

Kementerian Kesehatan. 2017. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata


laksana penyakit hirschprung. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kessmann; J. 2012. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.


American Family Physician; 74: 1319-1322.

Lakshmi, P; James, W. 2011. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center;


44-46.

Lu, C., Xie, H., Li, H., Geng, Q., Chen, H., Mo, X., & Tang, W. (2019).
Feasibility and efficacy of home rectal irrigation in neonates and early
infancy with Hirschsprung disease. Pediatric surgery international, 1-9.
Doi: https://doi.org/10.1007/s00383-019-04552-8.

Mosiello, G., Marshall, D., Rolle, U., Crétolle, C., Santacruz, B. G., Frischer, J.,
& Benninga, M. A. (2017). Consensus review of best practice of transanal
irrigation in children. Journal of pediatric gastroenterology and
nutrition, 64(3), 343-352.

National Organization for Rare Disorders. 2017. Hirschsprung disease. Retrieved


from: https://rarediseases.org/rare-diseases/hirschsprungs-disease/

Nurko SMD. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional


Gastrointestinal Disorders. (2012).

Puri P. Hirschsprung’s Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London.


Spinger; 2010:page 453-462

Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction


Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric
Surgery. 2010;15:56-58.

Wagner, J. 2018. Hirschsprung disease. Retrieved from:


https://emedicine.medscape.com/article/178493-overview

Anda mungkin juga menyukai