Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN HIRSCHPRUNG DISEASE

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Keperawatan Anak

Dosen Pembimbing : Wahyudi ,S.Kep., Ns., MH.

Disusun Oleh :

Kelompok 10 Kelas 2B

1. Dwi Ari Febriyanti (P1337420220074)


2. Endah Puspita Ningrum (P1337420220079)
3. Faramona Primidyas Ramadhan (P1337420220089)
4. Sabihah Falasifa (P1337420220101)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO PROGRAM D-III

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2022
TINJAUAN TEORI

HIRSCHPRUNG DISEASE

A. Definisi
Hirschprung disease merupakan sebuah kelainan bawaan (cacat lahir) pada usus
disebabkan ketiadaan sel gangilia (saraf) pada dinding usus. Penyakit ini juga sering
disebut dengan aganglionosis atau megacolon (aganglionic megacolon).
Hirschprung disease menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari
springter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, termasuk
anus sampai rectum (Mendri & Prayogi, 2018).
Sebelum lahir, sel-sel anak biasanya tumbuh di sepanjang usus arah anus.
Dengan penyakit hirschprung disease, sel-sel saraf berhenti tumbuh secara cepat.
Mengapa sel-sel saraf berhenti tumbuh tidak jelas. Beberapa penyakit hirschprung
disease diwariskan, berarti itu diturunkan dari orang tua ke anak melalui gen. penyakit
hirschprung disease tidak disebabkan oleh apapun yang dilakukan ibu saat hamil
(Mendri & Prayogi, 2018).
Ada sejumlah gangguan di mana penyakit hirschprung disease adalah salah satu
penyakit menyertai. Gangguan-gangguan termasuk sindrom Down, sindrom
Waardenburg dan sindrom hipoventilasi pusat primer (Mendri & Prayogi, 2018).

B. Etiologi
Penyakit hirschprung disease biasanya pasien yang mempunyai riwayat keluarga
dan pada pasien penderita Syndrome Down, sekitar 5-15% dari pasien dengan
penyakit hirschprung disease juga memiliki trisomy 21. Kejadian pada bayi laki-laki
lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4 : 1 dan ada kenaikan
insidensi pada kasus-kasus dengan faktor risiko familial yang rata-rata mencapai 6%
(Mustaqqin & Sari, 2011).
Penyakit hirschprung disease terjadi ketika saraf di usus besar tidak terbentuk
dengan sempurna, sehingga usus besar tidak mendorong feses keluar, akibatnya feses
akan menumpuk di usus besar. Penyebab hirschprung disease belum diketahui secara
pasti tetapi ada berapa faktor kondisi yang diduga dapat meningkatkan resiko
ketidaksempurnaan pembentukan saraf usus besar antara lain karena faktor genetic
dan lingkungan, menderita penyakit bawaan lainnya yang diturunan seperti anak
penderita Syndrome Down dan penyakit jantung bawaan, mutase gen, kegagalan sel
neurat pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pasda
nyentrik dan sub mukosa dinding plexus (Wyllie, 2012).

C. Manifestasi Klinis
Penyakit hirschprung disease pada umumnya akan muncul manifestasi klinis
pada saat neonatal, namun pada beberapa kasus dengan penyakit hirschprung disease
ringan dapat muncul tanda dan gejala pada masa anak-anak sehingga terjadi
keterlambatan diagnosis. Menurut Wong (2013) tanda dan gejala yang timbul pada
anak dengan hirschprung disease diantaranya :
1. Pada kelahiran baru, tanda dapat mencakup :
Tidak keluarnya feses dalam hari pertama kelahiran (pengeluaran meconium lebih
dari 24 jam pertama), muntah yang mencakup muntahan cairan hijau disebut bile-
cairan pencernaan yang diproduksi di hati, distensi abdomen, adanya feses yang
menyemprot saat dilakukan pemeriksaan colok dubur merupakan tanda yang khas.
2. Pada anak-anak yang lebih tua, tanda dapat mencakup :
Distensi abdomen atau perut yang buncit, anak kesulitan dalam meningkatkan
berat badan atau peningkatan berat badan yang sedikit, adanya masalah dalam
penyerapan nutrisi yang mengarah pada gangguan dalam pertumbuhan, infeksi
kolon yang dapat mencakup enterocolitis, gejala dapat menckup konstipasi
berkepanjangan (Wong, 2013).

D. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding
usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai Panjang yang
bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan
neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik terbatas pada
rectosigmoid pada 75% penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel sel ganglion.
Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan
kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner
dan Auerbach dan ditemukan berkas berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi
asetikolinesterase yang tinggi diantara lapisan lapisan otot dan pada submucosa
(Wyllie, 2000).
Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan
esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah
craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi minggu
ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010). Abnormalitas
seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system, yaitu tidak
sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama Hirschsprung’s
disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya kemungkinan abnormalitas
selama perkembangan enteric nervous system dan menahan migrasi neural crest-
derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest tertahan, maka akan semakin
panjang segmen usus yang tidak memiliki sel ganglion (aganglionosis). Faktor lain
yang juga dicurigai sebagai penyebab berkembangnya Hirschsprung’s disease antara
lain berubahnya matriks 9 ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural
cell adhesion molecules (Georgeson, 2010).
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal pada bagian usus yang
berbeda ukuran penampangnya , tidak mempunyai ganglion parasimpatik intramural.
Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan
defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan
melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. Pada Morbus
Hirschsprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid ,
ini disebut penyakit Hirschsprung Klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan
pada anak laki laki , yaitu 5x lebih sering daripada anak perempuan. Bila daerah
aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschsprung segmen Panjang.
Bila aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon ananglionik total, dan bila
mengenai kolon dan hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal
(Pieter, 2005)

E. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis yang didasarkan pada anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik,
riwayat klinik, pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi akan sangat membantu
kita untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dari penyakit Hirschprung ini. Salah
satu pemeriksaan radiologi yang mempunyai akurasi yang tinggi adalah pemeriksaan
barium enema. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai diagnostik
pemeriksaan barium enema pada penyakit Hirschprung dengan Gold standard adalah
PA. Pada pemeriksaan barium enema didiagnosis penyakit Hirschprung bila tampak
daerah penyempitan yang terletak pada segmen aganglionik, daerah transisional di
rektum, rektosigmoid atau sigmoid, daerah dilatasi di atas daerah penyempitan,
kontraksi yang tidak teratur berbentuk gigi gergaji (sawtooth) di daerah aganglionik
serta indeks rektosigmoid kurang dari satu. Pada pemeriksaan histopatologi (PA)
diagnosis penyakit Hirschprung ditegakkan bila tidak ditemukan ganglion pada
pleksus Auerbach dan Meissneri. Setelah data diolah dengan menggunakan software
SPSS versi 12, dari tabel 2 x 2 diperoleh nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi
positif, prediksi negatif, dan akurasi masing-masing. 94%, 75%, 92%, 82% dan 90%.
Terdapat kesimpulan bahwa pemeriksaan Barium enema mempunyai nilai diagnostik
yang tinggi pada penyakit hirschprung.
Pemeriksaan penunjang menurut Mansjoer (2000 ) :
1. Pemeriksaan tinja : Makroskopis dan mikroskopis PH dan kadar gula juga ada
intoleransi gula biarkan kuman untuk mencari kuman
penyebab dan ujiretensi terhadap berbagai antibiotik.
2. Pemeriksaan darah : perifer lengkap, Analisa Gas Darah (AGD), elektrolit
(terutama Na, K, Ca, P Serum pada diare yang disertai
kejang).
3. Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
4. Duodenal intubation untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan
kualitatif terutama pada diare kronik.

F. Penatalaksanaan Medik

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka kondisi
penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi yang serius
seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011). Setelah
Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi definitif utama
(Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya pembedahan adalah
mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan menganastomis bagian usus yang
normal dengan rectum tanpa mempengaruhi kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al.,
2011). Sebelum dilakukan pembedahan, penderita harus mendapatkan beberapa
tindakan, antara lain pemberian cairan dan elektrolit, antibiotik serta irigasi
menggunakan salin hangat melalui rektal secara berkala untuk mengurangi tekanan
intraabdomen (dekompresi usus) dan mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009;
Moore, 2010). Berbagai teknik pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi
Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama yang
diperkenalkan Swenson dan Bill (1948), yaitu dengan merese 12 ksi bagian usus
aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma pada
saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal. Kemudian Rehbein
memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic colon sampai di atas
rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan dilatasi adekuat pada sisa
rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan bahwa konstipasi paska-
operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal digunakan sebagai terapi
definitif (Wilkinson, et al., 2015). Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik
pembedahan yang berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to
end anastomosis menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik
sebelumnya, teknik ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar
anus. Soave pada tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel dengan
menggunakan transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah
diseksi luar pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga
inervasi di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009). Total transanal endorectal pull-
through (TTEP) diperkenalkan pertama kali oleh De La Torre dan Ortega pada tahun
1998 dengan prinsip prosedur complete dissection dan mobisasi aganglionic colon
secara keseluruhan serta anastomosis kolon normal ke anus melalui muscular tube.
Teknik ini paling banyak digunakan oleh para ahli bedah karena komplikasi
konstipasi dan inkontinensia yang minimal (Wang, et al., 2009; Kamal, 2010).

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan pilihan
pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli bedah
pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada neonatus
penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada coloanal dan
dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy secara cepat dan
hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi (Jona, 2005;
Thomson, et al., 2015).

1. Penatalaksanaan medis menurut Biddulp and Stace (1999) adalah pengobatan


dengan cara pengeluaran diet dan pemberian cairan.
a. Diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan tambahan berupa apapun misalnya
air gula, sari buah segar, air teh segar, kuah sup, air tajin, ASI. Jangan
memberikan air kembang gula, sari buah air dalam botol karena cairan yang
terlalu banyak mengandung gula akan memperburuk diare.
b. Diare dengan dehidrasi sedang memerlukan cairan khusus yang
mengandung campuran gula dan garam yang disebut larutan dehidrasi oral
(LRO). LRO ini dibuat dengan mencampurkan sebungkus garam rehidrasi
kedalam 1 liter air bersih.
c. Diare dengan dehidrasi berat memerlukan cairan intravena disamping LRO.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Nelson (1999) antara lain :
a. Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan
enterik termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita.
b. Jas panjang bila ada kemungkinan pencernaan dan sarung tangan bila
menyentuh barang terinfeksi.
c. Penderita dan keluarganya dididik mengenal cara perolehan entero patogen
dan cara mengurangi penularan.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaandengan kelainan
bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan
kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolonatau usus halus ditemukan
sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).

2. Riwayat kesehatan.
a. Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah
lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah
dan diare.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksitotal
saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi
mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yangdiikuti
dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasiringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk
dapat terjadi.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya
e. Imunisasi
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Biasanya klien
akan terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi
dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi.
Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis. Pada
pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan
didapatkan
a. Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal.
Pemeriksaanrectum dan fese akan didapatkan adanya perubahan
feses seperti pita dan berbau busuk.
b. Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bisng usus.
c. Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.
 Sistem kardiovaskuler : Takikardia.
 Sistem pernapasan : Sesak napas, distres pernapasan.
 Sistem pencernaan : Umumnya obstipasi. Perut
kembung/perut tegang,muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar
terdapat diarekronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada
waktuditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot.
 Sistem saraf : Tidak ada kelainan.
 Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri
 Sistem endokrin : Tidak ada kelainan.
 Sistem integument : Akral hangat, hipertermi
 Sistem pendengaran : Tidak ada kelainan

4. Pemeriksaan diagnostik
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat
gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksiusus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada
segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktifitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan
aktifitas enzim asetilkolin eseterase

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DX 1 : Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
DX 2 : Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan.
DX 3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan
makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
DX 4 : Perubahan pola eliminasi (Konstipasi) b.d defek persyaratan terhadap
aganglion usus
DX 5 : Resiko kekurangan volume cairan b.d. muntah, diare, dan pemasukan
terbatas karena mual.
DX 6 : Resiko tinggi infeksi b.d. imunitas menurun dan proses penyakit

C. INTERVERENSI KEPERAWATAN
Dx. 1
Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

NOC : Respiratory status


Kriteria Hasil :
1) Frekuensi pernapasan dalam batas normal
2) Irama nafas sesuai yang diharapkan
3) Ekspansi dada simetris
4) Bernafas mudah
5) Keadaan inspirasi

NIC : Respiratory monitoring

Kriteria Hasil :
1) Monitor frekuensi, ritme, kedalamam pernafasan.
2) Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot tambahan.
3) Monitor pola nafas bradipnea , takipnea, hiperventilasi.
4) Palpasi ekspansi paru
5) Auskultasi suara pernafasan
Oxygen therapy

1) Atur peralatan oksigenasi


2) Monitor aliran oksigen.
3) Pertahankan jalan nafas yang paten
4) Mertahankan posisi pasien

Dx. 2
Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan
NOC : Pain level

Kriteria hasil:

1) Mengenali faktor penyebab.


2) Menggunakan metode pencegahan.
3) Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri.
4) Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5) Mengenali gejala – gejala nyeri

NIC : Pain management

Kriteria Hasil :

1) Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan


onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor –
faktor presipitasi
2) Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3) Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri,
4) Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan (ex : temperatur ruangan , penyinaran).
5) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya: relaksasi, guided
imagery, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)

Analgetik administration

1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian


obat.
2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi.
3) Pilih analgetik yang diperlukan / kombinasi dari analgetik ketika pemberian
lebih dari satu.
4) Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

Dx. 3

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanantak


adekuat dan rangsangan muntah.

NOC : Status nutrisi

Kriteria hasil :

1) Stamina
2) Tenaga
3) Kekuatan menggenggam
4) Penyembuhan Jaringan
5) Daya tahan tubuh
6) Pertumbuhan

NIC : Manajemen Nutrisi


Kriteria Hasil :

1) Timbang berat badan


2) Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberikan ASI
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vit c
4) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien

Dx. 4
Perubahan pola eliminasi (Konstipasi) b.d defek persyaratan terhadap aganglion usus

NOC : Bowel Elimination

Kriteria Hasil :
1) Pola eliminasi dalam batas normal
2) Warna feses dalam batas normal
3) Feses lunak/ lembut dan berbentuk
4) Bau feses dalam batas normal ( tidak menyengat)
5) Konstipasi tidak terjadi
NIC : Bowel Irigation

1) Tetapkan alas an dilakukan Tindakan pembersihan sistem pencernaan.


2) Pilih pemberian enema yang tepat
3) Jelaskan prosedur pada klien
4) Monitor efek samping dari Tindakan irigasi atau pemberian oral
5) Catat keuntungan dari pemberian enema laxatif
6) Informasikan pada pasien kemungkinan terjadi perut kejang atau keinginan
untuk defikasi

Dx. 5
Resiko kekurangan volume cairan b.d. mutah, diare, dan pemasukan terbatas karena
mual
NOC : Fluid Balance

Kriteria hasil :

1) Keseimbangan intake dan output 24 jam


2) Berat badan stabil
3) Tidak ada mata cekung
4) Kelembaban kulit dalam batas normal
5) Membrane mukosa lembab

NIC : Fluid Management

1) Timbang popok jika diperlukan


2) Pertahankan intake dan output yang akurat
3) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah)
4) Monitor sign
5) Kolaborasi pemberian IV
6) Dorong masukan oral
7) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
Dx. 6
Resiko tinggi infeksi b.d. imunitas menurun dan proses penyakit
NOC : Imune status

Kriteria hasil :

1) Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi


2) Menjelaskan proses penularan penyakit
3) Menjelaskan factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
4) Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
5) Menunjukan perilaku hidup sehat

NIC : Infection Protection

Kriteria hasil :

1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local


2) Monitor ketentuan terhadap infeksi
3) Inspeksikan kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, dan
drainase
4) Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
5) Dorong masukan nutrisi yang cukup
6) Dorong istirahat

D. Evaluasi
1) Pola eliminasi berfungsi normal
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi
3) Nyeri pada abdomen berkurang atau hilang
4) Kecemasan orang tua berkurang
5) Rewel pasien berkurang dan mulai nyaman dengan terpasangnya kolostomi
DAFTAR PUSTAKA

Susanti, Erna Dwi. (2020). STUDI DOKUMENTASI KONSTIPASI PADA PASIEN AN.S
DENGAN HIRSCHPRUNG DISEASE. Tersedia:
http://repository.akperykyjogja.ac.id/307/1/GABUNGAN%20LENGKAP.pdf [10 Maret
2022]

Sari, Mega Permata. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. S YANG MENGALAMI
HIRSCHSPRUNG POST OPERASI TUTUP KOLOSTOMI DI GEDUNG A RUANG RAWAT
BEDAH ANAK RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO. Tersedia:
http://library.poltekkesjakarta1.ac.id/repository/index.php?
p=show_detail&id=1330&keywords= [10 Maret 2022]

Putri (2016) tersedia : https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1014028101-3-BAB%202.pdf

lassiyani Surya, Putu Ayu Ines dan Made Dharmajaya, I. Gejala Dan Diagnosis Penyakit
Hirschsprung.

Nila, Arnita. Makalah Hirscprun. Tersedia :


https://www.academia.edu/8504155/Makalah_hirscprung

Anda mungkin juga menyukai