Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MAKALAH ATRESIA ANI

DISUSUN OLEH :

Hendia Romi ( 2111316028 )

Uci Salmi (20111316014)

Delfira Gusliana (2111316012)

Nurhidayati (2111316013)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai
dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk
anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional (Kartono,1993)
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat itu penyakit ini lebih di kenal dengan istilah
aganglionosis kongenital.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion (Kartono, 1993)
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di Indonesia
tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung. (Munahasrini, 2012)
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih
banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada bayi
aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan
termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. (Munahasrini,
2012)
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan
konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan
faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan
yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri
anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada
para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai penyakit hisprung.
Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses pembelajaran pada mata kuliah
keperawatan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hisprung


Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi,
karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai
persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda
untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada
usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik
karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).
Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus.
Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)

2.2 Etiologi Hisprung


Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus,
mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 %
sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga
terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down
Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Budi, 2010).

2.3 Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic
hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak
adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily
& Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap
daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S
& Wilson ).

2.4 Manifestasi Klinis


1. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
3. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
4. Nyeri abdomen dan distensi.
5. Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
1. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai
mekonium.
2. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara
spontan maupun dengan edema.
3. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut.
4. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare
berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
5. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)

• Masa Neonatal :
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2. Muntah berisi empedu.
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.
• Masa bayi dan anak-anak :
1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh (Betz, 2002 : 197)

Komplikasi
Gawat pernapasan (akut)
1. Enterokolitis (akut)
2. Striktura ani (pasca bedah)
3. Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)

1. Obstruksi usus
2. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
3. Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos.
Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas
terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah, 1997 : 139)

1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.


2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.

2.6 Penatalaksanaan
Menurut Yuda (2010), penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu pembedahan dan
konservatif.
1) Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula
dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan
hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan).
Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:

a. Prosedur duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di
belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian
posterior kolon normal yang telah ditarik.
b. Prosedur swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada
kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter
dilakukan pada bagian posterior
c. Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh kemudian
kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara
kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.

2) Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan sonde
lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HISPRUNG

STUDY KASUS
Seorang anak M (pr) berusia 1 bulan dibawa ibunya ke rumah sakit pada tanggal 2 Juni 2008
dikarenakan perutnya kembung dan tidak bisa BAB. Setelah mendapatkan pelayanan dari rumah
sakit, ibu mengatakan, anaknya baru bisa BAB jika diberi obat lewat dubur, anaknya sudah tidak
muntah dan sudah bisa BAB, jadi sudah sembuh, mestinya boleh pulang, ibu bingung karena
dokter umum membolehkan pulang dan rawat jalan tapi dokter spesialis anak belum boleh
karena sekalian mau di operasi.

3.1 Pengkajian
1. Biodata
Data bayi
Nama : By. M
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal Lahir : 8 Mei 2021
Tanggal MRS : 2 juni 2021
BB/PB : 2900 g/ 54cm
Dx medis : hirsprung
Pengkajian : 9 Juni

Data Ibu
Nama : Ny. K
Pekerjaan : Tidak kerja
Pendidikan : SLTA
Alamat solok
Nama ayah : Tn T
Pekerjaan : petani
Pendidikan : SLTA
2. Keluhan utama
Tidak bisa BAB sehingga perut anak besar sehingga tidak mau makan dan minum

3. Riwayat penyakit sekarang


Kembung, pasien muntah setelah minum susu, muntah berupa susu yang diminum,
muntah sejak 3 hari yang lalu.

4. Riwayat penyakit sebelumnya


Lahir spontan ditolong dokter, langsung boleh pulang, tidak ada kelainan.

5. Riwayat kesehatan keluarga


Tidak ada saudara yang sakit seperti ananknya

6. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/60mm/hg
Denyut nadi : 114/menit
Suhu tubuh : 36,5
RR : 40/menit
b. Pemeriksaan persistem
B1 reathing : normal
B2 Blood : normal
B3 Brain : normal
B4 Bladder : normal
B5 Bowel : kembung, bising usus 10x/ menit, muntah,
Peningkatan nyeri abdomen
B6 Bone : normal

7. Data Tambahan :

Radiologi :
• Torax Foto (2-6-08):
Cor : besar & bentuk kesan normal
Pulmo : tidak tampak infiltrat, sinus phrenicocostalis D.S tajam
Thymus : positif
Kesimpulan : foto torax tidak tampak kelainan
• Baby gram (2-6-08):
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar
• BOF (2-6-08)
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar (menyokong gambaran
Hirsprung Disease
• Colon in loop (5-6-08):
Tampak pelebaran rectosigmoid
Tampak area aganglionik di rectum dengan jarak ± 1,5 cm dari anal dengan
daerah hipoganglionik diatasnya.
Tampak bagian sigmoid lebih besar dari rectum.
Kesimpulan : Sesuai gambaran Hirschprung Diseases

Analisis Data
No DATA ETIOLOGI MASALAH
1 S: Ibu; Aganglionisis parasimpatikus Konstipasi
-Anaknya baru bisa BAB jika ↓
diberi obat lwat dubur. Mesenterikus
-BAB 1-2×/hr, konsisitensi ↓
lembek, berwarna kuning. Daya dorong lemah

O: Feses tidak bisa keluar
- Tampak distensi abdomen. ↓
- Lingkar abdomen 39 cm. Konstipasi
- Bising usus 10×/mnt

2. S: Kurang pengetahuan tentang Cemas orang


- Ibu mengatakan, kondisi penyakit dan terapi yang tua (Ibu)
anaknya sudah tidak muntah diprogramkan
dan sudah bisa BAB, jadi
sudah sembuh, mestinya
boleh pulang.
- Ibu mengatakan, saya
bingung karena dokter satu
membolehkan pulang dan
rawat jalan tapi dokter
satunya belum boleh karena
sekalian mau dioperasi.

O:
- Wajah tampak kusut
- Kurang perhatian (rambut
dan baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu
lain kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt

3.2 Diagnosa dan Intervensi


No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Konstipasi Tujuan: konstipasi dapat 1. Berikan 1. Untuk
berhubungan teratasi dalam 4 × 24 jam microlac rectal mangetahui
dengan Kriteria hasil: tiap hari kondisi usus
aganglionisis 1. BAB teratur 3-4 ×/hr melalui feses
parasimpatis 2. Konsisitensi lembek 2. Berikan ASI 2. ASI tetap
area rektum 3. Distensi abdomen diberikan
berkurang secara
4. Lingkar abdomen kontinyu untuk
berkurang memenuhi
nutrisi dan
cairan tubuh
anak
3. Observasi 3. Adanya bunyi
bising usus, abnormal bisa
distensi menunjukkan
abdomen, adanya
lingkar komplikasi dari
abdomen fungsi GI
4. Observasi 4. Indikator
frekuensi dan kembalinya
karakteristik fungsi gastro-
feses tiap BAB intestinal (GI),
mengidentifika
si ketepatan
intervensi.
5. Membantu 5. Intake cairan
memperlancar yang adekuat
defekasi untuk dapat
melunakkan membantu
feses dengan melunaakkan
menambah feses
intake cairan
2 Ansietas Tujuan: Ansietas (ibu) 1. Anjurkan pada 1. Pengungkapan
(ibu) berkurang dalam 24 jam orangtua untuk perasaan
berhubungan Kriteria Hasil: mengekspresikan membantu
dengan 1. Ibu mangungkapkan perasaan mengurangi
kurang suatu pemahaman yang rasa cemas
pengetahuan baik tentang proses 2. Gunakan 2. Komunikasi
tentang penyakit anaknya komunikasi yang tepat
penyakit dan 2. Ibu memahami terapi terapeutik sebagai wujud
terapi yang yang diprogramkan tim (kontak tubuh, rasa empati
diprogramka dokter sikap tubuh)
n 1. Jelaskan pada ibu 3. Jelaskan pada 3. Informasi
tentang penyakit orangtua membantu
yang diderita mengenai orangtua
anaknya. penyakit anak, memahami
2. Berikan ibu jadwal perawatan dan kondisi
pemeriksaan pengobatan penyakit anak,
diagnostic perawatan dan
3. Berikan informasi pengobatan
tentang rencana 4. Libatkan 4.Orangtua
operasi orangtua dalam merasa tenang
4. Berikan penjelasan perawatan anak
pada ibu tentang 5. Anjurkan berdoa 5.Dengan berdoa
perawatan setelah sesuai keyakinan membuat hati
operasi tenang, cemas
5. Meningkatkan berkurang
pengetahuan ibu

3.3 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No Diagnosa Implementasi Evaluasi


1. Konstipasi 1. Memberikan microlac S: Ibu;
berhubungan rectal tiap hari -Anaknya baru bisa BAB jika
dengan 2. Memberikan ASI diberi obat lwat dubur.
aganglionisis 3. Mengobservasi bising -BAB 1-2×/hr, konsisitensi
parasimpatis usus, distensi abdomen, lembek, berwarna kuning.
area rektum lingkar abdomen
4. Mengobservasi frekuensi O:
dan karakteristik feses tiap - Tampak distensi abdomen.
BAB - Lingkar abdomen 39 cm.
5. Mengetahui peristaltic - Bising usus 10×/mnt
usus A: Konstipasi teratasi.
6. Membantu memperlancar P : rencana tindakan 1 dihentikan,
defekasi untuk rencana 2, 3,4 dan 5 dilanjutkan
melunakkan feses denagn
menambah intake cairan
2 Ansietas (ibu) 1. Menganjurkan pada S:
berhubungan orangtua untuk - Ibu mengatakan, kondisi anaknya
dengan kurang mengekspresikan perasaan sudah tidak muntah dan sudah bisa
pengetahuan 2. Menggunakan komunikasi BAB, jadi sudah sembuh,
tentang terapeutik (kontak tubuh, mestinya boleh pulang.
penyakit dan sikap tubuh) - Ibu mengatakan, saya bingung
terapi yang 3. Menjelaskan pada orangtua karena dokter satu membolehkan
diprogramkan mengenai penyakit anak, pulang dan rawat jalan tapi dokter
perawatan dan pengobatan satunya belum boleh karena
4. Melibatkan orangtua dalam sekalian mau dioperasi.
perawatan anak
5. Menganjurkan orangtua O:
(ibu) berdoa sesuai - Wajah tampak kusut
keyakinan - Kurang perhatian (rambut dan
baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu lain
kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt
A: Ansietas ibu berkurang
sebagian

P : Semua rencana tindakan


dilanjutkan

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik masalah
fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak dengan
penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan
agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi
bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan
benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang
diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat
maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

4.2 SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit
hisaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica
Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC

April 13, 2012 Munahasriani


http://munahasrini.wordpress.com/2012/04/13/askep-anak-dengan-hisprung/

Anda mungkin juga menyukai