Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH ETIK LEGAL KEPERAWATAN

Resume Materi
Isu Etik Do Not Resuscitate (DNR) Dalam Lingkup Keperawatan Gawat
Darurat

Oleh Kelompok 5 :
1. Afiatur Rohimah 216070300141025
2. Daniar Septianing Faradina 210670300141023
3. Dwi Wiyono 216070300141010

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas Resume Materi Isu Etik
Do Not Resuscitate (DNR) Dalam Lingkup Keperawatan Gawat Darurat
ini dapat terselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Legal Etik Keperawatan
Selama proses penyusunan tugas ini penulis dibimbing dan dibantu oleh
berbagai pihak, oleh karenanya itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Ns. Retno Lestari, S.Kep., M.Nurs. Semoga amal kebaikan diterima oleh
Allah SWT. Dalam penyusunan tugas ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, untuk penulis sangat mengharapkan kritik dan sarana untuk
perbaikan dimasa mendatang.

Malang, 25 November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan merupakan salah satu profesi profesional yang ada dalam
dunia kesehatan. Maka dari itu sebagai tenaga profesional, perawat harus
memiliki kode etik dalam memberikan pelayanan keperawatan sehingga
masyarakat dapat menerima pelayanan keperawatan yang bermutu. Berdasarkan
kode etik yang menjadi landasan dalam pemberian pelayanan kesehatan yang
mencegah terjadinya kesalahpahaman dan konflik karena merupakan perilaku
yang dianggap benar secara umum dan berdasarkan pertimbangan dari profesi
tertentu (Nasir, 2019).
Perawat dalam menerapkan kode etik keperawatan seringkali dihadapkan
oleh kondisi yang bertentangan dengan kode etik keperawatan atau disebut juga
dilema etik. Dilema etik merupakan suatu masalah yg sulit untuk diputuskan,
dimana tidak ada alternative yg memuaskan atau suatu situasi dimana alternative
yang memuaskan, tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang
benar atau salah dan untuk membuat keputusan etis, seseorang harus bergantung
pada pemikiran yang rasional. Kerangka pemecahan dilema etik banyak
diutarakan beberapa ahli yang pada dasarnya menggunakan kerangka proses
keperawatan dengan pemecahan masalah secara ilmiah.
Salah satu contoh dilema etik yang dapat ditemui dalam keperawatan gawat
darurat yaitu adanya istilah do not resuscitation (DNR). Do Not Resuscitate
(DNR) merupakan keputusan untuk tidak melanjutkan tindakan CPR setelah 30
menit tidak menunjukan ada Return of spontaneous circulation (ROSC). Pasien
dengan DNR termasuk dalam kategori sebagai pasien menjelang ajal. Salah satu
kompetensi perawat IGD menurut Emergency Nursing Association yaitu
memecahkan masalah dengan menggunakan prinsip etik dalam pengambilan
keputusan dan memiliki tanggung jawab dalam memberikan perawatan menjelang
ajal (Wolf, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk memaparkan
lebih lanjut terkait isu etik tentang Do Not Resuscitation dalam keperawatan
gawat darurat.

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Menganalisa isu-isu etik dalam keperawatan gawat darurat terkait tindakan
Do Not Resuscitation (DNR) pada pasien
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi konsep etika dalam keperawatan
2) Mengidentifikasi pengertian dan legal aspek dari tindakan Do Not
Resuscitation (DNR)
3) Mengidentifikasi konsep keperawatan gawat darurat
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan dan juga sumber
referensi terkait konsep isu etik dalam keperawatan gawat darurat tentang isu Do
Not Resuscitation (DNR) pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Etika dalam Keperawatan Gawat Darurat


a. Pengertian Etika Istilah dan pengertian etika secara kebahasaan / etimologi,
berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau
adat kebiasaan (custom). Biasanya etika berkaitan erat dengan perkataan moral
yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan
yang buruk. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-
norma tertentu. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah
berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan dengan
nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal.
b. Kode Etik Keperawatan Gawat Darurat
1) Perawat emergency memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi
martabat kemanusiaan dan keunikan klien
2) Perawat emergency mempertahankan kompetensi dan tanggung jawab
dalam praktik keperawatan
3) Perawat emergency melindungi klien disaat mendapatkan pelayanan
kesehatan yang tidak cakap, tidak legal sehingga keselamatan nya terancam
4) Perawat emergency selalu belajar, mengimplementasikan dan
meningkatkan pengetahuan
5) Perawat emergency bekerja sama dengan profesional kesehatan lain dan
masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan

2.2 Konsep Teori dan Legal Aspek tindakan Do Not Resuscitation (DNR)
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat,
dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila
pernapasan maupun jantung pasien berhenti. DNR merupakan salah satu hal yang
menjadi dilema etik. Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana
tidak ada alternative yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternative yang
memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang
benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus tergantung
pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional (Suhaemi, 2004).
Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien
maupun di catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau
keperawatan, atau untuk pasien di rumah. Perintah DNR di rumah sakit
memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha menghidupkan pasien
kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di rumah, maka
perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh
melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk
CPR.
a. Analisis Penentuan kriteria DNR Dari Beberapa Penelitian
Berdasarkan studi jurnal dari American Heart Association (AHA),
menyatakan bahwa Cardiac Arrest yang terjadi pada kasus trauma secara
umum pada dasarnya sama dengan manajemen pada kasus non trauma pada
umumnya yaitu: dimulai dari manajemen airway, breathing, dan circulation
(AHA, 2010).
Dengan penyebab cardiac arrest yang harus diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan tindakan yang tepat. Meskipun resusitasi
(CPR) lebih prioritas dilakukan pada korban trauma yang mengalami syok
atau nadi yang lemah, trauma lain yang mungkin terjadi pada korban juga
harus tetap diperhatikan karena tindakan yang tepat secara keseluruhan
diharapkan dapat menyelamatkan nyawa korban.
Ketika terjadi trauma multi sistem atau trauma juga yang mengenai
kepala dan leher, kestabilan tulang servikal juga harus diperhatikan. Jaw thrust
harus dilakukan untuk meminimalisir resiko terjepitnya nervus pernafasan
pada saat membuka jalan napas. Jika terjadi distress napas atau perdarahan di
sekitar wajah korban, maka harus dilakukan pemberian bantuan napas dengan
menggunakan Non-rebreathing mask atau Bag Valve Mask (BVM). Hentikan
perdarahan dengan memberikan balut tekan, dan saat korban mengalami gagal
napas yang berlanjut pada cardiac arrest, berikan rescue breathing dan
tindakan resusitasi bila memungkinkan (AHA, 2010). Hal ini dapat kita
simpulkan bahwa pada pasien yang memiliki kemungkinan hidup sangat kecil
pun tetap kita berikan bantuan hidup dasar, meskipun pada akhirnya pasien
akan meninggal.
Pernyataan ini juga didukung tulisan Gordon dkk yang dipublikasikan
pada The Lancet tahun 1995 yang berjudul Decision and Care at The end of
life. Gordon menyatakan bahwa sebenarnya tindakan DNR itu tetap berfokus
pada proses penyembuhan, perawatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan
bimbingan atau persiapan menghadapi kematian seperti pasien pada
umumnya. Hanya saja yang membedakan adalah tindakan yang diberikan saat
pasien mengalami henti nafas atau henti jantung. Pasien tidak perlu dilakukan
resusitasi, hanya dibantu atau dibimbing saja untuk mencapai kematian yang
damai.
Sebuah hasil review literatur oleh Mc Cormick dan Andrew J tahun
2011 yang dipublikasikan pada jurnal Social Work tentang hak untuk
meninggal dengan tenang dan budaya yang melatar belakanginya. Disini
dibahas bahwa kebudayaan setempat sangat berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan oleh tim medis maupun oleh keluarga untuk
memutuskan DNR pada pasien. Di negara barat pengambilan keputusan
seperti ini sering kali melalui pertimbangan yang matang dan telah melewati
proses konsultasi pada dokter atau tim medis yang merawat pasien. Sehingga
nantinya tidak akan ada penyesalan atau rasa bersalah dari keluarga maupun
dari tim medis yang merawat pasien.
Berbeda sekali dengan di Indonesia, sampai saat ini belum diatur
secara tegas dan jelas tentang prosedur pengambilan keputusan tindakan DNR.
Meskipun beberapa rumah sakit telah membuat form permintaan DNR, tetapi
form ini belum bisa menjamin legalitas tindakan DNR yang diberikan pada
pasien. Dikarenakan belum adanya patokan yang jelas dan kapan tindakan
DNR itu bisa diberikan pada pasien yang kontra indikasi dilakukan CPR.
Hal ini didukung hasil penelitian dari Van der Heide, dkk yang
menuliskan bahwa di 6 negara maju di dataran Eropa angka permohonan
tindakan DNR meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh
kebudayaan dan kehidupan setempat yang masyarakatnya mudah bangkit dan
tidak terlalu memikirkan masa lalu. Sehingga ketika dokter memberikan vonis
prognosis pasien memburuk, maka keluarga segera mengambil tindakan untuk
berdiskusi dan mempertimbangkan permohonan untuk dilakukan tindakan do
not resuscitation. Inilah salah satu yang melatar belakangi mengapa angka usia
lanjut di negara maju cenderung lebih rendah daripada negara berkembang
lainnya.
b. Kriteria RJP dan DNR
Kriteria pasien yang akan dihentikan RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di
bawah ini, yaitu:
1. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan.
2) Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan
batang otak tidak perlu dilakukan RJP
3) Ada yang lebih bertanggung jawab
4) Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon.
5) Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
6) Usia lanjut diatas 65 tahun
7) Penderita yang menderita demensia berat, dan mungkin sedang atau yang
mengalami kemunduran fisik sebelum henti jantung
8) Penderita dengan kanker
9) Penderita HIV/AIDS
10) Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apnea, tidak
ada nadi dan tidak ada irama ECG (flat)
11) Pasien dengan luka tembus/tusuk yang ditemukan dalam kondisi apnea
dan tidak ada nadi
12) Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
13) Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah
15 menit melakukan resusitasi tidak berespon
14) Tanda kematian yang irreversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat di identifikasi yaitu :
1) Lebam mayat, muncul sekitar 20-30 menit setelah kematian, darah akan
berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi.
Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
2) Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah
kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian
3) Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negative
4) Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga
hampir dapat dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan
hidup.
c. Pertimbangan status DNR
DNR diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yaitu:
1) Sudah tidak ada harapan hidup walaupun pasien itu masih sadar, misal
pasien dengan kanker stadium empat parah, jadi tidak perlu adanya
resusitasi.
2) Pasien yang pada penyakit kronis dan terminal.
3) Pasien dengan kontraindikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia
(dibiarkan mati ataupun suntik mati karena kehidupan yang sudah tidak
terjamin).
4) Kaku mayat.
5) Dekapitas: yaitu suatu tindakan untuk memisahkan kepala janin dari
tubuhnya dengan cara memotong leher janin agar janin dapat lahir per
vaginam. Dekapitasi dilakukan pada persalinan yang macet pada letak
lintang dan janin sudah meninggal.
6) Dekomposisi.
7) Lividitas dependen.
8) Jelas trauma kepala atau tubuh yang masif yang tidak memungkinkan
untuk hidup (pastikan pasien tidak memiliki tanda-tanda vital)
d. SKRINING DNR

A. Pengertian
Resusitasi:
Intervensi medis yang bertujuan untuk memulihkan aktivitas jantung atau
pernapasan, dan yang tercantum di sini:
1. Pacu jantung (penekanan dada)
2. Defibrilasi
3. Assisted ventilasi
4. endotrakeal intubasi
5. Pemberian obat kardiotonik
· DNR Order : Perintah untuk menahan resusitasi.
Sebuah Order DNR dianggap hanya jika satu atau lebih kondisi berikut ada:
1. Terdapat bukti legal baik fotocopi maupun asli yang berisi order DNR.
2. Pasien memakai Medallion /gelang DNR.
3. Untuk pasien yang berada dalam fasilitas perawatan kesehatan berlisensi
atau yang sedang ditransfer antara fasilitas kesehatan berlisensi,
dokumen yang ditulis dalam catatan permanen medis pasien yang berisi
pernyataan "Jangan Resusitasi", "Kode Tidak Resusitasi", ’Do Not
Resuscitate (DNR)” atau "Tidak CPR", telah dilihat oleh personil tenaga
medis. Keaslian dokumen ini harus secara verbal didokumentasikan oleh
saksi dari fasilitas perawatan kesehatan

2. Tujuan
Untuk menetapkan kriteria ketika menentukan kelayakan menahan tindakan
resusitasi yang memenuhi persyaratan perundang-undangan dan hak-hak
pasien

C. Kebijakan
Tidak boleh dilakukan resusitasi pada pasien yang mempunyai DNR,
kecuali sampai belum dibuktikan dengan keterangan yang jelas dan legal.
4. Prosedur
1. Semua pasien memerlukan evaluasi medis segera.
2. Semua pasien dengan tanda-tanda vital tidak ada yang tidak "jelas
mati," harus diperlakukan dengan tindakan resusitasi. Tanda jelas
mati (triple zero):
Jelas pasien meninggal adalah mereka ditemukan non-bernapas,
pulseless, asystolic, dan memiliki satu atau lebih dari jangka panjang
indikasi berikut kematian.
o Dekapitasi
o Rigor Mortis tanpa hypothermia
o Profound dependent lividity
o Decomposition (pembusukan)
o Mumifikasi / putrifikasi
o Insenerasi
o Pembekuan mayat
3. Identifikasi yang benar dari pasien sangat penting dalam proses ini.
Jika tidak mengenakan Medallion DNR, pasien harus positif
diidentifikasi sebagai orang yang disebutkan dalam Orde DNR. Hal
ini biasanya akan memerlukan baik kehadiran saksi atau band
identifikasi.
4. Ketika Order DNR adalah operasi, jika pasien tidak teraba nadi dan
apneu, resusitasi akan ditahan atau dihentikan. Pasien menerima
perawatan lengkap selain resusitasi (misalnya, untuk obstruksi jalan
napas, nyeri, dyspnea, perdarahan, dll)
5. Sebuah Order DNR dianggap batal dan tidak berlaku di bawah salah
satu kondisi berikut. Jika ada dari keadaan ini terjadi, pengobatan
yang tepat akan terus atau segera dimulai, termasuk resusitasi, jika
perlu.
a. Pasien sadar dan menyatakan bahwa ia ingin resusitasi.
b. Ada keberatan atau perselisihan dengan anggota keluarga atau
pengasuh.
c. Ada pertanyaan/ perselisihan mengenai keabsahan Order DNR.
6. Petunjuk penting lainnya, seperti informal "Wasiat hidup" atau
instruksi tertulis tanpa agen untuk Perawatan Kesehatan, mungkin
ditemui. Jika hal ini terjadi, resusitasi harus dimulai, jika ada
indikasi.
7. Jika agen perawatan resusitasi tidak dilakukan, petugas medis harus
menginformasikan agen konsekuensi dari permintaan.
8. Order DNR harus dihormati selama transportasi rujukan. Dalam hal
pasien berakhir selama transportasi, berikut harus dipertimbangkan:
a. Kecuali secara khusus meminta, pasien tidak harus
dikembalikan ke kediaman pribadi atau fasilitas keperawatan
terampil.
b. Lanjutkan ke rumah sakit tujuan atau kembali ke rumah sakit
yang berasal jika waktu tidak berlebihan.
c. Jika waktu transportasi akan berlebihan, mengalihkan ke rumah
sakit terdekat.
9. Untuk semua kasus ketika seorang pasien dengan Order DNR
ditemui, petugas harus mendokumentasikan berikut pada laporan
perawatan pra-rumah sakit mereka:
1. Nama dokter pasien menandatangani Order DNR.
2. Tanggal perintah itu ditandatangani.
3. Jenis DNR Order (DNR Medallion, pra-rumah sakit DNR Form,
ditulis urutan bagan fasilitas perawatan kesehatan berlisensi).
4. Nama orang yang mengidentifikasi pasien jika Medallion/ gelang
DNR bukanlah dasar keputusan.
5. Unit Terkait
1. UGD
2. Ambulance
3. Rawat inap
4. ICU

2.3 Konsep Keperawatan Gawat Darurat


a. Definisi Keperawatan Gawat Darurat
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga kelompok dan masyarakat,
baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya
kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-
hari secara mandiri. Gawat darurat (Emergensi) adalah keadaan yang
membutuhkan tindakan segera yang untuk menanggulangi ancaman terhadap
jiwa atau anggota badan yang timbul secara tiba-tiba. Keterlambatan
penanganan dapat membahayakan klien, mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau mengancam kehidupan.Penderita gawat darurat adalah penderita yang
oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi)
yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh
atau meninggal. Pada Keperawatan Gawat Darurat diperlukan asuhan
keperawatan yang merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien pada berbagai
tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan
menggunakan metodologi pemecahan masalah melalui pendekatan proses
keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika
keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya. Dalam hal
ini aspek etik sangat diperlukan dalam penerapan praktek keperawatan dimana
tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama dengan pasien baik
individu, keluarga, kelompok atau komunitas dan berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup dan
tanggung jawabnya. Adapun tujuan dari Keperawatan Gawat Darurat, yaitu :
1) Mencegah kematian dan kecacatan (to save life and limb) pada penderita
gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam
masyarakat sebagaimana mestinya
2) Merujuk penderita gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang Lebih memadai
3) Menanggulangi korban bencana
b. Aspek hukum keperawatan gawat darurat
Pemahaman terhadap aspek hukum dalam Keperawatan Gawat Darurat
bertujuan meningkatkan kualitas penanganan pasien dan menjamin keamanan
serta keselamatan pasien. Aspek hukum menjadi penting karena konsensus
universal menyatakan bahwa pertimbangan aspek legal dan etika tidak dapat
dipisahkan dari pelayanan medik yang baik. Walaupun ada undang-undang
yang mengatur tentang keperawatan gawat darurat yaitu Pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Informed Consent menyatakan, dalam hal pasien
tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medik berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan
tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari
siapapun (Per. Menkes, 1989). Tetapi yang menjadi tuntutan hukum dalam
praktek Keperawatan Gawat Darurat biasanya berasal dari:
1) Kegagalan komunikasi
2) Ketidakmampuan mengatasi dilema dalam profesi
Permasalahan etik lainnya yang muncul dalam hukum Keperawatan
Gawat Darurat merupakan isu yang juga terjadi pada etika dan hukum dalam
kegawatdaruratan medik yaitu:
1) Diagnosis keadaan gawat darurat
2) Standar Prosedur Operasional (SPO)
3) Kualifikasi tenaga medis
4) Hak otonomi pasien: informed consent (dewasa, anak)
5) Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
6) Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa sakit,
menyelamatkan)
7) Kewajiban untuk merahasiakan (etika >< hukum)
8) Prinsip keadilan dan fairness
9) Kelalaian
10) Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahan terapi
: salah obat, salah dosis
11) Diagnosis kematian
12) Surat Keterangan Kematian
13) Penyidikan medikolegal untuk forensik klinik: kejahatan susila, child
abuse, aborsi dan kerahasiaan informasi pasien
Permasalahan etik dalam keperawatan gawat darurat dapat dicegah dengan :
1) Mematuhi standar Prosedur Operasional (SPO)
2) Melakukan pencatatan dengan benar meliputi mencatat segala tindakan,
mencatat segala instruksi dan mencatat serah terima
c. Jaminan hukum dan kebijakan terhadap pelayanan keperawatan gawat darurat
1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran : pasal 73 ayat 1,2,3
2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3) PerMenKes No. 148 Tahun 2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik
perawat
4) PerMenKes No. 512 Tahun 2007 tentang izin praktik dan pelaksanaan
praktik kedokteran
5) PerMenKes No. 1796 Tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Ny. Jones, wanita 96 tahun yang tinggal di panti lansia datang dengan
keluhan utama nyeri punggung selama 2 hari terakhir dan sesak napas. Dia
adalah seorang pensiunan guru pendidikan khusus. Informasi dari fasilitas tempat
tinggalnya yang dibantu menunjukkan bahwa tekanan darahnya meningkat dan
dia baru-baru ini menunjukkan nafsu makan yang menurun dan ny. Jones
merupakan wanita yang sangat aktif di panti asuhan dengan kehidupan sosial
yang baik. Ny. Jones memiliki riwayat medis hipertensi, hiperlipidemia,
osteoporosis, trauma serebrovaskular, dan demensia.
Dia dibawa ke Unit Gawat Darurat oleh paramedis; riwayatnya diperoleh
dari dokumen kesehatannya, daftar obat, dan contact person nya. Obat-obatan
saat ini termasuk yang berikut: simvastatin (Zocor®) 20 mg setiap hari, aspirin
81 mg setiap hari, kalsium karbonat 400 mg tiga kali sehari, dan lisinopril
(Zestril®) 20mg setiap hari. Elektrokardiogram yang dilakukan di lapangan
menunjukkan ST-elevasi di sadapan inferior II, III, dan AVF. Pasien memiliki
perintah DNR yang berlaku.
Dia diprioritaskan ke rumah sakit terdekat dengan untuk melakukan
tindakan koroner perkutan segera. Setibanya di rumah sakit, Ny. Jones segera
dibawa ke laboratorium kateterisasi, di mana dia bertemu dengan ahli jantung,
praktisi perawat, dan staf perawat. Ny. Jones mengalami disorientasi tempat dan
selama wawancara, staf medis menemukan bahwa pasien dirasa tidak mampu
untuk memberikan persetujuan, sehingga persetujuan didapatkan oleh dua dokter.
Keponakannya, yang diidentifikasi sebagai kerabat dekat, dihubungi beberapa
kali tetapi tidak dapat membalas telepon dan memberikan persetujuan.
Staf laboratorium dan perawat mempersiapkan pasien untuk kateterisasi
dengan memberikan oksigenasi tambahan, memasang akses intravena, Diagnosis
banding termasuk infark miokard akut inferior dan nyeri punggung. Temuan dari
kateterisasi mengungkapkan arteri koroner kanan tersumbat, di mana dua stent
obat-eluting ditempatkan. Temuan tambahan termasuk lesi 80% pada arteri
desendens anterior kiri tengah, yang tidak diintervensi. Ventrikulogram kiri
mengungkapkan fraksi ejeksi 22%. Setelah lesi koroner dibuka, pasien menjadi
hipotensi dengan bradikardia berat dan diperkirakan membutuhkan tindakan
CPR. Dia akhirnya stabil dan siap untuk dipindahkan dari ruang intervensi ke
unit perawatan intensif (ICU) untuk pemulihan dan observasi lebih lanjut
(Feeley, 2018).
3.2 Problem Solving
Berdasarkan kasus tersebut pemecahan masalah menggunakan Prinsip
DECIDE (Efendi dan Makhfudli, 2009):
a. D = Define the problem (Memperjelas masalah).
Identifikasi dan klarifikasi masalah etik:
1) Ny. Jones, wanita 96 tahun yang tinggal di panti lansia datang dengan
keluhan utama nyeri punggung selama 2 hari terakhir dan sesak napas. Ny.
Jones memiliki riwayat medis hipertensi, hiperlipidemia, osteoporosis,
trauma serebrovaskular, dan demensia.
2) Dia diprioritaskan ke rumah sakit terdekat dengan untuk melakukan
tindakan koroner perkutan segera
3) Keponakannya, yang diidentifikasi sebagai kerabat dekat, dihubungi
beberapa kali tetapi tidak dapat membalas telepon dan memberikan
persetujuan
4) Setelah lesi koroner dibuka, pasien menjadi hipotensi dengan bradikardia
berat dan diperkirakan membutuhkan tindakan CPR
b. E = Ethical review (Identifikasi komponen-komponen etik)
1) Pada kasus tersebut terjadi dilema etik pada 3 prinsip kode etik
keperawatan yaitu asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm
(nonmaleficence), dan hak otonomi pasien (autonomy). Prinsip
Beneficence adalah prinsip yang menjadi keuntungan upaya pemulihan
yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya
pemulihan kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan
kesakitan dan penderitaan pasien. RJP berdasarkan prinsip ini dokter harus
memikirkan kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai
upaya yang sangat efektif pada pasien dengan henti jantung yang
disebabkan oleh gangguan jantung.
2) Prinsip non maleficence (do no harm) adalah prinsip yang mencegah
tindakan yang diberikan oleh tenaga kesehatan meningkatkan kesakitan
pada pasien. Pemberian RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan
terlambat pada dasarnya memberikan kesakitan lebih lanjut pada pasien.
Pasien dapat bertahan hidup tetapi berada dalam kondisi koma persisten
atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip ini, RJP dikatakan tidak
memberikan kesusahan lebih lanjut bila keuntungan akibat tindakan ini
dianggap lebih besar dibanding kerugiannya.
3) Prinsip otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal.
Dalam mengambil keputusan, pasien menggunakan hak otonominya, harus
dipastikan pasien secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui
atau menolak tindakan medis, termasuk RJP. Pada kasus tersebut pasien
dirasa tidak mampu dalam memberikan keputusan dan keluarga yang
memiliki surat kuasa hukum juga tidak dapat dihubungi untuk dimintai
persetujuan.
Oleh karena itu ada tiga prinsip etik yang dipertimbangkan pada kasus
tersebut adalah autonomy, beneficence, dan non-maleficence
c. C = Consider the options
(Identifikasi orang yang terlibat dan alternatif yang Dapat diberikan)
1) Siapa yang terlibat ?
Dokter, perawat, pasien, keluarga pasien dan pekerja sosial
2) Siapa saja yang berhak mengambil keputusan
perawat, dokter dan keluarga pasien
3) Apa kepentingan masalahnya ?
Pasien membutuhkan tindakan CPR sedangkan pasien memiliki form
tindakan DNR
4) Kepentingan etik yang berhubungan dengan masalah
Prinsip etik yang dipertimbangkan dalam pengambila keputusan yaitu
autonomy, beneficence, dan non-maleficence.
5) Sebutkan faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan ?
Autonomy pasien dilanggar dengan tidak menghiraukan lembar tindakan
DNR, pasien berhak untuk memilih dan memutuskan pengobatan bagi
dirinya, sedangkan perawat juga memiliki etika beneficence, dan non-
maleficence sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang maksimal
dan tidak merugikan pasien.
d. I = Investigate outcomes (Identifikasi hasil dari setiap alternatif tindakan)
1) Identifikasi batas waktu pembuatan keputusan
Waktu pengambilan keputusan segera
2) Identifikasi setiap tindakan yang memungkinkan
a) Profesi memilih untuk tetap menjalankan CPR jika dibutuhkan dengan
pertimbangan tidak ada anggota keluarga yang memiliki surat kuasa
dalam memberikan keputusan, dan
b) Informasi dari panti tempat tinggalnya Ny. Jones merupakan wanita
yang sangat aktif di panti asuhan dengan kehidupan sosial yang baik,
sehingga persetujuan didapatkan oleh dua dokter dengan memilih
untuk mempertahankan quality of life pada Ny. Jones.
3) Sebutkan hal positif dan negatif dari masing-masing pilihan (ditambah
dengan resiko dan manfaatnya)
a) Profesi memilih untuk tetap menjalankan CPR jika dibutuhkan
Resiko: perawat melanggar prinsip autonomy pasien
Manfaat: pasien dapat melakukan pengobatan secara maksimal,
perawat tetap mempertahankan kode etik beneficience dan
maleficence
e. D = Decide on action (Memutuskan tindakan)
Setelah mempertimbangkan prinsip etika keperawatan terutama autonomy,
beneficence dan maleficence. Lebih mengutamakan prinsip beneficience dan
maleficence dan melanggar hak autonomy pasien, hal tersebut dikarenakan
lebih banyak manfaat yang didapatkan jika mengutamakan prinsip
beneficience dan maleficence dengan tujuan pasien mendapatkan pengobatan
yang terbaik bagi dirinya. Pemecahan masalah seperti adanya pernyataan
DNR yang dimiliki pasien tidak dilakukan dengan pertimbangan pasien dinilai
tidak mampu memberikan persetujuan mengenai pengobatan yang dilakukan,
tidak ada anggota keluarga yang memiliki surat kuasa dalam memberikan
keputusan, dan informasi yang didapatkan dari panti tempat tinggalnya Ny.
Jones merupakan wanita yang sangat aktif di panti asuhan dengan kehidupan
sosial yang baik, sehingga persetujuan didapatkan oleh dua dokter dengan
memilih untuk mempertahankan quality of life pada Ny. Jones.
f. E = Evaluate results (Mengevaluasi hasil)
1) Apakah semua pihak terlibat dalam proses pembuatan keputusan?
Semua pihak terlibat dalam pembuatan keputusan. Dari perawat, dokter,
psikologis, pekerja sosial. Bersama-sama mencari keputusan yang terbaik.
2) Apakah semua pihak puas dengan proses pembuatan keputusan?
Semua pihak puas dengan proses pembuatan keputusan. Pasien dan
anggota keluarga bahagia karena ternyata kondisi pasien tidak
memerlukan CPR
3) Apakah hasil sesuai dengan yang diantisipasi?
Dia akhirnya stabil dan siap untuk dipindahkan dari ruang intervensi ke
unit perawatan intensif (ICU) untuk pemulihan dan observasi lebih lanjut.
Pasien dipertahankan pada terapi medis berbasis bukti yang
direkomendasikan, aspirin 81 mg, ramipril (Altace®; penghambat enzim
pengubah angiotensin) 1,25 mg setiap hari, carvedilol (Coreg®; beta
blocker) 3,125 mg dua kali sehari, atorvastatin (Lipitor®) 80 mg sebelum
tidur, dan ticagrelor (Brilinta®; antiplatelet) 90 mg dua kali sehari. Ny.
Jones juga menjalani evaluasi terapi fisik selama dirawat di rumah sakit,
dan diizinkan untuk kembali ke fasilitas hidup berbantuan dengan
rekomendasi untuk rehabilitasi jantung.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Isu-isu terkait tindakan Do Not Resuscitate (DNR) memang terkadang dapat
menjadi sebuah contoh masalah etika dan dilema etik yang harus dihadapi oleh
tenaga kesehatan khususnya dalam konteks ini adalah perawat di ruang lingkup
keperawatan gawat darurat. Meskipun tindakan DNR ini adalah hak dan
dibenarkan dari sisi hukum, akan tetapi pasti akan menjadi dilema bagi perawat
atau pihak lain yang terkait. Tuntutan menyelamatkan jiwa dan nyawa pasien,
menjadikan alasan dasar bagi tenaga medis menganggap kondisi DNR ini adalah
sebuah dilema etik dalam bekerja. Solusi yang dapat diambil untuk memecahkan
permasalahan dilema etik ini tentunya perawat dapat bekerja sesuai kode etik dan
sesuai dengan SPO (Standar Prosedur Operasional) yang berlaku.
4.2 Saran
Makalah ini hendaknya dapat menambah wawasan, pengetahuan dan juga sumber
referensi terkait konsep isu etik dalam keperawatan gawat darurat tentang isu Do
Not Resuscitation (DNR) pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Feeley, Malika. (2018). QOL vs. DNR: Case Study of a Woman Experiencing a
Myocardial Infarction with a Do-Not-Resuscitate Order. Medsurg Nursing.
Vol. 27
Efendi, F. Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nasir, Andi. (2019). Pengaruh Penerapan Kode Etik Keperawatan Terhadap
Pelayanan Keperawatan. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal
Volume 9 No 4 O
Wolf, L.A., Altair, M.D, et al. (2015). Exploring the management of death:
Emergency nurses’ perceptions of challenges and facilitators in the provision
of end-of-life care in the emergency department. Journal of Emergency
Nursing, 41 (5), e23–e33.
. World Medical Association. WMA Declaration of Helsinki Ethical Principles for
Medical Research Involving Human Subjects. https://www.wma. net/what-
we-do/medical-ethics/declaration-of-helsinki/doh-oct2008/. Accessed 27
November 2021.

Anda mungkin juga menyukai