Resume Materi
Isu Etik Do Not Resuscitate (DNR) Dalam Lingkup Keperawatan Gawat
Darurat
Oleh Kelompok 5 :
1. Afiatur Rohimah 216070300141025
2. Daniar Septianing Faradina 210670300141023
3. Dwi Wiyono 216070300141010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Menganalisa isu-isu etik dalam keperawatan gawat darurat terkait tindakan
Do Not Resuscitation (DNR) pada pasien
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi konsep etika dalam keperawatan
2) Mengidentifikasi pengertian dan legal aspek dari tindakan Do Not
Resuscitation (DNR)
3) Mengidentifikasi konsep keperawatan gawat darurat
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan dan juga sumber
referensi terkait konsep isu etik dalam keperawatan gawat darurat tentang isu Do
Not Resuscitation (DNR) pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Konsep Teori dan Legal Aspek tindakan Do Not Resuscitation (DNR)
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat,
dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila
pernapasan maupun jantung pasien berhenti. DNR merupakan salah satu hal yang
menjadi dilema etik. Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana
tidak ada alternative yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternative yang
memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang
benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus tergantung
pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional (Suhaemi, 2004).
Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien
maupun di catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau
keperawatan, atau untuk pasien di rumah. Perintah DNR di rumah sakit
memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha menghidupkan pasien
kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di rumah, maka
perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh
melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk
CPR.
a. Analisis Penentuan kriteria DNR Dari Beberapa Penelitian
Berdasarkan studi jurnal dari American Heart Association (AHA),
menyatakan bahwa Cardiac Arrest yang terjadi pada kasus trauma secara
umum pada dasarnya sama dengan manajemen pada kasus non trauma pada
umumnya yaitu: dimulai dari manajemen airway, breathing, dan circulation
(AHA, 2010).
Dengan penyebab cardiac arrest yang harus diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan tindakan yang tepat. Meskipun resusitasi
(CPR) lebih prioritas dilakukan pada korban trauma yang mengalami syok
atau nadi yang lemah, trauma lain yang mungkin terjadi pada korban juga
harus tetap diperhatikan karena tindakan yang tepat secara keseluruhan
diharapkan dapat menyelamatkan nyawa korban.
Ketika terjadi trauma multi sistem atau trauma juga yang mengenai
kepala dan leher, kestabilan tulang servikal juga harus diperhatikan. Jaw thrust
harus dilakukan untuk meminimalisir resiko terjepitnya nervus pernafasan
pada saat membuka jalan napas. Jika terjadi distress napas atau perdarahan di
sekitar wajah korban, maka harus dilakukan pemberian bantuan napas dengan
menggunakan Non-rebreathing mask atau Bag Valve Mask (BVM). Hentikan
perdarahan dengan memberikan balut tekan, dan saat korban mengalami gagal
napas yang berlanjut pada cardiac arrest, berikan rescue breathing dan
tindakan resusitasi bila memungkinkan (AHA, 2010). Hal ini dapat kita
simpulkan bahwa pada pasien yang memiliki kemungkinan hidup sangat kecil
pun tetap kita berikan bantuan hidup dasar, meskipun pada akhirnya pasien
akan meninggal.
Pernyataan ini juga didukung tulisan Gordon dkk yang dipublikasikan
pada The Lancet tahun 1995 yang berjudul Decision and Care at The end of
life. Gordon menyatakan bahwa sebenarnya tindakan DNR itu tetap berfokus
pada proses penyembuhan, perawatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan
bimbingan atau persiapan menghadapi kematian seperti pasien pada
umumnya. Hanya saja yang membedakan adalah tindakan yang diberikan saat
pasien mengalami henti nafas atau henti jantung. Pasien tidak perlu dilakukan
resusitasi, hanya dibantu atau dibimbing saja untuk mencapai kematian yang
damai.
Sebuah hasil review literatur oleh Mc Cormick dan Andrew J tahun
2011 yang dipublikasikan pada jurnal Social Work tentang hak untuk
meninggal dengan tenang dan budaya yang melatar belakanginya. Disini
dibahas bahwa kebudayaan setempat sangat berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan oleh tim medis maupun oleh keluarga untuk
memutuskan DNR pada pasien. Di negara barat pengambilan keputusan
seperti ini sering kali melalui pertimbangan yang matang dan telah melewati
proses konsultasi pada dokter atau tim medis yang merawat pasien. Sehingga
nantinya tidak akan ada penyesalan atau rasa bersalah dari keluarga maupun
dari tim medis yang merawat pasien.
Berbeda sekali dengan di Indonesia, sampai saat ini belum diatur
secara tegas dan jelas tentang prosedur pengambilan keputusan tindakan DNR.
Meskipun beberapa rumah sakit telah membuat form permintaan DNR, tetapi
form ini belum bisa menjamin legalitas tindakan DNR yang diberikan pada
pasien. Dikarenakan belum adanya patokan yang jelas dan kapan tindakan
DNR itu bisa diberikan pada pasien yang kontra indikasi dilakukan CPR.
Hal ini didukung hasil penelitian dari Van der Heide, dkk yang
menuliskan bahwa di 6 negara maju di dataran Eropa angka permohonan
tindakan DNR meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh
kebudayaan dan kehidupan setempat yang masyarakatnya mudah bangkit dan
tidak terlalu memikirkan masa lalu. Sehingga ketika dokter memberikan vonis
prognosis pasien memburuk, maka keluarga segera mengambil tindakan untuk
berdiskusi dan mempertimbangkan permohonan untuk dilakukan tindakan do
not resuscitation. Inilah salah satu yang melatar belakangi mengapa angka usia
lanjut di negara maju cenderung lebih rendah daripada negara berkembang
lainnya.
b. Kriteria RJP dan DNR
Kriteria pasien yang akan dihentikan RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di
bawah ini, yaitu:
1. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan.
2) Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan
batang otak tidak perlu dilakukan RJP
3) Ada yang lebih bertanggung jawab
4) Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon.
5) Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
6) Usia lanjut diatas 65 tahun
7) Penderita yang menderita demensia berat, dan mungkin sedang atau yang
mengalami kemunduran fisik sebelum henti jantung
8) Penderita dengan kanker
9) Penderita HIV/AIDS
10) Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apnea, tidak
ada nadi dan tidak ada irama ECG (flat)
11) Pasien dengan luka tembus/tusuk yang ditemukan dalam kondisi apnea
dan tidak ada nadi
12) Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy
13) Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah
15 menit melakukan resusitasi tidak berespon
14) Tanda kematian yang irreversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat di identifikasi yaitu :
1) Lebam mayat, muncul sekitar 20-30 menit setelah kematian, darah akan
berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi.
Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
2) Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah
kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian
3) Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negative
4) Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga
hampir dapat dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan
hidup.
c. Pertimbangan status DNR
DNR diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yaitu:
1) Sudah tidak ada harapan hidup walaupun pasien itu masih sadar, misal
pasien dengan kanker stadium empat parah, jadi tidak perlu adanya
resusitasi.
2) Pasien yang pada penyakit kronis dan terminal.
3) Pasien dengan kontraindikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia
(dibiarkan mati ataupun suntik mati karena kehidupan yang sudah tidak
terjamin).
4) Kaku mayat.
5) Dekapitas: yaitu suatu tindakan untuk memisahkan kepala janin dari
tubuhnya dengan cara memotong leher janin agar janin dapat lahir per
vaginam. Dekapitasi dilakukan pada persalinan yang macet pada letak
lintang dan janin sudah meninggal.
6) Dekomposisi.
7) Lividitas dependen.
8) Jelas trauma kepala atau tubuh yang masif yang tidak memungkinkan
untuk hidup (pastikan pasien tidak memiliki tanda-tanda vital)
d. SKRINING DNR
A. Pengertian
Resusitasi:
Intervensi medis yang bertujuan untuk memulihkan aktivitas jantung atau
pernapasan, dan yang tercantum di sini:
1. Pacu jantung (penekanan dada)
2. Defibrilasi
3. Assisted ventilasi
4. endotrakeal intubasi
5. Pemberian obat kardiotonik
· DNR Order : Perintah untuk menahan resusitasi.
Sebuah Order DNR dianggap hanya jika satu atau lebih kondisi berikut ada:
1. Terdapat bukti legal baik fotocopi maupun asli yang berisi order DNR.
2. Pasien memakai Medallion /gelang DNR.
3. Untuk pasien yang berada dalam fasilitas perawatan kesehatan berlisensi
atau yang sedang ditransfer antara fasilitas kesehatan berlisensi,
dokumen yang ditulis dalam catatan permanen medis pasien yang berisi
pernyataan "Jangan Resusitasi", "Kode Tidak Resusitasi", ’Do Not
Resuscitate (DNR)” atau "Tidak CPR", telah dilihat oleh personil tenaga
medis. Keaslian dokumen ini harus secara verbal didokumentasikan oleh
saksi dari fasilitas perawatan kesehatan
2. Tujuan
Untuk menetapkan kriteria ketika menentukan kelayakan menahan tindakan
resusitasi yang memenuhi persyaratan perundang-undangan dan hak-hak
pasien
C. Kebijakan
Tidak boleh dilakukan resusitasi pada pasien yang mempunyai DNR,
kecuali sampai belum dibuktikan dengan keterangan yang jelas dan legal.
4. Prosedur
1. Semua pasien memerlukan evaluasi medis segera.
2. Semua pasien dengan tanda-tanda vital tidak ada yang tidak "jelas
mati," harus diperlakukan dengan tindakan resusitasi. Tanda jelas
mati (triple zero):
Jelas pasien meninggal adalah mereka ditemukan non-bernapas,
pulseless, asystolic, dan memiliki satu atau lebih dari jangka panjang
indikasi berikut kematian.
o Dekapitasi
o Rigor Mortis tanpa hypothermia
o Profound dependent lividity
o Decomposition (pembusukan)
o Mumifikasi / putrifikasi
o Insenerasi
o Pembekuan mayat
3. Identifikasi yang benar dari pasien sangat penting dalam proses ini.
Jika tidak mengenakan Medallion DNR, pasien harus positif
diidentifikasi sebagai orang yang disebutkan dalam Orde DNR. Hal
ini biasanya akan memerlukan baik kehadiran saksi atau band
identifikasi.
4. Ketika Order DNR adalah operasi, jika pasien tidak teraba nadi dan
apneu, resusitasi akan ditahan atau dihentikan. Pasien menerima
perawatan lengkap selain resusitasi (misalnya, untuk obstruksi jalan
napas, nyeri, dyspnea, perdarahan, dll)
5. Sebuah Order DNR dianggap batal dan tidak berlaku di bawah salah
satu kondisi berikut. Jika ada dari keadaan ini terjadi, pengobatan
yang tepat akan terus atau segera dimulai, termasuk resusitasi, jika
perlu.
a. Pasien sadar dan menyatakan bahwa ia ingin resusitasi.
b. Ada keberatan atau perselisihan dengan anggota keluarga atau
pengasuh.
c. Ada pertanyaan/ perselisihan mengenai keabsahan Order DNR.
6. Petunjuk penting lainnya, seperti informal "Wasiat hidup" atau
instruksi tertulis tanpa agen untuk Perawatan Kesehatan, mungkin
ditemui. Jika hal ini terjadi, resusitasi harus dimulai, jika ada
indikasi.
7. Jika agen perawatan resusitasi tidak dilakukan, petugas medis harus
menginformasikan agen konsekuensi dari permintaan.
8. Order DNR harus dihormati selama transportasi rujukan. Dalam hal
pasien berakhir selama transportasi, berikut harus dipertimbangkan:
a. Kecuali secara khusus meminta, pasien tidak harus
dikembalikan ke kediaman pribadi atau fasilitas keperawatan
terampil.
b. Lanjutkan ke rumah sakit tujuan atau kembali ke rumah sakit
yang berasal jika waktu tidak berlebihan.
c. Jika waktu transportasi akan berlebihan, mengalihkan ke rumah
sakit terdekat.
9. Untuk semua kasus ketika seorang pasien dengan Order DNR
ditemui, petugas harus mendokumentasikan berikut pada laporan
perawatan pra-rumah sakit mereka:
1. Nama dokter pasien menandatangani Order DNR.
2. Tanggal perintah itu ditandatangani.
3. Jenis DNR Order (DNR Medallion, pra-rumah sakit DNR Form,
ditulis urutan bagan fasilitas perawatan kesehatan berlisensi).
4. Nama orang yang mengidentifikasi pasien jika Medallion/ gelang
DNR bukanlah dasar keputusan.
5. Unit Terkait
1. UGD
2. Ambulance
3. Rawat inap
4. ICU
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Isu-isu terkait tindakan Do Not Resuscitate (DNR) memang terkadang dapat
menjadi sebuah contoh masalah etika dan dilema etik yang harus dihadapi oleh
tenaga kesehatan khususnya dalam konteks ini adalah perawat di ruang lingkup
keperawatan gawat darurat. Meskipun tindakan DNR ini adalah hak dan
dibenarkan dari sisi hukum, akan tetapi pasti akan menjadi dilema bagi perawat
atau pihak lain yang terkait. Tuntutan menyelamatkan jiwa dan nyawa pasien,
menjadikan alasan dasar bagi tenaga medis menganggap kondisi DNR ini adalah
sebuah dilema etik dalam bekerja. Solusi yang dapat diambil untuk memecahkan
permasalahan dilema etik ini tentunya perawat dapat bekerja sesuai kode etik dan
sesuai dengan SPO (Standar Prosedur Operasional) yang berlaku.
4.2 Saran
Makalah ini hendaknya dapat menambah wawasan, pengetahuan dan juga sumber
referensi terkait konsep isu etik dalam keperawatan gawat darurat tentang isu Do
Not Resuscitation (DNR) pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Feeley, Malika. (2018). QOL vs. DNR: Case Study of a Woman Experiencing a
Myocardial Infarction with a Do-Not-Resuscitate Order. Medsurg Nursing.
Vol. 27
Efendi, F. Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nasir, Andi. (2019). Pengaruh Penerapan Kode Etik Keperawatan Terhadap
Pelayanan Keperawatan. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal
Volume 9 No 4 O
Wolf, L.A., Altair, M.D, et al. (2015). Exploring the management of death:
Emergency nurses’ perceptions of challenges and facilitators in the provision
of end-of-life care in the emergency department. Journal of Emergency
Nursing, 41 (5), e23–e33.
. World Medical Association. WMA Declaration of Helsinki Ethical Principles for
Medical Research Involving Human Subjects. https://www.wma. net/what-
we-do/medical-ethics/declaration-of-helsinki/doh-oct2008/. Accessed 27
November 2021.