Buku ini didedikasikan untuk rekan – rekan perawat yang peduli dengan
kesehatan sehingga korban – korban dengan kegawat daruratan khususnya akibat
trauma dan gangguan kardiovaskuler dapat diselamatkan dengan baik.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan buku pedoman pelatihan Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS) ini.
Buku ini disusun dengan tujuan untuk membantu mahasiswa perawat dan
perawat yang mengikuti pelatihan BTCLS sehingga memudahkan dalam
memahami materi yang disampaikan, dan juga dapat digunakan sebagai panduan
dan acuan dalam menangani kasus Gawat Darurat yang dijumpai dimanapun
mereka berada.
Buku ini disusun dengan konsep yang sederhana dan aman serta bahasa
yang mudah dipahami dalam penanganan kasus gawat darurat, dengan demikian
pasien diharapkan dapat diuntungkan dan dapat diselamatkan.
Akhir kata semoga buku ini berguna bagi mahasiswa perawat dan perawat
dalam tatalaksana gawat darurat.
Penyusun
4
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
5
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
BAB I
ETIKA DAN HUKUM
DALAM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami etik dan aspek legal
keperawatan gawat darurat.
BAB I
6
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
I. Pendahuluan
Etik merupakan prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan
salah. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik
serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Terminologi etik dan moral secara umum memiliki kemiripan. Etik
memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan
terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau
dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan
kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik juga dapat
digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi
perilaku profesional. Etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan apa yang seharusnya manusia berperilaku terhadap orang lain.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan
membutuhkan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam melaksanakan hidup
beermasyarakat tersebut, berlangsung interaksi yang intensif antar anggota
masyarakat. Agar interaksi berlangsung tanpa benturan dan dapat
mendatangkan manfaat optimal, diperlukan adanya aturan berprilaku setiap
warga masyarakat. Bentuk pengaturan prilaku yang dimaksud banyak
macamnya, untuk masyarakat profesi kesehatan antara lain tercantum dalam:
Kode etik profesi kesehatan.
Kode etik profesi kesehatan mencakup aturan dan etika yang dipakai dalam
dunia kesehatan. Aturan ini juga mencakup tatanan perilaku sebaiknya
seorang perawat baik ditempat kerja maupun didalam masyarakat.
Hukum kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup aturan – aturan dalam bidang medis yang
mencakup cara melakukan suatu tindakan kepada korban. Hukum kesehatan
ini diberlakukan baik kepada dokter maupun perawat.
etik profesi. Setiap profesi mempunyai kode etik profesi. Kode etik profesi
disusun oleh warga profesi. Sanksi pelanggaran kode etik profesi ditegakkan
oleh warga profesi sendiri.
Kode etik profesi kesehatan adalah kode etik yang ditemukan dan
berlaku bagi kalangan profesi kesehatan. Sebagai contoh dokter yang memiliki
kode etik yang berlaku bagi dokter sendiri dan jiga perawat memiliki kode etik
tersendiri. Dibandingkan dengan profesi lain, kode etik profesi kesehatan
adalah kode etik yang tertua.
A. Teori Etik
1. Utilitarian
Menurut pandangan aliran utilitarian bahwa kebenaran atau
kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekuensi atau akibat tindakan,
contoh: mempertahankan kehamilan yang beresiko tinggi dapat
menyebabkan hal lain yang tidak menyenangkan, nyeri atau korban
gawat daruratan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada dasarnya hal
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya.
2. Deontologi
Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip –
prinsip tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber
– sumber, dan euthanasia. Untuk mengimplementasikan suatu tindakan
agar supaya dilakukan informed consent dan dalam melakukan informed
consent otonomy korban dan keluarga menduduki prioritas yang utama.
B. Tipe-tipe Etik
1. Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang
kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan.
Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul
tentang hubungan antara ilmu dan kehidupan, bioteknologi, pengobatan,
politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik
pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan
pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik
mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin membantu atau
bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap perasaan takut
dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan
pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain: peningkatan mutu
genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan.
Berdasarkan paragraf sebelumnya, bioetik lebih berfokus pada
dilema yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi teori etik
dan prinsip etik terhadap masalah – masalah pelayanan kesehatan.
2. Etik di Klinik Kesehatan (Clinical Ethics)
8
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Etik pada tatanan klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih
memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada
klien. Contoh clinical ethics: adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknyaa merespon permintaan petugas
kesehatan yang kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Etik Keperawatan (Nursing Ethics)
Etik keperawatan merupakan bagian dari bioetik yang merupakan
studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam tindakan
keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.
Berdasarkan kepada etik keperawatan tersebut seorang perawat
melakukan tindakan yang dianggap baik secara keilmuan dan kondisi
korban gawat darurat.
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien
harus dijaga privasinya oleh perawat. Segala sesuatu yang terdapat dalam
dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka
pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi
10
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
III. Hukum
Hukum adalah suatu aturan yang mengatur prilaku setiap anggota
masyarakat yang bersifat memaksa yang ditetapkan oleh pemerintah. Jenis –
jenis hukum diantaranya:
1. Hukum administrasi: izin sarana pelayanan kesehatan, izin
menyelenggarakan praktik kesehatan
2. Hukum pidana: perbuatan yang bertentangan dan atau membahayakan
kepentingan umum
3. Hukum perdata: perbuatan yang merugikan orang lain
A. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum umum yang mengatur
prilaku anggota masyarakat, utamanya anggota masyarakat kesehatan, yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan mencakup:
1. Aspek administrasi
2. Aspek pidana
3. Aspek perdata
B. Manfaat Hukum Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu kesehatan, hukum
kesehatan bermanfaat untuk:
1. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan.
2. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemakai jasa
pelayanan kesehatan.
3. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
4. Memantapkan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan.
5. Mendorong perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan.
C. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Terkait dengan macam, jumlah, dan perkembangan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di suatu negara, untuk Indonesia, secara umum dapat
dikelompokkan atas 8 macam lingkup hukum kesehatan yaitu mencakup:
11
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
ruang rawat pada korban yang mengalami kondisi gawat darurat. Namun bila
kita cermati rentang praktik gawat darurat, maka kondisi gawat darurat dapat
terjadi di luar rumah sakit atau di komunitas (pra hospital dan post hospital)
serta di rumah sakit sendiri (in hospital).
Karena asuhan keperawatan gawat darurat merupakan bagian dari asuhan
keperawatan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, baik
di masyarakat maupun di rumah sakit. Maka secara keseluruhan pada asuhan
keperawatan gawat darurat juga berlaku: aspek etis (kode etis keperawatan)
dan aspek hukuuum (hukum kesehatan).
E. MalPraktik Keperawatan
Malpraktik dalam praktik keperawatan adalah setiap kesalahan
profesional yang diperbuat oleh seorang perawat karena menyelenggarakan
asuhan keperawatan dibawah standar yang sebenarnya secara rata – rata dan
masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap perawat dalam situasi dan ataupun
tempat yang sama (modifikasi dari A. Hoekema, 1981).
BAB II
KONSEP DASAR GAWAT DARURAT
BAB II
KONSEP DASAR GAWAT DARURAT
A. Pendahuluan
Kondisi kegawat daruratan dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja.
Sudah menjadi tugas petugas kesehatan untuk menangani masalah tersebut,
walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan kondisi kegawatdaruratan
dapat terjadi pada area yang sulit dijangkau petugas kesehatan, maka pada
kondisi tersebut, peran serta masyarakat untuk membantu korban sebelum
ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat penting.
Konsep dasar gawat darurat merupakan satu hal yang sangat penting
untuk dipahami oleh semua profesi kesehatan termasuk orang awam ataupun
awam khusus. Kondisi gawat darurat dapat terjadi akibat dari trauma atau non
– trauma yang mengakibatkan henti nafas., henti jantung, kerusakan organ
atau perdarahan.
Dalam kondisi gawat darurat, tiga hal yang paling kritis adalah pertama
kecepatan waktu kali pertama korban ditemukan, kedua ketepatan dan akurasi
pertolongan pertama yang diberikan, ketiga pertolongan oleh petugas
kesehatan yang kompeten. Statistik membuktikan bahwa hampir 90% korban
meninggal ataupun cacat disebabkan karena korban terlalu lama dibiarkan
atau waktu ditemukan telah melewati “the golden time period” dan
ketidaktepatan serta akurasi pertolongan pertama saat kali pertama korban
ditemukan.
Dengan pemahaman yang utuh terhadap konsep dasar gawat darurat,
maka angka kematian dan kecacatan dapat ditekan serendah mungkin.
Korban gawat darurat yang unik yang sampai saat ini belum disentuh secara
maksimal adalah korban perkosaan. Korban perkosaan kejadian gawat
daruratnya tidak pada rentang pra – rumah sakit atau di dalam rumah sakit,
tetapi pasca rumah sakit yaitu setelah korban divisum dan pulang kerumah.
Karena korban merasa sudah tidak berharga lagi, malu dan tidak memiliki
harapan sehingga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
E. Kontrak
Dalam memberikan pertolongan pada kondisi korban gawat darurat hal
– hal kritis mungkin dapat terjadi. Sehingga apabila diperlukan tindakan lain,
maka diperlukan kontrak antara petugas kesehatan dengan korban atau
keluarga korban. Kontrak atau persetujuan perlu dilakukan untuk mengambil
keputusan yang tepat. Kontrak atau persetujuan dapat berupa:
1. Persetujuan kedua belah pihak. Hal ini antara petugas kesehatan yang
berwenang (dokter) dengan keluarga korban.
2. Hal terpenting adalah korban memahami, mengisi persetujuan dan
setuju tindakan yang akan dilakukan.
3. Perawat memastikan korban memahami, telah mengisi dengan benar
dan setuju dilakukan tindakan.
F. Kompetensi Praktis
Kompetensi praktik diperlukan oleh petugas kesehatan dalam hal melakukan
interaksi dengan korban gawat darurat berupa:
1. Mengakui terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh diri sendiri.
2. Melakukan tindakan dan prosedur sesuai aturan institusi atau kewenangan
yang dapat dilakukan.
3. Tidak melakukan intervensi yang kita tidak dipersiapkan untuk tindakan
tersebut atau kita sebagai petugas kesehatan tidak dilatih untuk itu.
4. Respek terhadap hak korban dan selalu melaporkan perkembangan korban.
5. Memelihara dokumentasi gawat darurat dengan teliti dan benar.
21
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
G. Komunikasi
Dalam melakukan pengelolaan korban gawat darurat, maka perlu dilakukan
komunikasi yang baik antara ambulan, petugas kesehatan yang menangani
serta korban atau keluarga korban. Hal ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mendapatkan kepercayaan korban/ keluarga/ masyarakat. Caranya dengan
memperkenalkan diri, hibur & tunjukkan rasa hormat, tanyakan yang
dirasakan.
2. Mendapatkan informasi yang akurat dari korban/ masyarakat.
3. Mendapatkan informasi pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning
System), sehingga korban tidak terlalu lama diperjalanan.
4. Memindahkan korban tanpa memperberat keadaan.
5. Mencegah komplikasi dan rehabilitasi dini yang lebih akurat.
H. Transportasi
Pada umumnya, dalam evakuasi korban gawat darurat transportasi dapat
dilaksanakan melalui:
Darat, dengan ambulance
Udara, dengan helikopter atau pesawat terbang
Laut, dengan kapal laut untuk mengangkut korban gawat darurat.
I. Prinsip Evakuasi
Korban diangkat oleh tiga orang atau Three men lift, hal ini hanya boleh
dilakukan oleh orang yang terlatih untuk melakukan. Artinya jika
memungkinkan, lakukan pengangkatan korban dengan 3 orang yang terlatih
untuk melakukan pengangkatan pada bagian:
1. Kepala & bahu
2. Pinggang
3. Ekstremitas bawah
J. Kunci Keberhasilan
Kunci sukses manajemen gawat darurat adalah pada personil terlatih
dan peralatan yang memadai. Bisa saja peralatan memadai tetapi personil
tidak terlatih, maka alat tidak bermanfaat karena tidak bisa digunakan.
Sebaliknya, personilnya terlatih tetapi alat bantu tidak ada maka pertolongan
yang diberikan tidak dapat maksimal.
BAB III
SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU
(SPGDT)
BAB III
SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU
(SPGDT)
I. Pendahuluan
Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat tergantung pada
beberapa kondisi, yaitu: kecepatan ditemukan, kecepatan respon tenaga
kesehatan, kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan dan kecepatan minta
tolong. Semakin cepat korban ditemukan, semakin cepat pula korban dapat
diselamatkan. Namun bukan berarti tanpa halangan. Misalnya, korban gawat
darurat di lokasi yang sangat sulit dijangkau membutuhkan teknik cara yang
lebih baik dalam menemukan mereka. Pertimbangan bila kecelakaan terjadi di
daerah yang sulit, mungkin perlu dilakukan penyisiran secara foto satelit.
Kecepatan respon tenaga kesehatan baik yang ada di rumah sakit, di
ambulance, atau di komunitas menjadi sangat penting dalam memperbesar
harapan hidup bagi korban dengan kondisi kegawat daruratan.
Kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan akan sangat menentukan
probabilitas kualitas hidup korban setelah terjadi kecelakaan. Semakin terlatih
petugas kesehatan dan diimbangi dengan pengetahuan yang baik, maka dalam
melakukan tugasnya menolong korban lebih baik, khususnya probabilitas
harapan hidup korban.
Korban gawat darurat biasanya tidak mampu meminta pertolongan,
karena kondisinya sendiri pun tidak memungkinkan untuk itu. Misalnya
apabila kesadaran korban menurun. Sehingga diharapkan ada orang lain yang
meminta tolong kepada petugas terlatih atau petugas kesehatan untuk
memberikan bantuan yang diperlukan sesuai kondisi korban. Maka semakin
cepat meminta tolong, semakin cepat pula mendapatkan pertolongan. Untuk itu
segala upaya perlu dilakukan untuk dapat meminta bantuan secepatnya.
sistem ini tidak terpisahkan satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam
pelaksanaan sistem.
1. SPGDT-S (Sehari-Hari)
2. SPGDT-B (Bencana)
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit
dan Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai
khususnya pada terjadinya korban masal yg memerlukan peningkatan
(eskalasi) kegiatan pelayanan sehari – hari. Secara umum bertujuan untuk
menyelamatkan korban sebanyak – banyaknya.
a. Ditempat kejadian.
b. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
c. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.
korban dan kerusakan. Bencana dapat terjadi setiap saat dan di setiap tenmpat
seperti:
Di dalam rumah sakitnya sendiri
Korban bencana yang dibawa ke IGD/ RS
Bencana dalam kota (urban)
Bencana diluar kota (rural)
Bencana diluar pulau (regional)
Bencana nasional
Bencana huru – hara (perang)
Mencermati kondisi tersebut maka semua rumah sakit wajib mempunyai
“Disaster Plan” sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. Untuk daerah
rural atau diluar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari daerah urban,
jika:
Tingkat penanggulangan gawat darurat sehari – hari di bawah standar
nasional (ada / tidaknya spesialis empat besar / ahli bedah).
Jumlah korban melebihi kemampuan petugas / ahli bedah
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
I. Pendahuluan
Praktik Keperawatan Gawat Darurat merupakan rangkaian kegiatan
profesional yang sistematis, cepat dan tepat yang diberikan kepada klien oleh
perawat yang kompeten. Kondisi gawat darurat yang sering muncul pada suatu
insiden maupun bencana yang seringkali tidak terprediksi jumlah korbannya
dan tindakan yang harus dilakukan menjadi salah satu keterbatasan Sumber
Daya. Tindakan Gawat Darurat yang dimulai dengan pengkajian awal
mengenai status kesehatan klien sangat penting dilakukan untuk meminimalkan
jumlah korban dan merencanakan tindakan selanjutnya. Penilaian awal tersebut
dimulai dari primary survey yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulacy,
Disability dan Exposure, selanjutnya Secondary Survey dengan teknik Head to
toe.
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan
dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus
langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai
penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
34
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
Primary surveymenyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde,
2009) :
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
a) General Impressions
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
35
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang
dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson,
2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
Lakukan intubasi
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum
pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
37
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
Keluhan Utama:
Riwayat penyakit:
Turgor:
Normal
Kurang
Lain-lain .....
D. Adanya riwayat Aktual Mengkaji tanda-
kehilangan cairan dalam Resiko tanda dehidrasi
jumlah besar: Volume cairan tubuh Mengkaji tanda-
Diare kurang dari tanda vital, tingkat
Muntah kebutuhan kesadaran
Luka bakar Memberikan cairan
Perdarahan per oral jika masih
memungkinkan
Akral: hingga 2000-2500
Hangat cc/hr
Dingin Memberikan cairan
melalui intravena
Pucat: Memonitor
Ya perubahan turgor,
Tidak membran mukosa,
dan kapilary refill
Sianosis: time
Ya Memonitor intake –
41
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Lain-lain: .....
E. Disability Aktual Mengkaji
Resiko karakteristik nyeri
Tingkat kesadaran Gangguan perfusi Mengukur tanda-
Nilai GCS jaringan serebral tanda vital
Pada Dewasa: Mengobservasi
E: M: V: perubahan tingkat
Pada Anak: kesadaran
A: V: P: U: Meninggikan kepala
15-300 jika tidak ada
Pupil: Normal kontra indikasi
Mengobservasi
Respon cahaya: +/- ecukupan cairan
42
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Lain-lain .....
F. Exposure Nyeri Mengkaji
karakteristik nyeri,
Adanya trauma pada gunakan pendekatan
daerah: .......... PQRST
Mengajarkan teknik
Adanya jejas/ luka pada relaksasi
daerah: .......... Membatasi aktivitas
Ukuran luas .......... cm2 yang meningkatkan
Kedalaman luka ..... cm intensitas nyeri
Lain-lain .....
G. Fahrenheit (Suhu Tubuh) Aktual Mengobservasi suhu
Suhu ..... 0C Resiko tubuh, kesadaran,
Gangguan suhu TTV, saturasi
Lamanya terpapar suhu hipertermia oksigen
panas/ dingin ..... jam Membuka pakaian
(menjaga privasi)
Riwayat pemakaian obat: Melakukan
43
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
penurunan suhu
Riwayat penyakit: tubuh kompres
Metabolik dingin/ evaporasi/
Kehilangan cairan selimut pendingin
Penyakit SSP (cooling blanket)
Mencukupi
Lain-lain ..... kebutuhan cairan
per oral
Memberikan
oksigen sesuai
dengan instruksi
Melakukan
pengambilan darah
untuk pemeriksaan
AGD/ elektrolit
Memberikan terapi
antipiretik
Memberikan cairan
melalui intra vena
Lain-lain .....
H. Fanrenheit (Suhu Tubuh) Aktual Monitor TTV,
Resiko tingkat kesadaran,
Suhu ..... 0C Gangguan suhu saturasi oksigen,
Lamanya terpapar suhu hipotermia irama jantung
panas/ dingin .......... jam Melindungi pasien
dari lingkungan
Riwayat yang dingin
Cedera kepala Membuka semua
Hipoglikemia pakaian pasien yang
Damppak tindakan basah
medis (iatrigenic) Melakukan
o Pemberian cairan penghangatan tubuh
infus yang terlalu pasien secara
dingin bertahap (10C/jam)
o Pemberian dengan selimut
tranfusi darah tebal/ warm blanket
yang masih Mengkaji tanda-
dingin tanda cedera fisik
akibat dingin: kulit
Lain-lain .......... melepuh, edema,
timbulnya bula/
vesikel, menggigil
Menganjurkan
pasien agar tidak
menggosok/
menggaruk kulit
44
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
yang melepuh
Mengantisipasi jika
tindakan daiast
gagal melakukan
gastric lavage
dengan air hangat
Kolaborasi:
Memberikan
oksigen sesuai
dengan instruksi
Memberikan cairan
melalui inravena
dengan cairan yang
hangat
Menyiapkan alat-
alat intubasi jika
diperlukan
Lain-lain ..........
Paraf
dan nama jelas
B. Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia,
dan cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
45
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Allergic (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medication/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E :Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
Provokes/palliates: apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk?
apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat
anda terbangun saat tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan klien
dapat 5 menit, 15 menit, 30 menit, atau 1 jam sesuai dengan kondisi
klien/kebutuhan.
BAB V
PENGKAJIAN AWAL
(INITIAL ASSESSMENT)
BAB V
PENGKAJIAN AWAL
(INITIAL ASSESSMENT)
I. Pendahuluan
II. Triase
petugas pertama yang tiba/ berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang
terus menerus karena status triase pasien dapat berubah.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap
korban.
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.
Bila pada retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag/ label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok yang sesuai.
52
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulance atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
B. Pernafasan (Breathing)
Menilai pernafasan atas kemampuan pasien melakukan ventilasi dan
oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau
asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau
pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek yang
mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga
pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Untuk terjadinya ventilasi yang baik memerlukan fungsi yang baik dari
paru, dinding dada, dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi
secara cepat dan cermat. Untuk melihat ventilasi pada korban gawat
darurat, maka pakaian korban khususnya bagian dada korban harus dibuka
54
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
C. Sirkulasi (Circulation)
Ada 3 hal yang harus di observasi dalam hitungan detik, observasi ini
dapat memberikan informasi mengenai keadaan/ status hemodinamik.
Observasi itu mencakup tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi.
Selain itu dapat juga dengan mencari tanda – tanda hipovolemia,
tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher (vena
jugularis) apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar,
pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas
hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV
besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain
sesuai indikasi.
Shock jarang disebabkan oleh perdarahan intra kranial. Perdarahan hebat
dikelola pada survei primer. Perdarahan eksternal dikendalikan dengan
penekanan langsung pada luka. JANGAN DIJAHIT DULU !!!
E. Eksposur (Exposure)
Buka seluruh pakaian korban untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang
sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang biasa terjadi diruang ber
– AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila
perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan
bersama survei primer. Pasang lead EKG dan monitor ventilator, segera
pasang oksimeter. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk
dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater foley kontraindikasi bila cedera uretra (darah pada
meatus, ekimosis skrotum/ labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan
urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
1. Anamnesis
Perlu dilakukan anamnesis yang lengkap mengenai riwayat trauma. Riwayat
“AMPLE” perlu diingat:
A : Allergic (riwayat alergi yang dimiliki)
M : Medication (obat yang sedang diminum)
P : Past illness (penyakit penyerta/ pregnancy)
L : Last meal (makanan terakhir)
E : Event/ environment (lingkungan)
56
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik dengan teliti mulai dari ujung kepala sampai
ujung kaki (head to toe examination), termasuk pemerinsaan tanda vital dan
dicari adanya deformity, open injury, tenderness dan swelling (DOTS) di
setiap bagian tubuh pasien.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a) Endoskopi
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tu
mor
b) Bronkoskopi
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada
tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina
yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina
atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
c) CT Scan
d) USG
e) Radiologi
BAB VI
MENGELOLA JALAN NAPAS DAN PERNAPASAN PADA KONDISI
GAWAT DARURAT
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu mengelola jalan napas dan
pernapasan pada kondisi gawat darurat.
BAB VI
MENGELOLA JALAN NAPAS DAN PERNAPASAN PADA
KONDISI GAWAT DARURAT
INGAT !!! Pada pasien dengan dugaan cedera leher (trauma cervikal) dan
kepala, hanya dilakukanJaw thrust dengan hati – hati dan mencegah gerakan
leher.
masuknya udara terganggu, bisa sebagian atau total. Pada obstruksi jalan nafas
parsial mungkin korban masih mampu melakukan pernafasan, tapi kualitas
pernafasannya tidak adekuat. Pada korban dengan pernafasan yang masih baik,
korban biasanya masih dapat melakukan tindakan dengan batuk secara kuat.
Bila sumbatan jalan nafas parsial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan
medik darurat. Obstruksi jalan nafas parsial dengan pernafasan yang buruk
harus dipelakukan sebagai obstruksi jalan nafas komplit.
Obstruksi jalan nafas komplit (total), korban biasanya tidak dapat
berbicara, bernafas atau batuk. Biasanya korban akan memegang lehernya
diantara ibu jari dengan jari lainnya. Saturasi oksigen akan dengan cepat
menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen sehingga
menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika tidak
diambil tindakan segera.
Jalan nafas yang mengalami gangguan, atau obstruksi dapat dikenali dengan
adanya suara nafas tambahan:
Jika tersedia alat, maka kita dapat mempergunakan alat tersebut untuk
membantu membuka jalan nafas. Jika terjadi sumbatan akibat pangkal lidah
atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu jalan nafas oral atau nasal.
Sumbatan oleh benda asing dapat diatasi dengan melakukan Heimlich
63
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Ada beberapa macam cara untuk melakukan pembebasan jalan nafas, antara
lain:
f. Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan
jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi
antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang,
lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.
Sungkup venturi
Head box
BAB VII
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
BAB VII
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
B. Golden Periode
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi
darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat
organ – organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak
hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/ glukosa dan oksigen.
Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan
oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara
permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena
itu, Golden Periode (waktu emas) pada korban yang mengalami henti
napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam waktu
kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti
jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka
harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus
dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung
adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
C. Chain of Survival
The Chain of Survival/ rantai kelangsungan kehhidupan adalah
sebuah protokol yang membantu responden pertama, penyedia layanan
70
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
D. Komplikasi BHD
Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
RJP, ada pula komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi, antara lain:
a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung
b. Fraktur sternum/ costae
c. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio paru
d. Laserasi hati, limpa
E. Penghentian BHD
BHD dihentikan apabila:
1. Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas spontan
2. Penolong sudah kelelahan
3. Ada penolong yang lebih ahli/ bantuan datang
4. Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/meninggal
a. Kompresi
Tindakan ini dilakukan apabila tidak ditemukan denyut nadi atau detak
jantung pada orang yang tidak sadarkan diri. Melakukan pertolongan
pertama dengan teknik RJP dimulai dengan melakukan kompresi dada.
Cukup dengan meletakkan salah satu telapak tangan di bagian tengah dada
korban kemudian tangan yang lainnya ditaruh di atas tangan yang pertama.
Kemudian eratkan jari-jari kedua tangan dan lakukan penekanan dada
sedalam 5-6 cm, kemudian lepaskan. Ulangi pemberian tekanan di dada
sebanyak 100-120 kali tekanan tiap menit hingga pertolongan medis datang
atau hingga korban menunjukkan respons.
dada juga dapat dihentikan untuk dialihkan kepada paramedis bila sudah
tiba. Selain itu, bila korban mulai menunjukkan respons dan bergerak
spontan, kompresi dada dapat dihentikan.
Adapun tahap – tahap RJP pada dewasa secara rinci, sebagai berikut:
Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
1. Saluran Pernapasan (Airway)
Hati – hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan
kepala bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga
dongakan yang kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.
2. Pernapasan (Breathing)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan mencoba menjepit hidungnya. Tutupi
mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan
(1 hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk
membuat dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi
mulutnya, dan berikan hembusan seperti pada bayi.
3.Pemeriksaan Denyut(Circulation)
76
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan
meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan
bahu. Pemeriksaan denyut pada anak kecil sama dengan orang dewasa.
BAB VIII
SYOK HIPOVOLEMIK
BAB VIII
SYOK HIPOVOLEMIK
1. Pengenalan Syok
Shock adalah keadaan klinis dengan tanda dan gejala yang muncul ketika
terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen, hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan. Bila hipoksia tidak segera diatasi
maka akan mengakibatkan terjadinya kegagalan organ akibat tidak adekuatnya
perfusi jaringan.
Syok lanjut yang ditandai oleh perfusi yang kurang ke kulit, ginjal dan
susunan saraf pusat (SSP) mudah dikenal. Namun setelah masalah airway dan
breathing teratasi, penilaian yang teliti dari keadaan sirkulasi penting untuk
mengenal syok secara dini. Ketergantungan pada tekanan darah sebagai satu –
satunya indikator syok akan menyebabkan terlambatnya diagnosis syok.
INGAT mekanisme kompensasi tubuh dapat menjaga tekanan darah sampai
pasien kehilangan 30% volume darah. Perhatian harus diarahkan pada nadi,
laju pernafasan, sirkulasi kulit dan tekanan nadi, perbedaan antara tekanan
sistolik dan diastolik.
Gejala paling dini adalah takikardia dan vasokontriksi perifer. Dengan
demikian, tiap pasien yang mengalami perdarahan dengan nadi lemah dan
cepat serta akral dingin dianggap dalam keadaan syok. Kecepatan denyut
jantung tergantung pada usia. Dikatakan takikardia, bila denyut jantung lebih
dari 160 pada bayi, lebih dari 140 pada balita, lebih dari 120 pada anak usia
sekolah, dan lebih dari 100 pada usia dewasa. Orang tua dengan syok mungkin
tidak menunjukkan takikardia.
Pemeriksaan Hematokrit dan Haemoglobin tidak dapat dipercaya karena
tidak dapat dipakai untuk mengukur kehilangan darah ataupun untuk diagnosis
syok. Kadar Hematokrit yang rendah menunjukkan kehilangan darah dalam
jumlah yang cukup besar atau anemia sebelum trauma sudah ada. Sedangkan
hematokrit normal dapat terjadi walaupun sudah kehilangan darah cukup
banyak.
Klasifikasi Syok
Setiap pasien dengan perdarahan yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan tentuunya tidak sama jumlah kehilangan darahnya, sehingga derajat
syoknya juga berbeda. Untuk itu ada suatu standar penilaian yang simple dan
mudah untuk menentukan derajat atau kelas syok yang dibuat oleh American
College of Surgeon (ACS). ACS membagi kelas syok menjadi 4, dilihat dari
tanda dan gejalanya:
79
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Gejala syok hemoragik pada trauma terbagi tiga yaitu ringan, sedang, dan
berat. Syok hemoragik ringan hanya menimbulkan gejala minimal yaitu: nafas
sedikit lebih cepat dan nadi sedikit lebih cepat. Syok hemoragik yang sedang
akan mengakibatkan gejala takikardia dan akarl dingin. Pada keadaan ini
tekanan darah belum turun. Sedangkan pada syok hemoragik berat, jumlah
darah yang hilang lebih dari 30% volume darah total. Hal ini akan
menyebabkan gejala jelas, antara lain tekanan darah yang turun.
Kondisi fisik pasien sangat beragam, mulai dari sangat dramatis seperti
hipotensi berat akibat perdarahan. Gejala klinis yang tampak tergantung dari
derajat syok yang terjadi:
a) Suhu : hipertermia atau hipotermia
b) Laju jantung : biasanya meningkat
c) Tekanan darah sistolik : meningkat pada awal syok, selanjutnya
menurun
d) Tekanan darah diastolik : meningkat pada awal, menurun ketika
kompensasi gagal
e) Sistem saraf pusat : delirium, gelisah, disorientasi, koma
f) Kulit : pucat, dingin, sianosis, berkeringat
g) Respirasi : takipnea
h) Kardiovaskuler : takikardia
i) Organ splannik : ileus, perdarahan gastrointestinal
j) Ginjal : penurunan produksi urin
80
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
2. Pengelolaan Syok
Resusitasi pada pasien syok meliputi:
a. Menjaga Patensi Jalan Nafas (Airway)
Kontrol jalan nafas yang paling ideal adalah dengan melalui intubasi
endotrakhea yang bertujuan untuk proteksi jalan nafas, oksigenasi melalui
pemberian tekanan positif (baging), menjaga patensi dan pembersihan jalan
nafas.
b. Mengontrol Usaha Nafas
Adanya usaha nafas pada pasien syok akan meningkatkan konsumsi
oksigen, untuk itu usaha nafas harus dikendalikan melalui penggunaan
ventilasi mekanik dengan ventilator dan pemberian obat sedasi. Kadar
saturasi oksigen dipertahankan diatas 93% dengan PaCO 2 dipertahankan
pada kisaran 35 – 40 mmHg.
c. Stabilisasi Sirkulasi
Stabilisasi sirkulasi atau hemodinamik dimulai dengan kecukupan jumlah
akses intravena atau jalur infus. Untuk dapat melakukan resusitasi cairan
jalur infus dengan ukuran yang paling besar yang dapat dipasang mutlak
diperlukan. Jika volume intravaskuler sangat diperlukan, maka posisi
trendelenburg (menaikkan kaki diatas level jantung) dapat menolong
memberikan tambahan cairan kedalam jantung.
Resusitasi cairan dimulai dengan cairan kristaloid yang isotonic. Jumlah
cairan dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan gangguan
hemodinamik yang terjadi. Semakin berat gangguan hemodinamik yang
terjadi, semakin cepat dan besar volume yang diberikan. Sebagian besar
pasien yang dalam kondisi syok mengalami defisit cairan baik absolute
maupun relative. Cairan diberikan secara cepat sebanyak 500 ml s/d 1000
ml, dengan dilakukan penilaian ulang selesai memberikan cairan.
Pasien dengan derajat hipovolemia ringan memerlukan cairan kristaloid
sekitar 20 ml/kgBB. Sedangkan pasien dengan derajat yang lebih berat
memerlukan jumlah cairan yang lebih banyak. Obat – obatan yang
digunakan untuk meningkatkan kerja sistem kardiovaskuler yang biasa
disebut vasopresor digunakan ketika cairan telah cukup diberikan tetapi
respon yang didapatkan belum memuaskan, atau pada pasien – pasien yang
mempunyai kontraindikasi untuk diberikan cairan yang banyak seperti pada
pasien syok kardiogenik.
d. Mengontrol Konsumsi Oksigen
Penggunaan oksigen yang berlebihan harus dikurangi, seperti kondisi
kesakitan, stress, gelisah, dan menggigil. Untuk itu upaya pemberian
analgetik, pelumpuh otot, anksiolisis sangat diperlukan.
81
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman,
nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid
yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada
dalam ruang intravaskular.
1) Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline
dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula
darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun
penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang
diakibatkan antara lain hiperomolalitas – hiperglikemik, diuresis osmotik,
dan asidosis serebral.
2) Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan
efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian
tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang
mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik.
Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang
intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini
82
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Transfusi darah
Pemberian darah tergantung respon korban gawat darurat terhadap
pemberian cairan seperti diterangkan sebelumnya. Pada fase pra – rumah sakit
jarang dilakukan pemberian tranfusi darah. Transfusi darah lazimnya diberikan
di pelayanan kesehatan, namun demikian apabila memang dibutuhkan dapat
diberikan di rumah sakit lapangan
83
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
BAB IX
SINDROM KORONER AKUT (SKA)
BAB IX
SINDROM KORONER AKUT (SKA)
1. Konsep SKA
Tanda – tanda dan gejala paling umum dari kondisi ini adalah:
Dada terasa seperti tertindih benda berat
Nyeri yang terasa samar atau terasa sangat sakit di bagian dada, leher, bahu
kiri, lengan dan menyebar ke bagian bawah (terutama di bagian lengan kiri).
85
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Rasa sakit muncul secara perlahan atau tiba-tiba, menyebar atau terasa
menyengat
Tanda – tanda dan gejala lain dari sindrom koroner akut yaitu:
Sesak napas
Detak jantung cepat atau tidak teratur
Merasa seperti ingin jatuh
Kelelahan yang parah
Otot melemah
Mual atau muntah
Keluar keringat dingin
Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
Hipertensi
Diabetes
Hiperkolesterolemia
Merokok
Kurang latihan
Diet dengan kadar lemak tinggi
Obesitas
Stress
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:
Riwayat PJK dalam keluarga
Usia di atas 45 tahun
Jenis kelamin laki-laki > perempuan
Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK
2. Pengkajian SKA
Diagnostik adanya suatu Sindrom Koroner Akut (SKA) harus ditegakkan
secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis
nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram), dan evaluasi biokimia
dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan
dari sebagian besar pasien dengan SKA. Sifat yang spesifik dari nyeri dada
angina adalah sebagai berikut:
a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial
b. Pencetus/ Provokatus: dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yaitu
aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan, stress emosi,
terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari). Keadaan
86
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Pengkajian
Pemeriksaan Fisik
1) Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis
berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 38 0 C) bisa
timbul setelah 12 – 24 jam pasca infark.
2) Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100 – 120 kali/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya
akan melambat dengan pemberian analgesik yang adekuat.
Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung
sebagai komplikasi dari infark.
Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan
kotekolamin. Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan
akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau
tanda dari syok kardiogenik.
3) Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3, atau mur – mur. Bunyi gesekan
perikard jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi
(hingga 6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler.
88
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
4) Pemeriksaan paru
Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat
gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal
itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG (Elektrokardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.Pada infark,
miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi
secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk,
dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q
terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang tak aktif secara
elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang
T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai
dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau berhari-hari
berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan umur infark miokard,
gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
2. Tes Darah
Selama serangan, sel – sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein –
protein tertentu keluar masuk aliran darah.
Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB
terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali
menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard
yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3 – 6 hari. Masih
dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu.
89
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman dan nyeri akut dapat terjadi sehubungan dengan
kurangnya suplai oksigen ke otot jantung sekunder karena oklusi arteri
coronaria. Kondisi ini ditandai dengan rasa nyeri dada hebat dengan
menjalar ke leher, punggung belakang, dan epigastrium. Di samping itu,
ekspresi wajah tampak kesakitan, kelelahan, lelah, perubahan kesadaran
nadi dan tekanan darah.
2) Keterbatasan aktivitas fisik terjadi sehubungan dengan suplai oksigen
dan keburukan oksigen yang tidak seimbang, iskemik/ kematian otot
jantung. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan, perubahan nadi dan
tekanan darah aktivitas, perubahan warna kulit.
3) Rasa cemas dapat terjadi berkaitan dengan perubahan status menjadi
sakit, ancaman kematian, dll. Kondisi ini di tandai dengan tekanan darah
meningkat, wajah tampak cemas, perhatian hanya pada diri sendiri.
4) Penurunan cardiac output dapat terjadi sehubungan dengan perubahan
nadi, aliran konduksi, dan penurunan preload/ peningkatan SVR.
5) Resiko penurunan perfusi jaringan sehubungan dengan vasokontriksi
hipovolemia.
6) Kelebihan volume cairan yang berlebahan terjadi sehubungan dengan
penurunan perfusi organ dari renal, peningkatan retensi sodium dan air,
serta peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma.
Implementasi
Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan
meninjau dari apa yang telah di rencanakan atau intervensi sebelumnya dengan
tujuan utamanya penghilangan nyeri dada, tidak ada kesulitan bernafas,
pemeliharaan atau pencapaian perfusi jaringan yang adekuat, mengurangi
kecemasan, mematuhi program asuhan diri, dan tidak adanya komplikasi
90
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Evaluasi
Hasil yang diharapkan adalah:
Pasien menunjukkan pengurangan nyeri
Tidak menunjukkan kesulitan dalam bernafas
Perfusi jaringan terpelihara secara adekuat
Memperihatkan berkurangnya kecemasan
a. Nadi
Merupakan hasil dari kardiac out put, kardiak out put merupakan
hasil dari mekanikal jantung, mekanikal jantung ditentukan oleh volume
dan otot jantung. Sehingga kalau nadi tidak normal berarti akar
permasalahannya ada volume atau pompanya. Cek dan koreksi cairannya
dan perbaiki pompanya.
Pada management pre – hospital nilai cardiac output dan tekanan
darah dapat dinilai hanya dengan nadi tanpa harus menggunakan tensi
meter. Ketika anda dapat meraba nadi radialis pasien berarti tekanan
sistolik berkisar diatas 90 mmHg, jika yang teraba hanya nadi karotisnya
berarti tekanan sistoliknya hanya berkisar 80 mmHg. Lalu apa yang
dinilai pada nadi? cek nadi, ada atau tidak? Reguler atau tidak? Kuat atau
lemah
b. Tekanan Darah (TD)
91
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
e. Pernapasan
92
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Elektrokardiogram (EKG)
Depolarisasi Spontan
Disamping Simpul SA, masih ada beberapa bagian lain dalam sistem
konduksi yang sel – selnya juga mempunyai kemampuan melakukan
depolarisasi spontan. Bagian – bagian itu adalah Simpul AV, Bundle of His,
Bundle Branches, dan Purkinje fibers. Perbedaannya dengan sel di Simpul SA
adalah rate impuls yang dibangkitkan lebih rendah dibandingkan rate yang
dibangkitkan Simpul SA. Rate yang dibangkitkan Simpul SA berkisar antara
96
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
60 sampai 100 bpm, sedang yang dibangkitkan di tempat lain dalam sistem
konduksi adalah antara 50 dan 60 bpm di Simpul AV, Bundle of His, Bundle
Branches, dan antara 30 dan 40 bpm di Purkinje fibers.
Pada kondisi tidak normal, ada kemungkinan sistem konduksi tidak dapat
menerima impuls dari Simpul SA. Penyebabnya dapat karena Simpul SA
memang tidak membangkitkan impuls, ataupun karena terjadi hambatan pada
sistem konduksi sehingga impuls dari Simpul SA tidak sampai ke Simpul AV.
Jika Simpul AV tidak menerima impuls dari Simpul SA maka sel – selnya
dapat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian, pada kondisi tidak
normal ini fungsi Simpul SA sebagai pemacu telah diambil alih oleh Simpul
AV. Bila misalnya ternyata Simpul AV ini juga mengalami kegagalan, maka
fungsi pemacu akan diambil alih oleh pemacu di bawahnya, begitu seterusnya.
Mekanisme ini merupakan pengamanan, agar jantung dapat tetap berdenyut
walaupun terjadi gangguan pembangkitan impuls pada Simpul SA. Pemacu –
pemacu yang bekerja hanya jika terjadi kondisi tidak normal ini disebut
sebagai pemacu tersembunyi (latent pacemaker).
Sadapan EKG
Sadapan Ekstremitas
Sadapan I adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan dan
elektrode positif (hitam) di lengan kiri.
Sadapan II adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan
dan elektrode positif (merah) di kaki kiri.
Sadapan III adalah dipol dengan elektrode negatif (hitam) di lengan kiri dan
elektrode positif (merah) di kaki kiri.
lengan kiri (hitam) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah"
kekuatan sinyal elektrode positif di lengan kanan.
Sadapan aVL atau "vektor tambahan kiri" mempunyai elektrode positif
(hitam) di lengan kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan
kanan (putih) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah" kekuatan
sinyal elektrode positif di lengan kiri.
Sadapan aVF atau "vektor tambahan kaki" mempunyai elektrode positif
(merah) di kaki kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan
kanan (putih) dan elektrode lengan kiri (hitam), yang "menambah" sinyal
elektrode positif di kaki kiri.
Sadapan ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF diperkuat dengan cara ini
karena sinyal itu terlalu kecil untuk berguna karena elektrode negatifnya adalah
terminal sentral Wilson. Bersama dengan sadapan I, II, dan III, sadapan
ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF membentuk dasar sistem rujukan
heksaksial, yang digunakan untuk menghitung sumbu kelistrikan jantung di
bidang frontal.
Sadapan Prekordial
Sadapan prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6 ditempatkan secara
langsung di dada. Karena terletak dekat jantung, 6 sadapan itu tak memerlukan
augmentasi. Terminal sentral Wilson digunakan untuk elektrode negatif, dan
sadapan-sadapan tersebut dianggap unipolar. Sadapan prekordial memandang
aktivitas jantung di bidang horizontal. Sumbu kelistrikan jantung di bidang
horizontal disebut sebagai sumbu Z.
Kurva EKG
Terdapat tiga gelombang, dua segmen dan tiga interval dalam EKG yang
perlu diperhatikan karena mempunyai arti klinis yang penting. Ketiga
gelombang itu adalah gelombang P, gelombang QRS dan gelombang T. Dua
segmen adalah segmen PR dan segmen ST, ketiga interval adalah interval PR,
interval QRS, dan interval QT.
102
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Secara teoritis, aksis jantung dapat berada di manapun antara sudut 180°
dan -180°. Kisaran normal aksis jantung adalah antara −30° dan +90°. Sebuah
aksis yang berada lebih dari sudut −30° dinamakan deviasi aksis kiri/ left axis
deviation/LAD, sedangkan sebuah aksis yang berada >90° dinamakan deviasi
aksis kanan/ Right Axis Deviation/ RAD. Aksis jantung antara -90 dan 180
derajat (beberapa ada yang menyebut sebagai aksis barat laut/ northwest axis)
disebut sebagai deviasi aksis ekstrem/ Extreme Axis Deviation/ EAD.
Arah aksis ditentukan oleh gelombang QRS. Jika QRS positif, maka
aksis menunjuk pada arah yang sama terhadap sadapan. Kalau QRS negatif,
maka aksis menuju pada arah yang berlawanan terhadap sadapan. Prinsip
103
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
vektor berlaku dalam menentukan aksis EKG. Pada kondisi di mana QRS
isoelektris, aksis berada 90 derajat terhadap sadapan ini. Lihat gambar
dibawah.
1500
Jumlah kotak kecil R−R '
Catatan:
Kedua cara diatas digunakan apabila irama EKG teratur, bila irama EKG
tidak teratur gunakan cara benar. Ambil rekaman EKG sepanjang 6 detik,
hitung jumlah QRS dalam 6 detik tersebut kemudian kalikan 10 atau ambil
rekaman EKG sepanjang 12 detik, hitung jumlah kemudian kalikan 5.
104
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
3. Gelombang P
Gelombang P merupakan gelombang yang harus diidentifikasi karena untuk
dapat menentukan suatu EKG berasal dari SA node atau bukan. Perhatikan
apakah gelombang P ada, bila ada apakah bentuknya normal, dalam satu
lead gelombang P sama satu dengan yang lainnya dan apakah setiap
gelombang P selalu diikuti gelombang QRS.
a. Normal: upright: I, II, aVF, V4, V5, V6. Inverted: aVR. Variable: III,
aVL, V1, V2, V3
b. P wave inverted (selain di aVR): Ectopic Atrial, irama dari AV nodal
c. Gelombang P tinggi: Right Atrial Hypertrophy (RAH) atau atrial dilatasi
d. Gelombang P lebar (lebih dari 12 sec): Left Atrial Hypertrophy (LAH)
e. P waves absent: sinoatrial node block, irama dari AV nodal
4. Interval PR
Normal interval PR adalah 0,12 – 0,20 detik. Perhatikan apakah interval PR
memanjang atau mmendek dari ukuran normal.
a. Normal : Interval: 0,12 to 0,20
b. Prolonged PR Interval : AV Node Block
c. Shortened PR Interval : Wolf – Parkinson – White Syndrome
(WPW Syndrome)
5. Durasi atau lebar gelombang QRS
Normal durasi QRS adalah 0,60 – 0,12 detik. Perhatikan amplitudo
gelombang R dan S.
a. Normal: Duration: Limb lead (I, II, III): 0.05 to 0.10. Precordial lead (V1
to V6): 0.06 to 0.12
b. QRS melebar (lebih 0,12): Konduksi abnormal pada Atrioventrikuler
c. QRS amplitudo rendah (<5 mm pada limb leads)): Pericardial Effusion
d. QRS amplitudo tinggi: evaluasi adanya Left Ventricular Hypertrophy
(LAH)
6. Segment ST-T dan Q patologis
Penilaian ini untuk melihat adanya masalah miokard jantung, baik iskemik
maupun infark acut. Normal segmen ST adalah isoelektris, bila berada
diatas garis isoelektris dikatakan segmen ST Elevasi dan bila berada
dibawah garis isoelektris disebut segmen ST Depresi. Normal Gelombang Q
tidak lebih dari 1/3 gelombang R, bila ada gelombang Q yang lebih tinggi
dari 1/3 R pada lokasi lead – lead yang telah ditentukan maka dikatakan
sebagai kondisi Old Infark atau necrosis (dalam bahasa EKG ACS).
7. Hipertrofi
Menilai adanya hipertrofi atrium kiri maupun kanan dan ventrikel kiri
maupun ventrikel kanan (dalam bahasa EKG Hipertrofi).
8. Menentukan axis jantung
105
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Axis normal berada antara -300 sampai 1100. Lebih dari -300 disebut axis
LAD, lebih dari +1100 disebut Axis RAD dan lebih dari +180 0 disebut Axis
Extreme RAD.
BAB X
KEGAWATAN TRAUMA
X
Tujuan Instruksional Umum
BAB X
KEGAWATAN TRAUMA
1. CEDERA KEPALA
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada
kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban
kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus
kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang
menderita cedera kepala.
Cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat
non – degenerative, non – congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari
luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan
psikososial yang sifatnya menetap maupun sementara dan disertai hilangnya
atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat
berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita.
Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang
belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita. Di samping
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
107
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Etiologi
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan kepada:
A. Patologi
Trauma kapitis berdasarkan patologi dibagi menjadi tiga yaitu: komosio
serebri, kontusio serebri, dan laserasio serebri.
B. Lokasi lesi
Trauma kapitis berdasarkan kepada lokasi lesi dibagi menjadi: lesi diffuse,
lesi kerusakan vaskuler otak, lesi fokal, kontusio dan laserasi serebri,
hematoma intrakranial, hematoma ekstradural (hematoma epidural),
108
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Catatan:
Pergerakan Diagnosis
Diagnosis korban gawat darurat ditegakkan berdasarkan kepada hasil:
a. Anamnesis
Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
Perdarahan pada otorhea atau rhinorhea
Amnesia traumatika misalnya amnesia retrograd atau anterograd
b. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
c. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur:
Linier
Impresi
Terbuka/ tertutup
e. CT Scan otak, hal ini untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa:
Gambaran kontusio
Gambaran edema otak
Gambaran perdarahan (hiperdens)
Hematoma epidural
Hematoma subdural
Perdarahan subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Komplikasi
2) Afasia
Hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera
pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami/mengekspresikan kata – kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis
sebelah kiri & bagian lobus frontalis disebelahnya.
3) Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan/serangkaian gerakan. Bagian otak yang mengalami kerusakan
adalah lobus parietalis/ lobus frontalis.
4) Agnosis
Suatu kelainan dimana penderita tidak mampu mengenali wajah yang dulu
dikenalnya dengan baik atau benda – benda umum (sendok, pensil). Bagian
otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis & temporalis.
5) Amnesia
Hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
yang baru saja terjadi/ peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat
menetap. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus oksipitalis,
lobus parietalis, lobus temporalis.
6) Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama), atau
lanjut (setelah satu minggu).
7) Defisit Neurologis & Psikologis
111
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan diagnostik
[1)] X ray / CT- Scan, dapat digunakan untuk:
Hematom serebral
Edem serebral
Perdarahan intrakranial
Fraktur tulang tengkorak
1)[2)] MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat digunakan dengan atau
tanpa menggunakan kontras.
2)[3)] Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
3)[4)] EEG (Elektroensefalogram) untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
4)[5)] BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak
5)[6)] PET (Positron Emission Tomography) untuk menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1) AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum
Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium,
retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin, protein
serum.
4) CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
(warna, komposisi, tekanan).
5) Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
2. TRAUMA SPINAL
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat
dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang.
Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen
dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum
tulang belakang atau spinal kord.
Merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi
sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan
saraf perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis
tergantung dari keadaan komplet atau inkomple
Etiologi
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
1) Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
2) Paraplegia
3) Tingkat neurologik
4) Paralisis sensorik motorik total
5) Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
6) Penurunan produksi keringat dan tonus vasomotor
7) Penurunan fungsi pernafasan
8) Gagal nafas
Komplikasi
a) Neurogenic shock
b) Hipoksia
c) Gangguan paru – paru
117
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
d) Instabilitas spinal
e) Orthostatic hipotensi
f) Ileus paralitik
g) ISK (Infeksi Saluran Kemih)
h) Batu saluran kemih
i) Kontraktur
j) Dekubitus
k) Inkontinensia blader
l) Konstipasi
Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
a. CT Scan
Menentukan tempat luka/ jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
b. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
c. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adanya dilusi pada ruang sub
arachnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
d. Foto rontgen thorax, memperlihatkan keadaan paru (contoh: perubahan pada
diafragma, ateletaksis).
e. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma cervikal bagian
bawah atau pada trauma thorakal dengan gangguan pada saraf frenikus/ otot
interkostal).
f. GDA, menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
PENATALAKSANAAN
b) Head immobilizer
c) Long Spine Board (LSB)
d) Short Spine Board (SSB)
e) Kendrick Extricaton Device (KED)
Pengkajian
1) Data Subyektif
a. Riwayat kondisi saat ini (peregangan tiba – tiba, penggunaan
kekuatan berlebih terhadap sendi, aktivitas fisik berat, nyeri sendi)
b. Riwayat medis (pasca injury, pembedahan, adanya masalah dengan
sendi, adanya riwayat penyakit pada sendi, injeksi steroid,
pengobatan saat ini)
2) Data Obyektif
Pemeriksaan fisik pada sendi yang terkena (inspeksi, palpasi,
kehilangan fungsi motorik, kehilangan rasa/ perubahan sensorik).
Tindakan awal:
B. Dislokasi
Dislokasi terjadi ketika bagian permukaan artikular tulang yang
membentuk sendi tidak lagi tersambung dan kehilangan posisi anatomisnya.
Ujung tulang dapat bergerak karena kelemahan secara kongenital, penyakit
yang mempengaruhi struktur artikular dan periartikular, dan berkaitan
dengan trauma. Dislokasi berkaitan dengan kondisi emergensi karena
bahaya injury terhadap kerusakan saraf dan pembuluh darah dalam bentuk
kompresi, peregangan dan iskemia. Dislokasi digambarkan dalam istilah
segment distal dalam kaitannya dengan segment proximal. Subluksasi sendi
terjadi ketika beberapa permukaan artikular masih menempel tapi tidak
sempurna. Seseorang yang di duga atau diketahui adanya injury ortopedik
sebaiknya dikaji dengan hati-hati apakah fraktur atau dislokasi. Jika
seseorang diduga maka tungkai sebaiknya dibelat, pengkajian neurovasuler
dilakukan, radiografik, dan injuri di kurangi sesegera mungkin.
Pengkajian
1) Data Subyektif
a. Riwayat kondisi saat ini
Kronologi proses terjadinya/ penyebab dislokasi
Gejala sejak timbul gangguan dislokasi: nyeri, gangguan
neuromuskular
Pengobatan awal: immobilisasi, percobaan untuk mereduksi,
penggunaan es dan elastic verban, pengobatan yang digunakan
b. Riwayat medis
120
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Tindakan awal:
a. Tentukan fungsi neruvaskuler bagian distal
b. Immobilisasi sendi untuk mencegah injury lebih lanjut
c. Tinggikan sendi
d. Berikan kompres es untuk mengurangi bengkak
e. Persiapkan untuk reduksi
C. Fraktur
Fraktur didefinisikan sebagai rusaknya/terputusnya kontinuitas tulang.
Putusnya tulang dapat disebabkan oleh tindakan yang berulang pada tulang
atau kekuatan yang signifikan pada tulang, atau mungkin akibat dari tekanan
yang berulang tiap hari pada sebuah tulang yang mengalami kelemahan
akibat proses patologis(fraktur patologis). Fraktur dapat diklasifikasikan
menjadi fraktur terbuka dan tertutup. Trauma merupakan faktor utama
penyebab fraktur. Mekanisme injury meliputi kecelakaan lalu lintas, pejalan
kaki tertabrak kendaraan, tabrakan motor, jatuh dan olah raga. Fraktur
terbuka memungkinkan pasien menghadapi masalah kontaminasi luka,
infeksi yang menyebabkan kerusakan pada vaskulerisasi tulang. Injury yang
hancur menjadi perhatian khusus karena terdapat kerusakan yang hebat pada
sekitar jaringan lunak. Anak – anak mempunyai resiko fraktur yang sedikit
karena elastisitas dari struktur tulang mereka. Lansia lebih beresiko terhadap
121
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
fraktur karena struktur tulang berubah berkaitan dengan proses penuaan dan
penyakit metabolik. Tujuan dari pengobatan fraktur adalah untuk
memperbaiki kelurusan tulang dan fungsi serta mengurangi kecacatan.
Pertimbangan Umum
1) Tampak adanya kerusakan pada pemeriksaan radiologi
Transverse
Linear
Oblique non – displaced
Oblique diplaced
Spiral
Greenstick
Comminuted
1) Tahap Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan
yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung
fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah.
Tempat cidera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih
besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi,
pembengkakan dan nyeri.
4. TRAUMA THORAK
A. Latar Belakang
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan
luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala –
gejala umum dan rancu.
Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang
berhubungan dengan trauma di amerika serikat dan berkaitan dengan 50%
kematian yang berhubungan dengan trauma yang mencakup cedera sistem
multiple. Trauma dada diklasifikasikan dengan tumpul atau tembus
(penetrasi). Meski trauma tumpul dada lebih umum, pada trauma ini
seringtimbul kesulitan dalam mengidentifikasi keluasan kerusakan karena
gejala – gejala mungkin umum dan rancu.
B. Pengertian
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
125
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
C. Etiologi
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
1) Tension pneumothorak – trauma dada pada selang dada, penggunaan
therapy ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan
pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
2) Pneumothorak tertutup – tusukan pada paru oleh patahan tulang iga,
ruptur oleh vesikel flaksid yang seterjadi sebagai kelanjutan dari PPOM.
3) Tusukan paru dengan prosedur invasif.
126
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
D. Klasifikasi
Trauma dada dikalsifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Trauma tajam
Pneumothoraks terbuka
Hemothoraks
Trauma tracheobronkial
Contusio paru
Ruptur diafragma
Trauma mediastinal
2) Trauma tumpul
Tension pneumothoraks
Trauma tracheobronkhial
Flail chest
Ruptur diafragma
Trauma mediastinal
Fraktur kosta (tulang rusuk)
E. Prognosis Penyakit
1. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura
sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest
wound). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea,
maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension
pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventilasi karena lubang pada
paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan:
127
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada
satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada
ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk
kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal.
5. Tamponade jantung
Luka tembus/ tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada
daerah perkotaan. Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.
Tanda gejala yang sering muncul antara lain:
Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan
menembus jantung
Gelisah
Pucat, keringat dingin
Peningkatan TVJ (Tekanan Vena Jugularis)
Pekak jantung melebar
Bunyi jantung melemah
Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure
ECG terdapat low voltage seluruh lead
Perikardiosentesis keluar darah
F. Pemeriksaan Diagnostik
128
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
G. Penatalaksanaan
1) Gawat Darurat/ Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian
maupun di InstalasiGawat Darurat (IGD) pelayanan rumah sakit dan
sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan
memperhatikan prinsip kegawatdaruratan.
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan
masing-masing klien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting
dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui
dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/ tidak sadar maka
tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan :
a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Airway)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan
pada jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk
atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan.Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk
Pada mulut korban.
130
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
3) Invasif / Operatif
a) WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
b) Ventilator
132
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
2. TRAUMA ABDOMEN
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ – organ yang berada di
rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen
kasus – kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya
perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna
bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau
pasien bahkan bisa menimbulkan kematian.
Oleh karena itu, kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan
pada system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal – hal
tersebut dapat kita hindari. Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke
tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada
trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai,
misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih
merupakan tantangan bagi ahli klinik. Diagnosa dini diperlukan untuk
pengelolaan secara optimal.
Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena
adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait. Jejas pada abdomen
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul
dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan
kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multipel.
Perforasi adalah kemungkinan yang bisa terjadi pada trauma abdomen.
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia
atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung,
maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul
gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon,
mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala – gejala akut abdomen
karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil
akhirnya adalah feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu
segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan,
133
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
Istilah trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan keadaan
klinik akibat kegawatan dirongga abdomen yang biasanya timbul mendadak
dengan nyeri sebagian keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering beru tindakan beda, misalnya pada
obstruksi, perforasi atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan
cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga
perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan beda harus segara diambil karena
setiap kelambatan akan menyebabkan penyulit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penegtahuan mengenai
anatomi dan faal abdomen beserta isinya sangat menentukan dalam
menyingkirkan satu demi satu sekian banyak kemungkinan penyebab trauma
abdomen. Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi –
trauma, gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat sehingga
memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi untuk dapat menetapkan
diagnosis.
A. Pengertian
C. Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium). Disebabkan oleh:
Luka akibat terkena tembakan
Luka akibat tikaman benda tajam
Luka akibat tusukan
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium). Disebabkan oleh:
Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
Hancur (tertabrak mobil)
Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
Cedera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
D. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat
135
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
E. Manifestasi Klinis
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Respon stres simpatis
Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium).
Kehilangan darah.
Memar/ jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ – organ.
Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
Iritasi cairan usus.
F. Penatalaksanaan
136
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
3) Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
a. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan,
sirkulasi) sesuai indikasi.
b. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan, gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar
dan menimbulkan hemoragi masif.
c. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
d. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah hasil sinar x leher
didapatkan.
e. Gunting baju dari luka dan hitung jumlah luka.
f. Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
g. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera
abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
h. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
i. Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka
dada.
j. Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
k. Perhatikan kejadian syok setelah respons awal terjadi terhadap
transfusi, ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.
l. Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan.
m. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga
peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
n. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin
basah untuk mencegah nkekeringan visera.
o. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi lanjut.
p. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya
peristaltik dan muntah.
q. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau haluaran urine.
138
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
G. Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi
Trombosis vena
Emboli pulmonar
Stress ulserasi dan perdarahan
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
139
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life
Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance
Gawat Darurat 118.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita
Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK.
UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use
among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health
interview survey, January-June 2011.
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with
medical emergency team (MET) guidelines.
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen
Publication.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998).
Emergency Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon &
Schuster Co.
The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury:
triage, assessment, investigation and early management of head injury in
infant, children and adults. London: The National Institue for Health and
Clinical Excellence
Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati
Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.