Anda di halaman 1dari 140

1

RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten


2
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BUKU PANDUAN UNTUK PESERTA PELATIHAN

BASIC TRAUMA CARDIAC LIFE SUPPORT

Buku ini didedikasikan untuk rekan – rekan perawat yang peduli dengan
kesehatan sehingga korban – korban dengan kegawat daruratan khususnya akibat
trauma dan gangguan kardiovaskuler dapat diselamatkan dengan baik.

“EVERYBODY CAN SAVE A LIFE”

RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO


KLATEN
3
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan buku pedoman pelatihan Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS) ini.

Buku ini disusun dengan tujuan untuk membantu mahasiswa perawat dan
perawat yang mengikuti pelatihan BTCLS sehingga memudahkan dalam
memahami materi yang disampaikan, dan juga dapat digunakan sebagai panduan
dan acuan dalam menangani kasus Gawat Darurat yang dijumpai dimanapun
mereka berada.

Buku ini disusun dengan konsep yang sederhana dan aman serta bahasa
yang mudah dipahami dalam penanganan kasus gawat darurat, dengan demikian
pasien diharapkan dapat diuntungkan dan dapat diselamatkan.

Akhir kata semoga buku ini berguna bagi mahasiswa perawat dan perawat
dalam tatalaksana gawat darurat.

Penyusun
4
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I ETIKA DAN HUKUM DALAM KEPERAWATAN GAWAT


DARURAT

BAB II KONSEP DASAR GAWAT DARURAT

BAB III SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT


TERPADU

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

BAB V PENGKAJIAN AWAL(INITIAL ASSESSMENT)

BAB VI MENGELOLA JALAN NAPAS DAN PERNAPASAN PADA


KONDISI GAWAT DARURAT

BAB VII BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

BAB VIII SYOK HIPOVOLEMIK

BAB IX SINDROM KORONER AKUT (SKA)

BAB X KEGAWATAN TRAUMA

DAFTAR PUSTAKA
5
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB I
ETIKA DAN HUKUM
DALAM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami etik dan aspek legal
keperawatan gawat darurat.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan peran dan fungsi perawat gawat darurat.


2. Menjelaskan etik keperawatan gawat darurat.
3. Menjelaskan aspek legal keperawatan gawat darurat.

BAB I
6
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

ETIKA DAN HUKUM

DALAM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

I. Pendahuluan
Etik merupakan prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan
salah. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik
serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Terminologi etik dan moral secara umum memiliki kemiripan. Etik
memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan
terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau
dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan
kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik juga dapat
digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi
perilaku profesional. Etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan apa yang seharusnya manusia berperilaku terhadap orang lain.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan
membutuhkan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam melaksanakan hidup
beermasyarakat tersebut, berlangsung interaksi yang intensif antar anggota
masyarakat. Agar interaksi berlangsung tanpa benturan dan dapat
mendatangkan manfaat optimal, diperlukan adanya aturan berprilaku setiap
warga masyarakat. Bentuk pengaturan prilaku yang dimaksud banyak
macamnya, untuk masyarakat profesi kesehatan antara lain tercantum dalam:
 Kode etik profesi kesehatan.
Kode etik profesi kesehatan mencakup aturan dan etika yang dipakai dalam
dunia kesehatan. Aturan ini juga mencakup tatanan perilaku sebaiknya
seorang perawat baik ditempat kerja maupun didalam masyarakat.
 Hukum kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup aturan – aturan dalam bidang medis yang
mencakup cara melakukan suatu tindakan kepada korban. Hukum kesehatan
ini diberlakukan baik kepada dokter maupun perawat.

II. Kode Etik Profesi Kesehatan


Etik berasal dari kata “ethics” yang berarti prinsip moral
(moraleprinciples) atau aturan berprilaku (rules of conduct). Prinsip moral dan/
atau aturan berprilaku tersebut dihimpun dalam suatu pedoman (code) yang
disebut kode etik (code of ethics).
Kode etik adalah suatu pedoman yang mengandung norma – norma
dalam berprilaku. Kode etik yang berlaku untuk warga profesi disebut kode
7
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

etik profesi. Setiap profesi mempunyai kode etik profesi. Kode etik profesi
disusun oleh warga profesi. Sanksi pelanggaran kode etik profesi ditegakkan
oleh warga profesi sendiri.
Kode etik profesi kesehatan adalah kode etik yang ditemukan dan
berlaku bagi kalangan profesi kesehatan. Sebagai contoh dokter yang memiliki
kode etik yang berlaku bagi dokter sendiri dan jiga perawat memiliki kode etik
tersendiri. Dibandingkan dengan profesi lain, kode etik profesi kesehatan
adalah kode etik yang tertua.
A. Teori Etik
1. Utilitarian
Menurut pandangan aliran utilitarian bahwa kebenaran atau
kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekuensi atau akibat tindakan,
contoh: mempertahankan kehamilan yang beresiko tinggi dapat
menyebabkan hal lain yang tidak menyenangkan, nyeri atau korban
gawat daruratan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada dasarnya hal
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya.
2. Deontologi
Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip –
prinsip tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber
– sumber, dan euthanasia. Untuk mengimplementasikan suatu tindakan
agar supaya dilakukan informed consent dan dalam melakukan informed
consent otonomy korban dan keluarga menduduki prioritas yang utama.

B. Tipe-tipe Etik
1. Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang
kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan.
Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul
tentang hubungan antara ilmu dan kehidupan, bioteknologi, pengobatan,
politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik
pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan
pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik
mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin membantu atau
bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap perasaan takut
dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan
pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain: peningkatan mutu
genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan.
Berdasarkan paragraf sebelumnya, bioetik lebih berfokus pada
dilema yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi teori etik
dan prinsip etik terhadap masalah – masalah pelayanan kesehatan.
2. Etik di Klinik Kesehatan (Clinical Ethics)
8
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Etik pada tatanan klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih
memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada
klien. Contoh clinical ethics: adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknyaa merespon permintaan petugas
kesehatan yang kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Etik Keperawatan (Nursing Ethics)
Etik keperawatan merupakan bagian dari bioetik yang merupakan
studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam tindakan
keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.
Berdasarkan kepada etik keperawatan tersebut seorang perawat
melakukan tindakan yang dianggap baik secara keilmuan dan kondisi
korban gawat darurat.

C. Prinsip-prinsip Etik dalam Kondisi Gawat Darurat


Terdapat enam prinsip etik yang harus dicermati oleh petugas
kesehatan saat melakukan intervensi meliputi: otonomi, beneficience
(berbuat baik), keadilan (justice), tidak merugikan (nonmaleficience),
kejujuran (veracity), menepati janji (fidelity), memelihara kerahasiaan
(confidentiality), dan akuntabilitas (accountability). Berikut ini adalah
uraian tentang prinsip – prinsip etik yang dimaksud.
1. Otonomi (Autonomy)
Disebut juga dengan istilah menghormati martabat manusia
(respect for person). Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa
individu mampu berfikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri.
Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih, dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang
harus dihargai oleh orang lain.
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu
yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak – hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan
memerlukan pencegahan dan kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip – prinsip moral, legal dan
9
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika


perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Tidak Merugikan (Nonmalficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan
psikologis pada klien. Prinsip ini mengajarkan kepada kita memilih
tindakan yang paling sedikit bahayanya untuk korban atau yang paling
kecil efek sampingnya.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan
kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat,
komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada
klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan.
Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan
adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan
prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik
bahwa “doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka
memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya.
Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling
percaya.
6. Menepati Janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmennya yang
dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode
etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah
untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan dan meminimalkan korban gawat darurat.

7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien
harus dijaga privasinya oleh perawat. Segala sesuatu yang terdapat dalam
dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka
pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi
10
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan.


Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman
atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali. Penerapan prinsip etik ini tergantung pada kondisi tertentu
yang harus menjadi pertimbangan. Satu prinsip menjadi lebih penting
dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain
(primafacie).

III. Hukum
Hukum adalah suatu aturan yang mengatur prilaku setiap anggota
masyarakat yang bersifat memaksa yang ditetapkan oleh pemerintah. Jenis –
jenis hukum diantaranya:
1. Hukum administrasi: izin sarana pelayanan kesehatan, izin
menyelenggarakan praktik kesehatan
2. Hukum pidana: perbuatan yang bertentangan dan atau membahayakan
kepentingan umum
3. Hukum perdata: perbuatan yang merugikan orang lain

A. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum umum yang mengatur
prilaku anggota masyarakat, utamanya anggota masyarakat kesehatan, yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan mencakup:
1. Aspek administrasi
2. Aspek pidana
3. Aspek perdata
B. Manfaat Hukum Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu kesehatan, hukum
kesehatan bermanfaat untuk:
1. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan.
2. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemakai jasa
pelayanan kesehatan.
3. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
4. Memantapkan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan.
5. Mendorong perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan.
C. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Terkait dengan macam, jumlah, dan perkembangan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di suatu negara, untuk Indonesia, secara umum dapat
dikelompokkan atas 8 macam lingkup hukum kesehatan yaitu mencakup:
11
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

1. Sarana Pelayanan Kesehatan


2. Tenaga Kesehatan
3. Komoditi Kesehatan
4. Perikatan Hukum
5. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
6. Pengobatan Tradisional
7. Masalah Kesehatan Khusus
8. Lembaga Peradilan

KERANGKA DAN MATERI HUKUM KESEHATAN

NO RUANG LINGKUP MACAM/ ASPEK MATERI HUKUM


1 Sarana pelayanan RS, puskesmas, Standarisasi, hak,
balkesmas, poli, apotek, kewajiban, kewenangan,
optik, lab, PP, PB, Dinkes, akreditasi, lisensi, sanksi
LSM Kes, Yayasan kes,
Donor kes
2 Tenaga kesehatan Medis, keperawatan, Standarisasi, hak,
kefarmasian, kesehatan kewajiban, kewenangan,
masyarakat, gizi, sertifikasi, registrasi,
keterapian fisik, lisensi, sanksi
keteknisan medis
3 Komoditi kesehatan Sediaan farmasi, alat Standarisasi, lisensi,
kesehatan, komoditi lain produksi, distribusi,
sanksi
4 Perikatan hukum Sarana yankes, nakes – Hak, kewajiban,
korban, askes, askes – penyelesaian, sengketa
korban
5 Diklat tenaga Jenjang, kurikulum, Standarisasi, lisensi,
kesehatan sarana, tenaga, metoda akreditasi, sanksi
6 Pengobatan Ketrampilan, ramuan, Standarisasi, hak,
tradisional tenaga dalam, ajaran kewajiban, kewenangan,
agama, supranatural sertifikasi, lisensi, sanksi
7 Masalah kesehatan Wabah, imunisasi, Standarisasi, hak,
khusus kesehatan lingkungan, kewajiban, kewenangan,
aborsi, transplantasi organ, prosedur, sanksi
euthanasia, bedah mayat
8 Lembaga peradilan Lembaga, tenaga Dasar hukum, tata cara,
sanksi

IV. Keperawatan Gawat Darurat


Keperawatan gawat darurat adalah bagian dari asuhan keperawatan yang
berhadapan dengan korban yang berada dalam keadaan gawat darurat
(emergensi, kritis). Asuhan keperawatan gawat darurat atau emergensi saat ini
diselenggarakan di Unit Gawat Darurat (Emergency Care Unit) dan atau di
12
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

ruang rawat pada korban yang mengalami kondisi gawat darurat. Namun bila
kita cermati rentang praktik gawat darurat, maka kondisi gawat darurat dapat
terjadi di luar rumah sakit atau di komunitas (pra hospital dan post hospital)
serta di rumah sakit sendiri (in hospital).
Karena asuhan keperawatan gawat darurat merupakan bagian dari asuhan
keperawatan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, baik
di masyarakat maupun di rumah sakit. Maka secara keseluruhan pada asuhan
keperawatan gawat darurat juga berlaku: aspek etis (kode etis keperawatan)
dan aspek hukuuum (hukum kesehatan).

V. Aspek Etis Keperawatan Gawat Darurat


Aspek etis keperawatan gawat darurat terkait dengan prinsip etik bahwa
dalam kondisi gawat darurat otonomi korban dan keluarga menempati posisi
yang menentukan. Khususnya bila korban sadar atau keluarga mendampingi
korban. Tetapi disisi lain bila korban tidak sadar dan tidak ada keluarga yang
mendampingi, maka prinsip memilih tindakan yang paling menguntungkan
korban dapat menjadi suatu prioritas secara etis.

A. Hubungan Perawat dengan Korban


Diyakini bahwa perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan korban dan tidak
terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, ,
jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut, serta kedudukan sosial.
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawwatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai – nilai budaya,
adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari korban.
Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan. Perawat wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan
kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

B. Hubungan Perawat dengan Praktik


Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang
keperawatan melalui belajar terus menerus. Perawat senantiasa memelihara
mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional yang
menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan korban.
Perawat dalam membuat keputusan berdasarkan pada informasi yang
akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila
melakukan konsultasi, menerima delegasi, dan memberikan delegasi kepada
13
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

orang lain. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi


keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.

C. Upaya Mencegah Pelanggaran Kode Etik


Untuk terselenggaranya asuhan keperawatan gawat darurat yang baik,
pasal – pasal yang tercantum dalam kode etik keperawatan tersebut harus
dapat dilaksanakan secara utuh dan konsekuen. Pelaksanaan kode etik
profesi yang baik, lazimnya memerlukan pembinaan dan pengawasan.
Sehingga untuk pembinaan dan pengawasan keterlaksanaan etika
profesi pada tatanan praktek maka perlu dibentuk Majelis Kehormatan Etika
Profesi pada setiap organisasi profesi. Dengan demikian anggota profesi
yang melanggar kode etik profesi akan mendapatkan sanksi profesi dn
pembinaan kode etik profesi.

D. Aspek Hukum Keperawatan Gawat Darurat


Aspek hukum keperawatan gawat darurat terkait dengan perikatan hukum
mencakup:
1. Korban datang atau dibawa ke sarana pelayanan kesehatan.
2. Perawat berkewajiban memberikan pertolongan kepada korban.
3. Terjadi perikatan hukum antara korban dan perawat dalam bentuk
kontrak terapeutik (contract therapeutic).
Masalah yang sering terjadi dalam kontrak terapeutik adalah ketidakpuasan
korban yang salah satu penyebabnya adalah malpraktik (malpractice).

E. MalPraktik Keperawatan
Malpraktik dalam praktik keperawatan adalah setiap kesalahan
profesional yang diperbuat oleh seorang perawat karena menyelenggarakan
asuhan keperawatan dibawah standar yang sebenarnya secara rata – rata dan
masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap perawat dalam situasi dan ataupun
tempat yang sama (modifikasi dari A. Hoekema, 1981).

F. Kriteria MalPraktik Keperawatan


Kriteria terrjadinya malpraktik dalam pelayanan keperawatan (modifikasi
dari Bernard Knight, 1972) memenuhi tiga unsur yaitu:
1. Adanya kewajiban memberikan asuhan keperawatan kepada korban
2. Adanya pelanggaran terhadap kewajiban yang seharusnya dilakukan
terhadap korban
3. Sebagai akibat pelanggaran kewajiban tersebut, timbul kerugian pada
korban

G. Upaya Mencegah MalPraktik dalam Pelayanan Gawat Darurat


14
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Untuk mencegah terjadinya malpraktik dalam pelayanan pelayanan gawat


darurat maka, ada tiga hal pokok yang harus dilakukan, yakni:
1. Melaksanakan inform consent: pada korban yang gawat darurat
(emergensi, kritis) sering tidak diperlukan
2. Melaksanakan semua tindakan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan
3. Mengisi catatan keperawatan (client record) yang lengkap
Baik atau tidaknya pelayanan gawat darurat ditentukan antara lain
oleh baik atau tidaknya perilaku perawat pada waktu menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat. Pengaturan perilaku perawat, antara lain tercantum
dalam Kode Etik Keperawatan serta hukum kesehatan.
Untuk asuhan keperawatan gawat darurat, pengaturan aspek etis
tercantum dalam pasal – pasal kode etik keperawatan. Sedangkan untuk
aspek hukum tercantum dalam pasal – pasal yang mengatur perilaku hukum.
Apabila kedua pengaturan ini dapat diterapkan dengan sebaik – baiknya,
akan dapat dicegah terjadinya keadaan yang tidak diinginkan korban (antara
lain berupa malpraktik).
15
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB II
KONSEP DASAR GAWAT DARURAT

Tujuan Instruksional Umum


Setelah melaksanakan pelatihan ini peserta mampu memahami tentang
konsep dasar gawat darurat.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti materi ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan tentang konsep dasar gawat darurat.
2. Mengidentifikasi tujuan pelayanan gawat darurat.
3. Menjelaskan falsafah gawat darurat.
4. Menjelaskan proses pelayanan gawat darurat.
16
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB II
KONSEP DASAR GAWAT DARURAT

A. Pendahuluan
Kondisi kegawat daruratan dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja.
Sudah menjadi tugas petugas kesehatan untuk menangani masalah tersebut,
walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan kondisi kegawatdaruratan
dapat terjadi pada area yang sulit dijangkau petugas kesehatan, maka pada
kondisi tersebut, peran serta masyarakat untuk membantu korban sebelum
ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat penting.
Konsep dasar gawat darurat merupakan satu hal yang sangat penting
untuk dipahami oleh semua profesi kesehatan termasuk orang awam ataupun
awam khusus. Kondisi gawat darurat dapat terjadi akibat dari trauma atau non
– trauma yang mengakibatkan henti nafas., henti jantung, kerusakan organ
atau perdarahan.
Dalam kondisi gawat darurat, tiga hal yang paling kritis adalah pertama
kecepatan waktu kali pertama korban ditemukan, kedua ketepatan dan akurasi
pertolongan pertama yang diberikan, ketiga pertolongan oleh petugas
kesehatan yang kompeten. Statistik membuktikan bahwa hampir 90% korban
meninggal ataupun cacat disebabkan karena korban terlalu lama dibiarkan
atau waktu ditemukan telah melewati “the golden time period” dan
ketidaktepatan serta akurasi pertolongan pertama saat kali pertama korban
ditemukan.
Dengan pemahaman yang utuh terhadap konsep dasar gawat darurat,
maka angka kematian dan kecacatan dapat ditekan serendah mungkin.
Korban gawat darurat yang unik yang sampai saat ini belum disentuh secara
maksimal adalah korban perkosaan. Korban perkosaan kejadian gawat
daruratnya tidak pada rentang pra – rumah sakit atau di dalam rumah sakit,
tetapi pasca rumah sakit yaitu setelah korban divisum dan pulang kerumah.
Karena korban merasa sudah tidak berharga lagi, malu dan tidak memiliki
harapan sehingga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

B. Rentang Gawat Darurat


Rentang kondisi gawat darurat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: pre
– hospital, in hospital, dan post – hospital. Karena keadaan gawat darurat di
komunitas biasanya lebih kompleks dibanding kejadian gawat darurat di
rumah sakit. Kompleksitas karena dapat mencakup daerah yang amat luas
seperti kejadian Tsunami di Aceh tahun 2004 atau daerah lain di Indonesia.
Bila keadaan gawat darurat akibat bencana kita harus tahu fase – fase bencana
yang mencakup fase pra – impact, fase impact, fase emergency dan fase
17
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

rekonstruksi. Pada fase emergency diperlukan bantuan makanan, pakaian dan


pertolongan oleh petugas kesehatan. Ironisnya, biasanya korban ditemukan
bukan oleh petugas kesehatan atau masyarakat terlatih (awam khusus), karena
Indonesia memang belum memiliki awam khusus yang terlatih mengelola
gawat darurat di komunitas.

Pre Hospital In Hospital Post Hospital

Comunity Hospital Comunity


 Bencana alam  Emergency  Rehabilitasi
 Teroris Room  Ansietas –
 Perang  Setiap ruangan panik
 Wabah  Putus asa
 Kecelakaan  Harga diri
rendah

C. Tujuan Pelayanan Gawat Darurat


Kondisi gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre – hospital
maupun in hospital. Oleh karena itu tujuan dari pertolongan gawat darurat
dalam kaitannya dengan rentang kegawatdaruratan terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Pre – Hospital
Dalam rentang kondisi pre – hospital ini dapat terjadi dimana saja serta
dalam setiap wakt, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun
petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan
kondisi kegawatdaruratan yang berupa:
a. Menyingkirkan benda – benda berbahaya di tempat kejadian yang
beresiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang
menggantung atau dicurigai masih terdapat bom. Petugas kesehatan
hanya boleh memberikan pertolongan apabila kondisi sudah aman dari
resiko jatuhnya korban berikutnya.
b. Melakukan triase atau memilah dan menentukan kondisi korban gawat
darurat serta memberikan bertolongan pertama sebelum petugas
kesehatan yang lebih ahli datang untuk membantu.
c. Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
d. Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih
aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi
korban.
e. Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana.
2. In – Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh
petugas kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas
18
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

kesehatan di dalam sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan


pertolongan di rumah sakit adalah:
a. Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai
dengan kondisinya.
b. Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
c. Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang akurat.
d. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding – sebelum bencana
menimpanya.
e. Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.
3. Post – Hospital
Pada kondisi post – hospital hampir semua pihak menyatakan hampir
sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat
ada yang terjadi justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu
korban perkosaan. Karena mengalami trauma psikis yang mendalam:
merasa tidak berharga, harga diri rendah, malu dan tidak punya harapan
sehingga korban – korban perkosaan mengambil jalan pintas dengan
mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan pelayanan dalam rentang
post – hospital adalah:
a. Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
b. Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh dan
berkembang.
c. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang – orang terdekat
dan masyarakat yang lebih luas.
d. Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan nyata
korban.
e. Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya pada masa yang
akan datang.

D. Falsafah Gawat Darurat


Bidang Garapan Pelayanan Gawat Darurat
Bidang garapan pelayanan gawat darurat terbentang sangat luas dan
melibatkan multi disiplin ilmu, multi kebijakan dan mungkin melibatkan
keputusan politik. Pada kesempatan ini hanya akan dibahas berkaitan dengan
kegawatdaruratan kesehatan.
Dalam kegawatdaruratan kesehatan bidang garapan pelayanan gawat
darurat mencakup tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berupa:
kebutuhan akan jalan nafas yang utuh (Airway), kebutuhan untuk bernafas
secara normal (Breathing), kebutuhan cairan dan sirkulasi yang adekuat
(Circulation), kebutuhan akan pergerakan yang normal (Disability), dan
kebutuhan akan integritas fisik yang utuh (Exposure). Semua itu dikenal
19
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

dengan ABCDE atau untuk memberikan pelayanan gawat darurat sebagai


panduan assessmentnya adalah A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), D
(Disability), dan memastikan bahwa korban bencana memiliki keutuhan
secara fisik sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan dibuka pakaiannya
atau diperiksa lebih lanjut atau E (Exposure).
Bidang garapan gawat darurat dikaitkan dengan rentang gawat darurat
mencakup Pre – Hospital, kondisi pra rumah sakit. Artinya kondisi gawat
darurat dapat ditangani pada kondisi pra rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara seperti: mengamankan situasi korban gawat darurat, memberikan
bantuan hidup dasar sampai kondisi korban aman, atau dapat melakukan balut
bidai pada korban gawat darurat. In – Hospital, atau kondisi di dalam rumah
sakit. Pada situasi seperti ini, korban sudah masuk dalam lingkungan rumah
sakit. Tentunya hal ini akan menjadi tanggung jawab petugas kesehatan
dalam memberikan bantuan medis bagi korban. Post – Hospital, atau setelah
pulang dari rumah sakit dan kembali ke rumah. Pada kondisi ini, korban
gawat darurat harus tetap dikontrol setelah keluar dari rumah sakit agar
komplikasi yang mungkin terjadi semenjak keluar dari rumah sakit dapat
segera ditangani. Hal ini membutuhkan bantuan semua orang baik korban,
keluarga atau petugas kesehatan untuk sama – sama melakukan kontrol
korban setelah keluar dari rumah sakit.
Kesenjangan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, pada tingkat
individu, keluarga dan komunitas yang harus dipenuhi segera diyakini
sebagai bidang garapan pelayanan kesehatan gawat darurat. Kondisi gawat
darurat yang dapat menimpa siapa saja dan kapan saja tentunya tidak boleh
membeda – bedakan manusia satu dengan yang lainnya. Semua yang
membutuhkan bantuan harus dibantu, tidak boleh membeda – bedakan ras,
suku, agama dan lain – lain. Hal ini menjadi salah satu falsafah dalam
penanganan korban gawat darurat.
Kondisi gawat darurat biasanya berorientasi pada resusitasi pemulihan
bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat berhentinya fungsi
jantung atau paru – paru yang berorientasi pada otak. Keyakinan yang perlu
ditanamkan bahwa:
1. Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan,
misalnya henti nafas, henti jantung, ataupun perdarahan masif akibat
trauma amputasi, perdarahan hebat karena aborsi atau melahirkan.
2. Pertolongan diberikan karena mengancam kerusakan organ – organ
vital, misalnya pada keadaan keracunan, diare akut yang hebat disertai
muntah – muntah, hipertensi masif, atau kematian janin dalam
kandungan.
3. Terapi kegawatan intensif: tindakan terbaik untuk korban sakit kritis
akibat tidak segera di – intervensi menimbulkan kerusakan organ yang
akhirnya meninggal.
20
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pada saat menolong korban maka perlu diperhatikan pertimbangan hukum


dan etika gawat darurat yang mencakup:
1. Preferensi korban dan keluarga menjadi pertimbangan, untuk
menolong atau tidak menolong. Kewenangan pribadi korban dan atau
keluarga untuk menyetujui atau menolak tindakan yang akan
diberikan merupakan prinsip etik yang wajib dihormati.
2. Hak – hak korban: keinginan korban & keluarga sangat dominan.
3. Pada kondisi korban tidak sadar di rumah sakit, kiranya perlu
konsultasi dengan panitia etik RS. Harus ada intruksi kerja (IK) untuk
mengantisipasi keadaan gawat darurat.
4. Dasar intervensi gawat darurat antara korban dengan petugas
kesehatan adalah kepercayaan korban kepada petugas. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan kepercayaan yang terus menerus maka
petugas harus berprilaku baik dan profesional. Profesional sesuai
dengan kompetensi dan kewenangannya.
5. Persetujuan tindakan (informed consent) harus dilakukan baik secara
verbal maupun tertulis.

E. Kontrak
Dalam memberikan pertolongan pada kondisi korban gawat darurat hal
– hal kritis mungkin dapat terjadi. Sehingga apabila diperlukan tindakan lain,
maka diperlukan kontrak antara petugas kesehatan dengan korban atau
keluarga korban. Kontrak atau persetujuan perlu dilakukan untuk mengambil
keputusan yang tepat. Kontrak atau persetujuan dapat berupa:
1. Persetujuan kedua belah pihak. Hal ini antara petugas kesehatan yang
berwenang (dokter) dengan keluarga korban.
2. Hal terpenting adalah korban memahami, mengisi persetujuan dan
setuju tindakan yang akan dilakukan.
3. Perawat memastikan korban memahami, telah mengisi dengan benar
dan setuju dilakukan tindakan.

F. Kompetensi Praktis
Kompetensi praktik diperlukan oleh petugas kesehatan dalam hal melakukan
interaksi dengan korban gawat darurat berupa:
1. Mengakui terhadap keterbatasan yang dimiliki oleh diri sendiri.
2. Melakukan tindakan dan prosedur sesuai aturan institusi atau kewenangan
yang dapat dilakukan.
3. Tidak melakukan intervensi yang kita tidak dipersiapkan untuk tindakan
tersebut atau kita sebagai petugas kesehatan tidak dilatih untuk itu.
4. Respek terhadap hak korban dan selalu melaporkan perkembangan korban.
5. Memelihara dokumentasi gawat darurat dengan teliti dan benar.
21
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

6. Mendukung kebijakan institusi tempat bekerja.

G. Komunikasi
Dalam melakukan pengelolaan korban gawat darurat, maka perlu dilakukan
komunikasi yang baik antara ambulan, petugas kesehatan yang menangani
serta korban atau keluarga korban. Hal ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mendapatkan kepercayaan korban/ keluarga/ masyarakat. Caranya dengan
memperkenalkan diri, hibur & tunjukkan rasa hormat, tanyakan yang
dirasakan.
2. Mendapatkan informasi yang akurat dari korban/ masyarakat.
3. Mendapatkan informasi pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning
System), sehingga korban tidak terlalu lama diperjalanan.
4. Memindahkan korban tanpa memperberat keadaan.
5. Mencegah komplikasi dan rehabilitasi dini yang lebih akurat.

H. Transportasi
Pada umumnya, dalam evakuasi korban gawat darurat transportasi dapat
dilaksanakan melalui:
 Darat, dengan ambulance
 Udara, dengan helikopter atau pesawat terbang
 Laut, dengan kapal laut untuk mengangkut korban gawat darurat.

Prinsipnya: Do not futher harm (jangan menimbulkan kerusakan lebih lanjut),


wajib tetap diperhatikan. Korban bisa dievakuasi hanya bila ABC stabil dan
bila ada fraktur sudah difiksasi atau bila ada perdarahan sudah dihentikan.

I. Prinsip Evakuasi
Korban diangkat oleh tiga orang atau Three men lift, hal ini hanya boleh
dilakukan oleh orang yang terlatih untuk melakukan. Artinya jika
memungkinkan, lakukan pengangkatan korban dengan 3 orang yang terlatih
untuk melakukan pengangkatan pada bagian:
1. Kepala & bahu
2. Pinggang
3. Ekstremitas bawah

Prinsip Selama Transportasi


 Selama transportasi maka perlu diperhatikan implementasi prinsip
– prinsip di bawah ini yaitu:
 Monitoring A – B – C
 Monitor tanda – tanda vital
 Monitor kesadaran
22
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Monitor sekitar luka


 Harus disertai personal & peralatan yang memadai
 Pencatatan selama transportasi
 Pemberian O2 – tetap berlangsung
 Pemberian cairan tetap berlangsung

J. Kunci Keberhasilan
Kunci sukses manajemen gawat darurat adalah pada personil terlatih
dan peralatan yang memadai. Bisa saja peralatan memadai tetapi personil
tidak terlatih, maka alat tidak bermanfaat karena tidak bisa digunakan.
Sebaliknya, personilnya terlatih tetapi alat bantu tidak ada maka pertolongan
yang diberikan tidak dapat maksimal.

K. Dokumentasi Legal Gawat darurat


Pentingnya dokumentasi gawat darurat yang baik agar dalam
manajemen korban didapatkan informasi yang jelas mengenai kondisi korban
saat itu, dan pada saat petugas kesehatan datang untuk memberikan bantuan
yang sesuai dengan kondisi korban, maka hal – hal yang harus jelas di
informasikan yaitu:
1. Tulisan harus jelas terbaca
2. Catat semua yang dilakukan, lakukan semua yang dicatat serta pencatatan
sesuai tempat dan waktu
3. Isi setiap tempat yang kosong
4. Bubuhi nama jelas dan tanda tangan
5. Jangan menghilangkan slip laboratorium atau berkas lain
6. Gambarkan kondisi korban secara objektif
7. Catat setiap kejadian, pastikan instruksi tertulis

L. Dilema Utama Gawat Darurat


Ada hal – hal dimana masih menjadi dilema dalam penanganan korban gawat
darurat diantaranya:
1. Waktu pengamatan – pelayanan singkat. Kondisi yang mungkin terjadi
adalah penolong tidak memiliki waktu pengamatan yang cukup untuk
menilai korban secepatnya, sehingga terkesan terburu – buru. Hal ini juga
disebabkan oleh kondisi korban yang membutuhkan penilaian yang
singkat.
2. Perubahan klinis mendadak. Kondisi korban dapat berubah – ubah setiap
saat, kondisi ini kadang tidak didukung oleh peralatan yang memadai.
3. Mobilitas petugas tinggi antar disiplin ilmu. Petugas kesehatan juga
diharapkan dapat memiliki kemampuan yang cukup untuk menangani
korban gawat darurat, tetapi kondisi ini belum tentu dapat disediakan
karena tiap petugas kesehatan mungkin saja memiliki keterbatasan disiplin
23
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

ilmu, sehingga tidak dapat melakukan pertolongan pada kondisi gawat


darurat tertentu.
4. Resiko tinggi. Kesalahan dalam memberikan bantuan kepada korban
gawat darurat dapat mengakibatkan resiko kematian yang tinggi pada
korban.
5. Konflik tinggi. Perbedaan cara pandang masyarakat terhadap petugas
kesehatan dapat menjadi konflik yang menghambat pertolongan kepada
korban, hal ini tentunya dapat berakibat buruk pada korban sendiri.
Dukungan masyarakat yang baik kepada petugas dapat memberikan
harapan hidup yang lebih baik pada korban gawat darurat.

M. Situasi Gawat darurat Vs Keperawatan Klinis


Kondisi gawat darurat adalah suatu keadaan yang mengancam
kehidupan dan atau beresiko terjadi kerusakan organ bila tidak di intervensi
segera. Sedangkan keperawatan kritis adalah suatu tindakan PCO 2>50 mmHg
dan atau PO2<60 mmHg serta hemodinamik yang tidak stabil. Kondisi kritis
bila tidak dapat tertanggulangi dapat menyebabkan kondisi gawat darurat.

N. Standar Praktik Gawat Darurat


Mengacu kepada standar praktik Registered Nurse (RN) WP – SEAR,
maka yang menjadi standar dalam keperawatan gawat darurat adalah:
1. Assessment, melakukan penilaian awal kondisi korban gawat darurat
berupa primary survey dan secondary survey.
2. Diagnosis, melakukan diagnosis terhadap kondisi korban.
3. Intervention, melakukan perencanaan akurat sesuai kondisi korban
(tindakan langsung kepada korban).
4. Implementation, melakukan implementasi lanjutan korban guna
stabilisasi korban. Prinsipnya bila di pelayanan kesehatan melakukan
semua yang tercatat dan mencatat semua yang telah dilakukan.
5. Evaluation, melakukan evaluasi serta tindakan lanjutan bagi korban.
6. Dokumentation,mendokumentasikan semua yang akan dilakukan dan
telah dilakukan.

Hal – hal yang harus dilakukan sebelum melakukan secondary survey:


1. Telah melengkapi primary survey, melakukan survei yang lengkap
mengenai kondisi korban. Survei dapat pula dilakukan kepada keluarga
korban dengan mengambil keterangan tentang kondisi korban dengan
jelas.
2. Initiate resusitation. Pada kondisi gawat darurat, korban dalam kondisi
kritis, dan hal ini membutuhkan tindakan resusitasi yang cepat untuk dapat
menyelamatkan hidup korban.
24
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

3. Re – access ABC. Sumbatan jalan nafas, dan tidak stabilnya denyut


jantung korban membutuhkan tindakan secepatnya untuk menstabilkan
korban.
4. Head to toe evaluation.Pengecekan fisik diperlukan guna melihat apakah
ada trauma atau tidak.
5. Complete neurological check. Sesampainya di RS, sebaiknya dilakukan
pengecekan neurologis (CT Scan) untuk memastikan kondisi korban.
6. Rontgen. Dilakukan apabila ada indikasi trauma.
7. Spesial procedures. Prosedur – prosedur lainnya dapat dilakukan jika
terlihat ada indikasi.
8. Tubes and finger in every orifice
9. Re – evaluation. Perlu dilakukan untuk memonitoring apabila terjadi
kontra indikasi kepada korban.
25
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB III
SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU
(SPGDT)

Tujuan Instruksional Umum

Setelah melaksanakan pelatihan ini peserta mampu memahami Sistem


Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu di Indonesia

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat:

1. Menjelaskan pengertian sistem penanggulangan gawat darurat terpadu.


2. Merumuskan maksud dan tujuan dari Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT).
3. Menjelaskan fase – fase didalam penanggulangan gawat darurat terpadu.
4. Menguraikan komponen – komponen yang terlibat pada setiap fase pelayanan
gawat darurat yang terpadu.
26
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB III
SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU

(SPGDT)

I. Pendahuluan
Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat tergantung pada
beberapa kondisi, yaitu: kecepatan ditemukan, kecepatan respon tenaga
kesehatan, kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan dan kecepatan minta
tolong. Semakin cepat korban ditemukan, semakin cepat pula korban dapat
diselamatkan. Namun bukan berarti tanpa halangan. Misalnya, korban gawat
darurat di lokasi yang sangat sulit dijangkau membutuhkan teknik cara yang
lebih baik dalam menemukan mereka. Pertimbangan bila kecelakaan terjadi di
daerah yang sulit, mungkin perlu dilakukan penyisiran secara foto satelit.
Kecepatan respon tenaga kesehatan baik yang ada di rumah sakit, di
ambulance, atau di komunitas menjadi sangat penting dalam memperbesar
harapan hidup bagi korban dengan kondisi kegawat daruratan.
Kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan akan sangat menentukan
probabilitas kualitas hidup korban setelah terjadi kecelakaan. Semakin terlatih
petugas kesehatan dan diimbangi dengan pengetahuan yang baik, maka dalam
melakukan tugasnya menolong korban lebih baik, khususnya probabilitas
harapan hidup korban.
Korban gawat darurat biasanya tidak mampu meminta pertolongan,
karena kondisinya sendiri pun tidak memungkinkan untuk itu. Misalnya
apabila kesadaran korban menurun. Sehingga diharapkan ada orang lain yang
meminta tolong kepada petugas terlatih atau petugas kesehatan untuk
memberikan bantuan yang diperlukan sesuai kondisi korban. Maka semakin
cepat meminta tolong, semakin cepat pula mendapatkan pertolongan. Untuk itu
segala upaya perlu dilakukan untuk dapat meminta bantuan secepatnya.

II. Pengertian dan Fase SPGDT

SPGDT adalah merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan


unsur utama yang bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai
profesi bersifat multi disiplin dan multi profesi untuk melaksanakan dan
penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu bagi penderita gawat darurat
baik dalam keadaan sehari hari maupun dalaam keadaan bencana dan kondisi
kondisi kejadian luar biasa. Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT
dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu : Sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem
pelayanan di rumah sakit dan sistem pelayanan antar rumah sakit ketiga sub
27
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

sistem ini tidak terpisahkan satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam
pelaksanaan sistem.

Prinsip Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

Prinsip dari SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat


dan tepat dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah
kecacatan (time saving is life and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum
dirujuk di rumah sakit yang dituju.

Ada 3 fase pelayanan :


1. Sistem pelayanan medik pra rumah sakit
2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit
3. Sistem pelayanan medik di rumah sakit

SPGDT dibagi menjadi 2 yaitu:

1. SPGDT-S (Sehari-Hari)

SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang


saling terkait yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah
Sakit – antar Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar
korban/ pasien tetap hidup. Meliputi berbagai rangkaian kegiatan sebagai
berikut :

A. Pra Rumah Sakit


Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat
Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan
penderita gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan medik.
Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau
awam khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain – lain)
28
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan


dari tempat kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulan)
B. Dalam Rumah Sakit
Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit
Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan)
Pertolongan di ICU/ICCU
C. Antar Rumah Sakit
Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan)
Organisasi dan komunikasi

2. SPGDT-B (Bencana)

SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit
dan Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai
khususnya pada terjadinya korban masal yg memerlukan peningkatan
(eskalasi) kegiatan pelayanan sehari – hari. Secara umum bertujuan untuk
menyelamatkan korban sebanyak – banyaknya.

Secara khusus SPGDT-B bertujuan untuk:

a. Mencegah kematian dan kecacatan, sehingga dapat hidup dan berfungsi


kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
b. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang
lebih memadai.
c. Menanggulangi korban bencana.

Prinsip mencegah kematian dan kecacatan :

a. Kecepatan menemukan penderita.


b. Kecepatan meminta pertolongan.

Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :

a. Ditempat kejadian.
b. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
c. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.

III. Penanggulangan Bencana


Dalam penanggulangan bencana, ada beberapa hal yang perlu kita
cermati yaitu penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat
darurat sehari – hari, penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalau
penanggulangan gawat darurat sehari – hari buruk, dan bencana dapat terjadi di
setiap tempat, baik di kota maupun di desa.
Peristiwa bencana dapat terjadi pada setiap tempat dan setiap saat.
Peristiwa akan terjadinya bencana dapat diprediksi sehingga meminimalkan
29
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

korban dan kerusakan. Bencana dapat terjadi setiap saat dan di setiap tenmpat
seperti:
Di dalam rumah sakitnya sendiri
Korban bencana yang dibawa ke IGD/ RS
Bencana dalam kota (urban)
Bencana diluar kota (rural)
Bencana diluar pulau (regional)
Bencana nasional
Bencana huru – hara (perang)
Mencermati kondisi tersebut maka semua rumah sakit wajib mempunyai
“Disaster Plan” sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. Untuk daerah
rural atau diluar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari daerah urban,
jika:
Tingkat penanggulangan gawat darurat sehari – hari di bawah standar
nasional (ada / tidaknya spesialis empat besar / ahli bedah).
Jumlah korban melebihi kemampuan petugas / ahli bedah

Bantuan yang didatangkan adalah dengan memindahkan sarana Rumah


Sakit (IGD, kamar operasi, ICU, Farmasi, Rontgen, Laboratorium, Dapur,
Keamanan) ke Pra Rumah Sakit. Ambulance Gawat Darurat dalam keadaan
bencana dapat berfungsi sebagai Rumah Sakit lapangan.
Agar penanggulangan bencana dapat berjalan dengan baik dan maksimal
harus pernah melakukan simulasi penanggulangan bencana, minimal bila
terjadi di rumah sakitnya sendiri. Simulasi dilakukan secara periodik agar
semua petugas yang terlibat memahami secara utuh bila suatu saat terjadi
bencana.
Dalam organogram BAKORNAS Penanggulangan Bencana jalur
komando adalah dari Pemerintah/ Menteri kepada Gubernur lalu Bupati/
Walikota, sedangkan dibawah bupati akan dibentuk Satgas bila diperlukan, dan
ini memakan waktu. Kenyataan di lapangan tidak ada organisasi yang
terorganisir yang mampu bergerak cepat untuk menanggulangi bencana.
Sehingga masyarakat awam khusus atau masyarakat awam yang peduli
bencana memiliki posisi strategis yang sangat menguntungkan korban bila
bencana tiba. Sayangnya sampai saat ini, awam khusus belum diberdayakan
secara optimal, khususnya persiapan pada tahap pra – bencana (pra – impact).
Dalam penanggulangan bencana diperlukan “Rapid Response” dan
“Rapid Assessment”. Rapid Response dilaksanakan di daerah perkotaan (urban
comunity) oleh unsur – unsur:
1. Sektor keamanan oleh POLRI (112), memastikan bahwa daerah bencana
telah aman untuk petugas kesehatan. Misalnya tidak ada lagi bahay ancaman
bom yang akan meledak atau serpihan kaca yang bergantungan di dinding.
2. Sektor Rescue oleh Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (113).
30
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

3. Sektor Kesehatan oleh petugas kesehatan terlatih.


Ketiga unsur ini sebaiknya berada pada satu atap, sehingga terbiasa
bekerja sama dalam keadaan Gawat Darurat sehari – hari maupun dalam
keadaan bencana. Hal ini akan memudahkan akses masyarakat mencari
bantuan.
Untuk di daerah pedesaan (rural komuniti), mungkin ketiga unsur
tersebut tidak ada atau belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Sehingga
yang dapat dioptimalkan untuk di daerah pedesaan adalah:
1. Sektor Keamanan dan Rescue oleh Babinsa, Hansip atau Babinkamtibnas
2. Sektor kesehatan oleh petugas PUSKESMAS.
31
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan


gawat darurat

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:

1. Melakukan pengkajian keperawatan gawat darurat


2. Merumuskan masalah keperawatan gawat darurat
3. Menyusun intervensi keperawatan gawat darurat
4. Melakukan evaluasi keperawatan gawat darurat
5. Membuat dokumentasi dan pelaporan asuhan keperawatan gawat darurat
32
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

I. Pendahuluan
Praktik Keperawatan Gawat Darurat merupakan rangkaian kegiatan
profesional yang sistematis, cepat dan tepat yang diberikan kepada klien oleh
perawat yang kompeten. Kondisi gawat darurat yang sering muncul pada suatu
insiden maupun bencana yang seringkali tidak terprediksi jumlah korbannya
dan tindakan yang harus dilakukan menjadi salah satu keterbatasan Sumber
Daya. Tindakan Gawat Darurat yang dimulai dengan pengkajian awal
mengenai status kesehatan klien sangat penting dilakukan untuk meminimalkan
jumlah korban dan merencanakan tindakan selanjutnya. Penilaian awal tersebut
dimulai dari primary survey yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulacy,
Disability dan Exposure, selanjutnya Secondary Survey dengan teknik Head to
toe.

Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek


keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang
berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan
meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara
bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan
seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang
datang ke ruang gawat darurat,keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya
saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang
bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan
sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus
cepat dan dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).

Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang


mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus
berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan
pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan
dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan
bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien
ditemukan maka semakin cepat pula dapat dilakukan pengkajian awal sehingga
pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar dari
kecacatan atau kematian.
33
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu :


pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat
darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah
selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi :
A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi
disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E:
Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia
(Holder, 2002).

Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang


mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial
sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan
dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada
Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen
merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan
karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari
gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat
jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan
pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan
menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan
menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk


membahas mengenai pengkajian gawat darurat pada dewasa.

II. Pengkajian Keperawatan

Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan
dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus
langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai
penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
34
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care

A. Primary Survey
Primary surveymenyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde,
2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary


survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan
tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, breathing,circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus
dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci
untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian
ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain


(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :

a) General Impressions

 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.


 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
35
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang
dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson,
2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
36
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien


antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum
pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
37
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU:
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yangdiberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisadimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitasawal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyerimaupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika
melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien
hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah
selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi
pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
38
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien


 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

Berikut adalah contoh format pengkajian Gawat Darurat:

Nama Umur ..... Thn Jenis kelamin:


Pasien .................... Lk / Pr
No.RM:
Nama keluarga :
................................................................................................
Agama :
................................................................................................
Pekerjaan :
................................................................................................
Alamat kantor :
................................................................................................
Alamat rumah :
................................................................................................
Diagnosa medik :
Datang ke RS tanggal: pukul:
Kendaraan:  Ambulan 118  Mobil pribadi  Kendaraan lain : ..........

Keluhan Utama:

Riwayat penyakit:

Pengkajian keperawatan Masalah/ diagnosa Tindakan keperawatan


keperawatan
A. Airway  Aktual  Membersihkan jalan
 Bebas  Resiko nafas
 Tidak bebas Gangguan bersihan  Memberikan posisi
jalan nafas tidak nyaman fowler/
efektif semi fowler
Pangkal lidah jatuh  Mengajarkan teknik
Sputum  batuk efektif
Darah   Melakukan
Spasme  pengisapan lendir
Benda asing   Memasang oro/
Suara nafas:  naso faringeal
Normal airway
Stridor
39
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tidak ada suara nafas   Melakukan


Lain-lain .....  auskultasi paru
 secara periodic
  Memberikan posisi
miring mantap jika
pasien tidak sadar
 Melakukan jaw
thrust, chin lift
 Lain-lain .....
B. Breathing  Aktual  Mengobservasi
 Resiko frekuensi, irama,
Pola nafas: Pola nafas tidak kedalaman suara
 Apneu efektif nafas
 Dyspneu  Mengobservasi
 Bradipneu penggunaan otot
 Takipneu bantu pernafasan
 Orthopneu  Memberikan posisi
semi fowler jika
Bunyi nafas: tidak ada kontra
 Vesikuler indikasi
 Whezing  Memperhatikan
 Stridor pengembangan
 Ronchi dinding dada
 Melakukan
Irama nafas: fisioterapi dada jika
 Teratur tidak ada kontra
 Tidak teratur indikasi
Kolaborasi: pemberian
Penggunaan otot bantu O2 dan pemeriksaan
nafas: AGD
Lain-lain .....
 Refraksi dada
 Pernafasan perut
 Lain-lain .....
C. Circulation  Aktual  Mengawasi adanya
 Resiko perubahan warna
Akral: Gangguan perfusi kulit
 Hangat jaringan perifer  Mengukur tanda-
 Dingin tanda vital
 Mengkaji kekuatan
Pucat: nadi perifer
 Ya  Mengkaji tanda-
 Tidak tanda dehidrasi
 Mengobservasi
Sianosis: keseimbangan
 Ya cairan
 Tidak  Meninggikan daerah
40
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

yang cedera jika


Pengisian kapiler: tidak ada kontra
 <2 detik indikasi
 >2 detik  Memberikan cairan
per oral jika
Nadi: memungkinkan
 Teraba  Mengobservasi
 Tidak teraba tanda-tanda adanya
kompartmen
Tekanan darah: syndrom (nyeri
............... mmHg lokal daerah cedera,
pucat, penurunan
Perdarahan: mobilitas,
 Ya penurunan tekanan
 Tidak nadi, nyeri
Jika Ya .......... Cc bertambah saat
digerakkan,
Lokasi perubahan sensori /
perdarahan: .......... baal dan kesemutan.
 Lain-lain .....
Kelembaban kulit:
 Lembab
 Kering

Turgor:
 Normal
 Kurang

Lain-lain .....
D. Adanya riwayat  Aktual  Mengkaji tanda-
kehilangan cairan dalam  Resiko tanda dehidrasi
jumlah besar: Volume cairan tubuh  Mengkaji tanda-
 Diare kurang dari tanda vital, tingkat
 Muntah kebutuhan kesadaran
 Luka bakar  Memberikan cairan
 Perdarahan per oral jika masih
memungkinkan
Akral: hingga 2000-2500
 Hangat cc/hr
 Dingin  Memberikan cairan
melalui intravena
Pucat:  Memonitor
 Ya perubahan turgor,
 Tidak membran mukosa,
dan kapilary refill
Sianosis: time
 Ya  Memonitor intake –
41
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Tidak output cairan setiap


jam: pasang kateter
Pengisian kapiler: dll
 <2 detik  Menyiapkan alat-
 >2 detik alat untuk
pemasangan CVP
Nadi: jika diperlukan
 Teraba  Memonitor CVP
 Tidak teraba dan perubahan nilai
elektrolit tubuh
Tekanan darah:
.......... mmHg Kolaborasi:
 Melakukan infus
Perdarahan: dengan jarum yang
 Ya besar 2 line
 Tidak  Menyiapkan
Jika Ya .......... Cc pemberian tranfusi
darah jika
Lokasi penyebabnya
perdarahan: .......... perdarahan, koloid
jika tranfusi darah
Kelembaban kulit: transfusi susah
 Lembab didapat
 Kering
Lain-lain .....
Turgor:
 Normal
 Kurang

Luas luka bakar:


............... %
Grade: ..........

Lain-lain: .....
E. Disability  Aktual  Mengkaji
 Resiko karakteristik nyeri
Tingkat kesadaran Gangguan perfusi  Mengukur tanda-
Nilai GCS jaringan serebral tanda vital
Pada Dewasa:  Mengobservasi
E: M: V: perubahan tingkat
Pada Anak: kesadaran
A: V: P: U:  Meninggikan kepala
15-300 jika tidak ada
Pupil:  Normal kontra indikasi
 Mengobservasi
Respon cahaya: +/- ecukupan cairan
42
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Ukuran pupil: Kolaborasi:


 Isokor  Pemberian Oksigen
 An isokor  Pemasangan infuse
 Memonitor hasil
Diameter: AGD dan laporkan
 1 mm hasilnya
 2 mm  Memberikan terapi
 3 mm sesuai indikasi
 4 mm
Lain-lain .....
Penilaian Ekstremitas
Sensorik:
 Ya
 Tidak
Motorik
 Ya
 Tidak

Kekuatan otot/ skala


Lovett

Lain-lain .....
F. Exposure  Nyeri  Mengkaji
karakteristik nyeri,
Adanya trauma pada gunakan pendekatan
daerah: .......... PQRST
 Mengajarkan teknik
Adanya jejas/ luka pada relaksasi
daerah: ..........  Membatasi aktivitas
Ukuran luas .......... cm2 yang meningkatkan
Kedalaman luka ..... cm intensitas nyeri

Lain-lain ..... Kolaborasi untuk


pemberian terapi
 Analgetik
 Oksigen
 Infus
 Perekaman EKG

Lain-lain .....
G. Fahrenheit (Suhu Tubuh)  Aktual  Mengobservasi suhu
Suhu ..... 0C  Resiko tubuh, kesadaran,
Gangguan suhu TTV, saturasi
Lamanya terpapar suhu hipertermia oksigen
panas/ dingin ..... jam  Membuka pakaian
(menjaga privasi)
Riwayat pemakaian obat:  Melakukan
43
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

penurunan suhu
Riwayat penyakit: tubuh kompres
 Metabolik dingin/ evaporasi/
 Kehilangan cairan selimut pendingin
 Penyakit SSP (cooling blanket)
 Mencukupi
Lain-lain ..... kebutuhan cairan
per oral
 Memberikan
oksigen sesuai
dengan instruksi
 Melakukan
pengambilan darah
untuk pemeriksaan
AGD/ elektrolit
 Memberikan terapi
antipiretik
 Memberikan cairan
melalui intra vena

Lain-lain .....
H. Fanrenheit (Suhu Tubuh)  Aktual  Monitor TTV,
 Resiko tingkat kesadaran,
Suhu ..... 0C Gangguan suhu saturasi oksigen,
Lamanya terpapar suhu hipotermia irama jantung
panas/ dingin .......... jam  Melindungi pasien
dari lingkungan
Riwayat yang dingin
 Cedera kepala  Membuka semua
 Hipoglikemia pakaian pasien yang
 Damppak tindakan basah
medis (iatrigenic)  Melakukan
o Pemberian cairan penghangatan tubuh
infus yang terlalu pasien secara
dingin bertahap (10C/jam)
o Pemberian dengan selimut
tranfusi darah tebal/ warm blanket
yang masih  Mengkaji tanda-
dingin tanda cedera fisik
akibat dingin: kulit
Lain-lain .......... melepuh, edema,
timbulnya bula/
vesikel, menggigil
 Menganjurkan
pasien agar tidak
menggosok/
menggaruk kulit
44
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

yang melepuh
 Mengantisipasi jika
tindakan daiast
gagal melakukan
gastric lavage
dengan air hangat

Kolaborasi:
 Memberikan
oksigen sesuai
dengan instruksi
 Memberikan cairan
melalui inravena
dengan cairan yang
hangat
 Menyiapkan alat-
alat intubasi jika
diperlukan

Lain-lain ..........
Paraf
dan nama jelas

B. Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia,
dan cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
45
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.


Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:
cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan
tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Allergic (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medication/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E :Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang


disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan
konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini
(Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your
nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan
masalah konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat
digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan
antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu”
(Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
46
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Threathened you with physical harm?


 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
 Provokes/palliates: apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk?
apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat
anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah


pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala
nyeri.

III. Merumuskan Masalah Keperawatan


Setelah melakukan pengkajian Keperawatan Gawat Darurat secara
komprehensif tentunya kita akan mendapatkan data – data yang selanjutnya
akan kita analisa untuk mencari diagnosa keperawatan yang sesuai, guna
menentukan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.Adapun masalah yang sering muncul dalam kasus Gawat
Darurat adalah:
a. Aktual/ resiko gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Aktual/ resiko pola nafas tidak efektif
c. Aktual/ resiko gangguan perfusi jaringan perifer
d. Aktual/ resiko volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan
e. Aktual/ resiko gangguan perfusi jaringan serebral
f. Nyeri
g. Aktual/ resiko gangguan suhu hipertermia
h. Aktual/ resiko gangguan suhu hipotermia, dll
i. Resiko cedera
47
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

j. Aktual/ resiko kerusakan mobilitas fisik

IV. Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman
kematian pada salah satu elemen pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan
ketidakadekuatan pernafasan yang diperlukan ventilator maka akan difokuskan
pada pengkajian pernafasan sebelum dilanjutkan ke pengkajian sirkulasi.

Rencana tindakan keperawatan meliputi:


 Observasi, pemantauan/monitor,
 Tindakan mandiri keperawatan,
 Kolaborasi
 Pendidikan kesehatan

Berikut adalah contoh intervensi keperawatan mandiri:


 Airway: head tild – chin lift, jaw trust, heimlich manueveur, suction, pasang
OPA, NPA
 Breathing : posisi semifowler, observasi RR, irama, latihan nafas dalam,
latihan batuk, bagging, dll
 Circulation : BHD, monitor TTV, monitor intake output, monitor tetesan
infus, menghentikan perdarahan dengan balut tekan, dll

V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan klien
dapat 5 menit, 15 menit, 30 menit, atau 1 jam sesuai dengan kondisi
klien/kebutuhan.

VI. Dokumentasi dan Pelaporan Asuhan Keperawatan


Prinsip dalam pendokumentasian kegawatdaruratan adalah kemudahan
dan pencatatan dilakukan secara cepat dan tepat. Adapun bentuk dokumentasi
askep gawat darurat meliputi:
a) Grafik/ flow sheet : untuk catatan yang berulang – ulang ( TD, BB)
b) Rencana tindakan, catatan keperawatan : sebaiknya chek list/komputerisasi
c) Catatan tindakan dan pengobatan
d) Lembaran untuk pemeriksaan diagnostik/penunjang
e) Laporan kegiatan spesifik
f) Rencana pulang: ( follow up care, rujukan).
48
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB V
PENGKAJIAN AWAL
(INITIAL ASSESSMENT)

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan initial assessment.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:

1. Melakukan pengkajian primer (primary survey)


2. Melakukan pengkajian sekunder (secondary survey)
49
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB V
PENGKAJIAN AWAL
(INITIAL ASSESSMENT)

I. Pendahuluan

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan


tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini karena
trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma.
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian,
late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu
setelah trauma).

Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital


(ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi
organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak
adekuat dan/ atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera
penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme
cedera, usia, jenis kelamin, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan
penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera/
kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan yang sesuai, serta untuk
mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer ke fasilitas
kesehatan yang sesuai dengan keadaan korban.

II. Triase

Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera


atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan
klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta
prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya
memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang berkesinambungan
sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase harus dilakukan oleh
50
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

petugas pertama yang tiba/ berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang
terus menerus karena status triase pasien dapat berubah.

Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.


Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra – rumah sakit,
mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa
maut. Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera
multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan
kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.

Survei primer (primary survey) membantu menentukan kasus mana yang


harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan
nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di IGD,
disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien
berkurang. Di institusi kecil, pra - rumah sakit, atau bencana, sumber daya dan
tenaga tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase
berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius
harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat ini tidak ada
standard nasional baku untuk triase.

Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage Tagging


System) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And
Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat
bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
51
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tag Triase

Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap
korban.

Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.

1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.

2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian


cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal:
gagal nafas, cedera torako – abdominal, cedera kepala atau maksilo – fasial
berat, shock atau perdarahan berat, luka bakar berat).

3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan


cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman
jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis
cakupan yang luas (misal: cedera abdomen tanpa shock, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktur mayor tanpa shock, cedera kepala atau tulang
belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).

4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien dengan cedera minor yang tidak


membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana
namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktur
dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo – fasial tanpa gangguan jalan
nafas, serta gawat darurat psikologis).

5. Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai


Prioritas Keempat (Biru) : yaitu kelompok korban dengan cedera atau
penyakit kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan
dan transportasi, dan

6. Prioritas Kelima (Putih) : yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.

Bila pada retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag/ label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok yang sesuai.
52
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Triase Sistem Penuntun Lapangan START

Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi,


dan status mental (RPM : R = status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status
Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin
diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera
atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi dilakukan di
ambulance.

Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.

Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulance atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.

III. Primary Survey


53
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Langkah – langkahnya adalah dengan menggunaan prinsip ABCDE


(airway and c-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control,
disability, exposure/ environment).

A. Jalan nafas (Airway)


Merupakan prioritas pertama. Pastikan udara yang menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema,
benda asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya
membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau
trakheostomi. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebra servikal karena kemungkinan cedera atau patahnya tulang servikal
harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift atau
jaw thrust. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.
Kemungkinan patahnya tulang servikal dapat diduga bila ada:
1. Trauma dengan penurunan kesadaran (koma)
2. Adanya luka karena trauma tumpul di atas klavikula
3. Setiap multi – trauma (trauma pada 2 regio atau lebih)
4. Waspada terhadap kemungkinan patah tulang belakang bila biomekanik
trauma mendukung.

Bila ragu – ragu: PASANG NECKCOLLAR !!!

Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat


immobilisasi. Bila alat immobilisasi ini harus dibuka untuk sementara,
maka kepala harus dilakukan immobilisasi manual (dengan menggunakan
tangan). Alat immobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur
servikal dapat disingkirkan. Bila ada gangguan jalan nafas maka
dilaksanakan intervensi sesuai prosedur dengan pemberian Bantuan Hidup
Dasar (BHD).

B. Pernafasan (Breathing)
Menilai pernafasan atas kemampuan pasien melakukan ventilasi dan
oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau
asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau
pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek yang
mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga
pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Untuk terjadinya ventilasi yang baik memerlukan fungsi yang baik dari
paru, dinding dada, dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi
secara cepat dan cermat. Untuk melihat ventilasi pada korban gawat
darurat, maka pakaian korban khususnya bagian dada korban harus dibuka
54
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

untuk melihat irama pernafasannya.bila perlu lakukan auskultasi untuk


memastikan masuknya udara, ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk
menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi
dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi.
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah
tension pneumo – thoraks, flail chest dengan kontusio paru, open
pneumothoraks, dan hematothoraks – masif serta tamponade jantung.
Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan survei primer. Bila salah
satu keadaan atau cidera yang mengancam nyawa ini ditemukan maka
anda sebagai seorang perawat Gawat Darurat harus segera menangani
keadaan tersebut.

C. Sirkulasi (Circulation)
Ada 3 hal yang harus di observasi dalam hitungan detik, observasi ini
dapat memberikan informasi mengenai keadaan/ status hemodinamik.
Observasi itu mencakup tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi.
Selain itu dapat juga dengan mencari tanda – tanda hipovolemia,
tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher (vena
jugularis) apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar,
pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas
hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV
besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain
sesuai indikasi.
Shock jarang disebabkan oleh perdarahan intra kranial. Perdarahan hebat
dikelola pada survei primer. Perdarahan eksternal dikendalikan dengan
penekanan langsung pada luka. JANGAN DIJAHIT DULU !!!

D. Evaluasi Neurologik (Disability)


Pada tahap akhir survei primer perlu dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Kondisi yang dinilai melipiti tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda – tanda laserasi dan tingkat cedera spinal.
Penilaian disability bisa menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale), yaitu
sistem skoring sederhana dan dapat memprediksi hasil akhir motorik
terbaiknya. Selain itu, tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal
serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan
dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks
cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan
tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang memerlukan
konsultasi bedah saraf segera.
55
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia


menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal
dan pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera
(kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi pada
kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.

E. Eksposur (Exposure)
Buka seluruh pakaian korban untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang
sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang biasa terjadi diruang ber
– AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila
perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan
bersama survei primer. Pasang lead EKG dan monitor ventilator, segera
pasang oksimeter. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk
dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater foley kontraindikasi bila cedera uretra (darah pada
meatus, ekimosis skrotum/ labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan
urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.

IV. Secondary Survey


Survei sekunder dikerjakan untuk memeriksa lebih lanjut dan lebih teliti
semua bagian tubuh pasien. Tujuan dari survei sekunder adalah untuk mencari
cedera tambahan yang mungkin belum ditemukan pada saat survei
primer.minimal ada 4 kelainan atau cedera yang harus ditemukan pada survei
sekunder yaitu: Deformity, Open Injury, Tenderness, Swelling (D-O-T-S).
Survei sekunder dilakukan hanya setelah survei primer selesai dikerjakan,
resusitasi telah selesai dilakukan dan korban gawat darurat telah stabil.
Pertimbangannya adalah, pada korban gawat darurat yang tidak sadar
atau gawat, kemungkinan untuk luput dalam mendiagnosis cukup besar, dan
memerlukan tindakan yang kompleks apabila ditemukan kelainan pada survei
sekunder. Pada survei sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap
termasuk mencatat GCS bila belum dilakukan pada survei primer. Pada survei
sekunder ini juga dilakukan foto rontgen jika diperlukan.

1. Anamnesis
Perlu dilakukan anamnesis yang lengkap mengenai riwayat trauma. Riwayat
“AMPLE” perlu diingat:
A : Allergic (riwayat alergi yang dimiliki)
M : Medication (obat yang sedang diminum)
P : Past illness (penyakit penyerta/ pregnancy)
L : Last meal (makanan terakhir)
E : Event/ environment (lingkungan)
56
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik dengan teliti mulai dari ujung kepala sampai
ujung kaki (head to toe examination), termasuk pemerinsaan tanda vital dan
dicari adanya deformity, open injury, tenderness dan swelling (DOTS) di
setiap bagian tubuh pasien.

3. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan


hemodinamika penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M. Djamil,
2006). Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :

a) Endoskopi

Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien


dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi
kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan
endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan
penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:

a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tu
mor

b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor,


polip, angio displasia, dilafeuy, varises gastropati kongestif

c. Duodenum :Ulkus, erosi,

Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena


ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal
bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).

b) Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat


keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur
diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa
saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan
mukosa yang compang – camping. Teknik ini juga dapat menilai
penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
57
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada
tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina
yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina
atau intra bronkus (Parhusip, 2004).

c) CT Scan

CT – scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-


kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua
jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke,
CT – scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang
infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai
kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT – scan
dapat mendeteksi lebih dari 90% kasus stroke iskemik, dan menjadi
baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT –
scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak,
tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan
rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner),
dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal
(ishak, 2012).

d) USG

Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non – invasif


menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000
hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di
dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000
hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan
untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang
disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu
sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan
ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan
alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek
dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa
dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)

e) Radiologi

Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang


dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari
spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda
wolfram oleh electron – elektron bebas dari suatu katoda. Film polos
dihasilkan oleh pergerakan electron – elektron tersebut melintasi pasien
58
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar


radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film
yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap
radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak
berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan
jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu.
Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma,
tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan metastatik
(tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu
diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi
adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih
murah dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih
canggih dan akurat (Ishak, 2012).

f) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT – Scan. MRI juga


dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak
dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum
dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih
rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki,
harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada
pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran
(Widjaya,2002).
59
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VI
MENGELOLA JALAN NAPAS DAN PERNAPASAN PADA KONDISI
GAWAT DARURAT

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu mengelola jalan napas dan
pernapasan pada kondisi gawat darurat.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:

1. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pernapasan


2. Mengidentifikasi kepatenan jalan napas
3. Melakukan pembersihan jalan napas
4. Membuka jalan napas
5. Melakukan bantuan napas
6. Melakukan manuver pembebasan jalan napas akibat tersedak
7. Memposisikan sesuai kondisi pasien
8. Melakukan pemberian terapi oksigen aliran rendah
60
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VI
MENGELOLA JALAN NAPAS DAN PERNAPASAN PADA
KONDISI GAWAT DARURAT

1. Masalah – masalah yang Terjadi pada Pernapasan


Terganggunya jalan nafas dapat terjdai secara cepat dan tiba – tiba, atau
perlahan dan parsial. Peristiwanya dapat progresif atau rekuren. Takipnea
walaupun dapat disebabkan oleh nyeri dan ketakutan, namun harus selalu
diingat kemungkinan gangguan jalan nafas yang dini. Karena itu penilaian
jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) sangat penting.
Korban gawat darurat dengan kesadaran menurun mempunyai resiko
tinggi untuk gangguan jalan nafas, dan kerap kali memerlukan jalan nafas
definitif. Korban gawat darurat tidak sadar, intoksikasi alkohol atau perlukaan
intrathoraks beresiko terganggunya pernafasan (breathing). Pada korban gawat
darurat seperti ini jalan nafas definitif ditujukan untuk : memberikan jalan
nafas yang adekuat, memberikan oksigen tambahan, membantu ventilasi dan
mencegah aspirasi. Menjaga oksigenasi serta mencegah hiperkarbia sangat
penting pada trauma kapitis.
Petugas kesehatan harus mengantisipasi kemungkinan muntah pada
semua korban gawat darurat trauma. Adanya cairan lambung di orofaring
menandakan kemungkinan aspirasi yang dapat terjadi secara mendadak.
Trauma pada wajah merupakan keadaan lain yang memerlukan perhatian
segera. Mekanisme perlukaan biasanya adalah penumpang mobil yang tanpa
sabuk pengaman dan kemudian terlempar ke kaca depan saat tabrakan. Trauma
pada bagian tengah wajah (mid – face) dapat menyebabkan fraktur / dislokasi
yang beresiko mengganggu oro atau naso – faring.
Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang
meningkat serta avulasi gigi yang menambah masalah pada jalan nafas. Fraktur
ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke
belakang dan gangguan jalan nafas pada posisi terlentang. Korban gawat
darurat yang menolak untuk berbaring mungkin ada gangguan jalan nafas.
Perlukaan daerah leher beresiko adanya gangguan jalan nafas karena rusaknya
laring, trakhea, atau karena adanya perdarahan dalam jaringan lunak yang
menekan jalan nafas.
Pada saat penilaian awal (initial assessment), bila ditemukan korban
gawat darurat sadar yang dapat berbicara biasa, keadaan ini untuk sementara
menjamin adanya airway yang baik. Karena itu, tindakan pertama adalah
berusaha berbicara kepada korban gawat darurat. Jawaban yang adekuat
menjamin airway yang baik, pernafasan yang baik serta perfusi ke otak yang
61
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan


kesadaran, gangguan jalan nafas (airway) atau gangguan pernafasan
(breathing).

2. Kepatenan Jalan Napas

Tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap


memperhatikan kontrol servikal. Tujuannya adalah untuk membebaskan jalan
napas demi menjamin jalan masuknya udara ke paru – paru secara normal
sehingga mencukupi kebutuhan oksigenasi tubuh. Adapun cara pemeriksaan
jalan napas adalah dengan :

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela


iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi


penolong

Cara pemeriksaan Look – Listen – Feel (LLF) dilakukan secara simultan.


Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan. Tindakannya
adalah dengan membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal (jika curiga ada
trauma pada servikal)

 Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)


 Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)
 Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)

INGAT !!! Pada pasien dengan dugaan cedera leher (trauma cervikal) dan
kepala, hanya dilakukanJaw thrust dengan hati – hati dan mencegah gerakan
leher.

 Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan


teknik Cross Finger(sapuan jari) yaitu dengan menggunakan ibu jari dan
jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.
 Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
 Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu
adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas
(apnea)

3. Melakukan Pembersihan Jalan Napas


Pembersihan jalan nafas dilakukan jika korban gawat darurat dicurigai
mengalami sumbatan (obstruksi) pada jalan nafas. Obstruksi adalah suatu
keadaan dimana terdapat benda asing di jalan nafas yang menyebabkan keluar
62
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

masuknya udara terganggu, bisa sebagian atau total. Pada obstruksi jalan nafas
parsial mungkin korban masih mampu melakukan pernafasan, tapi kualitas
pernafasannya tidak adekuat. Pada korban dengan pernafasan yang masih baik,
korban biasanya masih dapat melakukan tindakan dengan batuk secara kuat.
Bila sumbatan jalan nafas parsial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan
medik darurat. Obstruksi jalan nafas parsial dengan pernafasan yang buruk
harus dipelakukan sebagai obstruksi jalan nafas komplit.
Obstruksi jalan nafas komplit (total), korban biasanya tidak dapat
berbicara, bernafas atau batuk. Biasanya korban akan memegang lehernya
diantara ibu jari dengan jari lainnya. Saturasi oksigen akan dengan cepat
menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen sehingga
menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika tidak
diambil tindakan segera.

4. Membuka Jalan Napas

Jalan nafas yang mengalami gangguan, atau obstruksi dapat dikenali dengan
adanya suara nafas tambahan:

 Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara


mengatasi: chin lift, jawthrust, pemasangan pipa orofaring/ nasofaring,
pemasangan pipa endotrakeal.
 Berkumur (gargling), penyebabnya akibat ada cairan di daerah hipofaring.
Cara mengatasi: finger sweep (sapuan jari), pengisapan/ suction.
 Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi: cricotirotomi,
trakheostomi.

Adapun langkah – langkah membuka jalan nafas tanpa menggunakan alat


adalah:
a. Jika korban tidak dicurigai mengalami trauma leher (cervikal) maka
tengadahkan kepala korban (head tilt) disertai dengan mengangkat rahang
bawah ke depan (chin lift).
b. Akan tetapi jika ada dugaan korban mengalami trauma pada lehernya, maka
lakukan pengangkatan rahang bawah ke depan disertai dengan membuka
rahang bawah (jaw thrust), jangan lakukan ekstensi kepala.
c. Apabila korban masih bernafas spontan, untuk menjaga jalan nafas tetap
terbuka maka posisikan kepala pada kedudukan yang tepat. Pada keadaan
yang meragukan untuk mempertahankan jalan nafas bisa dipasang oral atau
nasal airway.

Jika tersedia alat, maka kita dapat mempergunakan alat tersebut untuk
membantu membuka jalan nafas. Jika terjadi sumbatan akibat pangkal lidah
atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu jalan nafas oral atau nasal.
Sumbatan oleh benda asing dapat diatasi dengan melakukan Heimlich
63
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

manuveur atau laringoskopi disertai dengan pengisapan (suction) atau menjepit


dan menarik keluar benda asing yang terlihat.

5. Melakukan Bantuan Napas


Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan
melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang
dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak
2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 –
2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10
ml/kgBB) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong
harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan
hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari
korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :


a. Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara
yang tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru – paru
korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut,
penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik
agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga
penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari
dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah
700 – 1000 ml (10 ml/kgBB). Volume udara yang berlebihan dan laju
inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung,
sehingga terjadi distensi lambung.
b. Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban
tidak memungkinkan, misalnya pada trismus atau dimana mulut korban
mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung,
penolong harus menutup mulut korban/pasien.
c. Mulut ke stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma)
yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami
kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

6. Melakukan Manuver Pembebasan Jalan Napas Akibat Tersedak


64
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Ada beberapa macam cara untuk melakukan pembebasan jalan nafas, antara
lain:

a. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)

Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang. Caranya berikan


hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma – abdomen).

b. Abdominal Thrust(Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk

Caranya: penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang


korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan
letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar
dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan
tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat
ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.

c. Abdominal Thrust(Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (korban


tidak sadar)

Caranya: korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke


atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada
perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung
tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong
menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi


terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP)

d. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri

Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.


Caranya: kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas
pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat,
beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika
tidak berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi
meja atau belakang kursi

e. Back Blow (untuk bayi)


Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak
efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada
65
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang


punggung/vertebrae)

f. Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan
jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi
antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang,
lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.

7. Melakukan Pemberian Terapi Oksigen Aliran Rendah

Teknik pemberian oksigen pasien dengan gangguan pernafasan yang


membutuhkan oksigen tambahan.

a. Sistem aliran rendah


1) Aliran rendah konsentrasi rendah (low flow low concentration)
 Kateter nasal atau binasal
2) Aliran rendah konsentrasi tinggi (low flow high concentration).

 Sungkup muka sederhana (simple mask); konsentrasi O2 yang masuk


tergantung pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.

 Sungkup muka dengan kantong rebreating; dilengkapi dengan kantong


yang menampung aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan
udara nafas tanpa valve sehingga masih terjadi rebreathing.

 Sungkup muka kantong non rebreating, dilengkapi dengan expiratory


valve (katup ekspirasi), sehinggan tidak mengalami rebreathing.
b. Sistem aliran tinggi

1) Aliran tinggi konsentrasi rendah (High flow low concentration)

 Sungkup venturi

2) Aliran tinggi konsentrasi tinggi (High flow high concentration)

 Head box

 Sungkup CPAP (Continous Positive Airway Pressure)


66
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VII
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan Bantuan Hidup Dasar
(BHD)

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep Bantuan Hidup Dasar (BHD)
2. Melakukan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
67
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VII
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

1. Konsep Bantuan Hidup Dasar (BHD)


a. Pengertian dan Tujuan BHD
Jika pada suatu keadaan ditemukan korban dengan penilaian dini
terdapat gangguan tersumbatnya jalan nafas, tidak ditemukan adanya
nafas dan atau tidak ada nadi, maka penolong harus segera melakukan
tindakan yang dinamakan dengan istilah Bantuan Hidup Dasar (BHD).

Bantuan hidup dasar terdiri dari beberapa cara sederhana yang


dapat membantu mempertahankan hidup seseorang untuk sementara.
Beberapa cara sederhana tersebut adalah bagaimana menguasai dan
membebaskan jalan nafas, bagaimana memberikan bantuan penafasan
dan bagaimana membantu mengalirkan darah ke tempat yang penting
dalam tubuh korban, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk
mencegah matinya sel otak.

Penilaian dan perawatan yang dilakukan pada bantuan hidup dasar


sangat penting guna melanjutkan ketahapan selanjutnya. Hal ini harus
dilakukan secara cermat dan terus menerus termasuk terhadap tanggapan
korban pada proses pertolongan.

Bila tindakan ini dilakukan sebagai kesatuan yang lengkap maka


tindakan ini dikenal dengan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau
istilah lainnya adalah Cardio Pulmonary Resucitation (CPR).

Untuk memudahkan pelaksanaannya maka digunakan akronim A –


B – C yang berlaku universal.

b. Indikasi Dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Bantuan Hidup Dasar dilakukan pada pasien jika pada saat pemeriksaan
ditemukan henti nafas atau henti jantung.
Henti Napas : Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada
dan aliran udara pernapasan dari korban / pasien
Henti Jantung : Pernapasan yang terganggu (tersengal – sengal)
merupakan tanda awal akan terjadi henti jantung

c. Penyebab Henti Nafas dan Henti Jantung


Henti nafas dapat disebabkan oleh gangguan atau penyakit pada
jalan nafas atau pernafasan (primer) dan henti jantung diakibatkan
68
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

gangguan atau penyakit kardiovaskular (primer). Meskipun demikian


banyak penyakit – penyakit yg secara sekunder akan membahayakan
pernafasan dan jantung yg pada akhirnya mengakibatkan henti nafas dan
henti jantung. Sistem kardiovaskuler dan pernafasan selalu berinteraksi.

1) Sebab – sebab henti nafas


a. Sumbatan jalan nafas
Sumbatan jalan nafas dapat terjadi total atau sebagian. Sumbatan
jalan nafas total dengan cepat dapat menyebabkan edema otak atau
edema paru, kelelahan bernafas, apnea sekunder dan kerusakan
otak karena hipoksia seperti pada henti jantung. Sebab – sebab
sumbatan jalan adalah:
 Darah
 Muntahan (aspirasi isi lambung)
 Benda asing
 Trauma langsung pada wajah atau tenggorokan
 Spasme larings, bronkus
 Radang
 Depresi susunan syaraf pusat oleh karena trauma kepala,
tumor, gangguan metabolik dan obat – obatan misalnya
narkotika.
b. Gangguan atau penyakit paru.
Kelainan patologis paru yg berat akan memperburuk oksigenasi
dan ventilasi, yaitu:
 Infeksi
 Aspirasi
 Asthma bronkhial
 Edema paru
 Kontusio paru
 Pneumotoraks, hematoraks
c. Gangguan neuromuskular
Otot – otot pernafasan utama adalah diafragma dan otot-otot
interkostal. Otot – otot interkostal dapat lumpuh bila terjadi
kerusakan pada vertebra servikalis. Misalnya pada:
 Myasthenia gravis
 Sindrom guillain-barre
 Multiple sclerosis
 Poliomyelitis
 Kyphoscoliosis
 Distrofi muskuler
 Penyakit motor neuron
69
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

2) Sebab – sebab henti jantung

Sebab henti jantung dapat primer atau sekunder. henti jantung


primer adalah apabila penyebab yang langsung terjadi dari jantung,
yaitu:
 Gagal jantung
 Tamponade jantung
 Miokarditis
 Kardiomiopatik hipertrofik
 Fibrilasi ventrikel akibat: iskemia miokardium, infark
miokardium, sengatan listrik, obat – obatan, gangguan listrik.
Henti jantung sekunder terjadi akibat gangguan yang berasal dari luar
jantung, misalnya:
 Asfiksia karena sumbatan jalan nafas
 Anoksia karena tercekik, edema paru
 Kehilangan darah banyak yang akut
 Hipoksemia karena anemia
 Syok septik stadium hari

B. Golden Periode
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi
darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat
organ – organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan
oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak
hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/ glukosa dan oksigen.
Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan
oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara
permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena
itu, Golden Periode (waktu emas) pada korban yang mengalami henti
napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam waktu
kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti
jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka
harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus
dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung
adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR.

C. Chain of Survival
The Chain of Survival/ rantai kelangsungan kehhidupan adalah
sebuah protokol yang membantu responden pertama, penyedia layanan
70
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

gawat darurat medis dan orang awam bersertifikat menyediakan


pelayanan penting untuk korban tersedak atau serangan jantung dan
pernafasan.tujuan dari rantai kelangsungan hidup adalah untuk
meningkatkan kesempatan pasien untuk pemulihan melalui tindakan dini.
Rangkaian tindakan yang dilaksanakan pada awal dari setiap kasus
kegawatan medik untuk memberikan bantuan/ pertolongan dengan tujuan
mempertahankan kelangsungan hidup.
Rekomendasi terbaru tahun 2015, rantai kelangsungan hidup
dipisahkan antara perawatan pasien yang mengalami serangan jantung
diluar rumah sakit/ Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) dengan
pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit/ Intra Hospital
Cardiac Arrest (IHCA). Pasien yang mengalami serangan jantung diluar
rumah sakit lebih banyak ditemukan oleh orang awam, namun penemu
pertama tersebut harus mengenali adanya serangan jantung, meminta
bantuan dan memberikan pertolongan pertama dengan segera memulai
Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien tersebut. Apabila di tempat
kejadian tersebut terdapat fasilitas Automated External Defibrilator
(AED), maka penolong tersebut harus dapat menggunakan alat tersebut
untuk membantu menyelamatkan pasien tersebut, sampai pada akhirnya
petugas kesehatan yang terlatih tiba di tempat dan mengambil alih
penyelamatannya. Kemudian membawa pasien tersebut ke fasilitas
kesehatan. Sebaliknya jika pasien yang mengalami serangan jantung
berada di rumah sakit, maka team dari petugas kesehatan yang meliputi
dokter, perawat, ahli terapi pernafasan dapat langsung memberikan
pertolongan.
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF
(Ventrikel Fibrilasi) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat
darurat angkanya masih lebih rendah, menandakan bahwa masih ada
ruang untuk perbaikan dengan evaluasi ulang dari jalur ini. Semua
tindakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara berkesinambungan,
saling berkaitan satu sama lain seperti satu mata rantai/ Chain of
Survival. Semakin cepat penolong masuk kedalam suatu mata rantai dan
kemudian dapat beralih pada mata rrantai berikutnya, amak semakin
tinggi tingkat keberhasilan dari pertolongan tersebut.
71
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

D. Komplikasi BHD
Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
RJP, ada pula komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi, antara lain:
a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung
b. Fraktur sternum/ costae
c. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio paru
d. Laserasi hati, limpa

E. Penghentian BHD
BHD dihentikan apabila:
1. Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas spontan
2. Penolong sudah kelelahan
3. Ada penolong yang lebih ahli/ bantuan datang
4. Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/meninggal

2. Teknik Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Tahapan melakukan tindakan penyelamatan melalui RJP disingkat


menjadi C – A – B yang merupakan singkatan dari compression, airways, dan
breathing. Compression atau kompresi adalah tahap menekan dada, selanjutnya
airways adalah membuka jalur pernapasan, dan breathing adalah memberi
bantuan napas.
72
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Di bawah ini adalah sedikit penjelasan mengenai tahapan CAB atau


kompresi, pembebasan jalur pernapasan, dan bantuan napas dari mulut ke
mulut. Namun sebelum melakukan tahapan pertolongan RJP, pastikan area
tempat korban berada aman untuk dilakukan pertolongan, misalnya jika berada
di jalan, orang yang hendak ditolong bisa dipindahkan ke tepi jalan untuk
menghindari lalu lintas. Periksa juga apakah si korban sadar atau tidak sadar
(pingsan), kondisi tidak sadarlah yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Pastikan untuk menghubungi nomor – nomor berikut untuk meminta
pertolongan lebih lanjut, yaitu 118 untuk memanggil ambulans dan polisi di
nomor 112.

a. Kompresi
Tindakan ini dilakukan apabila tidak ditemukan denyut nadi atau detak
jantung pada orang yang tidak sadarkan diri. Melakukan pertolongan
pertama dengan teknik RJP dimulai dengan melakukan kompresi dada.
Cukup dengan meletakkan salah satu telapak tangan di bagian tengah dada
korban kemudian tangan yang lainnya ditaruh di atas tangan yang pertama.
Kemudian eratkan jari-jari kedua tangan dan lakukan penekanan dada
sedalam 5-6 cm, kemudian lepaskan. Ulangi pemberian tekanan di dada
sebanyak 100-120 kali tekanan tiap menit hingga pertolongan medis datang
atau hingga korban menunjukkan respons.

b. Membuka jalur napas


Tindakan RJP yang kedua adalah upaya membuka jalur pernapasan korban.
Hal ini biasanya dilakukan setelah menekan dada korban. Caranya dengan
mendongakkan kepala korban, lalu kedua tangan diletakkan di dahinya.
Setelah itu, angkat dagu orang tersebut dengan lembut untuk membuka dan
mengamankan saluran pernapasannya.

c. Memberi bantuan napas


Tahap selanjutnya dari RJP adalah memberikan napas bantuan dari mulut ke
mulut. Hal ini bisa dilakukan dengan menjepit hidung korban, lalu posisikan
mulut kita tepat di mulut korban. Tiupkan napas kita ke dalam mulutnya dan
periksa apakah dada korban sudah mengembang dan mengempis seperti
orang bernapas pada umumnya. Pada setiap 30 kali kompresi dada, iringi
dengan dua kali bantuan napas. Teknik pernapasan dari mulut ke mulut
sebaiknya hanya dilakukan oleh mereka yang telah mendapatkan pelatihan
khusus.
Apabila Anda bukan tenaga kesehatan dan belum terlatih, lakukan kompresi
dada dengan tangan saja (Hands Only CPR) tanpa pemberian bantuan napas.
Kompresi dada terus dilakukan hingga perangkat gawat darurat yang disebut
AED (Automated External Defibrillator) tiba dan siap digunakan. Kompresi
73
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

dada juga dapat dihentikan untuk dialihkan kepada paramedis bila sudah
tiba. Selain itu, bila korban mulai menunjukkan respons dan bergerak
spontan, kompresi dada dapat dihentikan.

Keuntungan Mampu Melakukan CPR


Karena RJP yang dilakukan dengan benar dapat menyelamatkan nyawa
seseorang, maka kita wajib mengetahui bagaimana cara melakukannya. Berikut
ini adalah alasan-alasan penting kenapa kita perlu mempelajari teknik resusitasi
jantung paru.

1) Mungkin bisa menyelamatkan seseorang dari kerusakanotak


Salah satu keuntungan kita bisa melakukan RJP adalah mampu mengurangi
risiko korban mengalami kerusakan otak. Hal ini sangat mungkin terjadi
sebab tindakan pertolongan pertama dengan RJP dapat menjaga oksigen dan
darah tetap beredar di dalam tubuh korban. Pada kondisi ketika tubuh tidak
lagi dilalui suplai oksigen dan darah, maka kemungkinan terjadinya
kerusakan otak akan sangat tinggi.
2) Bisa menyelamatkan nyawa seseorang
Makin cepat sebuah pertolongan diberikan, maka makin besar kemungkinan
seseorang yang mengalami kecelakaan atau serangan jantung bisa
diselamatkan. Jika seseorang mengalami serangan jantung, maka fungsi
jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh akan terhenti. Jika RJP
dilakukan segera setelah kejadian, makin besar kemungkinan jantung bisa
kembali bekerja mengedarkan oksigen dan darah ke seluruh tubuh. Hal ini
tentu saja akan meningkatkan kemungkinan seseorang untuk terhindar dari
kematian.
3) Masih jarang orang yang bisa melakukan RJP
Jangan terkejut mendapati fakta bahwa lebih dari separuh pasien yang
terkena serangan jantung tidak mendapatkan pertolongan pertama berupa
resusitasi jantung paru. Alasan utamanya adalah banyak orang-orang yang
belum pernah mendapatkan pelatihan melakukan RJP. Padahal, upaya
penyelamatan dengan RJP mudah untuk dipelajari sekaligus diaplikasikan
secara nyata.
4) Banyak kejadian serangan jantung di rumah
Salah satu alasan penting lainnya kenapa kita perlu memiliki bekal yang
cukup untuk melakukan RJP adalah untuk mengantisipasi orang di rumah
mengalami kondisi yang memerlukan RJP. Setidaknya 85 persen serangan
jantung terjadi di rumah. Hal tersebut bisa saja menimpa orang di sekitar
kita termasuk anggota keluarga. Dengan memiliki kemampuan melakukan
resusitasi jantung dan paru, kita bisa berperan dalam menyelamatkan nyawa
orang-orang yang kita cintai.
74
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Adapun tahap – tahap RJP pada dewasa secara rinci, sebagai berikut:

1. Periksa Kesadaran Penderita


 Menepuk bahu/ menggoyangkan badan penderita
 Jika belum merespon, panggil dengan suara keras
 Jika tidak merespon lakukan tahap ke – 2
2. Call For Help
 Berteriak minta tolong dengan orang sekitar
 Hubungi EMS (Emergency Medical Service) dengan menelpon 119 atau
Panggilan emergensi lokal
 Saat menghubungi EMS, informasikan tentang kejadian, jarak terdekat
menuju kejadian, nama tempat kejadian, lantai, kamar, dengan lengkap
 Jelaskan nama anda yang menghubungi, apa yang terjadi, jumlah korban,
kondisi korban, dan pertolongan yang sudah diberikan.
 Sementara menunggu team EMS datang lakukan tahap ke – 3
3. Atur Posisi Korban
 Posisi baring telentang (agar efektif dalam melakukan pemeriksaan napas
dan nadi)
 Baringkan ditempat datar dan keras
4. Ekstensikan Kepala Korban
 Tehnik mengangkat dengan cara 1 tangan di dahi korban dan tangan
lainnya di bawah dagu korban
5. Periksa Mulut Korban
 Kaji adanya benda asing/ material muntahan dimulut korban. Jika terlihat
ambil benda asing tersebut. Pengambilan material cair dengan kain,
pengambilan material padat dengan jari/ finger sweep
 JANGAN MEMBUANG WAKTU UNTUK TINDAKAN INI SAJA,
lakukan tahap 6
6. Periksa Napas
 Lihat dada penderita apakah normal (normalnya turun naik)
 Dengar suara napas dengan merasakan hembusan napas di pipi
 Jika tidak ada tanda – tanda napas, lanjut ke tahap – 7
7. Beri 2x napas buatan
 Pencet hidung korban, lingkari mulut korban dengan mulut anda secara
ketat
 Hembuskan napas pelan dan dalam sampai melihat dada penderita naik
 Batas waktu antara napas kedua 1,5 detik
8. Periksa nadi korban
 Pada orang dewasa terletak di arteri karotis (leher)
 Angkat dagu seperti tahap 4, tekan dan rasakan nadi carotis, tahan 5-10
detik
 Jika nadi ADA dan napas TIDAK ADA, beri napas buatan sebanyak 10-
12x/menit
 Jika nadi dan napas TIDAK ADA, mulai gunakan KOMPRESI DADA
9. Kompresi Dada
 Tekan teratur pada dinding dada. Diharapkan darah akan mengalir ke
organ vital dan organ vital masih tetap berfungsi hingga EMS datang
75
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Lokasi penekanan pada area, dua jari di atas proxesus xifoideus.


Penekanan dilakukan dengan menggunakan pangkal telapak tangan.
Dengan posisi satu tangan diatas tangan yang lain.
 Tekanan pada tulang dada dilakukan sedemikian rupa sehingga masuk 3
– 4 cm (pada orang dewasa).
 Jaga lengan penolong agar tetap lurus, sehingga yang menekan adalah
bahu (atau lebih tepat tubuh bagian atas) dan bukan tangan atau siku.
 Pastikan tekanan lurus ke bawah pada tulang dada karena jika tidak,
tubuh dapat tergelincir dan tekanan untuk mendorong akan hilang.
Gunakan berat badan saat kita berikan tekanan.
 Dorongan yang terlalu besar akan mematahkan tulang dada
 Waktu untuk menekan dan waktu untuk melepas harus sama waktunya.
 Berikan kompresi 30 kali dengan kecepatan 80 – 100x/menit
 Setiap 30 kali kompresi harus dikombinasikan dengan napas buatan
10. Kordinasikan antara kompresi dengan napas buatan
 Setiap akhir 30 kali kompresi diselingi dengan 1 – 1,5 detik napas buatan
 Rangkaian 30 kali kompresi dan 2 kali napas buatan diulang selama 5
kali siklus baru lakukan evaluasi nadi(tahap ke-8)
 Lanjutkan resusitasi hingga EMS tiba

Tanda-tanda keberhasilan RJP:


a. Dada harus naik dan turun dengan setiap tiupan (ventilasi).
b. Pupil bereaksi atau tampak berubah normal (pupil harus mengecil saat
diberikan cahaya).
c. Denyut jantung kembali terdengar reflek pernapasan spontan
d. Dapat terlihat kulit penderita pucat berkurang atau kembali normal.
e. Penderita dapat menggerakkan tangan atau kakinya
f. Penderita berusaha untuk menelan
g. Penderita menggeliat atau memberontak

Resusitasi Jantung pada Bayi dan Anak

Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
1. Saluran Pernapasan (Airway)
Hati – hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan
kepala bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga
dongakan yang kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.
2. Pernapasan (Breathing)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan mencoba menjepit hidungnya. Tutupi
mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan
(1 hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk
membuat dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi
mulutnya, dan berikan hembusan seperti pada bayi.
3.Pemeriksaan Denyut(Circulation)
76
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan
meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan
bahu. Pemeriksaan denyut pada anak kecil sama dengan orang dewasa.

Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)


a) 2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b) Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae
c) Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d) Rasio pijat : napas 15 : 2
e) Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

Resusitasi Jantung paru pada anak – anak ( 1 – 8 tahun)


a) Satu telapak tangan
b) Titik kompresi pada satu jari di atas procesus xiphoideus
c) Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d) Rasio pijat : napas 30 : 2
e) Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
77
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VIII
SYOK HIPOVOLEMIK

Tujuan Instruksional Umum


Setelah Mengikuti Materi ini Peserta Mampu Memberikan Asuhan Keperawatan
Dasar Gawat Darurat Syok Hipovolemik

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep Syok Hipovolemik
2. Melakukan pengkajian Syok Hipovolemik
3. Mengidentifikasi masalah keperawatan
4. Memposisikan pasien dengan tepat untuk mempertahankan sirkulasi optimal
5. Melakukan pemberian cairan berdasarkan kebutuhan yang telah diprogramkan
pada kasus gawat darurat
6. Melakukan monitoring selama dan sesudah pemberian cairan pada kasus gawat
darurat
78
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB VIII
SYOK HIPOVOLEMIK

1. Pengenalan Syok
Shock adalah keadaan klinis dengan tanda dan gejala yang muncul ketika
terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen, hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan. Bila hipoksia tidak segera diatasi
maka akan mengakibatkan terjadinya kegagalan organ akibat tidak adekuatnya
perfusi jaringan.
Syok lanjut yang ditandai oleh perfusi yang kurang ke kulit, ginjal dan
susunan saraf pusat (SSP) mudah dikenal. Namun setelah masalah airway dan
breathing teratasi, penilaian yang teliti dari keadaan sirkulasi penting untuk
mengenal syok secara dini. Ketergantungan pada tekanan darah sebagai satu –
satunya indikator syok akan menyebabkan terlambatnya diagnosis syok.
INGAT mekanisme kompensasi tubuh dapat menjaga tekanan darah sampai
pasien kehilangan 30% volume darah. Perhatian harus diarahkan pada nadi,
laju pernafasan, sirkulasi kulit dan tekanan nadi, perbedaan antara tekanan
sistolik dan diastolik.
Gejala paling dini adalah takikardia dan vasokontriksi perifer. Dengan
demikian, tiap pasien yang mengalami perdarahan dengan nadi lemah dan
cepat serta akral dingin dianggap dalam keadaan syok. Kecepatan denyut
jantung tergantung pada usia. Dikatakan takikardia, bila denyut jantung lebih
dari 160 pada bayi, lebih dari 140 pada balita, lebih dari 120 pada anak usia
sekolah, dan lebih dari 100 pada usia dewasa. Orang tua dengan syok mungkin
tidak menunjukkan takikardia.
Pemeriksaan Hematokrit dan Haemoglobin tidak dapat dipercaya karena
tidak dapat dipakai untuk mengukur kehilangan darah ataupun untuk diagnosis
syok. Kadar Hematokrit yang rendah menunjukkan kehilangan darah dalam
jumlah yang cukup besar atau anemia sebelum trauma sudah ada. Sedangkan
hematokrit normal dapat terjadi walaupun sudah kehilangan darah cukup
banyak.

Klasifikasi Syok
Setiap pasien dengan perdarahan yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan tentuunya tidak sama jumlah kehilangan darahnya, sehingga derajat
syoknya juga berbeda. Untuk itu ada suatu standar penilaian yang simple dan
mudah untuk menentukan derajat atau kelas syok yang dibuat oleh American
College of Surgeon (ACS). ACS membagi kelas syok menjadi 4, dilihat dari
tanda dan gejalanya:
79
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Perkiraan Kehilangan Darah

KELAS 1 KELAS 2 KELAS 3 KELAS 4


Kehilangan Sampai 750 750 – 1500 1500 – 2000 >2000
darah (ml)
Kehilangan Sampai 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
darah (%
volume darah)
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
naik
Frekuensi 14 – 20 20 – 30 30 – 40 >35
nafas
Produksi urin >30 20 – 30 5 – 15 Tdk berarti
CNS Sedikit cemas Agak cemas Cemas, Bingung
bingung

Sumber: ATLS – American College of Surgeon

Gejala syok hemoragik pada trauma terbagi tiga yaitu ringan, sedang, dan
berat. Syok hemoragik ringan hanya menimbulkan gejala minimal yaitu: nafas
sedikit lebih cepat dan nadi sedikit lebih cepat. Syok hemoragik yang sedang
akan mengakibatkan gejala takikardia dan akarl dingin. Pada keadaan ini
tekanan darah belum turun. Sedangkan pada syok hemoragik berat, jumlah
darah yang hilang lebih dari 30% volume darah total. Hal ini akan
menyebabkan gejala jelas, antara lain tekanan darah yang turun.
Kondisi fisik pasien sangat beragam, mulai dari sangat dramatis seperti
hipotensi berat akibat perdarahan. Gejala klinis yang tampak tergantung dari
derajat syok yang terjadi:
a) Suhu : hipertermia atau hipotermia
b) Laju jantung : biasanya meningkat
c) Tekanan darah sistolik : meningkat pada awal syok, selanjutnya
menurun
d) Tekanan darah diastolik : meningkat pada awal, menurun ketika
kompensasi gagal
e) Sistem saraf pusat : delirium, gelisah, disorientasi, koma
f) Kulit : pucat, dingin, sianosis, berkeringat
g) Respirasi : takipnea
h) Kardiovaskuler : takikardia
i) Organ splannik : ileus, perdarahan gastrointestinal
j) Ginjal : penurunan produksi urin
80
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

2. Pengelolaan Syok
Resusitasi pada pasien syok meliputi:
a. Menjaga Patensi Jalan Nafas (Airway)
Kontrol jalan nafas yang paling ideal adalah dengan melalui intubasi
endotrakhea yang bertujuan untuk proteksi jalan nafas, oksigenasi melalui
pemberian tekanan positif (baging), menjaga patensi dan pembersihan jalan
nafas.
b. Mengontrol Usaha Nafas
Adanya usaha nafas pada pasien syok akan meningkatkan konsumsi
oksigen, untuk itu usaha nafas harus dikendalikan melalui penggunaan
ventilasi mekanik dengan ventilator dan pemberian obat sedasi. Kadar
saturasi oksigen dipertahankan diatas 93% dengan PaCO 2 dipertahankan
pada kisaran 35 – 40 mmHg.
c. Stabilisasi Sirkulasi
Stabilisasi sirkulasi atau hemodinamik dimulai dengan kecukupan jumlah
akses intravena atau jalur infus. Untuk dapat melakukan resusitasi cairan
jalur infus dengan ukuran yang paling besar yang dapat dipasang mutlak
diperlukan. Jika volume intravaskuler sangat diperlukan, maka posisi
trendelenburg (menaikkan kaki diatas level jantung) dapat menolong
memberikan tambahan cairan kedalam jantung.
Resusitasi cairan dimulai dengan cairan kristaloid yang isotonic. Jumlah
cairan dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan gangguan
hemodinamik yang terjadi. Semakin berat gangguan hemodinamik yang
terjadi, semakin cepat dan besar volume yang diberikan. Sebagian besar
pasien yang dalam kondisi syok mengalami defisit cairan baik absolute
maupun relative. Cairan diberikan secara cepat sebanyak 500 ml s/d 1000
ml, dengan dilakukan penilaian ulang selesai memberikan cairan.
Pasien dengan derajat hipovolemia ringan memerlukan cairan kristaloid
sekitar 20 ml/kgBB. Sedangkan pasien dengan derajat yang lebih berat
memerlukan jumlah cairan yang lebih banyak. Obat – obatan yang
digunakan untuk meningkatkan kerja sistem kardiovaskuler yang biasa
disebut vasopresor digunakan ketika cairan telah cukup diberikan tetapi
respon yang didapatkan belum memuaskan, atau pada pasien – pasien yang
mempunyai kontraindikasi untuk diberikan cairan yang banyak seperti pada
pasien syok kardiogenik.
d. Mengontrol Konsumsi Oksigen
Penggunaan oksigen yang berlebihan harus dikurangi, seperti kondisi
kesakitan, stress, gelisah, dan menggigil. Untuk itu upaya pemberian
analgetik, pelumpuh otot, anksiolisis sangat diperlukan.
81
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman,
nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid
yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada
dalam ruang intravaskular.
1) Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline
dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula
darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun
penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang
diakibatkan antara lain hiperomolalitas – hiperglikemik, diuresis osmotik,
dan asidosis serebral.
2) Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan
efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian
tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang
mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik.
Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang
intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini
82
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma


lebih dari pada volume yang diberikan.
TARGET AKHIR RESUSITASI
Resusitasi dikatakan berhasil jika mampu memenuhi kriteria sbb:
1) Tekanan darah, laju nadi, produksi urin kembali ke batas normal
2) Volume sirkulasi tercukupi
3) Volume cairan di tiap kompartmen tercukupi
4) Parameter hemodinamik kembali normal
5) Hantaran oksigen maksimal
6) Asidosis jaringan teratasi, metabolisme tubuh kembali ke aerob, kekurangan
oksigen tergantikan.

Respon Korban terhadap Resusitasi Cairan


a. Respon cepat (terhadap resusitasi cairan)
Sebagian kecil korban gawat darurat akan berespon baik terhadap resusitasi
cairan. Hemodinamik menjadi stabil dan normal bila sudah selesai
pemberian bolus dan tetesan diperlambat. Kelompok ini kehilangan darah
<20% volume darah. Tidak diperlukan pemberian bolus cairan atau darah
lebih lanjut, walaupun darah harus tetap dipersiapkan. Konsultasi bedah
tetap diperlukan.
b. Respon sementara
Sebagian besar korban gawat darurat akan berespon terhadap pemberian
cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik korban gawat darurat
menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau
resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini
adalah antara 20 – 40% volume darah. Pemberian cairan pada kelompok ini
harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap
pemberian darah menentukan korban gawat darurat mana yang memerlukan
operasi segera.
c. Respon minimal atau tanpa respon
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, tetap tanpa respon, ini
menandakan perlunya operasi sangat segera. Harus tetap diwaspadai
kemungkinan syok non – hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard.

Transfusi darah
Pemberian darah tergantung respon korban gawat darurat terhadap
pemberian cairan seperti diterangkan sebelumnya. Pada fase pra – rumah sakit
jarang dilakukan pemberian tranfusi darah. Transfusi darah lazimnya diberikan
di pelayanan kesehatan, namun demikian apabila memang dibutuhkan dapat
diberikan di rumah sakit lapangan
83
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB IX
SINDROM KORONER AKUT (SKA)

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan


gawat darurat dasar pada Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary
Syndrome (ACS)

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:

1. Menjelaskan tentang SKA


2. Mengkaji klien SKA
3. Memberikan asuhan keperawatan pasien SKA
4. Mengintrepestasikan EKG SKA
5. Memonitor hemodinamik non invasif
6. Melakukan pencatatan dan pelaporan secara akurat dan tepat sesuai alur
84
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB IX
SINDROM KORONER AKUT (SKA)

1. Konsep SKA

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kondisi di mana aliran darah


menuju ke jantung berkurang secara tiba-tiba. Nyeri dada seperti tertindih
benda berat merupakan bentuk gejala paling umum dari kondisi ini. Arteri
koroner (pembuluh darah jantung) memasok darah yang kaya akan oksigen ke
otot jantung. Jika arteri ini menyempit atau tersumbat akan mengganggu fungsi
jantung yang bisa menyebabkan angina atau serangan jantung.

Istilah SKA sekarang ini banyak digunakan untuk menggambarkan


kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu
sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil
(unstable angina), infark miokard non – elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi
pada koroner perkutan.

Oleh orang awam, terkadang gejala – gejala sindrom koroner akut


disalahartikan sebagai masuk angin. Pada beberapa kasus yang menyebabkan
kematian, orang awam juga kerap menyebut kondisi ini sebagai angin duduk.
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kondisi darurat medis yang
membutuhkan penanganan segera. Kondisi kesehatan ini umum terjadi.
Kondisi ini biasanya terjadi pada orang yang yang berusia di atas 45 tahun,
perokok, dan memiliki riwayat penyakit jantung.

Pada kasus kegawatan kardiovaskuler sering timbul secara mendadak,


dan sering pula terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Waktu saat muncul
keluhan sampai dengan pasien dibawa ke IGD merupakan waktu yang sangat
penting. Oleh karena itu sangat penting bagi perawat untuk mengetahui tentang
kegawatdaruratan kardiovaskuler dan mampu memberikan penanganan secara
cepat dan tepat pada korban, baik bantuan hidup dasar (Basic Life Support –
BLS) ataupun sampai dengan bantuan hidup lanjut (Advanced Cardiac Life
Support – ACLS).

Tanda – tanda dan gejala paling umum dari kondisi ini adalah:
 Dada terasa seperti tertindih benda berat
 Nyeri yang terasa samar atau terasa sangat sakit di bagian dada, leher, bahu
kiri, lengan dan menyebar ke bagian bawah (terutama di bagian lengan kiri).
85
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Rasa sakit muncul secara perlahan atau tiba-tiba, menyebar atau terasa
menyengat
Tanda – tanda dan gejala lain dari sindrom koroner akut yaitu:

 Sesak napas
 Detak jantung cepat atau tidak teratur
 Merasa seperti ingin jatuh
 Kelelahan yang parah
 Otot melemah
 Mual atau muntah
 Keluar keringat dingin

Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
 Hipertensi
 Diabetes
 Hiperkolesterolemia
 Merokok
 Kurang latihan
 Diet dengan kadar lemak tinggi
 Obesitas
 Stress
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:
 Riwayat PJK dalam keluarga
 Usia di atas 45 tahun
 Jenis kelamin laki-laki > perempuan
 Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK

2. Pengkajian SKA
Diagnostik adanya suatu Sindrom Koroner Akut (SKA) harus ditegakkan
secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis
nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram), dan evaluasi biokimia
dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan
dari sebagian besar pasien dengan SKA. Sifat yang spesifik dari nyeri dada
angina adalah sebagai berikut:
a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial
b. Pencetus/ Provokatus: dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yaitu
aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan, stress emosi,
terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari). Keadaan
86
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

– keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas


simpatis, sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung
meningkat, dan aliran koroner juga meningkat.
c. Palliatif: pada nyeri angina terkontrol dengan nitrat, tetapi pada akut
memerlukan analgetik dosis tinggi seperti morphin.
d. Quality: atau dikenal juga dengan sifat nyeri, rasa sakit yang seperti
ditekan, seperti terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, seperti
diperas atau dipelintir.
e. Radiasi: atau penjalaran nyeri ke arah leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung atau interskapula, dan dapat juga menjalar ke lengan kanan.
f. Severitas: pada nyeri angina lama, nyeri antara 10 sampai dengan 20
menit, dan berulang. Sedangkan nyeri pada fase akut lebih dari 30 menit
dan terjadi terus – menerus.
Adapun gejala yang biasa menyertai adalah mual, muntah, sulit bernafas,
keringat dingin dan lemas.

Presentasi Klinis Nyeri Dada


Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan angina
pektoris tidak stabil/ NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata – mata.
a. Unstable angina: gejala angina tidak stabil adalah sama dengan angina
stabil, tetapi gejala dapat disertai:
 Nyeri tambah berat/ angina tambah berat tanpa pemicu/ provokasi
apapun
 Nyeri tetap bertahan bahkan ketika istirahat
 Nyeri bertahan lebih dari lima menit
 Tidak respon terhadap ISDN
b. Non – ST segmen elevasi miokard infark (NSTEMI), setidaknya dua dari
kriteria berikut:
 Gejala nyeri saat istirahat
 Terdapat peningkatan serum troponin
 Perubahan EKG: elevasi segmen ST tidak hadir, mungkin ada segmen ST
normal atau depresi atau gelombang T inversi
c. ST segmen elevasi miokard infark (STEMI), ditandai dengan gejala dengan
elevasi segmen ST (iskemia transmural). Ada indikasi untuk perawatan
mendesak reperfusi, baik dengan intervensi koronerperkutan atau dengan
pemberian agen trombolitik. Serangan jantung bisa subclassified sebagai
gelombang Q atau non – Q wave infark miokard.
87
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Klasifikasi Derajat Nyeri

Sebelum menindaklanjuti pengobatan Sindrom Koroner Akut, Braunwald


membagi klasifikasi Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) menjadi:

Kelas I Serangan baru, yaitu <2 bulan progresif, berat


dengan nyeri pada waktu istirahat atau aktivitas
Berat ringannya sangat ringan, terjadi >2 kali sehari.
SKA Kelas II Sub – akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai
dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
Kelas III Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Kelas A Sekunder, dicetuskan oleh hal – hal diluar
koroner, seperti anemia, infeksi, demam,
hipotensi, takiaritmia, tirotoksikosis dan hipoksia
Klinis
karena gagal nafas.
Kelas B Primer
Kelas C Setelah infark (dalam 2 minggu IMA)
 Belum pernah diobati
 Dengan anti angina (penghambat beta andregenik, nitrat dan
Intensitas terapi antagonis kalsium)
 Anti angina dan nitrogliserin intravena

3. Asuhan keperawatan pasien SKA

Pengkajian
Pemeriksaan Fisik
1) Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis
berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 38 0 C) bisa
timbul setelah 12 – 24 jam pasca infark.
2) Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100 – 120 kali/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya
akan melambat dengan pemberian analgesik yang adekuat.
Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung
sebagai komplikasi dari infark.
Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan
kotekolamin. Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan
akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau
tanda dari syok kardiogenik.
3) Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3, atau mur – mur. Bunyi gesekan
perikard jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi
(hingga 6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler.
88
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

4) Pemeriksaan paru
Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat
gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal
itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG (Elektrokardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.Pada infark,
miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi
secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk,
dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q
terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang tak aktif secara
elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang
T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai
dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau berhari-hari
berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan umur infark miokard,
gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG

 Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 – V4, perubahan resiprokal


(depresi ST) pada lead II, III, aVF.
 Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal
(depresi ST) V1 – V6, I, aVL.
 Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.
 Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama
gelombang R pada V1 – V2.
 Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

2. Tes Darah
 Selama serangan, sel – sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein –
protein tertentu keluar masuk aliran darah.
 Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB
terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali
menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
 LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard
yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3 – 6 hari. Masih
dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu.
89
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi


penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin,
terutama Troponin T.
 Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK – MB maupun
LDH selain ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot
skeletal.
 Troponin T & I protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot
jantung, terutama Troponin T (TnT)
 Tn T sudah terdeteksi 3 – 4 jam pasca kerusakan miokard dan masih
tetap tinggi dalam serum selama 1 – 3 minggu.
 Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama.
 Peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.

Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman dan nyeri akut dapat terjadi sehubungan dengan
kurangnya suplai oksigen ke otot jantung sekunder karena oklusi arteri
coronaria. Kondisi ini ditandai dengan rasa nyeri dada hebat dengan
menjalar ke leher, punggung belakang, dan epigastrium. Di samping itu,
ekspresi wajah tampak kesakitan, kelelahan, lelah, perubahan kesadaran
nadi dan tekanan darah.
2) Keterbatasan aktivitas fisik terjadi sehubungan dengan suplai oksigen
dan keburukan oksigen yang tidak seimbang, iskemik/ kematian otot
jantung. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan, perubahan nadi dan
tekanan darah aktivitas, perubahan warna kulit.
3) Rasa cemas dapat terjadi berkaitan dengan perubahan status menjadi
sakit, ancaman kematian, dll. Kondisi ini di tandai dengan tekanan darah
meningkat, wajah tampak cemas, perhatian hanya pada diri sendiri.
4) Penurunan cardiac output dapat terjadi sehubungan dengan perubahan
nadi, aliran konduksi, dan penurunan preload/ peningkatan SVR.
5) Resiko penurunan perfusi jaringan sehubungan dengan vasokontriksi
hipovolemia.
6) Kelebihan volume cairan yang berlebahan terjadi sehubungan dengan
penurunan perfusi organ dari renal, peningkatan retensi sodium dan air,
serta peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma.

Implementasi
Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan
meninjau dari apa yang telah di rencanakan atau intervensi sebelumnya dengan
tujuan utamanya penghilangan nyeri dada, tidak ada kesulitan bernafas,
pemeliharaan atau pencapaian perfusi jaringan yang adekuat, mengurangi
kecemasan, mematuhi program asuhan diri, dan tidak adanya komplikasi
90
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Evaluasi
Hasil yang diharapkan adalah:
 Pasien menunjukkan pengurangan nyeri
 Tidak menunjukkan kesulitan dalam bernafas
 Perfusi jaringan terpelihara secara adekuat
 Memperihatkan berkurangnya kecemasan

4. Interpretasi EKG SKA


EKG memberikan bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
a. Gambaran diagnosis akut STEMI dari EKG adalah:
 Depresi segmen ST > 0,05 mV (1/2 kotak kecil)
 Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV (2 kotak kecil) inversi
gelombang T yang simetris di sadapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan
adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak
menyingkirkan diagnosis APTS/ NSTEMI. Pemeriksaan EKG 12 sadapan
pada pasien SKA dapat menggambarkan kelainan yang terjadi dan ini
dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan
kategori.
b. Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang – kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak
dijumpai gelombang Q.
c. Infark miokard non – Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T

5. Hemodinamik non invasif


Secara sederhana komponen tersebut dapat kami jabarkan sebagai berikut:

a. Nadi
Merupakan hasil dari kardiac out put, kardiak out put merupakan
hasil dari mekanikal jantung, mekanikal jantung ditentukan oleh volume
dan otot jantung. Sehingga kalau nadi tidak normal berarti akar
permasalahannya ada volume atau pompanya. Cek dan koreksi cairannya
dan perbaiki pompanya.
Pada management pre – hospital nilai cardiac output dan tekanan
darah dapat dinilai hanya dengan nadi tanpa harus menggunakan tensi
meter. Ketika anda dapat meraba nadi radialis pasien berarti tekanan
sistolik berkisar diatas 90 mmHg, jika yang teraba hanya nadi karotisnya
berarti tekanan sistoliknya hanya berkisar 80 mmHg. Lalu apa yang
dinilai pada nadi? cek nadi, ada atau tidak? Reguler atau tidak? Kuat atau
lemah
b. Tekanan Darah (TD)
91
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, TD merupakan hasil dari


CO. Yang perlu diingat dan diperhatikan disini selain apakah TD masih
dalam rentang normal atau tidak adalah berapa nilai tekanan nadinya,
semakin menyempit atau melebar merupakan tanda awal dari kondisi
pasien yang akan masuk pada kondisi syok. Satu lagi pada pengkajian
TD ini adalah MAP . Hal ini juga sangat penting, penurunan atau
peingkatan nilai MAP dari normal merupakan indikasi prognosis pasien
yang kurang baik. MAP yang rendah dari 60 mmHg menandakan perfusi
organ/ jaringan yang menurun yang berdampak pada kondisi iskemik
sedangkan yang lebih dari 100 mmHg mengarahkan pada tingginya
tekanan pada jaringan atau organ, ini tentunya akan membawa dampak
yang besar pula pada jaringan.
c. Heart Rate (HR) atau denyut jantung
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa heart rate merupakan
hasil dari aktivitas listrik jantung yang dipengaruhi oleh sistem konduksi
dan elektrolit. Normalnya adalah antara 60 – 100 kali/menit pada dewasa.
Jika dibawah 60 atau diatas 100 merupakan indikator penting adanya
tanda dari gangguan hemodinamik. Pada gangguan hemodinamik awal
umumnya dapat di deteksi dengan menilai heart rate, misalkan adanya
kondisi kekurangan cairan/ hipovolume cairan maka mekanisme
kompensasi tubuh dengan cara menaikkan heart rate yang juga
berdampak pada meningkatnya denyut nadi. Selanjutnya nadi akan
berkontriksi dengan harapan darah dimaksimalkan ke jantung, otak dan
paru. Mekanisme ini dijelaskan pada Renin, Angiotension, Aldosterol
System (RAA System).
d. Indikator perfusi perifer
Warna kulit, CRT (Capilary Refill Time), kelembaban dan suhu
badan. Sebagaimana kita ketahui bahwa hemodinamik sangat berkaitan
erat dengan komponen Sirkulasi, pada pendekatan trauma ”Circullation”
berada pada urutan ketiga setelah Airway dan Breathing sedangkan pada
management henti jantung tersaksikan ”Circullation” berada pada
komponen pertama. Pada trauma misalnya, penilaian komponen ”C” ini
tdak hanya mengecek nadi dan perdarahan tapi juga masuk di dalamnya
adalah mengecek CRT, warna kulit dan suhu tubuh. Mengapa demikian?
Karena jika hemodinamik baik maka perfusi jaringan di perifer/ kapiler
juga baik dan demikian sebaliknya. Jika ditemukan CRT lebih dari 2
detik, warna kulit pucat serta suhu tubuh yang teraba pucat dan dingin
menandakan adanya gangguan perfusi yang biasa disebut syok. Tanda ini
biasanya mengarahkan pada kecurigaan adanya gangguan volume

e. Pernapasan
92
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Walaupun hemodinamik identik dengan jantung, cairan dan


pembuluh darah bukan berarti kita melupakan organ vital lainnya seperti
paru dan pasti juga otak tentunya. Hal ini bisa dijelaskan secara
sederhana bahwa; darah yang dialirkan melaui sistem sirkulasi kejaringan
berisi oksigen sebagai kebutuhan vital sel. Gangguan pada distribusi
cairan memberikan dampak pula pada jumlah oksigen yang disuplai ke
sel dan jaringan akibatnya dapat terjadi penimbunan CO 2, sebagaimana
kita ketahui bahwa salah satu yang merangsang sehingga kita dapat
bernapas adalah tingginya kadar CO2 didalam darah. Sehingga pada
pasien yang mengalami gangguan hemodinamik akan terlihat takipnea/
pernapasan diatas 20x permenit pada dewasa, akan tetapi pada kondisi
yang lanjut dimana tubuh tidak mampu lagi berkompensasi pernapasan
lambat laun akan menurun hingga apnea.
f. Produksi urine
Sama halnya dengan paru dan organ lain, ginjal dapat
mengekspresikan gangguan hemodinamik yang sedang terjadi. Produksi
urine normal pada dewasa berkisar antara 0,5 – 1 cc/kgBB/jam, angka
inilah merupakan salah satu rujukan yang sangat penting saat menilai
hemodinamik pasien. Pasien yang mengalami hipovolume akan
cenderung terjadinya penurunan produksi urine hingga anuria.
Mekanisme ini merupakan respon fisiologis tubuh pada RAAS, dimana
terjadi peningkatan reabsorbsi Natrium dan juga H2O diginjal disisi lain
juga adalah karena terjadinya vasokontrik pembuluh darah di ginjal
sehingga aliran darah menuju ginjal berkurang.
g. Saturasi Oksigen (SPO2)
Merupakan indikator lain yang dinilai ketika memonitor
hemodinamik. Pulse oximeter merupakan alat pendeteksi jumlah oksigen
yang tersaturasi dengan hemoglobin. Normalnya berkisar antara 95% -
100%. Nilai dibawah 95% memberikan indikasi dimana terjadi hipoksia
atau kekurangan pasokan oksigen, akan tetapi indikator nilai SPO 2 ini
jangan sampai dijadikan sebagai sandaran utama, sebab terkadang nilai
saturasi dibawah 90 akan tetapi kondisi pasien masih stabil. Mengapa
demikian? terkadang cara pemasangan probe kurang tepat atau tempat
dimana probe saturasi dipasang berada dilengan yang mana terpasang
juga tensimeter.
h. GCS (Glasgow Coma Scale)
Adalah indikator penting berikutnya. Walaupun pada gangguan
hemodinamik awal, perubahan GCS biasanya tidak ditemukan. Adanya
penurunan nilai GCS mengindikasi bahwa kondisi gangguan
hemodinamik sudah berlangsung lama atau bisa juga belum lama akan
tetapi berlangsung secara drastis. Penurunan GCS yang drastis
93
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

membutuhkan tindakan penanganan yang segera, terpadu dan


terintegrasi.

Elektrokardiogram (EKG)

Jantung merupakan organ tubuh


yang unik yang memiliki muatan
listrik, dan kegiatan listrik jantung
dalam tubuh dapat dicatat dan
direkam melalui elektrode –
elektrode yang dipasang pada
permukaan tubuh. Grafik yang
tercatat melalui rekaman ini disebut
elektrokardiogram (EKG) dan ilmu
yang mempelajari aktifitas listrik
jantung disebut elektrokardiografi.
Elektrokardiogram (EKG) berfungsi untuk menentukan kelainan seperti
gangguan irama jantung (disritmia), pembesaran atrium atau ventrikel, iskemik
atau infark pada otot jantung, infeksi lapisan jantung (perikarditis), efek obat –
obatan, gangguan elektrolit atau penilaian fungsi pacu jantung.

Anatomi Struktur dan Fungsi Sistem Konduksi Jantung


Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran
listrik dan memiliki sifat – sifat khusus yaitu:
1. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan listrik secara spontan
2. Ritmisasi : pembentukan impuls yang teratur
3. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsangan
Berdasarkan sifat tersebut maka secara spontan dan teratur jantung dapat
menghasilkan impuls – impuls yang disalurkan melalui sistem hantar untuk
merangsang otot jantung dan bisa menimbulkan konduksi. Bila sistem
konduksi berfungsi normal, maka atrium berkontraksi kira – kira 1/6 detik
lebih dulu dari kontraksi ventrikel sehingga memungkinkan pengisian ekstra
pada ventrikel sebelum ventrikel ini memompa darah ke sirkulasi sistemik
Pacemaker adalah sesuatu / unit yang dapat menghasilkan impuls listrik
secara terus menerus, teratur dan otomatis. Dalam hal ini pacemaker asli dalam
jantung disebut sebagai real pacemaker. Real pacemaker bekerja sebagai
pembentuk impuls (generator) dan penghantar impuls (pathways).
1. Pembentuk impuls (generator)
a. Sinus atrial node (SA node)
94
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

b. Atrioventrikuler node (AV node)


c. Serabut purkinje (fiber purkinje)
2. Penghantar impuls (pathways)
a. Internodal atrium
b. His bundle
c. Right Bundle Branch (RBB)
d. Left Bundle Branch (LBB)

Gambar. Struktur Sistem Konduksi Jantung

Gambar. Sistem Kelistrikan Jantung

Siklus Kerja Jantung

Jantung berfungsi memompa darah ke paru – paru dan ke seluruh tubuh.


Cara jantung memompa darah adalah dengan melakukan kontraksi secara
bergantian antara atrium dan ventrikel, dengan irama yang teratur dan terus
menerus sepanjang hidup. Bekerjanya jantung didukung oleh dua sistem yang
ada dalam jantung yaitu sistem kontraksi dan sistem konduksi.
95
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Sistem konduksi berfungsi mengatur kerja jantung melalui sistem


kontraksi. Cara pengaturan kerja jantung dapat diuraikan sebagai berikut.
Simpul SA membangkitkan impuls dengan rate normal sekitar 70 bpm (beat
per menit). Impuls ini melalui bachmann’s bundle disebarkan ke seluruh
dinding atrium, sehingga membuat sel – sel dalam dinding atrium mengalami
depolarisasi. Depolarisasi pada atrium ini kemudian diikuti oleh kontraksi
atrium.

Dari atrium, impuls diteruskan ke Simpul AV melalui internodal fiber.


Di dalam Simpul AV, impuls mengalami penundaan sekitar 100 ms yang
fungsinya memberikan waktu kepada atrium untuk menyelesaikan
kontraksinya sebelum ventrikel mulai berkontraksi. Dari Simpul AV, impuls
diteruskan ke Bundle of His, ke Left dan Right Bundle Branches, dan menyebar
ke seluruh dinding ventrikel melalui Purkinje fibers. Menyebarnya impuls ke
seluruh dinding ventrikel membuat ventrikel mengalami depolarisasi yang
kemudian diikuti dengan kontraksi ventrikel. Setelah itu proses berulang
kembali dimulai dari Simpul SA.

Depolarisasi Spontan

Dari proses kerja jantung tersebut terlihat bahwa Simpul SA


membangkitkan impuls – impuls dengan ritme yang teratur. Simpul SA dapat
membangkitkan impuls karena sel – selnya mempunyai otomatisitas.
Otomatisitas ini terjadi karena sel – sel tersebut mempunyai potensial istirahat
yang nilainya kurang negatif, yaitu antara - 60 mV sampai - 70 mV. Potensial
membran yang kurang negatif ini membuat penutupan yang tidak penuh pada
kanal sodium terpicu – tegangan. Akibat penutupan yang tidak penuh ini ion
sodium masih dapat masuk ke dalam membran sel melalui kanal ini, yang
membuat potensial istirahat membran (yaitu fase 4 depolarisasi) tidak konstan.
Potensial ini menjadi semakin kurang negatif

Semakin kurang negatifnya potensial membran membuat konduktivitas


membran terhadap ion sodium menjadi semakin tinggi sehingga aliran ion
sodium ke dalam sel menjadi semakin cepat hingga dicapai potensial ambang
(trheshold), yaitu sekitar - 40 mV. Bila sel – sel dalam Simpul SA telah
mencapai potensial ambang maka kanal kalsium-sodium terpicu-tegangan
terbuka dan terjadilah proses depolarisasi yang disebut dengan depolarisasi
spontan. Depolarisasi spontan inilah yang membangkitkan impuls potensial
aksi yang selanjutnya dihantarkan ke atrium maupun ke ventrikel.

Disamping Simpul SA, masih ada beberapa bagian lain dalam sistem
konduksi yang sel – selnya juga mempunyai kemampuan melakukan
depolarisasi spontan. Bagian – bagian itu adalah Simpul AV, Bundle of His,
Bundle Branches, dan Purkinje fibers. Perbedaannya dengan sel di Simpul SA
adalah rate impuls yang dibangkitkan lebih rendah dibandingkan rate yang
dibangkitkan Simpul SA. Rate yang dibangkitkan Simpul SA berkisar antara
96
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

60 sampai 100 bpm, sedang yang dibangkitkan di tempat lain dalam sistem
konduksi adalah antara 50 dan 60 bpm di Simpul AV, Bundle of His, Bundle
Branches, dan antara 30 dan 40 bpm di Purkinje fibers.

Pemacu Asli (Native Pacemaker) dan Pemacu Tersembunyi (Latent


Pacemaker)

Bagian – bagian dalam sistem konduksi yang sel – selnya mempunyai


kemampuan melakukan depolarisasi spontan disebut sebagai pemacu
(pacemaker). Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa ada lebih dari satu
pemacu dalam sistem konduksi. Akan tetapi, walaupun ada lebih dari satu
pemacu, dalam kondisi normal hanya ada satu pemacu yang bekerja. Hal ini
dimungkinkan oleh adanya perbedaan rate pada masing-masing pemacu. Rate
dari Simpul SA yang lebih cepat dari rate yang dibangkitkan di tempat lain
dalam sistem konduksi akan membuat sel – sel dalam sistem konduksi
menerima rangsangan impuls dari Simpul SA lebih dulu sebelum sel-sel
tersebut sempat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian, pada
kondisi normal, rate dari semua bagian dalam sistem konduksi selalu
mengikuti rate dari Simpul SA. Oleh karena itu Simpul SA ini disebut sebagai
pemacu asli (native pacemaker).

Pada kondisi tidak normal, ada kemungkinan sistem konduksi tidak dapat
menerima impuls dari Simpul SA. Penyebabnya dapat karena Simpul SA
memang tidak membangkitkan impuls, ataupun karena terjadi hambatan pada
sistem konduksi sehingga impuls dari Simpul SA tidak sampai ke Simpul AV.
Jika Simpul AV tidak menerima impuls dari Simpul SA maka sel – selnya
dapat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian, pada kondisi tidak
normal ini fungsi Simpul SA sebagai pemacu telah diambil alih oleh Simpul
AV. Bila misalnya ternyata Simpul AV ini juga mengalami kegagalan, maka
fungsi pemacu akan diambil alih oleh pemacu di bawahnya, begitu seterusnya.
Mekanisme ini merupakan pengamanan, agar jantung dapat tetap berdenyut
walaupun terjadi gangguan pembangkitan impuls pada Simpul SA. Pemacu –
pemacu yang bekerja hanya jika terjadi kondisi tidak normal ini disebut
sebagai pemacu tersembunyi (latent pacemaker).

Siklus Jantung (Cardiac Cycle)

Aktivitas jantung yang dimulai dari keadaan istirahat, kemudian


kontraksi atrium, disusul kontraksi ventrikel, dan kembali istirahat merupakan
suatu siklus yang berulang terus menerus sepanjang hidup. Aktivitas kelistrikan
yang mengatur siklus kerja jantung ini dapat direkam dengan menggunakan
alat yang disebut elektrokardiograf, dan hasil rekamannya disebut
elektrokardiogram yang disingkat EKG atau ECG.

Dalam rekaman EKG, satu siklus jantung terdiri atas beberapa


gelombang, yaitu gelombang – gelombang P, Q, R, S, T, dan U. Gelombang –
gelombang tersebut berhubungan dengan aktivitas listrik yang terjadi di dalam
jantung. Gelombang P ditimbulkan oleh depolarisasi atrium; gelombang Q, R,
97
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

dan S yang bersama – sama membentuk kompleks QRS ditimbulkan oleh


depolarisasi ventrikel; dan gelombang T ditimbulkan oleh repolarisasi
ventrikel. Gelombang U kemungkinan ditimbulkan oleh repolarisasi serabut
Purkinje.

Kertas Perekam EKG

Sebuah elektrokardiograf khusus berjalan di atas kertas dengan kecepatan


25 mm/s, meskipun kecepatan yang di atas daripada itu sering digunakan.
Setiap kotak kecil kertas EKG berukuran 1 mm². Dengan kecepatan 25 mm/s, 1
kotak kecil kertas EKG sama dengan 0,04 s (40 ms). 5 kotak kecil menyusun 1
kotak besar, yang sama dengan 0,20 s (200 ms). Karena itu, ada 5 kotak besar
per detik. 12 sadapan EKG berkualitas diagnostik dikalibrasikan sebesar
10 mm/mV, jadi 1 mm sama dengan 0,1 mV. Sinyal "kalibrasi" harus
dimasukkan dalam tiap rekaman. Sinyal standar 1 mV harus menggerakkan
jarum 1 cm secara vertikal, yakni 2 kotak besar di kertas EKG.

Monitor EKG modern memiliki banyak penyaring untuk pemrosesan


sinyal. Yang paling umum adalah mode monitor dan mode diagnostik. Dalam
mode monitor, penyaring berfrekuensi rendah (juga disebut penyaring bernilai
tinggi karena sinyal di atas ambang batas bisa lewat) diatur baik pada 0,5 Hz
maupun 1 Hz dan penyaring berfrekuensi tinggi (juga disebut penyaring
bernilai rendah karena sinyal di bawah ambang batas bisa lewat) diatur pada
40 Hz. Hal ini membatasi EKG untuk pemonitoran irama jantung rutin.
Penyaring bernilai tinggi membantu mengurangi garis dasar yang menyimpang
dan penyaring bernilai rendah membantu mengurangi bising saluran listrik 50
atau 60 Hz (frekuensi jaringan saluran listrik berbeda antara 50 dan 60 Hz di
sejumlah negara). Dalam mode diagnostik, penyaring bernilai tinggi dipasang
98
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

pada 0,05 Hz, yang memungkinkan segmen ST yang akurat direkam.


Penyaring bernilai rendah diatur pada 40, 100, atau 150 Hz. Sebagai akibatnya,
tampilan EKG mode monitor banyak tersaring daripada mode diagnostik,
karena bandpassnya lebih sempit.

Sadapan EKG

Kata sadapan memiliki 2 arti pada elektrokardiografi: bisa merujuk ke


kabel yang menghubungkan sebuah elektrode ke elektrokardiograf, atau (yang
lebih umum) ke gabungan elektrode yang membentuk garis khayalan pada
badan di mana sinyal listrik diukur. Lalu, istilah benda sadap longgar
menggunakan arti lama, sedangkan istilah 12 sadapan EKG menggunakan arti
yang baru. Nyatanya, sebuah elektrokardiograf 12 sadapan biasanya hanya
menggunakan 10 kabel / elektrode. Definisi terakhir sadapan inilah yang
digunakan di sini.

Sebuah elektrokardiogram diperoleh dengan menggunakan potensial


listrik antara sejumlah titik tubuh menggunakan penguat instrumentasi
biomedis. Sebuah sadapan mencatat sinyal listrik jantung dari gabungan khusus
elektrode rekam yang itempatkan di titik – titik tertentu tubuh pasien.

 Saat bergerak ke arah elektrode positif, muka gelombang depolarisasi (atau


rerata vektor listrik) menciptakan defleksi positif di EKG di sadapan yang
berhubungan.
 Saat bergerak dari elektrode positif, muka gelombang depolarisasi
menciptakan defleksi negatif pada EKG di sadapan yang berhubungan.
 Saat bergerak tegak lurus ke elektrode positif, muka gelombang depolarisasi
(atau rerata vektor listrik) menciptakan kompleks equifasik (atau isoelektrik)
di EKG, yang akan bernilai positif saat muka gelombang depolarisasi (atau
rerata vektor listrik) mendekati (A), dan kemudian menjadi negatif saat
melintas dekat (B).

Ada 2 jenis sadapan – unipolar dan bipolar. EKG lama memiliki


elektrode tak berbeda di tengah segitiga Einthoven (yang bisa diserupakan
dengan ‘netral’ stop kontak dinding) di potensial nol. Arah sadapan-sadapan ini
berasal dari “tengah” jantung yang mengarah ke luar secara radial dan
termasuk sadapan (dada) prekordial dan sadapan ekstremitas – VL, VR, & VF.
Sebaliknya, EKG baru memiliki kedua elektrode itu di beberapa potensial dan
arah elektrode yang berhubungan berasal dari elektrode di potensial yang lebih
rendah ke tinggi, mis., di sadapan ekstremitas I, arahnya dari kiri ke kanan,
yang termasuk sadapan ekstremitas – I, II, dan III.

Catat bahwa skema warna untuk sadapan berbeda antarnegara!


99
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Sadapan Ekstremitas

Sadapan I, II dan III disebut


sadapan ekstremitas karena
elektrokardiogafi benar – benar
harus menempatkan tangan dan kaki
mereka di ember air asin untuk
mendapatkan sinyal dari
galvanometer senarEinthoven. EKG
seperti itu membentuk dasar yang
kini dikenal sebagai segitiga
Einthoven. Akhirnya, elektrode
ditemukan sehingga dapat
ditempatkan secara langsung di kulit
pasien. Meskipun ember air asin
sebentar saja diperlukannya,
elektrode – elektrode itu masih
ditempatkan di lengan dan kaki pasien untuk mengira – ngirakan sinyal yang
diperoleh dari ember air asin itu. Elektrode – elektrode itu masih menjadi 3
sadapan pertama EKG 12 sadapan modern.

 Sadapan I adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan dan
elektrode positif (hitam) di lengan kiri.
 Sadapan II adalah dipol dengan elektrode negatif (putih) di lengan kanan
dan elektrode positif (merah) di kaki kiri.
 Sadapan III adalah dipol dengan elektrode negatif (hitam) di lengan kiri dan
elektrode positif (merah) di kaki kiri.

Sadapan Ekstremitas Tambahan

Sadapan aVR, aVL, dan aVF merupakan sadapan ekstremitas


tambahan, yang diperoleh dari elektrode yang sama sebagai sadapan I, II, dan
III. Namun, ketiga sadapan itu memandang jantung dari sudut (atau vektor)
yang berbeda karena elektrode negatif untuk sadapan itu merupakan modifikasi
terminal sentral Wilson, yang diperoleh dengan menambahkan sadapan I, II,
dan III bersama dan memasangnya ke terminal negatif mesin EKG. Hal ini
membidik elektrode negatif dan memungkinkan elektrode positif untuk
menjadi "elektrode penjelajah" atau sadapan unipolar. Hal ini mungkin
karena Hukum Einthoven menyatakan bahwa I + (-II) + III = 0. Persamaan itu
juga bisa ditulis I + III = II. Ditulis dengan cara ini (daripada I + II + III = 0)
karena Einthoven membalik polaritas sadapan II di segitiga Einthoven,
mungkin karena ia suka melihat kompleks QRS tegak lurus. Terminal sentral
Wilson meratakan jalan untuk perkembangan sadapan ekstremitas tambahan
aVR, aVL, aVF dan sadapan prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.

 Sadapan aVR atau "vektor tambahan kanan" memiliki elektrode positif


(putih) di lengan kanan. Elektrode negatif merupakan gabungan elektrode
100
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

lengan kiri (hitam) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah"
kekuatan sinyal elektrode positif di lengan kanan.
 Sadapan aVL atau "vektor tambahan kiri" mempunyai elektrode positif
(hitam) di lengan kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan
kanan (putih) dan elektrode kaki kiri (merah), yang "menambah" kekuatan
sinyal elektrode positif di lengan kiri.
 Sadapan aVF atau "vektor tambahan kaki" mempunyai elektrode positif
(merah) di kaki kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan
kanan (putih) dan elektrode lengan kiri (hitam), yang "menambah" sinyal
elektrode positif di kaki kiri.

Sadapan ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF diperkuat dengan cara ini
karena sinyal itu terlalu kecil untuk berguna karena elektrode negatifnya adalah
terminal sentral Wilson. Bersama dengan sadapan I, II, dan III, sadapan
ekstremitas tambahan aVR, aVL, dan aVF membentuk dasar sistem rujukan
heksaksial, yang digunakan untuk menghitung sumbu kelistrikan jantung di
bidang frontal.

Sadapan Prekordial

Penempatan sadapan prekordial yang benar.

Sadapan prekordial V1, V2, V3, V4, V5, dan V6 ditempatkan secara
langsung di dada. Karena terletak dekat jantung, 6 sadapan itu tak memerlukan
augmentasi. Terminal sentral Wilson digunakan untuk elektrode negatif, dan
sadapan-sadapan tersebut dianggap unipolar. Sadapan prekordial memandang
aktivitas jantung di bidang horizontal. Sumbu kelistrikan jantung di bidang
horizontal disebut sebagai sumbu Z.

Sadapan V1, V2, dan V3 disebut sebagai sadapan prekordial kanan


sedangkan V4, V5, dan V6 disebut sebagai sadapan prekordial kiri.
101
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Kompleks QRS negatif di sadapan V1 dan positif di sadapan V6.


Kompleks QRS harus menunjukkan peralihan bertahap dari negatif ke positif
antara sadapan V2 dan V4. Sadapan ekuifasik itu disebut sebagai sadapan
transisi. Saat terjadi lebih awal daripada sadapan V3, peralihan ini disebut
sebagai peralihan awal. Saat terjadi setelah sadapan V3, peralihan ini disebut
sebagai peralihan akhir. Harus ada pertambahan bertahap pada amplitudo
gelombang R antara sadapan V1 dan V4. Ini dikenal sebagai progresi
gelombang R. Progresi gelombang R yang kecil bukanlah penemuan yang
spesifik, karena dapat disebabkan oleh sejumlah abnormalitas konduksi, infark
otot jantung, kardiomiopati, dan keadaan patologis lainnya.

1. Sadapan V1 ditempatkan di ruang intercostal IV di kanan sternum.


2. Sadapan V2 ditempatkan di ruang intercostal IV di kiri sternum.
3. Sadapan V3 ditempatkan di antara sadapan V2 dan V4.
4. Sadapan V4 ditempatkan di ruang intercostal V di linea (sekalipun detak
apeks berpindah).
5. Sadapan V5 ditempatkan secara mendatar dengan V4 di linea axillaris
anterior.
6. Sadapan V6 ditempatkan secara mendatar dengan V4 dan V5 di linea
midaxillaris.

Kurva EKG

Aktifitas bioelektrik jantung yang terekam dalam EKG merupakan


bentuk – bentuk gelombang, pada keadaan normal bentuk atau konfigurasinya
akan berbeda – beda disetiap sadapan. Hal ini karena arah dan intensitas
gelombang yang terbentuk dalam urutan depolarisasi – repolarisasi jantung,
bila dilihat dari setiap elektrode saling berlainan, sehingga bentuk – bentuk
defleksi yang terekam juga akan berbeda.

Terdapat tiga gelombang, dua segmen dan tiga interval dalam EKG yang
perlu diperhatikan karena mempunyai arti klinis yang penting. Ketiga
gelombang itu adalah gelombang P, gelombang QRS dan gelombang T. Dua
segmen adalah segmen PR dan segmen ST, ketiga interval adalah interval PR,
interval QRS, dan interval QT.
102
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Menentukan Aksis Jantung

Aksis jantung merujuk pada arah rata – rata gelombang depolarisasi


ventrikuler yang direpresentasikan oleh gelombang QRS pada bidang vertikal,
diukur dari sebuah titik referensi nol. Titik referensi nol meninjau jantung dari
sudut pandang yang sama dengan lead I. Sebuah aksis yang berada di atas lead
I diberi sebuah nomor negatif, dan sebuah aksis yang berada di bawahnya
diberi sebuah nomor positif.(1)

Secara teoritis, aksis jantung dapat berada di manapun antara sudut 180°
dan -180°. Kisaran normal aksis jantung adalah antara −30° dan +90°. Sebuah
aksis yang berada lebih dari sudut −30° dinamakan deviasi aksis kiri/ left axis
deviation/LAD, sedangkan sebuah aksis yang berada >90° dinamakan deviasi
aksis kanan/ Right Axis Deviation/ RAD. Aksis jantung antara -90 dan 180
derajat (beberapa ada yang menyebut sebagai aksis barat laut/ northwest axis)
disebut sebagai deviasi aksis ekstrem/ Extreme Axis Deviation/ EAD.

Deviasi aksis jantung memiliki beberapa penyebab, antara lain adalah


hipertrofi ventrikel kiri, hemiblok anterior kiri, infark miokardial (IM) inferior,
VT dari fokus LV, beberapa tipe sindrom Wolf – Parkinson – White (WPW).
Deviasi aksis kanan dapat disebabkan oleh hipertrofi ventrikel kanan, emboli
pulmoner, IM anterolateral, hemiblok anterior kiri (jarang), beberapa tipe
sindrom WPW. Deviasi aksis ekstrem diakibatkan oleh ritme – ritme
ventrikular / Ventricular Tachycardia (VT), Accelerated Idioventricular
Rhythm (AIVR), ektopi ventrikuler, hiperkalemia, dan hipertrofi ventrikuler
kanan yang parah.(2,3)

Arah aksis ditentukan oleh gelombang QRS. Jika QRS positif, maka
aksis menunjuk pada arah yang sama terhadap sadapan. Kalau QRS negatif,
maka aksis menuju pada arah yang berlawanan terhadap sadapan. Prinsip
103
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

vektor berlaku dalam menentukan aksis EKG. Pada kondisi di mana QRS
isoelektris, aksis berada 90 derajat terhadap sadapan ini. Lihat gambar
dibawah.

Sistimatika Interpretasi EKG


Membaca EKG akan mudah dan tepat jika kita melakukannya secara
sistematis. Berikut ini urutan dalam membaca EKG. Bagi pemula dianjurkan
ada pendamping untuk cara membaca dan menginterpretasikan hasil
perekaman EKG.
1. Irama
Langkah pertama kita harus menentukan irama EKG teratur atau tidak,
irama sinus atau bukan. Dikatakan irama sinus jika EKG didahului dengan
gelombang P dan selalu diikuti dengan kompleks QRS, dan dikatakan
teratur jika jarak R – R interval sama.
2. Laju QRS (Frekuensi Heart Rate)
Menghitung laju jantung (frekuensi heart rate)
Ada beberapa cara untuk menghitung kecepatan laju jantung (heart rate),
dan yang umum dipergunakan adalah:
300
Jumlah kotak besar R−R '

1500
Jumlah kotak kecil R−R '

Catatan:
Kedua cara diatas digunakan apabila irama EKG teratur, bila irama EKG
tidak teratur gunakan cara benar. Ambil rekaman EKG sepanjang 6 detik,
hitung jumlah QRS dalam 6 detik tersebut kemudian kalikan 10 atau ambil
rekaman EKG sepanjang 12 detik, hitung jumlah kemudian kalikan 5.
104
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

3. Gelombang P
Gelombang P merupakan gelombang yang harus diidentifikasi karena untuk
dapat menentukan suatu EKG berasal dari SA node atau bukan. Perhatikan
apakah gelombang P ada, bila ada apakah bentuknya normal, dalam satu
lead gelombang P sama satu dengan yang lainnya dan apakah setiap
gelombang P selalu diikuti gelombang QRS.
a. Normal: upright: I, II, aVF, V4, V5, V6. Inverted: aVR. Variable: III,
aVL, V1, V2, V3
b. P wave inverted (selain di aVR): Ectopic Atrial, irama dari AV nodal
c. Gelombang P tinggi: Right Atrial Hypertrophy (RAH) atau atrial dilatasi
d. Gelombang P lebar (lebih dari 12 sec): Left Atrial Hypertrophy (LAH)
e. P waves absent: sinoatrial node block, irama dari AV nodal
4. Interval PR
Normal interval PR adalah 0,12 – 0,20 detik. Perhatikan apakah interval PR
memanjang atau mmendek dari ukuran normal.
a. Normal : Interval: 0,12 to 0,20
b. Prolonged PR Interval : AV Node Block
c. Shortened PR Interval : Wolf – Parkinson – White Syndrome
(WPW Syndrome)
5. Durasi atau lebar gelombang QRS
Normal durasi QRS adalah 0,60 – 0,12 detik. Perhatikan amplitudo
gelombang R dan S.
a. Normal: Duration: Limb lead (I, II, III): 0.05 to 0.10. Precordial lead (V1
to V6): 0.06 to 0.12
b. QRS melebar (lebih 0,12): Konduksi abnormal pada Atrioventrikuler
c. QRS amplitudo rendah (<5 mm pada limb leads)): Pericardial Effusion
d. QRS amplitudo tinggi: evaluasi adanya Left Ventricular Hypertrophy
(LAH)
6. Segment ST-T dan Q patologis
Penilaian ini untuk melihat adanya masalah miokard jantung, baik iskemik
maupun infark acut. Normal segmen ST adalah isoelektris, bila berada
diatas garis isoelektris dikatakan segmen ST Elevasi dan bila berada
dibawah garis isoelektris disebut segmen ST Depresi. Normal Gelombang Q
tidak lebih dari 1/3 gelombang R, bila ada gelombang Q yang lebih tinggi
dari 1/3 R pada lokasi lead – lead yang telah ditentukan maka dikatakan
sebagai kondisi Old Infark atau necrosis (dalam bahasa EKG ACS).
7. Hipertrofi
Menilai adanya hipertrofi atrium kiri maupun kanan dan ventrikel kiri
maupun ventrikel kanan (dalam bahasa EKG Hipertrofi).
8. Menentukan axis jantung
105
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Axis normal berada antara -300 sampai 1100. Lebih dari -300 disebut axis
LAD, lebih dari +1100 disebut Axis RAD dan lebih dari +180 0 disebut Axis
Extreme RAD.

BAB X
KEGAWATAN TRAUMA
X
Tujuan Instruksional Umum

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan


gawat darurat dasar pada trauma.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:

1. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada cedera kepala


2. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma spinal
3. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada sistem
muskuloskeletal
4. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma thorak
5. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma abdomen
106
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

BAB X
KEGAWATAN TRAUMA

1. CEDERA KEPALA
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada
kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban
kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus
kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang
menderita cedera kepala.
Cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat
non – degenerative, non – congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari
luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan
psikososial yang sifatnya menetap maupun sementara dan disertai hilangnya
atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat
berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita.
Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang
belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita. Di samping
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
107
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Etiologi

a. Trauma oleh benda tajam


Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan
lokal meliputi contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder
yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer cerebral, batang otak atau kedua – duanya.
c. Etiologi lainnya
 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

Klasifikasi
Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan kepada:
A. Patologi
Trauma kapitis berdasarkan patologi dibagi menjadi tiga yaitu: komosio
serebri, kontusio serebri, dan laserasio serebri.
B. Lokasi lesi
Trauma kapitis berdasarkan kepada lokasi lesi dibagi menjadi: lesi diffuse,
lesi kerusakan vaskuler otak, lesi fokal, kontusio dan laserasi serebri,
hematoma intrakranial, hematoma ekstradural (hematoma epidural),
108
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

hematoma subdural, hematoma intraparenkhimal, hematoma subarachnoid,


hematoma intraserebral serta hematoma intraserebellar.
C. Derajat kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
Trauma kapitis berdasarkan SKG dapat terdiri atas: minimal, ringan, sedang
dan berat.

Kategori SKG Gambaran Klinis CT Scan Otak


Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal
Ringan 13 – 15 Pingsan <10 menit, defisit Normal
neurologi (-)
Sedang 9 – 12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologi (+)
Berat 3–8 Pingsan >6 jam, defisit neurologi Abnormal
(+)

Catatan:

 Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat


 Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, korban gawat
darurat dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat

Menilai Tingkat Kesadaran

Penilaian tingkat kesadaran dapat menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).


Komponen penilaian dengan GCS meliputi:
E (Eyes) = Membuka mata :1–4
V (Verbal) = Bersuara :1–5
M (Motorik) = Gerakan :1–6

Glasgow Coma Scale (GCS)


Penjumlahan dari komponen Mata + Verbal + Motorik
Jumlah minimal 1 + 1 + 1 = 3 (koma)
Jumlah maksimal 4 + 5 + 6 = 15 (komposmentis – normal)

Komponen mata (eyes)


 Membuka mata spontan (4)
 Membuka mata dg stimulus suara (3)
 Membuka mata dg stimulus nyeri (2)
 Tidak dapat membuka mata (1)

Komponen verbal (suara)


 Orientasi baik (5)
 Gelisah (confused) (4)
 Kata tidak jelas (inapropriate) (3)
109
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Suara yang tidak jelas artinya (2)


 Tidak ada suara (1)

Komponen motorik (gerakan)


 Mengikuti perintah (6)
 Melokalisir nyeri (5)
 Menghindari nyeri (4)
 Reaksi fleksi (3)
 Reaksi ekstensi (2)
 Tidak ada reaksi (1)

Pergerakan Diagnosis
Diagnosis korban gawat darurat ditegakkan berdasarkan kepada hasil:
a. Anamnesis
 Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
 Perdarahan pada otorhea atau rhinorhea
 Amnesia traumatika misalnya amnesia retrograd atau anterograd
b. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
c. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur:
 Linier
 Impresi
 Terbuka/ tertutup
e. CT Scan otak, hal ini untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa:
 Gambaran kontusio
 Gambaran edema otak
 Gambaran perdarahan (hiperdens)
 Hematoma epidural
 Hematoma subdural
 Perdarahan subarakhnoid
 Hematoma intraserebral

Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis


 Penilaian kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)
 Penilaian fungsi vital: tensi, nadi, pernafasan
 Otorhea, rhinorhea
 Echymosis periorbital bilateral (sebelah mata atau hematoma kacamata)
 Echymosis mastioid bilateral berupa Battle’s Sign
 Gangguan fokal neurologik
 Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
110
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Refleks tendon, refleks patologis


 Pemeriksaan fungsi batang otak
 Ukuran pupil: besar, bentuk dapat isokor atau anisokor dan reaksi pupil
 Refleks kornea
 Doll’s eye phenomen
 Monitor pola pernafasan yang dialami korban
 Gangguan fungsi otonom
 Funduskopi

Komplikasi

1) Epilepsi Pasca Trauma


Suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak
mengalami cidera karena benturan dikepala. Kejang bisa terjadi setelah
beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cidera.

2) Afasia
Hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera
pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami/mengekspresikan kata – kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis
sebelah kiri & bagian lobus frontalis disebelahnya.
3) Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan/serangkaian gerakan. Bagian otak yang mengalami kerusakan
adalah lobus parietalis/ lobus frontalis.
4) Agnosis
Suatu kelainan dimana penderita tidak mampu mengenali wajah yang dulu
dikenalnya dengan baik atau benda – benda umum (sendok, pensil). Bagian
otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis & temporalis.
5) Amnesia
Hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
yang baru saja terjadi/ peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat
menetap. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus oksipitalis,
lobus parietalis, lobus temporalis.
6) Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama), atau
lanjut (setelah satu minggu).
7) Defisit Neurologis & Psikologis
111
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tanda awal penurunan fungsi neurologis: Perubahan tingkat kesadaran,


nyeri kepala hebat, mual/muntah proyektil (tanda dari peningkatan TIK).

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan diagnostik
[1)] X ray / CT- Scan, dapat digunakan untuk:
 Hematom serebral
 Edem serebral
 Perdarahan intrakranial
 Fraktur tulang tengkorak
1)[2)] MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat digunakan dengan atau
tanpa menggunakan kontras.
2)[3)] Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
3)[4)] EEG (Elektroensefalogram) untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
4)[5)] BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak
5)[6)] PET (Positron Emission Tomography) untuk menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak.

B. Pemeriksaan Laboratorium
1) AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum
Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium,
retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin, protein
serum.
4) CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid
(warna, komposisi, tekanan).
5) Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

Penanggulangan Cedera Kepala:


112
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Pertolongan pertama pada cedera kepala adalah periksa jalan napas


(airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi jantung (circulation) pada
orang tersebut. Bila perlu, lakukan bantuan napas dan resusitasi (CPR).
 Jika orang tersebut masih bernapas dan denyut jantungnya normal, tetapi
tidak sadarkan diri, stabilkan posisi kepala dan leher dengan tangan atau
collar neck (bila ada). Pastikan kepala dan leher tetap lurus dan sebisa
mungkin hindari menggerakkan kepala dan leher.
 Bila ada perdarahan, hentikan perdarahan tersebut dengan menekan luka
dengan kuat menggunakan kain bersih. Pastikan untuk tidak
menggerakkan kepala orang yeng mengalami cedera kepala tersebut. Jika
darah merembes pada kain yang ditutupkan tersebut, jangan melepaskan
kain tersebut, tetapi langsung merangkapnya dengan kain yang lain.
 Jika dicuriga ada patah tulang tengkorak, jangan menekan luka dan
jangan mencoba membersihkan luka, tetapi langsung tutup luka dengan
pembalut luka steril.
 Jika orang dengan cedera kepala tersebut muntah, miringkan posisinya
agar tidak tersedak oleh muntahannya. Pastikan posisi kepala dan leher
tetap lurus.
 Boleh juga dilakukan kompres dingin pada area yang bengkak.
 Jangan mencoba mencabut benda apapun yang tertancap di kepala.
Langsung bawa ke unit gawat darurat terdekat.

Pencegahan Cedera Kepala


 Jatuh merupakan penyebab utama cedera kepala, terutama pada anak –
anak dan lansia. Meminimalisir kejadian jatuh dapat dilakukan dengan
cara memastikan lantai tidak licin, menggunakan alat bantu jalan, dan
melakukan pengawasan pada saat anak atau lansia berada di kamar
mandi atau berjalan di tangga.
 Menggunakan helm, baik pada saat mengendarai sepeda atau sepeda
motor, maupun saat melakukan aktivitas yang berisiko seperti
mengendarai skateboard atau olahraga extreme.
 Mengendarai mobil dengan aman, yaitu dengan mengenakan sabuk
pengaman dan menghindari aktivitas lain seperti menggunakan
handphone pada saat sedang mengemudi. Jangan mengemudikan mobil
atau kendaraan apapun dalam keadaan tidak sadar penuh, baik karena
pengaruh alkohol maupun obat – obatan.

INDIKASI OPERASI PENDERITA TRAUMA KAPITIS

1. EDH (epidural hematoma)


 >40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/ frontal/ parietal
dengan fungsi batang otak masih baik
113
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 >30 cc dengan daerah fossa posterior dengan tanda – tanda penekanan


batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
 EDH progresif
 EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
2. SDH (subdural hematoma)
 SDH luas (>40cc/ >5 mm) dengan GCS >6, fungsi batang otak masih
baik.
 SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
 SDH dengan edema serebri/ kontusio serebri disertai midline shifting
dengan fungsi batang otak masih baik.
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
 Penurunan kesadaran progresif
 Hipertensi dan bradikardi dan tanda – tanda gangguan nafas (cushing
reflex)
 Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Faktur kranii terbukaa
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasidekompresi

KONSENSUS DI RUANG RAWAT


A. Kritikal. SKG 3 – 4

Perawatan di unit Neurologi (Neurological ICU)/ICU (bila fasilitas tersedia)

B. Trauma kapitis sedang dan berat, SKG 5-12


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital (suhu, pernapasan, tekanan darah), pupil, SKG,
gerakanekstremitas, sampai pasien sadar. Pemantauan dilakukan tiap 4
jam sampai pasienmancapai skor SKG 15. Perhatian khusus harus
diberikan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data dariTraumatic
Coma Data Bank (TCDB) memperlihatkan bahwa hipotensi pada
pasiendengan trauma kranioserebral berat akan meningkatkan angka
kematian dari 27%menjadi 50%
Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:
 Tekanan sistolik <90 mmHg
 Suhu >380 C
 Frekuensi nafas >20 kali/ menit
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial dengan
melakukan:
 Posisi kepala ditinggikan 300/ semifowler
114
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Bila perlu dapat memberikan manitol 20% (hati – hati kontraindikasi).


Dosis awal 1 gr/kgBB, berikan dalam waktu 1/2 – 1 jam, drip cepat,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kgBB drip cepat 1/2 - 1
jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama. Dan 0,25 gr/kgBB drip
cepat, 1/2 – 1 jam setelah 12 dan 24 jam dari pemberian pertama.
d. Atasi komplikasi:
 Kejang, profilaksis OAE selama 7 hari untuk mencegah immediate
dan early seizure pada kasus resiko tinggi.
 Infeksi berat fraktur basis kranii/ fraktur terbuka: profilaksis
antibiotika, sesuai dosis infeksi, intrakranial selama 10 – 14 hari.
 Gastrointestinal – perdarahan lambung
 Demam
 DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami
koagulopati akut
e. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
f. Roboransia, neuroprotektan, initropik sesuai dengan indikasi

2. TRAUMA SPINAL

Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat
dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang.
Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen
dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum
tulang belakang atau spinal kord.
Merupakan keadaan patologi akut pada medula
spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi
sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan
saraf perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis
tergantung dari keadaan komplet atau inkomple
Etiologi

a. Kecelakaan kendaraan bermotor


b. Jatuh dari ketinggian
c. Terlempar
d. Trauma benda tajam/ tumpul, dll

Patofisiologi

Columna vertebralis berfungsi menyokong tulang belakang dan


melindungi medula spinalis dan saraf – sarafnya. Cedera medula spinalis dapat
terjadi akibat trauma columna vertebra atau ligamen. Umumnya tempat
115
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

terjadinya cedera adalah pada segmen C1 – 2, C4 – 6 dan T11 – L2, karena


segmen ini paling mobile sehingga mudah terjadi cedera. Cedera medula
spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray matter medula, edema pada jam
– jam pertama paska trauma.

Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena


hiperekstensi, hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau
kombinasi. Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal
dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat
hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan
perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.

Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk,


hematoma, edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal.
Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan
perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan iskemia
pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema sel
dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali
menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang
terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar
oksigen secara cepat 30 menit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi
norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia,
ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf.

Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock)


yaitu terjadi jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan
pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan
menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah garis
kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu sampai
beberapa bulan (3 – 6 minggu).
INGAT!!! Setiap cedera tulang belakang, curiga fraktur cervikal = pasang
neck collar + Long Spine Board (LSB)
116
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tanda dan Gejala

a. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan


Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat
kerusakan dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya
hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan
dan proprioseption, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya
fungsi spinal dan refleks autonom.
b. Perubahan refleks
Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis
sehingga stimulus refleks juga terganggu misalnya rfeleks pada blader,
refleks ejakulasi dan aktivitas viseral.
c. Spasme otot
Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit
transversal, dimana pasien trejadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
d. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine dan
retensi feses.
e. Autonomik dysrefleksia

Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks


autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal, distensi bladder.
f. Gangguan fungsi seksual.
Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki adanya impotensi,
menurunnya sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.

Manifestasi Klinis
1) Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
2) Paraplegia
3) Tingkat neurologik
4) Paralisis sensorik motorik total
5) Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
6) Penurunan produksi keringat dan tonus vasomotor
7) Penurunan fungsi pernafasan
8) Gagal nafas

Komplikasi
a) Neurogenic shock
b) Hipoksia
c) Gangguan paru – paru
117
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

d) Instabilitas spinal
e) Orthostatic hipotensi
f) Ileus paralitik
g) ISK (Infeksi Saluran Kemih)
h) Batu saluran kemih
i) Kontraktur
j) Dekubitus
k) Inkontinensia blader
l) Konstipasi

Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
a. CT Scan
Menentukan tempat luka/ jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
b. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
c. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adanya dilusi pada ruang sub
arachnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
d. Foto rontgen thorax, memperlihatkan keadaan paru (contoh: perubahan pada
diafragma, ateletaksis).
e. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma cervikal bagian
bawah atau pada trauma thorakal dengan gangguan pada saraf frenikus/ otot
interkostal).
f. GDA, menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

PENATALAKSANAAN

a) Proteksi manual cervikal (ukur neck collar sebelum dipasang)


b) Beri oksigenasi dengan masker non rebreathing 10 – 12 L/menit
c) Pasang semi rigid collar fixation
d) Bebaskan airway dan pertahankan
e) Evaluasi adanya trauma thorax dan terapi
f) Pasang infus, jaga tekanan darah adekuat
g) Evaluasi disability (GCS, reflek pupil)
h) Lakukan log roll untuk evaluasi bagian belakang
i) Gunakan Long Spine Board (LSB) untuk immobilisasi dan transportasi

Alat yang digunakan


a) Neck collar
118
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

b) Head immobilizer
c) Long Spine Board (LSB)
d) Short Spine Board (SSB)
e) Kendrick Extricaton Device (KED)

3. KEGAWATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL


A. Sprain & Strain

Injuri pada struktur di sekitar sendi biasanya karena regangan yang


berlebih atau adanya kekuatan yang tiba – tiba. Hal ini mengakibatkan
penarikan terhadap struktur yang menyebabkan robeknya otot atau tendon.
Sprain merupakan regangan, lepasnya, atau robeknya ligament pelindung,
strain merupakan lepasnya atau robeknya otot/ tendon dari tulang. Injuri
dapat menimbulkan nyeri, ketidakmampuan menahan beban berat, bengkak
pada daerah yang terkena. Strain dan sprain biasanya jarang terjadi pada
bayi/ anak. Atlit dan pasien obesitas yang melakukan latihan fisik beresiko
terhadap jenis injuri ini.

 Tingkat pertama : robekan minor pada serabut, bengkak minimal,


ketidaknyamanan minimal, tidak ada/ minor echymosis
 Tingkat kedua : robekan sebagian, sendi masih intack, bengkak lebih
berat, tampak echymosis
 Tingkat ketiga : kerusakan sempurna pada ligament, sendi mungkin
terbuka, bengkak minimal sampai berat, terpisahnya otot dengan otot,
otot dengan tendon, tendon dengan tulang.

Pengkajian
1) Data Subyektif
a. Riwayat kondisi saat ini (peregangan tiba – tiba, penggunaan
kekuatan berlebih terhadap sendi, aktivitas fisik berat, nyeri sendi)
b. Riwayat medis (pasca injury, pembedahan, adanya masalah dengan
sendi, adanya riwayat penyakit pada sendi, injeksi steroid,
pengobatan saat ini)
2) Data Obyektif
Pemeriksaan fisik pada sendi yang terkena (inspeksi, palpasi,
kehilangan fungsi motorik, kehilangan rasa/ perubahan sensorik).

Diagnosa yang dapat muncul antara lain:


a. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan dan kerusakan jaringan
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
c. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan denganedema jaringan
d. Kurangnya pengetahuan berhubungan denganprosedur pengobatan, dll
119
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tindakan awal:

RICE : Rest, Ice, Compression, Elevation


a. Istirahatkan sendi yang terkena
b. Lakukan kompres es sekitar 20 menit
c. Gunakan balutan elastis verban untuk mengurangi bengkak
d. Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi bengkak
e. Pengobatan sesuai indikasi : analgetik, antiinflamasi

B. Dislokasi
Dislokasi terjadi ketika bagian permukaan artikular tulang yang
membentuk sendi tidak lagi tersambung dan kehilangan posisi anatomisnya.
Ujung tulang dapat bergerak karena kelemahan secara kongenital, penyakit
yang mempengaruhi struktur artikular dan periartikular, dan berkaitan
dengan trauma. Dislokasi berkaitan dengan kondisi emergensi karena
bahaya injury terhadap kerusakan saraf dan pembuluh darah dalam bentuk
kompresi, peregangan dan iskemia. Dislokasi digambarkan dalam istilah
segment distal dalam kaitannya dengan segment proximal. Subluksasi sendi
terjadi ketika beberapa permukaan artikular masih menempel tapi tidak
sempurna. Seseorang yang di duga atau diketahui adanya injury ortopedik
sebaiknya dikaji dengan hati-hati apakah fraktur atau dislokasi. Jika
seseorang diduga maka tungkai sebaiknya dibelat, pengkajian neurovasuler
dilakukan, radiografik, dan injuri di kurangi sesegera mungkin.

Pengkajian
1) Data Subyektif
a. Riwayat kondisi saat ini
 Kronologi proses terjadinya/ penyebab dislokasi
 Gejala sejak timbul gangguan dislokasi: nyeri, gangguan
neuromuskular
 Pengobatan awal: immobilisasi, percobaan untuk mereduksi,
penggunaan es dan elastic verban, pengobatan yang digunakan
b. Riwayat medis
120
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

 Riwayat pembedahan atau injury sebelumnya


 Riwayat dislokasi sebelumnya
 Riwayat adanya penyakit penyerta (terkait gangguan tulang dan
otot)
2) Data Obyektif
a. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi (kemerahan, deformitas yang tampak pada sendi yang
terkena, kehilangan mobilitas)
 Palpasi (tenderness, deformitas, denyut nadi, Range of Motion/
ROM, kekuatan otot, pengkajian neurologis)
b. Prosedur diagnostik: Radiologi

Diagnosa yang mungkin muncul:


a. Nyeri akut berhubungan denganpenekanan terhadap neurovaskuler (saraf
perifer) dan dislokasi
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengandislokasi dan nyeri
c. Resiko injury: disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
dislokasi, injury vaskuler, saraf dan bengkak (inflamasi)
d. Cemas berhubungan dengannyeri, metode pengobatan
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur pengobatan

Tindakan awal:
a. Tentukan fungsi neruvaskuler bagian distal
b. Immobilisasi sendi untuk mencegah injury lebih lanjut
c. Tinggikan sendi
d. Berikan kompres es untuk mengurangi bengkak
e. Persiapkan untuk reduksi

C. Fraktur
Fraktur didefinisikan sebagai rusaknya/terputusnya kontinuitas tulang.
Putusnya tulang dapat disebabkan oleh tindakan yang berulang pada tulang
atau kekuatan yang signifikan pada tulang, atau mungkin akibat dari tekanan
yang berulang tiap hari pada sebuah tulang yang mengalami kelemahan
akibat proses patologis(fraktur patologis). Fraktur dapat diklasifikasikan
menjadi fraktur terbuka dan tertutup. Trauma merupakan faktor utama
penyebab fraktur. Mekanisme injury meliputi kecelakaan lalu lintas, pejalan
kaki tertabrak kendaraan, tabrakan motor, jatuh dan olah raga. Fraktur
terbuka memungkinkan pasien menghadapi masalah kontaminasi luka,
infeksi yang menyebabkan kerusakan pada vaskulerisasi tulang. Injury yang
hancur menjadi perhatian khusus karena terdapat kerusakan yang hebat pada
sekitar jaringan lunak. Anak – anak mempunyai resiko fraktur yang sedikit
karena elastisitas dari struktur tulang mereka. Lansia lebih beresiko terhadap
121
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

fraktur karena struktur tulang berubah berkaitan dengan proses penuaan dan
penyakit metabolik. Tujuan dari pengobatan fraktur adalah untuk
memperbaiki kelurusan tulang dan fungsi serta mengurangi kecacatan.

Pertimbangan Umum
1) Tampak adanya kerusakan pada pemeriksaan radiologi
 Transverse
 Linear
 Oblique non – displaced
 Oblique diplaced
 Spiral
 Greenstick
 Comminuted

2) Kerusakan jaringan lunak


a. Fraktur tertutup (simple fraktur) tidak menyebabkan kerusak kulit,
tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (compound fraktur) diikuti dengan kerusakan kulit/
tulang menembus jaringan kulit, ada luka terbuka dimana potensial
untuk terjadi infeksi

Tanda dan Gejala


122
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

a. Deformitas, perubahan kekuatan


b. Bengkak (inflamasi)
c. Echymosis dari perdarahan subcutaneous
d. Spasme otot, spasme involunter pada daerah fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi karena adanya kerusakan
saraf atau perdarahan).
h. Pergerakan abnormal
i. Shock hipovolemik dari hasil kehilangan darah, perubahan hemodinamik
j. Krepitasi

Penyebutan suatu fraktur harus lengkap, misalkan:


1) Tempat : misalkan fr.tibia, fr.fibula, fr.clavikula
2) Komplit : komplit/ tidak
3) Jenis garis : tranverse, linear, oblique dll
4) Kontak : misalkan terjatuh, tertabrak
5) Tertutup/ terbuka : jenis fraktur terbuka/ tertutup
6) Komplikasi : perdarahan, pingsan, dll

Prinsip dasar penanganan fraktur


a. Do not harm (jangan berbuat kesalahan/ memperparah keadaan kondisi
korban)
b. Diagnosa akurat
c. Terapi yang sesuai
d. Memperhatikan proses alam
e. Realistis dan praktik
f. Tindakan harus sesuai dengan kondisi korban
Perawatan Awal Fraktur
1) Pertolongan pertama diluar RS
2) Transportasi
3) Emergency RS

4 Dasar Tujuan Terapi Fraktur:


1) Mengatasi nyeri
2) Mendapatkan dan menjaga kesegarisan tulang
3) Bany union/ proses penyembuhan
4) Fungsi yang optimal

PROSES PENYEMBUHAN TULANG


123
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Tahapan penyembuhan tulang terdiri dari: inflamasi, proliferasi sel,


pembentukan kalus, penulangan kalus (osifikasi), dan remodeling.

1) Tahap Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan
yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung
fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah.
Tempat cidera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih
besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi,
pembengkakan dan nyeri.

2) Tahap Proliferasi Sel


Kira – kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk
benang – benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan
osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid).
Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan
tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang.
Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang
sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.

3) Tahap Pembentukan Kalus


Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat
matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan defek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran
tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fargmen
tulang tidak bisa lagi digerakkan.

4) Tahap Penulangan Kalus(Osifikasi)


Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai
tiga minggu patah tulang, melalui proses penulangan endokondral. Patah
tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga
sampai empat bulan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-
benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat
elektronegatif.
124
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

5) Tahap Menjadi Tulang Dewasa(Remodeling)


Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan
mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan – bulan sampai bertahun – tahun
tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan
pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus – stress fungsional
pada tulang. Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling
lebih cepat daripada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak
langsung.
Selama pertumbuhan memanjang tulang, maka daerah metafisis
mengalami remodeling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan
epifisis menjauhi batang tulang secara progresif. Remodeling tulang terjadi
sebagai hasil proses antara deposisi dan resorpsi osteoblastik tulang secara
bersamaan. Proses remodeling tulang berlangsung sepanjang hidup, dimana
pada anak – anak dalam masa pertumbuhan terjadi keseimbangan (balance)
yang positif, sedangkan pada orang dewasa terjadi keseimbangan yang
negatif. Remodeling juga terjadi setelah penyembuhan suatu fraktur.

4. TRAUMA THORAK
A. Latar Belakang
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan
luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala –
gejala umum dan rancu.
Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang
berhubungan dengan trauma di amerika serikat dan berkaitan dengan 50%
kematian yang berhubungan dengan trauma yang mencakup cedera sistem
multiple. Trauma dada diklasifikasikan dengan tumpul atau tembus
(penetrasi). Meski trauma tumpul dada lebih umum, pada trauma ini
seringtimbul kesulitan dalam mengidentifikasi keluasan kerusakan karena
gejala – gejala mungkin umum dan rancu.

B. Pengertian
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
125
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh


benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru
– paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun
tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan (Suzanne &
Smetzler, 2001).
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan
luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala –
gejala umum dan rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
Kesimpulan : Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Trauma dada/ thorax adalah suatu kondisi dimana terjadinya
benturan baik tumpul maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang
menyebabkan abnormalitas (bentuk) pada rangka thorax. Perubahan bentuk
pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera
pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru – paru,
sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti
haematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya.

C. Etiologi
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
1) Tension pneumothorak – trauma dada pada selang dada, penggunaan
therapy ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan
pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
2) Pneumothorak tertutup – tusukan pada paru oleh patahan tulang iga,
ruptur oleh vesikel flaksid yang seterjadi sebagai kelanjutan dari PPOM.
3) Tusukan paru dengan prosedur invasif.
126
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

4) Kontusio paru – cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau


tertimpa benda berat.
5) Pneumothorax terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
6) Fraktur tulang iga
7) Tindakan medis (operasi)
8) Pukulan daerah thorax, dll

D. Klasifikasi
Trauma dada dikalsifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Trauma tajam
 Pneumothoraks terbuka
 Hemothoraks
 Trauma tracheobronkial
 Contusio paru
 Ruptur diafragma
 Trauma mediastinal

2) Trauma tumpul
 Tension pneumothoraks
 Trauma tracheobronkhial
 Flail chest
 Ruptur diafragma
 Trauma mediastinal
 Fraktur kosta (tulang rusuk)

E. Prognosis Penyakit
1. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura
sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest
wound). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea,
maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension
pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventilasi karena lubang pada
paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan:
127
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

a. Paru sebelahnya akan tertekan dan mengakibatkan sesak yang berat


b. Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
c. Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera,
sedangkan
d. Pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
3. Hematothorak
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada
perkusi terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
Tanda gejala yang biasanya muncul adalah:
 Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
 Gangguan pernapasan

4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada
satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada
ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk
kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal.
5. Tamponade jantung
Luka tembus/ tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada
daerah perkotaan. Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.
Tanda gejala yang sering muncul antara lain:
 Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan
menembus jantung
 Gelisah
 Pucat, keringat dingin
 Peningkatan TVJ (Tekanan Vena Jugularis)
 Pekak jantung melebar
 Bunyi jantung melemah
 Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure
 ECG terdapat low voltage seluruh lead
 Perikardiosentesis keluar darah

F. Pemeriksaan Diagnostik
128
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

1) Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola
dari trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kerusakan dari kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil/air bag
dan lain lain.
[2)] Radiologi : Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada
pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu
dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90%
kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan
foto toraks.

2)[3)] Gas Darah Arteri (GDA) dan pH


Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan
pasien – pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas
darah dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar
oksigen dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah.
Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan
ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui
darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri Radialis, Arteri
brachialis, atau Arteri Femoralis.
3)[4)] CT – Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul
toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi.
Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat
diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada
pemeriksaan toraks foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini
sebelum dilakukan Aortografi.
4)[5)] Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus.
Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera
pada dinding jantung ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui
segera. Pemeriksaan ini bila dilakukan oleh seseorang yang ahli,
kepekaannya meliputi 90% dan spesifitasnya hampir 96%.
5)[6)] EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang
terjadi akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada
trauma. Adanya abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan
konduksi, tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan
adanya kontusio jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia,
129
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

gangguan elektrolit, hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan


seperti kontusi jantung.
6)[7)] Angiografi
Gold Standart untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan
adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
7)[8)] Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.

G. Penatalaksanaan
1) Gawat Darurat/ Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian
maupun di InstalasiGawat Darurat (IGD) pelayanan rumah sakit dan
sejenisnya harus mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan
memperhatikan prinsip kegawatdaruratan.
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan
masing-masing klien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting
dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui
dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/ tidak sadar maka
tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan :
a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Airway)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan
pada jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk
atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan.Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk
Pada mulut korban.
130
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,


biasa pada korban tidak sadar tonus otot – otot menghilang, maka
lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu
penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah
dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (head tild –
chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust Manuver)
b) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)
Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik
melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan merasakan
hembusan napas klien (Look, Listen, and Feel), biasanya tekhnik ini
dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Bantuan napas
diberikan sesuai dengan indikasi yang ditemui dari hasil pemeriksaan
dan dengan menggunakan metode serta fasilitas yang sesuai dengan
kondisi klien.
c) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Sirkulasi (Circulation)
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi
jantung, tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi
perdarahan.Klien dengan trauma dada kadang mengalami kondisi
perdarahan aktif, baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat
trauma benda tajam maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur
tulang terbuka dan tertutup yang mengenai/ melukai pembuluh darah
atau organ (multiple).Tindakan menghentikan perdarahan diberikan
dengan metode yang sesuai mulai dari penekanan hingga penjahitan
luka, pembuluh darah, hingga prosedur operatif.
Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada
penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat
hati – hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi
dari RJP seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.
d) Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis
dan waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing – masing klien
yang mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan
131
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

yaitu: pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan elektrolit,


pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah vena dan AGD,
hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.
2) Konservatif
a) Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan
dari pemberian sebelumnya. Rasa nyeri yang menetap akibat cedera
jaringan paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen
nyeri dengan tujuan menghindari terjadinya syok seperti syok
kardiogenik yang sangat berbahaya pada penderita dengan trauma
yang mengenai bagian organ jantung.

b) Pemasangan Plak/ Plester


Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan
perawatan luka dan tindakan penutupan untuk menghindari masuknya
mikroorganisme patogen.
c) Jika Perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan
kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan
penyakit gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum
antibiotic”, misalnya Ampisillin.
d) Fisiotherapy
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika
penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy
yang sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.

3) Invasif / Operatif
a) WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
b) Ventilator
132
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian


atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau
positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen
dalam waktu yang lama.

2. TRAUMA ABDOMEN
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ – organ yang berada di
rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen
kasus – kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya
perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna
bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau
pasien bahkan bisa menimbulkan kematian.
Oleh karena itu, kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan
pada system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal – hal
tersebut dapat kita hindari. Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke
tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada
trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai,
misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih
merupakan tantangan bagi ahli klinik. Diagnosa dini diperlukan untuk
pengelolaan secara optimal.
Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena
adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait. Jejas pada abdomen
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul
dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan
kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multipel.
Perforasi adalah kemungkinan yang bisa terjadi pada trauma abdomen.
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia
atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung,
maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul
gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon,
mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala – gejala akut abdomen
karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil
akhirnya adalah feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu
segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan,
133
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
Istilah trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan keadaan
klinik akibat kegawatan dirongga abdomen yang biasanya timbul mendadak
dengan nyeri sebagian keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering beru tindakan beda, misalnya pada
obstruksi, perforasi atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan
cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga
perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan beda harus segara diambil karena
setiap kelambatan akan menyebabkan penyulit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penegtahuan mengenai
anatomi dan faal abdomen beserta isinya sangat menentukan dalam
menyingkirkan satu demi satu sekian banyak kemungkinan penyebab trauma
abdomen. Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi –
trauma, gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat sehingga
memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi untuk dapat menetapkan
diagnosis.

A. Pengertian

Trauma adalah cedera atau kerugian


psikologis atau emosional (Dorland,
2002).

Trauma adalah luka atau


cedera fisik lainnya atau cedera
fisiologis akibat gangguan
emosional yang hebat (Brooker,
2001).
Trauma adalah cedera fisik
dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1997).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi
dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/
penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan
laparatomi (FKUI, 1995).
134
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Trauma tumpul abdomen adalah pukulan/ benturan langsung pada


rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/ tindasan pada isi
rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau
berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh–pembuluh darah
abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen (Temuh Ilmiah Perawat
Bedah Indonesia, 13 Juli 2000).

B. Jenis Trauma Abdomen


Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Trauma penetrasi (trauma tembak, trauma tumpul)
2) Trauma non – penetrasi (kompresi, hancur akibat kecelakaan, sabuk
pengaman, cedera akselerasi)

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi. Trauma


abdomen pada isi abdomen, terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum. Cedera pada isi abdomen
mungkin disertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen luka tusuk pada abdomen
dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3) Cedera thorak abdomen setiap luka pada thoraks yang mungkin
menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus
dieksplorasi.

C. Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium). Disebabkan oleh:
 Luka akibat terkena tembakan
 Luka akibat tikaman benda tajam
 Luka akibat tusukan
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium). Disebabkan oleh:
 Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
 Hancur (tertabrak mobil)
 Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
 Cedera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

D. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat
135
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang


ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi
jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan
tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan
tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga
bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan
tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam
beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.
Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan
beberapa mekanisme:
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan
gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

E. Manifestasi Klinis
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
 Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
 Respon stres simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium).
 Kehilangan darah.
 Memar/ jejas pada dinding perut.
 Kerusakan organ – organ.
 Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
 Iritasi cairan usus.

F. Penatalaksanaan
136
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

1) Penetrasi (Trauma Benda Tajam)


a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau
sehingga tidak memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
d. Imobilisasi pasien
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekan
g. Segera kirim korban ke rumah sakit

2) Penanganan di Rumah Sakit


a. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya.
Jika penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan
selain pemberantasan syok (operasi)
b. Lakukan prosedur ABCDE.
c. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah
aspirasi.
d. Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai
urin yang keluar (perdarahan).
e. Pembedahan/ laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul
jika terjadi rangsangan peritoneal: syok, bising usus tidak terdengar,
prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-buli,
rektum, udara bebas intraperitoneal, lavase peritoneal positif, cairan
bebas dalam rongga perut).
f. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda – tanda jelas yang
menunjukkan trauma intra – abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri
diafragma, abdominal free air, evisceration) harus segera dilakukan
pembedahan
g. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non –
operative berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di
CT
h. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
i. Pemberian O2 sesuai indikasi
j. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
k. Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman
penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal
137
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

l. Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi


steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal, jika peritoneum utuh,
pasien dapat dijahit dan dikeluarkan
m. Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan
pembedahan
n. Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan
dengan pembedahan

3) Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
a. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan,
sirkulasi) sesuai indikasi.
b. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan, gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar
dan menimbulkan hemoragi masif.
c. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
d. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah hasil sinar x leher
didapatkan.
e. Gunting baju dari luka dan hitung jumlah luka.
f. Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
g. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera
abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
h. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
i. Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka
dada.
j. Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
k. Perhatikan kejadian syok setelah respons awal terjadi terhadap
transfusi, ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.
l. Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan.
m. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga
peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
n. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin
basah untuk mencegah nkekeringan visera.
o. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi lanjut.
p. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya
peristaltik dan muntah.
q. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau haluaran urine.
138
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

r. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran


urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan),
nilai hematokrit, dan status neurologik.
s. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat
ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
t. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi
peritonium pada kasus luka tusuk.
u. Jahitan dilakukan disekeliling luka.
v. Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
w. Agens kontras dimasukkan melalui kateter, sinar x menunjukkan
apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
x. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
y. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma
dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis,
bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver
diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
z. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,
kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi,
atau hematuria.

G. Komplikasi
 Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
 Lambat : infeksi
 Trombosis vena
 Emboli pulmonar
 Stress ulserasi dan perdarahan
 Pneumonia
 Tekanan ulserasi
 Atelektasis
 Sepsis
139
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.

Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life
Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance
Gawat Darurat 118.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita
Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK.
UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013

Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th


edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment


routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County
EMS Agency.

Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use
among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health
interview survey, January-June 2011.

Holder, AR. (2002 ). Emergency room liability. JAMA.

Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with
medical emergency team (MET) guidelines.

Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses


dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal
5 Mei 2013

Lombardo, D. (2005). Patient asessment.


In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s manual of emergency care, ed
6. Philadelphia: Mosby.
140
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks.


Jurnal Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari
http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.
Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005). Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC

Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen
Publication.

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta :


Trans Info Media Medis.

O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998).
Emergency Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon &
Schuster Co.

Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28


april 2013.

Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines


for pre-hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care
Council. ISBN 978-0-9571028-2-8.

The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury:
triage, assessment, investigation and early management of head injury in
infant, children and adults. London: The National Institue for Health and
Clinical Excellence

Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati
Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing


assessment documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_
Nurs_Assess_Doc_2_10_11.doc

Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma


pada diagnosis stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id tanggal 28 april 2013.

Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care


standard edition. Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-
39411-0-8.

Anda mungkin juga menyukai