Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP RECORVERY
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Keperawatan Jiwa II

Dosen Pembimbing : Ns. Yuniar Mansye Soeli, M.Kep.,Sp.Kep.J.

Disusun Oleh: Kelompok IV

1. ABDUL. RAHMAN AHMAD 8414201


2. MUTIA DJAFAR 841420101
3. FAJRIA TAHIR 841420114
4. WANDA PAKYA 841420131
5. FARDILA BUMULO 841420128
6. ERINA WARTABONE 841420140
7. PUTRI MAGFIRAH YUSUF 8414201

PROGRAM STUDI ILMU KPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Syukur Alhamdulillah Kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas berkat rahmat
dan Inayah-Nya terutama rahmat kesehatan dan kesempatan sehingga Kami dapat menyusun
makalah tentang “ Konsep Recovery”
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain adalah untuk memenuhi salah
satu dari sekian kewajiban pada mata kuliah “Keperawatan Jiwa II” serta merupakan bentuk
tanggung jawab langsung penulis pada tugas yang diberikan. Makalah ini akan membahas
tentang Konsep Recovery,Karakteristik recovery, model recovery, dan supportive environment
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, terdapat banyak hambatan yang
dihadapi, namun dengan ketabahan dan kerja keras serta dengan bantuan dari teman- teman
sehingga Alhamdulillah segala sesuatu dapat teratasi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan kita semua.
Kritik dan saran dari semua pihak akan kami terima dengan senang hati demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Gorontalo, Maret 2022

Kelompok IV
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..….. I
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. MODEL RECORVERY

B. KARAKTERISTIK RECORVERY
C. MODEL RECORVERY
D. SUPPORTIVE ENVIRONMENT

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Balai kesehatan jiwa yang dibentuk direncanakan bertujuan untuk memberikan
wadah transisi bagi penderita gangguan jiwa sebelum dapat benarbenar kembali ke
tengah-tengah masyarakat. Para penderita ini diberdayakan dan diberi bekal untuk hidup
di masyarakat sebagai mantan penderita gangguan jiwa. Selain itu, balai kesehatan jiwa
ini juga menyediakan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat umum. Sejauh ini,
masyarakat umum mengetahui pelayanan kesehatan jiwa hanya pada rumah sakit jiwa,
dan tempat-tempat praktek psikiatri yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat itu
sendiri. Gangguan jiwa dapat menyerang siapa saja, karena pada dasarnya setiap manusia
memiliki perbedaan faktor psikologis dimana pada titik tertentu dapat dikatakan
mengalami gangguan atau abnormal. (Zhafran et al., 2017) .
Menanggapi masalah-masalah tersebut, balai kesehatan jiwa yang dirancang ini
berupaya untuk mendekatkan dan memberi wadah bagi masyarakat umum dan penderita
gangguan jiwa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa serta berinteraksi dengan
tujuan pengurangan dan menghilangkan stigma negatif yang melekat diantara kedua
belah pihak. Pola Perilaku pengguna juga dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan
diterima dari lingkungan (Joyce Marcella Laurens, 2004).
Beberapa kasus telah membuktikan bahwa pasien gangguan jiwa kembali kambuh
setelah dipulangkan kerumahnya karena kondisi lingkungan rumahnya dianggap tidak
kondusif dan justru memberikan rangsangan buruk. Untuk mendukung upaya penciptaan
kesehatan jiwa dan kesejahteraan hidup masyarakat, Healing Environment diterapkan
guna menciptakan lingkungan yang kondusif dan supportive bagi kesehatan jiwa
manusia.
Menurut (Suhermi & Fatma, 2019) Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang
mendapatkan dukungan tepat, dapat pulih dari penyakitnya dan memiliki kehidupan yang
memuaskan serta produktif. Kekuatan diri merupakan pondasi dari dukungan dan sistem
recovery yang berpusat pada diri sendiri dan motivasi diri. Aspek terpenting dari
recovery didefinisikan oleh individu dengan pertolongan dari pemberi layanan kesehatan
jiwa dan orangorang yang sangat penting dalam kehidupannya Recovery gangguan jiwa
merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi, perilaku dan kognitif yang
bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan memaksimalkan kemampuan diri.
B. Rumusan Masalah

a) Apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa ?


b) Jelaskan konsep recovery dalam keperawatan jiwa ?
c) Jelaskan karakteristik recovery dalam keperawatan jiwa?
d) Jelaskan model recovery dalam keperawatan jiwa ?
e) Jelaskan konsep supportive environment dalam keperawatan jiwa ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari gangguan jiwa.
2. Untuk mengetahui konsep recovery dalam keperwatan jiwa.
3. Untuk mengetahui karakteristik dalam keperawatan
4. Untuk mengetahui model recovery dalam keperwatan jiwa.
5. Untuk mengetahui konsep supportive environment dalam keperwatan jiwa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1) Definisi Gangguan Jiwa

Orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna.(Rinawati, 2017).

Gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari lingkungan


internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak
sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat, dan mengganggu fungsi sosial,
pekerjaan dan/atau fisik.Pengertian ini menjelaskan bahwa seorang individu akan
berespon berupa perilaku menghindar untuk menghindari stimuli yang muncul yang
dipersepsikannya sebagai stressor atau hal yang sangat mengancam. Seorang klien
gangguan jiwa akan menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat
pada umumnya karena perilaku tersebut mengganggu fungsi sosialnya (Hernawaty &
Keliat, 2014).

2) Konsep Recovery (Pemulihan)


a. Defenisi Recovery
Recovery merupakan proses yang dinamis dari individu dalam
mencapai dan mempertahankan kesejahteraan dalam kehidupannya, sadar
bahwa gangguan mental yang dialami berdampak pada diri sendiri dan
lingkungan, kemudian individu tersebut berjuang sampai pada suatu titik
dan pada akhirnya individu tersebut pulih seperti orang yang tidak
memiliki masalah kesehatan mental (Tania et al., 2019)
b. Dimensi Recovery
Recovery telah mendapat perhatian lebih sebagai konsep di bidang
kesehatan mental. Beberapa literatur telah mengidentifikasi bahwa
terdapat empat dimensi dalam recovery, yaitu (Ods et al., 2018) :
1) Clinical Recovery Clinical
Clinical Recovery berfokus pada pengurangan gejala psikotik dan
perawatan terhadap kesehatan mental dan fisik serta berbasis pada
perawatan kesehatan berkelanjutan jangka panjang. Perawatan sangat
penting diberikan untuk mengurangi risiko kekambuhan. Hal ini dapat
dicapai dengan memfasilitasi pengguna layanan untuk melibatkan
sumber daya lokalnya, termasuk keluarga dan perawat, masyarakat
setempat dan layanan kesehatan setempat, seperti dokter umum, dalam
semua aspek perawatan mereka bila hal ini sesuai.
2) Personal Recovery
Pada awalnya konsep recovery hanya berfokus pada sisi klinis atau
prespektif klinis saja tanpa mempertimbangkan prespektif dari pasien.
Belakangan ini beberapa negara dari bagian Barat telah mengusulkan
konsep recovery sebagai personal recovery atau ditilik dari persepsi
pasien juga untuk mengevaluasi recovery mereka (20). Prespektif
subyektif tersebut mencakup harapan, pemberdayaan, swadaya,
dukungan sebaya dan mengatasi stigma yang berkembang
dimasyarakat. Liberman mendefinisikan. Personal recovery bersifat
luas, dan tidak dapat dicirikan secara seragam (berbeda untuk setiap
individu). Keanekaragaman perspektif ini menjadi pertimbangan bagi
layanan kesehatan mental.
3) Social Recovery
Pada dimensi social recovery berfokus pada membangun hubungan
sosial di masyarakat yang lebih luas. Pengembangan social recovery
ini dapat dimulai pada saat tahap awal pengobatan dengan membangun
percakapan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan secara optimal
sumber daya di lingkungan sekitar. Jika orang tersebut memiliki tujuan
kejuruan dan kemajuan tercapai, fokus perawatan dapat beralih ke arah
orang tersebut memanfaatkan secara optimal peluang sosial baru yang
terkait dengan memiliki pekerjaan atau kursus yang berharga. Terapis
okupasi dapat memberikan bantuan untuk bergaul dengan orang- orang
dan mencari teman baru; menawarkan pelatihan keterampilan
berkomunikasi dalam konteks tertentu; dan membantu
mengembangkan strategi untuk mengelola informasi pribadi, serta
untuk mencegah dan melawan stigma dan diskriminasi yang tidak adil.
Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah transfer keterampilan
sosial dan penyertaan sosial yang lebih besar di masyarakat luas.
4) Functional Recovery
Functional Recovery mengacu pada kembalinya melakukan peran
seperti sebelumnya di masyarakat luas. Contoh dalam peran sosial ini
seperti tugas rumah, perawatan mandiri, perjalanan independen dan
manajemen keuangan. Pendidikan formal atau pelatihan kejuruan dan
pekerjaan kompetitif adalah dua domain peran bernilai sosial lainnya
yang juga perlu dipertimbangkan saat membantu seseorang
mengidentifikasi tujuan fungsionalnya di dunia nyata.
Bagian recovery yang telah disebutkan mancakup lima domain
Recovery Assessment Scale oleh Corrigan, dkk yang mana lima
domain tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi recovery
ODS (19). Recovery Assessment Scale atau RAS merupakan sebuah
kuesioner dimana terdapat lima domain, meliputi:
a. Kepercayaan diri dan harapan
b. Kesediaan meminta pertolongan
c. Tujuan dan orientasi sukses
d. Bergantung pada orang lain
e. Serta tidak didominasi oleh gejala
c. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Recovery Recovery
Recovery dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : pendidikan,
usia, angka kekambuhan, dan gejala-gejala yang dimiliki. Penelitian yang
telah ada menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan >10 tahun
memiliki skor recovery yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang
berpendidikan dibawah 10 tahun. Kemudian mereka dengan usia yang
lebih tua menunjukkan skor domain "kepercayaan diri dan harapan" yang
cenderung lebih rendah dibanding dengan mereka yang memiliki usia
lebih muda. Seseorang dengan angka kekambuhan yang lebih banyak
memiliki skor yang cenderung lebih rendah pada domain "kepercayaan
diri dan harapan" dan "tujuan dan orientasi sukses" dibanding dengan
mereka yang jarang kambuh. Semakin banyak gejala positif yang dimiliki
semaikin banyak skor domain “kesediaan untuk untuk meminta bantuan”
serta “tujuan dan orientasi sukses”. Sedangkan mereka yang memiliki
gejala negative yang lebih tinggi menujukkan skor yang lebih rendah pada
domain "ketergantungan pada orang lain” dibandingkan mereka yang
hanya memiliki beberapa gejala negatif saja Corrigan dan Grover.
d. Prinsip Dasar Recovery
1) Recovery muncul dari adanya harapan
Harapan dapat menjadi pendorong dan motivator recovery. Adanya
keyakinan bahwa mereka yang menderita dapat pulih menjadikan ODS
mampu mengatasi masalah dan memiliki masa depan yang lebih baik
serta mendorong penderita ke tahap recovery. Harapan dapat tumbuh
dan diperkuat oleh dukungan dari orang terdekat seperti keluarga,
teman, penderita yang telah pulih, hingga tenaga kesehatan maupun
relawan gangguan jiwa.
2) Dorongan untuk pulih berasal dari dalam diri seseorang
Prinsip recovery pada dasarnya berbeda dari prinsip rehabilitasi.
Biasanya dalam rehabilitasi, penderita bersikap pasif dengan
meminum obat sesuai petunjuk dokter dan melakukan segala kegiatan
yang diperintahkan oleh perawat jiwa. Berbeda dengan prinsip
recovery dimana penderita harus memiliki dorongan tersendiri dari
dalam dirinya untuk sembuh dan memiliki keinginan untuk
memperbaiki hidupnya, tekat yang kuat dalam mengupayakan
berbagai kegiatan atau teknik untuk mengatasi gejalanya.
3) Recovery terjadi melalui berbagai jalur
Jalur recovery sangat bersifat individual. Jalur recovery dapat
berupa : pengobatan yang tepat, mendapat dukungan psikososial dari
orang terdekat, kembali ke sekolah atau kuliah, mendapatkan
pekerjaan, melakukan kegiatan seni, mengikuti kegiatan sosial atau
kegiatan keagamaan, dll.
4) Recovery bersifat menyeluruh
Recovery tidak hanya perihal mengatasi masalah gejala yang
muncul, namun juga harus mencukup keseluruhan kehidupan
seseorang baik fisik, jiwa, dan kehidupan sosialnya. Recovery
mencakup hal-hal seperti: perawatan diri, perumahan, keluarga,
pendidikan, pekerjaan, keagamaan, kesehatan, dan jaringan sosial.
Recovery tidak akan optimal jika hanya berfokus pada kepatuhan
minum obat sedangkan penderitanya tidak dilatih untuk perawatan
diri, aktif untuk bersosialisasi seperti mengikuti berbagai kegiatan,
komunitas, dan lain-lain.
5) Recovery memerlukan dukungan keluarga, teman dan masyarakat luas
Keluarga, teman atau orang terdekat perlu turut untuk mendukung
atau memotivasi ODS dalam proses recovery. Keluarga yang
anggotanya telah pulih dapat menolong keluarga lain yang masih
berjuang membantu recovery anggota keluarganya yang sakit.
Penderita yang telah pulih dapat memberikan motivasi dan
mendampingi penderita gangguan jiwa lainnya. Lembaga sosial dan
keagamaan bisa mendirikan pusat recovery, lapangan kerja, dan
pelatihan kerja.
6) Recovery didukung oleh jaringan pertemenan dan kekerabatan
Dukungan yang terlahir dari jaringan persaudaraan dan
pertemanan, dapat mengubah kehidupan penderita menjadi lebih
sejahtera dan mempunyai peranan di masyarakat. Hal tersebut akan
mendorong kemampuan penderita untuk mampu hidup mandiri,
mempunyai peranan dan berpartisipasi di masyarakatnya.
7) Recovery berbasis kebudayaan dan kepercayaan yang ada di
masyarakat
Jalur dan proses recovery dipengaruhi oleh kebudayaan dan
kepercayaan yang dianut. Seperti seseorang yang beragama Islam akan
lebih sulit pulih jika proses recovery menggunakan pendekatan agama
lain selain agama Islam, begitu juga sebaliknya.
8) Recovery didukung dengan memecahkan masalah kejiwaan yang
memicu munculnya gangguan jiwa
Keluarga, teman, relawan jiwa dan penyedia pelayanan kesehatan
jiwa perlu memahami pengalaman hidup ODS yang menekan jiwanya
dan kemudian membantu menyediakan berbagai pilihan dalam
mengatasi trauma yang dimiliki. Contohnya penderita akibat kekerasan
seksual di masa kecilnya perlu diajari cara menerima dan mengatasi
trauma tersebut.
9) Recovery memanfaatkan kekuatan dan tanggung jawab individu serta
masyarakat
Keluarga dapat menyumbangkan keahlian, waktu dan tenaga yang
dimiliki kepada penderita. Masyarakat memberikan support dengan
menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan peran sosial, dan
support psikososial lainnya.
10) Recovery didasarkan pada penghormatan (respek)
Adanya diskriminasi dan stigma akan menghalangi atau
mempersulit proses recovery seseorang. Namun sebaliknya, jika
masyarakat memberikan respon berupa penerimaan segala
keterbatasan penderita dan memberikan bantuan agar dapat
berkontribusi dalam masyarakat akan membantu mempercepat proses
recovery seseorang.

3) Karakteristik Recorvery
Selanjutnya muncul redefinisi tentang recovery yang lebih humanistic yang
memiliki 10 kharakteristik seperti yang dikemukakan oleh Bellack (2006) dengan ciri
tertentu yaitu;
1. Self direction
2. Individualized and person centered
3. Empowerment
4. Holistic
5. Non linier
6. Strengths-based
7. Peer support
8. Respect
9. Responsibility
10. Hope

4) Model Recovery
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)

Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila
ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting).
Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata
tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya
penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).

Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis
terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak
tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar
berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada
fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada
masa dewasa.

Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa
mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam
keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah
sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal
ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang
khusus.

2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)

Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman.
Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami
seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal).
Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak
diterima oleh orang sekitarnya.

Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun
rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin
hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain
sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing
mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat
berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat
berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien).
Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam
berhubungan dengan orang lain.

3. Social ( Caplan, Szasz)

Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan
perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu
munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which
cause anxiety and symptom).Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep
model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi
lingkungan dan adanya dukungan sosial)Peran perawat dalam memberikan terapi
menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber
yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri.
Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di
kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.

4. Existensial ( Ellis, Rogers)

Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila
individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki
kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-
image-nya. Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar
berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang
dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship),
memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan
kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima
jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain
(encouraged to accept self and control behavior).

Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam


memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan mendapatkan feed
back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk
memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward &
punishment.

5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)


Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo
maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag,
migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah
cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya
memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak
mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi
menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan
dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya
dengan masa lalu.

Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan
mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana
yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.

6. Medica ( Meyer, Kraeplin)

Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks
meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus
penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic,
farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim
medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist
berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan
diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunak.

5) Supportive Environment
Defenisi Supportive Terapi suportif merupakan bentuk terapi yang dapat
dilakukan pada berbagai situasi dan kondisi diantaranya pada individu dengan
masalah isolasi sosial di tatanan rumah sakit. Hasil penelitian mengindikasikan
peer support (dukungan kelompok) berhubungan dengan peningkatan fungsi
secara psikologis dan beban keluarga, sedangkan mutual support (dukungan yang
bermanfaat) adalah suatu proses partisipasi dimana terjadi aktifitas berbagi
berbagai pengalaman (sharing experiences), situasi dan masalah yang difokuskan
pada prinsip memberi dan menerima, mengaplikasikan keterampilan swabantu
(self help) dan pengembangan pengetahuan (Purwanti, 2017).
Environment atau lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang
mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut. (Nabila, 2017).
Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan pasien dengan
gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh
terhadap penyembuhan pasien ganguan jiwa Terapi lingkungan(terapi Milleu)
didefinisikan sebagai tujuan penggunaan lingkungan untuk tujuan terapeutik.
setiap interaksi dengan pasien terlihat memiliki hasil yang berpotensi
menguntungkan dalam mempromosikan fungsi optimal.

a. Tujuan Terapi Lingkungan

 Meningkatkan pengalaman positif pasien khususnya yang


mengalami gangguan mental, dengan cara membantu individu
dalam mengembangkan harga diri.
 Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan denagan orang
lain.
 Menumbuhkan sikap percaya pada orang lain.
 Mempersiapkan diri kembali kemasyarakat.
 Mencapai perubahan yang positif.

b. Jenis-jenis kegiatan terapi lingkungan


1. Terapi Rekreasi rekreasi
Terapi rekreasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan pada
waktu luang, bertujuan agar pasien dapat melakukan kegiatan
secara konstruktif dan menyenangkan juga mengembangkan
kemampuan hubungan social. Di dalam ruang perawatan yang b
ertugas sebagai pemimpin terapi adalah perawat, dimana perawat
harus menyesuaikan kegiatan dengan tingkat umur pasien.
Contohnya, kegiatan yang banyak mengeluarkan tenaga seperti
bulu tangkis, berenang, basket, dan lain-lain diberikan kepada
pasien dengan tingkatan umur remaja, sedangkan untuk kegiatan
yang tidak banyak mengeluarkan tenaga seperti bermain catur,
karambol, kartu, dan sebagainya dapat diberikan kepada pasien
dengan tingkatan umur dewasa (orangtua)

2. Terapi kreasi seni


Dalam terapi ini perawat berperan sebagai leader dan bekerja
sama dengan orang lain yang ahli dalam bidangnya karena harus
disesuaikan dengan bakat dan minat, beberapa diantaranya adalah:
 Dance therapy / menari Terapi yang menggunakan bentuk
ekspresi non verbal dengan gerakan tub uhdengan tujuan
mengkomunikasikan tentang perasaan dan kebutuhan
pasien.
 Terapi musik Suatu terapi yang dilakukan melalui music
dengan tujuan untuk memberik an kesempatan kepada para
pasien dalam mengekspresikan perasaannya seper ti
kesepian, sedih, dan bahagia.
 Terapi menggambar/melukis Terapi menggambar/melukis
dapat memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengekspresikan tentang apa yang sedang terjadi pada
dirinya. Selain itu terapi ini juga dapat membantu
menurunkan keteganggan dan pasien dapat mem usatkan
pikiran pada kegiatan.
 Literatur/biblio therapy Terapi ini bertujuan untuk
mengembangkan wawasan diri pasien dan merupakan cara
untuk mengeksprasikan perasaan/pikiran sesuai dengan
norma yang a da. Kegiatan dalam terapi ini dapat berupa
membaca seperti novel, buku-buku, majalah, dan kemudian
bahan bacaan didiskusikan bersama oleh para pasien.
3. Pet therapy

Pet therapy bertujuan menstimulasi respon pasien yang tidak


mampu melakukan hubungan interaksi dengan orang lain dan biasanya
mereka merasa kesepian, dan menyendiri. Terapi menggunakan sarana
binatang yang dapat memberikan respon menyenangkan kepada pasien
dan sering kali digunakan pada pasien anak dengan autistic.

4. Plant therapy

Terapi ini mengajarkan pasien untuk memelihara mahluk hidup


dan membantu pasien membina hubungan yang baik antar pribadi yang
satu dengan yang lain. Objek yang digunakan dalam terapi ini adalah
tanaman/tumbuhan.

BAB III
PENUTUP
1) Kesimpulan
Recovery merupakan suatu proses perjalanan mencapai kesembuhan dan
transformasi yang memampukan seseorang dengan gangguan jiwa untuk hidup bermakna
di komunitas yang dipilihnya untuk mencapai potensi yang dimilikinya. Aspek terpenting
dari recovery didefinisikan oleh setiap individu dengan pertolongan dari pemberi layanan
kesehatan jiwa dan orangorang yang sangat penting dalam kehidupannya. Recovery
gangguan jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi, perilaku dan
kognitif yang bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan memaksimalkan kecukupan
diri. Sejumlah praktik berbasis bukti mendukung dan meningkatkan pemulihan meliputi :
tritmen asertif komunitas komunitas, dukungan bekerja, manajemen dan pemulihan
penyakit, tritmen terintegrasi untuk mendampingi kejadian berulang gangguan jiwa dan
penyalahgunaan zat, psikoedukasi keluarga, manajemen pengobatan. Keperawatan
termasuk dalam posisi yang ideal dalam memberikan perawatan dengan menggabungkan
banyak terapi CAM untuk mengatasi gejala yang dialami oleh klien dengan gangguan
jiwa. Disamping itu terapi CAM yang memberdayakan klien dapat memperkuat
hubungan antar perawat dan klien dalam meningkatkan proses pemulihan.

2) Saran
Sebagai masyarakat hendaklah kita menerima kembali orang dengan gangguan jiwa yang
telah sehat dan mengikutsertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial agar mereka merasa
berarti kembali dan sebagai seoarang perawat hendakalah kita memberiakan yang aman dan
nyaman pada pasien saat pemberian terapi agar yang diberiakan berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Ods, S., Ruang, D. I., & Inap, R. (2018). Gambaran recovery pada orang dengan
skizofrenia (ODS) di ruang rawat inap RSJD DR. Amino Gondohutomo Semarang (Issue
April).

Miranti, D., Pratikno, H., & Pumpungan. (2019). Supportive Therapy Sebagai Media
Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Pasien Skizofrenia Paranoid. 2, 173–179.

Suhermi, & Fatma, J. (2019). Dukungan Keluarga dalam Proses Pemulihan Orang
dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Jurnal Kesehatan Suara Forikes, 10(April), 109–111.

Tania, M., Suryanti, & Hernawaty, T. (2019). Pengalaman Hidup Kader Kesehatan dalam
Mendukung Proses Recovery di Melong Kota Cimahi. Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VII No.
1, VII(1), 100–110.

Anda mungkin juga menyukai