Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KONSEP KEPERAWATAN JIWA DALAM


PANDANGAN ISLAM

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1

Fatiha Izza Tuslamia (70300117010)


Miftah Nursani (70300117012)
Hesti Wulandari (70300117014)
Adriana Febriani (70300117016)
Nurhikmah (70300117018)
Mia Maulydia (70300117022)
Indriyanti Arimurti Putri (70300117029)
Indah Lestari (70300117032)
Israwati (70300117036)
Muh. Fadli Rajab (70300117078)

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Konsep Keperawatan Jiwa Dalam Pandangan Islam” yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa I. Penyusun mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan lancar.
Tujuan suatu pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
membentuk sumber daya manusia yang handal dan berdaya saing, membentuk watak
dan jiwa sosial, berbudaya, berakhlak dan berbudi luhur, serta berwawasan
pengetahuan yang luas dan menguasai teknologi. Makalah ini dibuat oleh penulis
untuk membantu memahami materi tersebut. Mudah-mudahan makalah ini
memberikan manfaat dalam segala bentuk kegiatan belajar, sehingga dapat
memperlancar dan mempermudah proses pencapaian yang telah direncanakan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, segala kritikan dan saran yang membangun akan kami terima dengan
lapang dada sebagai wujud koreksi atas diri tim penyusun yang masih belajar. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan 5
D. Manfaat Penulisan 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Recovery 6
B. Konsep Supportif 9
C. Konsep Environment 13
D. Peran Perawat Jiwa 15
E. Interdisiplinery Approach dalam Keperawatan Jiwa 18

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 19
B. Saran 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jiwa adalah unsur manusia yang bersifat nonmateri, tetapi fungsi dan
manifestasinya sangat terkait pada materi. Mahasiswa yang pertama kali
mempelajari ilmu jiwa dan keperawatan jiwa sering mengalami kesulitan
dengan hal yang harus dipelajari, karena jiwa bersifat abstrak dan tidak
berwujud benda. Setiap manusia memiliki jiwa, tetapi ketika ditanya, “Mana
jiwamu?” hanya sebagian kecil yang dapat menunjukkan tempat jiwanya. Hal
ini karena jiwa memang bukan berupa benda, melainkan sebuah sistem
perilaku, hasil olah pemikiran, perasaan, persepsi, dan berbagai pengaruh
lingkungan sosial. Semua ini merupakan manifestasi sebuah kejiwaan
seseorang. Oleh karena itu, untuk mempelajari ilmu jiwa dan keperawatannya,
pelajarilah dari manifestasi jiwa terkait pada materi yang dapat diamati berupa
perilaku manusia.
Manifestasi jiwa antara lain tampak pada kesadaran, afek, emosi,
psikomotor, proses berpikir, persepsi, dan sifat kepribadian. Kesadaran dalam
hal ini lebih bersifat kualitatif, diukur dengan memperhatikan perbedaan
stimulus (stressor) dan respons (perilaku yang ditampilkan), serta tidak diukur
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Suatu saat kami (K) sedang menjenguk
teman (T) yang dirawat di unit psikiatri sebuah rumah sakit di Surabaya.
Ketika kami sampai di pintu ruang perawatan, spontan dia marah dan
berteriak keras sembari menuding ke arah kami, seraya berkata seperti pada
percakapan berikut.

T: “Jika kamu tidak suka dengan aku, tidak usah ke sini.


Buat apa kamu datang jika tidak suka sama aku, pergi
kamu, pergiiii...”.
K : kami tertegun, kemudian menjawab “Justru aku ke
sini karena aku suka kamu, kami ada perhatian dengan

3
kamu, kami ingin tahu bagaimana kabar dan
keadaanmu”.
T : “Tapi kenapa kamu pakai baju merah?” (salah satu
di antara kami ada yang memakai baju merah).
K : “Memang kenapa? Ada apa dengan baju merah?”
T : “Merah kan artinya Stop, tidak boleh jalan, dilarang
masuk. Berarti kamu tidak suka dengan aku, pergi
kamu, pergiii..”.

Dari sepenggal percakapan di atas, kita dapat menganalisis


betapa pasien memberikan makna berlebihan terhadap warna
merah. Pasien berkonotasi dengan hal lain yang tidak ada
kaitannya dengan pakaian warna merah. Kemudian diekspresikan
dengan perilaku marah, berteriak, dan menciptakan suasana tidak
kondusif. Inilah contoh kesadaran yang terlalu tinggi, yakni hanya
dengan sedikit stimulasi (baju merah) dia memberikan makna atau
reaksi berlebihan.
Selain kesadaran terlalu tinggi, dalam keperawatan
kesehatan jiwa kita sering menemukan kesadaran terlalu rendah.
Hal ini sering dialami oleh pasien depresi atau yang tertekan.
Dengan stimulasi yang banyak, pasien tetap tidak memberikan
respons, seperti diajak makan tidak mau, diajak mandi tidak mau,
diajak jalan jalan tidak mau. Selain itu, mungkin kita temukan
kesadaran pasien yang fluktuatif, kadang marah, kadang diam,
sebentar marah sebentar lagi tertawa.
Makalah ini dibuat untuk menjelaskan secara rinci dan
detail tentang Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pandangan Islam.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud konsep Recovery dalam keperawatan jiwa?
2. Apa yang dimaksud konsep Supportif dalam keperawatan jiwa?
3. Apa yang dimaksud konsep Environment dalam keperawatan jiwa?

4
4. Bagaimana peran perawat jiwa?
5. Apa yang dimaksud Interdisiplinery Approach dalam keperawatan jiwa?

C. Tujuan Penulisan
Dari uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu mengetahui konsep Recovery dalam keperawatan
jiwa.
2. Mahasiswa mampu mengetahui konsep Supportif dalam keperawatan
jiwa.
3. Mahasiswa mampu mengetahui konsep Environment dalam keperawatan
jiwa.
4. Mahasiswa mampu mengetahui peran perawat jiwa.
5. Mahasiswa mampu mengetahui Interdisiplinery Approach dalam
keperawatan jiwa.

D. Manfaat Penulisan
Dari uraian tujuan penulisan di atas, maka manfaat penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Agar mahasiswa mampu memahami konsep Recovery dalam keperawatan
jiwa.
2. Agar mahasiswa mampu memahami konsep Supportif dalam keperawatan
jiwa.
3. Agar mahasiswa mampu memahami konsep Environment dalam
keperawatan jiwa.
4. Agar mahasiswa mampu memahami peran perawat jiwa.
5. Agar mahasiswa mampu memahami Interdisiplinery Approach dalam
keperawatan jiwa.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Recovery
1. Definisi Recovery
Orang dengan gangguan jiwa berat yang mendapatkan dukungan tepat
dan secara individual, dapat pulih dari penyakitnya dan memiliki kehidupan
yang memuaskan serta produktif. Recovery merupakan suatu proses
perjalanan mencapai kesembuhan dan transformasi yang memampukan
seseorang dengan gangguan jiwa untuk hidup bermakna di komunitas yang
dipilihnya untuk mencapai potensi yang dimilikinya (USDHHS, 2006 dalam
Stuart, 2013). Recovery merupakan proses dimana seseorang mampu untuk
hidup, bekerja, belajar dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya.
Recovery berimplikasi terhadap penurunan atau pengurangan gejala secara
keseluruhan (Ware et al, 2008 dalam Stuart 2013).
Kekuatan diri merupakan pondasi dari dukungan dan sistem recovery
yang berpusat pada diri sendiri dan motivasi diri. Aspek terpenting dari
recovery didefinisikan oleh setiap individu dengan pertolongan dari pemberi
layanan kesehatan jiwa dan orang-orang yang sangat penting dalam
kehidupannya (Stuart, 2010). Individu menerima dukungan pemulihan
melalui aktivitas yang didefinisikan sebagai rehabilitasi, yang merupakan
proses menolong seseorang kembali kepada level fungsi tertinggi yang dapat
dicapai. Recovery gangguan jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial,
edukasi, okupasi, perilaku dan kognitif yang bertujuan pada pemulihan
jangka panjang dan memaksimalkan kecukupan diri (Stuart, 2013)
Sejumlah praktik berbasis bukti mendukung dan meningkatkan
pemulihan meliputi : tritmen asertif komunitas komunitas, dukungan bekerja,
manajemen dan pemulihan penyakit, tritmen terintegrasi untuk mendampingi
kejadian berulang gangguan jiwa dan penyalahgunaan zat, psikoedukasi

6
keluarga, manajemen pengobatan. Dukungan pemulihan dalam asuhan
keperawatan jiwa meliputi bekerja dengan tim tritmen multidisiplin yang
meliputi psikiater, psikolog, pekerja sosial, konselor, terapis okupasi, pakar
konsumen dan teman sejawat,manajer kasus, pengacara keluarga, pakar
pengambil kebijakan. Dukungan ini juga membutuhkan perawat untuk
berfokus pada tiga elemen yaitu : individu, keluarga dan komunitas. (Stuart,
2013)
2. Mental Health Recovery Model & The Recovery Model in Psychiatric
Nursing
Selama ini kita mengetahui bahwa recovery sama halnya dengan
kembali sehat atau sembuh terhadap suatu penyakit, tetapi dalam kesehatan
jiwa kita sepakati bahwa recovery memiliki arti yang berbeda. Recovery
Model pada kesehatan jiwa tidak berfokus pada pengobatan, tetapi sebagai
gantinya lebih menekankan dapat hidup beradaptasi dengan sakit jiwa yang
sifatnya kronis. Pada model ini lebih menekankan kepada hubungan sosial,
pemberdayaan, strategi koping, dan makna hidup.
Peplau (1952 dalam Varcarolis 2013) menciptakan teori bahwa
pentingnya hubungan interpersonal terapeutik, model recovery berubah dari
hubungan nurse-patient menjadi nurse-partner. Berdasarkan penelitian
Hanrahan et al (2011 dalam Varcarolis 2013) menyatakan pentingnya
meningkatkan peran individu dan keluarga dalam proses recovery. Caldwell
et al (2010 dalam Varcarolis 2013) menegaskan perawat jiwa harus
mengajarkan tenaga kesehatan lain tentang konsep recovery dan
menyarankan cara memberdayakan pasien dan memajukan proses recovery.

7
Models, Theories, and Therapies in Current Practice
No Theorist Model/Theory Focus of Nursing
1 Dorothy Behavioral system Membantu pasien kembali pada
Johnson keadaan seimbang ketika
mengalami stess melalui
pengurangan atau menghilangkan
sumber stress dan mendukung
proses adaptif (Johnson, 1980)
2 Imogene Goal attainment Membangun hubungan
King interpersonal dan membantu
pasien untuk mencapai tujuan nya
berdasakan peran nya dalam
konteks sosial (King, 1981)
4 Betty System Model Membangun hubungan perawat-
Neuman pasien untuk membantu
menghadapi respon stres (1982)
5 Dorothes Self-Care Deficit Mengatasi defisit perawatan diri
Orem dan mendorong pasien untuk
terlibat secara aktif pada
perawatan diri mereka (Orem,
2001)
6 Hildegard Interpersonal Menggunakan hubungan
Peplau Relations interpersonal sebagai alat
terapeutik untuk menyembuhkan
dan mengurangi kecemasan
(Peplau, 1992)
7 Jean Transpersonal Caring merupakan prosedur dan
Watson Caring tugas penting; membangun

8
hubungan perawat-pasien
sehingga menghasilkan
Therapeutic Outcome (Watson,
2007)

B. Konsep Supportif
1. Gambaran Umum Model Terapi Suportif
Terapi suportif adalah suatu cara psikoterapi yang banyak digunakan
di rumah sakit dan masyarakat berbasis perawatan psikiatris. Model terapi ini
berbeda dari model-model lain karena dalam hal ini tidak tergantung pada
konsep utama atau teori. Sebagai gantinya, ia menggunakan beberapa teori
psikodinamik untuk memahami bagaimana perubahan pada seseorang.
(Stuart & Laraia, 1998).
Terapi Suportif termasuk salah satu model psikoterapi yang biasanya
sering digunakan di masyarakat dan di Rumah sakit. Terapi ini merupakan
suatu terapi yang dikembangkan oleh Lawrence Rockland (1989) dengan
istilah Psychodynamically Oriented Psychotherapy namun ada pula istilah
lain yang diperkenalkan adalah Supportive Analytic Therapy (Rockland,
1989 dalam Holmes, 1995). Hasil survei di Amerika menunjukkan bahwa
psikoterapi suportif menduduki peringkat ke delapan dalam psikoterapi yang
penting (Langsey & Yager, 1988 dalam Holmes, 1995).
Terapi suportif berfokus dalam memberikan dukungan pada klien yang
sedang menderita suatu penyakit maupun menghadapai masalah maupun
mendorong seorang klien pada suatu perubahan yang lebih baik (Varcarolis
& Halter, 2010).
Diharapkan dengan memberikan dukungan pada seorang klien yang
sedang mengalami masalah akan meningkatkan koping individu klien
tersebut untuk mampu menghadapi permasalah yang dialaminya. Karena
dukungan dari orang disekitar dapat menjadi sumber koping bagi seseorang.

9
Tujuan psikoterapi suportif seperti yang dijelaskan oleh Lawrence
Rockland (1989) dalam Stuart & Laraia (1998) termasuk berikut.
a. Meningkatkan hubungan suportif antara klien-terapis
b. Meningkatkan kekuatan klien, kemampuan koping, dan kemampuan
untuk menggunakan sumber daya koping
c. Mengurangi tekanan distress klien dan respon coping maladaptive
d. Membantu klien terbebas dari penyakit jiwa atau fisik tertentu
e. Memberikan otonomi kepada klien dalam mengambil keputusan terkait
pengobatannya
Studi terkontrol telah menunjukkan terapi suportif efektif dalam
mengobati skizofrenia, kondisi borderline,kecemasan, stres pasca trauma,
dan gangguan penyalahgunaan zat, serta komponen psikologis penyakit fisik
banyak. (Stuart & Laraia, 1998).
Klingberg et al (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terapi
suportif digunakan sebagai pendukung dari psikoterapi yang lain agar dapat
mengendalikan elemen-elemen non spesifik dari kontak terapi. Hasil
psikoterapi secara umumnya terdiri dari dampak-dampak spesifik dan non
spesifik. Dampak non spesifik adalah dukungan emosional, perhatian terapis,
pendengar yang empati, terapi yang optimal, dan hasil lain yang terkait
dengan setiap keberhasilan hubungan interpersonal yang terapeutik. Tujuan
utama terapi suportif adalah mengurangi stress dengan melakukan 5 prinsip
intervensi, yaitu: 1) Mengangkat harga diri/dukungan internal; 2)
Mengaktifkan dukungan eksternal; 3) Menasehati serta memberi
saran/arahan; 4) Membantu memecahkan masalah yang ada; 5) Structuring.
2. Proses Model Terapi Suportif
Terapi suportif merupakan bentuk eklektik psikoterapi, yaitu, tidak
didasarkan pada teori tertentu psikopatologi. Sebaliknya, hal itu dapat
menarik sesuai kebutuhan dari model lain dan dapat mengatasi gejala yang
berbeda dengan metode terapi yang berbeda (Stuart & Laraia, 1998)

10
Prinsip terapi suportif menurut Stuart & Laraia (1998):
a. Bantuan langsung kepada klien, yang mungkin mencakup berbagai terapi
modalitas
b. Melibatkan keluarga dan keterlibatan dukungan sistem social
c. Fokus pada saat ini
d. Pengurangan kecemasan melalui langkah-langkah suport dan pengobatan
jika diperlukan
e. Klarifikasi dan pemecahan masalah dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk saran, konfrontasi mendukung, pengaturan batas,
pendidikan, dan perubahan lingkungan
f. Membantu klien untuk menghindari krisis di masa depan dan mencari
bantuan awal ketika sedang stress
Berdasarkan pengembangan dari berbagai aktfitas support system
enhancement yang dijelaskan oleh McCloskey dan Bubechek (1996, dalam
Stuart Laraia, 1998) dan mutual support group bagi klien menurut Chien,
Chan, dan Thompson (2006) pelaksanaan terapi suportif dapat dilakukan
dalam 4 sesi, yaitu: 1) Mengidentifikasi kemampuan klien dan sistem
pendukung yang ada pada diri klien; 2) Menggunakan sistem pendukung
yang ada dalam diri klien; 3) Menggunakan sistem pendukung yang ada di
luar diri klien; 4) Mengevaluasi hasil dan hambatan penggunaan sistem
pendukung yang ada pada masing-masing klien.
Berbagai aktifitas di dalam Support System Enhancement meliputi:
a. Mengakses respon psikologis
b. Menentukan jejaring sosial yang ada dan adekuat
c. Mengidentifikasi family support (dukungan bagi keluarga)
d. Mengidentifikasi family financial support (dukungan finansial bagi
keluarga)
e. Menentukan support system (sistem dukungan) yang biasa digunakan
f. Menentukan hambatan dalam menggunakan support system

11
g. Memonitor situasi keluarga saat ini
h. Menganjurkan klien berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan masyarakat
i. Menganjurkan berinteraksi dengan orang lain yang sama-sama tertarik
dan memiliki tujuan
j. Mengarahkan pada Self Help Group sebagai terapi yang dapat dilakukan
secara mandiri.
k. Mengakses sumber masyarakat yang adekuat untuk mengidentifikasi
kelemahan dan kelebihan
l. Mengarahkan pada masyarakat berdasarkan pada hal peningkatan,
pencegahan, pengobatan, atau program rehabilitasi yang tepat
m. Menyediakan layanan perawatan dan cara yang suportif
n. Melibatkan keluarga, pihak lain, dan teman dalam hal perawatan dan
perencanaan
o. Menjelaskan pada yang lain bagaimana cara mereka dapat membantu
Menurut Chien, Chan & Thompson (2006) dalam memberikan terapi
suport pada klien dan keluarga dengan klien gangguan jiwa, ada beberapa
prinsip yang harus diperhatikan, yaitu
a. Hubungan saling percaya
b. Memikirkan ide dan alternatif pemecahan masalah
c. Mendiskusikan area yang tabu (tukar pengalaman mengenai rahasia dan
konflik internal secara psikologis)
d. Menghargai situasi yang sama dan bertindak bersama
e. Adanya sistem pendukung
f. Pemecahan masalah secara individu
3. Peran Perawat/Terapis dalam Penerapan Model Terapi Suportif
Mohlenkamp, 1999 dalam Klingberg (2010) menyatakan prinsip
seorang terapis adalah; a) aktif, upaya empatik terapis untuk mencapai
hubungan terapeutik yang positif; b) terapis menyampaikan orientasi kognitif
kepada klien dan membantu memahami perilaku klien; c) terapis member

12
saran dan panduan dalam mengatasi krisis dan masalah keseharian; d)
meningkatkan harga diri klien melalui penguatan positif dan dukungan; e)
bekerja dalam orientasi sumber daya, contohnya membantu klien untuk
menemukan kemampuan menolong dirinya; f) menahan diri dari pendekatan
konfrontasi dan bujukan regresi.
Dalam model terapi ini juga seorang terapis harus menganggap klien
sebagai mitra dalam pengobatan dan mendorong otonomi klien untuk
membuat keputusan pengobatan dan kehidupan. Pada gilirannya, klien
diharapkan untuk menunjukkan kesediaan untuk berbicara tentang peristiwa
kehidupan, menerima peran pendukung terapis, berpartisipasi dalam program
terapi, dan mematuhi struktur terapi (Stuart & Laraia, 1998).
C. Konsep Environment
1. Pengertian Healing Environment
Menurut Jones (2003) dalam bukunya Health and Human Behaviour
(Kurniawati, 2011), faktor lingkungan memegang peran besar dalam proses
penyembuhan manusia yaitu sebesar 40%, faktor medis 10%, faktor genetis
20% dan faktor lain-lain 30%. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan
alami maupun lingkungan buatan. Lingkungan buatan (man-made
environment) pada arsitektur meliputi ruangan, bangunan, lingkungan hingga
skala kota. Terkait dengan besarnya peran lingkungan dalam proses
penyembuhan, sudah sewajarnya faktor lingkungan memiliki poin yang besar
dalam rancangan suatu fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satu konsep
desain yang menempatkan faktor lingkungan dalam porsi besar adalah
konsep healing environment.
Menurut Dijkstra (2009) dalam Putri, Widihardjo, & Wibisono (2013),
healing environment adalah lingkungan fisik fasilitas kesehatan yang dapat
mempercepat waktu pemulihan kesehatan pasien atau mempercepat proses
adaptasi pasien dari kondisi kronis serta akut dengan melibatkan efek
psikologis pasien di dalamnya. Penerapan konsep healing environment pada

13
lingkungan perawatan akan tampak pada kondisi akhir kesehatan pasien,
yaitu pengurangan waktu rawat, pengurangan biaya pengobatan,
pengurangan rasa sakit, pengurangan stress atau perasaan tertekan,
memberikan suasana hati yang positif, membangkitkan semangat, serta
meningkatkan pengharapan pasien akan lingkungan.
2. Dampak Healing Environment bagi Kesehatan
Setiap konsep termasuk dalam dunia arsitektur memiliki dampak
tersendiri bagi pelaku kegiatannya. Konsep healing environment yang
diterapkan pada suatu fasilitas kesehatan, memiliki dampak bagi pasien,
pengelola maupun pengunjung baik dampak positif maupun negatif. Menurut
Fouts dan Gaby (2008) dalam Bloemberg dkk (2009), berikut adalah daftar
dampak positif yang ditimbulkan oleh konsep healing environment:
a. Mengurangi stress dan kegelisahan pada pasien dan keluarga
b. Mengurangi rasa sakit;
c. Mengurangi terjadinya infeksi;
d. Meningkatkan tidur dan pemulihan;
e. Meningkatkan kegembiraan pasien;
f. Mengurangi stress pada pengelola;
g. Meningkatkan kepuasan kerja;
h. Meningkatkan produktivitas pengelola;
i. Meningkatkan kemampuan untuk memelihara kualitas sebagai pemerhati
kesehatan;
j. Penghematan biaya keseluruhan melalui peningkatan efisiensi operasional
dan meningkatkan penghasilan medis;
k. Perbedaan dari penyedia fasilitas kesehatan yang lain.

Sedangkan menurut Findlay & Verhoef (2004), Geffen (2004), Boyce,


Hunter & Howlett (2003) dalam Bloemberg dkk (2009), healing environment

14
tidak hanya memberi dampak positif, mungkin juga terdapat biaya yang
harus dikeluarkan maupun keterbatasan, yaitu:
a. Pasien, pengelola dan pengambil keputusan tidak/belum bersedia atau
mampu untuk terlibat dalam proses transformasi menuju pendekatan
yang lebih 'menyeluruh' untuk penyembuhan;
b. Healing environment sebagai pendekatan non-tradisional dapat
mengalami masalah dengan pemerintah dan peraturan pertanggungan;
c. Biaya yang dikeluarkan mungkin akan meningkat karena meningkatnya
administrasi, kesehatan dan asuransi malpraktik premi;
d. Ketakutan akan proses pengadilan (litigasi) dapat menyebabkan
peningkatan biaya, ketegangan dan dapat menghambat orang untuk
mencoba pendekatan baru;
e. Beberapa implementasi mungkin memiliki efek buruk pada pasien
tertentu (misalnya siang hari dapat memiliki efek buruk pada orang yang
sensitif terhadap radiasi ultra-violet).
D. Peran Perawat Jiwa
1. Konsep perawat jiwa
Konsep perawat jiwa meliputi definisi perawat kesehatan jiwa, peran
perawat jiwa, fungsi perawat jiwa.
2. Definisi perawat kesehatan Jiwa
Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya.
Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang
perilaku manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana
penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau
instrumen yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan
(Erlinafsiah, 2010)

15
Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang
didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia
sepanjang siklus kehidupan dengan respon psiko-sosial yang maladaptif yang
disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri
sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah
kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat (Sujono dan Teguh, 2009).
3. Peran perawat jiwa
Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan
spesifik (Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan
kolaborasi diantaranya adalah
a. Sebagai pelaksana asuhan keperawatan, yaitu perawat memberikan
pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga dan
komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep
perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa
serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada
individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan asuhan
keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses
keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan,
perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan
keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.
b. Sebagai pelaksana pendidikan keperawatan yaitu perawat memberi
pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas agar
mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga dan
anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota
masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa.
c. Sebagai pengelola keperawatan adalah perawat harus menunjukkan sikap
kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan
keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta

16
menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan, menggunakan berbagai
strategi perubahan yang diperlukan, berperan serta dalam aktifitas
pengelolaan kasus dan mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi
modalitas keperawatan.
d. Sebagai pelaksana penelitian yaitu perawat mengidentifikasi masalah
dalam bidang keperawatan jiwa dan menggunakan hasil penelitian serta
perkembangan ilmu dan teknologi untuk meningkatkan mutu pelayanan
dan asuhan keperawatan jiwa.
4. Fungsi perawat jiwa
Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara
langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010).
Fungsi tersebut dapat dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama,
memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik,
mental,dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien. Kedua,
bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi
penumpukkan masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu perawat dalam
memberikan bantuan kepada pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat
melalui contoh perilaku yang ditampilkan oleh perawat.
Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari
masalah kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini
perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam
evaluasi pasien jiwa untuk mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini
mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat. Kelima, memberikan
pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada pasien, kleuarga dan komunitas
yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, ciri-ciri sehat
jiwa, penyebab gangguan jiwa, ciriciri gangguan jiwa, fungsi dan tugas
keluarga, dan upaya perawatan pasien ganggua jiwa. Keenam, sebagai

17
perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak pasien,
keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan masalah pasien.
Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi dengan tim lain adalah perawat
membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas kesehatan lain
yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas),
pekerja sosial, psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga
perawatan adalah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa
didasarkan pada manajemen keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan,
menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan mental.
Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa sumber-sumber yang ada
dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai faktor pendukung
dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat.
E. Interdisiplinery Approach dalam Keperawatan Jiwa

18
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah:
1. Recovery merupakan proses dimana seseorang mampu untuk hidup,
bekerja, belajar dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya.
Recovery berimplikasi terhadap penurunan atau pengurangan gejala secara
keseluruhan. Recovery Model pada kesehatan jiwa tidak berfokus pada
pengobatan, tetapi sebagai gantinya lebih menekankan dapat hidup
beradaptasi dengan sakit jiwa yang sifatnya kronis. Pada model ini lebih
menekankan kepada hubungan sosial, pemberdayaan, strategi koping, dan
makna hidup.
2. Terapi suportif adalah suatu cara psikoterapi yang banyak digunakan di
rumah sakit dan masyarakat berbasis perawatan psikiatris.Terapi suportif
berfokus dalam memberikan dukungan pada klien yang sedang menderita
suatu penyakit maupun menghadapai masalah maupun mendorong
seorang klien pada suatu perubahan yang lebih baik.
3. Environment adalah lingkungan fisik fasilitas kesehatan yang dapat
mempercepat waktu pemulihan kesehatan pasien atau mempercepat proses
adaptasi pasien dari kondisi kronis serta akut dengan melibatkan efek
psikologis pasien di dalamnya. Penerapan konsep ini pada lingkungan
perawatan akan tampak pada kondisi akhir kesehatan pasien, yaitu
pengurangan waktu rawat, pengurangan biaya pengobatan, pengurangan
rasa sakit, pengurangan stress atau perasaan tertekan, memberikan suasana
hati yang positif, membangkitkan semangat, serta meningkatkan
pengharapan pasien akan lingkungan.

19
4. Peran perawat jiwa adalah sebagai pelaksana asuhan keperawatan, sebagai
pelaksana pendidikan keperawatan, sebagai pengelola keperawatan dan
sebagai pelaksana penelitian.

B. Saran
Sehat fisik bukan berarti juga sehat jiwa. Terkadang kita menyepelekan
kesehatan jiwa, padahal jika kesehatan jiwa kita terganggu maka kesekatan
fisik pun akan terganggu.
Oleh sebab itu, marilah kita lebih memperbanyak amal dan juga
ibadah, sehingga kita lebih dekat kepada Allah, dan juga kita dapet
ketenangan jiwa yang sesungguhnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Stuart W Gail (2012). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5 revisi. Jakarta : EGC
Halter, E. M. V. D. M. J. 2010. Foundation of psychiatric mental helath nursing a
clinical approach. Saunders Elseviers. New York
Erlinafsiah (2010). Modal Perawat Dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta, Trans
Info Media
Dalami, Ermawati. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans Info
Media.
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Graha Ilmu

21

Anda mungkin juga menyukai