Anda di halaman 1dari 22

ISSUE END OF LIFE (DO NOT RESUSCITATE)

DI KEPERAWATAN KRITIS DARI SISI LEGAL ETIK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Yang Diampu oleh Topan heri wibowo,S,Kep,Ns.MAN

Penyusun:

1. Faizal Mutaqin (180203118)


2. Gali Raka Siwi (180203119)
3. Hanif Adnan Rizani (180203120)
4. Haryanti (180203121)
5. Hayyud Dinal Haqi (180203122)
6. Isnaeni Khasanah (180203124)
7. Lutfiani Barkah Priyati (180203125)
8. Muhamad Galang Pratama (180203126)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Intensive Care Unit (ICU) merupakan unit rumah sakit yang memberikan
perawatan intensif dan monitoring yang ketat bagi klien. ICU memiliki
teknologi yang canggih seperti monitor jantung dengan dukungan mesin
komputer dan ventilator mekanis (Potter & Perry, 2010). Ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan di unit perawatan intensif telah mengalami banyak
perkembangan dan kemajuan yang diharapkan dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih baik, termasuk perawatan untuk meningkatkan harapan
hidup. Kenyataannya hal tersebut tidak dapat mencegah kematian sehingga
pelayanan kesehatan yang termasuk didalamnya mengenai bagaimana cara
untuk mempersiapkan klien menghadapi kematian dengan damai dan
bermartabat dinilai penting. Kondisi klien pada lingkup keperawatan kritis
pun bervariasi, dengan kondisi yang mengancam jiwa maupun yang
menjelang ajal. Klien dengan kondisi mengancam nyawa berfokus pada
tindakan resusitasi, sedangkan pada klien yang menjelang ajal lebih berfokus
pada perawatan End of Life.
Teori end of life dari Ruland dan Moore ini menyatakan bahwa kedamaian
menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
merasakan penghormatan, merasakan kedamaian, mendapatkan kesempatan
tindakan yang dilakukan pada pasien DNR berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi
oleh persepsi masing-masing petugas kesehatan terhadap DNR itu sendiri,
begitu juga dengan perawat, masing-masing perawat memliki persepsi
mengenai DNR yang dapat dipengaruhi oleh pengetahuannya (Park et al,
2011; Amestiasih & Cornelia, 2017). Berdasarkan teori peacefull end of life
tindakan keperawatan masih dapat diberikan pada pasien-pasien DNR, seperti
mengurangi rasa nyeri yang dapat dilakukan dengan tindakan mandiri
keperawatan maupun tindakan kolaboratif.

B. TUJUAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengetahui isu end of life (DNR)
terkini di keperawatan kritis dari sisi legal etik.
ISSUE END OF LIFE (DO NOT RESUSCITATE)

DI KEPERAWATAN KRITIS DARI SISI LEGAL ETIK

A. ISU
Do Not Resuscitation (DNR) merupakan suatu keputusan yang ditujukan
pada klien dimana klien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat
bantu hidup, penghindaran Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), serta
hanya mendapatkan kenyamanan (Chu, 2002; Amestiasih & Cornelia, 2017).
DNR dilaksanakan atas permintaan klien dan keluarga keluarga serta atas
pertimbangan dari tim medis. DNR dapat dilakukan atas pertimbangan status
kesehatan klien maupun biaya perawatan (Weiss & Hite, 2000; Amestiasih &
Cornelia, 2017).

Klien dan keluarganya yang meminta untuk dilakukannya DNR pada klien
memiliki hak otonomi yang harus dihormati yang terkadang menjadi suatu
dilema bagi tim kesehatan. Namun disisi lain DNR dapat dilakukan apabila
tim medis menemukan suatu kenyataan bahwa klien memiliki harapan hidup
yang rendah, dimana kemungkinan tertolongnya sangat kecil (Michael, 2002;
Amestiasih & Cornelia, 2017). Bahkan tingkat keberhasilan CPR yang
dilakukan di ICU hanyalah 9.2% (Park, 2011). Dari hasil penelitian Oh et al
(2006) diketahui bahwa beberapa klien memiliki waktu mulai dari beberapa
jam hingga beberapa hari sebelum akhirnya meninggal. Selama sisa waktu
yang dimiliki klien, tidak diketahui bagaimana asuhan keperawatan yang
diberikan oleh perawat.

Menurut Fields (2007) dalam Amestiasih & Cornelia (2017), menerapkan


DNR pada seorang klien bukan berarti tidak ada asuhan yang dapat kita
berikan, melainkan justru harus ditemukan cara lain yang terbaik yang dapat
kita berikan. Hal ini untuk meningkatkan kualitas end of life klien. Ruland
dan Moore pada tahun 1998 telah mencetuskan teori peacefull end of life.
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of
life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orangyang berada di
bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,2015). End of life
akan membantu klien meninggal dengan bermartabat.
Klien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan
yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan klien tersebut. End of
life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan
bagi klien yang mendekati akhir kehidupan. End of life care bertujuan untuk
membantu orang hidup dengan sebaik- baiknya dan meninggal dengan
bermartabat (Curie, 2014). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care
merupakan salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang
yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat
oranghidup dengan sebaik- baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal
dengan bermartabat.
Elemen penting dalam perencanaan perawatan dan diskusi EOL adalah
diskusi dengan fasilitator terlatih, diskusi yang berpusat pada klien dan
melibatkan keluarga klien dalam diskusi, dokumentasi yang baik dan edukasi
sistematis oleh dokter sebagai pemberi pelayanan medis. Tujuan diskusi EOL
adalah pemahaman klien tentang penyakit dan pilihan terapi, pemahaman
nilai, kepercayaan dan tujuan perawatan yang diinginkan klien; dan
identifikasi harapan klien. Tujuan perawatan yang dibuat secara kolaboratif
dan berpusat pada klien ini terbukti meningkatkan hasil klinis, kualitas hidup,
serta kepuasan klien.
Tujuan akhir diskusi EOL adalah untuk mempersiapkan kematian yang
baik melalui perawatan paliatif. Singer, et al, merumuskan 5 bidang yang
harus diperhatikan dalam perawatan paliatif, yaitu:

1. Manajemen nyeri dan gejala

Manajemen nyeri merupakan aspek utama yang harus dipersiapkan


karena nyeri merupakan aspek yang dikhawatirkan oleh banyak klien.
Terapi nyeri baik secara medis maupun penunjang diberikan untuk
memaksimalkan kualitas hidup klien. Terapi nyeri untuk kondisi kronis,
termasuk paliatif, dapat dilakukan menggunakan prinsip pain relief ladder
dari WHO.

2. Pertimbangan tindakan yang sia-sia (futile care), misalnya intubasi dan


resusitasi jantung paru pada klien kanker paru stadium akhir

Hal kedua adalah pertimbangan untuk menghindari tindakan sia-sia


yang hanya menunda kematian tanpa adanya harapan kembali ke kondisi
independen atau interaktif. Hal ini merupakan hal yang akan mengundang
perdebatan. Sebagian besar klien dengan penyakit terminal akan merasa
takut mengalami kondisi vegetatif atau koma berkepanjangan. Mereka
mengharapkan kematian yang damai. Walau demikian, keluarga umumnya
menolak hal ini. Mereka ingin mengusahakan perawatan semaksimal
mungkin, meskipun oleh dokter perawatan yang diberikan sudah dinilai
sia-sia. Dokter harus mendiskusikan hal ini bersama dengan klien dan
keluarga.

3. Pertimbangan keinginan klien

Hal ketiga adalah menghargai keinginan klien untuk mengambil


keputusan. Diskusi EOL bersama klien perlu dilakukan untuk mengetahui
pilihan klien terhadap perawatan untuk mempertahankan hidup (resusitasi
jantung paru dan ventilasi mekanis), kontrol nyeri, lokasi kematian, dan
donasi organ. Keinginan klien untuk do not resuscitate merupakan salah
satu isu kontroversial yang harus dipertimbangkan. Klien dapat menunjuk
wakil yang dipercaya untuk mengambil keputusan bagi dirinya saat klien
sudah tidak lagi kompeten.

4. Biaya
Hal keempat adalah masalah biaya dengan mempertimbangkan
tindakan-tindakan yang efektif sehingga dapat meringankan biaya
perawatan. Dukungan kepada keluarga dapat diberikan juga secara
emosional karena keluarga juga terpengaruh secara fisik, emosional dan
sosial dalam merawat klien dengan penyakit terminal.

5. Hubungan dokter-klien dan dokter-keluarga

Hal kelima adalah memberikan kesempatan klien untuk memperkuat


relasi atau hubungan dengan orang yang dicintai dengan melibatkan
keluarga dalam diskusi. Untuk itu, dokter harus berperan sebagai jembatan
untuk mendiskusikan keinginan klien dan keluarga yang bisa jadi berbeda
dan menyelaraskan keduanya dengan tujuan perawatan secara
keseluruhan.

Tindakan yang dilakukan pada klien DNR berbeda-beda. Hal ini


dipengaruhi oleh persepsi masing-masing petugas kesehatan terhadap DNR
itu sendiri, begitu juga dengan perawat, masing-masing perawat memliki
persepsi mengenai DNR yang dapat dipengaruhi oleh pengetahuannya (Park
et al, 2011). Berdasarkan teori peacefull end of life tindakan keperawatan
masih dapat diberikan pada klien-klien DNR, seperti mengurangi rasa nyeri
yang dapat dilakukan dengan tindakan mandiri keperawatan maupun tindakan
kolaboratif.

B. PRO DAN KONTRA DNR

Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku. Beberapa


negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan
Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan
pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada
setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris,
mengemukakan bahwa orang yang diberikan label DNR memiliki
kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang
layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan
euthanasia, terutama pada klien dewasa yang kompeten namun menolak
resusitasi jantung paru secara irasional (Tarigan, 2019).

Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis
dan agama. Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar
pihak yang menolak dilakukan DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada
manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana
keputusan DNR dianggap dapat menentukan hidup dan mati seseorang
(Tarigan, 2019).

Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR


adalah pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal misalnya, bahwa
rekomendasi American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan
yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak
diindikasikan pada semua klien. Klien dengan kondisi terminal, penyakit
yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat
dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP (Tarigan, 2019).

Beberapa organisasi profesi, misalnya organisasi profesi perawat dan


dokter anestesi memiliki konsensus yang mendukung hak klien akan dirinya
sendiri. Klien yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak
menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan hidup mereka, setelah
mendapat informasi dan memahami betul implikasi keputusannya. Perintah
DNR dianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan
dan keinginan klien akan menghindari upaya untuk mempertahankan
kehidupan (Tarigan, 2019).

Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran


tindakan tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi
oleh kaidah legal dan teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika,
asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan
yang adil (justice), dan hak otonomi klien (autonomy). Selain itu, beberapa
pandangan agama juga membenarkan dilakukannya DNR terutama bila RJP
tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan justru menambah beban klien
dan keluarga (Tarigan, 2019).

Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila
tim medis percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu
dimulai karena dokter dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia
(futile care). Hal ini memerlukan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
dokter dan tim medis lain. Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian
dari upaya resusitasi klien (Tarigan, 2019).

C. KAJIAN ETIK PADA DNR

DNR dianggap sebagai bagaian dari upaya resusitasi klien sehingga


prinsip etik yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP.
Prinsip etik yang dilakukan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan
sekitar. Misalnya, orang Asia sangat menekankan pada keputusan kelompok
akan keputusan yang ingin di ambil. Berbeda dengan orang di Amerika
Serikat yang sangat menekankan pada prinsip otonomi individual.

1. Prinsip Beneficience

Merupakan prinsip yang menjadi keuntungan upaya pemulihan


yang dilakukan klien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya
pemulihan kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan
kesakitan dan penderitaan klien. RJP berdasarkan prinsip ini dokter harus
memikirkan kebermanfaatan RJP pada klien. RJP dianggap sebagai upaya
yang sangat efektif pada klien dengan henti jantung yang disebabkan oleh
gangguan jantung. Jarang sekali ditemukan klien yang mengalami
perbaikan pasca RJP bila henti jantung terjadi akibat penyebab lain
misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain. Penyebab yang
irreversibel seperti syok bekerpanjangan merupakan indikasi untuk tidak
melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan
bukanlah kontraindikasi dilakukannya RJP (Tarigan, 2019).

2. Prinsip non maleficence (do no harm)

Prinsip yang mencegah tindakan yang diberikan oleh tenaga


kesehatan meningkatkan kesakitan pada klien. Pemberian RJP
berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat pada dasarnya
memberikan kesakitan lebih lanjut pada klien. Klien dapat bertahan hidup
tetapi berada dalam kondisi koma persisten atau status vegetatif.
Berdasarkan prinsip ini, RJP dikatakan tidak memberikan kesusahan lebih
lanjut bila keuntungan akibat tindakan ini dianggap lebih besar dibanding
kerugiannya (Tarigan, 2019).

3. Prinsip otonomi, klien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal.
Dalam mengambil keputusan, klien menggunakan hak otonominya, harus
dipastikan klien secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui
atau menolak tindakan medis, termasuk RJP. Klien dianggap dewasa
sesuai dengan peraturan negara yakni berusia 18 tahun. Klien juga harus
dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan. Sebelum keputusan
diambil klien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan klien.
Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan klien
mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan
berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang
diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-masing
pilihan. Klien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau
penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai
klien mampu memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi gawat
darurat sebelum klien belum mengambil keputusan dengan waktu yang
terbatas untuk mengambil keputusan, pilihan yang bijaksana adalah
memberikan perawatan medis sesuai standar (Tarigan, 2019).
4. Prinsip keadilian menjamin terpenuhinya hak-hak klien dengan
menyeimbangkan tercapainya tujuan social.

Prinsip keadilan diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan


perlakuan pada klien. Namun, diperlukan nilai moral untuk menjustifikasi
perawatan medis yang diberikan pada klien. Prinsip keadilan menjamin
semua klien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi
nilai moral akan menentukan pada klien mana RJP akan memberikan
manfaat yang paling baik. Dalam menjamin terjadinya keadilan, penyedia
layanan kesehatan harus mempertimbangkan apakah sebuah tindakan
medis: 1) mengobati, mencegah dan memberikan harapan hidup yang
tinggi, 2) menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan, 3)
memberikan manfaat dan 4) secara nyata memberikan dampak positif
dibanding dampak negative (Tarigan, 2019).

D. ASPEK HUKUM DI INDONESIA

Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur bagaimana DNR


dilakukan di Indonesia. Dasar perundang-undangan yang banyak digunakan
sebagai landasan dalam mempertahkan kehidupan manusia adalah UUD
tahun 1945 pasal 28 A perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang
berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hal ini
diperkuat oleh Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pasal 39 yang menyatakan bahwa “praktik kedokteran diselenggarakan
berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan klien
dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.”

Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran harus didasarkan pada persetujuan


klien setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini
tertulis pada UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45.
Dalam keadaan kegawatdaruratan seringnya persetujuan tindakan harus
dilakukan bersamaan dengan pemberian tindakan yang menyelamatkan
nyawa. Pertolongan kegawatdaruratan harus diberikan oleh dokter
berdasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 17 menjelaskan
bahwa “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.” Pada penjelasan pasal 17 dinyatakan bahwa
kewajiban dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat hanya gugur
oleh beberapa hal, salah satunya adalah pada klien yang telah mendapat
keputusan medis DNR yang diberikan pada klien paliatif (Tarigan, 2019).

Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila mengacu
pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan
kematian dan pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan klien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit
dan pemulihan kesehatan. Dalam pandangan ini, DNR dapat dianggap
sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun belum jelas kedudukan
hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX tentang kejahatan
terhadap nyawa (Tarigan, 2019).

Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus


dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Kesepakatan mengenai kondisi
klien dan bagaimana kualitas hidup klien menjadi penting. Pendokumentasian
keputusan ini dalam form khusus juga penting sebagai pembuktian bila ada
permasalahan hukum di kemudian hari (Tarigan, 2019).

E. MELAKUKAN DNR PADA KLIEN

Pada pelaksanaannya harus dipahami bahwa permintaan DNR pada


dasarnya adalah permintaan klien atas kepentingan dirinya. Belum ada aturan
yang mengikat apakah keluarga dapat memintakan keputusan DNR pada
keluarganya. Persetujuan DNR harus dilakukan dengan mempertimbangkan
segala aspek, terutama untung ruginya sebuah upaya penyelamatan. DNR
hanya dilakukan untuk melindungi otonomi klien dan mencegah bahaya lebih
lanjut pada klien (Tarigan, 2019).

Penilaian keberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan
DNR dilakukan oleh dokter. Masukan klien dan keluarga adalah bagian yang
penting. Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak berada lebih prioritas
dibanding keputusan keluarga. Komunikasi menjadi bagian penting dalam
pengambilan keputusan DNR. Klien baru akan dapat memberikan keputusan
setelah dilakukan komunikasi yang baik oleh dokter. Bentuk komunikasi
tersebut dan hasilnya harus didokumentasikan secara baik. Perlu dipahami
bahwa pemahaman dokter atau tenaga medis lain mengenai DNR tidak sama
dengan apa yang klien dan keluarganya pahami. Beberapa klien mungkin
memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obat tertentu, yang lain
mungkin memikirkan DNR berarti tidak bersedia dilakukan RJP namun
masih menginginkan usaha maksimal dan obat-obatan bahkan bersedia
dirawat di ruang rawat intensif. Dokter harus menyebutkan dengan jelas
bahwa DNR berarti RJP tidak akan dilakukan bila terjadi kasus henti nafas
dan henti jantung (Tarigan, 2019).

Komunikasi dilakukan pada klien bila dirasa klien mampu menerima


informasi tersebut. Bila klien tidak mampu atau tidak ingin atau bila diskusi
terkait DNR akan menyebabkan gangguan fisik dan mental pada klien, maka
diskusi dengan klien tidak dilakukan. Kondisi tersebut harus tertulis dengan
baik di catatan klien. Bila klien tidak dapat terlibat pada pengambilan
keputusan, keputusan DNR harus dilakukan pada kerabat yang memiliki
wewenang atas klien.

DNR harus dituliskan dengan jelas pada status klien. Dokumentasi yang
dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil.
Penjelasan yang diberikan dokter, termasuk pertanyaan yang dikeluarkan
klien serta jawabannya harus dituliskan dalam catatan. Pendokumentasian
tersebut harus diikuti dengan pemberian tanda khusus yang dapat dikenali
oleh semua petugas kesehatan. Keputusan DNR bukan merupakan keputusan
yang kaku. Bila dalam perjalanan penyakitnya klien berkeinginan mengubah
keputusan DNRnya, harus dilakukan pendokumentasian yang baik.
Keputusan DNR harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh
semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan klien,
misalnya dengan menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya (Tarigan,
2019).
F. KASUS
Tuan X. 76 tahun merupakan mantan seorang kepala desa. Tn. X
sekarang tinggal di rumah bersama istri dan satu anaknya. Sedangkan 3 anak
yang lain ada diluar kota. Dalam menjalani masa pensiun menikmati masa
pensiunnya, Tn. X bersama istrinya sering jalan-jalan menyapa tetangga
sekitar dan hal positif lainnya. Sikapnya yang ramah membuatnya sangat
dihargai oleh tetangga sekitar.
Tn. X merupakan penderita tekanan darah tinggi, gout dan rematik.
Sebulan sebelumnya Tn. X mengalami serangan stroke namum mampu
bertahan. Tapi seminggu belakangan kondisi Tn. X mulai menurun dan sering
kesakitan. Tn. X sendiri masih mampunyai adik yang masih hidup dan sangat
dekat diwaktu muda dulu, namun sekarang sudah jarang bertemu. Tn. X
berharap dapat bertemu dengan adiknya tersebut untuk terakhir kalinya. Di
lain sisi, sang adik yang berada di luar kota tidak mampu mengadakan
perjalanan yang jauh, Pasein merasa sedih mendengarnya.
Banyak tetangga yang mengunjunginya di rumah sakit saat ini, namun
Tn. X akhir-akhir ini ingin keadaan yang lebih tenang dan nyaman dengan
keluarganya. Dia tidak meninggalkan catatan khusus bagaimana dia ingin
meninggal, hanya menyampaikan kepada isterinya bahwa ia tidak ingin
penanganan yang berlebihan. Dan Istrinya juga telah menandatangani form
DNR.

B. REFLEKSI
1. Informasi
a. Not being in Pain
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama
diinginkan klien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).
Nyeri merupakan hal sensori yang tidak nyaman atau pengalaman emosi
yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan.
Dari kasus yang dialami oleh Tn. X Kenyamana dapat dikaji secara
fisik dan spiritual. Secara Fisik didapatkan data bahwa klien selama
seminggu terakhir mengalami rasa skit. Berdasarkan Teori EOL ini, bebas
dari rasa nyeri adalah salah satu standart yang diajukan sehingga perawat
harus memberikan intervensi untuk mengatasinya.
Di dalam teori juga disebutkan bahwa untuk mencapai keadaan
yang bebas nyeri, perawat dapat melakukan dua hal, yaitu pemantauan dan
pegelolaan rasa sakit serta intervensi baik dalam bentuk farmakologis atau
non-farmakologis. Dalam pengelolaan nyeri, perawat dapat menggunakan
metode skala nyeri untuk dapat menentukan perkembangan nyeri. Dalam
intervensi non-farmakologis, perawat dapat menggunakan tekhnik
relaksasi dan juga distraksi. Relaksasi dengan cara message atau
lingkungan yang nyaman, Distraksi dapat dilakukan dengan cara
memberikan klien tontonan atau bacaan yang sesuai dengan keinginan
klien. Untuk intervensi farmakologis, tentunya perawat harus
mengkonsultasikan-nya kepada dokter untuk pemberian obat anti-nyeri.

b. Experience of Comfort

Di dalam kasus didapatkan data bahwa Tn. X cenderung merasa


tidak nyaman dengan adanya kunjungan terus menerus oleh tetangga. Tn.
X ingin lebih dekat dan tenang dengan keluarganya. Berdasarkan teori
Peacefull EOL Ada 3 hal yang dapat dilakukan. Yang pertama adalah
Mencegah, memonitor dan membebaskan ketidaknyamanan fisik.
Berikutnya adalah memasilitasi istirahat, relaksasi, dan kesukaan. Yang
terakhir untuk kenyamanan klien adalah mencegah komplikasi yang dapat
mengganggu kenyamanan.

Intervensi pertama dapat dilakukan untuk membebaskan


ketidaknyamanan fisik yang mungkin dirasakan klien. Perawat dapat
meminta persetujuan keluarga untuk tidak memasang/melepas alat-alat
medis yang terpasang seperti infus, ngt dan lainnya. Konsultasi dengan
keluarga serta klien tentunya dilakukan terlebih dahulu.
Berikutnya adalah untuk memberikan waktu istirahat kepada klien.
Perawat dapat memberikan waktu-waktu tertentu dimana klien ignin
beristirahat, Perawat dapat melakukannya dengan cara tidak melakukan
tindakan-tindakan pada waktu tersebut sehingga pasein tidak terganggu.
Kedatangan/kunjungan tetangga klien dirasakan klien mengganggu di
akhir-akhir waktunya, sehingga kita sebagai perawat dapat
memfasilitasinya dengan memberikan batasan terhadap tetangga yang
ingin berkungjung.

Yang terakhir adalah dengan mencegah komplikasi yang dapat


mengganggu kenyamanan. Klien merupakan klien pasca stroke yang
mempunyai masalah tekanan darah tinggi. Menjaga tekanan darah klien
tetap normal sehingga tidak menghasilkan ketidaknyamanan seperti rasa
pusing dan lainnya dapat dijadikan dasar intervensi keperawatan.

c. Experience o Dignity

Didalam teori Peacefull EOL ada tiga standart yang dapat dijadikan
pedoman. Yang pertama adalah Mengikutsertakan klien dan pihak penting
lain dalam pengambilan keputusan. Seperti contohnya tadi adalah
keputusan tentang pembebasan rasa nyeri atau menjaga kenyamanan klien.
Perawat dapat mengikutsertakan klien dan keluarga dalam melakukan
pilihan alternati penatalaksanaan agar martabat klien terjaga dan klien
merasa dihargai. Yang kedua adalah melayani klien dengan empati,
hormat dan menghargai martabatnya. Hal ini dapat dilakukan dalam
keseharian interaksi perawat dengan klien, baik waktu tindakan atau tidak.
Menyapa klien dengan ramah setiap bertemu, menghargai cerita klien atau
sekedar tersenyum daapt memberikan makna positif. Standart terakhir
adalah menjadi perhatian terhadap kebutuhan klien. Seperti misalnya klien
terlihat menahan nyeri maka perawat dengan aktif dapat menanyakannya
dan memberikan pilihan penatalakanaannya. Keinginan klien juga menjadi
perhatian, bila mungkin klien ingin kehadiran keluarga, maka perawat
tentunya dapat mengakomodasikannya dengan menghubungi keluarga
klien.

d. Being at peace

Damai adalah “Perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan


puas, (bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan”
(Ruland & Moore, 1998, p 172). Tenang meliputi fisik, psikologis, dan
dimensi spiritual.

Ada 5 kritetia yang diberikan oleh Ruland and Marlyn dalam poin
ini. Yang pertama adalah untuk memberikan dukungan emosional kepada
klien. Disaat menjelang akhir hidupnya, klien pasti merasakan kegelisahan
emosional. Perawat dapat memberikan intervensi psikologis yang ada
untuk membantu menenangkan klien Yang kedua adalah dengan
memonitoring kebutuhan klien akan obat anti-cemas. Dalam hal ini klien
tidak merasakan kecemasan yang berarti sehingga tidak membutuhkan
pengobatan. Ketiga adalah dengan menunjukkan kepercayaan. Agar klien
merasakan kedamaian, maka dianjurkan dalam teori ini untuk mewujudkan
hubungan saling percaya antara perawat dengan klien. Yang keempat
adalah memberikan bimbingan kepada klien dan orang terdekat dalam
permasalahan praktek yang dihadapi semisal klien atau keluarga
mengalami masalah terhadap bantuan memberi makan klien. Terakhir
adalah dengan menyediakan bantuan fisik dari caregiver lain, jika
diperlukan.

e. Closeness To Significant Others

Kedekatan melibatkan kedekatan fisik dan emosi yang


diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat (intim). Pada
Kasus diatas terdapat sebuah poin yang cukup penting dimana sebenarnya
klien ingin bertemu dengan adiknya yang sudah lama tak berjumpa. Maka
sesuai dengan kriteria pertama dari pon kedekatan dengan orang penting
bagi klien, perawat dapat memfasilitasi akan kehadiran orang tersebut.
Karena adik klien tidak dapat hadir secara fisik, maka dengan
perkembangan zaman kita dapat memberikan fasilitas telepon untuk klien
sehingga persaan dekat dengan orang penting/keluarga dapat tercapai.

Intervensi kedua yaitu dengan memberikan suport kepada keluarga


dengan memasilitasi pertanyaan yang diajukan keluarga, mengantarkan
keluarga klien dalam melewati fase berdukanya. Selanjutnya adalah
memberi peluang untuk keakraban keluarga. Perawat dapat melakukannya
dengan memberikan waktu dan tempat bagi keluarga untuk berduka
terhadap kepergian klien.

2. Refleksi

a. Komentar dan saran

Pada kasus Tn. X, klien mengalami kondisi penurunan, dalam keadaan


sadar klien meminta untuk tidak dilakukan tindakan secara berlebihan, dan
keluarga menyutujui untuk tidak dilakukan resusitasi. Menurut Morton &
FONTAINE (2009), angka keberhasilan rjp pada klien rawat inap sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh lingkungan klien dan factor resusitatif.

Akan tetapi RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke semua klien,
karena sifatnya yang invasive dan dapat bermakna sebagai suatu
pelanggaran hak individu untuk meninggal secara bermartabat. Oleh
karena itu rjp tidak bisa diindikasikan pada klien –klien yang irreversible,
penyakit yang terminal, dan saat klien tidak mendapat manfaat apapun dari
tindakan ini.

Setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai DNR .
menurut Urden (2011), aturan mengenai DNR tersebut harus diatur dalam
suatu kebijakan tertulis yang mencakup hal-hal dibwah ini :
1) Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang
bertanggungjawab

2) Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter


yang lain.

3) Kebijakan DNR harus di tinjau ulang secara berkala

4) Pada klien yang tidak emiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh


keluarganya.

Keluarga Tn. X pun sudah melakukan informed consent untuk DNR.


Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap
suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan
valid jika memenuhi tiga element yaitu, klien harus kompeten atau sadar
untuk menyetujui, klien yang haryus diberikan informasi yang adekuat
sehingga mampu mengambil keputusan, dan klien pada saat pengambilan
keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan (khan, Haneef, 2010)

Menurut kepmenkes nomor 290 tahun 2008 tentang persetujuan


tindakan kedokteran, klien yang kompeten adalah klien dewasa atau bukan
anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar,
tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan
secara bebas.

Secara legal keinginan klien dan keluarga untuk DNR terpenuhi


tanggungjawab dan tanggunggugatnya. Sebagai perawat kritis yang dapat
kita lakukan adalah bagaimana membantu klien dan keluarga untuk
mendapatkan perawatan yang berkualitas di masa-masa akhir klien.
Seperti membantu memenuhi kebutuhan klien secara komprehensif,
psikososial, spiritual, berkolaborasi dengan tom medis dalam memenuhi
kebutuhan cairan dan nutrisi (IV line, parenteral/enteral feeding).
DAFTAR PUSTAKA

Amestiasih Tia dan Cornelia D.Y Nekada. 2017. Hubungan Pengetahuan


Perawat Tentang Do Not Resuscitation (DNR) dengan Sikap Merawat
Pasien di ICU RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jurnal Keperawatan
Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
(https://pdfs.semanticscholar.org/b8a9/29852e02cdbbf11837ebcbd8b961f880a6
17.pdf diakses pada 24 Oktober 2019)

Enggune, Meilia dkk. 2014. Persepsi Perawat Neurosurgical Critical Care Unit
terhadap Perawatan Klien Menjelang Ajal. Volume 2 Nomor 1 April 2014.
Fakultas Keperawatan Universtitas Pajajaran Bandung
(https://www.researchgate.net/publication/298056761_Persepsi_Perawat_N
eurosurgical_Critical_Care_Unit_terhadap_Perawatan_Klien_Menjelang_Aj
al_Nurses_Perception_toward_End-of-Life_Care diakses pada 24 Oktober
2019)

Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran

Khan,M.Kaleem, Hanif, Shaukat A. (2010). Self Autonomy and Informed


Consent In Clinical Setup. Indian Journal of Medical Science Vol 64 No. 8

Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach.


LippincotWilliams & Wilkins.

Nursing Theory Peaceful End of Life-Cornelia Ruland and Shirley Moore.


Nursing 5330 Theories and Therapies Texas Tech University Health
Sciences Center School of Nursing, Submitted to: Yondell Masten, October
17, 2007.
Potter dan Perry. (2010). Fundamental keperawatan buku 3. Edisi 7. Jakarta :
Salemba Medika

Tarigan, N. Immanuel. 2019. Kajian Bioetik dan Medikolegal dari “Do Not
Resuscitate”. (https://www.alomedika.com/kajian-bioetik-dan-medikolegal-
dari-do-not-resuscitate diakses pada 24 Oktober 2019)

Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis
: Mosby

Anda mungkin juga menyukai