Penyusun:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Intensive Care Unit (ICU) merupakan unit rumah sakit yang memberikan
perawatan intensif dan monitoring yang ketat bagi klien. ICU memiliki
teknologi yang canggih seperti monitor jantung dengan dukungan mesin
komputer dan ventilator mekanis (Potter & Perry, 2010). Ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan di unit perawatan intensif telah mengalami banyak
perkembangan dan kemajuan yang diharapkan dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih baik, termasuk perawatan untuk meningkatkan harapan
hidup. Kenyataannya hal tersebut tidak dapat mencegah kematian sehingga
pelayanan kesehatan yang termasuk didalamnya mengenai bagaimana cara
untuk mempersiapkan klien menghadapi kematian dengan damai dan
bermartabat dinilai penting. Kondisi klien pada lingkup keperawatan kritis
pun bervariasi, dengan kondisi yang mengancam jiwa maupun yang
menjelang ajal. Klien dengan kondisi mengancam nyawa berfokus pada
tindakan resusitasi, sedangkan pada klien yang menjelang ajal lebih berfokus
pada perawatan End of Life.
Teori end of life dari Ruland dan Moore ini menyatakan bahwa kedamaian
menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
merasakan penghormatan, merasakan kedamaian, mendapatkan kesempatan
tindakan yang dilakukan pada pasien DNR berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi
oleh persepsi masing-masing petugas kesehatan terhadap DNR itu sendiri,
begitu juga dengan perawat, masing-masing perawat memliki persepsi
mengenai DNR yang dapat dipengaruhi oleh pengetahuannya (Park et al,
2011; Amestiasih & Cornelia, 2017). Berdasarkan teori peacefull end of life
tindakan keperawatan masih dapat diberikan pada pasien-pasien DNR, seperti
mengurangi rasa nyeri yang dapat dilakukan dengan tindakan mandiri
keperawatan maupun tindakan kolaboratif.
B. TUJUAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengetahui isu end of life (DNR)
terkini di keperawatan kritis dari sisi legal etik.
ISSUE END OF LIFE (DO NOT RESUSCITATE)
A. ISU
Do Not Resuscitation (DNR) merupakan suatu keputusan yang ditujukan
pada klien dimana klien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat
bantu hidup, penghindaran Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), serta
hanya mendapatkan kenyamanan (Chu, 2002; Amestiasih & Cornelia, 2017).
DNR dilaksanakan atas permintaan klien dan keluarga keluarga serta atas
pertimbangan dari tim medis. DNR dapat dilakukan atas pertimbangan status
kesehatan klien maupun biaya perawatan (Weiss & Hite, 2000; Amestiasih &
Cornelia, 2017).
Klien dan keluarganya yang meminta untuk dilakukannya DNR pada klien
memiliki hak otonomi yang harus dihormati yang terkadang menjadi suatu
dilema bagi tim kesehatan. Namun disisi lain DNR dapat dilakukan apabila
tim medis menemukan suatu kenyataan bahwa klien memiliki harapan hidup
yang rendah, dimana kemungkinan tertolongnya sangat kecil (Michael, 2002;
Amestiasih & Cornelia, 2017). Bahkan tingkat keberhasilan CPR yang
dilakukan di ICU hanyalah 9.2% (Park, 2011). Dari hasil penelitian Oh et al
(2006) diketahui bahwa beberapa klien memiliki waktu mulai dari beberapa
jam hingga beberapa hari sebelum akhirnya meninggal. Selama sisa waktu
yang dimiliki klien, tidak diketahui bagaimana asuhan keperawatan yang
diberikan oleh perawat.
4. Biaya
Hal keempat adalah masalah biaya dengan mempertimbangkan
tindakan-tindakan yang efektif sehingga dapat meringankan biaya
perawatan. Dukungan kepada keluarga dapat diberikan juga secara
emosional karena keluarga juga terpengaruh secara fisik, emosional dan
sosial dalam merawat klien dengan penyakit terminal.
Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis
dan agama. Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar
pihak yang menolak dilakukan DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada
manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana
keputusan DNR dianggap dapat menentukan hidup dan mati seseorang
(Tarigan, 2019).
Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila
tim medis percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu
dimulai karena dokter dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia
(futile care). Hal ini memerlukan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
dokter dan tim medis lain. Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian
dari upaya resusitasi klien (Tarigan, 2019).
1. Prinsip Beneficience
3. Prinsip otonomi, klien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal.
Dalam mengambil keputusan, klien menggunakan hak otonominya, harus
dipastikan klien secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui
atau menolak tindakan medis, termasuk RJP. Klien dianggap dewasa
sesuai dengan peraturan negara yakni berusia 18 tahun. Klien juga harus
dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan. Sebelum keputusan
diambil klien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan klien.
Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan klien
mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan
berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang
diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-masing
pilihan. Klien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau
penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai
klien mampu memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi gawat
darurat sebelum klien belum mengambil keputusan dengan waktu yang
terbatas untuk mengambil keputusan, pilihan yang bijaksana adalah
memberikan perawatan medis sesuai standar (Tarigan, 2019).
4. Prinsip keadilian menjamin terpenuhinya hak-hak klien dengan
menyeimbangkan tercapainya tujuan social.
Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila mengacu
pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan
kematian dan pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan klien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit
dan pemulihan kesehatan. Dalam pandangan ini, DNR dapat dianggap
sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun belum jelas kedudukan
hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX tentang kejahatan
terhadap nyawa (Tarigan, 2019).
Penilaian keberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan
DNR dilakukan oleh dokter. Masukan klien dan keluarga adalah bagian yang
penting. Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak berada lebih prioritas
dibanding keputusan keluarga. Komunikasi menjadi bagian penting dalam
pengambilan keputusan DNR. Klien baru akan dapat memberikan keputusan
setelah dilakukan komunikasi yang baik oleh dokter. Bentuk komunikasi
tersebut dan hasilnya harus didokumentasikan secara baik. Perlu dipahami
bahwa pemahaman dokter atau tenaga medis lain mengenai DNR tidak sama
dengan apa yang klien dan keluarganya pahami. Beberapa klien mungkin
memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obat tertentu, yang lain
mungkin memikirkan DNR berarti tidak bersedia dilakukan RJP namun
masih menginginkan usaha maksimal dan obat-obatan bahkan bersedia
dirawat di ruang rawat intensif. Dokter harus menyebutkan dengan jelas
bahwa DNR berarti RJP tidak akan dilakukan bila terjadi kasus henti nafas
dan henti jantung (Tarigan, 2019).
DNR harus dituliskan dengan jelas pada status klien. Dokumentasi yang
dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil.
Penjelasan yang diberikan dokter, termasuk pertanyaan yang dikeluarkan
klien serta jawabannya harus dituliskan dalam catatan. Pendokumentasian
tersebut harus diikuti dengan pemberian tanda khusus yang dapat dikenali
oleh semua petugas kesehatan. Keputusan DNR bukan merupakan keputusan
yang kaku. Bila dalam perjalanan penyakitnya klien berkeinginan mengubah
keputusan DNRnya, harus dilakukan pendokumentasian yang baik.
Keputusan DNR harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh
semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan klien,
misalnya dengan menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya (Tarigan,
2019).
F. KASUS
Tuan X. 76 tahun merupakan mantan seorang kepala desa. Tn. X
sekarang tinggal di rumah bersama istri dan satu anaknya. Sedangkan 3 anak
yang lain ada diluar kota. Dalam menjalani masa pensiun menikmati masa
pensiunnya, Tn. X bersama istrinya sering jalan-jalan menyapa tetangga
sekitar dan hal positif lainnya. Sikapnya yang ramah membuatnya sangat
dihargai oleh tetangga sekitar.
Tn. X merupakan penderita tekanan darah tinggi, gout dan rematik.
Sebulan sebelumnya Tn. X mengalami serangan stroke namum mampu
bertahan. Tapi seminggu belakangan kondisi Tn. X mulai menurun dan sering
kesakitan. Tn. X sendiri masih mampunyai adik yang masih hidup dan sangat
dekat diwaktu muda dulu, namun sekarang sudah jarang bertemu. Tn. X
berharap dapat bertemu dengan adiknya tersebut untuk terakhir kalinya. Di
lain sisi, sang adik yang berada di luar kota tidak mampu mengadakan
perjalanan yang jauh, Pasein merasa sedih mendengarnya.
Banyak tetangga yang mengunjunginya di rumah sakit saat ini, namun
Tn. X akhir-akhir ini ingin keadaan yang lebih tenang dan nyaman dengan
keluarganya. Dia tidak meninggalkan catatan khusus bagaimana dia ingin
meninggal, hanya menyampaikan kepada isterinya bahwa ia tidak ingin
penanganan yang berlebihan. Dan Istrinya juga telah menandatangani form
DNR.
B. REFLEKSI
1. Informasi
a. Not being in Pain
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama
diinginkan klien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).
Nyeri merupakan hal sensori yang tidak nyaman atau pengalaman emosi
yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan.
Dari kasus yang dialami oleh Tn. X Kenyamana dapat dikaji secara
fisik dan spiritual. Secara Fisik didapatkan data bahwa klien selama
seminggu terakhir mengalami rasa skit. Berdasarkan Teori EOL ini, bebas
dari rasa nyeri adalah salah satu standart yang diajukan sehingga perawat
harus memberikan intervensi untuk mengatasinya.
Di dalam teori juga disebutkan bahwa untuk mencapai keadaan
yang bebas nyeri, perawat dapat melakukan dua hal, yaitu pemantauan dan
pegelolaan rasa sakit serta intervensi baik dalam bentuk farmakologis atau
non-farmakologis. Dalam pengelolaan nyeri, perawat dapat menggunakan
metode skala nyeri untuk dapat menentukan perkembangan nyeri. Dalam
intervensi non-farmakologis, perawat dapat menggunakan tekhnik
relaksasi dan juga distraksi. Relaksasi dengan cara message atau
lingkungan yang nyaman, Distraksi dapat dilakukan dengan cara
memberikan klien tontonan atau bacaan yang sesuai dengan keinginan
klien. Untuk intervensi farmakologis, tentunya perawat harus
mengkonsultasikan-nya kepada dokter untuk pemberian obat anti-nyeri.
b. Experience of Comfort
c. Experience o Dignity
Didalam teori Peacefull EOL ada tiga standart yang dapat dijadikan
pedoman. Yang pertama adalah Mengikutsertakan klien dan pihak penting
lain dalam pengambilan keputusan. Seperti contohnya tadi adalah
keputusan tentang pembebasan rasa nyeri atau menjaga kenyamanan klien.
Perawat dapat mengikutsertakan klien dan keluarga dalam melakukan
pilihan alternati penatalaksanaan agar martabat klien terjaga dan klien
merasa dihargai. Yang kedua adalah melayani klien dengan empati,
hormat dan menghargai martabatnya. Hal ini dapat dilakukan dalam
keseharian interaksi perawat dengan klien, baik waktu tindakan atau tidak.
Menyapa klien dengan ramah setiap bertemu, menghargai cerita klien atau
sekedar tersenyum daapt memberikan makna positif. Standart terakhir
adalah menjadi perhatian terhadap kebutuhan klien. Seperti misalnya klien
terlihat menahan nyeri maka perawat dengan aktif dapat menanyakannya
dan memberikan pilihan penatalakanaannya. Keinginan klien juga menjadi
perhatian, bila mungkin klien ingin kehadiran keluarga, maka perawat
tentunya dapat mengakomodasikannya dengan menghubungi keluarga
klien.
d. Being at peace
Ada 5 kritetia yang diberikan oleh Ruland and Marlyn dalam poin
ini. Yang pertama adalah untuk memberikan dukungan emosional kepada
klien. Disaat menjelang akhir hidupnya, klien pasti merasakan kegelisahan
emosional. Perawat dapat memberikan intervensi psikologis yang ada
untuk membantu menenangkan klien Yang kedua adalah dengan
memonitoring kebutuhan klien akan obat anti-cemas. Dalam hal ini klien
tidak merasakan kecemasan yang berarti sehingga tidak membutuhkan
pengobatan. Ketiga adalah dengan menunjukkan kepercayaan. Agar klien
merasakan kedamaian, maka dianjurkan dalam teori ini untuk mewujudkan
hubungan saling percaya antara perawat dengan klien. Yang keempat
adalah memberikan bimbingan kepada klien dan orang terdekat dalam
permasalahan praktek yang dihadapi semisal klien atau keluarga
mengalami masalah terhadap bantuan memberi makan klien. Terakhir
adalah dengan menyediakan bantuan fisik dari caregiver lain, jika
diperlukan.
2. Refleksi
Akan tetapi RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke semua klien,
karena sifatnya yang invasive dan dapat bermakna sebagai suatu
pelanggaran hak individu untuk meninggal secara bermartabat. Oleh
karena itu rjp tidak bisa diindikasikan pada klien –klien yang irreversible,
penyakit yang terminal, dan saat klien tidak mendapat manfaat apapun dari
tindakan ini.
Setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai DNR .
menurut Urden (2011), aturan mengenai DNR tersebut harus diatur dalam
suatu kebijakan tertulis yang mencakup hal-hal dibwah ini :
1) Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang
bertanggungjawab
Enggune, Meilia dkk. 2014. Persepsi Perawat Neurosurgical Critical Care Unit
terhadap Perawatan Klien Menjelang Ajal. Volume 2 Nomor 1 April 2014.
Fakultas Keperawatan Universtitas Pajajaran Bandung
(https://www.researchgate.net/publication/298056761_Persepsi_Perawat_N
eurosurgical_Critical_Care_Unit_terhadap_Perawatan_Klien_Menjelang_Aj
al_Nurses_Perception_toward_End-of-Life_Care diakses pada 24 Oktober
2019)
Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Tarigan, N. Immanuel. 2019. Kajian Bioetik dan Medikolegal dari “Do Not
Resuscitate”. (https://www.alomedika.com/kajian-bioetik-dan-medikolegal-
dari-do-not-resuscitate diakses pada 24 Oktober 2019)
Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis
: Mosby