DI SUSUN OLEH:
NAMA :
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat
darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat.
Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual
yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup
pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A:
Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B:
Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat;
C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek
status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia
(Holder, 2002).
Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data
yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian
dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan
maslah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut
harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain.
Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada pasien yang
dilayani (Kartikawati, 2012).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang
bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya
secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan
Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian
yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat
dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat
tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses,
prosedur dan harga (Joewono, 2003).
Berpikir kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998 adalah komponen
esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan keperawatan yang bermutu seperti :
kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu, intuisi, pikiran terbuka (Rubenfeld, Barbara K. 2006).
a. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
b. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
c. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa
(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
d. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh.
Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi
korban dari kedinginan.
e. Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan
yakinkan akan ditolong.
f. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada
kondisi yang membahayakan.
g. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan
anastesi umum dalam waktu dekat.
h. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan
terdapat alat transportasi yang memadai.
Dalam beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-
masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap yang telah tersedia, maka perawat
yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap
rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa
pasien secara langsung.
a. pengertian
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan
dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan
sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat
ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage,
perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan dalam
bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini istilah tersebut
lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan berfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap
tahunnya (Pusponegoro, 2010).
b. Tujuan triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage
selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
f. proses triage
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian,
misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm mengarahkan ke ruang
perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5
menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage
bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat, misalnya bagian
trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll.
Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut
harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat,
pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang harus
didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan
dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang
awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual
atau mengalami sesak nafas, sinkope, atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia mengalami
gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu.
Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak
keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data
subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)
h.Dokumentasi triage
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan
hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan
objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional berperan
sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yang
objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan
mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan
computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat
telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan
evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi
serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gadar bertindak
sebagai advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam
keselamatan pasien (Anonimous, 2002).
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1. Waktu dan datangnya alat transportasi
2. Keluhan utama
3. Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4. Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5. Penempatan di area pengobatan yang tepat (missal : cardiac versus trauma, perawatan minor vs
perawatan kritis)
6. Permulaan intervensi (missal : balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur diagnostic seperti
pemeriksaan sinar X, EKG, GDA, dll
Pengertian peran : tl yg diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang dengan kedudukan dalam
sistem fungsi : pekerjaan / segala sesuatu yang harus dilakukan sesuai peran gawat darurat medik
: peristiwa yang menimpa seseorang dengan tiba-tiba dapat membahayakan jiwa, memerlukan
tindakan medik segera dan tepat
Ird : suatu tempat / unit di RS yg memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus & peralatan, yg
memberikan yan ps gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien gd
yang terorganisir.
Peran perawat :Sesuai lokakarya nasional keperawatan th 1993
a.Sebagai tuan rumah yg baik bagi pasien / anggota tim kes. Lain
e. Sebagai komunikator
f. Merawat & menjaga keutuhan alat agar siap pakai
g. Sebagai operator untuk alat kedokteran : ekg, defibrilator, respirator, nebulizer,
monitor jantung, air viva dll.
h. Sebagai pemberi askep pasien gawat darurat selama 24 jam terus menerus
berkesinambungan, turut serta dalam klb.
DEPKES 1999 :
2. Persyaratan :
4. Tugas – tugas :
12. Mengatur pemanfaatan sumber daya secara tepat guna dan hasil guna
2. Persyaratan :
3. Tanggung jawab : Secara operasional bertanggung jawab kepada Kepala Ruang Rawat
4. Tugas-tugas :
2. PERSYARATAN :
4. Tugas – tugas :
o Bersama kepala ruangan melakukan serah terima tugas pada setiap pergantian
dinas
o Mengkoordinir kegiatan pelayanan keperawatan di kelompoknya
o Melaksanakan asuhan keperawatan
o Menganalisa masalah & melakukan tindak lanjut
o Membuat laporan
o Mengawasi kinerja perawat anggota kelompoknya
o Menjaga & memelihara lingkungan kerja agar tetap bersih dan rapih
o Menciptakan kerjasama serta koordinasi yg harmonis antara sesama perawat dan
tim kesehatan lain
o Mentaati peraturan & kebijakan yg telah ditetapkan rumah sakit
E. Perawat pelaksana
2. Tanggung jawab :
3. Tugas-tugas:
Sudah pasti sakit itu tidak menyenangkan, baik bagi si sakit maupun anggota
keluarganya sebab harus menjaga di rumah sakit. Hal ini membuktikan orang ingin sehat, maka
tetaplah menjaga kesehatan, sebab lebih baik menjaga kesehatan dari pada mengobati
penyakit.Tidak enak terbaring di rumah sakit, begitu juga buat mereka yang menjaga pasien.
Perasaan tidak enak karena rumah sakit bukan lingkungan yang nyaman bagi orang sehat.
Semakin tidak nyaman bila penyakit pasien yang dijaga semakin parah. Perasaan was-
was sangat besar ketika pasien harus masuk ruang Intensif Care Unit (ICU) yakni ruang khusus
merawat pasien dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan penuh stress,
bagi bagi pasien maupun keluarganya, bahkan paramedis yang bekerja di ruangan tersebut.Hal
ini karena ICU tempat perawatan pasien kritis, memiliki resiko tinggi terjadi kegawatan yang
harus cepat diantisipasi atau ditangani. Pasien di ruang ICU butuh dokter dan perawat yang
terampil.
Menurut Hudak dan Gallo (1997), peningkatan pasien berpenyakit kritis, peningkatan
teknologi yang makin kompleks, peningkatan populasi usia lanjut, dilema etik, tekanan biaya dan
perubahan dalam sistem pemberian pelayanan termasuk keperawatan, merupakan masalah yang
dihadapi perawat (paramedis) dan dokter. Seorang dokter dan perawat di ICU harus professional
bertanggungjawab menjamin pasien kritis dan keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan
yang optimal.
Proses keperawatan harus sistematis, perawat dan dokter harus cepat mengevaluasi
masalah pasien maka paramedis harus memiliki keahlian meredam rasa takut pasien dan
keluarganya. Bila tidak akan menimbulkan reaksi stres yang serius. Paramedis harus seimbang
dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien dan keluarganya dalam lingkungan yang
nyaman, tidak menimbulkan stress dan dehumanis.
Dukungan psikososial sangat dibutuhkan pasien dan keluarganya dari paramedis. Semua
ini ada dalam manajemen perawatan pasien yang tepat. Hal ini berlaku buat semua pasien yang
terbaring di rumah sakit, baik ketika berada di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), di kamar rawat
inap dan di ruang ICU.
Perawatan dan pelayanan yang baik, standar sangat membantu mengatasi penyakit yang
diderita pasien dalam penyembuhan penyakit. Pasien dalam penanganan perawatan yang tidak
baik, tidak standar akan memberikan efek negatif kepada pasien sebab dapat mempengaruhi kon-
disi pasien dari kondisi biasa menjadi kondisi kritis.
Pertimbangan ini harus diprioritaskan, diutamakan para dokter dan paramedis dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Perawatan harus
selalu mempertimbangkan aspek biologis, psikologis, sosiologis, spiritual secara komprehensif.
Tegasnya asuhan keperawatan kepada pasien tidak hanya masalah patofisiologi tetapi juga
masalah psikososial, lingkungan dan keluarga yang secara erat terkait dengan penyakit fisik
pasien.
Konsep psikososial masih banyak yang belum maksimal melakukan di rumah sakit
Indonesia, pada hal psikososial merupakan bagian utama dari pelayanan rumah sakit. Pengala-
man pasien terhadap pelayanan psikososial sangat membantu penyembuhan penyakit
pasien.Sebaliknya pengalaman pasien yang belum mendapatkan pelayanan psikososial yang baik
kerap sekali membuat penyakit yang diderita semakin serius, terkadang membuat pasien menjadi
kritis.Psikologi dari Bahasa Yunani kuno sama dengan psyche: jiwa, logos. Dalam arti bebas
psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau mental.
Psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena sifatnya abstrak.
Psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa aau mental tersebut.Hal ini sejalan
dengan konsep World Health Organization (WHO) pada tahun 1948 yang mendefinisikan
kesehatan adalah sebagai keadaan lengkap dari fisik, mental, sosial dan kesejahteraan, bukan ha-
nya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi kesehatan tidak sekedar penyakit maka kese-
hatan multidimensionalitas.Kesehatan masuk masalah kesejahteraan sosial dalam konseptual
individu sebab pada dasarnya manusia itu makhluk sosial.Tegasnya kesehatan bukan hanya
aspek fisik, biologi dan fisiologi saja tetapi masalah psikologi menjadi sangat penting buat para
pasien yang terbaring di rumah sakit, begitu juga buat keluarga pasien.Tidak bisa dibantah, ilmu
psikologi tidak hanya menganalisis penyakit, tetapi juga masalah gangguan psikologis untuk
kesembuhan para pasien di rumah sakit.Sudah pasti pasien yang terbaring di rumah sakit
mengharapkan kesembuhan. Rasa was-was mempengaruhi tingkat kecemasan pasien dan
keluarga pasien yang dirawat di rumah sakit. Baik yang dirawat di kamar, dirawat di ruang ICU
pasti memiliki kecemasan, apakah penyakit yang diderita bisa sembuh.Kecemasan pasien dan
keluarga pasien disebabkan kurangnya informasi dan komunikasi antara paramedis dengan
pasien dan keluarga pasien.
Masalah kecemasan pasien dan keluarga pasien ketika dirawat di rumah sakit seharusnya
mendapat perhatian serius sebab tidak dapat dipisahkan dengan kesembuhan pasien dari penyakit
yang dideritanya. Kondisi yang tidak nyaman, standar di lingkungan rumah sakit menimbulkan
masalah psikologis pasien yang bisa membuat penyakit diderita tidak sembuh dan sebaliknya
bertambah buruk.Sikap, perilaku paramedis yang tidak berimpati, tidak bersahabat seperti suara
tawa, canda dan berdiskusi tentang penyakit pasien di depan pasien dan keluarganya menimbul-
kan stress. Sebaiknya semua sikap, perilaku kurang berimpati, pembicaraan dan tawa jangan
terdengar pasien. Begitu juga dengan perilaku paramedis panik, bingung membuat pasien dan
keluarga pasien stress.
Begitu juga dengan lingkungan rumah sakit yang tidak nyaman, mulai dari tempat tidur,
lampu penerangan, suara-suara yang tidak nyaman membuat pasien stress. Ketidaknyamanan
menambah kelelahan fisik dan psikis membuat penyakit semakin berjangkit. Kondisi pasien ha-
rus diperhatikan dengan sepenuh hati. Hal ini masih jarang dilakukan paramedis di rumah sakit
di Indonesia. Hasil kajian penulis tentang memperhatikan pasien dengan sepenuh hati belum di-
lakukan dengan baik disebabkan banyak faktor dan faktor yang paling utama disebabkan masih
terbatasnya jumlah paramedis, dokter dengan pasien.
Di samping itu disebabkan juga karena paramedis kurang memahami kerjanya secara
sempurna. Kajian psikologis belum dilakukan sehingga paramedis cederung bekerja rutinitas
bagaikan mesin, pada hal yang dihadapi bukan mesin akan tetapi manusia. Solusi yang harus
dilakukan yakni menyeimbangkan jumlah paramedis, dokter dengan pasien di rumah sakit.
Melengkapi sarana dan prasarana rumah sakit minimal pada tahap standar. Paling utama lagi
mempersiapkan paramedis yang bekerja sepenuh hati dalam merawat pasien.
Kondisi ini penting sebab masih sedikit paramedis dan dokter pemula belum diberikan
pemahaman psikologi orang sakit, para dokter pemula di rumah sakit masih banyak berperilaku
tidak standar di depan pasien dan keluarganya. Hal ini bisa diminimalkan dengan memberikan
pemahaman dan ilmu tentang penyembuhan penyakit yang diderita pasien dengan perawatan dan
pengobatan sepenuh hati, yakni menghindari timbulnya stress bagi pasien dan keluarganya.
Pengkajian primer dan sekunder (Primary and secondary survey) mencerminkan aspek
menyeluruh dari pengkajian pasien. Pengkajian ini utamanya digunakan pada kasus trauma,
namun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada semua kasus. Hasil pengkajian
menggambarkan kondisi klinis pasien secara menyeluruh.
Prosedur
1. Pengkajian Primer
Tujuan dilakukannya pengkajian primer adalah mengidentifikasi dan menangani dengan segera
kondisi yang mengancam nyawa. Urutan pengkajian primer adalah DRABC (Danger, Response,
Airway, Breathing dan Circulation), kecuali pada kasus cardiac arrest urutannya dibalik menjadi
DRCAB, mengikuti perubahan pedoman yang ada.
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder ditujukan untuk mendapatkan riwayat rinci bersamaan dengan TTV,
kemudian melakukan pemeriksaan fisik terfokus berdasarkan pada tanda dan riwayat pasien.
Urutan pengkajian sekunder adalah pengkajian riwayat pasien, pemeriksaan TTV dan
pemeriksaan fisik. Berikut langkah—langkahnya:
2.17 Isu end of life di keperawatan gawat darurat
Secara etimologi death berasal dari kata deeth atau deth yang berarti keadaan mati
atau kematian. Sedangkan secara defenitif, kematian adalah terhentinya fungsi jantung
dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. Ini dapat
dilihat dari tiga sudut pandang tentang defenisi kematian,yakni, kematian
jaringan;kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapat pulih; dan kematian klinik,
yakni kematian orang tersebut.
Keadaan Termal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada
harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu
penyakit atau suatu kecelakaan.
Kematian adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami
atau menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan
suatu kehilangan.
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup
dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan
dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup
semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit
degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan
melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang panjang.
Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidakberdayaan, dan akhirnya
kematian. Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis
dan terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik
untuk berhadapan dengan ancaman kematian.
Macam tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap
Kematian
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat
menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya.
Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh,
kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang
bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat
akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.
Peran Keluarga
Dalam konsisi kritis, kehadiran keluarga di sisi pasien juga sangat berguna sebagai saksi
terhadap semua tindakan yang telah dilakukan. Dengan demikian saat kondisi pasien
dinyatakan meninggal setelah dilakukan tindakan resusitasi, maka keluarga akan merasa
bahwa usaha sudah benar-benar dilaksanakan secara maksimal sehingga keluarga akan
memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim kesehatan dan pasien
dianggap meninggal dengan tenang.
Kehadiran keluarga juga akan memberikan support dan kenyamanan pada pasien,
mempercepat proses pengambilan keputusan, memahami situasi kritis, membantu proses
koping dan berduka, membantu menurunkan kecemasan dan ketakutan anggota keluarga lain
(Kosowan and Jenses, 2010).
Namun, pada beberapa kondisi, keluarga pasien seharusnya tidak diijinkan berada di
samping pasien saat proses RJP. Contoh kondisi yang tidak memperbolehkan keluarga
dihadirkan di samping pasien adalah kondisi emosi anggota keluarga yang labil, sehingga
dikhawatirkan akan mengganggu proses RJP.
Kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi juga berdampak kepada perawat maupun
tim kesehatan lain, diantaranya berdampak pada tingkat kepercayaan diri dalam melakukan
tindakan. Akan tetapi kepercayaan diri tersebut akan tumbuh selama ada edukasi, policy serta
prosedur yang jelas tentang kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi.
Aspek Empati
Empati merupakan sebuah pengalaman untuk melihat tingkat emosi orang lain
dimana lebih lanjutnya empati dapat mendatangkan hasil klinis yang baik dari
komunikasi dan trust yang dibangun antara perawat-klien. Empati itu sendiri dapat
muncul ketika pasien merasakan sakit secara fisik khususnya pasien dengan terminal
kehidupan. Dalam empati bisa mencakup beberapa aspek yaitu aspek compassionate
care, emotional detachment, dan perspective taking.
Aspek compassionate care merupakan aspek yang berfokus pada memberikan kasih
sayang serta membangun sebuah hubungan saling percaya antara pasien-keluarga-
perawat. Salah satu dari empat komponen penting dalam aspek compassionate care pada
perawat adalah sebuah hubungan yang baik atas dasar kemampuan perawat untuk
memahami apa yang pasien rasakan baik itu bahasa tubuh ataupun pernyataan verbal dari
pasien. Selain itu dalam aspek compassionate care, terdapat hubungan emosional dalam
empati merupakan suatu respon emosi yang atas apa yang orang lain butuhkan, termasuk
didalamnya perasaan sedih, merasa dalam penderitaan atau merasakan ketidaknyamanan.
Aspek emotional detachment merupakan aspek yang menerangkan gambaran empati
yang dibangun atas dasar kesadaran diri sendiri untuk memahami apa yang dirasakan
merasakan keadaan emosional orang lain (pasien-keluarga). Aspek memahami perasaan klien
mendatangkan dampak kepuasan langsung bagi outcome pasien. Selain itu memahami serta
mengerti apa yang pasien rasakan terbukti menurunkan tingkat stress pada pasien dengan
fase terminal kehidupan. Perawat dalam bertindak (pemberian asuhan keperawatan) harus
mengidentifikasi kemampuan diri dalam membina hubungan teraputik yang baik dengan
pasien. Pasien dengan keadaan kritis tidak memperoleh hubungan terapeutik dalam
pemberian asuhan keperawatan, tentunya akan tidak memberikan hasil yang maksimal dalam
proses peningkatan kualitas hidup pasien.
Aspek perspective taking merupakan aspek yang mendalami tentang bagaimana kita
melihat dan memandang sudut pandang orang lain secara alamiah dari diri kita sendiri.
Aspek perspective taking merupakan salah satu kemampuan untuk meningkatkan
kefektifitasan pemberian empati pada pasien, kemampuan itu berupa cara perawat dalam
membangun hubungan terapeutik yang baik pada pasiennya. Selain itu dalam aspek
perspective taking dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya yaitu kemampuan
untuk mendengarkan serta mengerti atas pengalaman apa yang sudah dilalui oleh pasien serta
berdasarkan sudut pandang dari pasien itu sendiri.
2.18 Etik legal Keperawatan Gadar
Etik ditujukan utk mengukur perilaku yg diharapkan dari mns atau kelompok
tertentu/profesi tertentu seperti profesi keperawatan, maka aturannya mrpk suatu kesepakatan
dari klp tersebut yg disebut kode etik.
1.Autonomy
Berkaitan dg hak sso utk membuat keputusan bagi dirinya misalnya seorg pasien yg akan
mengalami suatu tindakan seperti pembedahan, keputusan hrs diputuskan oleh pasien itu sendiri,
tetapi tenaga kesehatan berkewajiban memberikan informasi yg rinci shg pasien membuat
keputusan scr benar.
Kewajiban utk tdk menimbulkan kerugian atau cedera bagi org lain apalagi membunuh.
Perawat akan bersikap hati-hati, teliti dan cermat.
4. Veracity (jujur).
Kewajiban menyampaikan atau mengatakan sesuatu dengan benar, tidak berbohong apalagi
menipu. Perawat berbicara benar, terbuka shg dapat dipercaya.
5.Justice (adil).
Kewajiban berlaku adil kpd semua org. Perawat berlaku adil, tdk membeda-bedakan pasien tg
dirawat baik aspek sosial, agama, suku dll.
6. Fidelity (komitmen).
Kewajiban utk setia atau loyal dg kesepakatan atau tanggung jwb scr bersungguh2 thd tugas
bebannya.
Kondisi klien menyebabkan klien tdk mampu mengambil keputusan utk tindakan kesnya.
Penggunaan bertehnologi tinggi dan kondisi klien yg kritis sering membuat asuhan yg diberikan
berfokus kpd perbaikan kondisi fisik shg kurang melakukan :
Penjagaan mutu askep yang blm optimal, kurangnya kemampuan menggunakan proses kep,
monitoring dan evaluasi tindakan & pendidikan yg berkelanjutan utk perawat.
PENGERTIAN
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran nafas yang mengalami radang kronik
bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh faktor resiko tertentu, jalan nafas
menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mucus, dan
meningkatnya proses radang (almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa
pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Genetik merupakan faktor predisposisi dari asma bronkhial.
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contohnya: debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contohnya: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contohnya: perhiasan, logam, dan
jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma. Stress juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma.Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi
lalu lintas.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
olah raga yang berat.
C. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas.Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen menyebabkan
degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan
konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan
permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan
terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah
bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala awal :
a. Batuk
b. Dispnea
c. Mengi (whezzing)
d. Gangguan kesadaran, hyperinflasi dada
e. Tachicardi
f. Pernafasan cepat dangkal
2. Gejala lain :
a. Takipnea
b. Gelisah
c. Diaphorosis
d. Nyeri di abdomen karena terlihat otot abdomen dalam pernafasan
e. Fatigue ( kelelahan)
f. Tidak toleran terhadap aktivitas: makan, berjalan, bahkan berbicara.
g. Serangan biasanya bermula dengan batuk dan rasa sesak dalam dada disertai pernafasan
lambat.
h. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang disbanding inspirasi
i. Sianosis sekunder
j. Gerak-gerak retensi karbondioksida seperti : berkeringat, takikardia, dan pelebaran
tekanan nadi.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sputum
2. Pemeriksaan darah
3. Foto rontgen
4. Pemeriksaan faal paru
5. Elektrokardiografi
F. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
a. Airway
Batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot bantu pernafasan
(retraksi otot interkosta)
b. Breathing
Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi, dyspnea, takipnea, taktil fremitus
menurun pada palpasi, suaa tambahan ronchi, hiperresonan pada perkusi.
c. Circulation
Hipotensi, diaphoresis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus parodexus
> 10mm.
2. Pengkajian sekunder
a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
2) Riwayat kesehatan dahulu
3) Riwayat kesehatan keluarga
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
1) Tekanan darah
2) Suhu
3) Respirasi
4) Nadi
c. Pemeriksaan fiisik
1) Kulit
2) Kepala
3) Mata
4) Telinga
5) Hidung
6) Mulut
7) Leher
8) Thorax: jantung dan paru
9) Abdomen
10) Ekstremitas
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau immobilisasi
H. INTERVENSI
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan masalah gangguan pertukaran
gas dapat teratasi dengan criteria hasil:
a. Oksigenasi dan ventilasi adekuat
b. Suara nafas bersih
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi
Respiratory monitoring
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama, dan usaha respirasi
b. Monitor suara nafas
c. Monitor pola nafas
d. Monitor kelelahan otot diafragma
e. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan
f. Auskultasi suara nafas
g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasil
h. Kolaborasi pemberian bronkodilator
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan jalan nafas kembali efektif
dengan criteria hasil:
a. Respirasi dalam batas normal
b. Irama pernafasan teratur
c. Oksigenasi adekuat
Intervensi:
Manajemen jalan nafas
a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi udara
b. Monitor pernafasan dan batuk
c. Monitor status respiratory dan oksigenasi
d. Keluarkan secret dengan batuk efektif atau dengan suction
e. Berikan threatmen aerosol sesuai kebutuhan
f. Berikan therapy oksigen sesuai kebutuhan
g. Regulasi intake cairan untuk mencapai keseimbangan cairan
h. Auskultasi suara nafas
Intervensi
Therapy aktivitas
a. Kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas
b. Bantu pasien untuk memilih aktivitas sesuai kemampuan
c. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
d. Bantu pasien untuk mendapatkan alat bantu untuk aktivitas
e. Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan
f. Berikan penguatan positif
g. Evaluasi respon fisik, emosi, social, dan spiritual
A. PENGKAJIAN
Dilakukan oleh penulis di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Banyumas pada tanggal
26 desember 2017, pukul 08.15 WIB dengan sumber data dari pasien, keluarga pasien, dan
rekam medis. Dari penkajian tersebut didapatkan identitas pasien adalah Tn.A, umur 46 tahun,
berasal dari suku jawa, Indonesia. Yang beralamat di Somagede, Banyumas. Pasien beragama
islam, pendidikan terakhirnya adalah SD,berjenis kelamin laki-laki, diagnose medis asma attack
Alasan pasien masuk rumah sakit yaitu pasien mengeluhkan sesak nafas. Pasien
mengalami sesak nafas sejak satu jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Menurut keluarga pasien,
pasien mempunyai riwayat asma sejak 2 tahun yang lalu. Di keluarga pasien ada keluarga yang
mengalami sesak nafas, yaitu bapak pasien.
Pada pengkajian primer didapatkan data pada Airway: jalan nafas paten, ada sumbatan
yaitu sekret, ada suara nafas tambahan, pasien dapat berbicara dengan jelas. Pada Breathing:
Irama nafasnya teratur frekuensi nafas 30 x/menit,saat di auskultasi terdengar suara wheezing.
Pada Circulation: Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 78x/menit, suhu 36°c, akeral dingin, kulit
lembap, kapilerisasi <2 detik. Pada Disability: pasien sadar penuh, GCS E4 M6 V5.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data bentuk kepala Tn. A adalah mesochepal, rambut
berwarna hitam, pasien tidak mengalami gangguan penglihatan, tidak ada luka pada wajah,
pasien terpasang oksigen 3 liter dengan nasal kanul, pasien tidak terpasang NGT,pada mulut
pasien tidak ada sariawan, mukosa bibir lembab, pasien tidak menalami gangguan pendengaran,
pada leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, pengembangan dada simetris, ada nyeri tekan,
terdengar suara mengi (wheezing), perut pasien terihat warna merata, timpani, tidak ada nyeri
tekan, bising usus 18 x/menit,pasien terpasang infuse Ringer Laktat di tangan kanan, pada kaki
tidak terdapat edema,pasien tidak terpasang DC.
Therapy yang diberikan pada Tn. A yaitu infuse Ringer Laktat + drip aminofilin 1//2
gram, injeksi ranitidine 50 mg/ 12 jam, injeksi cefotaxim 1 gram, injeksi aminopilin ½ ampul,
injeksi MP, oksigen 3 liter, nebulizer combivent 2.5mg/2.5ml dan flexotit 0.5mg/2ml.
B. ANANLISA DATA
No. Data Etiologi Problem
1 DS: Sesak nafas Intoleramsi
- Pasien mengatakan sesak aktivitas
nafas setelah beraktifitas
- Pasien mengatakan
aktivitasnya terbatas
- Pasien mengatakan cepat
lelah
DO:
- Pasien tampak lelah
- Pasien tampak membatasi
aktivitasnya
- Pasien sesak nafas setelah
beraktivitas
2 DS: Hiperventilasi Pola nafas tidak
- Pasien mengatakan sesak efektif
nafas
- Pasien mengatakan lemas
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- Nafas tidak teratur
- TD: 140/90 mmHg
- N: 112 x/m
- R: 30 x/m
3 DS: Penumpukan Bersihan jalan
- Pasien mengatakan sesak secret nafas tidak
nafas efektif
- Pasien mengatakan batuk
terus
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- RR: 30 x/m
- Terdengar bunyi mengi
saat ekspirasi
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas
- Pasien mengatakan lemas
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- TD: 140/90 mmHg
- N: 112 x/m
- S: 36°C
R: 30 x/m
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas
- Pasien mengatakan batuk terus
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- RR: 30 x/m
- Terdengar bunyi mengi saat ekspirasi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan sesak nafas.
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas setelah beraktifitas
- Pasien mengatakan aktivitasnya terbatas
- Pasien mengatakan cepat lelah
DO:
- Pasien tampak lelah
- Pasien tampak membatasi aktivitasnya
- Pasien sesak nafas setelah beraktivitas
Evaluasi
S: pasien mengatakan masih sesak saat beraktivitas
Pasien mengatakan cepat lelah
O: pasien tampak lemas dan lelah
RR: 26x/menit
Aktivitas pasien terbatas
A: masalah belum teratasi
No. Indikator IR ER A
1 Beraktivitas tanpa disertai peningkatan TD, N, 2 5 3
R
2 TTV normal 2 5 4
3 Ventilasi adekuat 2 5 4
Keterangan:
6. Gangguan ekstrim
7. Gangguan berat
8. Gangguan sedang
9. Gangguan ringan
10. Tidak ada gangguan
P: lanjutkan intervensi
Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
Beri penguatan positif
Pada BAB ini penulis akan membahas kesenjangan antara teori dengan studi kasus
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Asma pada tanggal 26 Desember 2017, pembahasan
yang penulis lakukan akan meliputi pengkajian, diagnose keprawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah salah satu dari komponen proses keperawatan yang merupakan suatu
usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan pasien, meliputi usaha
pengumpulan data dan membuktikan data tentang status kesehatan seorang pasien. Keahlian
dalam melakukan observasi, komunikasi, wawancara, dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk mewujudkan fase proses keperawatan (Muttaqin,2009).
Penulis dalam mendapatkan data dari pasien menggunakan teknik pengumpulan data
dengan wawancara, observasi dan studi pustaka. Pada saat pengkajian penulis sedikit
menemukan kesulitan karena pasien saat dikaji pasien dalam keadaan sesak nafas, namun pada
akhirnya penulis mampu menggali data tentang pasien.
Pada saat pengkajian, penulis memperoleh data fokus bahwa pasien mengalami sesak
nafas satu jam sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien mempunyai riwayat asma sejak 2 tahun
yang lalu. Berdasarkan hasil observasi, penulis memperoleh data yaitu pasien tampak
menggunakan otot bantu nafas, pasien tampak lemas.
Pada program therapy yang diberikan pada Tn. A yaitu infuse Ringer Laktat + drip
Aminofilin ½ ampul (120mg/5ml), injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam, Ranitidine berfungsi
sebagai pengurang produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluh hati dan
masalah asam lambung tinggi lainnya. injeksi cefotaxim 1 gram, ini diberikan untuk mengobati
infeksi pernafasan bagian bawah. injeksi Aminopilin ½ ampul (120mg/5ml), ini diberikan untuk
mengobati gangguan pernafasan. injeksi Methylprednisolon 125mg, digunakan untuk mengobati
infeksi dari reaksi alergi. oksigen 3 liter, nebulizer combivent 2.5mg/2.5ml ini difungsikan untuk
melebarkan jalan nafas Tn. A dan flexotide 0.5mg/2ml ini difungsikan untuk pencegahan
serangan asma agar tidak terjadi lagi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan didefinisikan sebagai penilaian klinis tentang pengalaman/ respon
individu, keluarga, kelompok, atau komunitas tehadap masalah kesehatan/ proses kehidupan
aktual atau potensial, dan memberi dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil
yang dapat dipertanggungjawabkan (NANDA, 2012).
Diagnose keperawatan berdasarkan pathway di konsep muncul 3 diagnosa keperawatan,
yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif, intoleransi aktifitas, gangguan pertukaran gas. Pada kasus
Tn. A penulis menemukan 3 diagnosa keperawatan yang sesuai dengan teori, yaitu bersihan jalan
nafas tidak efektif, intoleransi aktifitas, gangguan pertukaran gas.
C. INTERVENSI
Intervensi adalah fase ketiga dari proses keperawatan, dengan menyusun serta merancang
baaimana sesuatu dapat dicapai atau diselesaikan dengan cara tertentu, menggunakan alat
tertentu dan waktu tertentu (basford&slevin,2006)
Intervensi yang dilakukan oleh penulis sesuai dengan teori dan tidak ada perbedaan yang
berarti dengan yang ada pada kasus Tn. A.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah melakukan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan
keperawatan (Dalami,dkk, 2011)
Implementasi yang dilakukan oleh penulis dilakukan selama 3 jam yaitu tanggal 26
Desember 2017.
Implementasi yang dilakukan oleh penulis pada rabu, 26 Desember 2017 yaitu:
Melakukan pengkajian primer: airway, breathing, circulation, disability, Memeriksa tanda-tanda
vital: tekanan darah, nadi, suhu, respirasi, Mengobservasi pernafasan, Memberikan therpy
nebulizer, Memonitor pernafasan, Memeriksa saturasi oksigen, Memposisikan pasien
semifowler, Memberikan therapy oksigen 3 liter, Mengajarkan batuk efektif, Memeriksa saturasi
oksigen, Memasang infuse, Mengambil sample darah untuk pemeriksaan laboratorium,
Memberikan therapy injeksi ranitidine, MP, cefotaxim, aminopilin, Mengkaji kemampuan
berktivitas, Mengidentifikasi kemampuan beraktivitas, Menganjurkan pasien beraktifitas sesuai
kemampuan.
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengevaluasi kemajuan klien terhadap
tindakan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar serta perencanaan (dalami,dkk,2011).
Evaluasi yang dilakukan penulis dalam melakukan proses asuhan keperawatan selama 3
jam. Hasil evaluasi yang didapatkan yaitu pasien sesaknya sudah berkuran, frekuensi batuk
berkurang, pasien masih lemas dan cepat lelah. . Rencana selanjutnya yaitu pasien dibawa ke
ruang perawatan dan dilakukan perawatan oleh perawat ruangan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan
sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat,
serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien
mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat
darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas
pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut
merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang
akurat melalui pendokumentasian.
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
http://kampus2ku.blogspot.com/2017/03/pengkajian-primer-dan-sekunder-pada.html
http://msyhartinaulfa.blogspot.com/2015/05/end-of-life.html
http://yoesfeelingku.blogspot.com/2013/03/etik-legal-keperawatan-gadar.html
Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Therapy Untuk Asma Berat. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anonim. 2013. Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Jakarta: kementrian kesehatan RI; 2013. h.
85-86
Carpenito, L. J. 2000. Diagnose Keperawatan, Aplikasi Praktis Klinis, Edisi 6. Jakarta: EGC
Purnomo. 2008. Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronchial Pada
Anak. Semarang: Universitas Diponegoro