Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DI SUSUN OLEH:

NAMA :

1. ADE MELY RUSMIATUN


2. ALFIANA SOLEHAH
3. ANI ANDRIANI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1

MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Mataram,18 maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat
darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat.
Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual
yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup
pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A:
Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B:
Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat;
C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek
status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia
(Holder, 2002).
Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data
yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian
dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan
maslah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut
harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain.
Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada pasien yang
dilayani (Kartikawati, 2012).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang
bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya
secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan
Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian
yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat
dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat
tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses,
prosedur dan harga (Joewono, 2003).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Menjelaskan perawatan gawat darurat?
2. Menjelaskan peran dan fungsi perawat gawat darurat?
3. Menjelakan efek kondisi kegawatdaruratan terhadap pasien dan keluarga?
4. Menjelaskan pengkajian primer dan sekunder?
5. Menjelaskan isu end of life di keperawatan gawat darurat?
6. Menjelaskan prinsip etik pada keperawatan gawat darurat?
7. Menjelaskan proses keperawatan pada area keperawatan gawat darurat
(pengkajian,diagnose,intervensi,implementasi,dan evaluasi)?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Mahasiswa mampu memahami tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya
pendidikan kegawatdaruratan dalam keperawatan dan melakukan klasifikasi pada pasien serta
dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan nantinya.

1.4 METODE PENULISAN


Penulisan makalah ini dengan menggunakan metode studi kepustakaan yaitu dengan
cara mencari dan membaca literatur yang ada di perpustakaan, jurnal, media internet.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN


Makalah ini disusun secara teoritis dan sistematis yang tediri dari 3 bab yaitu : BAB I
adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II adalah materi tentang konsep latar belakang dan
tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP KEGAWATDARURATAN

2.1 Latar Belakang KGD


Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan
sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat,
serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien
mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat
darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas
pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut
merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang
akurat melalui pendokumentasian.
Di lingkungan gawat darurat, hidup dan mati seseorang ditentukan dalam hitungan menit.
Sifat gawat darurat kasus memfokuskan kontribusi keperawatan pada hasil yang dicapai pasien,
dan menekankan perlunya perawat mencatat kontribusi profesional mereka.
Serta diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam
mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan
kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara
mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan
Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian
yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat
dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat
tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses,
prosedur dan harga (Joewono, 2003).
2.2 Tujuan KGD
Bagi profesi keperawatan pelatihan kegawatdaruratan, dapat dijadikan sebagai aspek
legalitas dan kompetensi dalam melaksanakan pelayanan keperawatan gawat darurat yang
tujuannya antara lain:

a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan keperawatan gawat


darurat yang diberikan.
b. Menginformasikan kepada masyarakat tentang pelayanan keperawatan gawat darurat
yang diberikan dan tanggungjawab secara professional
c. Memelihara kualitas/mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
d. Menjamin adanya perlindungan hokum bagi perawat
e. Memotivasi pengembangan profesi
f. Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan

Tujuan kegawatdaruratan adalah:


a. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungs kembali dalarn masyarakat sebagaimana mestinya.
b. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh
penanganan yang Iebih memadai.
c. Menanggulangi korban bencana.

2.3 Berpikir Kritis Dalam Keperawatan

Berpikir kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998 adalah komponen
esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan keperawatan yang bermutu seperti :
kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu, intuisi, pikiran terbuka (Rubenfeld, Barbara K. 2006).

2.4 Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan


Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006)
a. T : total recall (ingatan total)
b. H : habits (kebiasaan)
c. I : inquiry (penyelidikan)
d. N : new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas)
e. K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda berpikir)

2.5 Perspektif Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan


Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian kegiatan praktek
keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan
asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgen.
Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu
apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan
transportasi yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa,
sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai
pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan.

2.6 Prinsip Gawat Darurat

a. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
b. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
c. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa
(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
d. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh.
Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi
korban dari kedinginan.
e. Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan
yakinkan akan ditolong.
f. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada
kondisi yang membahayakan.
g. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan
anastesi umum dalam waktu dekat.
h. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan
terdapat alat transportasi yang memadai.
Dalam beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-
masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap yang telah tersedia, maka perawat
yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap
rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa
pasien secara langsung.

2.7 Falsafah Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan


a. Bidang cakupan keperawatan gawat darurat: pre hospital, in hospital, post hospital.
b. Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat berhentinya fungsi
jantung dan paru yang berorientasi pada otak.
c. Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan.
d. Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit kritis karena tidak segera di
intervensi menimbulkan kerusakan organ yang akhirnya meninggal.
e. Mati klinis: henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak berfungsi untuk
sementara (reversibel). Resusitasi jantung paru (RJP) tidak dilakukan bila: kematian wajar,
stadium terminal penyakit seperti kanker yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP gagal
dipastikan fungsi otak berjalan.
f. Mati biologis: kematian tetap karena otak kerkurangan oksigen. mati biologis merupakan
proses nekrotisasi semua jaringan yang mulai dari neuron otak yang nekrosis setelah satu jam
tanpa sirkulasi oleh jantung, paru, hati, dan lain – lain.
g. Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis.
h. Fatwa IDI mati: jika fungsi pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti (irreversibel atau
terbukti kematian batang otak).

2.8 Ruang Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan


a. ICU (Intensive Care Unit)
ICU adalah ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus untuk
menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi lain. Misalnya terdapat
sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A cedera medula spinalis, cedera tulang
belakang, klien mengeluh nyeri, serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung habis jatuh
dari tangga. Dengan klien B epilepsi mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan
epilepsi dirumahnya.
Dua kasus diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat kasus tersebut,
yang meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat kondisi si klien B maka lebih
diutamakan dibandingkan dengan klien A karena pada klien B kondisi gawat daruratnya
disebabkan oleh adanya penyakit epilepsi. Sedangkan untuk klien A dalam kondisi gawat darurat
juga akan tetapi ia masuk kedalam unit atau bagian gawat darurat (UGD) bukan berarti tidak
diperdulikan.

b. UGD (Unit Gawat Darurat)


UGD merupakan unit atau bagian yang memberikan pelayanan gawat darurat kepada
masyarakat yang menderita penyakit akut atau mengalami kecelakaan. Seperti pada kasus diatas
pada klien A, ia mengalami suatu kecelakaan yang mengakibatkan cedera tulang belakang
dengan demikian yang meski dibawa ke UGD adalah yang klien A yang mengalami kecelakaan
tersebut.

2.9 Proses Keperawatan Gawat Darurat

a. Waktu yang terbatas


b. Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera
c. Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK, ICU)
d. Informasi yang terbatas
e. Peran dan sumber daya

2.10 Sasaran Pelayanan Gawat Darurat


a. Ketepatan resusitasi efektif dan stabilisasi klien gawat dan yang mengalami
perlukaan
2.11 spek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
a. Cemas
b. Histeris
c. Mudah marah

2.12 Pengkajian terhadap prioritas pelayanan


Perubahan tanda vital yang signifikan (hipo/hipertensi, hipo/hipertermia, disritmia, distres
pernafasan).
a. Perubahan/gangguan tingkat kesdaran (LOC)
b. Nyeri dada terutama pada pasien berusia > 35 tahun
c. Nyeri yang hebat
d. Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dengan penekanan langsung
e. Kondisi yang dapat memperburuk jika pengobatan ditangguhkan
f. Hilang penglihatans ecara tiba-tiba
g. Perilaku membahayakan, menyerang
h. Kondisi psikologis yang terganggu/perkosaan

2.13 sejarah triage


Penggunaan istilah triage ini sudah lama berkembang. Konsep awal triage modern yang
berkembang meniru konsep pada jaman Napoleon dimana Baron Dominique Jean Larrey (1766 –
1842), seorang dokter bedah yang merawat tentara Napoleon, mengembangkan dan
melaksanakan sebuah system perawatan dalam kondisi yang paling mendesak pada tentara yang
datang tanpa memperhatikan urutan kedatangan mereka. System tersebut memberikan perawatan
awal pada luka ketika berada di medan perang kemudian tentara diangkut ke rumah sakit/tempat
perawatan yang berlokasi di garis belakang. Sebelum Larrey menuangkan konsepnya, semua
orang yang terluka tetap berada di medan perang hingga perang usai baru kemudian diberikan
perawatan.
Pada tahun 1846, John Wilson memberikan kontribusi lanjutan bagi filosofi triase. Dia
mencatat bahwa, untuk penyelamatan hidup melalui tindakan pembedahan akan efektif bila
dilakukan pada pasien yang lebih memerlukan.
Pada perang dunia I, pasien akan dipisahkan di pusat pengumpulan korban secara langsung
akan dibawa ke tempat dengan fasilitas yang sesuai. Pada perang dunia II diperkenalkan
pendekatan triage dimana korban dirawat pertama kali dilapangan oleh dokter dan kemudian
dikeluarkan dari garis perang untuk perawatan yang lebih baik. Pengelompokan pasien dengan
tujuan untuk membedakan prioritas penanganan dalam medan perang pada perang dunia I,
maksud awalnya adalah untuk menangani luka yang minimal pada tentara sehingga dapat segera
kembali ke medan perang.
Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di medan perang. Kini
istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan
terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan
serta fasilitas yang paling efisien terhadap hamper 100 juta orang yang memerlukan pertolongan
di unit gawat darurat (UGD) setiap tahunnya. Berbagai system triage mulai dikembangkan pada
akhir tahun 1950-an seiring jumlah kunjungan UGD yang telah melampaui kemampuan sumber
daya yang ada untuk melakukan penanganan segera. Tujuan triage adalah memilih atau
menggolongkan semua pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas penanganan.

a. pengertian
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan
dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan
sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat
ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage,
perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan dalam
bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini istilah tersebut
lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan berfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap
tahunnya (Pusponegoro, 2010).

b. Tujuan triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage
selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

c. prinsip dan tipe triage


“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup), The Right Patient,
to The Right Place at The Right Time, with The Right Care Provider.
1. Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang mengancam
kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen kegawatdaruratan.
2. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview.
3. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila terdapat
informasi yang adekuat serta data yang akurat.
4. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat seorang pasien dan
menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik,
prosedur diagnostic dan tugas terhadap suatu tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.
5. Tercapainya kepuasan pasien
· Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat menetapkan hasil secara
serempak dengan pasien
· Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang dapat menyebabkan
keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang sakit dengan keadaan kritis.
· Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga atau temannya.
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas, prioritas adalah
penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai penanganan yang mengacu
pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :
· Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
· Dapat mati dalam hitungan jam
· Trauma ringan
· Sudah meninggal
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :
a. Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
b. Menilai kebutuhan medis
c. Menilai kemungkinan bertahan hidup
d. Menilai bantuan yang memungkinkan
e. Memprioritaskan penanganan definitive
f. Tag warna

d. tipe triage dirumah sakit


1) Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
a. Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b. Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c. Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d. Tidak ada dokumentasi
e. Tidak menggunakan protocol
2) Tipe 2 : Cek Triage Cepat
a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregistrasi atau dokter
b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
c. Evaluasi terbatas
d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera mendapat perawatan
pertama
3) Tipe 3 : Comprehensive Triage
a. Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
b. 4 sampai 5 sistem kategori
c. Sesuai protocol

e. Klasifikasi dan penentuan prioritas


Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan utama,
riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian
fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standart, ENA tahun 1999, penentuan
triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-
faktor yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat system pelayanan
kedaruratan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung
berulang atau meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah kondisi klien
yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan
penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan
cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan ABC
(Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation / Sirkulasi), jika tidak ditolong segera
maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya
gangguan ABC dan perlu tindakan segera,
misalnya cardiac arrest, penurunan
kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan
hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah
dilakukan resusitasi maka ditindaklanjuti
oleh dokter spesialis. Misalnya : pasien
kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan
lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien
sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat
langsung diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor / tertutup, otitis
media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan gawat. Gejala dan
tanda klinis ringan / asimptomatis. Misalnya
penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu
resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang besar.
Penanganan dan pemindahan bersifat segera
yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan
nafas, tension pneumothorak, syok
hemoragik, luka terpotong pada tangan dan
kaki, combutio (luka bakar tingkat II dan III
> 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh : patah tulang besar, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola
mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka
superficial, luka-luka ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka
sangat parah. Hanya perlu terapi suportif.
Contoh henti jantung kritis, trauma kepala
kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).


TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar
minor) dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam,
gejala flu) dapat menunggu lama tanpa
bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis
media) dapat menunggu sampai 2 jam
sebelum pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul,
laserasi berat, asma); dapat menunggu
selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung,
syok); tidak boleh ada keterlambatan
pengobatan ; situasi yang mengancam hidup
Beberapa petunjuk tertentu yang harus diketahui oleh perawat triage yang mengindikasikan
kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi :
1. Nyeri hebat
2. Perdarahan aktif
3. Stupor / mengantuk
4. Disorientasi
5. Gangguan emosi
6. Dispnea saat istirahat
7. Diaforesis yang ekstern
8. Sianosis
9. Tanda vital diluar batas normal (Iyer, 2004).

f. proses triage
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian,
misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm mengarahkan ke ruang
perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5
menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage
bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat, misalnya bagian
trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll.
Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut
harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat,
pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang harus
didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan
dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang
awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual
atau mengalami sesak nafas, sinkope, atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia mengalami
gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu.
Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak
keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data
subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)

g. Alur dalam proses Triage


1. Pasien datang diterima petugas / paramedic UGD
2. Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas) untuk
menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat dilakukan di
luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
a. Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension pneumothorax, distress
pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan internal, dsb
b. Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi tidak ada ancaman
jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstremitas dengan
perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri
atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ
vital, dsb.
e. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah, kuning,
hijau, hitam.
f. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang tindakan
UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan
ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
g. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut dapat
dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase
merah selesai ditangani.
h. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah
memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
i. Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah
(Rowles, 2007).

h.Dokumentasi triage
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan
hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan
objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional berperan
sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yang
objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan
mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan
computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat
telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan
evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi
serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gadar bertindak
sebagai advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam
keselamatan pasien (Anonimous, 2002).
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1. Waktu dan datangnya alat transportasi
2. Keluhan utama
3. Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4. Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5. Penempatan di area pengobatan yang tepat (missal : cardiac versus trauma, perawatan minor vs
perawatan kritis)
6. Permulaan intervensi (missal : balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur diagnostic seperti
pemeriksaan sinar X, EKG, GDA, dll

KOMPONEN DOKUMENTASI TRIAGE


· Tanda dan waktu tiba
· Umur pasien
· Waktu pengkajian
· Riwayat alergi
· Riwayat pengobatan
· Tingkat kegawatan pasien
· Tanda-tanda vital
· Pertolongan pertama yang diberikan
· Pengkajian ulang
· Pengkajian nyeri
· Keluhan utama
· Riwayat keluhan saat ini
· Data subjektif dan data objektif
· Periode menstruasi terakhir
· Imunisasi tetanus terakhir
· Pemeriksaan diagnostic
· Administrasi pengobatan
· Tanda tangan registered nurse
Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi
pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal (dalam
bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh perawat pada saat instruksi tersebut
ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi perubahan status pasien
atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara bersamaan akan membentuk
“landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan
mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai dengan standar
yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara continue perawatan pasien berdasarkan hasil
yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien kea rah hasil dan tujuan dan
harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi pengobatan dan perkembangannya.
Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang
sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan pada saat
terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi
perawatan tindak lanjut.

Proses dokumentasi triage menggunakan system SOAPIE, sebagai berikut :


1. S : data subjektif
2. O : data objektif
3. A : analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
4. P : rencana keperawatan
5. I : implementasi, termasuk didalamnya tes diagnostic
6. E : evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang diberikan (ENA, 2005)

2.14 Peran & Fungsi Perawat Gadar


a. Pelayanan ga w at darurat yang lebih baik / prima, sangat dibutuhkan karena
b. Kasus gawat darurat meningkat akibat : Modernisasi pengangkutan dan
pembangunan, kepadatan penduduk, lingkungan pemukiman, kemajuan IPTEK.
c. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat semakin meningkat
Sifat pasien gawat darurat

d. Perlu pertolongan segera, cepat, tepat dan aman


e. Mempunyai masalah patologis, psikososial, lingkungan, keluarga
f. Tidak sabar menunggu à informasi
g. Unik
h. Perawat profesional

Perawat gawat darurat

a. Orang terdekat dengan pasien


b. Paling mengetahui perkembangan pasien saat dirawat à tanda – tanda
kegawatan
c. Mampu mengenal gejala dan pertolongan sebelum dokter datang
d. Bertanggung jawab atas perkembangan dan tindakan yang telah dilakukan
pencatatan
e. Berfikir dan berinisiatif à melihat gejala pasien syok hipovolemik à
interpretasi data à syok à Produk urine, sirkulasi perifer, kehausan,
kesadaran à atur posisi pasien, berikan oksigen, hangatkan perifer

Pengertian peran : tl yg diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang dengan kedudukan dalam
sistem fungsi : pekerjaan / segala sesuatu yang harus dilakukan sesuai peran gawat darurat medik
: peristiwa yang menimpa seseorang dengan tiba-tiba dapat membahayakan jiwa, memerlukan
tindakan medik segera dan tepat

Ird : suatu tempat / unit di RS yg memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus & peralatan, yg
memberikan yan ps gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien gd
yang terorganisir.
Peran perawat :Sesuai lokakarya nasional keperawatan th 1993

a. Sebagai tenaga pelaksana pelayanan keperawatan


b. Sebagai pengelola dalam bidang pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan
keperawatan
c. Sebagai pendidik dalam ilmu keperawatan
d. Sebagai peneliti

Peran perawat sebagai pelaksana dapat dijabarkan sbb :

a. Pemberi asuhan keperawatan (care giver)


b. Pelindung pasien (advocate)
c. Sebagai penasehat (counsellor)
d. Sebagai pendidik
e. Sebagai koordinator
f. Sebagai kolaborator
g. Sebagai konsultan

Fungsi perawat adalah sebagai berikut :

b. Fungsi independen Fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (Care)


c. Fungsi dependen Fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari
profesi lain
d. Fungsi kolaboratif Kerjasama saling membantu dlm program kes. (Perawat
sebagai anggota Tim Kes.)

Fungsi independen di ugd dijabarkan

a.Sebagai tuan rumah yg baik bagi pasien / anggota tim kes. Lain

b.Melaksanakan pengkajian, Membuat diagnosa, Merencanakan Yan Kep,


Melaksanakan Tindakan Askep, Mengevaluasi Yan Kep, Mendokumentasikan Proses
Kep.
c.Melaksanakan kebijakan dan prosedur yg berlaku di RS / UGD

e. Sebagai komunikator
f. Merawat & menjaga keutuhan alat agar siap pakai
g. Sebagai operator untuk alat kedokteran : ekg, defibrilator, respirator, nebulizer,
monitor jantung, air viva dll.
h. Sebagai pemberi askep pasien gawat darurat selama 24 jam terus menerus
berkesinambungan, turut serta dalam klb.

Kemampuan minimal petugas UGD Pedoman depkes 1990

a. Membuka & membebaskan jalan nafas (airway)


b. Memberikan ventilasi pulmoner & oksigenisasi (breathing)
c. Memberikan sirkulasi artificial dengan jalan massage jantung luar (circulation)
d. Menghentikan perdarahan, balut bidai, transportasi, pengenalan & penggunaan
obat resusitasi, membuat & membaca rekaman EKG.

B. Kempuan tenaga perawat UGD SS pedoman kerja perawat

DEPKES 1999 :

Mampu mengenal klasifikasi pasien :

o Pasien TGDG “false emergency” ( label hijau ) korban memerlukan tindakan


medis tdk segera
o Pasien DTG ( label kuning ) korban tidak gawat memerlukan pertolongan medik
untuk mencegah lebih gawat atau mencegah cacat.
o Pasien GD ( label merah ) korban dlm keadaan mengancam nyawa bila tdk segera
ditolong.
o Pasien GTD ( label putih ) pasien parah pertolongan tidak mempunyai arti bagi
penyelamatan jiwanya.
o Pasien yg meninggal/Death on Arrival ( label hitam )
o Mampu mengatasi pasien : Syok, Gawat Nafas, Gagal Jantung Paru Otak, Kejang,
Koma, Perdarahan, Kolik, Status Asthmatikus, Nyeri hebat daerah pinggul &
Kasus Ortopedi.
o Mampu Melaksanakan pencatatan & pelaporan yan askep .
o Mampu berkomunikasi : Intern, Ekstern

C. Perawat kepala ruangan gawat darurat

1. Pengertian : Seorang tenaga profesional yang bertanggung jawab dan berwenang

dlm mengelola pelayanan keperawatan di ruang rawat darurat

2. Persyaratan :

o Sehat jasmani dan rohani


o Pendidikan D3 keperawatan atau lulusan SPK ditambah pengalaman kerja
minimal 5 tahun
o Memiliki sertifikat manajemen keperawatan
o Memiliki sertifikat pelatihan rawat darurat
o Mempunyai pengalaman kerja di r. Rawat darurat
o Memiliki kemampuan memimpin
o Mau & mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan IPTEK

3. Tanggung jawab : Secara operasional bertanggung jawa kpd Ka. Instalasi

4. Tugas – tugas :

a.Melaksanakan Fungsi Perencanaan (P1) :

b. Melaksanakan Fungsi Penggerakan & pelaksanaan (P2) :

c. Melaksanakan Fungsi Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian (P3) :

1. Menentukan macam, mutu dan jumlah alat yang dibutuhkan dlm


pelayanan gawat darurat
2. Bersama staf menentukan jumlah pegawai yang dibutuhkan di ruang rawat
darurat
3. Membagi tugas harian dgn memperhatikan jumlah & tingkat kemampuan
tenaga keperawatan
4. Menyusun & mengusulkan program pengembangan staf dan pendidikan
5. Berperan aktif menyusun prosedur / tata kerja di ruang rawat darurat
6. Membuat dan menyusun program orientasi bagi pegawai baru dan pasie
7. Mentaati peraturan & kebijakan yg telah ditetapkan Rumah Sakit

8.Memantau seluruh staf dalam penerapan & pelaksanaan peraturan / etika


yang berlaku di ruang rawat darurat

9.Mengatur pelayanan keperawatan dgn kebutuhan tim dan kemampuan


tenaga

10.Membuat jadwal kegiatan (time schedule)

11.Memantau pelaksanaan tugas yang dibebankan

12. Mengatur pemanfaatan sumber daya secara tepat guna dan hasil guna

13.Mengisi dan menyimpan “anecdotal record” serta menandatangani daftar


prestasi untuk berbagai kepentingan pegawai

14. Mengawasi pelaksanaan tugas masing- masing pegawai


15. Mengawasi, mempertahankan dan mengatur alat-alat agar selalu siap
pakai dan tepat guna
16. Mengawasi pelaksanaan inventaris secara periodic
17. Menganalisa masalah dan melakukan tindak lanjut
18. Mengawasi kinerja perawat
C. Perawat pembimbing

1. Pengertian : Seorang tenaga keperawatan yang bertanggung jawab dan berwenang


dalam memberikan bimbingan kepada tenaga keperawatan serta peserta didik keperawatan di
ruang rawat darurat

2. Persyaratan :

o Sehat jasmani dan rohani


o Pendidikan D3 Keperawatan ditambah pengalaman kerja minimal 5 tahun
o Memiliki sertifikat sebagai pembimbing
o Memiliki sertifikat pelatihan rawat darurat
o Mempunyai pengalaman kerja diruang rawat darurat minimal 5 tahun
o Memiliki kemampuan mendidik & membimbing

3. Tanggung jawab : Secara operasional bertanggung jawab kepada Kepala Ruang Rawat

4. Tugas-tugas :

o Melaksanakan bimbingan & pengawasan tenaga keperawatan dan peserta didik


sesuai dengan perkembangan IPTEK keperawatan
o Berperan serta dlm kegiatan penelitian bidang kesehatan / keperawatan
o Bersama kepala ruang rawat darurat menyusun program pendidikan mengenai
askep di IRD 4. Menciptakan kerja sama serta koordinasi yang harmonis antara
sesama perawat & tim kes. Lain
o Melakukan evaluasi hasil bimbingan
o Mengikuti pertemuan ilmiah baik dibidang kesehatan maupun keperawatan
o Mentaati peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan rumah sakit
D. Ketua grup

1. Pengertian : Seorang tenaga keperawatan profesional yang bertanggung jawab &


berwenang untuk mengetuai sekelompok tenaga keperawatan dlm memberikan Askep kepada
sekelompok pasien keperawatan di ruang rawat darurat

2. PERSYARATAN :

o Sehat jasmani dan rohani


o Pendidikan D3 Keperawatan atau SPK ditambah pengalaman kerja minimal 5
tahun
o Memiliki sertifikat pelatihan rawat darurat
o Mempunyai pengalaman kerja sebagai pelaksana di ruang rawat darurat minimal
5 tahun
o Mempunyai kemampuan & mampu mengembang- kan diri sesuai dgn
perkembangan IPTEK

3. Tanggung jawab : Secara operasional bertanggung jawab kpd Ka Ruangan

4. Tugas – tugas :

o Bersama kepala ruangan melakukan serah terima tugas pada setiap pergantian
dinas
o Mengkoordinir kegiatan pelayanan keperawatan di kelompoknya
o Melaksanakan asuhan keperawatan
o Menganalisa masalah & melakukan tindak lanjut
o Membuat laporan
o Mengawasi kinerja perawat anggota kelompoknya
o Menjaga & memelihara lingkungan kerja agar tetap bersih dan rapih
o Menciptakan kerjasama serta koordinasi yg harmonis antara sesama perawat dan
tim kesehatan lain
o Mentaati peraturan & kebijakan yg telah ditetapkan rumah sakit
E. Perawat pelaksana

1. Pengertian : Seorang tenaga keperawatan yg bertanggung jawab dan diberi


wewenang, memberikan pelayanan keperawatan di instalasi rawat darurat

2. Tanggung jawab :

o Secara operasional bertanggung jawab kepada


o Ketua Grup / Kepala Ruang Rawat

3. Tugas-tugas:

o Melaksanakan serah terima setiap pergantian


o Dinas yang mencakup pasien dan peralatan
o Melakukan Askep pasien; mengkaji keadaan
o Pasien, membuat rencana keperawatan,
o Melakukan tindakan keperawatan, melakukan
o Evaluasi & melakukan pencatatan / dokumentasi
o Menyiapkan, memelihara dan menyimpan peralatan agar selalu siap pakai
o Melakukan dinas rotasi sesuai jadwal yang sudah dibuat oleh kepala ruangan
o Memelihara lingk. IRD untuk kelancaran pelayanan
o Melaksanakan program orientasi kepada pasien tentang IRD & lingkungannya,
peraturan / tata tertib yang berlaku, fasilitas yang ada dan penggunaannya
o Menciptakan hubungan kerjasama yg baik dgn pasien & keluarganya maupun
dgn anggota tim kesehatan
o Membantu merujuk pasien kepada petugas kesehatan lain yang lebih mampu
untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dapat ditanggulangi
o Mengikuti pertemuan berkala yg diadakan oleh dokter penanggung jawab IRD
atau perawat kepala ruang rawat darurat
o Menyiapkan pasien yang akan keluar meliputi :
 Menyediakan formulir untuk penyelesaian administrasi Seperti : Surat izin
pulang, surat keterangan sakit, Petunjuk diit, resep obat utk dirumah jika
diperlukan,
 Surat rujukan atau pemeriksaan ulang dan surat
 Keterangan lunas membayar.

o Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasien &


o Keluarga sesuai dengan keadaan & kebutuhan pasien, Misalnya mengenai : Diit,
pentingnya pemeriksaan
o Ulang di RS, PKM, Institusi pelayanan kes. Lainnya
o Mentaati peraturan & kebijakan yg telah ditetapkan RS

2.15 efek kondisi kegawatdaruratan terhadap pasien dan keluarga

Sudah pasti sakit itu tidak menyenangkan, baik bagi si sakit maupun anggota
keluarganya sebab harus menjaga di rumah sakit. Hal ini membuktikan orang ingin sehat, maka
tetaplah menjaga kesehatan, sebab lebih baik menjaga kesehatan dari pada mengobati
penyakit.Tidak enak terbaring di rumah sakit, begitu juga buat mereka yang menjaga pasien.
Perasaan tidak enak karena rumah sakit bukan lingkungan yang nyaman bagi orang sehat.

Semakin tidak nyaman bila penyakit pasien yang dijaga semakin parah. Perasaan was-
was sangat besar ketika pasien harus masuk ruang Intensif Care Unit (ICU) yakni ruang khusus
merawat pasien dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan penuh stress,
bagi bagi pasien maupun keluarganya, bahkan paramedis yang bekerja di ruangan tersebut.Hal
ini karena ICU tempat perawatan pasien kritis, memiliki resiko tinggi terjadi kegawatan yang
harus cepat diantisipasi atau ditangani. Pasien di ruang ICU butuh dokter dan perawat yang
terampil.

Menurut Hudak dan Gallo (1997), peningkatan pasien berpenyakit kritis, peningkatan
teknologi yang makin kompleks, peningkatan populasi usia lanjut, dilema etik, tekanan biaya dan
perubahan dalam sistem pemberian pelayanan termasuk keperawatan, merupakan masalah yang
dihadapi perawat (paramedis) dan dokter. Seorang dokter dan perawat di ICU harus professional
bertanggungjawab menjamin pasien kritis dan keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan
yang optimal.

Proses keperawatan harus sistematis, perawat dan dokter harus cepat mengevaluasi
masalah pasien maka paramedis harus memiliki keahlian meredam rasa takut pasien dan
keluarganya. Bila tidak akan menimbulkan reaksi stres yang serius. Paramedis harus seimbang
dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien dan keluarganya dalam lingkungan yang
nyaman, tidak menimbulkan stress dan dehumanis.

Dukungan psikososial sangat dibutuhkan pasien dan keluarganya dari paramedis. Semua
ini ada dalam manajemen perawatan pasien yang tepat. Hal ini berlaku buat semua pasien yang
terbaring di rumah sakit, baik ketika berada di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), di kamar rawat
inap dan di ruang ICU.

Perawatan dan pelayanan yang baik, standar sangat membantu mengatasi penyakit yang
diderita pasien dalam penyembuhan penyakit. Pasien dalam penanganan perawatan yang tidak
baik, tidak standar akan memberikan efek negatif kepada pasien sebab dapat mempengaruhi kon-
disi pasien dari kondisi biasa menjadi kondisi kritis.

Pertimbangan ini harus diprioritaskan, diutamakan para dokter dan paramedis dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Perawatan harus
selalu mempertimbangkan aspek biologis, psikologis, sosiologis, spiritual secara komprehensif.
Tegasnya asuhan keperawatan kepada pasien tidak hanya masalah patofisiologi tetapi juga
masalah psikososial, lingkungan dan keluarga yang secara erat terkait dengan penyakit fisik
pasien.

Bagian utama dari pelayanan

Kehadiran rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit para pasien. Menyembuhkan


penyakit tidak semata-mata masalah patofisiologi tetapi juga masalah psikososial. Terkadang
masalah psikososial sangat menentukan kesembuhan para pasien di rumah sakit. Kesembuhan
penyakit yang diderita pasien sangat ditentukan psikososial dari pasien itu sendiri maka konsep
utama pelayanan di rumah sakit harus bersamaan dengan pelayanan patofisiologi dan pelayanan
psikososial.

Konsep psikososial masih banyak yang belum maksimal melakukan di rumah sakit
Indonesia, pada hal psikososial merupakan bagian utama dari pelayanan rumah sakit. Pengala-
man pasien terhadap pelayanan psikososial sangat membantu penyembuhan penyakit
pasien.Sebaliknya pengalaman pasien yang belum mendapatkan pelayanan psikososial yang baik
kerap sekali membuat penyakit yang diderita semakin serius, terkadang membuat pasien menjadi
kritis.Psikologi dari Bahasa Yunani kuno sama dengan psyche: jiwa, logos. Dalam arti bebas
psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau mental.

Psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena sifatnya abstrak.
Psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa aau mental tersebut.Hal ini sejalan
dengan konsep World Health Organization (WHO) pada tahun 1948 yang mendefinisikan
kesehatan adalah sebagai keadaan lengkap dari fisik, mental, sosial dan kesejahteraan, bukan ha-
nya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi kesehatan tidak sekedar penyakit maka kese-
hatan multidimensionalitas.Kesehatan masuk masalah kesejahteraan sosial dalam konseptual
individu sebab pada dasarnya manusia itu makhluk sosial.Tegasnya kesehatan bukan hanya
aspek fisik, biologi dan fisiologi saja tetapi masalah psikologi menjadi sangat penting buat para
pasien yang terbaring di rumah sakit, begitu juga buat keluarga pasien.Tidak bisa dibantah, ilmu
psikologi tidak hanya menganalisis penyakit, tetapi juga masalah gangguan psikologis untuk
kesembuhan para pasien di rumah sakit.Sudah pasti pasien yang terbaring di rumah sakit
mengharapkan kesembuhan. Rasa was-was mempengaruhi tingkat kecemasan pasien dan
keluarga pasien yang dirawat di rumah sakit. Baik yang dirawat di kamar, dirawat di ruang ICU
pasti memiliki kecemasan, apakah penyakit yang diderita bisa sembuh.Kecemasan pasien dan
keluarga pasien disebabkan kurangnya informasi dan komunikasi antara paramedis dengan
pasien dan keluarga pasien.

Masalah kecemasan pasien dan keluarga pasien ketika dirawat di rumah sakit seharusnya
mendapat perhatian serius sebab tidak dapat dipisahkan dengan kesembuhan pasien dari penyakit
yang dideritanya. Kondisi yang tidak nyaman, standar di lingkungan rumah sakit menimbulkan
masalah psikologis pasien yang bisa membuat penyakit diderita tidak sembuh dan sebaliknya
bertambah buruk.Sikap, perilaku paramedis yang tidak berimpati, tidak bersahabat seperti suara
tawa, canda dan berdiskusi tentang penyakit pasien di depan pasien dan keluarganya menimbul-
kan stress. Sebaiknya semua sikap, perilaku kurang berimpati, pembicaraan dan tawa jangan
terdengar pasien. Begitu juga dengan perilaku paramedis panik, bingung membuat pasien dan
keluarga pasien stress.

Begitu juga dengan lingkungan rumah sakit yang tidak nyaman, mulai dari tempat tidur,
lampu penerangan, suara-suara yang tidak nyaman membuat pasien stress. Ketidaknyamanan
menambah kelelahan fisik dan psikis membuat penyakit semakin berjangkit. Kondisi pasien ha-
rus diperhatikan dengan sepenuh hati. Hal ini masih jarang dilakukan paramedis di rumah sakit
di Indonesia. Hasil kajian penulis tentang memperhatikan pasien dengan sepenuh hati belum di-
lakukan dengan baik disebabkan banyak faktor dan faktor yang paling utama disebabkan masih
terbatasnya jumlah paramedis, dokter dengan pasien.

Di samping itu disebabkan juga karena paramedis kurang memahami kerjanya secara
sempurna. Kajian psikologis belum dilakukan sehingga paramedis cederung bekerja rutinitas
bagaikan mesin, pada hal yang dihadapi bukan mesin akan tetapi manusia. Solusi yang harus
dilakukan yakni menyeimbangkan jumlah paramedis, dokter dengan pasien di rumah sakit.
Melengkapi sarana dan prasarana rumah sakit minimal pada tahap standar. Paling utama lagi
mempersiapkan paramedis yang bekerja sepenuh hati dalam merawat pasien.

Kondisi ini penting sebab masih sedikit paramedis dan dokter pemula belum diberikan
pemahaman psikologi orang sakit, para dokter pemula di rumah sakit masih banyak berperilaku
tidak standar di depan pasien dan keluarganya. Hal ini bisa diminimalkan dengan memberikan
pemahaman dan ilmu tentang penyembuhan penyakit yang diderita pasien dengan perawatan dan
pengobatan sepenuh hati, yakni menghindari timbulnya stress bagi pasien dan keluarganya.

2.16 Pengkajian primer dan sekunder

Pengkajian primer dan sekunder (Primary and secondary survey) mencerminkan aspek
menyeluruh dari pengkajian pasien. Pengkajian ini utamanya digunakan pada kasus trauma,
namun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada semua kasus. Hasil pengkajian
menggambarkan kondisi klinis pasien secara menyeluruh.
Prosedur
1. Pengkajian Primer

Tujuan dilakukannya pengkajian primer adalah mengidentifikasi dan menangani dengan segera
kondisi yang mengancam nyawa. Urutan pengkajian primer adalah DRABC (Danger, Response,
Airway, Breathing dan Circulation), kecuali pada kasus cardiac arrest urutannya dibalik menjadi
DRCAB, mengikuti perubahan pedoman yang ada.

2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder ditujukan untuk mendapatkan riwayat rinci bersamaan dengan TTV,
kemudian melakukan pemeriksaan fisik terfokus berdasarkan pada tanda dan riwayat pasien.

Urutan pengkajian sekunder adalah pengkajian riwayat pasien, pemeriksaan TTV dan
pemeriksaan fisik. Berikut langkah—langkahnya:
2.17 Isu end of life di keperawatan gawat darurat
Secara etimologi death berasal dari kata deeth atau deth yang berarti keadaan mati
atau kematian. Sedangkan secara defenitif, kematian adalah terhentinya fungsi jantung
dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. Ini dapat
dilihat dari tiga sudut pandang tentang defenisi kematian,yakni, kematian
jaringan;kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapat pulih; dan kematian klinik,
yakni kematian orang tersebut.
Keadaan Termal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada
harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu
penyakit atau suatu kecelakaan.
Kematian adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami
atau menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan
suatu kehilangan.
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup
dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan
dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup
semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit
degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan
melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang panjang.
Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidakberdayaan, dan akhirnya
kematian. Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis
dan terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik
untuk berhadapan dengan ancaman kematian.

Tahap-tahap Menjelang Ajal


Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal
(dying) dalam 5 tahap, yaitu :
a. Menolak (Denial)
Pada tahap ini klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi dan
menunjukkan reaksi menolak.
b. Marah (Anger)
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
c. Menawar (Bargaining)
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
d. Kemurungan (Depresi)
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin
banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien
yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
e. Menerima atau Pasrah (Acceptance)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang
terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat,
menulis surat wasiat.

Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian


Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu :
a) Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat
dari fase akut ke kronik.
b) Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
c) Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
d) Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu, terjadi pada pasien dengan sakit kronik
dan telah berjalan lama.

Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian


1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi dan sebagainya.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
2. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai :
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensoria : Penglihatan kabur.
5. Gangguan penciuman dan perabaan.

Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal


a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah.
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

Tanda-tanda Meninggal secara klinis


Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly,
menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.

Macam tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap
Kematian
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat
menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya.
Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh,
kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang
bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat
akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.

Peran Keluarga
Dalam konsisi kritis, kehadiran keluarga di sisi pasien juga sangat berguna sebagai saksi
terhadap semua tindakan yang telah dilakukan. Dengan demikian saat kondisi pasien
dinyatakan meninggal setelah dilakukan tindakan resusitasi, maka keluarga akan merasa
bahwa usaha sudah benar-benar dilaksanakan secara maksimal sehingga keluarga akan
memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim kesehatan dan pasien
dianggap meninggal dengan tenang.
Kehadiran keluarga juga akan memberikan support dan kenyamanan pada pasien,
mempercepat proses pengambilan keputusan, memahami situasi kritis, membantu proses
koping dan berduka, membantu menurunkan kecemasan dan ketakutan anggota keluarga lain
(Kosowan and Jenses, 2010).
Namun, pada beberapa kondisi, keluarga pasien seharusnya tidak diijinkan berada di
samping pasien saat proses RJP. Contoh kondisi yang tidak memperbolehkan keluarga
dihadirkan di samping pasien adalah kondisi emosi anggota keluarga yang labil, sehingga
dikhawatirkan akan mengganggu proses RJP.
Kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi juga berdampak kepada perawat maupun
tim kesehatan lain, diantaranya berdampak pada tingkat kepercayaan diri dalam melakukan
tindakan. Akan tetapi kepercayaan diri tersebut akan tumbuh selama ada edukasi, policy serta
prosedur yang jelas tentang kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi.

Aspek Empati
Empati merupakan sebuah pengalaman untuk melihat tingkat emosi orang lain
dimana lebih lanjutnya empati dapat mendatangkan hasil klinis yang baik dari
komunikasi dan trust yang dibangun antara perawat-klien. Empati itu sendiri dapat
muncul ketika pasien merasakan sakit secara fisik khususnya pasien dengan terminal
kehidupan. Dalam empati bisa mencakup beberapa aspek yaitu aspek compassionate
care, emotional detachment, dan perspective taking.
Aspek compassionate care merupakan aspek yang berfokus pada memberikan kasih
sayang serta membangun sebuah hubungan saling percaya antara pasien-keluarga-
perawat. Salah satu dari empat komponen penting dalam aspek compassionate care pada
perawat adalah sebuah hubungan yang baik atas dasar kemampuan perawat untuk
memahami apa yang pasien rasakan baik itu bahasa tubuh ataupun pernyataan verbal dari
pasien. Selain itu dalam aspek compassionate care, terdapat hubungan emosional dalam
empati merupakan suatu respon emosi yang atas apa yang orang lain butuhkan, termasuk
didalamnya perasaan sedih, merasa dalam penderitaan atau merasakan ketidaknyamanan.
Aspek emotional detachment merupakan aspek yang menerangkan gambaran empati
yang dibangun atas dasar kesadaran diri sendiri untuk memahami apa yang dirasakan
merasakan keadaan emosional orang lain (pasien-keluarga). Aspek memahami perasaan klien
mendatangkan dampak kepuasan langsung bagi outcome pasien. Selain itu memahami serta
mengerti apa yang pasien rasakan terbukti menurunkan tingkat stress pada pasien dengan
fase terminal kehidupan. Perawat dalam bertindak (pemberian asuhan keperawatan) harus
mengidentifikasi kemampuan diri dalam membina hubungan teraputik yang baik dengan
pasien. Pasien dengan keadaan kritis tidak memperoleh hubungan terapeutik dalam
pemberian asuhan keperawatan, tentunya akan tidak memberikan hasil yang maksimal dalam
proses peningkatan kualitas hidup pasien.
Aspek perspective taking merupakan aspek yang mendalami tentang bagaimana kita
melihat dan memandang sudut pandang orang lain secara alamiah dari diri kita sendiri.
Aspek perspective taking merupakan salah satu kemampuan untuk meningkatkan
kefektifitasan pemberian empati pada pasien, kemampuan itu berupa cara perawat dalam
membangun hubungan terapeutik yang baik pada pasiennya. Selain itu dalam aspek
perspective taking dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya yaitu kemampuan
untuk mendengarkan serta mengerti atas pengalaman apa yang sudah dilalui oleh pasien serta
berdasarkan sudut pandang dari pasien itu sendiri.
2.18 Etik legal Keperawatan Gadar

Etik ditujukan utk mengukur perilaku yg diharapkan dari mns atau kelompok
tertentu/profesi tertentu seperti profesi keperawatan, maka aturannya mrpk suatu kesepakatan
dari klp tersebut yg disebut kode etik.

Hukum dapat diartikan sbg aturan yg disyahkan pemerintah yg bertujuan memberikan


perlindungan kepada masyarakat.

Prinsip etik dan legal keperawatan gawat darurat :

1.Autonomy
Berkaitan dg hak sso utk membuat keputusan bagi dirinya misalnya seorg pasien yg akan
mengalami suatu tindakan seperti pembedahan, keputusan hrs diputuskan oleh pasien itu sendiri,
tetapi tenaga kesehatan berkewajiban memberikan informasi yg rinci shg pasien membuat
keputusan scr benar.

2.Beneficence (kemurahan hati/pemanfaatan)


Kewajiban melakukan yg terbaik meningkatkan mutu yan.kep.

3.Non maleficence (tidak merugikan orang lain)

Kewajiban utk tdk menimbulkan kerugian atau cedera bagi org lain apalagi membunuh.
Perawat akan bersikap hati-hati, teliti dan cermat.
4. Veracity (jujur).

Kewajiban menyampaikan atau mengatakan sesuatu dengan benar, tidak berbohong apalagi
menipu. Perawat berbicara benar, terbuka shg dapat dipercaya.

5.Justice (adil).

Kewajiban berlaku adil kpd semua org. Perawat berlaku adil, tdk membeda-bedakan pasien tg
dirawat baik aspek sosial, agama, suku dll.

6. Fidelity (komitmen).

Kewajiban utk setia atau loyal dg kesepakatan atau tanggung jwb scr bersungguh2 thd tugas
bebannya.

Unsur-unsur yg penting diperhatikan dlm kode etik :

 Perawat memberikan pelayanan dg memperhatikan dan menghargai kemuliaan sso sbg


manusia.
 Perawat melindungi hak azasi manusia.
 Perawat bertindak utk melindungi pasien dan masyarakat.
 Perawat bertanggung jwb dan bertanggung gugat thd setiap tindakan dan pengambilan
keputusa keperawatan.
 Perawat mempertahankan kompetensinya dlm melaksanakan yan.kep.
 Perawat melatih diri dlm menetapkan informasi dan menggunakan kompetensi individunya.
 Perawat berpartisipasi aktif dlm kegiatan yg terkait dg pengembangan keilmuan dari
profesi keperawatan.
 Perawat berpartisipasi dlm upaya profesi utk melaksanakan dan meningkatkan standar
profesi serta meningkatkan mutu pelayanan.
 Perawat berpartisipasi dlm upaya profesi utk melindungi masyarakat thd mis informasi
serta mempertahankan integritas keperawatan.
 Perawat berkolaborasi dg anggota & profesi kes lainnya & masyarakat.

Masalah & dilema etika di unit gawat darurat :

Kondisi klien menyebabkan klien tdk mampu mengambil keputusan utk tindakan kesnya.

Penggunaan bertehnologi tinggi dan kondisi klien yg kritis sering membuat asuhan yg diberikan
berfokus kpd perbaikan kondisi fisik shg kurang melakukan :

- penghargaan terhadap klien sbg manusia (dehumanisasi).

- Komunikasi dengan klien dan keluarga.

- penkes utk klien dan keluarga.

Penjagaan mutu askep yang blm optimal, kurangnya kemampuan menggunakan proses kep,
monitoring dan evaluasi tindakan & pendidikan yg berkelanjutan utk perawat.

Konflik dg sejawat atau tim kes lainnya.

Keputusan menghentikan penggunaan ventilator/alat kes lainnya kepada klien.

PENGERTIAN
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran nafas yang mengalami radang kronik
bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh faktor resiko tertentu, jalan nafas
menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mucus, dan
meningkatnya proses radang (almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa
pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Genetik merupakan faktor predisposisi dari asma bronkhial.
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contohnya: debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contohnya: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contohnya: perhiasan, logam, dan
jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma. Stress juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma.Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi
lalu lintas.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
olah raga yang berat.

C. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas.Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen menyebabkan
degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan
konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan
permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan
terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah
bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala awal :
a. Batuk
b. Dispnea
c. Mengi (whezzing)
d. Gangguan kesadaran, hyperinflasi dada
e. Tachicardi
f. Pernafasan cepat dangkal
2. Gejala lain :
a. Takipnea
b. Gelisah
c. Diaphorosis
d. Nyeri di abdomen karena terlihat otot abdomen dalam pernafasan
e. Fatigue ( kelelahan)
f. Tidak toleran terhadap aktivitas: makan, berjalan, bahkan berbicara.
g. Serangan biasanya bermula dengan batuk dan rasa sesak dalam dada disertai pernafasan
lambat.
h. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang disbanding inspirasi
i. Sianosis sekunder
j. Gerak-gerak retensi karbondioksida seperti : berkeringat, takikardia, dan pelebaran
tekanan nadi.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sputum
2. Pemeriksaan darah
3. Foto rontgen
4. Pemeriksaan faal paru
5. Elektrokardiografi

F. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
a. Airway
Batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot bantu pernafasan
(retraksi otot interkosta)
b. Breathing
Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi, dyspnea, takipnea, taktil fremitus
menurun pada palpasi, suaa tambahan ronchi, hiperresonan pada perkusi.
c. Circulation
Hipotensi, diaphoresis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus parodexus
> 10mm.
2. Pengkajian sekunder
a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
2) Riwayat kesehatan dahulu
3) Riwayat kesehatan keluarga
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
1) Tekanan darah
2) Suhu
3) Respirasi
4) Nadi
c. Pemeriksaan fiisik
1) Kulit
2) Kepala
3) Mata
4) Telinga
5) Hidung
6) Mulut
7) Leher
8) Thorax: jantung dan paru
9) Abdomen
10) Ekstremitas

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau immobilisasi

H. INTERVENSI
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan masalah gangguan pertukaran
gas dapat teratasi dengan criteria hasil:
a. Oksigenasi dan ventilasi adekuat
b. Suara nafas bersih
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi
Respiratory monitoring
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama, dan usaha respirasi
b. Monitor suara nafas
c. Monitor pola nafas
d. Monitor kelelahan otot diafragma
e. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan
f. Auskultasi suara nafas
g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasil
h. Kolaborasi pemberian bronkodilator

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan jalan nafas kembali efektif
dengan criteria hasil:
a. Respirasi dalam batas normal
b. Irama pernafasan teratur
c. Oksigenasi adekuat

Intervensi:
Manajemen jalan nafas
a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi udara
b. Monitor pernafasan dan batuk
c. Monitor status respiratory dan oksigenasi
d. Keluarkan secret dengan batuk efektif atau dengan suction
e. Berikan threatmen aerosol sesuai kebutuhan
f. Berikan therapy oksigen sesuai kebutuhan
g. Regulasi intake cairan untuk mencapai keseimbangan cairan
h. Auskultasi suara nafas

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau immobilisasi


Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan masalah intoleransi aktivitas
dapat teratasi dengan criteria hasil:
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, respirasi
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Ventilasi adekuat

Intervensi
Therapy aktivitas
a. Kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas
b. Bantu pasien untuk memilih aktivitas sesuai kemampuan
c. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
d. Bantu pasien untuk mendapatkan alat bantu untuk aktivitas
e. Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan
f. Berikan penguatan positif
g. Evaluasi respon fisik, emosi, social, dan spiritual

A. PENGKAJIAN
Dilakukan oleh penulis di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Banyumas pada tanggal
26 desember 2017, pukul 08.15 WIB dengan sumber data dari pasien, keluarga pasien, dan
rekam medis. Dari penkajian tersebut didapatkan identitas pasien adalah Tn.A, umur 46 tahun,
berasal dari suku jawa, Indonesia. Yang beralamat di Somagede, Banyumas. Pasien beragama
islam, pendidikan terakhirnya adalah SD,berjenis kelamin laki-laki, diagnose medis asma attack
Alasan pasien masuk rumah sakit yaitu pasien mengeluhkan sesak nafas. Pasien
mengalami sesak nafas sejak satu jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Menurut keluarga pasien,
pasien mempunyai riwayat asma sejak 2 tahun yang lalu. Di keluarga pasien ada keluarga yang
mengalami sesak nafas, yaitu bapak pasien.
Pada pengkajian primer didapatkan data pada Airway: jalan nafas paten, ada sumbatan
yaitu sekret, ada suara nafas tambahan, pasien dapat berbicara dengan jelas. Pada Breathing:
Irama nafasnya teratur frekuensi nafas 30 x/menit,saat di auskultasi terdengar suara wheezing.
Pada Circulation: Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 78x/menit, suhu 36°c, akeral dingin, kulit
lembap, kapilerisasi <2 detik. Pada Disability: pasien sadar penuh, GCS E4 M6 V5.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data bentuk kepala Tn. A adalah mesochepal, rambut
berwarna hitam, pasien tidak mengalami gangguan penglihatan, tidak ada luka pada wajah,
pasien terpasang oksigen 3 liter dengan nasal kanul, pasien tidak terpasang NGT,pada mulut
pasien tidak ada sariawan, mukosa bibir lembab, pasien tidak menalami gangguan pendengaran,
pada leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, pengembangan dada simetris, ada nyeri tekan,
terdengar suara mengi (wheezing), perut pasien terihat warna merata, timpani, tidak ada nyeri
tekan, bising usus 18 x/menit,pasien terpasang infuse Ringer Laktat di tangan kanan, pada kaki
tidak terdapat edema,pasien tidak terpasang DC.
Therapy yang diberikan pada Tn. A yaitu infuse Ringer Laktat + drip aminofilin 1//2
gram, injeksi ranitidine 50 mg/ 12 jam, injeksi cefotaxim 1 gram, injeksi aminopilin ½ ampul,
injeksi MP, oksigen 3 liter, nebulizer combivent 2.5mg/2.5ml dan flexotit 0.5mg/2ml.

B. ANANLISA DATA
No. Data Etiologi Problem
1 DS: Sesak nafas Intoleramsi
- Pasien mengatakan sesak aktivitas
nafas setelah beraktifitas
- Pasien mengatakan
aktivitasnya terbatas
- Pasien mengatakan cepat
lelah
DO:
- Pasien tampak lelah
- Pasien tampak membatasi
aktivitasnya
- Pasien sesak nafas setelah
beraktivitas
2 DS: Hiperventilasi Pola nafas tidak
- Pasien mengatakan sesak efektif
nafas
- Pasien mengatakan lemas
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- Nafas tidak teratur
- TD: 140/90 mmHg
- N: 112 x/m
- R: 30 x/m
3 DS: Penumpukan Bersihan jalan
- Pasien mengatakan sesak secret nafas tidak
nafas efektif
- Pasien mengatakan batuk
terus
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- RR: 30 x/m
- Terdengar bunyi mengi
saat ekspirasi

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas
- Pasien mengatakan lemas
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- TD: 140/90 mmHg
- N: 112 x/m
- S: 36°C
R: 30 x/m
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas
- Pasien mengatakan batuk terus
DO:
- Pasien tampak sesak nafas
- RR: 30 x/m
- Terdengar bunyi mengi saat ekspirasi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan sesak nafas.
DS:
- Pasien mengatakan sesak nafas setelah beraktifitas
- Pasien mengatakan aktivitasnya terbatas
- Pasien mengatakan cepat lelah
DO:
- Pasien tampak lelah
- Pasien tampak membatasi aktivitasnya
- Pasien sesak nafas setelah beraktivitas

D. INTERVENSI, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan pola nafas teratur
dengan criteria hasil:
No. Indikator IR ER
1 Tanda-tanda vital dalam batas normal 2 5
2 Irama nafas teratur 2 5
3 Oksigenasi adekuat 2 5
Keterangan:
1. Gangguan ekstrim
2. Gangguan berat
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi:
Respiratory monitoring
1. Monitor rata-rata, kedalaman, irama, dan usaha respirasi
2. Monitor suara nafas
3. Monitor pola nafas
4. Monitor kelelahan otot diafragma
5. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan
6. Auskultasi suara nafas
7. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasil
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator
Implementasi:
1. Melakukan pengkajian primer: airway, breathing, circulation, disability.
2. Memeriksa tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, suhu, respirasi.
3. Mengobservasi pernafasan
4. Memberikan therpy nebulizer
5. Memonitor pernafasan
6. Memeriksa saturasi oksigen
Evaluasi:
S: pasien mengatakan sesak berkurang
O: RR: 26 x/m, saturasi oksigen: 97%
A: masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi
No. Indikator IR ER A
1 Tanda-tanda vital dalam batas normal 2 5 3
2 Suara nafas bersih 2 5 3
3 Oksigenasi adekuat 2 5 4
Keterangan:
1. Gangguan ekstrim
2. Gangguan berat
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
5. Tidak ada gangguan
P: lanjutkan intervensi
1. Monitor pola dan suara nafas
2. Berikan therapy nebulizer

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan jalan nafas kembali
efektif dengan criteria hasil:
No. Indikator IR ER
1 Respirasi rate dalam batas normal 2 5
2 Irama nafas teratur 2 5
3 Oksigenasi adekuat 2 5
Keterangan:
1. Gangguan ekstrim
2. Gangguan berat
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi:
Manajemen jalan nafas
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi udara
2. Monitor pernafasan dan batuk
3. Monitor status respiratory dan oksigenasi
4. Keluarkan secret dengan batuk efektif atau dengan suction
5. Berikan threatmen aerosol sesuai kebutuhan
6. Berikan therapy oksigen sesuai kebutuhan
7. Regulasi intake cairan untuk mencapai keseimbangan cairan
8. Auskultasi suara nafas
Implementasi:
1. Melakukan pengkajian primer: airway, breathing, circulation, disability.
2. Memposisikan pasien semifowler
3. Memberikan therapy oksigen 3 liter
4. Memeriksa tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, suhu, respirasi.
5. Mengobservasi pernafasan
6. Mengajarkan batuk efektif
7. Memeriksa saturasi oksigen
8. Memonitor pernafasan
Evaluasi:
S: pasien mengatakan sesak berkurang
Pasien mengatakan frekuensi batuk berkurang
O: sesak nafas berkurang
RR: 26x/menit, saturasi 97%
Frekuensi batuk berkurang
Irama nafas teratur
A: masalah belum teratasi
No. Indikator IR ER
1 Respirasi rate dalam batas normal 2 5
2 Irama nafas teratur 2 5
3 Oksigenasi adekuat 2 5
Keterangan:
1. Gangguan ekstrim
2. Gangguan berat
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
5. Tidak ada gangguan
P: lanjutkan intervensi
Monitor suara nafas
c. Intoleransi aktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan masalah intoleransi
aktivitas dapat teratasi dengan criteria hasil:
No. Indikator IR ER
1 Beraktivitas tanpa disertai peningkatan TD, N, 2 5
R
2 TTV normal 2 5
3 Ventilasi adekuat 2 5
Keterangan:
1. Gangguan ekstrim
2. Gangguan berat
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi
Therapy aktivitas
1. Kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas
2. Bantu pasien untuk memilih aktivitas sesuai kemampuan
3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
4. Bantu pasien untuk mendapatkan alat bantu untuk aktivitas
5. Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan
6. Berikan penguatan positif
7. Evaluasi respon fisik, emosi, social, dan spiritual
Implementasi
1. Melakukan pengkajian primer
2. Mengukur tanda-tanda vital
3. Mengkaji kemampuan berktivitas
4. Mengidentifikasi kemampuan beraktivitas
5. Menganjurkan pasien beraktifitas sesuai kemampuan

Evaluasi
S: pasien mengatakan masih sesak saat beraktivitas
Pasien mengatakan cepat lelah
O: pasien tampak lemas dan lelah
RR: 26x/menit
Aktivitas pasien terbatas
A: masalah belum teratasi
No. Indikator IR ER A
1 Beraktivitas tanpa disertai peningkatan TD, N, 2 5 3
R
2 TTV normal 2 5 4
3 Ventilasi adekuat 2 5 4
Keterangan:
6. Gangguan ekstrim
7. Gangguan berat
8. Gangguan sedang
9. Gangguan ringan
10. Tidak ada gangguan
P: lanjutkan intervensi
Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
Beri penguatan positif

Pada BAB ini penulis akan membahas kesenjangan antara teori dengan studi kasus
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Asma pada tanggal 26 Desember 2017, pembahasan
yang penulis lakukan akan meliputi pengkajian, diagnose keprawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah salah satu dari komponen proses keperawatan yang merupakan suatu
usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan pasien, meliputi usaha
pengumpulan data dan membuktikan data tentang status kesehatan seorang pasien. Keahlian
dalam melakukan observasi, komunikasi, wawancara, dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk mewujudkan fase proses keperawatan (Muttaqin,2009).
Penulis dalam mendapatkan data dari pasien menggunakan teknik pengumpulan data
dengan wawancara, observasi dan studi pustaka. Pada saat pengkajian penulis sedikit
menemukan kesulitan karena pasien saat dikaji pasien dalam keadaan sesak nafas, namun pada
akhirnya penulis mampu menggali data tentang pasien.
Pada saat pengkajian, penulis memperoleh data fokus bahwa pasien mengalami sesak
nafas satu jam sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien mempunyai riwayat asma sejak 2 tahun
yang lalu. Berdasarkan hasil observasi, penulis memperoleh data yaitu pasien tampak
menggunakan otot bantu nafas, pasien tampak lemas.
Pada program therapy yang diberikan pada Tn. A yaitu infuse Ringer Laktat + drip
Aminofilin ½ ampul (120mg/5ml), injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam, Ranitidine berfungsi
sebagai pengurang produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluh hati dan
masalah asam lambung tinggi lainnya. injeksi cefotaxim 1 gram, ini diberikan untuk mengobati
infeksi pernafasan bagian bawah. injeksi Aminopilin ½ ampul (120mg/5ml), ini diberikan untuk
mengobati gangguan pernafasan. injeksi Methylprednisolon 125mg, digunakan untuk mengobati
infeksi dari reaksi alergi. oksigen 3 liter, nebulizer combivent 2.5mg/2.5ml ini difungsikan untuk
melebarkan jalan nafas Tn. A dan flexotide 0.5mg/2ml ini difungsikan untuk pencegahan
serangan asma agar tidak terjadi lagi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan didefinisikan sebagai penilaian klinis tentang pengalaman/ respon
individu, keluarga, kelompok, atau komunitas tehadap masalah kesehatan/ proses kehidupan
aktual atau potensial, dan memberi dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil
yang dapat dipertanggungjawabkan (NANDA, 2012).
Diagnose keperawatan berdasarkan pathway di konsep muncul 3 diagnosa keperawatan,
yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif, intoleransi aktifitas, gangguan pertukaran gas. Pada kasus
Tn. A penulis menemukan 3 diagnosa keperawatan yang sesuai dengan teori, yaitu bersihan jalan
nafas tidak efektif, intoleransi aktifitas, gangguan pertukaran gas.
C. INTERVENSI
Intervensi adalah fase ketiga dari proses keperawatan, dengan menyusun serta merancang
baaimana sesuatu dapat dicapai atau diselesaikan dengan cara tertentu, menggunakan alat
tertentu dan waktu tertentu (basford&slevin,2006)
Intervensi yang dilakukan oleh penulis sesuai dengan teori dan tidak ada perbedaan yang
berarti dengan yang ada pada kasus Tn. A.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah melakukan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan
keperawatan (Dalami,dkk, 2011)
Implementasi yang dilakukan oleh penulis dilakukan selama 3 jam yaitu tanggal 26
Desember 2017.
Implementasi yang dilakukan oleh penulis pada rabu, 26 Desember 2017 yaitu:
Melakukan pengkajian primer: airway, breathing, circulation, disability, Memeriksa tanda-tanda
vital: tekanan darah, nadi, suhu, respirasi, Mengobservasi pernafasan, Memberikan therpy
nebulizer, Memonitor pernafasan, Memeriksa saturasi oksigen, Memposisikan pasien
semifowler, Memberikan therapy oksigen 3 liter, Mengajarkan batuk efektif, Memeriksa saturasi
oksigen, Memasang infuse, Mengambil sample darah untuk pemeriksaan laboratorium,
Memberikan therapy injeksi ranitidine, MP, cefotaxim, aminopilin, Mengkaji kemampuan
berktivitas, Mengidentifikasi kemampuan beraktivitas, Menganjurkan pasien beraktifitas sesuai
kemampuan.

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengevaluasi kemajuan klien terhadap
tindakan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar serta perencanaan (dalami,dkk,2011).
Evaluasi yang dilakukan penulis dalam melakukan proses asuhan keperawatan selama 3
jam. Hasil evaluasi yang didapatkan yaitu pasien sesaknya sudah berkuran, frekuensi batuk
berkurang, pasien masih lemas dan cepat lelah. . Rencana selanjutnya yaitu pasien dibawa ke
ruang perawatan dan dilakukan perawatan oleh perawat ruangan
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan
sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat,
serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien
mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat
darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas
pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut
merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang
akurat melalui pendokumentasian.

3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency


Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK
http://harian.analisadaily.com/kesehatan/news/psikologi-pasien-dan-keluarga-
pasien/345420/2017/05/15

http://kampus2ku.blogspot.com/2017/03/pengkajian-primer-dan-sekunder-pada.html

http://msyhartinaulfa.blogspot.com/2015/05/end-of-life.html

http://yoesfeelingku.blogspot.com/2013/03/etik-legal-keperawatan-gadar.html

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Therapy Untuk Asma Berat. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anonim. 2013. Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Jakarta: kementrian kesehatan RI; 2013. h.
85-86
Carpenito, L. J. 2000. Diagnose Keperawatan, Aplikasi Praktis Klinis, Edisi 6. Jakarta: EGC
Purnomo. 2008. Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronchial Pada
Anak. Semarang: Universitas Diponegoro

Sahib, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV Medika

Anda mungkin juga menyukai