Anda di halaman 1dari 10

ANALISA PEMECAHAN DILEMA ETIK

MUHIDIN

A. Latar belakang
Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting
pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat.
Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik,
untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika
tak ada jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi
tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit
dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau
lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus
membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki
kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua
kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya
dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses
pengambilan keputusan rasional.
Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya
kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada tulisan ini
akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus pasien dengan gagal ginjal
terimnal yang menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal.

B. Prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik


Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan
penyelesaian masalah / dilema etis adalah :
a. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki

0
berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah
bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang
menuntut pembedaan diri. Praktek profesioanal merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan
tentang perawatan dirinya.

b. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan
juga memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang
lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi
konflik dengan otonomi.

c. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan
d. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan
psikologik. Segala tindakan yang dilakukan pada klien.

e. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan
oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada
setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti.
Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk

1
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat,
komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada
pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa
argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika
kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya
hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun
hubungan saling percaya

f. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan
adalah kewajiban seeorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap
kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

g. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang
klien harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak
ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin
kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar
area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien
dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

2
h. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa
tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk
menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang
mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak
jelas atau tanpa terkecuali.

C. Langkah-langkah penyelesaian masalah / dilema etik

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :


a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat
langsung dalam dilema?”. Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan
menjadi pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya
data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat
dalam pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and
Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun
terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
1. Tentukan tujuan dari treatment.
2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil
keputusan beserta anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan
putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus terjadi

3
komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat
selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk,
karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa
bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh
perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para
pengambil keputusan. Perawat harus ingat “Saya disini untuk melakukan
yang terbaik bagi klien”.
Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua)
alternatif yang menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik,
bahkan tak mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan, pengambil
keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan tak tercapai
karena semua pihak tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai.
Atau lain waktu, perawat tak dapat menangkap perhatian utama klien.
Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi,
dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang
ditentukan sebagai outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan
treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang
situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para
pengambil keputusan masih harus dipelihara.

Dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan dapat


bersifat personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila
memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Sebagai tenaga profesional perawat kadang sulit karena keputusan yang akan
diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat
berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa
marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang
harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang
baik dari seorang perawat.

4
Masalah pengambilan keputusan dalam pemberian transplantasi
ginjal juga sering menimbulkan dilema etis karena sangat berhubungan
dengan hak asasi manusia, pertimbangan tingkat keberhasilan tindakan dan
keterbatasan sumber-sumber organ tubuh yang dapat didonorkan kepada
orang lain sehingga memerlukan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu
sebagai perawat yang berperan sebagai konselor dan pendamping harus dapat
meyakinkan klien bahwa keputusan akhir dari komite merupakan keputusan
yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri


Monogragi No:05. Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama
dengan The Ford Foundation.

Guwandi,J. (2002). Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence). Jakarta :


Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Guwandi,J. (1992). Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta : Balai penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Marquis, B.L and Huston, Carol.J. (2006). Leadership Roles and Management
Functions in Nursing : Theory and Application. 5 th Ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.

Tappen, M.R., Sally A. Weiss, Diane K.W. (2004). Essentials of Nursing


Leadership and Management. 3 rd Ed. Philadelphia : FA. Davis Company.

KIAT-KIAT DALAM PENGEMBANGAN MKEK


Agus Purwadianto
Ketua MKEK Pusat
ETIKOLEGAL - Edisi Januari 2007 (Vol.6 No.6)

5
Melengkapi suatu edisi akhir tahun Farmacia yang berkebetulan memperoleh
momentum pasca Muktamar Dokter Indonesia XXVI Semarang, tak ada salahnya
kali ini ditampilkan artikel ”internal” yang kiranya patut diketahui oleh kalangan
luas. Hal ini sebagai upaya untuk lebih mendekatkan silaturahmi antara IDI,
khususnya Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dengan sejawat
pembaca, dalam konteks awal akuntabilitas kelembagaan. Selama ini kalangan
”internal” sendiri sudah jauh terpapar terhadap permasalahan pembenahan etika
kedokteran ini melalui lembaga MKEK tersebut.

Sumber-sumber pelanggaran etika kedokteran.

MKEK ke depan akan mengantisipasi sumber-sumber tersebut yang


secara sosiologis profesi dapat merupakan salah satu dari : Pertama, masyarakat
umum : yakni litigious society (gemar menggugat), ”joggernaut syndrome”-nya
Anthony Giddens yang didasarkan pada kondisi anomi (tanpa norma) sehingga
membuahkan kita semua sebagai risk society serta post-modernisme yang
menghembuskan kebenaran partikular di atas kebenaran global. Kedua, kondisi
bioetika global mendatang, yang oleh Peter Singer diungkapkan termasuk di
dalamnya tentang e-health dan kondisi sekarang yakni pendidikan etika, medical
error dll. Ketiga, perkembangan iptekdok khususnya wacana determinisme
biomedik yang banyak dianut para klinisi ketika mengobati pasiennya lebih
daripada keputusan etis. Keempat, masyarakat kedokteran nasional bahkan
internasional yang cenderung over-medikalisasi sesaat bahkan sebagian kecil
dengan cara-cara yang kasar. Kelima organisasi profesi yang masih dirasakan
terdapat kelembamam dibandingkan dengan dinamika permasalahan mediko-
etikolegal, adanya overspesialisasi pada kota-kota besar dengan fasilitas alat
kesehatan yang belum ketat terstandarisasi, serta adanya tumpang tindih antara
kewenangan spesialis dan keseminatan tertentu. Ke enam, masalah internal
MKEK yakni profesionalisme kelembagaan dan sumberdayanya.

Progress report MKEK.

Bertolak dari hasil Rakernas MKEK 2005 terdapat hal-hal sebagai


berikut : a. Adanya cepat tanggap dan proaktif terhadap permasalahan etika yang
tengah hangat dimasyarakat yang mengintegrasikan suatu peer review yang terdiri
dari MKEK dan mantan pengurus IDI/PDSp khususnya yang peka terhadap etika;
b. perlunya keinginan kemandirian MKEK lebih luas (dengan pengurangan
ketergantungan kepada eksekutif); c. Penyempurnaan dan sosialisasi KODEKI; d.
Pengesahan Buku Kompendium Pedoman Tatalaksana & Organisasi MKEK.
Bertolak dari hasil Muktamar IDI 2003 yang lalu diperoleh suatu
kesempatan atau momentum yakni : a. Langkah awal pertanggungjawaban MKEK
secara lebih terbuka; b. Penyempurnaan SOP (Buku I & II) yang merupakan
kelengkapan Kompendium MKEK dalam IDI walaupun ditengah kondisi supra-
struktur hukum kedokteran yang masih “labil” (belum tersosialisasikannya kiprah
dan fungsi khas kelembagaan KKI, MKDKI, MDTK, penyidik atau BPSK

6
ditengah litigious society dalam memproses pelanggaran etikolegal dokter; c.
Pengakuan topik etika sebagai salah satu materi sidang kelompok Mukernas dan
Muktamar selama ini, walaupun belum menjadi primadona refleksi diri
keberadaan profesi yang selama ini telah menjadi profesi luhur yang dipercaya
publik.

Interaksi MKEK.

Kenyataan selama ini bahwa kewibawaan organisasi IDI beserta


organisasi perhimpunannya dalam hal efektivitas penyelesaian kepastian etis
masih besar. Demikian pula terhadap penyelesaian pelanggaran disiplin profesi.
Sebaran dan pengalaman MKEK Wilayah yang relatif memadai masih merupakan
“jangkar” bagi perwujudan self-governing dan self-disciplining organisasi
walaupun keberadaannya secara “anatomis” hukum dianggap tidak imparsial.
Terbukti dengan MKDK Propinsi yang belum semua aktif (karena masih baru
diundangkan) dibandingkan dengan MKEK Wilayah. Demikian pula dengan
MDTK Propinsi yang mengisi fase transisi sebelum MKDK Propinsi terbentuk.
Keberadaan MKEK sendiri masih eksis dan legitim melalui pasal 68 UU Praktik
Kedokteran, yakni sebagai lembaga yang menyidangkan perkara dugaan
pelanggaran etik yang bukan merupakan ranah MKDK Propinsi. Hal ini akibat
adanya kaderisasi pengurus MKEK yang kompetensinya diperoleh melalui
magang di lembaga tersebut, atau secara otodidak melalui anggota MKEK muda
mengikuti seminar-seminar atau kursus-kursus etikolegal yang diselenggarakan
IDI, Depkes maupun PDFI.

Perbaikan mutu fungsionaris.

Dalam pembinaan dan pengawasan etik, MKEK masih harus


membenahi tumpang tindih tugas dan fungsinya dengan Dewan Etik Perhimpunan
Dokter Spesialis (PDSp), Majelis Kehormatan Etika Rumah Sakit (MAKERSI),
Komite Medik Rumah Sakit, MDTK, Dewan Kehormatan Etik GP Farmasi dll.
Untuk itu struktur organisasi MKEK selayaknya dilengkapi dengan pelibatan
mantan aktivis eksekutif IDI atau jajaran PDSp yang telah memiliki pengalaman
dan visi profesionalisme. Khususnya dalam ethical peer review terkait status
administratif-organisatoris dokter dan pengembangan etika sosial yang selama ini
dirasakan kurang. Para aktivis IDI yang mantan eksekutif umumnya telah
memiliki jiwa akuntabilitas publik lebih besar dan mantap dibandingkan dengan
praktisi dokter. Mereka – dalam kapasitasnya sebagai pembina korsa IDI
sebelumnya – akan lebih baik dalam melakukan upaya deteksi dini penyimpangan
etik para teman sejawatnya sekaligus melakukan pembenahan organisasinya
sehingga MKEK ke depan lebih mantap.

Naluri advokasi profesi melalui berorganisasi dan semangat dan jiwa “cinta IDI”
mereka merupakan modal besar untuk menapak lebih lanjut. Tinggal “sedikit”
diberi pelatihan terstruktur dalam kaitannya dengan kemampuan menganalisa
kasus etik, membedakannya dengan kasus disiplin dan kasus hukum (analisis

7
etikolegal), kemampuan membina etika profesi, kemampuan membuat dan
menjatuhkan sanksi serta mengelola dan memantau efektivitas sanksi terkait
pengembangan profesionalisme. Tak ketinggalan kontribusi mereka dalam
membina pendidikan etika di FK-FK/institusi pelayanan kesehatan lainnya. Tak
sekedar memberikan buku KODEKI ketika dokter baru angkat sumpah. Seluruh
fungsionaris MKEK - sepanjang berkaitan dengan penyidangan etik – harus tetap
menjadikan MKEK sebagai organ tertinggi IDI dibandingkan dengan persidangan
etika di seluruh jajaran IDI. Harapannya, dengan model pelatihan dan otodidak
serta pengalaman tersebut, MKEK diharapkan akan terus menjadi ”pemasok”
sumberdaya manusia di pelbagai organisasi lain yang memerlukannya kelak –
khususnya yang berkaitan dengan penyidangan dan penyelesaian sengketa
organisasi maupun sengketa medik.

Manajemen MKEK.

Tata administratif MKEK masih harus diperkuat. Beberapa hal penting


adalah perlunya pemantapan hubungan MKEK Pusat – MKEK Wilayah. Juga
koordinasi antara MKEK – IDI (jajaran eksekutif) dengan atau tanpa Badan
Pembelaan Anggota (BPA). Selain itu kriteria obyektif pelanggaran etik dalam
kategori ringan, sedang atau berat masih harus dimantapkan, apalagi bila
dikaitkan dengan KODEKI. Hal ini memerlukan penyempurnaan pelbagai SOP
MKEK yang telah dibukukan oleh Ketua MKEK terdahulu yakni Prof.dr. Ratna
Suprapti Samil SpOG dan diteruskan oleh dr. Brotowasisto MPH.
Beberapa penyempurnaan tersebut yang harus dilakukan sesuai dengan
perkembangan terkini antara lain : pertama, pada Buku I : a. Upaya “klarifikasi”
atau “pembuatan statement” oleh MKEK tentang profesionalisme dan etika
dokter, berkaitan dengan kasus yang kontroversial dan menjadi perhatian media
massa; b. Upaya penelitian pengaduan (pra-sidang/pra-putusan) : apakah
masalahnya harus ditelaah MKEK atau bisa diselesaikan oleh IDI sendiri; c.
Kontribusi positif MKEK dalam upaya penyelesaian kasus (pasca-sidang/pasca
putusan) tanpa mengganggu integritas kelembagaannya. Kedua, pada buku II
adalah mekanisme dan sosialisasi terhadap sidang bersama MAKERSI, Dewan
Kehormatan Etika-GP Farmasi serta bila perlu dengan majelis kehormatan etika
PDGI, PPNI, IBI, ISFI, dll untuk kasus terkait profesi-profesi tersebut. Ketiga,
akan dicoba membuat buku III yakni kompilasi SOP tentang pedoman pokok
kriteria/kategorisasi pelanggaran etik dan pembobotan serta penjatuhan sanksinya.
Demikian pula dengan prosedur banding dari MKEK Wilayah ke
MKEK Pusat. Termasuk yang harus diperkuat adalah – sepanjang memungkinkan
- perintisan adanya “Lembaran Keprofesian” (semacam Lembaran Negara, yg
memuat Fatwa Etis, Putusan kasus/“etikoprudensi” (semacam yurisprudensi etis).
Dalam “Lembaran Keprofesian” tersebut harus memuat pula cara melakukan
eksekusi putusan dan prosedur rehabilitasi pasca penjatuhan sanksi etis bagi
anggota IDI yang telah sah menjalaninya dengan tetap menjunjung asas praduga
tidak bersalah dan menciptakan budaya hikmah belajar – bukan “blaming culture”
mengingat pada dasarnya dokter adalah profesi mulia dan luhur.

8
Tekad terahmati dan teridhoi.

Satu hal terpenting lainnya adalah upaya memperteguh kemandirian


MKEK melalui pengalokasian dana tersendiri dari IDI sebagai organisasi induk,
namun tanpa menutup upaya sah MKEK sendiri untuk melakukannya sendiri. Hal
ini akan memperlancar tugas operasional rutin MKEK dan yang lebih penting
tugas pengembangan organisasi sebagaimana cita-cita dan harapan masyarakat
serta profesi kedokteran itu sendiri di masa kini dan masa depan.
Untuk merajut galang-kerjasama dengan pelbagai stake holder etika/bioetika
lainnya di dalam negeri (seperti Komisi Bioetika Nasional/KBN, Jaringan
Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia/JBHKI, Himpunan Dosen Etika
Seluruh Indonesia/HIDESI, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran
Indonesia/AIPKI, Ikatan Rumah Sakit Pendidikan Indonesia/IRSPI) dan luar
negeri (WHO dan UNESCO) dan upaya membentuk “masyarakat baru kedokteran
Indonesia yang sanantiasa taat etik” sungguh merupakan upaya yang tidak mudah.
Namun kita semua – atas berkat rahmat dan ridhoTuhan YME sudah bertekad
untuk menuju ke sana. Tanpa kecuali.

Anda mungkin juga menyukai