Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH SAINTIFIKASI JAMU

Kontrol Kualitas Sediaan Jamu


Kontrol Kualitas Pasca Panen (Proses Sortasi Basah, Pencucian (Penirisan-Pelayuan,
Pengeringan)

Dosen Pengampu :
Indah Yulia Ningsih, S.Farm., M.Farm., Apt.

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Atika Sari Dyah P (182211101111)
Syahreza Yusvandika (182211101112)
Qurnia Wahyu Fatmasari (182211101113)
Nadia Iga Hasan (182211101114)
Ainun Nihayah (182211101115)
Indah Setyowati (182211101116)
Dila Audilia Rahmat (182211101117)
Fitri Fauziah (182211101118)
Rakhma Dyah Raras Arum (182211101119)
Della Karissa Putri (182211101120)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia sangat kaya dengan berbagai tanaman obat atau obat. Masyarakat
Indonesia telah memanfaatkan tanaman obat sebagai jamu sejak zaman dahulu.
Jamu merupakan salah satu bentuk pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan melalui
peningkatan daya tahan tubuh dan stamina, menjaga dan memelihara kesehatan
serta membantu mengurangi gangguan penyakit tertentu. Keamanan, mutu dan
manfaat jamu tidak terlepas dari bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
jamu (INFARKES, 2015).
Terdapat peningkatan yang cukup baik dalam pemanfaatan tanaman obat
tradisional. Hal ini disebabkan mengingat kuatnya budaya dan tradisi penggunaan
jamu di masyarakat, baik untuk pengobatan (kuratif), menjaga kebugaran jasmani,
memelihara kesehatan, mencegah penyakit (preventif) maupun untuk pemulihan
kesehatan (rehabilatif). Meningkatnya penggunaan tanaman obat juga disebabkan
adanya kecenderungan pola hidup masyarakat yang mencari alternatif pengobatan
kembali ke alam (back to nature), karena pengobatan kembali ke alam ini dianggap
memiliki efek samping yang relatif kecil dibanding pengobatan medis atau modern.
Produk tanaman obat (herbal) saat ini sudah banyak dipasarkan dalam bentuk
yang praktis dan mudah diperoleh di pasaran, seperti rajangan atau rebusan, serbuk,
pil dan kapsul. Diharapkan dapat menerobos peluang pasar sesuai perkembangan
permintaan konsumen dan bahkan beberapa bahan baku serta produk jamu juga
telah menjadi komoditas ekspor yang handal umtuk meningkatkan devisa negara.
Salah satu contoh produk tanaman obat herbal adalah dalam bentuk simplisia.
Simplisia merupakan produk hasil proses setelah melalui panen dan pasca panen
menjadi bentuk produk untuk sediaan kefarmasian yang siap dipakai atau siap
diproses selanjutnya. Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses
yang dapat menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi zat
kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Tujuan simplisia dibuat biasanya
untuk pengawetan bahan, pemenuhan stok untuk proses produksi juga paling tidak
untuk mempertahankan kualitas bahan aktif. Pascapanen merupakan bagian integral
dari sistem agribisnis, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai
pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena
merupakan salah satu subsistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam
upaya meningkatkan nilai tambah petani.
Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi
simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh kandungan air bahan, pengaruh
sinar ultra violet dan pengaruh suhu (pemanasan) selama proses pengeringan
berjalan, serta pengaruh pH pada saat enzim di dalam jaringan (hasil panenan)
masih dalam kondisi aktif (Komarawinata, 2008). Penanganan pascapanen tanaman
obat bertujuan untuk mempertahankan mutu produk agar tetap prima sampai ke
tangan konsumen sehingga kehilangan dan kerusakan kandungan bahan aktif dapat
ditekan seminimal mungkin, memperpanjang daya simpan, menekan kerusakan
selama penyimpanan dan dapat menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu
yang berlaku. Secara teknis kegiatan pasca panen diawali dengan proses
pengangkutan hasil panen, sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan,
pengeringan, pengepakan, penyimpanan.
Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum
dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan
sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara
benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
(CPOTB) termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Pengawasan
Mutu adalah bagian dari CPOTB yang berhubungan dengan pengambilan sampel,
spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah
dilakukan dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk
yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan
dinyatakan memenuhi syarat.
Setiap industri obat tradisional hendaklah mempunyai fungsi pengawasan
mutu. Fungsi ini hendaklah independen dari bagian lain. Sumber daya yang
memadai hendaklah tersedia untuk memastikan bahwa semua fungsi Pengawasan
Mutu dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat diandalkan. (CPOTB, 2011).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah diatas, rumusan
masalah dalam makalah ini adalah:
a. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengontrol kualitas saat pasca panen
selama proses seleksi/sortasi basah?
b. Bagaimana pencucian (penirisan-pelayuan) yang baik pada simplisia?
c. Bagaimana upaya untuk megontrol kualitas pasca panen saat proses
pengeringan?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
a. Mengetahui cara untuk mengontrol kualitas saat pasca panen selama proses
seleksi/sortasi basah.
b. Mengetahui cara pencucian (penirisan-pelayuan) yang baik pada simplisia.
c. Mengetahui upaya untuk mengontrol kualitas pasca panen saat proses
pengeringan.
BAB. 2 PEMBAHASAN

2.1 SORTASI BASAH


Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi basah ini bertujuan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing serta bagian
tanaman lain yang tidak diinginkan dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia
yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,
rumput/gulma, tanaman lain yang mirip, bahan yang telah rusak atau busuk, serta
bagian tanaman lain yang memang harus dipisahkan dan dibuang. Telah kita
ketahui bahwa tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang
tinggi. Pemisahan bahan simplisia dari kotoran ini bertujuan untuk menjaga
kemurnian dan mengurangi kontaminasi awal yang dapat mengganggu proses
selanjutnya, mengurangi cemaran mikroba, serta memperoleh simplisia dengan
jenis dan ukuran seragam. Oleh karena itu, dalam tahapan ini juga dilakukan
pemilihan bahan berdasarkan ukuran panjang, lebar, besar kecil, dan lain-lain.

Sortasi basah harus dilakukan secara teliti dan cermat. Kotoran ringan yang
berukuran kecil dapat dipisahkan menggunakan nyiru dengan arah gerakan ke atas
dan ke bawah serta memutar. Kotoran akan berterbangan dan memisah dari bahan
simplisia. Kegiatan sortasi basah dapat juga dilakukan secara bersamaan dengan
pencucian dan penirisan. Pada saat pencucian, bahan dibolak-balik untuk
memisahkan kotoran yang menempel atau terikut dalam bahan.

Proses sortasi basah simplisia


2.2 PENCUCIAN
Tanah dan kotoran yang tidak dapat dihilangkan pada kegiatan sortasi basah
dapat dibersihkan pada tahap pencucian. Fungsi dari pencucian yakni menurunkan
jumlah mikroba yang menyebabkan pembusukan dan membuat penampilan fisik
simplisia lebih menarik. Simplisia yang harus melalui proses pencucian secara
maksimal yakni bahan yang berada didalam tanah, misalnya rimpang, umbi, akar
dan datang yang merambat serta aun yang melekat/ dekat permukaan tanah
(Kemenkes RI, 2011).
Pencucian dilakukan dengan air bersih, bisa menggunakan air sumber, air
sumur atau air PAM. Proses pencucian sebaiknya dilakukan dengan air mengalir
agar kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Kotoran yang melekat dengan
kuat atau berada di bagian yang susah dibersihkan dapat dihilangkan dengan
penyemprotan air bertekanan tinggi atau dengan disikat. Bahan simplisia berupa
akar, umbi, batang, atau buah dan biji dapat dilakukan pengupasan kulit luarnya
untuk mengurangi mikroba awal, karena sebagian jumlah mikroba biasanya
terdapat pada permukaan bahan simplsia dan dengan pencucian saja belum mampu
membebaskan mikroba tersebut. Pencucian simplisia dalam jumlah yang besar
dapat dilakukan dalam bak bertingkat dengan menerapkan konsep air mengalir.

Keterangan:
A: saluran air bersih, B: bak pencucian terakhir, C & E: saluran air, D: bak
pencucian tahap ke-2, F: bak pencucian awal, G: saluran pembuangan limbah
Gambar. Bak pencucian bertingkat
Ada beberapa tahapan yang dilakukan setelah pencucian, yakni:
a. Penirisan
Setelah melalui proses pencucian, bahan simplisia ditiriskan dengan cara
dihamparkan di atas tikar atau alas lain yang berlubang-lubang dan ditaruh diatas
rak yang bersih. Tujuan penirisan yakni mengurangi atau menghilangkan
kandungan air di permukaan bahan dan harus dilakukan segera mungkin sehabis
dicuci. Selama proses penirisan, dilakukan pembolak-balikan bahan simplisia agar
air cepat menetes. Penirisan dilakukan ditempat yang agak teduh dengan aliran
udara yang cukup agar terhindar dari terjadinya fermentasi dan pembusukan bahan
simplisia.
b. Pelayuan
Menurut Kemenkes RI (2011), pelayuan merupakan salah satu proses awal
pengeringan, dimana simplisia sebelum dikeringkan harus melalui tahap pelayuan
pada suhu dan kelembaban tertentu. Pelayuan biasanya dilakukan dengan cara
menutup simplisia dengan kain hitam (Menteri Pertanian, 2011).
Beberapa jenis bahan baku/simplisia seringkali harus diubah menjadi
bentuk lain, misalnya irisan, potongan dan serutan untuk memudahkan kegiatan
pengeringan, pengemasan, penggilingan dan penyimpanan serta pengolahan
selanjutnya. Pengubahan bentuk dilakukan dengan hati-hati dengan pertimbangan
tepat karena perlakuan yang salah justru berakibat turunnya kualitas simplisia yang
diperoleh (Kemenkes RI, 2011).
Tidak semua jenis simplisia mengalami pengubahan bentuk, umumnya
hanya terbatas pada simplisia akar, rimpang, umbi, batang, kayu, kulit batang, daun
dan bunga. Perajangan bisa dilakukan dengan pisau (terbuat dari Stainless steel)
atau alat perajang khusus yang didesain sedemikian rupa (misal Rasingko) sehingga
menghasilkan rajangan yang seragam. Sedangkan untuk menghasilkan simplisia
serutan digunakan alat penyerut kayu (elektrik) yang dapat diatur ukuran
ketebalannya. Semakin tipis ukuran hasil rajangan atau serutan semakin cepat
proses penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan (Kemenkes RI,
2011).
c. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air agar bahan simplisia
tidak rusak dandapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, menghentikan reaksi
enzimatis, dan mencegah pertumbuhan kapang, jamur, dan jasad renik lain. Dengan
matinya sel bagian tanaman, maka proses metabolisme (seperti sintesis dan
transformasi) terhenti, sehingga senyawa aktif yang terbentuk tidak diubah secara
enzimatik. Namun, ada pula bahan simplisia tertentu yang memerlukan proses
enzimatik tertentu setelah dipanen, sehingga diperlukan proses pelayuan (pada suhu
dan kelembapan tertentu) atau pengeringan bertahap sebelum proses pengeringan
sebenarnya. Proses enzimatik diperlukan karena senyawa aktif berada dalam ikatan
kompleks. Misalnya, buah vanili, buah kola, umbi bidara upas, dan umbi bawang.
Tetapi untuk simplisia yang mengandung senyawa aktif mudah menguap,
penundaan pengeringan justru dapat menurunkan kadar senyawa aktif. Hal- hal
yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu, kelembaban udara,
kecepatan aliran udara, waktu (lamanya) pengeringan dan luar permukaan bahan.
Proses pengeringan ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Pengeringan secara alamiah
a. Menggunakan panas sinar matahari langsung
Cara ini dilakukan untuk mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras,
seperti kayu, kulit kayu, biji, dan bahan tanaman yang mengandung senyawa
aktif yang relatif stabil. Kelebihan dari prose pengeringan ini adalah mudah dan
murah. Sedangkan kelemahannya adalah kecepatan pengeringannya sangat
tergantung pada kondisi cuaca.
b. Dengan diangin-anginkan (pada rak pengering)
Proses pengeringan ini dilakukan untuk mengeringkan bahan tanaman
yang lunak seperti bunga, daun, dan bagian tanaman yang mengandung senyawa
aktif mudah menguap.

2. Pengeringan secara buatan


Pengeringan buatan bisa dilakukan menggunakan oven, uap panas, atau alat
pengering lainnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu


pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, lamanya pengeringan, dan luas
permukaan bahan. Bila proses pengeringan telah sesuai, diharapkan dapat terhindar
dari face hardening, yaitu kondisi dimana bagian luar bahan telah kering, namun
bagian dalam bahan masih basah. Penyebab terjadinya face hardening, antara lain:
a. Irisan atau rajangan bahan simplisia terlalu besar atau tebal, sehingga sulit
ditembus oleh panas
b. Suhu pengeringan terlalu tinggi dan lama pengeringan terlalu singkat
c. Adanya keadaan yang menyebabkan penguapan air di permukaan bahan
menjadi jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke permukaan bahan.
Akibatnya, bagian luarbahan menjadi keras dan menghambat proses pengeringan
lebih lanjut. Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan cara
pengeringan. Bahan simplisia umumnya dapat dikeringkan pada suhu ≤ 60 °C.
bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif mudah menguap dan tidak tahan
panas (termolabil) sebaiknya dikeringkan pada suhu rendah, yaitu antara 30-40 °C
selama waktu tertentu. Kelembapan dalam ruang pengering juga dipengaruhi oleh
jenis bahan simplisia, cara pengeringan, dan tahapan-tahapan selama pengeringan.
Kelembapan akan menurun selama berlangsungnya proses pengeringan. Pada
umumnya proses pengeringan buatan akan menghasilkan simplisia dengan mutu
yang lebih baik karena pengeringannya lebih merata dalam waktu relatif cepat, dan
tidak dipengaruhi kondisi cuaca. Selain itu, proses pengeringan dapat dipersingkat
menjadi hanya beberapa jam asalkan senyawa aktifnya stabil, dan kadar air bahan
dapat diturunkan serendah mungkin sesuai dengan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Pentingnya Informasi Kesehatan Bagi Masyarakat, Edisi III Mei
Juni, Buletin Infarkes. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia.


Ditjen POM Depkes. Jakarta: hal 141.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Umum Panen dan Pascapanen


Tumbuhan Obat. Tawangmangu: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TO-OT).

Komarawinata HD. 2008. Budidaya dan pasca panen tanaman obat untuk
meningkatkan kadar bahan aktif. Bandung: Unit Riset dan Pengembangan, PT
Kimia Farma (Persero) Tbk.

Menteri Pertanian. 2011. Pedoman Teknologi Penanganan Pascapanen Tanaman


Obat. Jakarta: Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Hortikultura
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat.

Ningsi, I.Y. 2016. Penanganan Pasca Panen. Jember: Fakultas Farmasi Universitas
Jember

Anda mungkin juga menyukai