Anda di halaman 1dari 18

TUGAS SAINTIFIKASI JAMU

Implementasi Peran Apoteker di Klinik Saintifikasi Jamu Materia Medica


Malang

Dosen Pengampu:
Endah Puspitasari S.Farm., Apt., M.Sc.

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Mei Dwi Cahyani (192211101007)
Dindha Pratiwi S (192211101021)
Alik Almawadah (192211101024)
Oktaviana Y (192211101027)
Muhammad Fawwaz H (192211101041)
Elif Nur Aidah (192211101050)
Fawwaz Ba’tio P (192211101051)
Magfirah Izzani M (192211101063)
Rian Rosela P (192211101081)
Ingga Dias Astri (192211101096)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................................i

1
DAFTAR ISI................................................................................................................1
BAB 1. PENDAHULUAN..........................................................................................2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
2.1 Klasifikasi Tanaman 4
2.2 Morfologi Tanaman 4
2.3 Kandungan Kimia 5
2.4 Khasiat Tanaman 6
2.5 Interaksi Obat 7
BAB 3. PEMBAHASAN.............................................................................................4
3.1 Klasifikasi Tanaman 4
3.2 Klasifikasi Tanaman 4
3.3 Klasifikasi Tanaman 4
BAB 4. PENUTUP...................................................................................................... 4
4.1 Kesimpulan 4
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 4

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

2
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 pasal 108 serta Peraturan Pemerintah No.
51 tahun 2009 tentang praktik kefarmasian menyatakan bahwa praktik kefarmasian
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peran dan tanggung jawab apoteker
dalam saintifikasi jamu meliputi proses pembuatan/penyediaan simplisia dan
penyimpanan, pelayanan resep mencakup skrining resep, Penyiapan obat, peracikan,
pemberian etiket, pemberian kemasan obat, penyerahan obat, dan informasi obat,
konseling, monitoring penggunaan obat, promosi dan edukasi, penyuluhan pelayanan
residensial (Home Care) serta pencatatan dan pelaporannya (Suharmiati, 2012).
Dengan peran dan tanggung jawab di atas maka seorang apoteker harus
memiliki kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan
formal, memiliki pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki pengetahuan
dan keterampilan mengelola jamu serta memiliki tanggung-gugat profesi apoteker
pada masyarakat khususnya pemanfaatan jamu. Oleh karena itu untuk menjadi
seorang apoteker saintifikasi jamu diperlukan suatu tambahan pengetahuan meliputi
pengenalan tanaman obat, formula jamu yang terstandar, pengelolaan jamu di apotek
(pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan, penyimpanan dan pengamanan jamu),
fitoterapi, adverse reaction, toksikologi, dosis dan monitoring evaluasi bahan aktif
jamu, MESOT (Monitoring Efek Samping OT), manajemen pencatatan dan
pelaporan, post market surveilance, serta komunikasi dan konseling (Suharmiati,
2012).
Dalam Permenkes No. 003/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi Jamu
(SJ) dinyatakan bahwa salah satu tujuan Saintifikasi Jamu adalah memberikan
landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empiris melalui
penelitian yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik
pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan alasan

3
sebagian besar responden berobat ke klinik SJ karena penggunaan obat kimia atau
pengobatan konvensional yang selama ini digunakan belum dapat menyembuhkan
keluhan sakit atau menyembuhkan penyakit yang diderita responden, selain berusaha
mencari pengobatan yang aman dari efek samping. Sumber informasi tentang klinik
SJ lebih banyak diperoleh dari teman dibandingkan saudara (keluarga), dan hanya
satu orang yang memperoleh informasi dari tetangga juga televisi. Sebagian besar
responden telah memperoleh informasi yang cukup dari petugas klinik SJ khususnya
dari dokter dan apoteker. Sebagian responden menilai baik keramahan, kecepatan
pelayanan dari petugas klinik SJ, serta menilai fasilitas yang tersedia yaitu cukup dan
memenuhi persyaratan (Ali Ahmad, 2012).
Pengembangan program Saintifikasi Jamu memerlukan dukungan dari
berbagai pihak. Promosi di kalangan masyarakat untuk memasukkan jamu sebagai
pilihan dalam pengobatan tidak akan berarti apa-apa jika pelayanan jamu yang
terpercaya masih susah untuk ditemui. Oleh karena itu, dengan adanya pelatihan
Saintifikasi Jamu diharapkan akan terjalin energi positif di setiap wilayah antara
dokter, apoteker dan pemerintah daerah sebagai Tim SJ dalam pelayanan jamu. Selain
itu, diharapkan di setiap wilayah di Indonesia dilengkapi dengan pelayanan
saintifikasi jamu, termasuk UPT Materia Medica Batu yang berencana mendirikan
Rumah Riset Jamu “Materia Medica”. Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik,
UPT Materia Medica Batu membuka klinik saintifikasi jamu “Rumah Sehat”. Klinik
ini bertempat di lingkungan UPT Materia Medica, Jl. Lahor no.87 Kota Batu.

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana peran apoteker dalam klinik SJ berdasarkan peraturan yang
berlaku?
b. Bagaimana peran apoteker berdasarkan fakta di lapangan (di klinik SJ Materia
Medica)?

4
c. Bagaimana analisa serta perbandingan peran apoteker berdasarkan teori dan
fakta di lapangan (di klinik SJ Materia Medica)?

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui peran apoteker dalam klinik SJ berdasarkan peraturan.
b. Untuk mengetahui peran apoteker berdasarkan fakta di lapangan (di klinik SJ
Materia Medica).
c. Untuk mengetahui analisa serta perbandingan peran apoteker berdasarkan
teori dan fakta di lapangan (di klinik SJ Materia Medica).

5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Tujuan Saintifikasi Jamu


Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis
pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan
hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin
atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi
jamu dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Ruang lingkup saintifikasi
jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan kuratif.
Saintifikasi jamu dalam upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis
pasien sebagai komplementer alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang
cukup.
Tujuan dari saintifikasi jamu menurut Permenkes RI No.
003/Menkes/Per/I/2010 adalah:
 Memberikan landasan ilmiah (evidence base) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
 Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif,
rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
 Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu.
 Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang
teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupaun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

2.2. Tipe-tipe Klinik Saintifikasi Jamu

6
Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah memiliki izin atau sesuai
dengan perundang undangan yang berlaku. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
digunakan untuk saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta
yang meliputi B2P2TOOT (balai besar penelitian dan pengembangan tanaman obat
dan obat tradisional), klinik jamu, SP3T (sentral pengembangan dan penerapan
pengobatan tradisional), BKTM (balai kesehatan tradisional masyarakat)/LKTM
(loka kesehatan tradisional masyarakat). Klinik jamu merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu, klinik jamu terdiri dari 2 tipe yaitu
tipe A dan tipe B.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
003/MENKES//PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan
Kesehatan. Klinik jamu terdiri dari dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B.
Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Memiliki ketenagaan yang meliputi dokter sebagai tanggung jawab, asisten
apoteker, tenaga kesehatan komplementer alternative lainnya sesuai
kebutuhan, D3 pengobat tradisional atau pengobat tradisional yang diakui
departemen kesehatan dan tenaga administrasi.
 Sarana yang meliputi peralatan medis dan peralatan jamu.
 Memiliki ruangan yang terdiri dari ruang tunggu, pendaftaran dan rekam
medis, konsultasi/ pelaksanaan penelitian, pemeriksaan/tindakan, peracikan
jamu, penyimpanan jamu, diskusi, laboratorium sederhana, dan apotek jamu.
Sedangkan, Klinik jamu tipe B harus memenuhi persyaratan yaitu:
 memiliki ketenagaan yang meliputi dokter sebagai tanggung jawab, tenaga
kesehatan komplementer alternative lainnya sesuai kebutuhan, D3 pengobat
tradisional atau pengobat ramuan yang tergabung dalam asosiasi pengobat
tradisional yang diakui departemen kesehatan dan tenaga administrasi.
 Sarana yang meliputi peralatan medis dan peralatan jamu.
 Memiliki ruangan yang terdiri dari ruang tunggu dan pendaftaran, konsultasi,
pemeriksaan/tindakan/penelitian dan rekam medis, serta peracikan jamu.

7
2.3. Dasar Hukum tentang Saintifikasi Jamu
Dasar hukum yang berkaitan dengan saintifikasi jamu didasarkan dari
beberapa peraturan, diantaranya:
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan saah satu
dasas hukum, dimana disebutkan pada Bab I pasal 1 bahwa sediaan farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Sediaan farmasi khususnya obat
tradisional salah satunya dapat di temui di klinik saintifikasi jamu. Dasar hukum
mengenai saintifikasi jamu yang utama yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No.3
Tahun 2012 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan. Berbagai peratuan telah ditetapkan sebelumnya, sehingga mendasari
adanya kebijakan mengenai saintifikasi jamu ini seperti Undang-Undang No. 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi serta Keputusan Menteri Kesehatan No.
791/Menkes/SK/VII/1999 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Kepmenkes RI, 1999; UU RI, 2009; Permenkes RI, 2012;
UU RI, 2002).
Peraturan lain yang telah terbit yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 88 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku
Obat Tradisional. Setiap klinik saintifikasi jamu akan membutuhkan bahan baku obat
tradisional (BBOT) untuk melakukan penelitian. Dukungan regulasi lin telah
diberikan oleh pemerintah seperti menerbitkan standar mutu BBOT, baik simplisia
dan ekstrak dalam Materia Medika Indonesia, Monografi Ekstrak Tanaman Obat
Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia (Permenkes RI, 2013).
Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa praktik
kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, belum ada

8
kebijakan yang mengatur standar pelayanan kefarmasian di klinik saintifikasi jamu,
padahal di fasilitas pelayanan lain seperti rumah sakit, puskesmas, dan apotek sudah
ada peraturan yang jelas mengenai standar pelayan kefarmasian (Peraturan
Pemerintah RI, 2009).

2.4. Deskripsi Klinik Saintifikasi Jamu Materia Medica Batu Malang


Materia Medica Batu (MMB) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur yang berlokasi di Kota Batu. Balai
Materia Medica Batu terletak di lingkungan Desa Pesanggrahan yang letak lokasinya
berbatasan dengan Kelurahan Ngaglik di wilayah Kota Batu. Berdasarkan letak
geografisnya Balai Materia Medica terletak pada ketinggian ± 875 dpl dengan suhu ±
20–25oC. Balai Materia Medica Batu yang terletak di Jl. Lahor No. 87 Batu memiliki
luas tanah dan bangunan seluas 2.1 Ha. Pada tahun 2002, Balai Materia Medica
mengalami perluasan lahan sejalan dengan program pengembangan Balai Materia
Medica Batu. Balai Materia Medica Batu Malang, dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Balai Materia Medica Batu Malang

Materia Medica didirikan sejak tahun 1960 oleh almarhum Bapak


R.M.Santoso. Beliau juga merupakan salah satu pendiri Hortus Medicus
Tawangmangu yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) di Tawangmangu.

9
Awal berdirinya Materia Medica didasarkan hasil pengamatan beliau tentang tanaman
obat di Indonesia yang tidak dapat dikoleksi pada satu daerah saja. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan daya adaptasi tanaman obat terhadap lingkungan (iklim). Tugas pokok
BMM adalah penyuluhan dan pengelolaan Tanaman Obat meliputi Tanaman Obat
Tradisional dan Tanaman Obat yang mengandung bahan baku obat. Ada sekitar 600
jenis tanaman obat yang terdapat di Materia Medica Batu.
Visi dan misi UPT Materia Medica Batu yaitu:
 Meningkatkan promosi pemanfaatan tanaman obat sebagai bahan baku alam
Indonesia, mengembangkan monografi dan standar mutu baik simplisia
maupun ekstrak,
 Membantu penyusunan farmakope herbal Indonesia, mengembangkan
penelitian dasar tanaman obat alam Indonesia, mempertahankan plasma
nuftah tanaman obat alam Indonesia, memperkokoh jaringan kerjasama antar
lembaga penelitian dan industri terkait dan mengembangkan database
tanaman obat alam Indonesia.
Program kerja UPT Materia Medica Batu adalah pelayanan informasi
Tanaman Obat Alam Indonesia (obat tradisional), penelitian tanaman obat dan
tanaman yang mengandung bahan baku obat yang berkaitan dengan budidaya dan
identifikasi kandungan bahan aktif dimana Materia Medica mempunyai 2
laboratorium utama yaitu Lab. Fitokimia dan Lab. Kultur Jaringan Tanaman,
pembinaan kepada kelompok tani dan PKK berkaitan dengan pemanfataan dan
budidaya tanaman obat dimana Materia Medica aktif mengadakan penyuluhan ke
beberapa daerah misal penyuluhan di Kota Mojokerto dan di Kabupaten Malang
Selatan, pelayanan contoh ekstrak dan simplisia tanaman obat tradisional yang
terstandarisasi dimana Materia Medica menyediakan berbagai macam simplisia
(kering dan serbuk) serta ekstrak, pelayanan konsultasi kesehatan terhadap
pemanfaatan tanaman obat dan pelaksanaan budidaya tanaman obat.
Brosusr di Klinik tersebut, tertera pada Gambar 2.2.

10
Gambar 2.2. Brosur dan Praktik Kerja Klinik SJ Materia Medica Batu Malang
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1. Peran Apoteker dalam Saintifikasi Jamu berdasarkan Peraturan


Permenkes No. 3 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu mengenai pengaturan
ketenagaan serta pencatatan tentang saintifikasi jamu Tugas dan peran apoteker pada

11
klinik Saintifikasi Jamu masih belum dikaji secara detail. Pada pasal 8 Permenkes
No. 3 Tahun 2010 hanya menunjukkan apoteker merupakan bagian dari ketenagaan
pada klinik Saintifikasi Jamu. Namun, jika meninjau peran apoteker pada UU No. 36
Tahun 2009 pasal 108 dan UU No. 51 Tahun 2009, apoteker berperan dalam
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Penelitian tentang peran apoteker dalam saintifikasi jamu telah dilakukan di 3
(tiga) kota yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Denpasar dengan sasaran penelitian
apoteker khususnya yang praktik di farmasi komunitas dengan cara diskusi untuk
dibuat kesimpulan berupa argumentasi hukum, selanjutnya dilaksanakan Round Table
Discussion (RTD) dengan pakar Hukum, organisasi profesi (IAI), Pengelola program
Kementerian Kesehatan terkait dengan Saintifikasi Jamu dan Apoteker, Badan POM,
Komnas Saintifikasi Jamu, GP Jamu dan Stakeholder lain yang terkait untuk
membuat rancangan formulasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran dan
tanggung jawab apoteker pada klinik Saintifikasi Jamu meliputi proses
pembuatan/penyediaan simplisia & penyimpanan, pelayanan resep mencakup
skrining resep, penyiapan obat, peracikan, pemberian etiket, pemberian kemasan
obat,penyerahan obat, dan Informasi obat, konseling. Monitoring penggunaan obat,
promosi dan edukasi, home care. serta pencatatan dan pelaporan (Suharmiati dkk.,
2010). Selain itu, perlu adanya peraturan lainnya yang mengkaji peran apoteker yang
melakukan praktik tenaga kefarmasian di klinik saintifikasi jamu agar berbeda
dengan pelayanan kefarmasian di klinik pada umumnya dan perlu adanya Permenkes
tentang Rekam Formulasi Farmasi (Pharmaceutical Record). Peran dan tanggung
jawab apoteker dalam upaya penyelenggaraan praktik kefarmasian tersebut dalam
rangka promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik bagi perorangan, kelompok
dan atau masyarakat sesuai dengan asas paradigma pharmaceutical care. Hal ini
sesuai dengan paradigma pelayanan kefarmasian yang sekarang berkembang yaitu
pelayanan kefarmasian yang berazaskan pada konsep Pharmaceutical Care, yaitu

12
bergesernya orientasi seorang apoteker dari product atau drug oriented menjadi
patient oriented. Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan
pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan
penggunaan obat termasuk obat tradisional yang rasional, baik sebelum, selama,
maupun sesudah penggunaan obat termasuk obat tradisional. Sehingga sebagai
apoteker saintifikasi jamu diperlukan pengetahuan tambahan seperti pengenalan
tanaman obat, formula jamu yang terstandar, pengelolaan jamu di apotek
(pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan, penyimpanan dan pengamanan jamu),
fitoterapi, adverse reaction, toksikologi, dosis dan monitoring evalusi bahan aktif
jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), manajemen pencatatan dan pelaporan,
post market surveilance, serta komunikasi dan konseling (Suharmiati dkk., 2010).
Menurut suharmiati dkk (2010), Tugas apoteker dalam Saintifikasi Jamu,
yaitu :
a. Penyediaan bahan baku jamu yang berkualitas. Dalam hal ini, apoteker dapat
bekerja sama dengan ahli pertanian dalam standarisasi proses penyediaan
bahan baku (penanaman, panen, pengolahan pasca panen).
b. Menjamin keamanan, mutu dan manfaat jamu. Melakukan pengembangan dan
penelitian terkait keamanan, mutu, dan manfaat jamu dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan paliatif. Pendekatan yang dilakukan dengan
mendapatkan informasi ilmiah terkait penggunaan jamu (studi etnomedisin,
studi epidemiologi, studi pelayanan kesehatan).
c. Meningkatkan penggunaan jamu yang rasional. Melakukan pemberikan KIE
kepada masyarakat mengenai pemakaian jamu yang baik dan benar.
Fungsi dan peran apoteker dalam Saintifikasi Jamu diantaranya :
a. Merencanakan pelaksanaan evaluasi penelitian dan atau pengembangan di
bidang obat tradisional.
b. Melaksanakan eksplorasi inventarisasi, identifikasi, adaptasi dan koleksi
tanaman obat.
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, konservasi dan
pelestarian tanaman obat.

13
d. Mengembangkan ilmu dan teknologi standarisasi tanaman obat dan obat
tradisional.
e. Melaksanakan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan dibidang
tanaman obat dan obat tradisional.
f. Melaksanakan pelatihan teknis dibidang pembibitan, budidaya, pasca panen,
analisis, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan
kemanfaatan obat tradisional.
g. Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga.

3.2. Peran Apoteker berdasarkan Fakta di Lapangan di Klinik Saintifikasi Jamu


Materia Medica Batu Malang
Implementasi di lapangan, terlihat bahwa tugas dan peran apoteker pada
Klinik Saintifikasi Jamu Materia Medica Batu Malang masih belum dijelaskan secara
rinci, akan tetapi pada profilnya disebutkan beberapa tugas dari rumah sehat Materia
Medica diantaranya:
 Pelayanan informasi tanaman obat alam Indonesia (obat tradisional).
 Penelitian tanaman obat dan tanaman yang mengandung bahan baku obat, yang
berkaitan dengan budidaya dan identifikasi kandungan bahan aktif.
Untuk tujuan ini, Materia Medica mempunyai 2 laboratorium utama, yaitu Lab.
Fitokimia dan Lab. Kultur Jaringan Tanaman yang berfungsi sebagai sarana
analisis tanaman obat untuk meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki
khasiat nyata dan teruji secara ilmiah sehingga dapat dimanfaatkan secara luas
untuk pengobatan penyakit.
 Pembinaan kepada kelompok tani dan PKK berkaitan dengan pemanfataan dan
budidaya tanaman obat oleh Apoteker dan tenaga teknis kesehatan lainnya.
Saintifikasi jamu Materia Medica secara aktif mengadakan penyuluhan ke
beberapa daerah, misal penyuluhan di Kota Mojokerto dan di Kabupaten Malang
Selatan. Pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta
pemanfaatan budidaya tanaman obat agar dapat dikembangkan oleh masyarakat.

14
 Pelayanan contoh ekstrak dan simplisia tanaman obat tradisional yang
terstandarisasi. Klinik materia medica menyediakan berbagai macam simplisia
(kering dan serbuk), serta ekstrak.
 Pelayanan konsultasi kesehatan terhadap pemanfaatan tanaman obat.
Dalam klinik tersebut tersedia konsultasi kesehatan terhadap pemanfaatan tanaman
obat kepada pegunjung, pasien ataupun keluarga pasien yang sedang melakukan
pengobatan di klinik.

3.3. Perbandingan Peran Apoteker sesuai Peraturan dengan Fakta di Klinik


Materia Medica
Tujuan saintifikasi jamu menurut Permenkes No. 03/MENKES/PER/2010
yaitu memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, yaitu klinik
pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Dalam peraturan tersebut, keberadaan apoteker
belum menjadi syarat utama pendirian klinik jamu baik tipe B maupun tipe A. Dalam
UU No. 36 tahun 2009 pasal 108 ayat 1 dan PP No. 51 tahun 2009 dijelaskan bahwa
praktik kefarmasian baik itu menyangkut obat, bahan obat, maupun obat tradisional
hendaknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai ketentuan perundang-undangan dalam hal ini adalah apoteker.
Menurut Suharmiati dkk. (2010), apoteker pada klinik Saintifikasi Jamu berperan dan
tanggung jawab terhadap proses pembuatan/penyediaan/penyimpanan simplisia,
pelayanan resep, monitoring penggunaan obat tradisional / jamu, promosi dan
edukasi, home care, serta pencatatan dan pelaporan.
Kegiatan dan layanan yang ada di UPT Klinik SJ Materia Medica Batu Jawa
Timur membutuhkan kompetensi seorang apoteker, misalnya pada pelayanan
informasi tanaman obat alam Indonesia (obat tradisional) dan penelitian tanaman obat
dan tanaman yang mengandung bahan baku obat khususnya yang berkaitan dengan
identifikasi kandungan bahan aktif. Dengan didirikannya Klinik Saintifikasi Jamu
Rumah Sehat Materia Medica, peran apoteker semakin tampak. Apoteker akan

15
memberikan layanan konsultasi terhadap pemanfaatan tanaman obat kepada pasien
yang datang ke klinik saintifikasi jamu tersebut. Layanan tersebut dimulai dari
pelayanan resep hingga KIE. Dokter saintifikasi jamu hanya menuliskan diagnosisnya
tanpa memberitahukan tanaman obat apa yang harus diberikan kepada pasien. Yang
menentukan tanaman obat dan banyaknya takaran yang harus diterima pasien untuk
dibuat jamu adalah apoteker. Dalam proses penyiapan simplisia yang akan diberikan
kepada pasien, apoteker dapat dibantu oleh asisten apoteker atau tenaga teknis
kefarmasian. Selanjutnya apoteker akan memberikan KIE kepada pasien mulai dari
tanaman obat apa saja yang diterima pasien, khasiatnya, cara peracikan, waktu
minum jamu, dll.
Seharusnya, diperlukan adanya peraturan yang mengatur tugas, wewenang,
dan kompetensi seorang apoteker saintifikasi jamu. Karena, seorang apoteker
saintifikasi jamu harus memiliki pengetahuan tambahan mengenai tanaman obat,
formula jamu terstandar, dan pengelolaan jamu. Karena tidak adanya peraturan yang
mengatur apoteker saintifikasi jamu, maka belum ada standar yang dapat dijadikan
patokan peran apa saja yang harus dilakukan seorang apoteker saintifikasi jamu.

BAB 4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang implementasi peran apotoker di Klinik
Saintifikasi Jamu Materia Medica (Rumah Sehat Materia Medica) Batu Malang,
dapat disimpulkan :
1. Materia Medica Batu (MMB) merupakan salah satu Klinik SJ yang berlokasi
di Kota Batu. Balai Materia Medica Batu terletak di lingkungan Desa

16
Pesanggrahan yang letak lokasinya berbatasan dengan Kelurahan Ngaglik di
wilayah Kota Batu.
2. Materia Medica Batu memiliki program kerja pelayanan informasi Tanaman
Obat Alam Indonesia (obat tradisional), penelitian tanaman obat dan tanaman
yang mengandung bahan baku obat, budidaya tanaman obat, pelayanan
ekstrak dan simplisia tanaman obat tradisional yang terstandarisasi untuk obat
tradisional, dan pelayanan konsultasi kesehatan terhadap pemanfaatan
tanaman obat.
3. Tugas apoteker pada Klinik Saintifikasi Jamu Materia Medica Batu meliputi
pelayanan informasi tanaman obat alam Indonesia (obat tradisional),
penelitian tanaman obat dan tanaman yang mengandung bahan baku obat
yang berkaitan dengan budidaya dan identifikasi kandungan bahan aktif, serta
pelayanan konsultasi kesehatan terhadap pemanfaatan tanaman obat.
4. Implementasi peran apoteker jika dibandingkan dengan peran apoteker sesuia
peraturan dengan fakta dilapangan terlihat bahwa seharusnya apoteker akan
memberikan layanan konsultasi terhadap pemanfaatan tanaman obat kepada
pasien yang datang ke klinik saintifikasi jamu tersebut yang dimulai dari
pelayanan resep hingga KIE.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad, Fachrudin. 2012. Analisis Penggunaan Jamu untuk Pengobatan Pada
Pasien di Klinik Saintifi kasi Jamu Hortus Medicus Tawangmangu Tahun 2012.
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Sarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat Depok, Universitas Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Undang-undang No. 36 Tahun 2009


Tentang
Kesehatan. Jakarta : Depkes RI

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 003 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam

17
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 791/Menkes/SK/VII/1999. Koordinasi


Penyelenggaraan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. 1999. Jakarta.

Materia Medica Batu- Mari Budayakan Minum Jamu. Dikutip dari:


https://materiamedicabatu.wordpress.com

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 88 Tahun 2013. Rencana Induk
Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional. 2013. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009. Pekerjaan


Kefarmasian. 2009. Jakarta: Pemerintah Repulik Indonesia.

Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2002. Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,


Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Jakarta.

Suharmiati. 2012. Kajian Hukum Peran “Apoteker” Dalam Saintifikasi Jamu. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 15:20–23.

18

Anda mungkin juga menyukai