Anda di halaman 1dari 40

Post 2

Nama Post : Operasional Produksi


Ruang Lingkup : Memahami kegiatan produksi / meracik
Kompetensi :
1. Mengetahui alat dan bahan pendukung yang digunakan dalam meracik
2. Mengetahui cara menggunakan dan membersihkan alat racik
3. Mengetahui cara meracik sediaan farmasi yang lazim ada pada resep seperti
puyer, kapsul, bedak tabur dan salep serta rekonstitusi sedian sirup kering.
4. Memahami prinsip pengenceran sediaan farmasi dan pelarut sediaan yang
sering digunakan.

Tugas yang harus diselesaikan :


1. Memahami perhitungan BUD (Beyond Use Date) dalam peracikan obat @ 30
point / aktivitas
2. Meracik (jika ada resep racikan) dan membersihkan alat racik (Target minimal
5 racikan / mahasiswa / gelombang) @ 30 point / aktivitas
3. Merangkum video simulasi meracik, membersihkan alat racik, pelaporan obat
psikotropika dan narkotika (SIPNAP), serta Stock Opname. @ 25 point /
topik video
4. Stock opname minimal 5 obat psikotropika dan narkotika per hari. (Target
minimal 20 obat psikotropika dan narkotika per gelombang) @ 10 point / obat
5. Mempraktekan simulasi meracik (Target waktu pengerjaan maksimal 15 menit
/ resep) @ 50 point / aktivitas
6. Mengerjakan soal pengenceran obat (Target minimal nilai 70 / mahasiswa) @
50 point / aktivitas
7. Mengemas pesanan (orderan) toko online (Target tidak terbatas (Unlimited) /
mahasiswa / gelombang) @ 15 point / orderan

Materi Pos 2
2.1 Alat dan Bahan dalam Peracikan Sediaan Farmasi
2.1.1 Alat dalam Peracikan Sediaan Farmasi
Sampai munculnya pembuatan obat-obatan kepemilikan berskala besar di
abad ke-20, seorang apoteker biasa membutuhkan tempat yang cocok untuk
mengolah obat dan produk obat dan sebagai laboratorium atau area persiapan yang
dapat digunakan untuk kegiatan peracikan. Maka dari itu, apoteker perlu dilengkapi
dengan peralatan yang sesuai untuk penimbangan, penghancuran, pencampuran,
filtrasi, pemanasan dan kondensasi. Adapun beberapa peralatan yang digunakan
dalam proses peracikan sediaan farmasi yaitu[10]:
1. Timbangan merupakan alat yang digunakan untuk mengukur bobot zat yang
akan dijadikan sebagai sediaan.

Gambar 1. Timbangan
2. Gelas ukur merupakan alat digunakan untuk mengukur pelarut/ volume zat obat.

Gambar 2. Gelas ukur


3. Lumpang dan alu merupakan alat digunakan untuk menghancurkan/
menghaluskan/ mencampur zat obat seperti serbuk ataupun salep.

Gambar 3. Lumpang dan alu


4. Blender obat merupakan alat yang digunakan untuk menghancurkan/
menghaluskan obat padat menjadi serbuk dengan bantuan mesin.

Gambar 4. Blender obat.


5. Sendok tanduk merupakan alat yang digunakan untuk mengambil bahan padat/
serbuk dalam jumlah besar.

Gambar 5. Sendok tanduk


6. Sendok tanduk stainless steel merupakan alat yang digunakan untuk mengambil
bahan padat/ serbuk dalam jumlah kecil.

Gambar 6. Sendok tanduk stainless steel


7. Gelas beaker merupakan alat yang digunakan untuk menampung zat cair atau
pelarut.

Gambar 7. Gelas beaker.


8. Pengisi kapsul merupakan alat yang digunakan untuk mengisi kapsul dengan
dengan serbuk untuk mendapatkan kapsul berdasarkan ukurannya.

Gambar 8. Pengisi Kapsul


9. Cangkang kapsul merupakan bahan yang digunakan untuk membuat sediaan
kapsul dengan memasukkan serbuk obat yang telah diracik kedalam cangkang
kapsul yang biasanya terbuat dari gelatin.

Gambar 9. Cangkang kapsul


10. Kertas perkamen / kertas puyer merupakan bahan yang digunakan untuk
membungkus sebuk obat yang telah diracik atau diubah bentuk sediaannya
sehingga lebih mudah digunakan untuk pasien khususnya anak-anak.

Gambar 10. Kertas Perkamen / Puyer


11. Sendok tatakan kantong puyer merupakan alat yang membantuh kita dalam
memasukkan serbuk obat kedalam kantong puyer yang telah jadi sehingga lebih
efektif dan efisien.

Gambar 11. Sendok Tatakan Kantong Puyer


12. Penyegel (Sealer) kantong puyer merupakan alat perekat atau penyegel kantong
puyer yang terbuat dari kertas perkamen berlapisan lilin (wax) sehingga kantong
puyer tertutup rapat setelah peracikan.

Gambar 12. Penyegel Kantong Puyer

2.1.2 Bahan dalam Peracikan Sediaan Farmasi


Untuk membuat suatu zat obat menjadi suatu bentuk sediaan akhir, bahan-
bahan farmasetik dibutuhkan. Sebagai contoh, dalam pembuatan larutan sediaan
farmasi, satu atau lebih pelarut digunakan untuk melarutkan zat obat tersebut,
pengawet dapat ditambahkan untuk mencegah pertumbuhan mikroba, penstabil bisa
digunakan untuk mencegah peruraian obat, dan pemberi warna serta pemberi rasa
ditambahkan untuk menambahkan penampilan produk[5].
Tabel 1. Bahan-bahan dalam peracikan sediaan farmasi.
Tipe Bahan Definisi Contoh
Zat Pemberi Digunakan untuk mewarnai Eritrosin (FD&C Red No. 3),
Warna preparat farmasi. karamel ferioksida merah.
Digunakan untuk meningkatkan
dan yang terbagi menjaga
dispersi partikel-partikel halus Gom, sorbitan monoleat,
Zat Pengemulsi
dari suatu cairan dalam suatu polioksietilen 50 stearat.
pembawa yang saling tidak
bercampur.
Minyak anisi, minyak kayu
Digunakan untuk memberikan
manis, coklat, mentol,
Pemberi Rasa rasa sedap dan seringkali wangi
minyak oranye, minyak
ke suatu preparat farmasi.
permen, dan vanilli.
Digunakan untuk mencegah
keringnya preparat terutama
Gliserin, propilen glikol,
Pelembap salep dan krim karena
sorbitol.
kemampuan zat tersebut untuk
menahan lembap.
Suatu cairan yang digunakan
sebagai suatu zat yang ikut
mengurangi ukuran partikel dari
Zat Pelembut Minyak mineral
suatu serbuk obat dengan
menggiling bersama, biasanya
dalam mortar.
Lanolin, salep hidrofilik,
Padatan setengah padat, di
salep polietilenglikol,
mana ke dalam pembawa
Dasar salep petrolatum, petrolatum
tersebut zat obat dicampur dalam
hidrofilik, salep putih, salep
menyiapkan salep obat.
kuning, salep air mawar.
Suatu zat yang digunakan untuk Alkohol, isopropyl alkohol,
Pelarut melarutkan zat farmasi lain atau minyak mineral, asam oleat,
suatu obat dalam preparat minyak kacang, air murni, air
larutan. untuk injeksi, air steril untuk
injeksi, air steril untuk irigasi.
Digunakan sebagai suatu
Dasar pembawa, di mana zat obat Oleum cacao, polietilen
Suppositoria dimasukkan ke dalamnya dalam glikol campuran.
penyimpanan suppositoria.
Digunakan untuk meningkatkan
kekentalan atau kekerasan dari Setil alkohol, paraffin, malam
Zat Pengeras
suatu preparat farmasi, biasanya putih, malam kuning.
salep.
Zat-zat yang mengadsorbsi pada
permukaaan atau antarmuka
Benzalkonium klorida,
untuk mengurangi tegangan
nonoksinol 10, oktoksinol 9,
Surfaktan permukaan atau tegangan
polisorbat 80, natrium lauril
antarmuka. Dapat digunakan
sulfat, sorbitan monopalmitat
sebagai pembasah, detergen
atau zat pengemulsi.
Agar, bentonit, natrium
Zat yang meningkatkan
karboksimetil selulosa,
viskositas yang digunakan untuk
Zat pensuspensi hidoksi propil metil selulosa,
mengurangi laju sedimentasi dari
metil selulosa, tragakan,
partikel-partikel terdispersi.
xanthan gum.
Dugunakan untuk memaniskan Dektrosa, natrium sakarin,
Zat pemanis
suatu preparat. dan sukrosa

2.2 Aturan Umum dalam Peracikan Sediaan Farmasi


2.2.1 Cara Pembuatan Serbuk
Serbuk diracik dengan cara mencampur bahan obat satu persatu, sedikt demi
sedikit dan dimulai dari bahan obat yang jumlahnya sedikit, kemudian diayak,
biasanya menggunakan pengayak No. 60, dan dicampur lagi[14].
1. Jika serbuk mengandung lemak, harus diayak dengan pengayak No. 44.
2. Jika obat bobotnya kurang dari 50 mg atau jumlah tersebut tidak dapat
ditimbang harus dilakukan pengenceran menggunakan zat tambahan yang
cocok.
3. Jika obat berupa serbuk kasar, terutama simplisia nabati, serbuk digerus
terlebih dahulu sampai derajat halus sesuai yang tertera pada pengayak dan
derajat halus serbuk setelah itu dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 50oC.
4. Jika obat berupa cairan misalnya tingtur dan ekstrak cair, pelarutnya diuapkan
hingga hampir kering, dan serbukkan dengan zat tambahan yang cocok.
5. Obat bermassa lembek, misalnya ekstrak kental, dilarutkan dalam pelarut
yang sesuai secukupnya dan diserbukkan dengan zat tambahan yang cocok.
6. Jika serbuk obat mengandung bagian yang mudah menguap, dikeringkan
dengan pertolongan kapur tohor atau bahan pengering lain yang cocok.
2.2.2 Cara Pembuatan Salep
Secara umum, cara pembuatan salep, yaitu[4]:
1. Zat yang dapat larut dalam dasar salep, dilarutkan bila perlu dengan
pemanasan rendah.
2. Zat yang tidak cukup larut dalam dasar salep, lebih dulu diserbukkan dan
diayak dengan derajat ayakan no. 100.
3. Zat yang mudah larut dalam air dan stabil, serta dasar salep mampu
mendukung/ menyerap air tersebut, dilarutkan dulu dalam air yang tersedia,
setelah itu ditambahkan bagian dasar salep yang lain.
4. Bila dasar salep dibuat dengan cara peleburan, maka campuran tersebut
harus diaduk sampai dingin.
2.2.3 Cara Pembuatan Kapsul
Kapsul dibuat dengan cara mengisi kapsul dengan obat ataupun campuran
obat yang telah diserbukkan terlebih dahulu. Pengisian kapsul dapat dilakukan
melalui 3 cara, yaitu[14].
1. Pengisian Kapsul dengan Cara Manual (Menggunakan Tangan)
Merupakan cara yang paling sederhana, yaitu dengan tangan tanpa bantuan orang
lain. Pada pengisian kapsul dengan metode ini sebaiknya menggunakan sarung
tangan untuk mencegah alergi yang mungkin timbul akibat petugas tidak tahan
terhadap obat tersebut. Untuk memasukkan obat dapat dilakukan dengan serbuk
dibagi terlebih dahulu sesuai dengan jumlah kapsul yang diminta. Lalu, tiap bagian
serbuk tadi dimasukkan ke dalam badan kapsul dan ditutup.
2. Pengisian Kapsul dengan Alat Bukan Mesin
Alat yang dimaksud di sini adalah alat yang menggunakan tangan manusia. Dengan
menggunakan alat ini akan didapat kapsul yang lebih seragam dan pengerjaannya
dapat lebih cepat, sebab sekali dibuat dapat dihasilkan berpuluh-puluh kapsul. Alat
ini terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian yang tetap dan bagian yang bergerak.
Cara pengisian kapsul dengan menggunakan metode ini, yaitu:
a. Buka bagian-bagian kapsul.
b. Badan kapsul dimasukkan ke dalam lubang pada bagian alat yang tidak
bergerak/ tetap.
c. Taburkan serbuk yang akan dimasukkan ke dalam kapsul.
d. Ratakan / mampatkan serbuk dengan bantuan alat kertas film / spatel / penotol.
e. Tutup kapsul dengan cara merapatkan sampai ada bunyi "klik" atau
menggerakkan bagian alat yang bergerak.
3. Pengisian Kapsul dengan Bantuan Mesin
Untuk memproduksi kapsul secara besar-besaran dan menjaga keseragaman
kapsul, perlu dipergunakan alat yang otomatis mulai dari membuka, mengisi, sampai
dengan menutup kapsul. Dengan metode ini, produksi kapsul dapat dilakukan
secara cepat dan tenaga yang dikeluarkan menjadi lebih kecil. Metode ini biasa
dilakukan pada industri farmasi yang memproduksi obat dalam bentuk kapsul.
2.2.4 Cara Pembuatan Sirup Kering
Pembuatan sirup kering dapat dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu [12]:
1. Pencampuran serbuk
Campuran serbuk dilakukan dengan mecampurkan zat aktif dengan zat eksipien dari
campuran kering dalam bentuk bubuk. Selain itu, pencampuran zat aktif dan
eksipien perlu dilakukan secara homogen dan dipastikan tidak terjadi
inkompatibilitas antara beberapa bahan.
2. Granulasi Produk
Semua eksipien dalam produk butiran diproses dengan granulasi. Granulasi basah
adalah proses yang biasa dilakukan dan cairan granulasi adalah air atau larutan
pengikat berair. Ada dua metode memasukkan obat. Obat dapat dicampur kering
dengan eksipien lain atau dapat dilarutkan atau disuspensikan dalam cairan
granulasi. Granulasi basah biasanya terdiri dari langkah-langkah berikut. Eksipien
padat dicampur dan disatukan dengan cairan granulasi dalam mesin pencampur.
Massa basah dibentuk menjadi butiran sebelum dikeringkan dengan menggunakan
ayakan, oscillating granulator, parutan atau penggiling.
3. Kombinasi Produk
Produk hasil granulasi dikombinasikan dengan beberapa eksipien tambahan seperti
perasa dan pengisi. Penambahan pengisi dimaksudkan untuk mengurangi segregasi
atau pembentukan debu pada produk sirup kering.
4. Pelarutan Sediaan Sirup Kering (Rekonstitusi)
Sediaan sirup kering yang sudah jadi seperti Amoxicillin Dry Syrup harus dilarutkan
dengan menggunakan minimal air minum atau air reverse osmosis. Sebelum
melarutkan, sebaik nya kocok botol nya terlebih dahulu agar dipastikan serbuk
kering tidak menggumpal di dasar botol. Setelah itu, masukkan sebagian air minum
dari total air yang dibutuhkan untuk mendispersi serbuk kering tersebut, lalu kocok
beberapa kali hingga homogen dan tambahkan sejumlah air lagi sesuai dengan
keterangan pada kemasan atau sampai batas botol. Setelah itu, kocok lagi botol
tersebut untuk memastikan homogenitas sediaan tersebut sebelum menyerahkan
kepada pasien. Sebaiknya anda menggunakan gelas ukur untuk menakar jumlah air
yang dibutuhkan.

2.3 Pengenceran dalam Peracikan Sediaan Farmasi


2.3.1 Perhitungan Pengenceran Sediaan Farmasi
Perhitungan pengenceran adalah mengubah atau mengencerkan kadar zat
dalam larutan atau serbuk yang lebih tinggi menjadi kadar dengan menambahkan
bahan penambah lain yang kadarnya lebih rendah[14].
Contoh I (Konversi Satuan):
5 gram gula + 95 ml air = 100 campuran (larutan)
Gula merupakan zat aktif.
Air merupakan bahan pelarut.
Jumlah gula dan air merupakan campuran (larutan)
Pada campuran itu terdapat zat aktif yang banyaknya dapat dinyatakan dalam
berbagai macam bentuk, seperti:
1. Dalam persen: 5/100 x 100% = 5%
2. Dalam permil: 5/100 x 1000% = 50%
3. Dalam ppm (part per million): 5/100 x 1.000.000 ppm = 50.000 ppm
4. Dalam perbandingan antar zat yang bercampur = 5 : 95 = 1 : 19
5. Dalam perbandingan zat aktif dengan campuran = 5 : 100 = 1 : 20

Contoh II (Zat dengan Satuan ppm):


Apa artinya “100 ml larutan air yang mengandung zat A 5 ppm”?
5/1.000.000 x 100 ml = 5/10.000 g = 0,0005 g
Jadi artinya larutan air tersebut mengandung zat A sebanyak 0.0005 g dan air
sebanyak (100-0,0005) ml = 99,9995 ml.

Contoh III (Pengenceran Larutan):


Seorang apoteker hendak membuat 300 g larutan konsentrasi 10% dengan
menggunakan larutan konsentrasi 50%. Berapa larutan ini yang harus dipakai dan
berapa air yang diperlukan?
Untuk menjawab soal ini, tentukan terlebih dahulu:
a. Mana larutan yang membentuk dan yang terbentuk.
b. Yang tidak diketahui, kita misalkan dengan bilangan x.
c. Zat aktif yang membentuk sama dengan yang terbentuk.
d. Bobot zat yang membentuk harus sama dengan yang terbentuk.
e. Jika terdapat selisih bobot antara zat yang terbentuk dengan yang membentuk,
maka selisihnya itu adalah zat penambah (pelarut, zat tambahan).
Jawab:
X gram x 50% = 300 g x 10%
X = 300 x 10/50
X = 60 gram
Jadi larutan yang dipakai adalah 60 g dan air yang diperlukan adalah (300 – 60) ml =
240 ml.

Contoh IV (Penentuan Jumlah Tablet Dalam 2 Dosis Berbeda):


Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke apotek dengan membawa resep.
R/ Aminophylin 100 mg
Dexametason 0,5 mg
Ambroxol 50 mg
m.f. pulv caps. No. XXX
S. t dd I caps. p.c. prn.
Di apotek tersedia Dexametason 0,75 mg
Berapa tablet yang dibutuhkan untuk resep tersebut ?
Jawab:
Dosis Resep × Jumlah Sediaan
Jumlah tablet yang dibutuhkan =
Dosis yang tersedia
0,5 mg × 30
Jumlah tablet yang dibutuhkan =
0,75
Jumlah tablet yang dibutuhkan = 20 tablet
Jadi jumlah tablet yang dibutuhkan untuk resep tersebut adalah 20 tablet.

Contoh V (Pengenceran Alkohol):


Seorang apoteker ingin membuat alkohol kadar 70% dari alkohol kadar 95%
sebanyak 1 L. Berapa jumlah alkohol kadar 95% yang diambil untuk mendapatkan
alkohol kadar 70%?
Jawab:
C1 × V1 = C2 × V2
95% × V1 = 70% × 1000 mL
70% × 1000 mL
V1 =
95%
V1 = 736,8 mL
Jadi, jumlah alkohol 95% yang diambil yaitu 736,8 mL dan di ad hingga 1000 mL
untuk mendapatkan alkohol 70%.

Contoh VI (Pengenceran Serbuk/ Puyer):


Seorang anak perempuan berusia 3 tahun mengalami alergi. Setelah diperiksa,
dokter lalu memberinya resep berisi cetirizine 2 mg / bungkus puyer dan diminta 10
bungkus puyer. Timbangan yang tersedia di apotek memiliki batas minimum
penimbangan 50 mg, sehingga dibutuhkan bahan pengencer untuk memenuhi
jumlah zat aktif yang diperlukan. Berapa mg hasil pengenceran yang setara dengan
kebutuhan 2 mg cetirizin?
Jawab:
Perlu diingat untuk aturan umum pengenceran atau aturan perbandingan obat dan
pengencer, yaitu
a. Jika berat obat dalam resep 10-50 mg maka dibuat perbandingan
pengenceran 1:10, artinya bahan obat ditimbang 50 mg, eksipien 450 mg, total
500 mg
b. Jika berat obat dalam resep 1-10 mg maka dibuat perbandingan
pengenceran 1:50, artinya bahan obat ditimbang 50 mg, eksipien pengencer
2450 mg, total 2500 mg.
c. Jika berat obat dalam resep 0,1-1 mg maka dilakukan pengenceran
bertingkat (dua kali pengenceran).

Sehingga:
Dalam resep, obat memiliki bobot 2 mg / bungkus puyer, maka bahan yang
ditimbang 50 mg, dan bahan tambahan yaitu 2.450 mg dengan total 2.500 mg.
Takaran obat dalam resep (mg)
Hasil pengenceran= ×Jumlah hasil pengenceran
50 mg
2 mg
Hasil pengenceran= × 2.500 mg = 100 mg
50 mg
Hasil pengenceran yang setara dengan 2 mg Cetirizin yaitu 100 mg. Dengan
pengerjaaan yaitu timbang 50 mg Cetirizine + Sacharus Lactis 2450 mg, gerus
hingga homogen, lalu ambil hasil pengenceran sebanyak 1.000 mg untuk 10
bungkus puyer (100 mg mengandung 2 mg cetrizine). Setelah itu, timbang 100 mg
hasil pengenceran dan masukkan dalam pembungkus puyer. Setiap puyer beratnya
harus 100 mg untuk mendapatkan dosis 2 mg Cetirizine.

Contoh VII (Pengenceran ppm):


Seorang apoteker ingin mendapatkan larutan dengan konsentrasi 20 ppm sebanyak
100 mL dari konsentrasi 100 ppm. Berapa mL larutan yang perlu diambil dari
konsentrasi 100 ppm untuk mendapatkan larutan 20 ppm ?
Jawab:
C1 × V1 = C2 × V2
100 ppm × V1 = 20 ppm × 100 mL
20 × 100 mL
V1 =
100
V1 = 20 mL
Jadi, jumlah larutan yang diambil yaitu 20 mL dari larutan konsentrasi 100 ppm dan
di ad hingga 100 mL untuk mendapatkan larutan 20 ppm.

2.3.2 Persentase Kadar Zat


Persentase Kadar menurut Farmakope dapat dibagi menjadi 4, yaitu (Anief, 2015):
1. % b/b adalah persen bobot per bobot, yaitu jumlah g zat dalam 100 g bahan
atau hasil akhir (larutan atau campuran).
2. % b/v adalah persen bobot per volume yaitu jumlah g zat dalam 100 ml bahan
atau hasil akhir (air atau pelarut lain),
3. % v/v adalah persen volume per volume yaitu jumlah ml zat dalam 100 ml
bahan atau hasil akhir (larutan).
4. % v/b adalah persen volume per bobot yaitu jumlah ml zat dalam 100 g bahan
atau hasil akhir.

2.4 Masa Kadaluarsa (Expired Date) dan Batas Waktu Penggunaan (Beyond
Use Date)
Beyond Use Date (BUD) adalah batas waktu penggunaan produk obat
setelah diracik/disiapkan atau setelah kemasan primernya dibuka/dirusak (United
States Pharmacopeia 29). Kemasan primer disini berarti kemasan yang langsung
bersentuhan dengan bahan obat, seperti: botol, ampul, vial, blister, dst (World Health
Organization, 2012). Pengertian BUD berbeda dari expiration date (ED) atau tanggal
kedaluwarsa karena ED menggambarkan batas waktu penggunaan produk obat
setelah diproduksi oleh pabrik farmasi, sebelum kemasannya dibuka. BUD bisa
sama dengan atau lebih pendek daripada ED. ED dicantumkan oleh pabrik farmasi
pada kemasan produk obat, sementara BUD tidak selalu tercantum. Idealnya, BUD
dan ED ditetapkan berdasarkan hasil uji stabilitas produk obat dan dicantumkan
pada kemasannya[2].
Menurut The U.S Pharmacopeia (USP), BUD sebaiknya dicantumkan pada
etiket wadah obat untuk memberikan batasan waktu kepada pasien kapan obat
tersebut masih layak untuk digunakan. Informasi BUD ini dapat ditentukan
berdasarkan informasi dari pabrik obat, ataupun dari pedoman umum dalam USP.
Penetapan BUD pada wadah sebagian besar obat diatur oleh regulasi masing-
masing negara. Seperti halnya USP, The National Association of Boards of
Pharmacy (NABP) merekomendasikan agar BUD dicantumkan pada etiket obat.
Oleh karena itu, banyak negara yang akhirnya mengadopsi standar tersebut. Di
Indonesia, belum ada regulasi khusus yang mengatur penetapan BUD. Meskipun
demikian, hal ini tetap menjadi tanggung jawab profesional seorang apoteker untuk
memberikan informasi BUD kepada pasien dan tenaga kesehatan [15]. Informasi ini
penting disampaikan karena beberapa obat tidak boleh digunakan kembali setelah
kemasannya dibuka akibat ketidakstabilannya.

2.4.1 Penetapan BUD Produk Obat Pabrik


Tidak jarang dijumpai tablet dan kapsul yang sensitif terhadap kelembaban.
Stabilitas obat yang dikemas dalam jumlah banyak (satu wadah) seringkali perlu
dipertimbangkan secara khusus. Pasien akan membuka–tutup wadah setiap kali
akan menggunakan obat untuk setiap dosis pemakaian. Hal ini menyebabkan obat
akan terpapar oleh udara dan dengan demikian akan mengurangi shelf-life atau
mempercepat ED.
1. Bentuk Sediaan Padat
Produk obat pabrik bentuk sediaan padat yang membutuhkan BUD misalnya produk
repacking (contoh: CTM kemasan 1000 tablet dikemas ulang dalam wadah yang
lebih kecil dengan jumlah yang lebih sedikit dalam masing-masing wadah barunya)
dan obat yang dikemas dalam wadah multi-dose (contoh: Sistenol®). Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya, saat wadah dibuka maka batas waktu
penggunaannya pun ikut berubah. Langkah-langkah penetapan BUD:
a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari
USP:
1) Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
2) Jika ED<1 tahun, BUD maksimal = ED pabrik; Jika ED>1 tahun, BUD
maksimal = 1 tahun.
2. Bentuk Sediaan Semipadat
Contoh sediaan semi padat adalah salep, krim, lotion, gel dan pasta. Langkah-
langkah penetapan BUD:
a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari
USP:
1) Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
2) Jika ED<1 tahun, BUD maksimal = ED pabrik; Jika ED>1 tahun, BUD
maksimal = 1 tahun.
3. Bentuk Sediaan Cair
Untuk produk obat yang harus direkonstitusi sebelum digunakan, informasi BUD
ditetapkan berdasarkan informasi yang tertera pada kemasan asli obat. Untuk
produk obat nonrekonstitusi (termasuk produk repacking) langkah-langkah
penetapan BUD-nya yaitu:
a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan.
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari
USP:
1) Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
2) Jika ED<1 tahun, BUD = ED pabrik; Jika ED>1 tahun, BUD = 1 tahun
Contoh:
- Obat merek X pertama kali digunakan pada bulan November 2011.
ED obat yaitu Juni 2012, berarti sisa masa penggunaan = 8 bulan
(<1 tahun), maka BUD maksimal = 8 bulan sejak digunakan, yaitu
Agustus 2012.
- Obat merek Y pertama kali digunakan November 2011. ED obat
yaitu Mei 2013, berarti sisa masa penggunaan = 1,5 tahun (>1
tahun), maka BUD maksimal = 1 tahun sejak digunakan, yaitu
Desember 2012.
2.4.2 Penetapan BUD Obat Racikan
Penetapan BUD obat racikan harus dilakukan secermat mungkin. Hal ini
disebabkan karena obat racikan memiliki karakteristik fisika kimia dan stabilitas
tertentu yang dipengaruhi oleh masingmasing bahan obat yang ada di dalamnya [3].
Beyond use date obat racikan terhitung sejak tanggal peracikan. Ketika akan
menetapkan BUD, harus dipertimbangkan ED semua obat yang dicampurkan dalam
formulasi. Obat racikan ini tentunya akan memiliki BUD yang lebih singkat daripada
ED masing-masing bahan dalam formulasi. Jika dalam satu racikan terdapat lebih
dari satu macam obat, gunakan BUD yang paling singkat[15].
Tabel 2.Petunjuk Umum Penetapan BUD Obat Racikan Non Steril.
Jenis Formulasi Informasi Beyond Use Date
Formulasi oral yang mengandung air BUD tidak lebih dari 14 hari jika disimpan
(water containing oral formulations) pada suhu dingin yang terkontrol.

Formulasi cair atau semipadat


topikal/dermal/mukosal yang
mengandung air (water containing BUD tidak lebih dari 30 hari.
topical/dermal/mucosal liquid or
semisolid formulations)
BUD tidak lebih dari 25% waktu yang tersisa
Formulasi yang tidak mengandung air dari masing-masing obat hingga
(nonaqueous formulations) kedaluwarsa atau 6 bulan, dipilih yang lebih
singkat.

* Petunjuk ini dapat digunakan jika sediaan obat racikan tersebut dikemas dalam wadah kedap dan
tidak tembus cahaya, disimpan pada suhu yang sesuai dan terkontrol (kecuali dinyatakan lain).

Berdasarkan petunjuk umum ini, maka dapat dibuat ketentuan penetapan


BUD berdasarkan bentuk sediaan obat racikan, antara lain sebagai berikut [15]:
a. Puyer / Kapsul

b. Larutan oral (oral solution), suspensi oral, dan emulsi oral


Contoh Kasus :
R/ Provelin 25 mg
Amitriptrilin 5 mg
m.f caps. dtd. No. XXX
S. 0-0-1 p.c. prn.
Misalnya:
1. Obat Provelin di racik pada tanggal 24 April 2018. Misalnya ED obat pada
kemasan yaitu 31 Agustus 2018, sehingga lama penggunaan obatnya = 4 bulan
(< 6 bulan).
Jika ED suatu obat < 6 Bulan maka BUD maksimal = ED. sehingga BUD maksimal
dari obat provelin yaitu Agustus 2018.
2. Obat Amitriprilin di racik pada tanggal 24 April 2018. Misalnya ED obat pada
kemasan yaitu 31 Oktober 2019, sehingga lama penggunaan obatnya = 18
bulan (> 6 bulan).
Jika ED suatu obat > 6 bulan, maka dihitung 25% dari sisa waktu penggunaan ED.
Sehingga :
25
Waktu ED= × 18 Bulan = 4,5 bulan
100
maka 18 bulan – 4,5 bulan = 13, 5 Bulan (> 6 bulan), maka BUD maksimal = 6
bulan. Kesimpulan:
Jika dalam satu racikan terdapat lebih dari satu macam obat dengan BUD yang
berbeda, maka BUD Obat yang paling singkat yang digunakan sebagai BUD dari
obat racikan. Sehingga pada kasus ini BUDnya berdasarkan pada BUD obat
Provelyn yaitu 5 bulan terhitung dari tanggal diraciknya obat tersebut (BUD
maksimal yaitu sampai pada bulan Agustus 2018).

2.5 Sediaan Farmasi


2.5.1 Sediaan padat
a. Serbuk
Sebagai sediaan farmasi “serbuk” merupakan suatu campuran obat dan/ atau
bahan kimia yang halus tebagi-bagi dalam bentuk kering. Serbuk bisa mengandung
sejumlah kecil cairan yang disebarkan secara merata pada campuran bahan padat
atau mungkin seluruhnya terdiri dari bahan padat atau kering[5].
Kekurangan serbuk sebagai bentuk sediaan, termasuk keengganan meminum obat
yang pahit atau rasa yang tidak enak, kesulitan menahan terurainya bahan-bahan
higroskopis, mudah mencair, atau menguap yang dikandungnya atau waktu serta
biaya yang dibutuhkan pada pengolahan dan pembungkusannya dalam
keseragaman dosis tunggal[5].
Serbuk oral dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu serbuk terbagi
(pulveres) dan serbuk tak terbagi (pulvis). Serbuk terbagi (pulveres) dibuat dengan
cara dicampurkan sepenuhnya dengan memakai metode pengenceran geometri
untuk bahan-bahan potensial, serbuk ini dibagi-bagi ke dalam unit-unit tersendiri
sesuai dengan dosis yang ditata atau ke dalam jumlah untuk sekali pakai
(minum)[5].Sedangkan serbuk oral tak terbagi (pulvis) biasanya terbatas pada obat
yang relatif tidak poten seperti laksansia, antasida, makanan diet, dan beberapa
jenis analgetik tertentu, dan pasien dapat menakar secara aman dengan sendok teh
atau penakar lainnya. Contoh sediaan: Nebacetin, Bintang Toedjoe, MBK,
Herocyn[14].

Gambar 13. Contoh sediaan serbuk (bedak).


b. Tablet
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan menjadi
2, yaitu[6]:
a. Tablet Kempa
Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk
sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan
tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat
dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada
desain cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Bolus adalah
tablet besar yang digunakan untuk obat hewan, umumnya untuk hewan besar.
Contoh sediaan tablet kempa, yaitu Sanmol® Tablet, neurosanbe®, ponstan®,
ibuprofen dan sediaan kaplet, yaitu Becom-zet® Kaplet, imboost®, zegavit®, Alpara®.

Gambar 14. Contoh sediaan tablet kempa.


b. Tablet Cetak
Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan
rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan kristal
yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada
kekuatan tekanan yang diberikan.

Gambar 15. Contoh sediaan tablet cetak.


Selain penggolongan tablet di atas, tablet juga dapat dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu:
c. Tablet Bukal
Merupakan tablet yang digunakan dengan cara meletakkan tablet di antara pipi dan
gusi. Contoh sediaan: Teokap® SR[6].

Gambar 16. Contoh sediaan tablet bukal


d. Tablet Sublingual
Merupakan tablet yang digunakan dengan cara meletakkan tablet di bawah lidah,
sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut. Contoh sediaan:
Cedocard®, Fasorbid®, Isorbid®[6].

Gambar 17. Contoh sediaan tablet sublingual


e. Tablet Effervesent
Tablet efervesen yang larut, dibuat dengan cara dikempa; selain zat aktif, juga
mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium bikarbonat,
yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan karbon dioksida. Tablet dilarutkan
atau didispersikan dalam air sebelum pemberian. Tablet efervesen harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab, pada etiket tertera tidak
untuk langsung ditelan. Contoh sediaan : Redoxon®, Pharmaton® effervesent tablet,
Calcium Sandoz®effervesent tablet[6].

Gambar 18. Contoh sediaan tablet effervesent


f. Tablet Kunyah
Tablet kunyah merupakan tablet yang ditujukan untuk dikunyah, memberikan residu
dengan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan rasa
pahit atau tidak enak. Jenis tablet ini digunakan dalam formulasi tablet untuk anak,
terutama formulasi multivitamin, antasida, dan antibiotika tertentu. Contoh sediaan:
Antasida doen® chewable tablet, Promag®[6].
Gambar 19. Contoh sediaan tablet kunyah
g. Tablet Salut Enterik (Enteric Coated)
Tablet ini dibuat dengan lapisan yang tidak melarut atau hancur di lambung tapi di
usus. Dengan demikian membiarkan agar tablet dapat pindah melewati lambung dan
hancur lalu diabsorpsi di usus. Contoh: Tablet Voltaren® 50[5].

Gambar 20. Contoh sediaan tablet salut enterik


h. Tablet Salut Selaput (Film Coated)
Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak
larut dalam air dan membentuk lapisan yang menyelimuti tablet. Biasanya lapisan ini
berwarna. Kelebihan tablet ini dibandingkan penyalutan gula ialah lebih tahan lama,
menggunakan sedikit bahan, waktu yang lebih sedikit untuk penggunaannya. Selain
itu, selaput ini dapat pecah dalam saluran lambung-usus[5]. Contoh sediaan yaitu
Telfast OD®, Telfast HD®, dan Telfast BD®. Ketiga tablet ini memliki dosis yang
berbeda yakni Telfast® OD dengan dosis 120 mg, Telfast® HD dengan dosis 180 mg,
dan Telfast® BD dengan dosis 60 mg. Contoh sediaan yaitu Telfast OD®, Telfast
HD®, dan Telfast BD®. Ketiga tablet ini memliki dosis yang berbeda yakni Telfast®
OD (“Once Daily” atau “omne in die” yang berarti sekali sehari) memiliki dosis 120
mg untuk indikasi rhinitis alergi musiman, Telfast® HD (“High Dose” yang berarti
dosis tinggi untuk satu kali sehari) memiliki dosis 180 mg untuk indikasi rhinitis alergi
dan urtikaria idiopatik kronis, dan Telfast® BD (“bis in die” yang berarti 2 kali sehari)
memiliki dosis 60 mg untuk indikasi rhinitis alergi musiman dan tahunan.
Gambar 21. Contoh sediaan tablet salut enterik.
a) Tablet Hisap (Lozenges)
Tablet Hisap adalah sediaan padat mengandung satu atau lebih bahan obat,
umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat membuat tablet
melarut atau hancur perlahan dalam mulut. Contoh: Strepils ® Lozenges, Vicee®
Lozenges[6].

Gambar 22. Contoh sediaan tablet hisap.


c. Kapsul
Kapsul merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang kapsul pada umumnya terbuat dari
gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Ukuran
cangkang kapsul keras bervariasi dari nomor yang paling kecil (5) hingga nomor
yang paling besar (000). Selain itu, kapsul gelatin keras pada umumnya terdiri dari
dua yakni bagian tutup dan induk, Untuk memberikan penutupan yang baik bila
bagian induk dan tutup cangkangnya diletakkan sepenuhnya, untuk mencegah
terbukanya cangkang kapsul yang telah diisi, selama transportasi dan penanganan.
Kapsul cangkang lunak memiliki perbedaan dengan kapsul cangkang keras. Kapsul
cangkung lunak yang dibuat dari gelatin (kadang-kadang disebut gel lunak) atau
bahan lain yang sesuai membutuhkan metode produksi skala besar. Cangkang
gelatin lunak sedikit lebih tebal dibanding kapsul cangkang keras dan dapat
diplastisasi dengan penambahan senyawa poliol, seperti sorbitol atau gliserin.
Contoh sediaan kapsul, yaitu Comvit C®[6].

Gambar 23. Contoh sediaan kapsul.


d. Pil (Pilulae)
Merupakan bentuk sediaan massa padat bulat (bahasa latinnya phila = bola) dan
kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini
sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan
pada seduhan jamu.

Gambar 24. Contoh sediaan kapsul


e. Suppositoria
Supositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada
suhu tubuh. Contoh sediaan suppositoria, yaitu Dulcolax® Suppositoria[6].
Gambar 25. Contoh sediaan suppositoria.
2.5.2 Sediaan Cair
a. Larutan
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat terlarut dalam
campuran pelarut. Dalam pengertian yang lainnya, larutan merupakan sediaan cair
yang mengandung satu atau lebih bahan kimia (obat) larut (terdispersi dalam bentuk
ion atau molekuler) yang biasanya dilarutkan dalam air. Dalam bahasan sediaan
farmasi, larutan diklasifikasikan berdasarkan sifat fisika, cara pembuatan,
penggunaan, dan tipe komponen formulasi sebagai berikut[1]:
• Sirup : Larutan mengandung konsentrasi tinggi sukrosa dan gula lain. Contoh:
Termorex®, Tempra®, Sanmol Sirup®, Hufagripp®, Paratusin®.

Gambar 26. Contoh sediaan sirup.


• Eliksir : Larutan yang mengandung pemanis mengandung alkohol sebagai
kosolven. Contoh: Bisolvon®.

Gambar 27. Contoh sediaan eliksir


• Obat Kumur (Mouthwash) : merupakan sediaan cair berupa larutan, umumnya
dalam bentuk pekat yang pada umumnya harus diencerkan dahulu sebelum
digunakan, dimaksudkan untuk digunakan sebagai pencegahan atau
pengobatan infeksi tenggorokan.

Gambar 28. Contoh sediaan obat kumur

b. Suspensi
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut
yang terdispersi dalam fase cair. Sediaan yang digolongkan sebagai suspensi
adalah sediaan seperti tersebut di atas, dan tidak termasuk kelompok suspensi yang
lebih spesifik, seperti suspensi oral, suspensi topikal, dan lain-lain. Suspensi dapat
dibagi dalam 2 jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan atau yang dikonstitusikan
dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan.
Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal. Contoh sediaan:
Polysilane®, Antasida Doen®, Mylanta®, Episan®, Combatrin Suspensi®[6].

Gambar 29. Contoh sediaan suspensi


c. Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi
minyak dalam air. Contoh sediaan emulsi: Elkana-Cl®, Scotts Emulsion®, Curcuma
Plus®[6].

Gambar 30. Contoh sediaan emulsi


2.5.3 Sediaan Semipadat.
Sediaan farmasetik semipadat meliputi satu kelompok produk yang
diaplikasikaan pada kulit atau pada membran mukosa. Produk semipadat ini
cenderung meringankan, mengobati kondisi patologis, atau memberikan
perlindungan terhadap lingkungan yang merusak. Yang termasuk sediaan ini antara
lain salep, krim, pasta, gel[1].
Beberapa pengertian terkait sediaan semipadat, yaitu:
a. Gel : Sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik
yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.
Contoh: Fita Joint®, Terra Ceritril®, Thrombophop®, Dermatix®, Benzolac®[6].

Gambar 31. Contoh sediaan gel.


b. Krim : Sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Contoh sediaan: Hot in
Cream®, Kalpanax®, Counterpain®, miconazole®[6].

Gambar 32. Contoh sediaan krim.


c. Pasta : Sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang
ditujukan untuk pemakaian topikal. Kelompok pertama dibuat dari gel fase
tunggal mengandung air, misalnya Pasta Natrium Karboksimetilselulose,
kelompok lain adalah pasta berlemak misalnya Pasta Zink Oksida, merupakan
salep yang padat, kaku, yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi
sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi. Contoh sediaan yaitu
Polident Pasta®[6].
Gambar 33. Contoh sediaan pasta.
d. Salep : Sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit
atau selaput lendir. Contoh: Pagoda®, Salep 88®, nosib®[6].

Gambar 34. Contoh sediaan salep.


e. Koyo / Plester : Sediaan patch / plester ini merupakan bentuk sediaan
transdermal dalam bentuk lembaran plester (obat tempel) yang bertujuan untuk
menghantarkan obat melewati kulit ke dalam sirkulasi darah.

Gambar 35. Contoh sediaan koyo / plester (patch)


2.6 Teknologi Sediaan Farmasi Secara Modern
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, farmasis telah
mengembangkan beberapa sediaan yang sangat bermanfaat dalam membuat kerja
obat menjadi lebih efektif. Salah satu di antaranya yaitu modifikasi pelepasan obat
dalam tubuh. Secara garis besar, modifikasi pelepasan obat oral dapat terbagi
menjadi 2 yaitu Controlled Release/ pelepasan terkontrol (Sustained Release,
Extended Release, Prolonged Release) dan Delayed Release[9].
1. Sustained Release Drug Delivery merupakan salah satu bentuk pengobatan
yang efektif, di mana efek terapeutik yang diberikan oleh obat tersebut memiliki
waktu kerja yang lebih lama dibanding sediaan biasa. Waktu pelepasan obat
dapat disesuaikan dengan tujuan maupun efek terapinya. Kelebihan dari
sediaan sustained release adalah karena pelepasan obatnya terkendali maka
kadar obat dalam plasma lebih stabil dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien
dimana pemberian obat sekali sehari,sehingga menghasilkan terapi yang
optimum[7]. Contoh sediaan tersebut yaitu: Rhinos SR®, Voltaren SR® .

Gambar 36. Contoh sediaan SR (Sustained Release).


2. The Oral-Controlled Absorbstion System (OCAS®) merupakan sediaan yang
dapat membantu penyaluran obat dengan menggabungkan agen matriks
pembetuk gel dan peningkat gel untuk membantu pelepasan obat secara
konstan pada target yang memungkinkan terlepas dari makanan ataupun cairan
tubuh[11] Contoh sediaan OCAS, yaitu Harnal® OCAS.

Gambar 37. Contoh sediaan OCAS (Oral-Controlled Absorbstion System).


3. Extended Release merupakan bentuk sediaan yang memungkinkan setidaknya
pengurangan dua kali lipat dalam frekuensi sediaan dibandingkan dengan obat
yang disajikan sebagai sediaan pelepasan langsung (konvensional) [13]Contoh

Efexor® XR, Glumin® XR.


Gambar 38. Contoh sediaan XR (Extended Release).
4. Delayed Release merupakan sistem yang menggunakan dosis obat yang
berulang dan terputus dari satu atau lebih unit pelepasan segera yang
digabungkan ke dalam bentuk sediaan tunggal. Sediaan repeat action tablet dan
kapsul adalah contoh klasiknya. Bentuk sediaan delayed release tidak
menghasilkan atau mempertahankan tingkat darah obat yang seragam dalam
kisaran terapeutik. Bentuk sediaan salut enterik adalah produk delayed release
yang umum (seperti aspirin salut enterik dan produk NSAID lainnya) [8,13].

Gambar 39. Contoh sediaan DR (Delayed Release)


5. Prolonged Release merupakan bentuk sediaan pelepasan yang berkepanjangan
dengan mengurangi fluktuasi kadar obat dalam plasma melalui perlambatan laju
absorpsi karena laju pelepasan obat yang lebih lambat. Hal ini dapat
memperpanjang periode waktu konsentrasi obat berada dalam kisaran
terapeutik tetapi tidak mempertahankan konsentrasi plasma obat secara
konstan[8].
Gambar 40. Contoh sediaan DR (Delayed Release)
2.7 Teknologi Sediaan Steril
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba baik
patogen maupun non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif serta pyrogen
(endotoksin) dari suatu objek atau material. Sterilisasi adalah proses menghilangkan
semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, nonpatogen, vegetatif, maupun non
vegetatif dari suatu objek atau material. Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa
cara penghilangan secara fisika semua organisme hidup, misalnya melalui
penyaringan atau pembunuhan organisme dengan panas, bahan kimia, atau dengan
cara lainnya. Sterilisasi perlu dilakukan untuk mencegah transmisi penyakit,
mencegah pembusukan material oleh mikroorganisme, dan untuk mencegah
kompetisi nutrient dalam media pertumbuhan sehingga memungkinkan kultur
organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri atau untuk metabolitnya.
Pirogen atau endotoksin adalah fragmen utama dari dinding sel bakteri yang
menyebabkan reaksi fibril (demam) ketika disuntikkan. Karena teknologi untuk
pendeteksian telah dicapai pada tingkat sensitivitas yang baik, kehadiran dari bakteri
pada beberapa bagian pada proses pembuatan dapat segera diketahui, meskipun
produk tersebut mungkin steril. Pirogen umumnya larut dalam air tetapi melekat kuat
pada permukaan hidrofobik seperti gelas. Mereka menahan aktifitas pirogeniknya
setelah setelah pemanasan bahan untuk membunuh sel bakteri induk. Untuk alasan
ini depirogenasi seluruh permukaan berhubungan dengan produk adalah bagian
yang penting dalam proses produksi.
Adapun bentuk sediaan steril yang pada umumnya tersedia dipasaran yakni
infus, ampul, vial, tetes mata / salep mata, tetes telinga, dan tetes hidung.
a. Infus
Infus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan
sedapat mungkin isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena
dalam volume relatif banyak, mengacu kepada injeksi untuk pemberian intravena
dan dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih. Digunakan paling umum terhadap
perbaikan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dan penyiapan
nutrisi dasar dimana menggunakan metode piggyback dengan wadah infus tipe mini.

Gambar 41. Contoh sediaan infus dan mini infus (piggyback).


b. Ampul
Ampul adalah wadah gelas yang disegel (ditutup rapat-rapat biasanya
diadakan dalam dosis tunggal obat-obatan bentuk padat atau larutan jernih atau tipe
suspensi yang dimaksudkan untuk penggunaan parenteral. Volume biasanya kecil
sekitar 1-50 ml, tetapi dapat juga kapasitas 100 ml atau lebih dalam kasus khusus
tertentu.

Gambar 42. Contoh sediaan ampul


c. Vial
Vial merupakan wadah dosis ganda biasanya volume 10 – 100 mL yang
disegel dengan karet atau penutup plastik yang kecil, tipis ditengah, dirancang
sedemikian rupa sehingga memungkinkan masuknya jarum untuk pengambilan isi
tanpa mempengaruhi bagiannya dan sehingga dapat ditutup kembali melalui
penarikan jarum. Ketersediaan vial dosis ganda yang bersegel dengan penutup
karet memberikan dosis yang fleksibel dan mengurangi unit biaya perdosis.

Gambar 43. Contoh sediaan vial


d. Tetes Mata (guttae ophtalmicae)
Tetes mata adalah sediaan mata berupa larutan atau suspensi atau larutan
berminyak dari alkaloid, garam-garam alkaloid, antibiotik atau bahan-bahan yang
ditujukan untuk penggunaan mata dengan cara meneteskan obat ke dalam selaput
lendir mata di sekitar kelopak mata dan bola mata yang diformulasi dengan
pertimbangan tonisitas, pH, viskositas, stabilitas, sterilisasi, bahan antimikroba dan
pengemasan yang baik dan digunakan sebagai antibakterial, anastetik, midriatikum,
miotik atau maksud diagnosa.

Gambar 44. Contoh sediaan tetes mata


e. Tetes Telinga (guttae auriculares)
Tetes telinga (guttae auriculares) adalah obat tetes yang digunakan untuk
telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Cairan pembawanya
biasanya bukan air, kecuali dinyatakan lain.

Gambar 45. Contoh sediaan tetes telinga


f. Tetes Hidung (guttae nasales)
Larutan untuk digunakan pada hidung disebut juga spray atau collunaria atau
tetes hidung didefinisikan sebagai larutan berair atau berminyak yang dimaksudkan
untuk penggunaan topikal atau daerah nasofaring.

Gambar 46. Contoh sediaan tetes hidung


g. Inheler
Obat-obat atau kombinasi obat yang oleh dengan tekanan uap tinggi dapat
membawa udara dengan segera ke dalam rongga hidung. Mentol, eukaliptol, dan
timol secara luas digunakan dalam inhaler OTC. Menthol dan champor,
vasokonstriktor menguap merupakan bahan aktif yang secara luas digunakan untuk
sediaan hidung (Vicks inhaler).
Gambar 47. Contoh sediaan inhaler

h. Nebulizer
Sediaan obat yang cara penggunaanya dengan cara menghirup larutan obat
yang sudah diubah menjadi gas yang berbentuk seperti kabut untuk masuk dalam
saluran pernapasan dengan bantuan alat yang disebut nebulizer.

Gambar 48. Contoh sediaan dan alat nebulizer


DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes, G. 2013. Pengembangan Sediaan Farmasi Edisi Revisi dan Perluasan.


Bandung: Penerbit ITB.
2. Allen LV. Beyond Use Date - Part 1, 2 and 3: Science and Technology for
Hospital Pharmacy. Intern J Pharm Comp [Internet]. 2011 [cited 2012 Jun 10].
Available from : http :/ /comp ou nd ingtoday.
com/Newsletter/Science_and_Tech_1105.cfm.
3. Allen LV. Beyond-use dates and stability indicating assay methods in
pharmaceutical compounding. Secundum Artem. 2009;15(3):1-6.
4. Anief, M. 2015. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
5. Ansel, H.C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
6. Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
7. El Yahya, I.R. and Abdassah, M., 2019. Matriks Polimer yang Digunakan pada
Tablet Sustained Release. Majalah Farmasetika. 4(3): 79-86.
8. Gujral, G., Kapoor, D. and Jaimini, M., 2018. An Updated Review on Modified
Release Tablets. Journal of Drug Delivery and Therapeutics. 8(4): 5-9.
9. Jethara. S. I., and Patel, M.R. 2014. Pharmaceutical Controlled Release Drug
Delivery Systems: A Patent Overview. Aperito Journal of Drug Designing And
Pharmacology. 1(2): 1-2.
10. Marriot, J,F., Wilson, K.A., Langley, C. A., and Belcher, D. 2010. Pharmaceutical
Compounding and Dispensing Second Edition. London: Pharmaceutical Press.
11. Neill, M.G., Shahani, R. and Zlotta, A.R., 2008. Tamsulosin Oral Controlled
Absorption System (OCAS) in The Treatment of Benign Prostatic
Hypertrophy. Therapeutics and Clinical Risk Management. 4(1): 11-18.
12. Pavane, M., Shirsat, M.K., Dhobale, A., Joshi, D.A., Dhembre, G.N. and Ingale,
P.S., 2018. Formulation, Development and Evaluation of Oral Reconstitutable
Dry Syrup. Indo American Journal of Pharmaceutical Sciences. 5(1): 483-491.
13. Shargel, L, and Yu, A.B.C. 2015. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics
Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill Education.
14. Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
15. Thompson JE. 2009. A Practical Guide to Contemporary Pharmacy Practice. 3rd
ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins – Wolters Kluwer.
16. United States Pharmacopeia 29. Chapter 795: Pharmaceutical compounding –
nonsterile preparations [Internet]. Cited 2012 Nov 21. Available from:
http://www.pharmacopeia.cn/ v29240/usp29nf24s0_c795.html.
17. World Health Organization. Stability criteria and beyond-use dating [Internet].
2002 [cited 2012 Nov 21]. Available from: http://
apps.who.int/medicinedocs/documents/ s19638en/s19638en.pdf.

Anda mungkin juga menyukai