Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN LONG CASE STUDY

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


PUSKESMAS 1 SOKARAJA

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:
Astarie Bella Larasati
G4A015092

Pembimbing:
Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK.
dr. Mardiyani Isnen P.

KEPANITERAAN KLINIK STASE KOMPREHENSIF


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kepaniteraan Kedokteran Keluarga


Long Case

Demam Tifoid

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:
Astarie Bella Larasati
G4A015092

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Hari :
Tanggal : Januari 2019

Preseptor Lapangan Preseptor Fakultas

dr. Mardiyani Isnen P. Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK.


NIP. 197011102008012026
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : An. A


Alamat lengkap : Desa Kalicupak kidul, RT/RW 01/01,
Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas
Bentuk Keluarga : Extended family
Tabel 1.1 Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No. Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Keterangan
1. Tn. A Kepala L 35 SMP Supir toko
keluarga
(Ayah)
2. Ny. S Ibu P 30 SMP Buruh
pabrik
3. An. A Pasien L 10 SD Pelajar
(Anak)
4. Ny. S Nenek P 78 Tidak Tidak
buyut sekolah bekerja
Sumber : Data Primer, Desember 2018
Kesimpulan :
Dari karakteristik demografi diatas, bentuk keluarga An. A adalah Extended
family. An. A (10 tahun) tinggal dalam satu rumah dengan ayahnya Tn. A (35
tahun) sebagai kepala keluarga, Ny. S (30 tahun) merupakan ibu pasien dan satu
orang nenek buyut pasien (78 tahun).
II. STATUS PENDERITA

A. PENDAHULUAN
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pasien jenis
kelamin laki-laki berusia 10 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan
demam sejak 2 hari sebelum datang ke IGD Puskesmas 1 Sokaraja.

B. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Penghasilan/bulan :-
Alamat : Desa Kalicupak kidul, RT/RW 01/01,
Kecamatan Kalibagor
Pengantar : Ibu pasien
Tanggal Periksa : 27 Desember 2018

C. ANAMNESIS (diambil melalui autoanamnesis)


1. Keluhan Utama
Demam
2. Keluhan Tambahan
Mual, muntah 5 kali isi cairan dan sedikit makanan, mual muntah
dirasakan terutama setelah makan, menggigil, nyeri kepala, nafsu makan
menurun, nyeri perut, dan badan terasa lemas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Puskesmas Jatilawang pada hari Kamis
tanggal 25 Desember 2018 dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum
datang ke IGD Puskesmas 1 Sokaraja. Keluhan demam dirasakan hilang
timbul. Ibu pasien mengaku suhu badannya mulai terasa meningkat
(demam) pada sore hari hingga malam hari dan demam kembali turun pada
pagi hari. Keluhan demam sempat membaik ketika pasien mengkonsumsi
obat penurun panas yang dibeli ibu pasien di apotik, namun beberapa lama
kemudian pasien demam kembali.
Pasien juga mengeluhkan mual terus menerus, muntah 5 kali isi
cairan dan sedikit makanan, nyeri kepala, nafsu makan berkurang, nyeri
perut, dan badan terasa lemas. Pasien menyangkal adanya keluhan batuk,
pilek, mimisan, gusi berdarah, sulit buang air kecil (BAK) dan muncul
bintik-bintik merah pada tubuh. Saat di sekolah teman pasien juga ada
yang mengalami keluhan serupa dan tidak masuk sekolah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat mondok : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat kecelakaan : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Exposure
a. Community : Pasien dalam kesehariannya tinggal bersama
dengan ayah, ibu, dan nenek buyutnya dalam satu
rumah. Rumah pasien berada di pedesaan yang
cukup padat penduduk.
b. Home : Rumah pasien memiliki ventilasi dan pencahayaan
yang cukup pada masing-masing ruangan untuk
menerangi rumah. Dinding rumah terbuat dari
tembok, lantai rumah pasien masih di plester
semen dan sebagian dikeramik. Dalam rumah
terdapat 3 kamar tidur, 1 ruang keluarga bersamaan
dengan ruang tamu, 1 kamar mandi dan 1 dapur. Di
dalam kamar mandi sudah memiliki jamban,
sehingga untuk BAB pasien tidak perlu ke luar
rumah. Sumber air bersih yang digunakan pasien
untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari sumur dan
PAM. Jarak septic tank dari sumber air sekitar 3
meter. Tingkat kelembaban rumah cukup lembab.
Keluarga pasien memasak dengan menggunakan
kompor. Tempat sampah keluarga diletakkan
disamping dapur kira-kira 2 meter, terbuka, yang
biasanya dibakar 2-3 hari sekali. Persis di depan
rumah pasien terdapat selokan air bersih yang
mengalir untunk pengairan sawah. Tempat tinggal
An. A merupakan lingkungan pemukiman yang
cukup padat, jarak antar rumah saling berdekatan
sekitar 3-4 meter.
c. Hobby : Pasien tidak memiliki kebiasaan khusus atau rutin.
d. Occupational : Pasien adalah seorang anak sekolah dasar kelas
empat. Aktivitas yang dilakukan pasien saat
dirumah adalah belajar dan bermain. Pasien sering
bermain di sekitar halaman rumahnya, terutama
bermain air di selokan yang berada di depan
rumahnya.
e. Personal Habit : Pasien mengkonsumsi makanan yang dimasak
dirumah, namun pasien juga memiliki kebiasaan
jajan sembarangan saat di sekolah. Sebelum dan
sesudah makan pasien jarang mencuci tangan.
Setelah keluar dari kamar mandi pun pasien jarang
mencuci tangan dengan sabun. Di rumah, ibu
pasien mencuci peralatan memasak dan makan
menggunakan air PAM. Sumber air untuk
kebutuhan rumah tangga menggunakan air PAM
dan air sumur yang sudah ditampung di dalam bak
penampung yang tertutup.
f. Diet : Pasien mengaku rutin makan 3 kali sehari dengan
nasi, sayur dan lauk seadanya. Sering
mengkonsumsi makanan yang digoreng. Beberapa
minggu terakhir pasien sering membeli jajanan di
sekolah.
g. Drug : Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
7. Riwayat Ekonomi
Pasien tergolong dalam keluarga ekonomi kelas menengah
kebawah. Pendapatan rata-rata keluarga pasien adalah sekitar Rp.
1.000.000,00 yang berasal dari hasil pekerjaan ayah dan ibunya.
8. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya dapat dikatakan rukun
dan harmonis. Hal tersebut dapat terlihat dari cara berkomunikasi pasien
dengan ibu dan ayahnya yang tampak baik. Ayah dan Ibu pasien selalu
bergantian menemani pasien selama perawatan dibangsal. Menurut Ayah
dan ibu pasien, hubungan pasien dengan nenek buyutnya juga sangat baik
baik, dan terlihat sangat menyayangi pasien.
9. Riwayat Sosial
Pasien mengenal baik tetangga di sekitar rumah dan tempatnya
besekolah. Pasien sering bermain bersama temannya di sekolah dan
dengan teman sebaya di lingkungan rumahnya.
10. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : demam
b. Kulit : warna kulit sawo matang
c. Kepala : nyeri kepala
d. Mata : tidak ada keluhan
e. Hidung : tidak ada keluhan
f. Telinga : tidak ada keluhan
g. Mulut : mulut terasa pahit dan kering
h. Tenggorokan : tidak ada keluhan
i. Pernafasan : tidak ada keluhan
j. Sistem Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
k. Sistem Gastrointestinal : mual, muntah 5 kali isi cairan dan sedikit
makanan, nafsu makan turun, dan nyeri
perut.
l. Sistem Saraf : Demam
m. Sistem Muskuloskeletal : tidak ada keluhan
n. Sistem Genitourinaria : tidak ada keluhan
o. Ekstremitas : Atas : tidak ada keluhan
Bawah : tidak ada keluhan
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum/Kesadaran
Tampak lemas, kesadaran compos mentis.
2. Tanda Vital
a. Nadi : 100 x/menit
b. Pernafasan : 20 x/menit
c. Suhu : 38 oC per axillar
3. Status gizi
a. BB : 50 kg
b. TB : 140 cm
c. BMI : 25.5 kg/m2
d. Kesan status gizi : Over weight
4. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-), ptekie (-)
5. Kepala : Bentuk mesosefal, rambut tidak mudah dicabut
6. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7. Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
8. Telinga : Bentuk dan ukuran normal, sekret (-/-)
9. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+), lidah
tampak kotor dan pucat, hiperemis (+), tremor (-)
10. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1
11. Leher : Deviasi trakea (-), limfonodi cervicalis tidak teraba
12. Thoraks :
a. Pulmo :
Inspeksi : pergerakan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan RBH (-/-)
RBK (-/-) wheezing (-/-)
b. Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kiri bawah : SIC V LMCS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-)
13. Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio umbilical, hepar dan lien tidak
teraba
14. Sistem Collumna Vertebralis
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
15. Ektremitas : Uji Rumple Leed (-)
Akral dingin - - Oedem - -
- - - -

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (27/12/2018)
Hb 12.1 gr/dL (N)
Leukosit 4.100
Widal:
Salmonela typhi O 1/160
Salmonela typhi H 1/160
F. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Idea
Pasien mengeluhkan demam, mual, muntah 5 kali isi cairan dan makanan,
nyeri kepala, nafsu makan turun, nyeri perut, dan badan terasa lemas.
Concern
Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, ibu pasien kawatir
kondisi pasien semakin lemas dan memburuk sehingga membuat pasien
sulit untuk beraktivitas.
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti semula.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam tifoid
Gejala klinis yang muncul : Demam, mual, muntah 5 kali isi cairan dan
makanan, nyeri kepala, nafsu makan
menurun, nyeri perut, dan badan terasa
lemas.
Diagnosa banding : Dengue fever.
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Sebelum dan sesudah makan pasien hampir tidak pernah mencuci
tangan menggunakan sabun. Setelah keluar dari kamar mandi pun pasien
jarang mencuci tangan dengan sabun. Pasien memiliki kebiasaan jajan
sembarangan.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Makanan di depan sekolah yang kurang terjaga kebersihannya.
b. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan tempat sampah terbuka, jarak sumber air dengan
septic tank kurang dari 10 meter,
c. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat.
d. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai higienitas diri
sendiri, makanan dan lingkungan
e. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai penyakit
demam tifoid
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
bersekolah dan bermain dengan teman di sekitar rumahnya.

G. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1. Personal Care
a. Initial Plan
Usulan pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan darah lengkap (Leukosit, Eritrosit, Hitung Jenis
Leukosit, Ht).
2) Pemeriksaan darah serial setiap hari (Hb, Ht, Trombosit).
3) Serologi :
a) Enzyme Immunoassay test (Typhidot): Deteksi IgM dan IgG
Salmonella typhi
b) Kultur Salmonella typhi dengan spesimen darah
c) Pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue
b. Medikamentosa
1) IVFD RL 18 tpm makro
2) PO Chloramphenicol tab 4x500 mg
3) PO Paracetamol 3x500 mg k/p demam
4) PO Antasid suspensi 3x1 cth
5) PO Domperidon 3x1 tab
c. Non Medikamentosa
1) Istirahat tirah baring
2) Diet tinggi kalori, tinggi protein, tinggi serat
3) Perbanyak minum air putih
4) Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
5) Kontrol dan monitor tanda vital
6) Monitoring tanda komplikasi tifoid: penurunan kesadaran,
hemodinamik terganggu (nadi teraba halus dan cepat), akral dingin,
gejala akut abdomen, hepatomegali.
d. KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi mengenai:
1) Penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala serta
pengobatan demam tifoid.
2) Edukasi tanda-tanda kegawatan demam tifoid seperti: pasien
mengigau, gelisah atau bahkan sampai tidak sadarkan diri, kaki dan
tangan teraba dingin, nyeri perut hebat, BAB hitam.
3) Minum obat teratur dan tuntas, terutama penggunaan antibiotik
sesuai anjuran walaupun gejala sudah membaik.
4) Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.
5) Pilihlah makanan dan minum yang terjamin kebersihan dan
kematangannya. Jangan membeli makanan/minuman yang
tercemar debu, sampah atau yang dihinggapi lalat.
6) Bahan makanan mentah yang akan diolah harus dicuci dengan air
bersih dan mengalir.
7) Harus menjaga kesehatan peralatan makanan/minuman dengan
cara mencucinya menggunakan air bersih dan sabun cuci piring.
2. Family Care
a. Dukungan psikologis dari keluarga lainnya.
b. Pasien harus lebih memperhatikan kebersihan makanan yang
dikonsumsi
3. Community Care
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat di tempat tinggal
pasien tentang aspek pencegahan demam tifoid melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Peningkatan hygiene makanan dan minuman
c. Peningkatan hygiene perorangan

H. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
I.
J. FLOW SHEET
Tabel 2.1 Flow Sheet An. A (10 tahun)
No. Hari, Problem Tanda Pemeriksaan Planning
Tanggal Vital Fisik
1. Rabu, Panas N:102x/ Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
26/12/18 nglemeng, menit Mulut: lidah kotor tpm
09.00 mual, muntah RR:20x/ dan pucat, tepi Ibuprofen
WIB 2x isi cairan menit hiperemis. 3x400 mg
dan makanan, S:38.90 C P/ SD ves+/+, selang seling
nyeri kepala, Rbk-/-, Rbh-/-, dengan PCT.
nyeri perut, Wh-/- Paracetamol
BAB (+) N, C/ S1>S2 reg, 3x500 mg k/p
BAK (+) N, M-, G- demam
nafsu makan A/ datar, BU(+)N, Antasid
menurun timpani, NT (+) suspensi 3x1
umbilical cth
Eks: Uji RL (-), PO
akral hangat ++/+ Domperidon
+ 3x1 tab

Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
2. Kamis Panas naik N:84 Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
27/12/18 turun, mual, x/menit Mulut: lidah kotor tpm
07.00 muntah 1x isi RR:18x/ dan pucat, tepi Ibuprofen
WIB cairan dan menit hiperemis. 3x400 mg
makanan, nyeri S:380 C P/ SD ves+/+, selang seling
kepala, nyeri Rbk-/-, Rbh-/-, dengan PCT.
perut, BAB (+) Wh-/- Paracetamol
N, BAK (+) N, C/ S1>S2 reg, 3x500 mg k/p
nafsu makan M-, G- demam
menurun, lemas A/ datar, BU(+)N, Antasid
timpani, NT (+) suspensi 3x1
umbilical cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab

Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
Hasil
Lab:
Hb : 12
mg/dl
Leukosit:
4.100
Widal :
Salmonell
a Thyphi
O 1/160
3. Jumat Panas mulai N:82x/m Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
28/12/18 turun, mual, enit Mulut: lidah kotor tpm
07. 00 muntah (-), RR:20x/ dan pucat Chloramphenic
WIB nyeri kepala, menit P/ SD ves+/+, ol 4x500 mg
nyeri perut S:37.30 Rbk-/-, Rbh-/-, Paracetamol
berkurang, C Wh-/- 3x500 mg k/p
BAB (+) N, C/ S1>S2 reg, demam
BAK (+) N, M-, G- Antasid
nafsu makan A/ datar, BU(+)N, suspensi 3x1
membaik timpani, NT (-) cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab

Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
4. Sabtu Panas naik N:84x/m Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
29/12/18 turun, mual, enit Mulut: lidah kotor tpm
08. 00 muntah (-), RR:18x/ berkurang. Chloramphenic
WIB nyeri kepala, menit P/ SD ves+/+, ol 4x500 mg
0
nyeri perut S:36.9 Rbk-/-, Rbh-/-, Paracetamol
berkurang, C Wh-/- 3x500 mg k/p
BAB (+), BAK C/ S1>S2 reg, demam
(+) N, nafsu M-, G- Antasid
makan A/ datar, BU(+)N, suspensi 3x1
membaik timpani, NT (-) cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab

Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Bentuk keluarga An. A (10 tahun) adalah extended family. Kepala
keluarga adalah Tn. A (35 tahun) yang merupakan Ayah pasien. Pada
keluarga ini terdapat ayah pasien (35 tahun), ibu pasien (30 tahun), pasien
(10 tahun), dan nenek buyut pasien (78 tahun) yang hidup bersama dalam
satu rumah. Pasien merupakan anak tunggal. Tidak memiliki saudara
kandung. Ayah pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ibu
pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Saat ini yang tinggal
bersama keluarga An. A adalah nenek dari ibu pasien, yang merupakan
nenek buyut dari pasien. Nenek buyut pasien membantu menjaga dan
merawat An. A sejak kecil karena ayah dan ibunya sama-sama bekerja.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya cukup harmonis.
Kadang ada sedikit masalah perbedaan pendapat antara orang tua dan anak
yang masih dalam batas wajar. Tidak ada konflik yang berat di dalam
keluarga pasien. Menurut pasien, anggota keluarganya saling mendukung
terhadap pekerjaan atau urusan masing-masing. Pasien dan anggota
keluarga lain tidak pernah merasa tertekan saat berada didalam keluarga.
Jika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami masalah, semua
anggota keluarga saling membantu mereka untuk menyelesaikan
masalahnya, seperti contoh saat pasien sakit, kakek dan nenek yang tidak
tinggal dalam satu rumah dengan pasien juga ikut menemani pasien di
puskesmas.
3. Fungsi Sosial
Pasien bergaul dengan baik ke tetangga di sekitar rumahnya,
karena sejak kecil pasien sudah tinggal di lingkungan tersebut. Pasien juga
sering bermain dengan teman sebayanya. Pasien mengaku memiliki
banyak teman, dan setiap sore sering berkumpul disekitar rumahnya.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Sumber pendapatan keluarga pasien adalah dari ayah dan ibunya. Ayah
pasien bekerja sebagai supir dengan penghasilan sekitar
Rp.1.000.000,00/bulan. Ibu pasien bekerja sebagai buruh pabrik, dengan
penghasilan yang juga berkisar sekitar Rp.1.000.000,00/bulan. Nenek
buyut pasien tidak bekerja dan membantu merawat pasien karena ayah dan
ibu pasien bekerja. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau
yaitu puskesmas. Pembiayaan kesehatan berasal dari Kartu Indonesia
Sehat (KIS).
Dapat disimpulkan bahwa bentuk keluarga An. A adalah extended
family. Keluarga An. A adalah keluarga yang cukup harmonis,
berhubungan baik dengan lingkungan sekitar dan merupakan keluarga
dengan perekonomian kelas menengah kebawah.
B. FUNGSI FISIOLOGIS (A.P.G.A.R SCORE)
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R
SCORE dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R SCORE disini akan dilakukan pada masing-masing anggota
keluarga, kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga
secara keseluruhan. Nilai rata-rata 1-5 = jelek, 5-7 = sedang, 8-10 = baik.
Adaptation
Pasien jarang menceritakan keluhannya terhadap keluarga. Akan
tetapi, ketika An. A bercerita tentang sakit yang dialaminya atau masalah yang
sedang dihadapi, keluarga An. A berusaha membantu menyelesaikan
masalahnya.
Partnership
Komunikasi terjalin satu sama lain baik dengan orang tua pasien. Kerjasama
antar anggota keluarga terjalin baik. Pasien melakukan aktivitas di rumah dan di
sekolah dengan baik. Pasien juga bermain dengan tetangga saat ada waktu luang.
Setiap ada permasalahan didiskusikan bersama dengan anggota keluarga lainnya,
komunikasi dengan anggota keluarga berjalan dengan baik.
Growth
Pasien terlihat cukup puas atas segala bentuk dukungan dan bantuan dari
keluarga untuk kegiatan atau hal-hal baru yang hendak dilakukan pasien.
Affection
Pasien merasa cukup puas dengan perhatian keluarga terhadap pasien.
Dalam hal mengekspresikan perasaan atau emosi, antar anggota keluarga
berusaha untuk selalu jujur. Apabila ada hal yang tidak berkenan di hati, maka
anggota keluarga akan mencoba untuk segera menyampaikan tanpa dipendam,
sehingga permasalahan dapat segera selesai.
Resolve
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien cukup, baik dari keluarga
maupun dari saudara-saudara. Pasien merasa senang apabila bisa berkumpul di
rumah walaupun hanya untuk menonton televisi atau makan bersama.
Tabel 3.1 Nilai APGAR dari An. A terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang
A.P.G.A.R An. A Terhadap Keluarga tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah 
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G 
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R 
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 9, fungsi fisiologis An. A terhadap keluarga cukup sehat

Tabel 3.2 Nilai APGAR dari Ny. S terhadap keluarga


Hampir
Hampir Kadang
A.P.G.A.R Ny. S Terhadap Keluarga tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah 
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G 
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R 
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 9, fungsi fisiologis Ny. S terhadap keluarga cukup sehat

Tabel 3.3 Nilai APGAR dari Tn. A terhadap keluarga


A.P.G.A.R Tn. A Terhadap Keluarga Hampir Kadang Hampir
tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah 
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G 
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R 
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 8, fungsi fisiologis Tn. A terhadap keluarga cukup sehat

A.P.G.A.R SCORE keluarga pasien = (9+9+8)/3 = 8.6


Kesimpulan : fungsi fisiologis keluarga pasien baik
Secara keseluruhan total poin dari A.P.G.A.R keluarga pasien adalah 26
sehingga rata-rata A.P.G.A.R dari keluarga pasien adalah 8.6. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien dalam
keadaan baik.

C. FUNGSI PATOLOGIS (S.C.R.E.E.M)


Fungsi patologis dari keluarga An. A dinilai dengan menggunakan
S.C.R.E.E.M sebagai berikut:
Tabel 3.4 Nilai SCREEM dari keluarga pasien
Sumber Patologi Ket
Social Interaksi sosial keluarga dengan tetangga dan saudara-saudara -
di sekitar rumah cukup baik.
Cultural Dalam kegiatan sehari-hari keluarga ini menggunakan +
bahasa Jawa, walaupun dicampur dengan Bahasa
Indonesia. Keluarga pasien sering mempercayai obat-
obatan tradisional.
Religion Pemahaman agama cukup baik. Penerapan ajaran juga baik, -
hal ini dapat dilihat dari pasien dan keluarga rutin
menjalankan sholat.
Economic Ekonomi keluarga ini tergolong kelas menengah kebawah, +
yang bekerja di dalam keluarga adalah ayah dan ibu pasien.
Untuk kebutuhan primer sudah bisa terpenuhi, meski belum
mampu mencukupi kebutuhan sekunder, diperlukan skala
prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Education Pendidikan anggota keluarga kurang. Latar belakang +
pendidikan Ayah adalah SMP, istri pasien SD, pasien saat ini
bersekolah di sekolah dasar kelas empat. Pengetahuan
keluarga pasien tentang penyakit yang diderita masih kurang.
Medical Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga menggunakan -
pelayanan puskesmas dan menggunakan Kartu Indonesia
Sehat (KIS). Akses layanan kesehatan yang dapat
dijangkau yaitu puskesmas.

Keterangan :
1. Cultural (+) oleh karena pasien dan keluarga pasien masih percaya
mengenai pengobatan-pengobatan alternatif dan kadang masih
menggunakannya.
2. Economic (+) oleh karena ekonomi keluarga pasien tergolong menengah
kebawah.
3. Education (+) oleh karena pengetahuan pasien tentang kesehatan terutama
tentang penyakitnya masih kurang.
Kesimpulan :
Keluarga An. A fungsi patologis yang ditemukan antara lain fungsi ekonomi,
fungsi budaya dan fungsi pendidikan.
D. FAMILY GENOGRAM

Tn. H Ny. S Tn. A Ny. I


58 th 54 th 56 th 52 th

Tn. I Ny. W Ny. M


Ny. P Tn. W
28 th 25 th 32 th
24 th 22 th

Tn. A Ny. S
35 th 30 th

An. A
10 th

Gambar 3.1 Genogram Keluarga An. S

Keterangan :
: Perempuan

: Laki-laki

: Pasien
E. INFORMASI POLA INTERAKSI KELUARGA

Tn. A Ny. S

An. A

Gambar 3.2 Pola Interaksi Keluarga An. A


Keterangan : hubungan baik
Sumber : Data Desember 2018
Kesimpulan :
Hubungan antara anggota keluarga di keluarga An. A dinilai harmonis
dan saling mendukung.
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN

A. IDENTIFIKASI FAKTOR PERILAKU DAN NON PERILAKU


KELUARGA
1. Faktor Perilaku
Pasien beberapa minggu terakhir sering membeli makanan di depan
sekolah, makanan tersebut dijual di dalam gerobak dan sering dalam
kondisi terbuka. Sebelum dan sesudah makan pasien hampir tidak pernah
mencuci tangan. dengan sabun. Setelah pulang dari sekolah dan keluar dari
kamar mandi pun pasien jarang mencuci tangan dengan sabun. Pasien juga
sering bermain air di selokan air depan rumah. Kebiasaan-kebiasaan
tersebut memudahkan pasien terkontaminasi oleh mikroorganisme
penyebab tifoid.
2. Faktor Non Perilaku
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga penyakit ini erat
hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Seseorang
berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang untuk berperilaku
bersih dan sehat akan meningkatkan risiko orang tersebut untuk terpapar
bakteri Salmonella typhi.
Pasien termasuk dalam keluarga dengan latar belakang pendidikan
yang kurang. Pendidikan terakhir ayah pasien adalah tamatan SMP, dan ibu
hanya sampai di tingkat SD. Hal tersebut mempengaruhi pengetahuan dan
pemahaman pasien mengenai kesehatan, termasuk faktor risiko, agen
penyebab, gejala klinis dan pengobatan demam tifoid.
Demam tifoid juga lebih banyak mengenai penduduk dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa
penghasilan seseorang dapat digunakan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan perbaikan lingkungan sehingga dapat mencegah terkena
suatu penyakit. Selain itu, penduduk dengan penghasilan rendah lebih
mengandalkan membeli makanan siap santap dengan mutu yang rendah
dan tidak terjamin kebersihannya.
Jika dilihat dari pendapatan perbulan, ayah dan ibu pasien sebagai
supir toko dan buruh pabrik dengan penghasilan sekitar Rp.1.000.000,00,
dapat dikatakan bahwa pasien tergolong dalam keluarga dengan kelas
ekonomi menengah kebawah, sehingga kondisi hunian tidak memenuhi
kriteria rumah sehat.
Pasien tinggal di rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang
cukup pada masing-masing ruangan untuk menerangi rumah. Tingkat
kelembaban rumah dikatakan tidak terlalu lembab. Dinding rumah terbuat
dari tembok dan bagian kamar mandi terdiri dari kayu dan bamboo. Lantai
rumah masih di plester semen dan sebagian menggunakan keramik. Dalam
rumah terdapat 3 kamar tidur berukuran 3x2 meter, 1 ruang keluarga
bersamaan dengan ruang tamu, 1 kamar mandi dan 1 dapur. Dalam kamar
mandi sudah memiliki jamban namun sangat jarang dibersihkan. Secara
umum, kondisi rumah tampak jarang dibersihkan.
Sumber air bersih yang digunakan pasien untuk kebutuhan sehari-
hari berasal dari PAM dan sumur. Jarak septic tank dari sumber air hanya
sekitar 3-4 meter. Padahal diketahui bahwa jarak antara sumber air bersih
dengan septic tank juga mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat
minimal sumber air bersih dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur
merupakan sumber air yang sering digunakan di masyarakat secara luas.
Jarak sumur dengan septic tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi
kualitas air. Rembesan air dari septic tank dapat mencemari air tanah di
sekitarnya termasuk air sumur yang digunakan untuk kebutuhan sehari-
hari sehingga dapat menjadi sumber penularan demam tifoid.
Lingkungan tempat tinggal Ny. A merupakan lingkungan
pemukiman yang cukup padat, jarak antar rumah saling berdekatan sekitar
2-3 meter. Tepat di depan rumah pasien, terdapat selokan air untuk
pengairan sawah. Saat musim hujan, pasien suka bermain di selokan
tersebut. Selain itu pasien memiliki tempat sampah yang diletakkan
disamping dapur dan terbuka yang dapat menjadi sumber penularan
penyakit.
Perilaku:
Pasien memiliki kebiasaan
membeli makanan din depan
sekolah dan sering dijual Lingkungan:
dalam kondisi terbuka. Kondisi rumah dan
Sebelum dan sesudah makan lingkungan rumah yang
pasien hampir tidak pernah tidak sehat
mencuci tangan dengan sabun
Setelah keluar dari kamar
mandi pun pasien jarang
mencuci tangan dengan sabun
Pendidikan dan
An. A pengetahuan:
Demam Tifoid Rendahnya pemahaman
pasien dan keluarga
mengenai faktor resiko,
agen penyebab, gejala
Ekonomi: klinis dan pengobatan
Termasuk keluarga kelas demam tifoid.
menengah kebawah.

Gambar 4.1. Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga

Keterangan:
= Faktor Perilaku
= Faktor Non-Perilaku

B. IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH


1. Gambaran Lingkungan
Pasien tinggal di Desa Kalicupak kidul RT 01/RW 01 Kecamatan
Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Pasien tinggal disebuah rumah dengan
jumlah penghuni 4 orang. Pasien tinggal di rumah dengan ventilasi dan
pencahayaan yang cukup pada masing-masing ruangan untuk menerangi
rumah. Tingkat kelembaban rumah dikatakan tidak terlalu lembab.
Dinding rumah terbuat dari tembok, dan bagian kamar mandi masih
berdinding kayu dan bambu, sertai lantai rumah masih di plester meski
sebagian sudah ada yang dikeramik. Dalam rumah terdapat 3 kamar tidur
berukuran 3x2 meter, 1 ruang keluarga yang digabung dengan ruang tamu,
1 kamar mandi dan 1 dapur. Dalam kamar mandi sudah memiliki jamban,
sehingga untuk BAB pasien tidak perlu ke luar rumah. Tempat
penampungan air di dalam kamar mandi menggunakan ember tampung.
Kamar mandi dan ember tampung dibersihkan atau dikuras setiap 1-2
minggu sekali. Dapur pasien cukup luas, banyak terdapat tumpukan
barang bekas yang tidak terpakai. Keluarga memasak menggunakan
kompor minyak dan kompor gas.
Sumber air bersih yang digunakan pasien untuk kebutuhan sehari-
hari berasal dari sumur dan PAM. Jarak septic tank dari sumber air hanya
sekitar 3-4 meter. Padahal diketahui bahwa jarak antara sumber air bersih
dengan septic tank juga mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat
minimal sumber air bersih dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur
merupakan sumber air yang sering digunakan di masyarakat secara luas.
Jarak sumur dengan septic tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi
kualitas air. Rembesan air dari septic tank dapat mencemari air tanah di
sekitarnya termasuk air sumur yang digunakan untuk kebutuhan minum
dan memasak sehari-hari sehingga dapat menjadi sumber penularan
demam tifoid.
Lingkungan tempat tinggal An. A merupakan lingkungan
pemukiman, jarak antar rumah saling berdekatan sekitar 2-3 meter. Selain
itu pasien memiliki tempat sampah yang diletakkan disamping dapur dan
terbuka yang dapat menjadi sumber penularan penyakit.

Kesan: kebersihan rumah dan lingkungannya belum adekuat


2. Denah Rumah

Gambar 4.2 Denah Rumah An. A


V. DAFTAR MASALAH DAN PEMBINAAN KELUARGA

A. MASALAH MEDIS :
Pasien jenis kelamin laki-laki usia 10 dengan demam tifoid.

B. MASALAH NONMEDIS :
1. Pasien memiliki kebiasaan membeli makanan di depan sekolah.
2. Pasien memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum
dan setelah makan dan setelah keluar dari kamar mandi.
3. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai faktor resiko, agen
penyebab, gejala klinis dan pengobatan demam tifoid.
4. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan tempat sampah terbuka, dan jarak sumber air dengan
septic tank kurang dari 10 meter.
5. Pasien tergolong dalam keluarga dengan kelas ekonomi menengah
kebawah.

C. DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN

Kebiasaan makan jajan Kebiasaan tidak mencuci


sembarangan tangan dengan sabun
Kebiasaan menggunakan alat sebelum dan setelah
Kelas ekonomi makan bersamaa makan, setelah bekerja dan
menengah setelah keluar dari kamar
kebawah. mandi.
An. A
Demam Tifoid

Keadaan dan kebersihan


Rendahnya pemahaman pasien dan lingkungan rumah yang
keluarga mengenai faktor resiko, agen tidak sehat.
penyebab, gejala klinis dan pengobatan
demam tifoid.

Gambar 5.1 Diagram Permasalahan Pasien


D. MATRIKULASI MASALAH
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks:
Tabel 5.1 Matrikulasi Masalah
I T R Jumlah
No. Daftar Masalah IxTxR
P S SB Mn Mo Ma
1. Pengetahuan tentang
5 5 5 5 5 4 5 93,33
penyakit rendah
2. Perilaku tidak mencuci
5 4 5 3 4 5 5 65.38
tangan dengan sabun
3. Kebiasaan makan jajanan
5 4 4 3 4 4 5 56.29
sembarangan
4. Kondisi rumah dan
lingkungan sekitar yang 5 5 4 3 3 3 2 37,33
tidak sehat
5. Kondisi ekonomi keluarga
adalah kelas menengah
4 5 5 1 1 1 1 4,66
kebawah

Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)

Kriteria penilaian:
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting

E. PRIORITAS MASALAH
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga
An. A adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit rendah
2. Perilaku pasien tidak mencuci tangan
3. Kebiasaan jajan sembarangan
4. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak sehat
5. Kondisi ekonomi keluarga kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah tingkat pengetahuan pasien dan
keluarga tentang penyakit yang diderita masih rendah.

F. PENENTUAN ALTERNATIF TERPILIH


Penentuan alternatif terpilih berdasarkan Metode Rinke yang
menggunakan dua kriteria yaitu efektifitas dan efiseiensi jalan keluar. Kriteria
efektifitas terdiri dari pertimbangan mengenai besarnya masalah yang dapat
diatasi, kelanggengan selesainya masalah, dan kecepatan penyelesaian
masalah. Efisiensi dikaitkan dengan jumlah biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah. Skoring efisiensi jalan keluar adalah dari sangat
murah (1), hingga sangat mahal (5).
Tabel 5.2 Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar
C
M
I V (jumlah biaya
(besarnya
(kelanggengan (kecepatan yang diperlukan
Skor masalah
selesainya penyelesaian untuk
yang dapat
masalah) masalah) menyelesaikan
diatasi)
masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat lambat Sangat murah
langgeng
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah
4 Besar Langgeng Cepat Mahal
5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal

Prioritas alternatif terpilih dengan menggunakan metode Rinke adalah


sebagai berikut:

Tabel 5.3 Alternatif Terpilih


Urutan
MxIxV
Daftar Alternatif Jalan Efektivitas Efisiensi Prioritas
No. C
Keluar Masalah
M I V C
1. Penyuluhan kepada pasien 4 3 3 1 36 1
dan keluarga mengenai
pengertian, penyebab,
faktor risiko, cara
penularan, tanda dan
gejala, serta penanganan
dan pencegahan demam
tifoid.
2. Pembagian leaflet 3 2 2 4 3 2
mengenai demam tifoid
dan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS).

Berdasarkan hasil perhitungan penentuan alternatif terpilih menggunakan


metode Rinke, didapatkan alternatif terpilih yaitu penyuluhan kepada pasien dan
keluarga mengenai pengertian, penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan
gejala, serta penanganan dan pencegahan demam tifoid dengan skor 36.
VI. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA

A. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA


1. Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit demam tifoid terutama
mengenai sumber penularan, tanda dan gejala, serta penanganan dini.
Tujuan Khusus
Mengubah perilaku pasien dan keluarga dalam menjaga kebersihan dan
kesehatan anggota keluarga.
2. Cara Pembinaan
Pembinaan dilakukan di rungan rawat inap Puskesmas Jatilawang dan di
rumah pasien dalam waktu yang sudah ditentukan bersama dengan cara
memberikan penyuluhan dan edukasi pada pasien dan keluarga.
Penyuluhan dan edukasi dilakukan dalam suasana santai sehingga materi
yang disampaikan dapat diterima.
3. Materi Pembinaan
Materi utama pada penyuluhan dan edukasi kepada pasien dan keluarga
yaitu mengenai pengertian, penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda
dan gejala, serta penanganan dan pencegahan demam tifoid. Materi
selanjutnya berupa penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit demam
tifoid.
4. Sasaran Pembinaan
Sasaran dari pembinaan yang dilakukan adalah pasien beserta anggota
keluarga pasien yang tinggal di rumah tersebut sebanyak 3 orang.
5. Evaluasi Pembinaan
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan memberikan beberapa pertanyaan
mengenai materi yang telah disampaikan sebelumnya kepada pasien dan
keluarga. Jika pasien atau ayahnya dapat menjawab pertanyaan, maka
mereka dianggap sudah memahami materi yang telah disampaikan
sebelumnya dan dapat saling mengingatkan antar anggota keluarga.
F. HASIL PEMBINAAN KELUARGA
Tabel 6.1. Hasil Pembinaan Keluarga
Anggota
Hari, Kegiatan yang
No. keluarga Hasil kegiatan
Tanggal dilakukan
yang terlibat
1. Sabtu, 25 a. M Pasien dan Pasien bersedia untuk
Maret embina hubungan keluarga dikunjungi lebih lanjut
2017 saling percaya dengan untuk dipantau
pasien, diantaranya perkembangannya.
perkenalan dan
bercerita mengenai
kehidupan sehari-hari
b. M
elakukan tanya jawab
terhadap kondisi
pasien dan keluarga
c. M
emeriksa kondisi
pasien
d. M
endiskusikan dengan
pasien untuk
kedatangan ke
rumahnya.
2. Senin, 27 a. Memeriksa kondisi Pasien dan a. Pasien sudah tidak
Maret rumah dan lingkungan keluarga demam, gejala
2017 tempat tinggal pasien simptomatis sudah
b. Menggali pengetahuan berkurang.
dan pemahaman b. Pasien dan keluarga
pasien dan keluarga memahami tentang
tentang penyakitnya penyakit demam
c. Memberikan tifoid
penjelasan mengenai c. Pasien dan keluarga
pengertian, penyebab, sepakat untuk
faktor risiko, tanda dan menerapkan PHBS
gejala, cara penularan
serta penatalaksanaan
demam tifoid
d. Memotivasi pasien dan
keluarga untuk
memperbaiki
higienitas perorangan
dengan menerapkan
PHBS
G. HASIL EVALUASI
1. Evaluasi Formatif
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 4 orang yang terdiri dari,
pasien Ny.D, suami pasien Tn.R, anak pasien dan ibu mertua pasien.
Metode yang digunakan berupa konseling dan edukasi tentang penyakit
demam tifoid mulai dari pengertian, penyebab, faktor risiko, cara
penularan, tanda dan gejala, penanganan dan edukasi PHBS sebagai salah
satu upaya pencegahan terhadap penyakit demam tifoid.
2. Evaluasi Promotif
Sasaran konseling sebanyak 4 orang yaitu, pasien, suami pasien,
anak dan ibu mertua pasien. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Sabtu,25
maret 2017 di ruang rawat inap Puskesmas Jatilawang dan di rumah
pasien. Konseling berjalan dengan lancar dan pasien serta keluarga merasa
puas karena merasa lebih diperhatikan dengan adanya kunjungan ke
rumahnya untuk memberikan edukasi tentang penyakit yang sedang
diderita Ny.D
3. Evaluasi Sumatif
Sebelum dilakukan konseling pasien dan keluarga mengaku belum
memahami penyakit yang diderita oleh Ny.D sehingga dengan adanya
konseling pasien merasa puas dan senang karena menjadi lebih paham
tentang penyakitnya. Setelah konseling selesai, dilakukan tanya jawab
dengan peserta.
VII. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh
infeksi dan diseminasi bakteri Salmonella typhii dan/atau Salmonella
paratyphii dengan karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi ini
melibatkan pembesaran plak peyer dan limfenodi mesenterikus (Pegues dan
Miller, 2011).

B. ETIOLOGI
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii dan/atau S.
paratyphii A, S. paratyphii B dan S. paratyphii C. Serotipe S. typhii dan S.
paratyphii hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora. Secara
biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada fermentasi glukosa
dan mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi sitokrom oksidase (Haraga et
al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhii dan paratyphii sejatinya merupakan bagian dari
spesies Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium.
Serotipe/serovar dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O (antigen
lipopolisakarida pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya ditemukan
pada S. typhii dan S. paratyphii C), serta antigen flagella H. Dalam serum
penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam
antigen tersebut (Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011). Kuman ini
tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada
suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama
4 minggu dan hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu.
(Widoyono, 2008).
C. FAKTOR RISIKO
1. Karakteristik Individu
a. Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam
tifoid ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa
muda dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup gerak
yang tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan
diluar rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin
kebersihannya (Maria, 2007).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013) menyatakan
bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian demam tifoid.
Laki-laki lebih beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih
banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang
biasanya banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang
belum terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak
makanan sendiri sehingga lebih memperhatikan kebersihan
makanannya. Kebiasaan ini menyebabkan pria lebih rentan menderita
penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan
yang dibeli kurang higienis.
c. Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial
ekonomi rendah berisiko menderita demam tifoid 8,8 kali lebih besar
dibandingkan penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini
menunjukkan tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status
ekonomi. Penghasilan seseorang dapat digunakan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan perbaikan lingkungan sehingga membantu
mencegah penyakit. Selain itu, penduduk kota berpenghasilan rendah
lebih mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu
yang rendah dan tidak terjamin keamanannya sehingga lebih mudah
terjangkit penyakit menular seperti demam tifoid (Artanti, 2013).
d. Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga
penyakit ini erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat.
Seseorang berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang
untuk berperilaku bersih dan sehat akan meningkatkan risiko orang
tersebut untuk terpapar bakteri Salmonella typhii. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suprapto tahun 2012 menunjukkan bawa penderita
yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penularan demam
tifoid berisiko 3.8 kali untuk menderita demam tifoid dibandingkan
responden yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
penularan demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang (Suprapto,
2012).
2. Faktor Perilaku
a. Kebiasaan mencuci tangan
Salah satu media utama penularan kuman Salmonella typhii
adalah melalui tangan. Mencuci tangan sebelum makan dengan sabun
diikuti dengan pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang
terdapat pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai
pembersih, penggosokan dan aliran air akan menghanyutkan partikel
kotoran yang banyak mengandung mikroba. Kuman Salmonella pada
tangan carrier convalescent dapat hilang dengan mudah melalui cuci
tangan pakai sabun dan air (Kurniasih, 2011). Penelitian yang
dilakukan Rakhman dkk tahun 2009 menunjukkan bahwa orang yang
tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan berisiko 2,625 kali
lebih besar menderita demam tifoid dibandingkan dengan orang yang
mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
(Rakhman et al., 2009).
Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan setelah
buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika BAB
benar-benar mengandung Salmonella typhii yang hidup dan dapat
bertahan, serta dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan
kuman tersebut benar-benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman et al.,
2009).
b. Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang memiliki
kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko menderita
demam tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak
pernah jajan di warung atau pinggir jalan (Santoso, 2007). Penularan
demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang makan di tempat umum
dan makanannya disajikan oleh carrier tifoid yang kurang menjaga
kebersihan saat memasak, mengakibatkan penularkan bakteri
Salmonella typhii pada pelanggannya. Selain itu, makanan di tempat-
tempat umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana
bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan
Salmonella typhii dengan cara lalat yang sebelumnya hinggap di feses
atau muntah penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan
yang akan dikonsumsi (Artanti, 2013).
c. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci terlebih
dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan mentah yang
tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, dapat
dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara penularan demam
tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari
air yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi (Suprapto,
2012). Orang yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci bahan
makanan mentah langsung konsumsi berisiko 5,200 kali lebih besar
menderita demam tifoid dibandingkan orang yang memiliki kebiasaan
mencuci bahan makan mentah langsung konsumsi (Risani et al., 2015).
3. Faktor Lingkungan
a. Sumber air bersih
Feses manusia yang terinfeksi S. Typhii dan dibuang secara
tidak layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran tanah dan sumber-sumber air. Hal ini
menyebabkan bakteri S. typhii sering ditemukan di sumur-sumur
penduduk yang telah terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi
oleh kuman tifoid. Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk (2009)
menunjukkan bahwa orang yang menggunakan sumber air bersih
bukan dari penyediaan PDAM berisiko menderita demam tifoid
sebesar 1,74 kali dibandingkan dengan orang yang di rumahnya
menggunakan penyediaan air bersih dari PDAM (Rakhman et al.,
2009).
Jarak antara sumber air bersih dengan septic tank juga
mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat minimal sumber air
bersih dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur merupakan sumber air
yang sering digunakan di masyarakat secara luas. Jarak sumur dengan
septic tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi kualitas air.
Rembesan air dari septic tank dapat mencemari air tanah di sekitarnya
termasuk air sumur yang digunakan untuk kebutuhan minum dan
memasak sehari-hari sehingga dapat menjadi sumber penularan demam
tifoid. Hasil penelitian yang dilakukan tahun menunjukkan bahwa
responden yang menggunakan sumber air bersih dari sumur yang
berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank berisiko 2,613 kali lebih
besar menderita demam tifoid dibandingkan dengan sumur yang
berjarak lebih dari 10 meter dari septic tank (Kristina et al., 2015).
b. Kepemilikan jamban keluarga
Seseorang yang tidak mempunyai jamban berisiko menderita
demam tifoid 1,867 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
mempunyai jamban. Setiap rumah tangga harus memiliki jamban
sendiri yang digunakan untuk buang air besar dan buang air kecil
karena untuk menjaga lingkungan yang bersih, sehat dan tidak berbau,
tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, tidak mengundang
datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penularan diare,
kolera, disentri, tifoid, kecacingan dan penyakit infeksi saluran
pencernaan. Selain itu juga harus memelihara agar jamban tetap sehat
dengan cara membersihkan lantai jamban, membersihkan jamban
secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih, di dalam
jamban tidak ada kotoran yang terlihat, tidak ada seranga (kecoa, lalat)
dan tikus yang berkeliaran serta tersediannya alat pembersih (Depkes
RI, 2006).
c. Pengelolaan sampah dan air limbah
Pengelolaan sampah dan air limbah merupakan masalah untuk
kesehatan lingkungan karena sampah berkaitan erat dengan kesehatan
masyarakat, sehingga dari sampah tersebut akan hidup berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), dan juga
binatang serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vektor).
Seseorang yang sanitasinya buruk dalam pengelolaan sampah berisiko
3,1 kali lebih besar menderita demam tifoid (Wulan, 2013).
Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah
tangga atau institusi yang menghasilkan sampah, sehingga masyarakat
harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk
mengumpulkan sampah dan kemudian dari masing-masing tempat
pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan
sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan
akhir (TPA). Kemudian adanya pemusnahan dan pengolahan sampah
terutama untuk sampah padat dapat dilakukan melalui berbagai cara
antara lain pemusnahan sampah dengan di tanam atau menimbum
dalam tanah, memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam
tungku pembakaran, dan pengolahan sampah yaitu sampah dapat
dijadikan sebagai pupuk kompos (Notoatmodjo, 2007).
4. Riwayat demam tifoid pada keluarga
Orang yang dalam keluarganya pernah menderita demam tifoid
berisiko untuk menderita demam tifoid 2,244 kali lebih besar
dibandingkan orang yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita
demam tifoid dalam 3 bulan terakhir. Penderita yang baru sembuh dari
demam tifoid masih terus mengekskresi S. typhii dalam tinja dan air
kemih sampai tiga bulan (fase konvalesen) dan hanya 3% penderita yang
mengekskresi lebih dari satu tahun. Hal inilah yang menyebabkan
penularan demam tifoid ke anggota keluarganya (Widodo, 2009; Rakhman
et al., 2009).
5. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang antara lain karena akses ke fasilitas kesehatan yang
jauh, kurang aktifnya kader kesehatana dalam melakukan tindakan
promotif dan preventif terhadap demam tifoid kepada masyarakatnya
(Kristina et al., 2015).

D. PATOMEKANISME
Bakteri Salmonella typhii dan paratyphii masuk ke dalam tubuh
melalui ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang
dibutuhkan adalah 103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang dapat
menurunkan keasaman gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi antasida, dan
penyakit aklorhidrik), mengganggu integritas usus (misalnya inflammatory
bowel disease, riwayat operasi gastrointestinal, perubahan keseimbangan flora
usus akibat konsumsi antibiotik) dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, maka akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M) yang
berada di dalam plak peyer. Salmonella dapat memicu pembentukan lipatan
membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan tersebut menyelimuti
bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut sebagai proses bacteria-
mediated endocytosis (BME). Proses BME tergantung kepada penyajian
protein Salmonella secara langsung pada sitoplasma epitel usus melalui
sekresi bakteri tipe III. Protein bakteri tersebut memiliki efek merubah aktin
sitoskeleton yang dibutuhkan untuk endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan difagositosis
oleh makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag melalui
kemampuannya dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang berbahaya.
Berkat kemampuan tersebut, bakteri ini mampu memodifikasi lipopolisakarida
dan mengubah ekspresi protein membran luar sehingga ia dapat bertahan
melawan aktivitas mikrobisidal serta dapat pula mengubah proses signalling
sel fagosit. Sistem sekresi tipe III yang dimiliki oleh Salmonella mampu
menyajikan protein bakteri melewati membran fagosom menuju sitoplasma
makrofag, sehingga sistem sekresi tersebut akan memicu remodeling vakuola
berisi bakteri, dalam rangka menunjang keberlangsungan hidup dan replikasi
bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju seluruh
tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian
berkolonisasi di jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi, dan
sum-sum tulang). Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum muncul tanda
dan gejala yang dirasakan pasien. Demam dan nyeri abdomen mulai muncul
saat makrofag dan sel epitel mulai memproduksi sitokin, akibat terstimulasi
oleh produk bakteri dalam jumlah besar, karena sejumlah produk bakteri
tersebut mulai memicu rangsang imun bawaan. Hepatosplenomegali mulai
muncul sebagai akibat sekunder rekrutmen sel mononuklear dan aktivasi
respon imun yang dimediasi sel, sebagai respon kolonisasi bakteri Salmonella.
Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear dan limfosit tambahan menuju plak
Peyer terjadi beberapa minggu setelah infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen
tersebut dapat menyebabkan pembesaran dan nekrosis plak peyer, sebagai
akibat dari produk proapoptotik dari bakteri maupun dari respon inflamasi
tubuh (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non tifoid (NTS)
memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel leukosit
polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari sekresi IL-8 oleh
sel usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan translokasi protein bakteri pada
sitoplasma sel inang. Degranulasi dan pelepasan zat toksik neutrofil
menyebabkan kerusakan mukosa usus yang menyebabkan diare inflamatorik
pada NTS. Sedangkan, Salmonella tifoid hanya melibatkan sel mononuklear
dan usus halus (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam. Demam pada
penyakit ini umumnya muncul malam hari, dengan kisaran suhu 38,8-
40,5oC. Demam berkisar antara seminggu hingga 4 minggu apabila
dibiarkan tanpa terapi. Waktu inkubasi S. typhii umumnya sekitar 10-14
hari. Selain kedua gejala tersebut, dapat pula muncul gejala sistemik
seperti nyeri kepala, batuk, menggigil, arthralgia, dan myalgia. Gejala
gastrointestinal yang timbul antara lain anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, dan diare atau bahkan konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam
hari, tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu
kedua dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam makulopapular
kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor, splenomegali, nyeri tekan
abdomen dan gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium
dan psikosis (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik,
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Beberapa diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah malaria,
hepatitis, enteritis bakterial, demam dengue, infeksi rickettsia,
leptospirosis, abses hepar amoebik, dan infeksi HIV akut (Pegues dan
Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas
untuk penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang positif.
Kultur dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam kulit,
feses, dan sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat
demam tinggi. Spesimen feses dan urin diambil pada minggu ke II dan
minggu-minggu seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya 40-80% akibat
penggunaan antibiotik yang tinggi di daerah endemik maupun akibat
jumlah bakteri di darah yang terlalu sedikit (<15 organisme per mL)
(Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat
mengarahkan diagnosis yaitu:
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%, sedangkan
leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak, terutama
pada 10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus atau infeksi
sekunder (Pegues dan Miller, 2011).
b. Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen aglutinogen
(reagen S. typhii) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat dalam darah.
Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk
menggantikan kultur sebagai standar baku emas. Batas titer yang
dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan pada suatu daerah.
Sebagian besar pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dianggap pasti adalah
apabila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
dengan interval 5-7 hari (Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
c. PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhii dalam darah, namun
masih belum digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan klinis
(Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet lunak, tim dan nasi
biasa (Depkes RI, 2006).
c. Cairan yang cukup kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan
harian (Depkes RI, 2006).
2. Medikamentosa
Terapi simptomatik yang dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita (Depkes RI, 2006):
a. Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol,
ampisilin atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang hamil),
trimetoprim-sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
pertama dinilai tidak efektif dapat diganti dengan antibiotik yang lain
atau dipilih antibiotik lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk tifoid
adalah ceftriaxon, cefixime (efektif untuk anak), quinolone (tidak
dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
Tabel 7.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-
14 hari dibagi 4 dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10
hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefiksim - Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari
Thiamfenikol - Dewasa 4x500 mg/hari
- Anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas panas

b. Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi febris pada pasien (Widoyono, 2008).
c. Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat yang biasa
digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
d. Roboransia/vitamin

G. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan
kematian akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman S. typhii sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor
lingkungan (Widodo, 2009).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo, 2009):
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhii pada pasien demam tifoid
asimptomatik, karier dan akut
Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi
sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan dan petugas
kebersihan.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhii akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah
dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.
typhii.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran
vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko
tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.
VIII. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Ny.D adalah seorang pasien yang menderita
penyakit demam tifoid.
1. Aspek Personal
Idea
Pasien mengeluh demam, mual, muntah 3 kali isi cairan dan makanan,
nafsu makan dan minum turun, nyeri perut,nyeir kepala, belum BAB sejak
3 hari yang lalu, dan badan terasa lemas.
Concern
Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, suami pasien kawatir
kondisi pasien memburuk dan tidak bias beraktivitas seperti biasanya.
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti semula.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam Tifoid
Diagnosa banding : DF, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Pasien memiliki kebiasaan membeli makanan di penjual makanan
di pinggir jalan. Sebelum dan sesudah makan pasien hampir tidak pernah
mencuci tangan dengan sabun. Setelah keluar dari kamar mandi pun
pasien jarang mencuci tangan.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Makanan di pinggir jalan yang kurang terjaga kebersihannya.
b. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan kandang kambing, tempat sampah terbuka yang
diletakkan di samping dapur, dan jarak sumber air dengan septic tank
kurang dari 10 meter.
c. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat.
d. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai faktor resiko,
agen penyebab, gejala klinis dan pengobatan demam tifoid.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
bersekolah, berkumpul bersama keluarga, dan bermain dengan teman-
temannya.

B. SARAN
Pemberian penyuluhan dengan materi utama mengenai pengertian,
penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala, serta penanganan
dan pencegahan demam tifoid. Materi selanjutnya berupa penyuluhan tentang
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai salah satu upaya pencegahan
terhadap penyakit demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

Artanti NW. 2013. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan,


dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi.
Available at : http://lib.unnes.ac.id/18354/1/6450408002.pdf. Diakses pada
20 Juni 2016.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. KMK No. 364/SK/V/2006


Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta : Direktorat
Jenderal PP dan PL.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia


tahun 2011. Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Profil Kesehatan Jawa Tengah.
Semarang.

GA dan Finlay BB. 2008. Pathogenesis of Enteric Salmonella Infections. Curr


Opin Gastroenterol. Vol. 24(1): 22-26.

Haraga A et al. 2008. Salmonella Interplay with Host Cells. Nat Rev Micobiol;
6:53.

Herliani D, Usep AH, Rika N. 2015. Hubungan antara Faktor Risiko dengan
Kejadian Demam Tifoid pada Pasien yang di Rawat di Rumah Sakit Al-
Islam Bandung Periode Februari - Juni 2015. Bandung : Universitas Islam.

Kristina RT, Andi ZA, Ansariadi. 2014. Faktor Risiko Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Galesong Utara Kabupaten Takalar. Skripsi. Makasar :
Unversitas Hasanudin.

Kurniasih. 2011. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Demam Tifoid di


Rumah Sakit Jasa Kartini Kecamatan Rancah Kabupaten Tasikmalaya.
Skripsi. Bandung : Universitas Siliwangi.

Maria HW. 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam Tifoid
di Indonesia Tahun 2006. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Vol. 19 (4) : 165-173.

Okky PP. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada Penderita
yang Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 2 (1) : 108-117.

Pegues DA, Miller SI. 2011. Salmonellosis. Dalam Harrison's Principles of


Internal Medicine 18th edition. New York: McGraw and Hill.
Rakhman A, Rizka H, Dibyo P. 2009. Faktor – Faktor Risiko yang Berpengaruh
terhadap Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran
Masyarakat. Vol. 25 (4) : 167-175.

Risani ES, Henry P, Vandry DK. 2015. Hubungan Personal Hygiene dengan
Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tumaratas. Ejournal.
Vol. 3(2) : 1-8.

Santoso. 2007. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Demam Tifoid di Kabupaten


Purworejo. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Suprapto. 2012. Faktor Risiko Pejamu yang Mempengaruhi Kejadian Demam


Tifoid (Studi Kasus Di RSUP Dr. Kariadi Semarang). Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro

Vollaard AM, Van A, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C. 2004. Risk factors for
Typhoid and Paratyphoid Fever in Jakarta, Indonesia. Journal of American
Medical Association. Vol. 291(21) : 2607-2615.

WHO, 2014. Typhoid : Immunization, Vaccines and Biologicalis. Available at :


http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/, diakses pada 20
Juni 2016.

Widodo D. 2009. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi V. Jakarta : InternaPublishing.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Wulan YS. 2013. Faktor Kebiasaan dan Sanitasi Lingkungan Hubunganya


dengan Kejadian Demam Thypoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak
Kabupaten Boyolali. Skripsi. Avilable at:
http://eprints.ums.ac.id/27257/11/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf, diakses
pada 20 Juni 2016.
Lampiran 1

Anda mungkin juga menyukai