DEMAM TIFOID
Disusun Oleh:
Astarie Bella Larasati
G4A015092
Pembimbing:
Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK.
dr. Mardiyani Isnen P.
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Demam Tifoid
Oleh:
Astarie Bella Larasati
G4A015092
A. PENDAHULUAN
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pasien jenis
kelamin laki-laki berusia 10 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan
demam sejak 2 hari sebelum datang ke IGD Puskesmas 1 Sokaraja.
B. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Penghasilan/bulan :-
Alamat : Desa Kalicupak kidul, RT/RW 01/01,
Kecamatan Kalibagor
Pengantar : Ibu pasien
Tanggal Periksa : 27 Desember 2018
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (27/12/2018)
Hb 12.1 gr/dL (N)
Leukosit 4.100
Widal:
Salmonela typhi O 1/160
Salmonela typhi H 1/160
F. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Idea
Pasien mengeluhkan demam, mual, muntah 5 kali isi cairan dan makanan,
nyeri kepala, nafsu makan turun, nyeri perut, dan badan terasa lemas.
Concern
Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, ibu pasien kawatir
kondisi pasien semakin lemas dan memburuk sehingga membuat pasien
sulit untuk beraktivitas.
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti semula.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam tifoid
Gejala klinis yang muncul : Demam, mual, muntah 5 kali isi cairan dan
makanan, nyeri kepala, nafsu makan
menurun, nyeri perut, dan badan terasa
lemas.
Diagnosa banding : Dengue fever.
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Sebelum dan sesudah makan pasien hampir tidak pernah mencuci
tangan menggunakan sabun. Setelah keluar dari kamar mandi pun pasien
jarang mencuci tangan dengan sabun. Pasien memiliki kebiasaan jajan
sembarangan.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Makanan di depan sekolah yang kurang terjaga kebersihannya.
b. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan tempat sampah terbuka, jarak sumber air dengan
septic tank kurang dari 10 meter,
c. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat.
d. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai higienitas diri
sendiri, makanan dan lingkungan
e. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai penyakit
demam tifoid
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
bersekolah dan bermain dengan teman di sekitar rumahnya.
G. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1. Personal Care
a. Initial Plan
Usulan pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan darah lengkap (Leukosit, Eritrosit, Hitung Jenis
Leukosit, Ht).
2) Pemeriksaan darah serial setiap hari (Hb, Ht, Trombosit).
3) Serologi :
a) Enzyme Immunoassay test (Typhidot): Deteksi IgM dan IgG
Salmonella typhi
b) Kultur Salmonella typhi dengan spesimen darah
c) Pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue
b. Medikamentosa
1) IVFD RL 18 tpm makro
2) PO Chloramphenicol tab 4x500 mg
3) PO Paracetamol 3x500 mg k/p demam
4) PO Antasid suspensi 3x1 cth
5) PO Domperidon 3x1 tab
c. Non Medikamentosa
1) Istirahat tirah baring
2) Diet tinggi kalori, tinggi protein, tinggi serat
3) Perbanyak minum air putih
4) Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
5) Kontrol dan monitor tanda vital
6) Monitoring tanda komplikasi tifoid: penurunan kesadaran,
hemodinamik terganggu (nadi teraba halus dan cepat), akral dingin,
gejala akut abdomen, hepatomegali.
d. KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu mendapatkan edukasi mengenai:
1) Penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala serta
pengobatan demam tifoid.
2) Edukasi tanda-tanda kegawatan demam tifoid seperti: pasien
mengigau, gelisah atau bahkan sampai tidak sadarkan diri, kaki dan
tangan teraba dingin, nyeri perut hebat, BAB hitam.
3) Minum obat teratur dan tuntas, terutama penggunaan antibiotik
sesuai anjuran walaupun gejala sudah membaik.
4) Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.
5) Pilihlah makanan dan minum yang terjamin kebersihan dan
kematangannya. Jangan membeli makanan/minuman yang
tercemar debu, sampah atau yang dihinggapi lalat.
6) Bahan makanan mentah yang akan diolah harus dicuci dengan air
bersih dan mengalir.
7) Harus menjaga kesehatan peralatan makanan/minuman dengan
cara mencucinya menggunakan air bersih dan sabun cuci piring.
2. Family Care
a. Dukungan psikologis dari keluarga lainnya.
b. Pasien harus lebih memperhatikan kebersihan makanan yang
dikonsumsi
3. Community Care
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat di tempat tinggal
pasien tentang aspek pencegahan demam tifoid melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Peningkatan hygiene makanan dan minuman
c. Peningkatan hygiene perorangan
H. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
I.
J. FLOW SHEET
Tabel 2.1 Flow Sheet An. A (10 tahun)
No. Hari, Problem Tanda Pemeriksaan Planning
Tanggal Vital Fisik
1. Rabu, Panas N:102x/ Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
26/12/18 nglemeng, menit Mulut: lidah kotor tpm
09.00 mual, muntah RR:20x/ dan pucat, tepi Ibuprofen
WIB 2x isi cairan menit hiperemis. 3x400 mg
dan makanan, S:38.90 C P/ SD ves+/+, selang seling
nyeri kepala, Rbk-/-, Rbh-/-, dengan PCT.
nyeri perut, Wh-/- Paracetamol
BAB (+) N, C/ S1>S2 reg, 3x500 mg k/p
BAK (+) N, M-, G- demam
nafsu makan A/ datar, BU(+)N, Antasid
menurun timpani, NT (+) suspensi 3x1
umbilical cth
Eks: Uji RL (-), PO
akral hangat ++/+ Domperidon
+ 3x1 tab
Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
2. Kamis Panas naik N:84 Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
27/12/18 turun, mual, x/menit Mulut: lidah kotor tpm
07.00 muntah 1x isi RR:18x/ dan pucat, tepi Ibuprofen
WIB cairan dan menit hiperemis. 3x400 mg
makanan, nyeri S:380 C P/ SD ves+/+, selang seling
kepala, nyeri Rbk-/-, Rbh-/-, dengan PCT.
perut, BAB (+) Wh-/- Paracetamol
N, BAK (+) N, C/ S1>S2 reg, 3x500 mg k/p
nafsu makan M-, G- demam
menurun, lemas A/ datar, BU(+)N, Antasid
timpani, NT (+) suspensi 3x1
umbilical cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab
Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
Hasil
Lab:
Hb : 12
mg/dl
Leukosit:
4.100
Widal :
Salmonell
a Thyphi
O 1/160
3. Jumat Panas mulai N:82x/m Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
28/12/18 turun, mual, enit Mulut: lidah kotor tpm
07. 00 muntah (-), RR:20x/ dan pucat Chloramphenic
WIB nyeri kepala, menit P/ SD ves+/+, ol 4x500 mg
nyeri perut S:37.30 Rbk-/-, Rbh-/-, Paracetamol
berkurang, C Wh-/- 3x500 mg k/p
BAB (+) N, C/ S1>S2 reg, demam
BAK (+) N, M-, G- Antasid
nafsu makan A/ datar, BU(+)N, suspensi 3x1
membaik timpani, NT (-) cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab
Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
4. Sabtu Panas naik N:84x/m Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 18
29/12/18 turun, mual, enit Mulut: lidah kotor tpm
08. 00 muntah (-), RR:18x/ berkurang. Chloramphenic
WIB nyeri kepala, menit P/ SD ves+/+, ol 4x500 mg
0
nyeri perut S:36.9 Rbk-/-, Rbh-/-, Paracetamol
berkurang, C Wh-/- 3x500 mg k/p
BAB (+), BAK C/ S1>S2 reg, demam
(+) N, nafsu M-, G- Antasid
makan A/ datar, BU(+)N, suspensi 3x1
membaik timpani, NT (-) cth
Eks: akral hangat PO
++/++ Domperidon
3x1 tab
Tirah baring
Diet lunak
TKTP
Banyak minum
air putih.
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Bentuk keluarga An. A (10 tahun) adalah extended family. Kepala
keluarga adalah Tn. A (35 tahun) yang merupakan Ayah pasien. Pada
keluarga ini terdapat ayah pasien (35 tahun), ibu pasien (30 tahun), pasien
(10 tahun), dan nenek buyut pasien (78 tahun) yang hidup bersama dalam
satu rumah. Pasien merupakan anak tunggal. Tidak memiliki saudara
kandung. Ayah pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ibu
pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Saat ini yang tinggal
bersama keluarga An. A adalah nenek dari ibu pasien, yang merupakan
nenek buyut dari pasien. Nenek buyut pasien membantu menjaga dan
merawat An. A sejak kecil karena ayah dan ibunya sama-sama bekerja.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya cukup harmonis.
Kadang ada sedikit masalah perbedaan pendapat antara orang tua dan anak
yang masih dalam batas wajar. Tidak ada konflik yang berat di dalam
keluarga pasien. Menurut pasien, anggota keluarganya saling mendukung
terhadap pekerjaan atau urusan masing-masing. Pasien dan anggota
keluarga lain tidak pernah merasa tertekan saat berada didalam keluarga.
Jika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami masalah, semua
anggota keluarga saling membantu mereka untuk menyelesaikan
masalahnya, seperti contoh saat pasien sakit, kakek dan nenek yang tidak
tinggal dalam satu rumah dengan pasien juga ikut menemani pasien di
puskesmas.
3. Fungsi Sosial
Pasien bergaul dengan baik ke tetangga di sekitar rumahnya,
karena sejak kecil pasien sudah tinggal di lingkungan tersebut. Pasien juga
sering bermain dengan teman sebayanya. Pasien mengaku memiliki
banyak teman, dan setiap sore sering berkumpul disekitar rumahnya.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Sumber pendapatan keluarga pasien adalah dari ayah dan ibunya. Ayah
pasien bekerja sebagai supir dengan penghasilan sekitar
Rp.1.000.000,00/bulan. Ibu pasien bekerja sebagai buruh pabrik, dengan
penghasilan yang juga berkisar sekitar Rp.1.000.000,00/bulan. Nenek
buyut pasien tidak bekerja dan membantu merawat pasien karena ayah dan
ibu pasien bekerja. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau
yaitu puskesmas. Pembiayaan kesehatan berasal dari Kartu Indonesia
Sehat (KIS).
Dapat disimpulkan bahwa bentuk keluarga An. A adalah extended
family. Keluarga An. A adalah keluarga yang cukup harmonis,
berhubungan baik dengan lingkungan sekitar dan merupakan keluarga
dengan perekonomian kelas menengah kebawah.
B. FUNGSI FISIOLOGIS (A.P.G.A.R SCORE)
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R
SCORE dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R SCORE disini akan dilakukan pada masing-masing anggota
keluarga, kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga
secara keseluruhan. Nilai rata-rata 1-5 = jelek, 5-7 = sedang, 8-10 = baik.
Adaptation
Pasien jarang menceritakan keluhannya terhadap keluarga. Akan
tetapi, ketika An. A bercerita tentang sakit yang dialaminya atau masalah yang
sedang dihadapi, keluarga An. A berusaha membantu menyelesaikan
masalahnya.
Partnership
Komunikasi terjalin satu sama lain baik dengan orang tua pasien. Kerjasama
antar anggota keluarga terjalin baik. Pasien melakukan aktivitas di rumah dan di
sekolah dengan baik. Pasien juga bermain dengan tetangga saat ada waktu luang.
Setiap ada permasalahan didiskusikan bersama dengan anggota keluarga lainnya,
komunikasi dengan anggota keluarga berjalan dengan baik.
Growth
Pasien terlihat cukup puas atas segala bentuk dukungan dan bantuan dari
keluarga untuk kegiatan atau hal-hal baru yang hendak dilakukan pasien.
Affection
Pasien merasa cukup puas dengan perhatian keluarga terhadap pasien.
Dalam hal mengekspresikan perasaan atau emosi, antar anggota keluarga
berusaha untuk selalu jujur. Apabila ada hal yang tidak berkenan di hati, maka
anggota keluarga akan mencoba untuk segera menyampaikan tanpa dipendam,
sehingga permasalahan dapat segera selesai.
Resolve
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien cukup, baik dari keluarga
maupun dari saudara-saudara. Pasien merasa senang apabila bisa berkumpul di
rumah walaupun hanya untuk menonton televisi atau makan bersama.
Tabel 3.1 Nilai APGAR dari An. A terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang
A.P.G.A.R An. A Terhadap Keluarga tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya
R
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 9, fungsi fisiologis An. A terhadap keluarga cukup sehat
Keterangan :
1. Cultural (+) oleh karena pasien dan keluarga pasien masih percaya
mengenai pengobatan-pengobatan alternatif dan kadang masih
menggunakannya.
2. Economic (+) oleh karena ekonomi keluarga pasien tergolong menengah
kebawah.
3. Education (+) oleh karena pengetahuan pasien tentang kesehatan terutama
tentang penyakitnya masih kurang.
Kesimpulan :
Keluarga An. A fungsi patologis yang ditemukan antara lain fungsi ekonomi,
fungsi budaya dan fungsi pendidikan.
D. FAMILY GENOGRAM
Tn. A Ny. S
35 th 30 th
An. A
10 th
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
E. INFORMASI POLA INTERAKSI KELUARGA
Tn. A Ny. S
An. A
Keterangan:
= Faktor Perilaku
= Faktor Non-Perilaku
A. MASALAH MEDIS :
Pasien jenis kelamin laki-laki usia 10 dengan demam tifoid.
B. MASALAH NONMEDIS :
1. Pasien memiliki kebiasaan membeli makanan di depan sekolah.
2. Pasien memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum
dan setelah makan dan setelah keluar dari kamar mandi.
3. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai faktor resiko, agen
penyebab, gejala klinis dan pengobatan demam tifoid.
4. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan tempat sampah terbuka, dan jarak sumber air dengan
septic tank kurang dari 10 meter.
5. Pasien tergolong dalam keluarga dengan kelas ekonomi menengah
kebawah.
Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)
Kriteria penilaian:
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting
E. PRIORITAS MASALAH
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga
An. A adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit rendah
2. Perilaku pasien tidak mencuci tangan
3. Kebiasaan jajan sembarangan
4. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak sehat
5. Kondisi ekonomi keluarga kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah tingkat pengetahuan pasien dan
keluarga tentang penyakit yang diderita masih rendah.
A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh
infeksi dan diseminasi bakteri Salmonella typhii dan/atau Salmonella
paratyphii dengan karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi ini
melibatkan pembesaran plak peyer dan limfenodi mesenterikus (Pegues dan
Miller, 2011).
B. ETIOLOGI
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii dan/atau S.
paratyphii A, S. paratyphii B dan S. paratyphii C. Serotipe S. typhii dan S.
paratyphii hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora. Secara
biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada fermentasi glukosa
dan mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi sitokrom oksidase (Haraga et
al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhii dan paratyphii sejatinya merupakan bagian dari
spesies Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium.
Serotipe/serovar dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O (antigen
lipopolisakarida pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya ditemukan
pada S. typhii dan S. paratyphii C), serta antigen flagella H. Dalam serum
penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam
antigen tersebut (Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011). Kuman ini
tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada
suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama
4 minggu dan hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu.
(Widoyono, 2008).
C. FAKTOR RISIKO
1. Karakteristik Individu
a. Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam
tifoid ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa
muda dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup gerak
yang tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan
diluar rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin
kebersihannya (Maria, 2007).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013) menyatakan
bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian demam tifoid.
Laki-laki lebih beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih
banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang
biasanya banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang
belum terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak
makanan sendiri sehingga lebih memperhatikan kebersihan
makanannya. Kebiasaan ini menyebabkan pria lebih rentan menderita
penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan
yang dibeli kurang higienis.
c. Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial
ekonomi rendah berisiko menderita demam tifoid 8,8 kali lebih besar
dibandingkan penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini
menunjukkan tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status
ekonomi. Penghasilan seseorang dapat digunakan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan perbaikan lingkungan sehingga membantu
mencegah penyakit. Selain itu, penduduk kota berpenghasilan rendah
lebih mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu
yang rendah dan tidak terjamin keamanannya sehingga lebih mudah
terjangkit penyakit menular seperti demam tifoid (Artanti, 2013).
d. Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga
penyakit ini erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat.
Seseorang berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang
untuk berperilaku bersih dan sehat akan meningkatkan risiko orang
tersebut untuk terpapar bakteri Salmonella typhii. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suprapto tahun 2012 menunjukkan bawa penderita
yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penularan demam
tifoid berisiko 3.8 kali untuk menderita demam tifoid dibandingkan
responden yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
penularan demam tifoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang (Suprapto,
2012).
2. Faktor Perilaku
a. Kebiasaan mencuci tangan
Salah satu media utama penularan kuman Salmonella typhii
adalah melalui tangan. Mencuci tangan sebelum makan dengan sabun
diikuti dengan pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang
terdapat pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai
pembersih, penggosokan dan aliran air akan menghanyutkan partikel
kotoran yang banyak mengandung mikroba. Kuman Salmonella pada
tangan carrier convalescent dapat hilang dengan mudah melalui cuci
tangan pakai sabun dan air (Kurniasih, 2011). Penelitian yang
dilakukan Rakhman dkk tahun 2009 menunjukkan bahwa orang yang
tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan berisiko 2,625 kali
lebih besar menderita demam tifoid dibandingkan dengan orang yang
mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
(Rakhman et al., 2009).
Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan setelah
buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika BAB
benar-benar mengandung Salmonella typhii yang hidup dan dapat
bertahan, serta dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan
kuman tersebut benar-benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman et al.,
2009).
b. Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang memiliki
kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko menderita
demam tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak
pernah jajan di warung atau pinggir jalan (Santoso, 2007). Penularan
demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang makan di tempat umum
dan makanannya disajikan oleh carrier tifoid yang kurang menjaga
kebersihan saat memasak, mengakibatkan penularkan bakteri
Salmonella typhii pada pelanggannya. Selain itu, makanan di tempat-
tempat umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana
bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan
Salmonella typhii dengan cara lalat yang sebelumnya hinggap di feses
atau muntah penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan
yang akan dikonsumsi (Artanti, 2013).
c. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci terlebih
dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan mentah yang
tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, dapat
dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara penularan demam
tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari
air yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi (Suprapto,
2012). Orang yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci bahan
makanan mentah langsung konsumsi berisiko 5,200 kali lebih besar
menderita demam tifoid dibandingkan orang yang memiliki kebiasaan
mencuci bahan makan mentah langsung konsumsi (Risani et al., 2015).
3. Faktor Lingkungan
a. Sumber air bersih
Feses manusia yang terinfeksi S. Typhii dan dibuang secara
tidak layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran tanah dan sumber-sumber air. Hal ini
menyebabkan bakteri S. typhii sering ditemukan di sumur-sumur
penduduk yang telah terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi
oleh kuman tifoid. Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk (2009)
menunjukkan bahwa orang yang menggunakan sumber air bersih
bukan dari penyediaan PDAM berisiko menderita demam tifoid
sebesar 1,74 kali dibandingkan dengan orang yang di rumahnya
menggunakan penyediaan air bersih dari PDAM (Rakhman et al.,
2009).
Jarak antara sumber air bersih dengan septic tank juga
mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat minimal sumber air
bersih dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur merupakan sumber air
yang sering digunakan di masyarakat secara luas. Jarak sumur dengan
septic tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi kualitas air.
Rembesan air dari septic tank dapat mencemari air tanah di sekitarnya
termasuk air sumur yang digunakan untuk kebutuhan minum dan
memasak sehari-hari sehingga dapat menjadi sumber penularan demam
tifoid. Hasil penelitian yang dilakukan tahun menunjukkan bahwa
responden yang menggunakan sumber air bersih dari sumur yang
berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank berisiko 2,613 kali lebih
besar menderita demam tifoid dibandingkan dengan sumur yang
berjarak lebih dari 10 meter dari septic tank (Kristina et al., 2015).
b. Kepemilikan jamban keluarga
Seseorang yang tidak mempunyai jamban berisiko menderita
demam tifoid 1,867 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
mempunyai jamban. Setiap rumah tangga harus memiliki jamban
sendiri yang digunakan untuk buang air besar dan buang air kecil
karena untuk menjaga lingkungan yang bersih, sehat dan tidak berbau,
tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, tidak mengundang
datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penularan diare,
kolera, disentri, tifoid, kecacingan dan penyakit infeksi saluran
pencernaan. Selain itu juga harus memelihara agar jamban tetap sehat
dengan cara membersihkan lantai jamban, membersihkan jamban
secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih, di dalam
jamban tidak ada kotoran yang terlihat, tidak ada seranga (kecoa, lalat)
dan tikus yang berkeliaran serta tersediannya alat pembersih (Depkes
RI, 2006).
c. Pengelolaan sampah dan air limbah
Pengelolaan sampah dan air limbah merupakan masalah untuk
kesehatan lingkungan karena sampah berkaitan erat dengan kesehatan
masyarakat, sehingga dari sampah tersebut akan hidup berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), dan juga
binatang serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vektor).
Seseorang yang sanitasinya buruk dalam pengelolaan sampah berisiko
3,1 kali lebih besar menderita demam tifoid (Wulan, 2013).
Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah
tangga atau institusi yang menghasilkan sampah, sehingga masyarakat
harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk
mengumpulkan sampah dan kemudian dari masing-masing tempat
pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan
sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan
akhir (TPA). Kemudian adanya pemusnahan dan pengolahan sampah
terutama untuk sampah padat dapat dilakukan melalui berbagai cara
antara lain pemusnahan sampah dengan di tanam atau menimbum
dalam tanah, memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam
tungku pembakaran, dan pengolahan sampah yaitu sampah dapat
dijadikan sebagai pupuk kompos (Notoatmodjo, 2007).
4. Riwayat demam tifoid pada keluarga
Orang yang dalam keluarganya pernah menderita demam tifoid
berisiko untuk menderita demam tifoid 2,244 kali lebih besar
dibandingkan orang yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita
demam tifoid dalam 3 bulan terakhir. Penderita yang baru sembuh dari
demam tifoid masih terus mengekskresi S. typhii dalam tinja dan air
kemih sampai tiga bulan (fase konvalesen) dan hanya 3% penderita yang
mengekskresi lebih dari satu tahun. Hal inilah yang menyebabkan
penularan demam tifoid ke anggota keluarganya (Widodo, 2009; Rakhman
et al., 2009).
5. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang antara lain karena akses ke fasilitas kesehatan yang
jauh, kurang aktifnya kader kesehatana dalam melakukan tindakan
promotif dan preventif terhadap demam tifoid kepada masyarakatnya
(Kristina et al., 2015).
D. PATOMEKANISME
Bakteri Salmonella typhii dan paratyphii masuk ke dalam tubuh
melalui ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang
dibutuhkan adalah 103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang dapat
menurunkan keasaman gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi antasida, dan
penyakit aklorhidrik), mengganggu integritas usus (misalnya inflammatory
bowel disease, riwayat operasi gastrointestinal, perubahan keseimbangan flora
usus akibat konsumsi antibiotik) dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, maka akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M) yang
berada di dalam plak peyer. Salmonella dapat memicu pembentukan lipatan
membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan tersebut menyelimuti
bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut sebagai proses bacteria-
mediated endocytosis (BME). Proses BME tergantung kepada penyajian
protein Salmonella secara langsung pada sitoplasma epitel usus melalui
sekresi bakteri tipe III. Protein bakteri tersebut memiliki efek merubah aktin
sitoskeleton yang dibutuhkan untuk endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan difagositosis
oleh makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag melalui
kemampuannya dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang berbahaya.
Berkat kemampuan tersebut, bakteri ini mampu memodifikasi lipopolisakarida
dan mengubah ekspresi protein membran luar sehingga ia dapat bertahan
melawan aktivitas mikrobisidal serta dapat pula mengubah proses signalling
sel fagosit. Sistem sekresi tipe III yang dimiliki oleh Salmonella mampu
menyajikan protein bakteri melewati membran fagosom menuju sitoplasma
makrofag, sehingga sistem sekresi tersebut akan memicu remodeling vakuola
berisi bakteri, dalam rangka menunjang keberlangsungan hidup dan replikasi
bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju seluruh
tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian
berkolonisasi di jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi, dan
sum-sum tulang). Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum muncul tanda
dan gejala yang dirasakan pasien. Demam dan nyeri abdomen mulai muncul
saat makrofag dan sel epitel mulai memproduksi sitokin, akibat terstimulasi
oleh produk bakteri dalam jumlah besar, karena sejumlah produk bakteri
tersebut mulai memicu rangsang imun bawaan. Hepatosplenomegali mulai
muncul sebagai akibat sekunder rekrutmen sel mononuklear dan aktivasi
respon imun yang dimediasi sel, sebagai respon kolonisasi bakteri Salmonella.
Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear dan limfosit tambahan menuju plak
Peyer terjadi beberapa minggu setelah infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen
tersebut dapat menyebabkan pembesaran dan nekrosis plak peyer, sebagai
akibat dari produk proapoptotik dari bakteri maupun dari respon inflamasi
tubuh (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non tifoid (NTS)
memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel leukosit
polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari sekresi IL-8 oleh
sel usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan translokasi protein bakteri pada
sitoplasma sel inang. Degranulasi dan pelepasan zat toksik neutrofil
menyebabkan kerusakan mukosa usus yang menyebabkan diare inflamatorik
pada NTS. Sedangkan, Salmonella tifoid hanya melibatkan sel mononuklear
dan usus halus (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan
Miller, 2011).
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam. Demam pada
penyakit ini umumnya muncul malam hari, dengan kisaran suhu 38,8-
40,5oC. Demam berkisar antara seminggu hingga 4 minggu apabila
dibiarkan tanpa terapi. Waktu inkubasi S. typhii umumnya sekitar 10-14
hari. Selain kedua gejala tersebut, dapat pula muncul gejala sistemik
seperti nyeri kepala, batuk, menggigil, arthralgia, dan myalgia. Gejala
gastrointestinal yang timbul antara lain anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, dan diare atau bahkan konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam
hari, tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu
kedua dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam makulopapular
kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor, splenomegali, nyeri tekan
abdomen dan gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium
dan psikosis (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik,
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Beberapa diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah malaria,
hepatitis, enteritis bakterial, demam dengue, infeksi rickettsia,
leptospirosis, abses hepar amoebik, dan infeksi HIV akut (Pegues dan
Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas
untuk penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang positif.
Kultur dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam kulit,
feses, dan sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat
demam tinggi. Spesimen feses dan urin diambil pada minggu ke II dan
minggu-minggu seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya 40-80% akibat
penggunaan antibiotik yang tinggi di daerah endemik maupun akibat
jumlah bakteri di darah yang terlalu sedikit (<15 organisme per mL)
(Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat
mengarahkan diagnosis yaitu:
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%, sedangkan
leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak, terutama
pada 10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus atau infeksi
sekunder (Pegues dan Miller, 2011).
b. Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen aglutinogen
(reagen S. typhii) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat dalam darah.
Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk
menggantikan kultur sebagai standar baku emas. Batas titer yang
dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan pada suatu daerah.
Sebagian besar pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dianggap pasti adalah
apabila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
dengan interval 5-7 hari (Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
c. PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhii dalam darah, namun
masih belum digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan klinis
(Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet lunak, tim dan nasi
biasa (Depkes RI, 2006).
c. Cairan yang cukup kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan
harian (Depkes RI, 2006).
2. Medikamentosa
Terapi simptomatik yang dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita (Depkes RI, 2006):
a. Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol,
ampisilin atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang hamil),
trimetoprim-sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu antibiotik lini
pertama dinilai tidak efektif dapat diganti dengan antibiotik yang lain
atau dipilih antibiotik lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk tifoid
adalah ceftriaxon, cefixime (efektif untuk anak), quinolone (tidak
dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
Tabel 7.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-
14 hari dibagi 4 dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10
hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefiksim - Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari
Thiamfenikol - Dewasa 4x500 mg/hari
- Anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas panas
b. Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi febris pada pasien (Widoyono, 2008).
c. Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat yang biasa
digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
d. Roboransia/vitamin
G. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan
kematian akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman S. typhii sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor
lingkungan (Widodo, 2009).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo, 2009):
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhii pada pasien demam tifoid
asimptomatik, karier dan akut
Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi
sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan dan petugas
kebersihan.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhii akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah
dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.
typhii.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran
vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko
tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.
VIII. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Ny.D adalah seorang pasien yang menderita
penyakit demam tifoid.
1. Aspek Personal
Idea
Pasien mengeluh demam, mual, muntah 3 kali isi cairan dan makanan,
nafsu makan dan minum turun, nyeri perut,nyeir kepala, belum BAB sejak
3 hari yang lalu, dan badan terasa lemas.
Concern
Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, suami pasien kawatir
kondisi pasien memburuk dan tidak bias beraktivitas seperti biasanya.
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti semula.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam Tifoid
Diagnosa banding : DF, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Pasien memiliki kebiasaan membeli makanan di penjual makanan
di pinggir jalan. Sebelum dan sesudah makan pasien hampir tidak pernah
mencuci tangan dengan sabun. Setelah keluar dari kamar mandi pun
pasien jarang mencuci tangan.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Makanan di pinggir jalan yang kurang terjaga kebersihannya.
b. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, dapur
yang dekat dengan kandang kambing, tempat sampah terbuka yang
diletakkan di samping dapur, dan jarak sumber air dengan septic tank
kurang dari 10 meter.
c. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat.
d. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai faktor resiko,
agen penyebab, gejala klinis dan pengobatan demam tifoid.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
bersekolah, berkumpul bersama keluarga, dan bermain dengan teman-
temannya.
B. SARAN
Pemberian penyuluhan dengan materi utama mengenai pengertian,
penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala, serta penanganan
dan pencegahan demam tifoid. Materi selanjutnya berupa penyuluhan tentang
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai salah satu upaya pencegahan
terhadap penyakit demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Profil Kesehatan Jawa Tengah.
Semarang.
Haraga A et al. 2008. Salmonella Interplay with Host Cells. Nat Rev Micobiol;
6:53.
Herliani D, Usep AH, Rika N. 2015. Hubungan antara Faktor Risiko dengan
Kejadian Demam Tifoid pada Pasien yang di Rawat di Rumah Sakit Al-
Islam Bandung Periode Februari - Juni 2015. Bandung : Universitas Islam.
Kristina RT, Andi ZA, Ansariadi. 2014. Faktor Risiko Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Galesong Utara Kabupaten Takalar. Skripsi. Makasar :
Unversitas Hasanudin.
Maria HW. 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam Tifoid
di Indonesia Tahun 2006. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Vol. 19 (4) : 165-173.
Okky PP. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada Penderita
yang Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 2 (1) : 108-117.
Risani ES, Henry P, Vandry DK. 2015. Hubungan Personal Hygiene dengan
Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tumaratas. Ejournal.
Vol. 3(2) : 1-8.
Vollaard AM, Van A, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C. 2004. Risk factors for
Typhoid and Paratyphoid Fever in Jakarta, Indonesia. Journal of American
Medical Association. Vol. 291(21) : 2607-2615.
Widodo D. 2009. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi V. Jakarta : InternaPublishing.